PENGEMBANGAN DAN KEBERLANJUTAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR
ROSMAWATY ANWAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan dan Keberlanjutan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2011
Rosmawaty Anwar C261040091
ABSTRACT ROSMAWATY ANWAR. Development and Sustainability of Marine Tourism in the Coastal Areas and Small Islands of Makassar City. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN, and MENNOFATRIA BOER. This research aims: (1) to identify the potenty and condition of coastal areas and small islands of Makassar City for developing marine tourism, (2) to analyze suitability and carrying capacity of the coastal and small islands tourism areas of Makassar City for marine tourism development, (3) to analyze sustainability of the marine tourism development in coastal areas and small islands of Makassar City, (4) to formulate policy strategies for marine tourism development in Makassar City. Biogeophysics data are collected by field survey while social, economic, culture and policy data was collected by using interview techniques, supported by secondary data from the previous researches. Data analysis methods are spatial analysis using SIG, suitability and carrying capacity analysis of marine ecotourism, economic valuation analysis using Travel Cost Approach sustainable analysis use the RAPFISH approach, with five attributes i.e. ecology, economic, social-culture, technology and infrastructure, and law and institution. Furthermore, policy analysis use A’WOT (AHP and SWOT integration) approach. The results indicate that tourism area for diving has the largest suitable area i.e. 82,376 ha which are almost available in all islands with carrying capacity of 1435 person/ day. The S1 diving tourism are found in 5 islands and covering larger area (57,431 ha) than that of S2 diving tourism (24,945 ha). The result of Rapsaeco analysis indicate that sustainability on ecological (62.27%), economic (54.03%), social-cultural (55,53%) and law-institution (51.1%) dimensions are sustainable, however, dimension of technology and infrastructure (49,54%) are unsustainable. The results of policy analysis on SWOT components indicate that strength component place the first priority, then followed by threats, opportunities and weaknesses as a second, third and fourth priorities. Based on the analysis of policy strategies on development and sustainability of marine tourism of Makassar City there are 3 policy strategies which placed a high priority i.e. (1) development of snorkling and diving tourism on small islands by rehabilitation of important habitats (0.321) as the first priority, (2) development of coastal tourism on the coastal areas (0.195) as the second priority, and (3) determining of landscape of marine tourism area and infrastructures (0.161) as the third priority. Key words: marine tourism, coastal areas and small islands, sustainability, and Makassar City.
RINGKASAN Rosmawaty Anwar. Pengembangan dan Keberlanjutan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar. Pembimbing: Fredinan Yulianda, Dietriech G. Bengen, dan Mennofatria Boer. Pengembangan wisata bahari di Kota Makassar sangatlah prospektif mengingat Kota Makassar terletak di pesisir pantai bagian selatan Pulau Sulawesi dan berbatasan langsung dengan Selat Makassar, sehingga kaya akan sumberdaya hayati laut maupun buatan yang antara lain: memiliki garis pantai sepanjang 35,22 km dan mempunyai 11 pulau-pulau kecil dengan luas keseluruhan 178,5 ha, memiliki panorama pantai dan pemandangan bawah laut yang sangat indah, terdapat berbagai obyek wisata pantai yang telah ada dan cukup terkenal seperti Pantai Losari, serta ditunjang oleh kedudukan Kota Makassar sebagai Water Front City. Kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar berada pada satu gugusan pulau yaitu gugusan Kepulauan Spermonde. Jarak antar pulau sangat dekat. Namun kondisinya saat ini belum siap ”jual” untuk daerah tujuan wisata bahari unggulan. Kondisi terumbu karang di pulau-pulau kecil Kota Makassar sudah sangat mengkhawatirkan akibat laju eksploitasi yang meningkat, akibatnya terjadi penurunan persentase penutupan terumbu karang yang akan berdampak terhadap keberadaan ikan karang dan biota laut lainnya (Depbudpar, 2007). Selain itu, sepanjang garis pantai di Pantai Losari terus mengalami reklamasi ke arah laut yang semakin tidak terkendali untuk pengembangan wisata bahari tanpa memperhitungkan azas kesesuaian dan daya dukung kawasan. Apabila hal ini terus berlanjut, maka diduga akan terjadi degradasi dan disfungsi sumberdaya alam. Agar pengembangan wisata bahari dapat dilaksanakan dengan optimal dan lestari, maka kajian yang meliputi analisis kesesuaian dan daya dukung kawasan, valuasi ekonomi, keberlanjutan dan kebijakan pengembangan sangat diperlukan sehingga tercapai pengembangan destinasi wisata unggulan yang komprehensif dan integral dengan penerapan prinsip wisata berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi potensi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar untuk pengembangan wisata bahari, (2) menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan wisata pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar bagi pengembangan wisata bahari, (3) menganalisis keberlanjutan pengembangan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, (4) merumuskan strategi kebijakan pengembangan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Penelitian dilaksanakan di lima lokasi wisata bahari di wilayah pesisir dan di sepuluh pulau-pulau kecil di Kota Makassar yang berlangsung pada bulan Mei 2007 dan November 2010. Data biogeofisik dikumpulkan melalui survey lapang, sedangkan data sosial, ekonomi, budaya, dan kebijakan dikumpulkan melalui wawancara, dan dilengkapi unsur data sekunder dari penelitian yang telah ada. Metode analisis data terdiri dari analisis kesesuaian dan daya dukung wisata bahari dengan pendekatan spasial dengan menggunakan SIG, analisis keberlanjutan dengan menggunakan RAFFISH yang dimodifikasi berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan infrastruktur, dan kelembagaan. Selanjutnya, dilakukan analisis kebijakan dengan pendekatan analisis A’WOT. Hasil analisis berbagai kesesuaian wisata bahari memperlihatkan bahwa wisata diving memiliki luasan kesesuaian yang terbesar yaitu 82,376 ha dan terdapat hampir di semua pulau dengan jumlah daya dukung kawasan wisata selam adalah 1435 orang/hari.
Wisata diving untuk kelas S1 terdapat di 5 pulau dan memiliki luasan yang lebih besar yaitu 57,413 ha daripada kelas S2 yaitu 24, 945 ha. Hasil analisis kesesuaian wisata pantai di wilayah pesisir menunjukkan bahwa Pantai Tanjung Bunga sangat sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi dengan panjang garis pantai adalah 6443 m. Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa keberlanjutan dimensi ekologi (62,27%), ekonomi (54,03%), sosial-budaya (55,53%) dan dimensi hukum dan kelembangaan (51,10%) termasuk dalam status cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi infrastruktur dan teknologi (49,54%) termasuk dalam status belum berkelanjutan. Hasil analisis travel cost menunjukkan bahwa jarak, umur dan koefisien biaya perjalanan memiliki korelasi positif dengan tingkat kunjungan wisatawan, sedangkan tingkat pendapatan berkorelasi negative dengan tingkat kunjungan wisatawan. Hasil analisis kebijakan terhadap komponen SWOT menunjukkan bahwa komponen strenght (kekuatan) menempati prioritas pertama dalam pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar, kemudian diikuti oleh komponen threats (ancaman), opportunities (peluang), dan weaknesses (kelemahan) sebagai prioritas ke dua, ke tiga, dan ke empat. Berdasarkan analisis AWOT, strategi kebijakan yang perlu dikembangkan dalam pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di Kota Makassar untuk menunjang target yang ingin dicapai, maka diperoleh 6 strategi kebijakan yang menempati prioritas tinggi yaitu: (1) pengembangan wisata snorkling dan diving di PPK melalui rehabilitasi habitat-habitat penting (0,321) sebagai prioritas pertama, (2) pengembangan wisata pantai kategori rekreasi di wilayah pesisir (0,195) sebagai prioritas ke dua, (3) penetapan tata ruang kawasan wisata bahari dan sarana dan prasarana (0,161) sebagai prioritas ke tiga, penegakan hukum dan kelembagaan (0,125) sebagai prioritas ke empat, serta peningkatan pendapatan, lapangan kerja (0,110), dan Peningkatan SDM pengelola wisata dan masyarakat sekitar kawasan wisata bahari (0,089) masing-masing sebagai peringkat ke lima dan ke enam.
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011. Hak Cipta di Lindungi Undang-Undang 1)
Dilarang Mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2)
Dilarang mengumumkan dan memperbayak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN DAN KEBERLANJUTAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR
Oleh: ROSMAWATY ANWAR
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Etty Riani, M.Si. 2. Dr. Ir. Aris Munandar, MS
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Sudirman Saad, SH, MH. 2. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, M.Sc.
Judul Disertasi
: Pengembangan Dan Keberlanjutan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar
Nama
: Rosmawaty Anwar
NRP
: C261040091
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Anggota
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi
Dekan SekolaPascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 14 Oktober 2011
Tanggal Lulus : ......................
PRAKATA Ucapan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul “Pengembangan dan Keberlanjutan Wisata Bahari di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar” . Pengembangan wisata bahari ini sangat penting untuk dikaji, karena memanfaatkan jasa-jasa lingkungan dari sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan obyek wisata yang potensial dengan keanekaragaman budaya yang harus dilestarikan karena dapat menopang kepentingan pemerintahan daerah serta mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan wisata bahari tersebut. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G, Bengen, DEA., dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, M.Sc., sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, motivasi sejak mulai penulisan proposal hingga penyelesaian disertasi ini. 2. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. 3. Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor 4. Ketua STITEK BALIK DIWA Makassar yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor 5. Sembah sujud kepada Kedua orang tua tercinta (Alm) yang telah membesarkan, mendidik, dan tiada hentinya mendoakan keberhasilan anaknya. 6. Terima Kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada saudara-saudara saya: Alauddin Anwar, S.H, M.Hum. dan ST Rahma Anwar S.E, dan seluruh keluarga yang tidak dapat disebutkan atas bantuan dan doanya selama ini. 7. Penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Dr Ramli, S.Pd.,M.Pd., dan anak – anak tersayang Andi Nina Luthfianty, Andi Ihdinannisa Anindyka, Andi Muhhammad Nur Fauzan, Andi Fadel Muhamammad Fathan, dan Hurul Ainul Thahira Wildani, atas segala kasih sayang dan pengorbanan yang kalian berikan pada ibu, dengan penuh kesabaran serta pengertian mendampingi ibu selama menjalani pendidikan, sehingga ibu tetap semangat menyelesaikan studi. 8. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS. 9. PT. Damandiri di Jakarta yang memberikan bantuan dana penelitian 10. PEMKOT Kota Makassar yang telah memberikan bantuan dana penelitian 11. PEMDA TK I Sulawesi – Selatan yang memberikan bantuan dana penelitian. 12. PEMDA TK II Gowa Provinsi Sulawesi – Selatan yang memberikan bantuan dana Penelitian. 13. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Coremap Mitra Bahari Jakarta yang telah memberikan bantuan dana penelitian. 14. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta yang telah memberikan bantuan dana Penelitian. 15. Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan dana (Hibah Doktor). 16. Kerukunan Keluarga Sulawesi-Selatan dan Bapak Andi Hasanuddin sebagai ketua KKSS yang telah memberikan bantuan dana penyelesaian studi di IPB ini.
17. Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc. yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan moril dalam penyelesaian disertasi ini. 18. Dr. Ir. Rahman Kurniawan M.Si yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan moril dalam penyelesaian disertasi ini. 19. Saudara Ir. Muh. Awir dan Ir. Muh. Alim yang telah sangat membantu penulis dalam penyelesaiaan disertasi. 20. Saudara Ir. Wawan dan seluruh rekan-rekan serta semua pihak yang telah membantu penulis selama pengambilan data di lapangan. 21. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberkahi dan melimpahkan Rahmat dan Taufiknya. Amin. Bogor,Juli 2011 Rosmawaty Anwar
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang (sekarang Makassar) pada tanggal 12 September 1967, merupakan anak ke dua dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Anwar Karim Daeng Raja dan Ibu Sitti Lapang Daeng Sanga. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1979 di SD Negeri No.2 Jeneponto, Sulawesi-Selatan, Sekolah Menengah Pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri No.1 Jeneponto pada tahun 1982, dan Sekolah Menengah Atas di Madrasah Aliyah Negeri No.1 Makassar pada tahun 1985. Selama menjalani pendidikan di SD, penulis mendapat kesempatan memperoleh beasiswa murid berprestasi dari yayasan Supersemar dua tahun berturutturut. Penulis kembali mendapatkan beasiswa ”Siswa Berprestasi” dari yayasan Supersemar untuk tingkat SMP pada tahun 1981 dan untuk tingkat SMA pada tahun 1984. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Universitas Hasanuddin pada tahun 1985 melalui jalur Proyek PMDK (Penelusuran Minat dan Keahlian). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada tahun 1990. Selama menjalani kuliah pendidikan sarjana (S1), penulis kembali mendapat beasiswa Supersemar dan beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas untuk Dosen (TID) dalam lingkup Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIRJEN DIKTI). Pada tahun 1989 hingga tahun 1992 penulis bekerja di PT Kalbe Farma. Pada tahun 1990 penulis diterima sebagai PNS untuk staf pengajar pada Kopertis Wilayah IX Sulawesi melalui jalur Tunjangan Ikatan Dinas untuk Dosen dan diperbantukan di Universitas Muslim Indonesia. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Universitas Hasanuddin dan pendidkan program Doktor di IPB pada tahun 2004 melalui jalur BPPS Dirjen DIKTI. Selanjutnya pada tahun 2004 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balikdiwa, Makassar.
xix
DAFTAR ISI
Halaman xxiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................ xxv DAFTARTABEL .............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................
xxix
1 PENDAHULUAN ………………………………………..…...... 1.1 Latar Belakang .................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................. 1.5 Kebaruan ............................................................................ 1.6 Kerangka Pemikiran ..........................................................
1 1 5 7 7 7 8
2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 2.1 Batasan dan Karakteristik Wilayah Pesisir ........................ 2.2 Batasan dan Karakteristik Pulau-Pulau Kecil..................... 2.3 Pengembangan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ……………………………………….. 2.3.1 Wisata Pesisir …………………………………….. 2.3.2 Ekowisata …………………………………………. 2.4 Pengembangan Wisata Bahari dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ……………………………………….. 2.4.1 Tipologi Wisatawan ………………………………. 2.4.2 Daya Dukung Wisata Bahari ……………………... 2.4.3 Destinasi Wisata Bahari …………………………... 2.5 Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pesisir ..................... 2.5.1 Dimensi Teknologi .................................................. 2.5.2 Dimensi Kelembagaan ............................................. 2.5.3 Dimensi Teknologi ................................................... 2.5.4 Sosial Ekonomi ........................................................ 2.5.5 Multidimensional Scaling ........................................ 2.6 Kebijakan ........................................................................... 2.6.1 Batasan Kebijakan .................................................... 2.6.2 Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari ................ 2.6.3 AWOT .....................................................................
11 11 15
3 METODE PENELITIAN ............................................................ 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 3.2 Jenis Data dan Informasi ................................................... 3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................... 3.3.1 Tutupan Karang ....................................................... 3.3.2 Ikan Karang ............................................................. 3.3.3 Parameter Kualitas air .............................................. 3.3.4 Data Sosial, Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan...
49 49 49 49 50 50 50 51
xix
18 19 22
25 29 32 33 34 34 37 39 40 40 41 41 43 44
xx
3.3.5 Teknik Penentuan Responden ................................. 3.4 Analisis Data ...................................................................... 3.4.1 Analisis Potensi Sumberdaya Alam ........................ 3.4.2 Analisis Kesesuaian Wisata Bahari ......................... 3.4.3 Analisis Daya Dukung Wisata Bahari ..................... 3.4.4 Analisis Penyusunan Rencana Pengembangan Wisata Bahari ........................................................... 3.4.5 Analisis Keberlanjutan ............................................ 3.4.6 Analisis Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari... 4 PROFIL KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR …………………………………. 4.1 Letak Geografis Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar …………………………………….. 4.1.1 Pesisir Kota Makassar ……………………………. 4.1.2 Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar ……………….. 4.2 Kondisi Biofisik Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar …………………………………………... 4.2.1 Pesisir Kota Makassar ……………………………. 4.2.2 Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar ………………... 4.3 Kondisi Ekonomi dan Sosial Budaya Di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar ..................................... 4.3.1 Pesisir Kota Makassar ............................................. 4.3.2 Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar ........................... 4.4 Sarana dan Prasarana Sosial Di Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar ................................................................... 4.5 Aksesibilitas ....................................................................... 4.5.1 Bandar Udara International Hasanuddin .................. 4.5.2 Pelabuhan Samudera Makassar Soekarno-Hatta ...... 4.6 Kelembagaan ..................................................................... 5 PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR... 5.1 Kondisi dan Potensi Sumberdaya Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Untuk Pengembangan Wisata Bahari.. 5.1.1 Ekosistem Terumbu Karang ……………………… 5.1.2 Ikan Karang ………………………………………. 5.1.3 Ekosistem Mangrove ……………………………... 5.1.4 Ekosistem Lamun ………………………………… 5.2 Kondisi dan Potensi Wisata ……………………………... 5.2.1 Wisata Pantai di wilayah Pesisir ………………….. 5.2.2 Festival dan Perayaan Bahari Di Bandar Makassar.. 5.2.3 Potensi Wisata Kampung Nelayan Untia ………… 5.2.4 Kondisi dan Potensi Wisata Pulau ………………... 5.2.5 Potensi Wisata Kapal Karam ……………………... 5.3 Kualitas Air Di Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kota Makassar ………………………………………... 5.3.1 Perairan Pesisir Kota Makassar……………………
51 52 55 55 61 63 64 66 67 67 67 68 70 70 71 74 74 76 81 82 84 84 85 87 87 87 89 90 92 97 97 98 100 101 102 104 104
xxi 5.3.2 Perairan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar ………. 5.4 Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan untuk Wisata Bahari... 5.4.1 Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Wisata Bahari ……………………………………... 5.4.2 Kesesuaian Pulau-Pulau Kecil untuk Wisata Bahari 5.5 Daya Dukung Kawasan untuk Wisata Bahari …………… 5.6 Pengembangan Wisata Bahari Di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ……………………………………….. 5.6.1 Luas dan Kapasitas Pengembangan Wisata Pantai Di Kawasan Pesisir …………………………….. 5.6.2 Luas dan Kapasitas Pengembangan Wisata Bahari Di pulau-Pulau Kecil ………………………………
105 107 108 115 129 133 133 139
6 KEBERLANJUTAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAUKECIL KOTA MAKASSAR… 6.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ………………….. 6.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ………………… 6.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya …………... 6.4 Status Keberlanjutan Dimensi Infrastuktur dan Teknologi 6.5 Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan..
151 151 156 159 165 168
7 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR ……………………………………………. 7.1 Komponen SWOT ………………………………………. 7.2 Komponen Strength (Kekuatan) ………………………… 7.3 Komponen Weaknesses (Kelemahan) …………………… 7.4 Komponen Opportunities (Peluang) …………………….. 7.5 Komponen Threats (Ancaman) …………………………. 7.6 Strategi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari ………
175 175 176 177 179 181 183
8 KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………. 8.1 Kesimpulan ……………………………………………… 8.2 Saran ……………………………………………………..
189 189 190
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
191
LAMPIRAN .......................................................................................
201
xxi
xxii
xxiii
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Halaman Matriks Kesesuaian Wisata Pantai Kategori Wisata Mangrove ..……………………………………………...........
58
2.
Matriks Kesesuaian Wisata Pantai Kategori Rekreasi……….
59
3.
Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Wisata Selam ...
60
4.
Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Wisata Snorkling ..................................................................................
61
Potensi Ekologis Pengunjung (K) dan Luas Area Kegiatan (Lt)……………………………………………………………
62
Prediksi Waktu yang Dibutuhkan setiap Kegiatan Wisata Bahari …………………………………………......................
63
Nilai Indeks Keberlanjutan Wisata Bahari berdasarkan Hasil Analisis RAPSAECO………………………………...
65
Luas, Panjang Garis Pantai dan Jarak masing-masing Pulau di Kota Makassar .....................................................................
69
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah Keluarga ..................................................................................
77
Ketersediaan Sumber Air Bersih Pulau-pulau Kecil Kota Makassar …………………………………………………….
81
Sarana dan Prasarana Sosial Pulau-pulau Kecil Kota Makassar ……………………………………………….
82
12.
Dermaga Di Pulau-pulau Kecil Kota Makassar.......................
83
13.
Persentase Tutupan Karang di Pulau-pulau Kecil Kota Makassar pada Kedalaman 10 meter ..............................
88
Persentase Tutupan Karang di Pulau-pulau Kecil Kota Makassar pada Kedalaman 3 meter ................................
88
Kualitas Air di Sekitar Perairan Pesisir Kota Makassar ........................................................................
105
Kualitais Air di Perairan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar .........................................................................
106
Kesesuaian Wisata Bahari berbagai Kategori di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar..........
126
Daya Dukung Wisata Bahari berbagai Kategori di Kawasan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar .......................
131
Luas Kawasan Potensial untuk Pengembangan Wisata Pantai Di kawasan Pesisir Kota Makassar .........................................
135
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
14. 15. 16. 17. 18. 19.
xxiii
xxiv
20.
Kapasitas Kawasan Potensial untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi dan Mangrove Di wilayah Pesisir…..........................
136
Luas Kawasan Potensial untuk Pengembangan Wisata Bahari Di Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar......................................
140
Kapasitas Kawasan Potensial untuk Pengembangan Wisata Bahari Di Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar...........................
141
Perbedaan Nilai Indeks Keberlanjutan Analisis Rapseico dengan Monte Carlo …………………………………………
173
24.
Hasil Analisis Rapseico untuk Nilai Stress dan RSQ…...........
173
25.
Matriks Skala Prioritas Kebijakan Wisata Bahari berdasarkan Komponen Weaknesses ………………………………………..
178
Matriks Skala Prioritas Kebijakan Wisata Bahari berdasarkan Komponen Opportunities…………………...............................
180
Matriks Skala Prioritas Kebijakan Wisata Bahari berdasarkan Komponen Threats……………………......................................
182
Matriks Prioritas Alternatif Kebijakan Wisata Bahari dengan Metode AWOT ……………………………….......................
184
21. 22. 23.
26. 27. 28.
xxv
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Kerangka Pemikiran Penelitian..…………………………….. 1. 9 2.
Komponen Kawasan Pesisir Secara terpadu ………………...
11
3.
Skema Konsep Pariwisata Pesisir ….………………..............
21
4.
Skema Konsep Ekowisata........................................................
25
5.
Prosedur dan Proses Pembuatan Kebijakan)…………………
43
6.
Peta Lokasi Penelitian di Wilayah Pesisir Kota Makassar ….
53
7.
Peta Wilayah Penelitian di Kawasan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar ……………………………………………….
54
8.
Illustrasi Penentuan Indeks Keberlanjutan Wisata Bahari…...
65
9.
Peta Sebaran Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Pulau Barrang Lompo, Bonetambung dan Barrang Caddi.................
93
Peta Sebaran Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Pulau Kodingareng Keke, Samalona dan Kodingareng Lompo……
94
Peta Sebaran Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Pulau Lumu-lumu dan Lumu-lumu Kecil ………………………….
95
Peta Sebaran Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Pulau Lancukang dan Langkai...........................................................
96
Peta Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Wilayah Pesisir Kota Makassar..............................................................
101
Peta Kesesuaian Wisata Pantai Kategori Rekreasi Di Wilayah Pesisir...................................................................
109
Peta Kesesuaian Wisata Pantai Kategori Mangrove Di Wilayah Pesisir...................................................................
114
Peta Overlay berbagai Kesesuaian Wisata Bahari di Pulau Langkai dan Lancukkang...........................................
116
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Peta Overley berbagai Kesesuaian Wisata Bahari Pulau Kodinggareng Keke dan Pulau Samalona......................
18.
Peta Overley berbagai Kesesuaian Wisata Bahari Pulau Lumu-lumu di Kawasan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar....
117
Peta Hasil Overlay berbagai Kesesuaian Wisata Bahari di Pulau Kayangan.......................................................................
119
Peta Overley berbagai Kesesuaian Wisata Bahari Pulau Bonetambung, Barrang Lompo dan Barrang Caddi …………
120
19. 20.
xxv
117
xxvi
21.
Peta Overlay Kesesuaian Wisata Pantai dengan Potensi dan Jenis Kegiatan Di Kawasan Pesisir Kota Makassar..........
137
Peta Arahan Pengembangan Wisata Pantai Kategori Rekreasi dan Mangrove Di Wilayah Pesisir Kota Makassar..................
138
Peta Overlay Ksesuaian Wisata Bahari dan Kondisi Eksisting Di Pulau Lancukang dan Langkai …………..........
143
Peta Overlay Ksesuaian Wisata Bahari dan Kondisi Eksisting Di Pulau Bonetambung, Barrang Lompo dan Barrang Caddi ….....................................................................
144
Peta Overlay Ksesuaian Wisata Bahari dan Kondisi Eksisting Di Pulau Kayangan dan Lae-lae ………………….
145
Peta Arahan Pengembangan Pulau Barrang Lompo, Bonetambung, dan Barrang Caddi …………………................
146
Peta Arahan Pengembangan Pulau Kodinggareng Keke, Kodinggareng Lompo, dan Samalona ……………………….
147
Peta Arahan Pengembangan Pulau Lancukang, dan Barrang Caddi ……………………………….........................
148
29.
Peta Arahan Pengembangan Pulau Lumu-Lumu ……………
149
30.
Nilai Indeks Keberlanjutan Wisata Bahari Di Pesisir dan PPK Kota Makassar pada Dimensi Ekologi …………….
152
Peran setiap Atribut Dimensi Ekologi dinyatakan dalam Bentuk Perubahan RMS ……………………………...
153
Nilai Indeks Keberlajutan Pengembangan Wisata Bahari pada Dimensi Ekonomi ………………………………..........
157
Peran setiap Atribut Dimensi Ekonomi dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS ………………………………
157
Nilai Indek Keberlajutan Pengembangan Wisata Bahari pada Dimensi Sosial Budaya ………………………...
160
Peran Setiap Atribut Dimensi Sosial Budaya dinyatakan dalam Bentuk Nilai RMS ………………………
161
Nilai Indeks Keberlajutan Pengembangan Wisata Bahari pada Dimensi Infrastruktur …………………………
165
Peran setiap Atribut Dimensi Infrastruktur dan Teknologi yang dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS (Root Mean Square) ……………………………..
166
Nilai Indeks Keberlanjutan pada Dimensi Hukum dan Kelembagaan ……………………………………………
169
Peran Setiap Atribut Dimensi Hukum dan Kelembagaan
170
22. 23. 24.
25. 26. 27 28.
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
38. 39.
xxvii
yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS.......... 40.
41. 42. 43. 44. 45. 46.
Diagram Layang-layang Nilai Indeks Keberlanjutan Wisata Bahari di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar …………………………………………………….
172
Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen SWOT dengan Metode AWOT ……………………………..
175
Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen Strength dengan Metode AWOT ……………………..........
176
Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen Weaknesses dengan Metode AWOT ………………..............
177
Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen Opportunities dengan Metode AWOT …………………........
180
Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen Threats dengan Metode AWOT ……………………………..
181
Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen SWOT dengan Metode AWOT ………………………...........
183
xxvii
xxviii
xxix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan dalam Penelitian.......
203
2.
Morfologi Pantai pulau-Pulau Kecil Kota Makassar …............
204
3.
Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Bonetambung, Barrang Lompo dan Barrang Caddi ….………………............
205
Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Kodinggareng Keke dan Pulau Samalona..................................................................
206
Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Lancukang dan Pulau Langkai ……………………………………………………….
207
6.
Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Kayangan ………….
208
7.
Peta Kesesuaian Wisata Selam di Pulau Barrang Lompo, Bonetambung, dan Pulau Barrang Caddi …………………….
209
Peta Kesesuaian Wisata Selam di Pulau Lancukang dan Langkai ……………………………………………………….
210
9.
Peta Kesesuaian Wisata Selam di Pulau Lumu-Lumu..............
211
10.
Peta Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Bonetambung, Barrang Lompo, dan Barrang Caddi …....................................
212
Peta Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Kodinggareng Keke dan Samalona …………………………………………..
213
Peta Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Lancukang dan Langkai......................................................................................
214
13.
Peta Snorkling Di Pulau Lumu-Lumu.......................................
215
14.
Hasil Analisis Kesesuaian Wisata Diving di Pulau-pulau Kecil..........................................................................................
216
Hasil Analisis Kesesuaian Wisata Diving di Pulau-pulauKecil
218
4. 5.
8.
11. 12.
15.
xxix
xxx
1
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan garis pantai sepanjang 95.18 km, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan perairan laut yang besar seperti: terumbu karang, mangrove, dan pantai. Berdasarkan kondisi tersebut, pengembangan wisata bahari merupakan salah satu pilihan yang paling strategis dari segi ekonomi, sehingga potensi wisata bahari ini akan memiliki daya saing tinggi dibandingkan dengan potensi serupa di negara-negara lainnya. Pembangunan wisata bahari merupakan salah satu pilihan yang paling strategis dengan konsep pengembangan wisata berkelanjutan (sustainable tourism development) sebagaimana menjadi pedoman pengembangan pariwisata oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO) yang mengandung arti bahwa pembangunan pariwisata harus dapat turut serta menjaga kesinambungan pembangunan dan pelestarian sumberdaya alam, sekaligus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi komunitas setempat. Pembangunan wisata bahari pada prinsipnya adalah merubah bentuk kegiatan dari daratan ke bahari dan merubah pola fikir dari wisata massal (mass tourism) menjadi wisata yang berkualitas (quality tourism), dari wisata dengan pendapatan yang sebesar-besarnya (high income) menjadi wisata dengan pemerataan pendapatan bagi semua stakeholder ( rational income distribution to the people) dan dari memanfaatkan lingkungan menjadi mendayagunakan lingkungan. Dari sisi permintaan, wisata bahari Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan.
Survey
wisatawan
mancanegara
(wisman)
tahun
2008
menunjukkan bahwa kunjungan wisman untuk tujuan wisata alam yang berhubungan dengan pantai mencapai 25,33%
dari seluruh responden yang
disurvey (Hermantoro, 2009) dan hasil penelitian Passenger Exit Survey (2005) in Firdaus (2006) menunjukkan bahwa tempat-tempat yang diminati wisatawan untuk dikunjungi adalah objek wisata pantai (30,5%). Begitu pula, semangat untuk lebih memperhatikan pengembangan wisata bahari tercantum dalam visi dan misi wisata bahari. Visi ”Indonesia dalam 10 Tahun menjadi tujuan wisata bahari terkemuka di kawasan Asia Pasifik” yang dijabarkan dalam misi berupa:
2 (1) memberikan pelayanan terbaik bagi wisatawan di alam kebaharian Indonesia, (2) menciptakan iklim kondusif bagi investasi industri wisata bahari, (3) menciptakan keterpaduan pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan, dan (4) mengembangkan produk wisata bahari dengan pola kemitraan diantara pelaku wisata bahari. Pengalokasian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kawasan pengembangan wisata bahari yang berbasis konservasi dan masyarakat, merupakan wujud nyata upaya pengelolaan sumberdaya alam demi keberlanjutan pemanfaatannya. Pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu pendekatan terkini dalam sebahagian besar programprogram pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengembangan wisata bahari dapat dianggap sebagai manifestasi keinginan masyarakat untuk mempertahankan keberadaan sumberdaya alam pesisir dan laut bagi pemenuhan kebutuhannya untuk dapat dimanfaatkan secara lestari, kebutuhan untuk menikmati keindahan alam, dan kebutuhan untuk melindungi hak sebagai pemilik sumberdaya dari pengguna luar. Pengembangan wisata bahari sebagai daerah tujuan wisata (destinasi) unggulan di Kota Makassar sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan sangatlah prospektif mengingat Kota Makassar berada di ibu kota provinsi dan terletak di pesisir pantai bagian selatan Pulau Sulawesi yang mempunyai 11 pulau-pulau kecil antara lain: Pulau Kayangan, Pulau Samalona, Pulau Kodingarengkeke, dan Pulau Lanyukang, dengan luas keseluruhan 178,5 ha atau 1,1% dari luas kawasan daratan, memiliki hamparan terumbu karang dan lamun, panorama pantai dan laut yang indah, serta kaya akan keragaman potensi sumberdaya pulau-pulau kecil pendukung kegiatan pemanfaatan jasa-jasa pariwisata. Selain itu, jarak antara satu pulau dengan yang lainnya sangat dekat dan berada pada satu gugusan Kepulauan Spermonde. Keberadaan pulau-pulau kecil juga di tunjang oleh keberadaan ekosistem terumbu karang dan keindahan alam di sekelilingnya serta terdapatnya berbagai obyek wisata yang telah ada. Potensi alam yang menarik juga ditunjang oleh kekhasan Kebudayaan masyarakat setempat dan kemudahan aksesibilitas ke lokasi wisata bahari.
3 Kondisi yang sama terjadi di kawasan pesisir Kota Makassar yang memiliki arti strategis untuk pengembangan wisata bahari karena berbatasan langsung dengan Selat Makassar, sehingga memiliki potensi sumberdaya alam (pantai berpasir, mangrove) dan jasa-jasa lingkungan yang berpotensi untuk pengembangan wisata bahari seperti potensi wisata pantai, wisata mangrove, wisata budaya, dan wisata sejarah yang beragam, menarik dan cukup terkenal. Jenis wisata yang dikembangkan saat ini di kawasan pesisir dan laut Kota Makassar secara langsung adalah: wisata Pantai Losari, Pantai Akkarena, Pantai Tanjung Bunga, dengan kegiatan wisata seperti berperahu, berenang, sky air, memancing serta olahraga pantai, berjemur, dan piknik menikmati atmosfer laut. Wisata theme park dan out bound yang ada disini adalah di Trans Studio dan Pantai Akkarena. Wisata sejarah dan budaya yaitu Benteng Rotterdam, Benteng Sombaopu, Taman Miniatur Sulawesi-Selatan, dan Pelabuhan Rakyat Paotereq (DKP Kota Makassar 2010; Dinas Pariwisata Kota Makassar, 2010). Pengembangan wisata bahari di Kota Makassar ditunjang pula oleh kedudukan Kota Makassar sebagai water front city yang merupakan pintu gerbang Indonesia bagian timur. Kondisi ini, menempatkan posisi Kota Makassar berada di garis depan sebagai penyambut kedatangan wisatawan dari mancanegara maupun nusantara dan merupakan tempat diselenggarakannya berbagai kegiatan seperti bisnis, seminar, lokakarya dan festival bahari (Debora, 2003). Keberadaan dari potensi pesisir dan pulau-pulau kecil ini sebagai daerah tujuan wisata unggulan untuk pengembangan wisata bahari merupakan asset yang sangat berharga bagi pendapatan daerah. Apabila dikaitkan dengan UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, maka pengembangan wisata bahari diharapkan menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah daerah Kota Makassar. Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian Kota Makassar dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan, sedangkan sektor di luar pertanian masih belum mampu menggantikan perannya sebagai sumber penghidupan utama penduduk Kota Makassar.
4 Beragamnya sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, maka sangat berpotensi untuk pengembangan wisata bahari. Namun hal tersebut belum dapat diubah menjadi kekuatan ekonomi riil, karena pengelolaannya belum dilakukan secara berkesinambungan. Selain itu, kerjasama yang kongkrit antara pihak pengelola kawasan wisata dengan instansi daerah terkait serta pihak-pihak swasta sebagai investor belum optimal. Kegiatan wisata yang dikembangkan belum sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung kawasan. Masalah utama pulau-pulau kecil adalah terbatasnya ketersediaan air minum, rendahnya kondisi sosial ekonomi penduduk, isolasi daerah, ancaman bencana alam, keterbatasan infrastruktur dan kelembagaan, serta pembuangan limbah cair dan padat akibat pengembangan industri wisata yang tak terencana. Dalam rangka menghindari terjadinya degradasi dan disfungsi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar akibat tingginya aktivitas wisata yang telah berkembang selama hampir sepuluh tahun, maka perlu dilakukan suatu kajian pengembangan wisata bahari secara terpadu, terencana dan berkelanjutan dengan melibatkan semua komponen stakeholder yang berkepentingan di kawasan pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir sehingga dapat memanfaatkan asset yang ada secara optimal. Pengembangan wisata bahari di kawasan ini dapat berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, saat ini sangat perlu dilakukan penelitian pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari. Penelitian pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari ini menganalisis kesesuaian pemanfaatan dengan potensi dan daya dukung kawasan yang diintegrasikan dengan status keberlanjutan dan strategi pengembangan. Sehingga, pengembangan wisata bahari di Kota Makassar diharapkan tidak hanya dapat mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar secara partisipatif dan menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Adanya kondisi ini diharapkan tercapai keberlanjutan pengembangan wisata bahari Kota Makassar menjadi daerah tujuan wisata bahari unggulan dalam pengembangan wisata bahari.
5 1.2
Perumusan Masalah Pengembangan wisata bahari dengan mengandalkan potensi alam yang ada
di kota Makassar belum bisa memberikan kontribusi yang signifikan karena belum dikelola secara serius dan professional sehingga belum dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Pengelolaan wisata bahari yang dilaksanakan saat ini, relatif belum ada keterpaduan antar berbagai sektor sehingga terjadi konflik pemanfaatan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Begitu pula, kebijakan pengembangan wisata bahari belum terfokus dan belum mempertimbangkan aspek sosial dan ekologi secara terpadu. Perkembangan jumlah wisatawan pada kawasan-kawasan wisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar telah mengakibatkan berbagai dampak yang sangat merugikan antara lain: pencemaran air, banyak terjadi akumulasi sampah, kerusakan terumbu karang, memburuknya nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, dan terjadi kemacetan lalulintas di daerahdaerah wisata pada setiap hari libur. Keterbelakangan kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil juga disebabkan oleh minimnya ketersediaan sarana dan prasarana serta infrastruktur yang memadai. Lemahnya kemampuan lembaga organisasi ekonomi masyarakar pesisir dan pulau-pulau kecil juga berpengaruh terhadap rendahnya kesejahteraan masyarakat serta kurangnya sarana dan prasarana air bersih, perhubungan, penerangan, dan komunikasi di pulau-pulau kecil. Pengembangan kegiatan wisata maupun penyediaan penunjang kepariwisataan khususnya di pulau-pulau kecil, berdampak pada lingkungan fisik, sosial, budaya dan ekonomi pulau-pulau kecil tersebut. Upaya peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pulaupulau kecil selama ini belum melibatkan masyarakat setempat baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga tahap evaluasi, dalam program pembangunan.
Ketidakterlibatan
masyarakat
dalam
pembangunan
akan
membentuk sikap negatif terhadap program yang akan dilaksanakan. Di lain pihak, pengembangan wisata bahari harus bermanfaat secara ekologis dan ekonomis, baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat lokal.
6 Sementara itu, peraturan-peraturan yang sudah ada yang terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil, belum tentu bisa langsung diterapkan sama untuk setiap pulau-pulau kecil. Setiap pulau memiliki karakteristik yang khas, demikian juga dengan kegiatan wisata yang sangat beragam jenis dan skalanya. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan–pertimbangan khusus dalam pengembangan kegiatan wisata bahari di putau-pulau kecil. Perlu ditentukan pulau-pulau kecil mana dan dengan karakteristik seperti apa yang dapat dikembangkan. Selain itu juga perlu ditentukan peruntukan kegiatan wisata bahari seperti apa yang sesuai, dengan pembangunan sarana dan prasarana yang juga harus direncanakan dengan cermat. Segenap kendala tersebut di atas, bukan berarti pesisir dan khususnya pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis, tingkat pembangunan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung (carrying capacity) suatu pulau dan dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan ekosistem pesisir dan pulaunya. Selain itu, setiap kegiatan pembangunan yang akan dikembangkan di suatu pulau seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal. Upaya
meminimalkan
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
pengembangan wisata bahari, beberapa langkah dapat ditempuh
akibat
antara lain
pengalokasian berbagai kegiatan wisata bahari dengan mempertimbangkan kesesuaian kawasan untuk peruntukan kegiatan wisata bahari dan kemampuan daya dukung dari kawasan untuk menyediakan lahan dan sumberdaya bagi setiap kegiatan pembangunan. Oleh karenanya, pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk berbagai peruntukan kegiatan wisata bahari harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan secara lestari dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian di atas, secara umum permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana agar potensi pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar dapat dikembangkan sebagai wisata bahari.
7 2.
Bagaimana agar pengembangan wisata bahari sesuai dengan potensi yang ada serta sesuai dengan daya dukung wisata bahari.
3.
Bagaimana pengembangan wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dapat dikelola secara berkelanjutan (sustainable developmet) dan seseuai dengan aspirasi masyarakat lokal.
4.
Bagaimana agar kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil di Kota Makassar dapat menunjang pengembangan wisata bahari.
1.3 Tujuan Penelitian 1.
Menilik potensi dan kondisi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar untuk pengembangan wisata bahari.
2.
Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan wisata pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dalam pengembangan wisata bahari.
3.
Mengevaluasi keberlanjutan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar.
4.
Merumuskan strategi kebijakan pengembangan wisata bahari di Kota Makassar.
1. 4 Manfaat Penelitian 1.
Memberikan informasi tentang kondisi sumberdaya, tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dalam pengembangan wisata bahari.
2.
Pemerintah daerah: sebagai pedoman dalam penyusunan perencanaan pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan.
3.
Masyarakat (stakeholder): memberikan kontribusi hasil pemikiran secara ilmiah bagi masyarakat yang akan menginvestasikan modalnya dalam pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan di pesisir dan pulau-pulau kecil.
4.
llmu pengetahuan dan teknologi: sebagai bahan rujukan dan pengkajian lebih lanjut pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil.
8 1.5 Kebaruan Wisata non ekowisata (industri wisata) dengan ekowisata dianalisis secara holistik yang memadukan daya dukung kawasan wisata bahari dengan daya dukung infrastruktur/kebutuhan ruang dalam pengembangan wisata bahari. Konsep kebaruannya adalah memadukan konsep ekowisata dengan konsep wisata non ekowisata (industri wisata) dalam satu sistem manajemen yang saling menguatkan antara pengelolaan ekowisata dengan pengelolaan wisata non ekowisata dalam mengembangkan sektor wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan menggunakan analisis daya dukung kawasan (DDK) yang berorientasi pada daya dukung ekologi dan kebutuhan ruang. Tingkat kesesuaian dan daya dukung wisata bahari diintegrasikan dengan status keberlanjutan pengembangan wisata bahari, serta memberikan arahan strategi kebijakan pengembangan, sehingga pengelolaan ekowisata di pulau-pulau kecil dapat berimbang dan saling memperkuat dengan pengelolaan non ekowisata di wilayah pesisir.
1.6 Kerangka Pemikiran Pembuatan arahan kebijakan pengembangan kawasan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, dibutuhkan data-data biofisik kawasan serta kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Beberapa analisis yang digunakan meliputi: analisis potensi kawasan, analisis kesesuaian pemanfaatan, analisis daya dukung kawasan, analisis keberlanjutan wisata bahari, dan analisis kebijakan. Melalui serangkaian analisis tersebut, maka didapatkan arahan kebijakan pengembangan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar menjadi kawasan wisata bahari berkelanjutan. Program atau kebijakan pengembangan didasarkan atas kesesuaian dan daya dukung kawasan. Kesesuaian kawasan dianalisis dari beberapa peta tematik seperti rencana tata ruang kawasan (RTRW) dan produk tata ruang lainnya, land use, land suitability dan geologi lingkungan. Keberlanjutan wisata bahari dianalisis dengan menggunakan Raffish. Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan analisis AWOT, yang merupakan gabungan antara analisis AHP dan SWOT. Adanya analisis-analisis tersebut, maka rekomendasi pengembangan wisata bahari di
9 wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dapat dilihat dari berbagai aspek yang diperlukan guna pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (Gambar 1).
Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar
Potensi dan kondisi kawasan : - Ekologi - Amenity - Ekonomi
Kebijakan Pemkot Kota Makassar
-
-
-ik)_ -
Zona wisata pesisir
Zona wisata PPK Pengembangan Wisata Bahari
Analisis Kesesuaian lahan Analisis Daya Dukung Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan
Analisis RAPFISH Keberlanjutan Wisata Bahari
Analisis AWOT
Strategi Pengembangan Wisata Bahari
Pengembangan Wisata Bahari Secara Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
10
11
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan dan Karakteristik Kawasan Pesisir Undang-Undang RI. No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengemukakan bahwa kawasan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut kearah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Kawasan pesisir adalah kawasan dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut, dan intrusi garam (Bengen, 2004). Selanjutnya, dikatakan bahwa batas di laut adalah daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi kegiatankegiatan manusia di daratan. Kawasan pesisir secara konseptual merupakan interaksi komponen ekologi, sosial, dan ekonomi (Gambar 2). Ekologi i Sosial
Ekonomi
Gambar 2. Komponen kawasan pesisir secara terpadu ( Bengen, 2004).
Bentuk pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (renewable resources) dan tidak dapat pulih (non renewable resources) serta jasa lingkungan. Sumberdaya dapat pulih berupa ekosistem hutan mangrove, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuaria. Sumberdaya tidak dapat pulih berupa mineral hydrothermal, energi kelautan, bahan tambang, serta gas biogenik kelautan (methan). Jasa-jasa lingkungan (enviromental services), pada umumnya berupa wisata bahari, wisata pulau-pulau kecil, wisata sejarah, wisata budaya, dan transportasi laut (Bengen 2006).
12 Pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses perencanaan, pemanfatatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Undang-Undang RI. No 27 Tahun 2007). Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara terpadu (comprehensive assesment) guna mencapai pembangunan kawasan pesisir dan laut yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada (Dahuri et al, 2001). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu merupakan suatu pendekatan pengelolaan yang meliputi lima dimensi keterpaduan yaitu: (1) keterpaduan ekologis, (2) keterpaduan sektor, (3) keterpaduan stakeholder, (4) keterpaduan disiplin ilmu, dan (5) keterpaduan antar negara (Cicin-Sain 1998 in Darajati et al, 2004).
Selanjutnya, Goodwin (1999) mengemukakan bahwa program
pengelolaan kawasan pesisir dapat dikatakan efektif apabila memenuhi empat syarat yaitu: (1) diwujudkan dalam bentuk kebijakan formal untuk tujuan revitalisasi waterfront yang rusak, (2) mempunyai bantuan teknis atau keuangan dalam bentuk kemitraan, (3) meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi pada masyarakat, dan (4) penambahan aksesibilitas publik terhadap air, kerusakan lingkungan, dan memelihara situs dan struktur sejarah. Dahl (1997), menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik kesuksesan program pengelolaan pesisir yaitu: (1) program pengelolaan pesisir memusatkan pada issu tertentu, (2) keterlibatan dari semua yang dipengaruhi oleh tindakan dan kebijakan program, (3) penggunaan pengetahuan yang terbaik tentang hubungan
13 timbal balik antara fungsi ekosistem dan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilainya, (4) keputusan proses pengambilan keputusan yang efesien, dan (5) implementasi program. Selanjutnya, Christie et al (2003) mengemukakan bahwa salah satu faktor penting terhadap keberlanjutan program pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu adalah dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, oleh karena dengan adanya konflik kepentingan ataupun konflik persepsi di antara konstituen atau stakeholder (nelayan, LSM, swasta, penyelenggara wisata bahari, pemerintah, ilmuwan) akan menimbulkan ketidakpuasan diantara mereka sehingga dapat menimbulkan konflik pemanfaatan diantara stakeholder yang dapat berakibat terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu. Dahl (1997) mengemukakan bahwa kunci keberhasilan dalam pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu adalah partisipasi masyarakat dan nelayan, oleh karena masyarakat dan nelayan adalah sebagai pemegang kepentingan utama dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Masyarakat dan nelayan selaku pemegang kepentingan utama memiliki variabel sosial yaitu: ketersediaan pengaturan pengelolaan sumberdaya secara formal, tingkat kepatuhan masyarakat, dan pelaksanaan pemantauan. Keseluruhan variabel sosial ekonomi masyarakat dan nelayan dapat menjadi insentif atau disinsentif masyarakat untuk bekerjasama dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat ini merupakan masyarakat nelayan yang terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, suplier faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya (Nikijuluw, 2003). Lebih lanjut dikatakan, secara operasional masyarakat pesisir adalah kelompok yang dominan bermukim di kawasan pesisir di seluruh Indonesia, di pantai, di pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun usaha dan kegiatan
14 ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek. Secara sosiologis, karakteristik sosial masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik sosial masyarakat agraris. Karakteristik masyarakat agraris, yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu komunitas dengan output yang relatif dapat diprediksi, sehingga mobilitas produksi relatif rendah dan elemen resiko pun tidak terlalu besar. Karakteristik masyarakat nelayan, yaitu kondisi sumberdaya bersifat terbuka (open acses), menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal, sehingga elemen resikonya menjadi sangat tinggi. Kondisi sumberdaya yang berisiko menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka (Satria, 2002). Smith (1979) in Yusuf (2007) mengemukakan bahwa kekuatan asset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan (reasoning) utama mengapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kemiskinan merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir. Berdasarkan jenisnya, kemiskinan terdiri atas tiga jenis utama yaitu: 1) kemiskinan struktural, 2) kemiskinan superstruktural, dan 3) kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor variabel eksternal (struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif/disinsentif, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya alam di luar individu. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro (fiskal, moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, pemerintah dalam proyek dan program pembangunan), yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel (tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan) yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu (Nikijuluw, 2003). Durkheimian (1917) in Bilhair (2003) mengemukakan pandangan sosial radikal tentang perilaku manusia sebagai suatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur sosial. Durkheimian berpendapat bahwa masyarakat bukanlah sekedar
15 jumlah total individu-individu tetapi merupakan suatu sistem yang dibentuk oleh bersatunya mereka dalam suatu realitas spesifik yang memiliki karakteristiknya sendiri. Selanjutnya, Durkheimian memandang bahwa yang mempersatukan masyarakat adalah budaya, sehingga dalam masyarakat yang stabil tidak ada konflik kepentingan (sosial, material idiologis) dari satu kelompok atas kelompok yang lain. Dinamika dan partisipasi masyarakat hanya bisa dilakukan bila nilai-nilai budaya berbagai etnik dipahami secara utuh. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat telah berkembang kondisi disintegrasi sosial budaya yang justru menimbulkan sikap anomi. Penyebabnya adalah para pengambil keputusan acap kali mengabaikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat dalam melakasanakan pembangunan nasional dan daerah. Nilai-nilai kearifan tradisi yang berkembang di masyarakat sesungguhnya dapat dijadikan sebagai energi untuk menggerakkan dinamika pembangunan (Meiyani, 2004).
2.2. Batasan dan Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Pulau Kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas daratan yang pasti, dan mempunyai penduduk 0,5 juta jiwa atau kurang (Dahuri 2001). Undangundang RI tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengemukakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau-pulau kecil berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat menyebutkan bahwa pulau-pulau kecil atau gugusan pulau-pulau kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya. Sedangkan, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.41 Tahun 2000, yang dimaksud dengan pulau-pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 m dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang (DKP, 2001).
16 Batasan yang sama juga digunakan oleh Hess (1990),
namun dengan
jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang. Namun demikian, ternyata banyak pulau yang berukuran antara 1000 – 2000 m memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1000 km2, sehingga diputuskan oleh UNESCO tahun 1991 bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2000 km2 (Bengen, 2006). Pulau-pulau kecil memiliki empat karakteristik, yaitu : (1) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terisolasi dari habitat pulau induk, sehingga besifat insular, (2) memiliki proporsi spesies endemik lebih besar daripada yang terdapat di pulau induk, (3) daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk kelaut, akibatnya pulau kecil selalu peka terhadap kekeringan dan kekurangan air, dan (4) dari segi sosial ekonomi budaya, masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas (DKP, 2001). Pengelolaan pulau-pulau kecil dimaksudkan untuk memberdayakan serta meningkatkan kemampuan kawasan dalam mengelola potensi kelautan dan perikanan secara terintegrasi dan menyeluruh, melalui kemampuan daerah, partisipasi publik, dunia usaha, serta dukungan penmerintah. Pulau-pulau kecil pada prinsipnya memiliki tiga fungsi bagi proses pembangunan, yaitu fungsi ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. Ketiga fungsi ini akan diperoleh apabila keberadaan sumberdaya kelautan tetap terjaga, meskipun dari waktu ke waktu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan (DKP, 2001). Konsep integrasi harus dipikirkan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil untuk menyesuaikan kondisi geografi dan sosial ke seluruh pulau dan perairannya sebagai suatu kawasan, sehingga pengelolaan dapat sesuai dengan perencanaan pengelolaan. Pengelolaan mungkin dapat memperlemah suatu efektifitas program, yang mana kegagalan dalam implementasi program dapat dihubungkan dengan pembatas kelembagaan di dalam pemerintahan (Butler, 2002). Berpijak pada berbagai karakteristik pulau-pulau kecil (sumberdaya alam, aspek lingkungan dan budaya yang khas) maka pengembangan pulau-pulau kecil memiliki karakter khusus, yang mana karakter khusus tersubut menjadi kendala
17 bagi pembangunan pulau-pulau kecil itu sendiri. Beberapa karakter khusus tersebut adalah: a.
Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka.
b.
Kesukaran atau ketidak mampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulaupulau kecil di dunia (Brookfield 1990; Hei 1990 in Dahuri 1998).
c.
Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu system pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan.
d.
Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat disetiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat disekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat.
e.
Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan (McElroy et al. 1990 in Dahuri 1998).
Simatupang (1998), beberapa karakteristik dapat dicermarti pada pulaupulau kecil sehingga merupakan kendala dalam pembangunannya yaitu: 1.
Ukuran kecil dan lokasinya terpencil/terisolasi.
2.
Pulau-pulau kecil banyak yang belum berpenduduk, kalaupun ada relatif terbelakang, pendidikannya rendah serta sulit mendapatkan tenaga kerja yang memadai keterampilannya.
3.
Sulit atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi yang turut menghambat pembangunan.
4.
Keterbatasan material yang tidak dimiliki pulau-pulau kecil.
5.
Budaya lokal kadang kala bertentangan dengan pembangunan.
6.
Pengembangan pulau-pulau kecil mempunyai kedudukan yang strategis dari aspek hankam.
18 Kelembagaan juga masih menjadi kendala pembangunan pulau-pulau kecil, diantaranya konplik penggunaan ruang yang belum teratasi. Di sini terlihat masih
kentalnya
pola
pendekatan
pembangunan
sektoral
yang
hanya
memperhatikan masing-masing sektor, dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain.
2.3 Pengembangan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Wisata adalah pergerakan temporer wisatawan ke ODTW di luar tempat mereka tinggal dan bekerja. Selama tinggal di ODTW tersebut, mereka melakukan kegiatan rekreasi di tempat yang terdapat fasilitas akomodasi untuk memenuhi kebutuhan mereka (Mathieson
dan Wall 1982 in Debora 2003).
Orams (1999) in Baksir (2010) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan suatu kegiatan rekreasi dari satu tempat lain dimana laut sebagai media tempat mereka. Hidayah (2000) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang ada hubungannya dengan laut seperti santai di pantai menikmati alam sekitar, berenang, berperahu, berselancar, menyelam dan dan berwisata kealam laut menikmati terumbu karang dan biota laut, obyek purbakala, kapal karam, pesawat tenggelam, serta berburu ikan-ikan laut. Pembangunan wisata bahari diarahkan untuk memanfaatkan jasa-jasa lingkungan ekosistem pesisir dan laut dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat dan menambah devisa negara. Oleh karena itu, keindahan dan kenyamanan, kekayaan dan keanekaragaman ekosistem pesisir serta keunikannya, harus dirawat dan dilestarikan. Pengembangan wisata bahari mempunyai 4 prinsip yaitu: (1) prinsip konservasi, dengan prinsip bertanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan alam serta melaksanakan usaha yang secara ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat lokal dan berkelanjutan, (2) prinsip partisipasi masyarakat, dengan prinsip berdasarkan musyawarah dengan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat setempat, (3) prinsip ekonomi, dengan prinsip bahwa pengembangan ekonomi harus mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat dan menjadi penggerak ekonomi dikawasannya serta pelaksanaan pembangunan berimbang antara pelestarian lingkungan dengan
19 kepentingan semua pihak, (4) prinsip edukatif yaitu untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, budaya dan nilai-nilai peninggalan sejarah serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi pengunjung, masyarakat dan pihak terkait (DKP, 2009). Berdasarkan batasan wisata bahari, ada lima syarat kecukupan yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisis kecukupan wisata yaitu: (1) pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan (konservasi), (2) partisipasi aktif masyarakat lokal, (3) produk wisata harus mengandung pendidikan dan pembelajaran; (4) dampak lingkungan yang rendah, dan (5) memberikan kontribusi positif terhadap ekonomi lokal (Sekartjakrarini dan Legoh 2004). Hall (2001) membagi wisata bahari atas dua jenis yaitu wisata pesisir dan wisata bahari. Wisata pesisir berhubungan dengan kegiatan pleasure dan aktifitas rekreasi yang dilakukan di kawasan pesisir dan perairan lepas pantai, meliputi rekreasi menonton ikan paus dari pinggiran pantai, berperahu, memancing, snorkling dan menyelam, sedangkan wisata bahari berhubungan dengan wisata pantai tetapi lebih mengarah pada perairan laut dalam seperti memancing di laut dalam dan berlayar dengan kapal pesiar.
2.3.1 Wisata Pesisir Wisata pesisir adalah wisata yang memanfaatkan daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat kawasan pesisir meliputi: bagian daratan, baik kering maupun terendam air, maupun yang masih dipengaruhi oleh pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin (Supriharyono, 2000). Menurut Undang-undang No.32/2004 kewenangan pengelolaan sumber daya laut adalah 4 mil diukur dari garis pantai ke arah laut untuk kabupaten kota, sedangkan untuk provinsi adalah 12 mil. Wisata pesisir adalah kegiatan wisata leisure dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di kawasan pesisir dan perairannya, yang aktivitas wisatanya terdiri atas kegiatan yang berlangsung di pantai (pemandangan, wisata pantai dan perjalanan di karang tepi), dan wisata diperairan laut (menyelam, berenang, dan memancing), sehingga kegiatan wisata pesisir sangat dipengaruhi oleh ekosistem dan lingkungan di mana kawasan tersebut banyak ditemukan pantai berpasir, terumbu
20 karang, mangrove, hingga cagar budaya (Hall, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam perkembangan wisata pesisir, diperlukan aksesibilitas ke lokasi wisata guna mengoptimalkan potensi sumberdaya wisata dan peluang pasar wisata. Wisata pesisir merupakan kegiatan wisata yang semua kegiatan wisatanya mengandalkan daya tarik alami lingkungan pesisir dan laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila kawasan hinter landnya dimanfaatkan untuk pemukiman, maka sistem pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata berkelanjutan yang memperhatikan daya dukung fisik dan sosial (Wong, 1991). Wisata pesisir merupakan salah satu bentuk usaha yang potensial untuk dikembangkan karena kegiatan/aktivitas wisatanya dilakukan di kawasan pesisir, yang memiliki sumberdaya alam hayati yang cukup tinggi serta karakteristik alamnya yang unik dengan berbagai keindahan alam yang terdiri dari berbagai jenis satwa liar, tumbuhan, bentang alam dan panorama alam, baik dari segi kuantitatif panjang pantainya, kualitas keragaman pisik dan visualnya. Selain itu, peninggalan sejarah dan budaya masyarakat juga merupakan daya tarik wisata, baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara (Bjork, 2000). Pelaksanaan wisata pesisir akan berhasil apabila memenuhi berbagai komponen yakni terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami kawasan pesisir, kepuasan pengunjung yang menikmati dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah 2006; Hamdiah 2004). Wisata pesisir menyediakan kegiatan rekreasi yang telah diminati oleh sekolompok sosial tertentu dalam masyarakat Indonesia maupun dunia, dan sudah dikenal sejak dulu. Wisata pesisir diasosiasikan dengan tiga ”S” (sun, sea, dan sand) artinya jenis wisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari, laut dan pantai berpasir bersih. Kegiatan rekreasi di kawasan pesisir antara lain scuba diving, berenang, pemancingan berselancar, berjemur, berdayung, snorkling, berlayar, boating dan ski air, berjalan-jalan atau berlari di sepanjang pantai, menikmati keindahan alam dan kedamaian suasana pesisir serta bermeditasi (Fandeli, 2000). Dalam konsep, wisata pesisir merupakan suatu aktivitas wisata dan rekreasi yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga menggugah
21 pengunjung untuk mencintai alam yang disebut back to nature. Dalam penyelenggaraannya, wisata pesisir seperti tersebut di atas tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi modern yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah. Wisata pesisir dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way of live), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya (Smith, 1979 in Rahmadani 2005). Hamdiah (2004) mengemukakan bahwa konsep wisata pesisir yaitu manusia memperoleh output langsung berupa hiburan dan pengetahuan sedangkan output langsung bagi alam yakni adanya insentif yang dikembalikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam. Output tidak langsung yaitu berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri setiap orang (wisatawan) untuk memperhatikan sikap hidup sehari-hari agar kegiatan yang dilakukan tidak berdampak buruk pada alam. Kesadaran ini tumbuh sebagai akibat dari kesan yang mendalam yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi secara langsung dengan lingkungan pantai (Gambar 3).
Alam
Output tak langsung Manusia
Input
Input
Output langsung Konservasi alam
Wisata Bahari
Output langsung hiburan, pengetahuan
Gambar 3. Skema konsep wisata pesisir (*istilah pesisir digunakan untuk menggantikan istilah “pantai“ sebagai nama tempat) (Hamdiah, 2004).
22 2.3.2 Ekowisata Istilah ecotourism diterjemahkan menjadi ekowisata, yaitu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan atau kegiatan wisata yang dilakukan yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga membuat wisatawan tergugah untuk mencintai alam dan disebut back to nature (Ziffer 1989; Young 1992; Valentine 1993; Scace 1993 in Baksir 2010). Hal tersebut mengandung arti bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Dowling (1995) mengemukakan bahwa ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan yang masih
alami
dan
memberikan
manfaat
secara
ekonomi
serta
tetap
mempertahankan keutuhan dan kelestarian budaya masyarakat setempat. Ada beberapa padanan istilah ecotourism antara lain: nature-based tourism, green travel, low impact tourism,village based tourism, sustainable tourism, cultural tourism, heritage tourism dan natural tourism. Carter dan Lowman (1994), mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang lingkungannya dilindungi dan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal. Selanjutnya Carter dan Lowman (1994) mengemukakan ada 4 gambaran perjalanan yang berlabel ekowisata, yaitu: 1. Wisata berbasis alam (nature based tourism) 2. Kawasan
konservasi
sebagai
pendukung
obyek
lingkungan
(conservation supporting system). 3. Wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism) 4. Wisata yang berkelanjutan( sustainability run tourism). Batasan yang tegas sebenarnya sudah diberikan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Indonesia No. 18 tahun 1994 tentang Pengusaha Pariwisata di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam yang memuat antara lain:
23 a.
Pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusaha obyek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut.
b.
Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam.
c.
Pengusaha pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan azas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem.
Ekowisata
merupakan
suatu
model
pengembangan
wisata
yang
menghargai kaidah-kaidah alam dengan melaksanakan program pembangunan dan pelestarian secara terpadu antara upaya konservasi sumberdaya alam dengan pengembangan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan (Fandeli, 2000). Sedangkan, Bjork ( 2000), menjelaskan ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengandalkan nilai sumberdaya alam dan budaya yang pemanfaatannya bersifat tidak konsumtif yang dapat menciptakan lapangan kerja dan pendapatan untuk peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan untuk upaya konservasi sehingga, dapat dikatakan bahwa ekowisata merupakan suatu pengalaman perjalanan alam yang dapat berkontribusi terhadap konservasi lingkungan guna menjaga dan meningkatkan integritas sumberdaya alam dan elemen sosial dan budaya. Oleh karena itu, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah atau bangunan artivisial yang berlebihan. Ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way live), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam ekowisata, wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitar tetapi juga mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan atau pengalaman (UndangUndang No.9 Tahun 1990). Pengembangan ekowisata memberikan hasil yang menjamin kelestarian alam dan lingkungan, oleh karena ekowisata merupakan upaya pelestarian alam
24 dan budaya masyarakat lokal dengan tidak melakukan ekploitasi (Dowling, 1997). Lebih lanjut dikatakan bahwa kegiatan ekowisata merupakan kegiatan wisata yang memanfaatkan jasa alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya, kebutuhan psikologis wisatawan, serta untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan. Dymond (1997) memberikan batasan ruang ekowisata yang meliputi: (1) ekowisata menginginkan pengalaman yang masih asli, (2) layak dijalani secara pribadi dan secara sosial, (3) tidak dalam bentuk perjalanan yang ketat dan ekstrim, (4) memberikan tantangan fisik dan mental, (5) terdapat interaksi antara budaya dan penduduk lokal, (6) dapat toleran terhadap ketidaknyamanan, dan (7) dapat bersikap aktif. Pengembangan ekowisata adalah merupakan suatu kegiatan pemanfaatan kawasan alami yang berazaskan pelestarian alam dan keberpihakan pada masyarakat setempat agar mereka tetap mempertahankan budaya lokal mereka, dan pengembangan wisata tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan dengan cara mengatur conservation tax untuk dapat membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan kebutuhan masyarakat lokal (Masberg dan Morales, 1999). Sedangkan, Tisdel (1996) mengemukakan bahwa apabila ekowisata digunakan sebagai jaringan pemasaran, terbukti bukan hanya dapat meningkatkn hasil penjualan paket wisata dan dapat pula meningkatkan minat konsumen, tetapi juga dapat meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam. Oleh karena itu, konsep pariwisata merupakan alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal. Ekowisata menghasilkan output langsung maupun tidak langsung baik kepada manusia maupun kepada alam. Output langsung bagi manusia berupa unsur hiburan dan penambahan pengetahuan yang langsung dirasakan oleh manusia, sedangkan output bagi alam adalah perolehan dana yang sebagian akan difungsikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam secara swadaya. Output tak langsung yaitu berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri wisatawan untuk lebih memperhatikan sikap hidup agar kegiatan yang dilakukan tidak berdampak buruk pada alam. Kesadaran ini diharapkan tumbuh akibat adanya kesan mendalam, yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi aktif secara langsung dengan lingkungan alam, disertai pemahaman-pemahaman ekologis yang dituturkan oleh
25 guide/pendamping. Manusia (wisatawan) dan alam (termasuk di dalamnya kehidupan penduduk setempat) menjadi input dari kegiatan ekowisata (Hamdiah 2004).
Output tak langsung
Alam swdaya)
Manusia
Output langsung (konservasi) Input
Ekowisata
Output langsung (hiburan, pengetahuan)
Gambar 4. Skema konsep ekowisata (Hamdiah, 2004) 2.4. Pengembangan Wisata Bahari dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Cooper (1993) mengemukakan pariwisata adalah serangkaian kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh perorangan atau keluarga atau kelompok dari tempat tinggal asalnya ke berbagai tempat lain dengan tujuan melakukan kunjungan wisata dan bukan untuk bekerja atau mencari penghasilan ditempat tujuan. Kunjungan dimaksud bersifat sementara (1 hari, 1 minggu, 1 bulan) dan pada waktunya akan kembali ke tempat tinggal semula. Terdapat dua elemen penting wisata yaitu: perjalanannya itu sendiri dan tinggal sementara di tempat tujuan dengan berbagai aktivitas wisatanya. Pariwisata adalah sebuah industri yang penting karena hampir 10% jumlah pekerja dunia ini bekerja di sektor pariwisata. Tidak kurang dari 11% GDP seluruh dunia juga berasal dari sektor pariwisata. Diperkirakan jumlah orang yang bepergian/berwisata akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2020 atau sekira 1,6 miliar orang. Itu artinya, bahwa dalam 10 tahun ke depan sektor pariwisata menjadi sangat vital dan akan menjadi tulang punggung pendapatan berbagai negara (Mulyanto, 2003). Pariwisata berkelanjutan adalah penyelenggaraan pariwisata bertanggung jawab yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa
26 mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang,
dengan
menerapkan
prinsipi-prinsip,
layak
secara
ekonomi
(economically feasible) dan lingkungan (environmentally viable). cinema secara sosial (socially acceptable) dan tepat guna secara teknologi (Depbudpar, 2007). Sedangkan, Davis dan Tisdell (1996) mengemukakan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah bentuk wisata yang dikelola dengan menggunakan pendekatan pengelolaan alam dan budaya masyarakat lokal dengan menjamin kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan beserta sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya demi menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk masa kini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisata bagi wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang. Pernbangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan dalam pengaturan sumber daya, sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetik tercapai dengan tetap menjaga integritas budaya, proses-proses dan keanekaragaman hayati. Pariwisata
berkelanjutan
harus
memperhatikan:
(1)
peningkatan
kesejahteraan masyarakat, (2) mempertahankan keadilan antar generasi dan intra generasi, (3) melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi, dan (4) menjamin integritas budaya (Kim,1999 in Debora, 2003). Pendekatan pengembangan pariwisata berkelanjutan, menghendaki ketaatan pada azas-azas perencanaan : 1. Prinsip pengembangan pariwisata yang berpijak pada aspek pelestarian yang berorientasi kedepan. 2. Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal. 3. Prinsip pengelolaan aset sumberdaya yang tidak merusak tetapi lestari. 4. Kesesuaian antara kegiatan pengembangan pariwisata dengan skala, kondisi, dan karakter kawasan yang akan dikembangkan 5. Keselarasan yang sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal yang bermuara pada apresiasi warisan budaya, lingkungan hidup, dan jati diri bangsa dan agama.
27 6. Antisisipasi dan monitoring terhadap perubahan yang terjadi akibat program pariwisata, dan berorientasi pada potensi lokal dan kemampuan masyarakat sekitar. Keberlanjutan pariwisata harus dipahami sebagai suatu transisi dan proses pembelajaran organisasi (learning organization/LO) karena pariwisata adalah suatu sistem yang kompleks dan dinamis yang tidak dapat diprediksi dengan akurasi yang memadai. Konteks LO (organisasi pembelajaran) dalam industri wisata memiliki kapasitas untuk mengantisipasi perubahan lingkungan sehingga, pengusahaan wisata harus dikelola secara adaptif yang disebut adaptive managemen (AM). Proses adaptive managemen didasarkan pada konsep pembelajaran secara terus menerus dan kolektif yang mengakui ketidakpastian dan memungkinkan untuk penyesuaian saat perencanaan dan pengelolaan strategi (Schianetz, et al, 2007). Ini berarti bahwa, dalam rangka mencapai keberlanjutan pariwisata, diperlukan pendekatan yang mempromosikan kolaborasi stakeholder dan belajar pada tingkat tujuan atau regional untuk memastikan bahwa issu-issu pembangunan berkelanjutan menjadi tanggung jawab organisasi swasta dan/atau pemerintah daerah. Selain itu, promosi kolaborasi pelaksanaan dan pemeliharaan jaringan infrastruktur juga sangat penting untuk bertukar informasi antar organisasi dan memungkinkan terjadinya lingkaran pembelajaran yang efektip, serta perlunya memasukkan teori-teori organisasi pembelajaran (LO) ditingkat daerah tujuan wisata (destinasi) untuk mencapai keberlanjutan wisata secara jangka panjang dalam menghadapi perubahan global. Tujuan pengembangan kawasan pariwisata di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil adalah untuk mengembangkan potensi kawasan melalui pengelolaan pariwisata berkelanjutan yang berdaya saing global dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibidang ekonomi dan budaya serta pembangunan daerah dalam bingkai NKRI. Penyelenggaraan wisata bahari di pesisir dan pulaupulau kecil menerapkan prinsip berkelanjutan yang memberikan keuntungan dan kontribusi pada upaya pelestarian sumber daya alam, serta sensitif terhadap budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, pengembangan wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil harus menerapkan prinsip keseimbangan, prinsip keterpaduan, prinsip konservasi, prinsip partisipasi masyrakat, dan prinsip
28 penegakan hukum. Penerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan yang merupakan konsepsi dari pembangunan kepariwisataan nasional guna memperkukuh nilai kesatuan dan persatuan Republik Indonesia yang berlandaskan agama dan budaya lokal, dengan memperhatikan dan menghormati hak-hak ulayat masyarakat di sekitarnya (Depbudpar, 2007). Nurdinsyah dan Pakpahan (1998), pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk pariwisata paling tidak mempunyai tiga alasan: 1) di garis pantai terdapat kawasan pesisir yang mengandung beragam ekosistem yang saling terkait yaitu hutan mangrove, pantai berpasir, padang lamun dan terumbu karang, 2) permintaan akan pariwisata pesisir (coastal tourism) baik dalam maupun luar negeri semakin meningkat sejalan dengan membaiknya kualitas kehidupan, dan 3) pariwisata bahari menjadi komponen dominan dalam industri pariwisata di Indonesia. Recreation opportunity spectrum (ROS) adalah suatu metode pemantauan dampak pariwisata yang mengintegrasikan dan mengkoordinasikan aktivitas rekreasi/wisata secara spatial dan temporal dengan penggunaan sumberdaya dan kegiatan-kegiatan pengelolaan recreational landscape classification system (recreational LSC). Recreational LSC adalah penilaian dampak pariwisata yang dilakukan secara numeric (skala) misalnya 1-9 terhadap kondisi biofisik, kelas kesesuaian dan manajerial yang bersifat partisipasi (Parkin et al, 2000). Visitor impact management (VIM) adalah suatu metode pemantauan dampak pariwisata yang tidak menekankan penggunaan threshold tetapi lebih kepada pemanfaatan expert panel untuk mereview dampak dan untuk mengevaluasi
efektifitas
tindakan
pengelolaan
sebelumnya,
dengan
mempertimbangkan banyak ukuran alternatif dan merekomendasikan aksi potensial, dimana peran publik sangat besar dan dapat menghindari historical trend suatu ekstraksi sumberdaya lokal (Farrell et al, 2002). Visitor experience and resource protection (VERP) merupakan metode pemantauan dampak pariwisata yang berbasis outstandingly remarkable value (ORV) yaitu metode pemantauan dampak pariwisata yang berbasis karakteristik, ilmiah dan berorientasi pemandangan, rekreatif, biologik, kultural, geologik, dan hidrologik. Aktifitas perencanaan pemantauan dampak wisata yaitu: membentuk core planning team, mengembangkan strategi untuk melibatkan masyarakat,
29 mendefinisikan desired condition, mengaplikasikan prescriptive management zoning. Sedangkan, aktifitas manajemen operasionalnya adalah: mengembangkan indikator dan standar kualitas, memantapkan program monitoring, meneruskan usaha kerjasama dengan publik, dan menentukan alternatif kegiatan pengelolaan (Bacon et al, 2006). Sedangkan TOMM (Marion dan Leung, 2001) merupakan metode pemantauan dampak pariwisata yang memfokuskan pada outcome yang optimal dan sustainable bagi wisatawan dan masyarakat lokal melalui pendekatan pengelolaan terpadu dan mengatasi pembatasan pertumbuhan ekowisata dengan cara: (1) menghindari dampak dan limit yang seringkali mendiscourage pertumbuhan, (2) lebih holistik sehingga tidak semata-mata hanya komponen ekologi dan pasar, (3) menyediakan kesempatan keterlibatan stakeholder melalui pendekatan partnership dan membumi sistemkan dalam masyarakat, (4) melayani seluruh lapisan stakeholder dan beroperasi pada range yang luas dari protected area hingga lahan milik wasata.
2.4.1 Tipologi Wisatawan Wisatawan pada intinya adalah orang yang sedang tidak bekerja, atau sedang berlibur, dan secara sukarela mengunjungi daerah lain untuk mendapatkan sesuatu yang "lain" (Smith 1977 in Sekartjakrarini dan Legoh 2004). Tipologi wisatawan dapat dikelompokan atas dua yaitu: (1) berdasarkan interaksi (interactional type) yang penekanannya pada interaksi antara wisatawan dengan masyarakat lokal, dan (2) berdasarkan kognitif-normatif (cognitive-normative models) yang lebih menekankan pada motivasi yang melatarbelakangi perjalanan. Berdasarkan interaksi, tingkat familiarisasi daerah yang akan dikunjungi, serta tingkat pengorganisasian dari perjalanan wisata (Depbudpar, 2007) maka, wisatawan diklasifikasikan atas empat yaitu: 1.
Drifter, yaitu wisatawan yang ingin mengunjungi daerah yang sama sekali belum diketahuinya, dan bepergian dalam jumlah kecil.
2.
Explorer, yaitu wisatawan yang mencari perjalanan baru, berinteraksi secara intensif dengan masyarakat lokal, bersedia menerima fasilitas seadanya, serta menghargai norma dan nilai-nilai lokal.
30 3.
Elite, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata yang belum dikenal, tetapi dengan pengaturan lebih dahulu, dan bepergian dalam jumlah yang kecil.
4.
Off-beat, yaitu wisatawan yang mencari atraksi sendiri, tidak mau ikut ke tempat-tempat yang sudah ramai dikunjungi.
5.
Unusual, yaitu wisatawan yang dalam perjalanannya sekali waktu juga mengambil aktivitas tambahan, untuk mengunjungi tempattempat yang baru, atau melakukan aktivitas yang agak berisiko. Meskipun dalam aktivitas tambahannya bersedia menerima fasilitas apa adanya, tetapi program pokoknya tetap harus mendapatkan fasilitas yang standar.
6.
Incipient mass, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan secara individual atau kelompok kecil, dan mencari daerah tujuan wisata yang mempunyai fasilitas standar tetapi masih menawarkan keaslian.
7.
Mass, yaitu wisatawan yang bepergian ke daerah tujuan wisata dengan fasilitas yang sama seperti di daerahnya. Interaksi dengan masyarakat lokal kecil, kecuali dengan mereka yang langsung berhubungan dengan usaha pariwisata.
8.
Charter, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata dengan lingkungan yang mirip dengan daerah asalnya, dan biasanya hanya untuk bersantai/bersenang-senang. Mereka bepergian dalam kelompok besar, dan meminta fasilitas yang berstandar internasional.
Tipologi wisatawan berdasarkan motivasi wisatawan (moral, nilai, norma dan sebagainya) terdiri dari (Depbudpar, 2007): 1.
Existensial, yaitu wisatawan yang meninggalkan kehidupan seharihari dan mencari `pelarian' untuk mengembangkan kebutuhan spiritual. Mereka bergabung secara intensif dengan masyarakat lokal.
2.
Experimental, yaitu wisatawan yang mencari gaya hidup yang berbeda dengan yang selama ini dilakoni, dengan cara mengikuti pola hidup masyarakat yang dikunjungi.
3.
Experiential, yaitu wisatawan yang mencari makna pada kehidupan masyarakat lokal dan menikmati keaslian kehidupan lokal/tradisional.
31 4.
Diversionary, yaitu wisatawan yang mencari pelarian dari kehidupan rutin yang membosankan. Mereka mencari fasilitas rekreasi dan memerlukan fasilitas yang berstandar internasional.
5.
Recreational, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan wisata sebagai bagian dari usaha menghibur diri atau relaksasi dan untuk memulihkan kembali semangat (fisik dan mentalnya). Mereka mencari lingkungan yang menyenangkan, umumnya tidak mementingkan keaslian.
Berdasarkan perilaku wisatawan pada suatu daerah tujuan wisata, maka wisatawan dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) sunlust adalah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah dengan tujuan utama untuk beristirahat atau relaksasi), dan (2) wanderlust adalah wisatawan yang perjalanan wisatanya didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengalaman baru, mengetahui kebudayaan baru, ataupun mengagumi keindahan alam yang belum pernah dilihat (Sekartjakrarini dan Legoh, 2004). Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan dunia sejak tahun 1950 an menunjukkan angka-angka yang fantastis. Pada tahun 1950 an jumlah wiasatawan dunia sudah mencatat angka sekitar 25 juta. Kemudian dalam tahun-tahun berikutnya angka terus bertambah dan mencapai 69 juta orang pada tahun 1960. Pada dekade tahun 1970 an, total wisatawan dunia sudah menunjukkan angka 160 juta orang atau sekitar 2,5 kali lipat, dan pada akhir dekade tahun 1980 an sudah mencapai angka 405 juta orang (1989). Dalam tahun 2000, arus lalulintas wisatawan internasional dunia mencapai lebih dari 600 juta orang (WTO, 2001). Khusus arus pergerakan lalulintas domestik dunia (world domestic tourist movement) atau wisatawan domestik, menurut catatan
World Tourism
Organization, pada tahun 1988 besaran jumlah wisatawan domestik dunia mencapai sekitar 4.133,3 juta atau kurang lebih 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan Internasional tourist arrival dalam tahun yang sama. Hasil survey (WTO, 2001), diperoleh bahwa 62,1% dari total wisatawan internasional dunia melakukan perjalanan untuk maksud berlibur dan rekreasi, selebihnya, sekitar 30% merupakan perjalanan wisatawan yang terkait dengan kegiatan bisnis (business travel) dan sisanya untuk berbagai kepentingan (WTO, 2001).
32 2.4.2 Daya Dukung Wisata Bahari Zhiyong and sheng (2009) mengemukakan bahwa daya dukung wisata adalah sejumlah maksimum orang yang dapat menggunakan suatu kawasan tanpa mengganggu lingkungan fisik dan menurunkan kualitas spiritual yang diperoleh pengunjung dan tidak merugikan dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat lokal. Daya dukung dalam prakteknya merupakan suatu konsep yang lebih luas yang dapat mencakup 3 bagian yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum pengunjung pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena kepadatan, dan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimal yang ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. McCool dan Lime (2001), daya dukung wisata merupakan suatu paradigma untuk mengatasi dan membatasi jumlah kegiatan pengembangan wisata, sehingga daya dukung adalah jumlah tertentu wisatawan melalui periode waktu tertentu untuk mempertahankan komunitas lokal dan konteks budaya dan lingkungan, dan juga merupakan kapasitas rekreasi sebagai cara merumuskan masalah dan tindakan pengelolaan yang mengakibatkan penurunan dampak. Sedangkan, Simon et al (2004) mengemukakan bahwa daya dukung adalah penggunaan maksimal sumberdaya sebelum terjadi degradasi dan tanpa menyebabkan efek negatif pada sumberdaya, tanpa menurunkan kepuasan pengunjung ataupun merugikan ekonomi masyarakat dan budaya lokal. Daya dukung wisata bahari tergolong spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain (Undang-undang No.23 tahun 1997). Daya dukung memberikan pedoman bagi penyelenggaraan wisata bahari, khususnya bagi kualitas pengembangan wisata bahari yang berwawasan lingkungan. Daya dukung sepenuhnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari struktur sosial, budaya, lingkungan, struktur ekonomi, struktur politik dan sumberdaya, faktor eksternal terdiri atas karakteristik sosial wisatawan dan tipe aktifitas wisatawan (Santosa,
33 1997 in Baksir, 2010). Selanjutnya, Saveriades (2000) mengemukakan bahwa daya dukung sosial yang berlebihan dapat menyebabkan penduduk merasa asing di daerah mereka karena mereka merasa hidupnya terhalangi oleh kehadiran wisatawan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tradisi, perilaku sosial dan standar moral, meningkatnya harga lahan, dan meningkatnya biaya hidup, yang harus diterima. Dengan demikian, pembangunan yang tidak direncanakan bisa merubah dan menghancurkan
keunikan
sumberdaya
dan
budaya serta
menghasilkan hilangnya permintaan pariwisata. Komponen dasar yang mempengaruhi daya dukung wisata bahari antara lain: (1) komponen biofisik yang berkaitan dengan SDA, (2) komponen sosial berupa dampak kegiatan wisata bahari pada tingkat tertentu, (3) komponen psikologi yang ditekankan pada jumlah maksiumum pengunjung yang dapat ditampung oleh suatu area pada waktu tertentu, dan (4) komponen manajerial yang ditekankan pada jumlah pengunjung maksimum yang masih dapat dikelola pada obyek wisata alam (Ceballos-Lascurain 1991 in Yudaswara 2004). Daya dukung bersifat tidak tetap (dinamis) karena dapat berkurang oleh perilaku manusia maupun kerusakan alam dan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan lingkungan secara benar dan terencana (Clark, 1996 in Baksir, 2010). Daya dukung kaitannya dengan kegiatan wisata mempunyai tiga elemen yang harus diperhatikan yaitu: (1) elemen ekologis yang terkait dengan lingkungan alamiah destinasi wisata, (2) sosiokulture yang terkait dengan dampak wisata terhadap populasi dan budaya masyarakat lokal, (3) fasilitas yang berkaitan dengan kebutuhan wisatawan (Wearing dan Neil, 1999 in Baksir, 2010), sehingga issu daya dukung lingkungan harus dimasukkan dalam issu-issu tataguna lahan dengan penerapan sistem zonasi. 2.4.3 Destinasi Wisata Bahari Pengembangan destinasi unggulan wisata bahari didasari pada identifikasi isu-isu strategik yang berkembang melalui analisis lingkungan eksternal dan internal yang menghasilkan beberapa pokok pemasalahan, kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang dalam kepariwisataan (Depbudpar, 2007). Ada enam prinsip penyelenggaraan wisata guna keberlanjutan destinasi, yaitu: 1) semaksimal mungkin meniadakan dampak negatif dari kehadiran
34 wisatawan terhadap lingkungan destinasi wisata, 2) melakukan perjalanan wisata dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan kesadaran terhadap alam, 3) memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal, 4) wisatawan memberikan kontribusi terhadap usaha konservasi, 5) memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal, dan 6) membuka peluang bagi masyarakat lokal dan pekerja wisata untuk memanfaatkan keindahan sumberdaya alam (Fennel dan Eagles, 1990 in Depbudpar, 2007). Dengan demikian, untuk mencapai destinasi berkelanjutan,
maka
dibutuhkan
keterlibatan
keseluruhan
pihak
terkait,
keseluruhan komponen fisik (ekosistem), sosial budaya, dan ekonomi secara terintegrasi, sehingga pariwisata dapat memainkan peranan yang berkelanjutan melalui peningkatan daya saing obyek daerah tujuan wisata (ODTW). Konsolas (2002) in Ramli (2010), untuk meningkatkan daya saing obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP), diperlukan kreativitas dan sumberdaya manusia (SDM), yaitu dengan membuat obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) baru. Obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) baru perlu dipersiapkan, walaupun obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) lama masih diminati wisman. Obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) lama perlu diperbaharui dan direhabilitasi bila obyek daerah tujuan wisata pesisir tersebut berada pada posisi pendewasaan. Obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) baru tersebut dibuat berdasarkan kreatifitas dan sumberdaya manusia (SDM) dengan tujuan untuk menghilangkan kejenuhan pada wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal terhadap obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) lama masih memiliki kualitas obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) yang baik dan memiliki ciri khas tertentu pada obyek wisata tersebut. 2.5. Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pesisir 2.5.1 Dimensi Ekologi Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan pengelolaan ekosistem pesisir karena hal ini telah diamanatkan dalam deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 di mana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian
35 antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen, 2003). Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat
membuahkan
pertumbuhan
ekonomi,
maintenance), dan penggunaan semberdaya
pemeliharaan
kapital
(capital
serta investasi secara efisien.
Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Cicin-Sain dan Knecht, 1998 in Taslim 2009 ). Pembangunan yang merupakan proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan laut itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di kawasan pesisir dan laut, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan. Untuk mencegah semakin rusaknya terumbu karang, maka diperlukan pengelolaan terumbu karang yaitu suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan terumbu karang dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Salah satu konsep pengelolaan terumbu karang adalah menetapkan kawasan konservasi laut (KKL), (Agardy 1997; Barr et al, 1997 in Taslim 2009) yang memiliki peran utama sebagai berikut: a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem. Kawasan konservasi dapat berkonstribusi untuk mempertahankan
36 keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. b. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan tempat mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat membuang jangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir. d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut. e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir; Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Selanjutnya Westmacott et al (2000) in Taslim (2009), mengemukakan bahwa kawasan konservasi laut (KKL) memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan teumbu karang dengan cara: a. Melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak yang dapat menjadi sumber larva dan sebagai alat untuk membantu pemulihan, b. Melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali. c. Memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya.
37 Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut, sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Tingkat eksploitasi atau tekanan ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Bengen dan Retraubun, 2006).
2.5.2 Dimensi Kelembagaan Dimensi kelembagaan adalah variabel sosial ekonomi yang melekat atau dimiliki nelayan dan masyarakat selaku pemegang kepentingan. Variabel tersebut adalah ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal, pemegang kepentingan utama, tingkat kepatuhan masyarakat, pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian, tokoh panutan, penyuluhan hukum lingkungan, koperasi, tradisi/budaya, dan forum konservasi. Keseluruhan variabel tersebut dapat menjadi insentif atau disinsentif masyarakat untuk bekerjasama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Variabel-variabel tersebut menentukan perilaku masyarakat secara individu atau kelompok. Asumsi yang selalu dipegang para peneliti dan manajer sumberdaya pesisir dan laut (pemerintah) adalah bahwa menurut Ostrom (1994) in Satria (2002), mengemukakan bahwa ada dua atribut kunci yang merupakan faktor pendorong masyarakat untuk bekerjasama yaitu: a. Jika masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi dalam bentuk hubungan kekerabatan, etnis, agama, kepentingan, kepercayaan, budaya, serta strategi pengembangan mata pencaharian lainnya. b. Jika ada ketergantungan masyarakat yang cukup tinggi atas sumberdaya pesisir dan laut serta kesempatan yang kurang bagi masyarakat untuk menggeluti mata pencaharian lainnya. c. Jika ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan laut tinggi, sedangkan ketersediaan sumberdaya tersebut terbatas atau tidak pasti jumlahnya, masyarakat cenderung bekerjasama atau melakukan aksi kolektif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
38 c. Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Pollinac et al (2003) menemukan bahwa peran serta semua pihak yang berkepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan berkelanjutan dan terpadu, baik secara individu maupun secara bersama-sama sangat penting sebagai faktor utama penentu keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Peran serta tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan bersedia untuk berperan serta karena mereka melihat (a) manfaat yang diharapkan akan diperolehnya (perceived benefits), (b) kemungkinan pemerataan manfaat di antara para pemangku kepentingan, dan (c) keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Oleh karena, para pemangku kepentingan berperan serta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Kondisi tersebut akan membawa para pemangku kepentingan merasa memiliki proyek tersebut sehingga, bisa dipastikan bahwa proyek yang dihasilkan dan disepakati lebih sesuai dengan keinginan anggota masyarakat. Selain itu, peran serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir tampak telah berdampak pada peningkatan pemberdayaan masyarakat. Christie et al (2003) juga mensinyalir bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan kawasan pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, dapat mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada yang disepakati. Bengen (2003), terdapat enam parameter keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir, yaitu: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal, (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, (3) didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan, (4) keterlibatan aktif stakeholder, (5) memiliki rencana dan program yang jelas, (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
39 Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh, dan (7) dukungan informasi ilmiah. Sievanen (2003) bahwa wisata bahari sebagai mekanisme pengenalan modal internasional dan kekuasaan negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumberdaya pesisir yang telah ada. Wisata bahari secara inheren memperbesar kemungkinan termaginalisasinya para pengguana sumberdaya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, diperlukan dua hal yaitu: (1) perlunya mendefinisikan secara lebih tegas komunitas yang hendak dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir karena sering dijumpai ketidakjelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir, (2) kemitraan antara sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan lingkungan hidup hendaknya mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan lautan (coastal and marine-dependent communities), karena sering justru mereka yang termaginalkan. 2.5.3. Dimensi Teknologi Aspek teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur dan di tentukan terhadap hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antar pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjasama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang, tetapi menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri dan derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu, tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna, sehingga terdapat saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi
40 dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka (Susilo, 2003). Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan. Karena itu, dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus (Susilo, 2003). Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang.
2.5.4. Dimensi Sosial Ekonomi Memahami dimensi sosial ekonomi dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang di pulau-pulau kecil adalah sangat penting. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity). Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan terumbu karang patut pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut (Adrianto, 2006). Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi (Fauzi dan Anna, 2005).
2.5.5 Multidimension Scaling Analisis
multidimensional
scaling
digunakan untuk mempresentasikan
similaritas/disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al 1987; Sickle, 1997 in Taslim, 2009) menyatakan bahwa multidimensional scaling dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Multidimensional scaling adalah metode ordinasi dengan basis jarak antar obyek atau point dalam dua dimensi
41 atau tiga dimensi. Alder et al. (2001) menyatakan bahwa teknik ordinasi dengan mengkonvigurasikan jarak antar titik dalam t-dimensi yang mengacu pada jarak Euclidean antar titik. Tujuan pendekatan multidimensional scaling yang akan digunakan disini adalah untuk melihat keberlanjutan pengembangan wisata bahari di tinjau dari dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi keberlanjutan pengembagan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar.
2.6 Kebijakan 2.6.1 Batasan Kebijakan Pemahaman dan pengertian kata kebijakan adalah sama dengan kebijaksanaan, yang berasal dari terjemahan kata policy. Jones (1999) in Thamrin (2009) menjelaskan bahwa kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsisten dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Sedangkan, Danim (2000) menyatakan bahwa kebijakan (policy) dalam penelitian kebijakan (policy research)
diartikan
sebagai
tndakan-tindakan
yang
dimaksudkan
untuk
memecahkan masalah sosial. Dunn (2000) mendefisikan analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan dari pembuat kebijakan untuk membuat keputusan. Kata analisis digunkan dalam pemgertian paling umum termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat yang mencakup pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah komponen-komponen dan perancangan serta sintesis alternatif-alternatif baru. Penelitian kebijakan (policy research) secara spesifik ditujukan uantuk membantu pembuat kebijakan (policy maker) dalam menyusun rencana kebijakan, dengan jalan memberikan pendapat atau informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehari-hari. Penelitian kebijakan pada hakikatnya merupakan penelitian yang bertujuan melahirkan rekopmendasi untuk pembuat kebijakan dalam rangka pemecahan masalah sosial (Dunn, 2000).
42 Penelitian kebijakan sebagai proses penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau analisis terhadap masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk membantu pengambilan kebijakan untuk memecahkan masalah dengan jalan menyediakan rekomendasi yang beriorentasi pada tindakan atau tingkah laku pragmatik. Oleh karena sifatnya berorientasi kepada tingkah laku pragmatik, maka perlu dihasilkan kebijakan penelitian yang memiliki aplikabilitas atau kemamputerapan dalam rangka memecahkan masalah sosial. Kekhasan penelitian kebijakan terletak pada fokusnya, yaitu berorientasi kepada tindakan untuk memecahkan masalah sosial yang unik, yang jika tidak dipecahakan akan memberikan efek negatif yang sangat luas (Danim, 2000) Analisis kebijakan dipandang dengan suatu disiplin ilmu terapan yang mengimplementasikan berbagai metode pengkajian dalam konteks argumentasi dan debat publik yang secara kritis menaksir dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (Dunn, 2000). Dunn (1988) secara umum menyatakan bahwa analisa kebijakan dapat dipahami sebagai proses untuk menghasilkan pengetahuan mengenai proses kebijakan. Tujuan analisa kebijakan adalah untuk menyediakan kepada para pengambil keputusan, informasi yang dapat digunakan uantuk menguji pertimbangan-pertimbagan yang mendasari setiap pemecahan problem-problem praktis. Istilah analisa kebijakan tidak terbatas pada pengertian kontemporer, karena analisa dapat disamakan dengan pemecahan atau pemisahan masalah kedalam elemen-elemen dasarnya atau unsur pokoknya. Kegiatan penelitian kebijakan untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap. Analisa kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teori-teori diskripsi yang umum, namun mengkombinasikan dan mentransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin, dan menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik tertentu. Proses analisis kebijakan adalah serangakaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut aturan waktu,
43 yakni: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Dunn, 2000).
Perumusan Masalah
Peramalan
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Rekomendasi
Adopsi Kebijakan
Inplementasi Kebijakan
Pemantauan
Penilaian
Penilaian Kebijakan
Gambar 5. Prosedur dan Proses Pembuatan Kebijakan (Dunn, 2000)
2.6.2
Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Kebijakan pengembangan wisata bahari dapat dilihat dari ruang lingkup
kepentingan
nasional,
seperti
dijelaskan
Undang-undang
dan
Peraturan
Pemerintah yang mengatur kebijaksanaan pengembangan wisata bahari sebagai berikut: 1.
UU No.4 tahun 1992 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup.
2.
UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
3.
Kepmen Parpostel No.KM.98/PW.102/MPPT-1987 tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata.
4.
Surat Keputusan Dirjen Pariwisata No.Kep.18/U/11/1988 tentang pelaksanaan ketentuan Obyek Wisata dan Daya Tarik wisata.
44 5.
Surat Keputusan Bersama Mentri Kehutanan dan Mentri Parpostel No.42/KPTS-11/89
dan
No.KM.1/UM.209/MPPT-1998
tentang
Peningkatan Koordinasi Dua Instansi untuk Mengembangkan Obyek Wisata Alam sebagai Obyek Daya Tarik Wisata. 6.
UU. No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistem.
7.
UU No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
8.
UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
9.
UU No. 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi Konservasi Keanekaragaman Hayati.
10. Peraturan pemerintah No. 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. 11. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di Zona Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Alam. 12. Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.
2.6.3 AWOT Analisis kebijakan untuk menentukan jenis pengembangan dan tingkat keberlanjutan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang sesuai dengan potensi sumberdaya alam dan potensi budaya khas masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menggunakan pendekatan AWOT. Metode AWOT adalah analisis SWOT (Stengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) yang diintegrasikan ke dalam AHP (Analytical Hierarchy Process) yang bertujuan meningkatkan basis informasi kuantitatif dari proses-proses perencanaan strategis (Kuartilla dan Kajanus 1996 in Yusuf 2007). Penggabungan analisis AHP dalam SWOT ini dikarenakan analisis SWOT terlalu kualitatif. Apabila dikuantifikasikan, tidak jelas berapa bobot antara masing-masing komponen SWOT. Demikian juga, bobot antar faktor dalam komponen tersebut perlu dibuat prioritasnya sehingga dalam menentukan strategi mana yang menjadi prioritas akan lebih mudah apabila menggabungkan SWOT dan pembobotannya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden.
45 Analisis SWOT adalah analisis yang mengidentifikasi berbagai faktor internal dan eksternal secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu kegiatan. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (analisis yang membandigkan faktor eksternal dengan faktor internal). Analisis AHP adalah sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya berupa persepsi masyarakat yang berkompoten di wilayah penelitian. Keputusan alternatif juga dapat dievaluasi dengan respek untuk masingmasing faktor SWOT dengan penggunaan AHP. Integrasi AHP ke dalam SWOT menghasilkan prioritas-prioritas yang ditentukan secara analitis berdasarkan faktor-faktor yang tercakup dalam SWOT dan membuat semua itu sepadan. Dalam hal ini, analisis SWOT menyediakan frame dasar yang akan menghasilkan
keputusan
situsional,
sedangkan
AHP
akan
membantu
meningkatkan analisis SWOT dalam mengelaborasikan hasil analisis sehingga keputusan strategi alternatif dapat diprioritaskan. Penentuan faktor-faktor masing-masing komponen SWOT sampai pembuatan strategi ataupun program dilakukan secara partisipatoris (Saaty, 1993). Penyusunan faktor-faktor strategi dan program dilakukan oleh seluruh stakeholder yang terlibat dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir. Setelah dilakukan penyusunan faktor-faktor strategi dan program, kamudian dilakukan analisis AHP. Dalam analisis AHP juga digunakan AHP partisipatif, yaitu respondennya adalah seluruh stakeholder yang terlibat dalam perencanaan tersebut (Saaty, 1993). Tahapan metode AWOT adalah: (1) mengidentifikasikan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pemberdayaan masyarakat pesisir dengan metode SWOT dan (2) melakukan analytic hierarchy process (AHP). Berikut diuraikan tahapan metode AWOT (Budiharsono, 2001): 1. Analisis SWOT dilakukan dengan cara mengidentifikasikan berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam penyusunan kebijakan. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman.
46 2. Setelah melakukan analisis SWOT, selanjutnya melakukan analisis analytic hierarchy process (AHP) dengan tahapan sebagai berikut: merinci permasalahan ke dalam komponen-komponennya, kemungkinan mengatur bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk hierarki. Hierarki yang paling atas diturunkan kedalam beberapa elemen set lainnya sehingga terdapat elemen-elemen yang spesifik atau elemen yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik (Saaty, 1993). Dengan AHP dapat dilakukan suatu pengambilan keputusan melalui pendekatan sistem. Pengambilan keputusan diusahakan untuk memahami suatu kondisi sietem dan membantu untuk melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Prinsip-prinsip dasar yang dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan memakai AHP adalah sebagai berikut: 1. Dekomposisi:
mendefinisikan
permasalahan/persoalan,
kemudian
melakukan dekomposisi, yaitu memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika menginginkan hasil yang akurat, maka dilakukan pemecahan
unsur-unsur tersebut
sampai tidak dapat
dipecahkan lagi, agar didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. 2. Comperative Judgement: membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu yang berkaitan dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan inti AHP, karena akan berpengaruh pada prioritas elemen-elemen. Hasil dari penelitian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. 3. Synthesis of Priority: setiap matriks pairwise comparison vector eigen (ciri) nya untuk mendapatkan prioritas lokal, karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan prioritas goal, dilakukan sintesis yang berbeda menurut bentuk hierarki. Pengaruh elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis yang dinamakan priority setting. 4. Logical Consistency: konsisten memiliki dua makna, pertama adalah obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
47 Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot 1 hingga 9. nilai bobot satu menggambarkan sama penting. Hal ini berarti bahwa atribut yang skalanya sama, nilai bobotnya satu, sedangkan nilai bobot sembilan menggambarkan bahwa atribut yang penting absolut dibandingkan dengan lainnya (Budiharsono, 2001) . Suryadi dan Ramdhani (1998), langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data dengan metode AHP antara lain: 1. Mengidentifikasi masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat sturktur yang hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatifalternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan konstribusi relarif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan didasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgement seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistenya, jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi. 6. Mengulangi langkah 3, 4 dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki. 7. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hierarki terendah sampai pencapaian tujuan 8. Memeriksa konsistensi hierarki. Jika nilainya lebih dari 10%, maka penilaian data judgement harus diperbaiki.
48
49
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Secara administratif, lokasi penelitian termasuk ke dalam kawasan Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Mei 2007 dan November 2010 dengan mengambil lokasi penelitian di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar. Kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari 11 buah pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir terdiri dari 5 kawasan pantai yang merupakan kawasan wisata di kawasan pesisir. Kawasan wisata di wilayah pesisir meliputi: Pantai Losari, Pantai Tanjung Bunga, Pantai Barombong, Pantai Paotereq, dan Pantai Untia (Gambar 6). Kawasan wisata pulau-pulau kecil meliputi: Pulau Kayangan, Pulau Samalona, Pulau Lae-Lae, Pulau Kodinggareng Lompo, Pulau Kodinggareng Keke, Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, Pulau Bonetambung, Pulau Lumu-lumu, Pulau Langkai, dan Pulau Lancukang (Gambar 7).
3.2. Jenis Data dan Informasi Jenis data dan informasi yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang meliputi data biogeofisik, data sosial, data ekonomi, data budaya, dan data kelembagaan. Jenis data dan informasi disajikan pada Lampiran 1.
3.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Data yang digunakan bersumber dari responden dan stakeholder dalam bidang wisata bahari. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan terhadap kegiatan wisata bahari yang berlangsung, kondisi sumberdaya, dan posisi sumberdaya. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait sektor wisata bahari, baik ditingkat nasional/pusat maupun propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, yang dilakukan dengan cara wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara berstruktur (struktured interview), diskusi,
50 pengisian
kuesioner,
pengamatan
berstruktur
(structured
observation),
pengamatan terlibat (participant observation). Data sekunder meliputi data statistik, hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, laporan dan publikasi lainnya.
3.3.1 Tutupan Karang Pengumpulan data tutupan karang dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercept Trancec (LIT) mengikuti (English et al, 1997 in Yusuf, 2007) dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek adalah 50 m yang diukur pada kedalaman 3 m dan 10 m. Teknis pelaksanaannya di lapangan yaitu seorang penyelam meletakkan meteran sepanjang 50 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai terletak di sebelah kiri penyelam. Pencatatan tutupan karang dilakukan tepat di garis meteran dengan ketelitian centimeter. Pengamatan biota pengisi dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (life form) dengan kode-kode tertentu (English et al, 1994 in Yusuf, 2007). Pengukuran data tutupan karang dilakukan diseluruh lokasi penelitian.
3.3.2 Ikan Karang Pengambilan data ikan karang menggunakan metode underwater visual census (UVC) pada transek terumbu karang yang sama. Pencatatan ikan karang dilakukan dengan mencacat seluruh species dan jumlah ikan karang yang dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek yang digunakan pada pengamatan karang sepanjang 50 m, sehingga luas keseluruhan bidang pengamatan per transek adalah (5 x 50) = 250 m.
3.3.3 Parameter Kualitas Perairan Pengambilan data parameter kualitas perairan dilakukan secara langsung di lokasi penelitian. Data parameter kualitas perairan yang diukur adalah suhu dengan menggunakan thermometer, salinitas menggunakan refraktometer, kecepatan arus menggunakan floating droadge, serta kecerahan perairan diukur dengan menggunakan secchi disk.
51 3.3.4 Data Sosial, Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan Pengambilan data sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung dilapangan dan wawancara langsung dengan stakeholder dengan menggunakan metode PCRA (partisipatory coastal rural apraisal). Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan. a) Wawancara (interview). Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh informasi lebih lanjut dari masyarakat sekitar dan lembaga-lembaga yang terkait dengan pengembangan dan pengambilan kebijakan serta dengan wisatawan domestik maupun mancanegara di kawasan penelitian dengan menggunakan alat bantu
daftar pertanyaan
(kuisioner). b) Pengamatan (observation). Kegiatan ini meliputi pengumpulan data primer dengan cara mengamati aktivitas masyarakat setempat dan wisatawan yang berkaitan dengan kegiatan wisata bahari untuk mengetahui tingkat kepedulian dan kelestarian sumberdaya dalam melakukan aktivitas wisata bahari di kawasan penelitian.
3.3.5 Tehnik Penentuan Responden Tehnik penentuan responden dalam rangka menggali data yang dibutuhkan ditentukan dengan tehnik memilih secara sengaja (purposive sampling). Purposive sampling artinya responden yang dipilih sesuai dengan kebutuhan data penelitian yang
memiliki keahlian khusus (pakar) dan
responden yang merupakan tokoh kunci (key person) yang dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan yang terkait dengan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Adapun responden yang sengaja dipilih dalam penelitian ini adalah : 1. Sekretaris Badan Riset Kelautan dan Perikanan RI. 2. Sekretaris Daerah Kota Makassar. 3. Ketua Bappeda Kota Makassar. 4. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar. 5. Kepala Dinas Pariwisata Kota Makassar.
52 6. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar. 7. Kepala Dinas Bapedalda Kota Makassar. 8. Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Makassar. 9. WALHI Kota Makassar. 10. LSM terkait Kota Makassar. 11. Wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara. 12. Kepala kecamatan di kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar. 13. Penduduk pulau-pulau kecil Kota Makassar. 14. Pimpinan tour & travel di Kota Makassar. 15. Pimpinan hotel dan penginapan di Kota Makassar. 16. Pengembang kawasan wisata di pulau-pulau kecil Kota Makassar Penentuan jumlah responden didasarkan pada keterwakilan instansi, stakeholder dan lokasi. Total responden yang terpilih merupakan representasi dari stakeholder pariwisata untuk pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, sehingga responden yang terpilih sudah merepresentasikan dari masing-masing stakeholder.
3.4 Analisis Data Analisis data potensi wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dilakukan melalui penerapan kriteria kelayakan bagi peruntukan wisata bahari untuk membantu mengidentifikasi dan memilih potensi wisata bahari secara obyektif yang didasarkan pada aspek ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi. Kriteria kelayakan tersebut merupakan faktor pembatas yang diukur untuk menentukan kelas kesesuaian wisata bahari. Analisis data meliputi: (1) analisis potensi sumberdaya alam yang terdiri dari persentase tutupan karang hidup, kelimpahan ikan karang, dan parameter kualitas perairan, (2) analisis kesesuaian dan daya dukung wisata bahari, (3) analisis keberlanjutan pengembangan wisata bahari, dan (3) analisis kebijakan pengembangan wisata bahari.
53 11 9 °2 2 '3 0 "
11 9 °2 5 '0 0 "
11 9 °2 7 '3 0 "
# K e c. Y B ir in g ka n a ya 6 . P a n t a i U n t ia
5°5'00"
5°5'00"
# Y K e c. T a m a la n r e a
Î .T all
o
# Y
K e c. U ju n g t a n a h
S
5°7'30"
5°7'30"
# Y K e c. T a llo 1 . P a n t a i L o s a ri
# K e c. W a jo Y
Î
# K e c. B o n to a l a Y
4
# Y
1
P a n t a i d i K a w a s a n T a n ju n g B u n g a : 2 . A k a re n a
K e c. U ju n g p a n d a n g # Y # Y
3 . Ta n jun g B un ga
K e c. P a n a kk u ka n g
K e c. M a k a ss a r
4 . Ta n jun g B a y a m
# Y K e c. M a n g g a la
2
5°10'00"
5°10'00"
# K e c. M a r is o Y # Y K e c. R a p p o c in i # K e c. M a m a ja n g Y
3
# Y 5 . P a n ta i B a r om b o ng
4
K e c. T a m a la t e
S. Jen ebera ng
Kab. G ow a
5°12'30"
5°12'30"
5
5 . P a n ta i B a r om b o ng
11 9 °2 2 '3 0 "
Peta Lok asi P enel iti an Wil ayah P esi sir Kota Mak assa r N W
E
11 9 °2 5 '0 0 "
Î
Pelabuhan Batas Kabupaten Batas Kec amatan Sungai Perairan D angk al Kaw asan Pelabuhan
S
11 9 °2 7 '3 0 "
R osm awati Anw ar N R P. C261040091
Keterangan : Peta Ind eks : Soppeng Bar ru Bone
Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana Ins titut Pertanian Bogor
Pangk ajene
Maros Maka ssa r Sinjai Gowa Bulukumba
Ta kalar Bantae ng
1
0
1 Km
Jeneponto
Su m be r Pe ta : 1. Pe ta R BI B akosu rtan al Skal a 1:5 0.00 0 2. C itra L an dsat 20 05 3. Su rvei L ap an gan
Gambar 6. Peta lokasi penelitian di wilayah pesisir Kota Makassar
54
54
Gambar 7. Peta lokasi penelitian di pulau-pulau Kecil Kota Makassar
55 3.4.1 Analisis Potensi Sumberdaya Alam 1). Persentase Tutupan Karang Persentase tutupan karang adalah persentase tutupan jenis karang hidup pada suatu area tertentu. Semakin tinggi persentase tutupan karang hidup, maka kondisi terumbu karang semakin baik. Persentase tutupan karang dihitung berdasarkan persamaan (Yulianda, 2007): N = Keterangan:
N Ii L
Ii L
x 100 %
= Persentase tutupan karang = Panjang transek yang melalui life form ke-i = Panjang transek garis
Data kondisi tutupan karang hidup yang dipeoleh dari persamaan diatas kemudiakan dikategorikan berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang menurut Kepmen LH No.04 Tahun 2004, yaitu : 0 – 24,9%
= Rusak
25 – 49,9%
= Sedang
50 – 74,9%
= Baik
75 – 100%
= Sangat Baik
2). Kerapatan Vegetasi Mangrove Kerapatan vegetasi mangrove dihitung dengan rumus Bengen (2002): Di = ni / A Keterangan: - Di = Kerapatan species (individu/m2) -
ni = Jumlah total individu dari species i (individu)
- A = Luas areal total pengambilan contoh (m2)
3.4.2. Analisis Kesesuaian Wisata Bahari Kegiatan wisata bahari yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya, oleh karena setiap kegiatan wisata bahari mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai atau yang cocok dengan obyek wisata bahari yang akan dikembangkan.
56 Analisis kesesuaian wisata bahari dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah analisis yang menggambarkan tingkat kecocokan dan kemampuan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung pemanfaatan wisata bahari. Tingkat kesesuaian wisata bahari dinyatakan dalam indeks kesesuaian wisata. Indeks kesesuaian wisata bahari diformulasikan (Yulianda, 2007) sebagai berikut:
IKW = [ ∑
Ni ] x 100 % N m aks
Keterangan : IKW = Indeks kesesuaian wisata Ni = Nilai parameter ke-i (bobot x skor) Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata Analisis kesesuaian wisata bahari dilakukan dalam tiga tahapan yaitu: 1) penyusunan matriks kesesuaian, 2) pembobotan setiap faktor pembatas/parameter, dan 3) pengharkatan (pemberian nilai) parameter/kriteria suatu peruntukan. Penyusunan matriks kesesuaian wisata bahari meliputi wisata pantai, wisata mangrove, wisata snorkling, dan wisata diving yang dilakukan berdasarkan kondisi fisik sumberdaya alam di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Selanjutnya, dilakukan pembobotan pada setiap parameter berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap peruntukan kegiatan wisata bahari, kemudian diberikan nilai. Pemberian nilai (pengharkatan) bertujuan untuk menilai parameter terhadap suatu evaluasi kesesuaian wisata bahari. Hasil perkalian antara bobot dan nilai/harkat masing-masing parameter merupakan skor dari parameter tertentu dalam suatu peruntukan kegiatan wisata bahari. Jumlah seluruh skor dari setiap parameter disebut total skor suatu peruntukan kegiatan wisata bahari. Total skor tersebut diatas, dipakai untuk menentukan kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan mempunyai interval/rentang kelas yang tergantung dari jumlah kelas kesesuaian, total skor maksimum, dan total skor minimum untuk suatu kegiatan wisata bahari. Interval kelas berfungsi untuk menentukan klasifikasi kelas kesesuaian dari total skor peruntukan wisata bahari. Interval kelas kesesuaian wisata bahari ditentukan berdasarkan formulasi (Yulianda, 2007) sebagai berikut:
57 RKβ =
TotalSkorMax TotalSkorMin JumlahKelas
Keterangan: RKβ = Rentang/interval kelas dalam kegiatan wisata bahari β Total skor max β = Total skor tertinggi dalam kegiatan wisata bahari β Total skor min β = Total skor terendah dalam kegiatan wisata bahari β Jumlah kelas β = Banyaknya kelas kesesuaian dalam wisata bahari β Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi ke dalam tiga kelas kesesuaian yang didefinisikan sebagai berikut: Kelas S1 = Sangat sesuai (highly suitable). Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan/tingkatan perlakuan yang diberikan. Kelas S2 = Sesuai (moderately suitable). Daerah ini mempunyai pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan tingkatan perlakuan yang diperlukan. Kelas N = Tidak Sesuai (not suitable). Daerah ini mempunyai pembataspembatas, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.
1).
Wisata Pantai dan Wisata Mangrove Wisata pantai dibagi dalam dua kategori wisata yaitu kategori rekreasi dan
kategori wisata mangrove dengan mengacu dari Yulianda (2007). Kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi dengan mempertimbangkan 10 parameter dengan tiga klassifikasi penilaian (Tabel 1). Kesesuaian wisata pantai kategori wisata mangrove mempertimbangkan lima parameter dengan tiga klasifikasi penilaian disajikan pada Tabel 2.
58 Tabel 1. Matriks kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi No.
Parameter
Bobot
1.
Kedalaman Perairan (m)
5
2.
Lebar Pantai (m)
5
3.
Tipe Pantai
5
4.
Material dasar perairan
3
5.
Kecepatan arus (m/detik)
3
6.
Kemiringan pantai (())
3
7.
Kecerahan perairan (%)
1
8.
Penutupan lahan pantai
1
9.
Biota berbahaya
1
10.
Ketersediaan air tawar
1
Kategori
Skor
0-3 >3-6 >6 – 10 >10 >15 10-15 3-<10 <3 Pasir Putih Pasir putih sedikit karang Pasir hitam, berkarang, sedikit terjal Lumpur, berbatu, terjal Pasir Karang berpasir Pasir berlumpur Lumpur 0-0,17 0,17-0,34 0,34-0,51 >0,51 <10 10-25 >25-45 >45 >75 >50-75 20-50 <20 Kelapa, lahan terbuka Semak belukar, rendah, savanna Belukar tinggi Hutan bakau, pemukinan, pelabuhan Tidak ada Bulu babi Bulu babi, ikan pari Bulu babi, ikn pari, lepu, hiu <0,5 (km) >0,5-1 (km) >1-2 >2
3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1
Sumber: Yulianda (2007).
Keterangan: Nilai maksimum = 84 S1 = Sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 % S2 = Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 % TS= Tidak sesuai, dengan IKW < 50 %
0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0
59 Tabel 2. Matriks kesesuaian wisata pantai kategori wisata mangrove No.
Parameter
Bobot
1.
Ketebalan mangrove (m)
5
2.
Kerapatan mangrove (100m2)
3
3.
Jenis mangrove
3
4.
Pasang surut (m)
1
5.
Obyek biota
1
Kategori
Skor
>500 >200-500 50-200 <50 >15-25 >10-15; >25 10-15 <5 >5 3-5 2-1 0 0-1 >1-2 >2-5 >5 Ikan, udang, kepiting, moluska, reptile, burung Ikan, udang, kepiting, moluska Ikan, moluska Salah satu biota air
3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3
2
1 0
Sumber: Yulianda (2007).
Keterangan: Nilai maksimum = 39 S1 = Sangat bersyarat, dengan IKW 83 – 100 % S2 = Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 % TS= Tidak bersyarat , dengan IKW <50% 2). Wisata Bahari Wisata bahari dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua kategori wisata yaitu: wisata selam, dan wisata snorkling. Kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam mempertimbangkan tujuh parameter dengan tiga klassifikasi penilaian (Tabel 3). Sedangkan, kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkling mempertimbangkan enam parameter dengan tiga klasifikasi penilaian (Tabel 4). Parameter yang digunakan untuk wisata selam yaitu kecerahan perairan,
60 tutupan komunitas karang, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang, dan jenis life form. Adapun parameter yang digunakan untuk mempertimbangkn kesesuaian wisata snorkling yaitu: kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang, dan jenis life form. Tabel 3. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam. No.
Parameter
Bobot
1.
Kecerahan Perairan (%)
5
2.
Tutupan komunitas karang (%)
5
3.
Jenis life form
3
4.
Jenis ikan karang
3
5.
Kecepatan arus (cm/detik)
1
6.
Kedalaman terumbu karang (m)
1
Kategori >80 50-80 20- <50 <20 >75 >50-75 25-50 <25 >12 <7-12 7-4 <4 >100 50-100 20-<50 <20 0-15 >15-30 >30-50 >50 6-15 >15-20 >20-30 >30
Sumber: Yulianda (2007).
Keterangan : Nilai maksimum = 54 S1 = Sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 % S2 = Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 % TS =-Tidak sesuai < 50 %
Skor 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0
61 Tabel 4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkling No.
Parameter
Bobot
1.
Kecerahan perairan (%)
5
2.
Tutupan komunitas karang (%)
5
3.
Jenis life form
3
4.
Jenis ikan karang
3
5.
Kecepatan arus (cm/detik)
1
6.
Kedalaman terumbu karang (m)
1
7.
Lebar hamparan datar karang (m)
1
Kategori 100 80- <100 20-<80 <20 >75 >50-75 25-50 <25 >12 <7-12 7-4 <4 >50 30-50 10-<30 <10 0-15 >15-30 >30-50 >50 1-3 >3-6 >6-10 >10;<1 >500 >100-500 20-100 <20
Skor 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0
Sumber: Yulianda (2007)
Keterangan: Nilai maksimum = 57 S1 = Sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 % S2 = Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 % TS = Tidak sesuai, dengan IKW < 50 %
3.4.3. Analisis Daya Dukung Wisata Bahari Konsep daya dukung wisata bahari mempertimbangkan kemampuan alam untuk mentolerir gangguan/tekanan dari manusia, dan mempertimbangkan standar keaslian sumberdaya alam (Yulianda, 2007). Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung kawasan dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar yaitu menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung oleh kawasan yang telah
62 disediakan dalam waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan/kerusakan pada sumberdaya alam dan manusia (Yulianda, 2007). Daya dukung kawasan dihitung berdasarkan rumus: DDK = K x
Lp Wt x Wp Lt
Keterangan : DDK K Lp Lt Wt Wp
= = = = =
Daya dukung kawasan Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Unit area untuk kategori tertentu Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari = Waktu yang dihabiskan pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu.
Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan (Tabel 5). Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga. Tabel 5. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt). Jenis Kegiatan Selam Snorkling
K (∑ Pengunjung) 2
Unit Area (Lt) 2000 m2 2
Keterangan
Setiap 2 orang, 200 m x 10 m
1
500 m
Setiap 1 orang 100 m x 5 m
Wisata 1 Mangrove Rekreasi 1 Pantai Sumber: Yulianda (2007)
50 m2
Di hitung panjang track, setiap 1 orang sepanjang 50 m 1 orang, 50 m panjang pantai
50 m2
Keterangan: K = Jumlah pengunjung Lt = Unit area untuk kategori wisata bahari tertentu Daya dukung kawasan disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya dan peruntukannya. Setiap pengunjung (wisatawan) memerlukan ruang gerak yang cukup luas dalam melakukan kegiatan wisata bahari. Kebutuhan manusia akan ruang diasumsikan dengan keperluan ruang horizontal untuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa terganggu oleh keberadaan pengunjung (wisatawan) lainnya,
63 sehingga memerlukan adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk melakukan setiap kegiatan wisata bahari tersebut. Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata bahari. Kegiatan wisata dirinci lagi berdasarkan kegiatan yang dilakukan. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt). Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari, dan rata-rata waktu kerja sekitar 8 jam (jam 8 – 16). Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata No.
Kegiatan
Waktu yang dibutuhkan Wp(jam)
Total waktu 1 hari Wt-(jam)
1. 2. 3. 4.
Selam Snorkling Rekreasi pantai Wisata mangrove
2 3 3 2
8 6 6 8
Sumber: Yulianda (2007)
Keterangan: Wp = Waktu yang dihabiskan pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu. Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari.
3.4.4 Analisis Penyusunan Rencana Pengembangan Wisata Bahari Penyusunan rencana pengembangan wisata bahari dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem informasi geografis (GIS) dengan metode tumpang susun (overlay). Masing-masing kondisi existing kawasan studi dioverlay dengan hasil analisis kesesuaian. Dari hasil analisis GIS dengan metode tumpang susun antara kondisi existing dengan hasil analisis kesesuaian, akan didapatkan
lokasi
dan
luasan
masing-masing
kawasan
pengembangan.
Selanjutnya dilakukan analisis daya dukung kawasan untuk mengetahui kapasitas jumlah wisatawan yang dapat ditampung dalam suatu kawasan pengembangan yang diarahkan, agar memberikan rasa nyaman dan aman selama melakukan kunjungan serta tingkat degradasi lingkungan dapat dimiimalisir. Akhirnya tercipta pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan.
64 3.4.5 Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil multidimensional
scaling
Kota Makassar dilakukan dengan pendekatan (MDS)
yang
disebut
RAPSAECO.
Metode
RAPSAECO merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot 2001 in Thamrin 2009). Analisis keberlanjutan ini dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Wisata Bahari (IKBW). Analisis keberlanjutan dilakukan melalui tiga tahapan yaitu: 1). Penentuan atribut. Penentuan atribut pengembangan wisata bahari terdiri dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, infrastruktur/teknologi dan dimensi kelembagaan. Setiap atribut yang terpilih mencerminkan keterwakilan dari dimensi yang bersangkutan. Atribut yang terpilih digunakan sebagai indikator keberlanjutan dari dimensi tersebut. 2). Pemberian skor pada setiap atribut. Setiap atribut diberikan skor dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi dan berdasarkan scientific judgement dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0 - 3 yang diartikan nilai buruk (0) sampai nilai baik (3). Nilai baik mencerminkan pengembangan wisata bahari dalam kondisi menguntungkan, sehingga kondisi tersebut Sebaliknya,
nilai
buruk
mencerminkan
harus dipertahankan. kondisi
yang
tidak
menguntungkan dalam pengembangan wisata bahari, sehingga harus ditingkatkan. 3). Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan wisata bahari. Penyusunan indeks dan status keberlanjutan dilakukan dengan menganalisis nilai skor dari masing-masing atribut secara multidimensi untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan. Posisi keberlanjutan pengembangan wisata bahari, dikaji terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi disajikan pada Tabel 7.
65 Tabel 7. Nilai indeks keberlanjutan wisata bahari berdasarkan analisis RAPSAECO Nilai Indeks
Kategori
0 – 24,99 25 – 49,99 50 – 74,99 75 - 100
Buruk Kurang Cukup Baik
Sumber: Thamrin (2008), Susilo (2003). Melalui metode MDS, posisi titik keberlanjutan divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan vertikal. Adanya proses rotasi mengakibatkan posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan yang diberi nilai skor 0 % (buruk) dan 100 % (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan ≥50 %, maka sistem dikatakan berkelanjutan dan apabila nilai indeks keberlanjutan mempunyai nilai kurang dari ≤50 %, maka sistem dikatakan tidak berkelanjutan. Illustrasi penentuan indeks keberlanjutan wisata bahari disajikan pada Gambar 8.
0% (buruk)
50%
100% (baik)
Gambar 8. Illustrasi penentuan indeks keberlanjutan wisata bahari Hershman, at al (1999) mengasumsikan bahwa tingkat keberlanjutan pengelolaan wisata bahari merupakan nilai eksisting dan nilai ideal. Nilai eksisting digunakan sebagai input analisis dan nilai ideal adalah nilai yang diharapkan dari pengelolaan kawasan wisata. Nilai eksisting dan nilai ideal pada setiap atribut diperoleh dari hasil analisis yang bertahap dan sistematik. Hasil yang diperoleh merupakan besaran tingkat pencapaian saat ini. Atribut-atribut tersebut selanjutnya dievaluasi kesesuaiannya dengan tujuan awal pengelolaan. Jika nilai-nilai atribut eksisting cenderung mengarah pada tujuan awal pengelolaan, maka hasil akhir dari analisis akan mengarah pada keefektifan pengelolaan wisata bahari. Sebalinya, jika nilai atribut yang dicapai saat ini menyimpang dari tujuan awal, maka kemungkinan pengelolaan wisata bahari tidak efektif, sehingga perlu ditinjau kembali seluruh dimensi dan atributnya. Dimensi yang tidak memperlihatkan ketidakefektifan diketahui melalui indeks
66 keefektifan pengelolaan yang diperoleh. Indeks yang dihasilkan dari hasil analisis ini dapat diinterpretasikan sebagai tingkat keberlanjutan pengelolaan wisata bahari yang dicapai sesuai dengan perencanaan dan tujuan awal pengelolaan serta selalu mengalami pengembangan. 3.4.6 Analisis Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Analisis kebijakan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan pendekatan AWOT yang merupakan gabungan dari analisis SWOT dan AHP dengan menggunakan software expert choice 2000 dan Citerium Decision Making Plus versi 3.0. Analisis SWOT dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi kebijakan dengan memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) yang ada atau yang mungkin ada dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar (Rangkuti, 2000). Penentuan strategi yang terbaik, dilakukan dengan cara pembobotan antara 0 – 1,0 dengan memberikan rating untuk masing-masing unsur SWOT dengan skala 1 sampai 4. Nilai 0 berarti tidak penting, dan nilai 1,0 berarti sangat penting. Selanjutnya bobot dan rating dikalikan untuk mendapatkan skor. Selanjutnya unsur-unsur SWOT dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matriks guna memperoleh beberapa alternatif strategi kebijakan pengembangan wisata bahari. Analisis
AHP
digunakan
untuk
menentukan
prioritas
kebijakan
pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar yang paling menguntungkan. Tujuan analisis adalah untuk membantu para pengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang terbaik. Penentuan prioritas kebijakan dilakukan dengan menyusun komponen-komponen masalah ke dalam sebuah hierarki, lalu diberikan nilai dalam bentuk angka kepada setiap bagian yang menunjukkan penilaian terhadap pentingnya setiap bagian tersebut. Penilaian tingkat kepentingan setiap kebijakan disintesiskan melalui penggunaan eigen vector guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi (Budiharsono, 2001).
67
4. PROFIL KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR 4.1 Letak Geografis Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar terletak di sebelah selatan Pulau Sulawesi dan secara geografis terletak antara 1190 241’ 7380 LS dan 50 88’ 190 BT dengan ketinggian bervariasi antara 0 – 25 m dari permukaan laut dan suhu antara 20 – 320 C. Secara administrasi, Kota Makassar merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi-Selatan dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut: Sebelah utara
: Kabupaten Pangkep
Sebelah timur
: Kabupaten Maros
Sebelah selatan
: Selat Makassar
Sebelah barat
: Kabupaten Gowa
Kota Makassar terdiri dari 14 kecamatan dan 142 kelurahan/desa. Diantara 14 kecamatan, tiga kecamatan memiliki kawasan pesisir dan laut, yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Ujung Tanah, dan Kecamatan Tallo. Dua kecamatan memiliki kawasan pulau-pulau kecil, yaitu Kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Ujung Pandang dengan total jumlah pulau-pulau kecil adalah 11 pulau (BPS Kota Makassar, 2009). 4.1.1 Pesisir Kota Makassar Kawasan pantai Kota Makassar secara geografis, memanjang dengan posisi utara-selatan sepanjang 6 (enam) km. Di sepanjang pantai dijumpai pendangkalan delta dan lidah pasir yang terbentuk akibat proses sedimentasi dari Sungai Jeneberang. Delta tersebut berada di antara dua saluran sungai yang bermuara di laut, sedangkan lidah pasirnya berkembang ke arah utara sampai ke Pantai Losari. Di kawasan pesisir Pantai Kota Makassar berlangsung proses erosi yang tidak konstan. Hal ini terlihat dari terbentuknya garis pantai yang berkelokkelok. Di bagian barat pantai terdapat pulau-pulau karang yang mengindikasikan bahwa Pantai Makassar merupakan pantai primer. Dasar perairan pantai didominasi oleh pasir halus. Bentuk lahan pesisir Kota Makassar cukup unik dengan bentuk menyudut di bagian utara, sehingga mencapai dua sisi pantai yang saling tegak lurus di
68 bagian utara dan barat. Di sebelah utara kawasan pelabuhan hingga Sungai Tallo telah berkembang kawasan campuran termasuk armada angkutan laut, perdagangan, pelabuhan rakyat dan samudera, sebagian rawa-rawa, tambak dengan perumahan kumuh hingga sedang. Kawasan pesisir dari arah tengah ke selatan berkembang menjadi pusat kota dengan beragam fasilitas perdagangan, jasa pelayanan, dan kawasan rekreasi. Di bagian selatan telah berkembang kawasan sub pusat kota dengan fasilitas perdagangan, pendidikan, pemukiman, fasilitas rekreasi dan resort yang menempati pesisir pantai membelakangi laut yang menggunakan lahan hasil reklamasi pantai. Pantai Losari merupakan pantai bersubstrat pasir dan lempung berpasir (Ramlan, 2000) dan umumnya sudah mengalami pengerasan dengan tembok pematang pantai. Sebelah utara pantai merupakan kompleks perhotelan dan dermaga penyeberangan ke pulau-pulau kecil Kota Makassar. Sedangkan, Pantai Akkarena, Tanjung Bayam, Tanjung Merdeka, dan Pantai Anging Mammiri merupakan pantai berpasir halus dengan lebar pantai sekitar 10-30 m dengan kelandaian 3% dan relatif stabil sekalipun maju ke arah laut akibat sedimentasi pasir halus dari Sungai Jeneberang maupun dari arah Selatan. Pantai Paotere memiliki luas 0,50 km2 dengan ketinggian dari permukaan laut <500 m. Pantai Paotereq sebagian besar telah mengalami pengerasan dengan tembok yang berfungsi sebagai pelindung pantai, karena perairan pantainya dimanfaatkan untuk pelabuhan (Pelabuhan Rakyat Paotere), pangkalan pendaratan ikan (TPI Paotere), docking kapal TNI AL, Pelabuhan Pertamina Instalasi Makassar dan Bogasari. Adapun Pantai Untia terletak di Kecamatan Biringkanaya dan secara geografis terletak pada bagian selatan Kota Makassar dengan luas 2,89 km2. Pesisir Pantai Untia sebagian besar merupakan pantai berlumpur dan bervegetasi mangrove serta merupakan pantai yang landai dan relatif stabil dan tenang, namun cenderung maju ke arah laut akibat sedimentasi dari Sungai Mandai, hanya sebagian kecil pantai ini tergolong cadas. 4.1.2 Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar Kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar yang dikenal dengan nama Kepulauan Spermonde Kota Makasasar, secara administratif masuk dalam dua kecamatan yaitu Kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Ujung Pandang dan
69 terdiri dari empat kelurahan yaitu Kelurahan Lae-lae, Kelurahan Barang Lompo, Kelurahan
Barrang Caddi
dan Kelurahan
Kodinggareng dengan pusat
pemerintahan berkedudukan di Kota Makassar. Kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar terdapat
11 pulau-pulau kecil, 2 gusung, dan 26 Taka yang masuk
dalam kawasan laut Kota Makassar. Pulau-pulau kecil Kota Makassar merupakan gugusan pulau karang yang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Spermonde yang terletak di perairan Selat Makassar sebelah barat daya semenanjung kaki Pulau Sulawesi. Secara geografis, pulau-pulau kecil Kota Makassar terletak pada 11904’45,3”129024’04,9” Bujur Timur dan 4057’48,6”- 05008’54’ Lintang Selatan. Pulau terjauh adalah Pulau Layukkang yang berjarak 40,17 km dari Kota Makassar (dermaga Kayu Bangkoa), sedangkan pulau terdekat adalah Pulau Lae-lae yang berjarak 1,2 km dari Kota Makassar (Tabel 8). Tabel 8. Luas, panjang garis pantai dan jarak masing-masing pulau di Kota Makassar Nama Pulau
Luas (ha)
Lae-lae
11,6
Panjang Garis Pantai (km) 2,4
Kayangan
1,5
0,5
2,8
Samalona
2,3
0,7
6,8
Barrang Caddi
4,7
1,0
11,5
Barrang Lompo
19,2
1,9
12,77
Kodingareng Keke
1,5
0,5
13,48
Kodingareng Lompo
14
2,0
15,05
Bonetambung
5
0,7
17,87
Lumu-lumu
3,75
0,7
27,54
Langkai
26,6
2,2
35,8
Lanyukkang
6,3
1,8
40,17
Jumlah
96,45
Sumber: DKP Kota Makassar (2009)
Jarak (km) 1,2
14,4
Letak Georafis (Bujur/Lintang) BT 119o23’30’’ dan LS 5o08’24’’ BT 129o24’04,9” dan LS 5o6’49,5” BT 119o20’36,2’’dan LS 05o07’30,4’’ BT 119o19’16,34” dan LS 5o4’49,6” BT 119o19’48’’ dan LS 05o02’48’’ BT 119o16’00’’ dan LS 05o08’54’’ BT 119o15’53,6” dan LS 5o8’48,7” BT 119o19’48’’ dan LS 05o02’48’’ BT 119o12’34,92” dan LS 4o57’48,6 BT 119o5’46,8” dan LS 5o1’52,1” BT 119o4’45,3” dan LS 4o58’40,8”
70 4.2 Kondisi Biofisik Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar 4.2.1 Pesisir Kota Makassar Kedalaman perairan pantai Kota Makassar di sekitar dermaga SoekarnoHatta menunjukkan kedalaman yang bervariasi antara 9 – 17 m yang secara umum di bagian utara cenderung menjadi lebih dalam, dengan garis kontur sejajar garis dermaga. Daerah laut yang terdalam terdapat pada jarak 650 m dari dermaga dengan kedalaman hingga 17 m. Di sekitar Sungai Jeneberang secara umum memperlihatkan topografi yang landai dengan kemiringan lereng 0 – 15° dengan kedalaman 0 – 20 m sepanjang 750 m ke arah laut. Perairan yang tepat berada di depan muara Sungai Jeneberang mempunyai kemiringan lereng 30 – 40° dengan kedalaman 0 – 20 m (DKP Sulsel, 2005). Kota Makassar berada di antara dua daerah aliran sungai, yaitu DAS Jeneberang dan DAS Tallo. Karakteristik kedua DAS ini adalah sebagai berikut:
DAS Jeneberang mempunyai luas 727 km2 dengan panjang sungai utama adalah 75 km. Debit maksimum dan minimum DAS ini masing-masing adalah 2800 m3/det dan 4,5 m3/det.
DAS Tallo mempunyai luas 418,6 km2 dengan panjang sungai utama adalah 70,5 km. Debit maksimum dan minimum DAS ini masing-masing adalah 775 m3/det dan 0,7 m3/det. Saat ini, Sungai Jeneberang berperan utama dalam memasok air untuk
keperluan pertanian dan bahan baku untuk air minum. Sedangkan, Sungai Tallo lebih berperan sebagai tempat pembuangan air dari sejumlah kanal/saluran dan sungai-sungai kecil yang mengalir di dalam kota. Kota Makassar merupakan daerah yang beriklim tropika basah (Am), ditandai dengan jumlah hujan pada bulan-bulan basah yang dapat mengimbangi kekurangan jumlah hujan pada bulan kering. Curah hujan rata-rata bulanan dari tahun 2006 sampai 2007 berkisar antara 13-677 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Juli. Jumlah rata-rata hari hujan setiap bulan antara 2-22 hari. Periode dengan tingkat curah hujan tinggi ( 100 mm), curah hujan sedang terjadi pada bulan Mei (60-100 mm), sedangkan periode dengan tingkat curah hujan rendah yaitu <100 mm (DKP Kota Makassar, 2009).
71 Mintakat tepian pesisir Kota Makassar merupakan ekotone (interface) antara
lithosfera,
hidrosfera,
dan
atmosfera
atau
sebagai
ruang
bagi
keberlangsungan dinamika interaksi ketiga sfera tersebut yang senantiasa menuju pada keadaan keseimbangan. Di lain pihak, kenyataan menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu secara alami, ketiga komponen tersebut tidak akan berada pada keadaan lunak, sehingga keseimbangan mintakat tepian tersebut selalu berubah di antara titik-titik dalam suatu dimensi perpaduan ruang dan waktu. Kenyataan ini jelas berlaku pula bagi mintakat tepian sepanjang Pantai Losari. Sepanjang waktu dari musim ke musim dengan bergantinya arah angin, maka berganti pula arah hempasan ombak yang berakibat pada pergantian pola perkembangan dan penyusutan hamparan. Arus susur pantai Kota Makassar dibangkitkan oleh ombak yang datang menuju ke arah barat daya hingga barat dan membentuk sudut yang miring terhadap garis pantai yang mengakibatkan arus mengalir sejajar dengan garis pantai dengan laju arus berkisar 0,22 hingga 0,40 m/detik. Arah arus selama pasang surut sejajar dengan garis pantai dan laju arus pasang surut (Utara – Selatan) berkisar antara 0,46 – 0,48 m/detik, sedangkan laju arus pasang naik (Selatan – Utara) berkisar antara 0,38 – 0,55 m/detik. 4.2.2 Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar Kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar dikenal sebagai Dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf) yang terlepas dari Dangkalan Sunda (Sunda Shelf). Beberapa pulau yang daerah terumbunya terletak di tepi barat dangkalan Spermonde merupakan daerah terumbu penghalang (barrier reef). Deretan pulau yang berbentuk tersebut tersusun seperti undakan dalam dangkalan Spermonde (DKP Sulsel, 2005). Lebar dangkalan Spermonde mulai dari sisi timur ke sisi barat lebih kurang 40 km. Selanjutnya Dinas Kelautan dan Perikanan (2005), membagi Kepulauan Spermonde ke dalam empat zona sepanjang arah UtaraSelatan, yaitu: Zona pertama atau zona terdalam lebih banyak dipengaruhi oleh daratan utama Sulawesi Selatan dengan dasar pantai berupa pasir lumpur. Zona kedua lebih kurang 5 km dari Pantai Ujung Pandang mempunyai kedalaman kurang lebih 30 m dan memiliki banyak pulau-pulau kecil.
72 Zona ketiga, sejauh kurang lebih 12,5 km mempunyai kedalaman yang bervariasi antara 30 - 50 meter. Pada zona ini dijumpai daerah-daerah yang dangkal (“taka” = Makassar). Zona keempat atau zona terluar dari Kepulauan Spermonde yang merupakan zona terumbu penghalang mempunyai jarak terdekat kurang lebh 30 km dari daratan Sulawesi Selatan. Sisi timur dari pulau-pulau yang terdekat di zona ini mempunyai kedalaman kurang lebih 50 meter. Pada sisi barat, tebing terumbu sangat terjal dengan kedalaman dapat mencapai 800 meter atau lebih. Pola iklim di pulau-pulau kecil Kota Makassar dipengaruhi oleh dua musim yakni musim barat (hujan) dan musim timur (kemarau). Musim barat berlangsung pada Bulan Nopember hingga pertengahan Bulan April di mana curah hujannya tinggi dan angin kencang cenderung betiup dari arah barat-daya ke barat-laut serta keadaan laut berombak besar yang datang dari arah barat-daya. Musim Timur berlangsung pada Bulan Mei hingga pertengahan Bulan Oktober di mana cuaca kering/kemarau dan angin bertiup dari arah Tenggrara ke Timur dan ombak relatif cukup besar dari arah Timur ke Tenggara tapi tidak sebesar pada saat musim Barat karena adanya lindungan dari daratan utama (Pulau Sulawesi). Rata-rata kelembaban udara sekitar 89,20% dengan persentase penyinaran matahari maksimum sebesar 89,0%, terjadi pada Bulan Agustus dan minimum sebesar 15% yang terjadi pada Bulan Desember. Curah hujan 2729 mm dengan hari hujan 144 hari (Stasiun Meteorologi Maritim Paotere, 2009). Tipe pasang surut di perairan Pulau-Pulau Kecil Kota Makasaar (Kepulauan Spermonde) adalah diurnal tide. Tinggi pasang maksimum adalah 170 cm dan terendah adalah 30 cm. Arus air bekerja bolak balik sesuai dengan kondisi pasang surut. Pola arus pasang surut pada kondisi purnama yaitu pada saat menjelang surut, arus berarah dari Timur Laut ke Barat Daya dengan kecepatan rata-rata 0,15 m/detik. Sedangkan, saat menjelang pasang, arus berarah dari Barat Daya ke Timur Laut dengan kecepatan rata-rata sama dengan saat menjelang surut. Waktu bergeser sepanjang tahun. Pola angin yang bertiup pada Bulan Oktober adalah pola peralihan angin dari Munson Tenggara ke Munson Barat, dengan arah dan kekuatan angin yang
73 bertiup bervariasi, tetapi dominannya, angin bergerak dari atas kontinen Australia menuju ke Barat Laut kemudian berbelok di atas Laut Jawa dan Laut Florest menuju ke arah Timur Laut bergerak di atas Kota Makassar. Bulan Februari, pola angin yang bertiup adalah pola angin Munson Barat yaitu angin yang bertiup di atas Filipina dan Laut Cina Selatan akan menuju ke Barat Daya dan ketika berada di atas Selat Makassar akan berbelok ke Tenggara sehingga menjadi pola angin yang bertiup di atas Kota Makassar. Jenis gelombang di perairan pulau-pulau Kecil Kota Makassar terutama dibangkitkan oleh angin. Selama musim hujan, arah gelombang dari Tenggara atau Timur dan ke arah Utara atau Timur Laut selama musim kemarau. Selama musim hujan, biasanya terjadi gelombang besar di daerah Selat Makassar yang merambat sampai ke daerah Kepulauan Spermonde. Arus di Selat Makassar mengalir ke Selatan sepanjang tahun. Aliran arus ini dialihkan ke Timur sepanjang pantai Barat Daya Sulawesi selama musim hujan. Pada musim kemarau, arus tersebut dialihkan ke Barat, karena ada arus balik dari Paparan Sunda. Paparan yang dangkal, arus mengalir relatif keras ke arah Selatan pada musim hujan dan melemah ke arah Barat Daya pada musim kemarau. Arah arus dominan air laut mengikuti musim, yang mana pada musim Barat, angin bertiup dari Barat ke Timur, sehingga arah arus dominan adalah dari Barat ke Timur. Kondisi sebaliknya, terjadi pada musim Timur, yakni angin bertiup dari Timur ke Barat, sehingga arah arus dominan adalah dari Timur ke Barat, dan arus susur pantai dibangkitkan oleh ombak yang datangnya menuju arah Barat Daya ke Barat dan membentuk sudut terhadap garis pantai. Kecepatan arus berkisar antara 0,02 – 0,28 m/dtk. Kecepatan arus di perairan laut sekitar Pulau Lanyukkang adalah 0,06-0,25 m/dtk, sedangkan di sekitar Pulau Langkai, Lumu-lumu, dan Bonetambung, masing-masing mencapai 0,06-0,25 m/dtk, dan 0,10-0,20 m/dtk dan 0,08-0,28 m/dtk. Kecepatan arus di Pulau Barrang Lompo sekitar 0,17-0,20 m/dtk, di Pulau Barrang Caddi 0,20-0,26 m/dtk, Kodinggareng Keke 0,07-0,25 m/dtk, Kodinggareng Lompo 0,10-0,18 m/dtk, Samalona 0,040,08 m/dtk, dan Lae-lae adalah 0,02-0,28 m/dtk.
74 4.3. Kondisi Ekonomi dan Sosial Budaya Di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar 4.3.1 Pesisir Kota Makassar Jumlah penduduk di sekitar Pantai Losari sebanyak 2111 jiwa, jumlah rumah tangga 423, dan tingkat kepadatan penduduk 7819 perkm2. Jumlah penduduk untuk masing-masing jenis kelamin yaitu: laki-laki 941 jiwa dan perempuan 1170 jiwa. Tingkat Pendidikan penduduk sekitar Pantai Losarai ratarata tamat SLTA dan sarjana (BPS Kota Makassar, 2007). Jumlah penduduk di sekitar Pantai Tanjung Merdeka adalah 5.123 jiwa, terdiri atas 1271 KK yang terdiri atas 2569 jiwa laki-laki dan 2554 jiwa perempuan. Adapun jumlah penduduk sekitar pantai Barombong 9988 jiwa, jumlah rumah tangga 2236 dan kepadatan penduduknya 1361 per km2.. Jumlah penduduk laki-laki berjumlah 4999 dan perempuan 4989 (BPS Kota Makassar, 2007). Jumlah penduduk sekitar Pantai Untia 1682 jiwa, Jumlah rumah tangga 744, kepadatan penduduk per/km 582. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki adalah 832 jiwa dan perempuan 850. Jumlah keluarga pra sejahtera sekitar pesisir Pantai Untia 2 orang, sejahtera I adalah 332 orang, sejahtera II 2 orang, sejahtera III 215 orang, dan sejahtera III plus adalah 9 orang (BPS Kota Makassar, 2007). Masyarakat lokal di kawasan pesisir Kota Makassar saat ini belum mampu hidup layak sehingga para nelayan yang mendominasi kawasan pesisir Kota Makassar membutuhkan lapangan kerja baru untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Mata pencaharian masyarakat pesisir Kota Makassar yang dominan saat ini beraneka ragam. Mata pencaharian penduduk sekitar pesisir pantai Losari umumnya adalah berdagang. Tingkat pendapatan masyarakat Pantai Losari dikategorikan sudah mapan. Hal ini terlihat pada tingkat kehidupan keseharian dan mereka rata-rata mengkomsumsi makanan di atas rata-rata, dibandingkan dengan penduduk kawasan pesisir lainnya di Kota Makassar (Survey, 2007). Mata pencaharian masyarakat Pantai Barombong pada umumnya bekerja sebagai nelayan, petani dan swasta. Pantai Barombong memiliki tempat pelelangan ikan (TPI). Hasil tangkapan ikan masyarakat Barombong rata-rata di jual pada TPI melalui para pengumpul yang berada di TPI Barombong. Para nelayan Barombong dalam proses penjualan, mereka tidak boleh langsung
75 menjual kepada konsumen, melainkan mereka harus melalui pengumpul yang sudah lama menjadi penghubung dengan para nelayan. Para pengumpul yang menentukan harga ikan yang di bawa para nelayan, sedangkan para nelayan bergantung terhadap para pengumpul, sehingga pendapatan nelayan Barombong relatif masih rendah. Penentu harga adalah para pengumpul karena sebelum berangkat melaut mereka sudah mengambil uang panjar untuk kebutuhan keluarga yang di tinggal. Oleh karena itu, segala sesuatu ditentukan oleh para pengumpul ikan. Masyarakat pesisir Barombong adalah masyarakat yang homogen dan memiliki adat–istiadat warisan dari nenek moyang yang perlu mereka jaga kelestariannya yaitu melakukan sesajian ketika pertama kali turun melaut, (naung ritamparang). Menurut pemaham masyarakat Barombong bahwa dalam perjalanan untuk mencari ikan mereka akan mendapatkan ikan yang banyak serta mendapatkan keselamatan dalam perjalanan. Budaya saat masuk rumah baru (antama balla beru), menurut adat mereka pada setiap membangun rumah baru dan ingin menempatinya, maka masyarakat Barombong melakukan upacara adat yaitu meletakkkan pisang satu tandang yang digantung di atap rumah. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar reski mereka setinggi atap rumah dan mendapat keselamatan selama menempati rumah tersebut. Selanjutnya, mereka mempersiapkan segala macam makanan beserta nasi yang dibuat dari beras ketan yang beraneka warna, di bagian tengahnya diletakkan paha ayam yang telah dimasak, serta kue yang beraneka macam. Dalam melakukan sesajian, mereka mengadakan bersanji demi keselamatan rumah baru tersebut. Kondisi ini membuktikan bahwa masyarakat Barombong masih peduli terhadap lingkungan karena pemahaman mereka adalah apabila melakukan suatu sesajian, maka mereka menganggap bahwa itu adalah salah-satu bentuk keramahan terhadap lingkungan sekitar. Masyarakat Paotereq terdiri dari berbagai suku, antara lain: bugis, mandar, Makassar, dan cina. Masyarakat Paotereq bermukim di sepanjang pesisir Pantai Paotereq. Mata pencaharian masyarakat Paotereq umumnya bekerja sebagai pedagang, nelayan dan buruh harian. Tingkat pendapatan masyarakat Paotereq
76 sudah cukup memadai dan dikategorikan sejahtera. Hal ini terlihat pada kegiatan kesehariannya dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.. Mata pencaharian penduduk di kawasan Tanjung Bunga beraneka ragam yaitu nelayan, buruh harian, pegawai, pedagang, swasta, dan wirausaha. Penduduk lokal kebanyakan bekerja sebagai tukang batu/buruh harian. Saat ini, menjadi nelayan sudah sulit karena tempat mencari ikan sudah terlalu jauh dari tempat tinggal, akhirnya mereka lebih memilih menjadi buruh harian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mata pencaharian penduduk Tanjung Bayam adalah nelayan, tetapi dengan kondisi saat ini, mereka banyak yang beralih status pekerjaan yaitu sebagai buruh harian atau kuli bangunan di Kota Makassar akibat dari adanya pengembangan perkotaan, sehingga lahan mereka dibeli oleh pihak swasta, namun harganya kurang sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat Tanjung Bayam. Penduduk Tanjung Bayam saat ini hanya sedikit yang pergi melaut selama ada larangan untuk menangkap ikan di sekitar Tanjung tersebut. Tingkat pendapatan mereka rata-rata masih rendah dan jauh dari kecukupan kebutuhan hidup keluarga. Oleh karena itu, masyarakat sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk mencari solusi agar penduduk Tanjung Bayam mendapatkan perhatian demi kelangsungan hidup mereka. Mata pencaharian penduduk sekitar Pesisir Untia umumnya adalah nelayan, petani, dan pedagang, buruh harian, bahkan ada juga pegawai dan guru. Tingkat pendapatan masyarakat nelayan Pantai Untia rata-rata masih rendah. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki, ikan yang diperoleh setiap hari masih rendah karena tempat penangkapan ikan cukup jauh dari Pesisir Untia., serta tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. 4.3.2 Pulau-pulau Kecil Kota Makassar Kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar terdiri dari 11 pulau-pulau kecil, sembilan pulau berpenduduk dan dua pulau tidak berpenduduk. Total jumlah penduduk yang tersebar di sembilan pulau-pulau kecil Kota Makassar secara keseluruhan pada tahun 2007 adalah 12490 jiwa dengan jumlah keluarga dan jenis kelamin berbeda disetiap pulau. Data kependudukan setiap pulau selengkapnya disajikan pada Tabel 9.
77 Tabel 9. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan jumlah keluarga Nama Pulau P. Lae-lae P. Samalona
Jenis Kelamin LakiPerempuan Laki 748 737
Jumlah Penduduk (Jiwa) 1485
Jumlah Keluarga 307
40
42
82
13
P.Barrang Lompo
1709
1854
3563
800
P. Barrang Caddi
756
506
1263
306
P.Kodinggareng Lompo P. Bonetambung
2070
2100
4170
891
268
213
481
108
P. Lumu-Lumu
512
472
984
215
P. Langkai
273
157
430
127
17
15
32
9
P. Lanyukkang P. Kayangan
P.Kodinggareng Keke Jumlah 6.393 6.096 Sumber: BPS Kota Makassar (2009).
_ _ 12.490
Keterangan Ada Penduduk Ada Penduduk Ada Penduduk Ada Penduduk Ada Penduduk Ada Penduduk Ada Penduduk Ada Penduduk Ada Penduduk Tidak Ada Penduduk Tidak Ada Penduduk
2.776
Pulau Kayangan merupakan salah satu pulau yang termasuk di dalam kawasan pulau-pulau kecil kota Makassar yang tidak dihuni oleh masyarakat. Dilihat dari topografinya, P. Kayangan berada pada garis isodepth antara 15 - 20 m, relatif masih dekat dengan Kota Makassar. Pulau kayangan merupakan pulau terdekat dari Kota Makassar yang cukup terkenal sebagai salah satu tujuan wisata pantai di kota ini, oleh karena memiliki pantai berpasir putih dengan lebar lebih dari 50 m dan kelandaian 40. Namun karena kondisi peraran di sekitar pulau kayangan semakin buruk akibat sedimentasi dan pencemaran, maka masyarakat semakin kurang yang mengunjungi pulau ini untuk tujuan berenang. Sumber pencemaran juga berasal dari Pelabuhan Sukarno Hatta yang jaraknya hanya sekitar beberapa ratus meter dari Pulau Kayangan. Pulau ini relatif kecil, sehingga tidak ada penduduk yang menetap.
78 Pulau Kodinggareng Keke merupakan salah satu pulau yang tidak berpenghuni, oleh karena pemerintah Kota Makassar telah mempersewakan pulau Kodinggareng Keke kepada pihak Asing selama 30 tahun. Dalam 10 tahun terakhir, P. Kodinggareng Keke dikelola oleh Mr.Yan yang berkewarganegaraan Belanda. Perubahan jumlah penduduk di pulau-pulau kecil Kota Makassar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: kelahiran, kematian, dan migrasi. Secara umum, kecenderungan penduduk pulau-pulau kecil Kota Makassar melakukan emigrasi ketika mereka berusia remaja hingga dewasa dengan berbagai tujuan diantaranya adalah: keperluan pendidikan, pekerjaan maupun untuk tinggal menetap. Kawasan yang sering dijadikan tempat tujuan adalah Kota Makassar, Kabupaten Maros, Pangkep, Takalar, Nunukan dan beberapa kawasan di Provinsi Sulawesi-Selatan. Tingkat pendidikan masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar cukup beragam, rata-rata memiliki tingkat pendidikan dan angkatan kerja perpulau yang sangat rendah dan sebahagian besar hanya tingkat SD bahkan banyak yang tidak tamat. Di beberapa pulau, terdapat guru sekolah dasar, yaitu di P. Bonetambung terdapat 2 orang guru SD dan P. Barrang Lompo 4 orang. Mata pencaharian utama penduduk pulau-pulau kecil Kota Makassar sebahagian besar nelayan tradisional dan nelayan pencari ikan hidup. Sebahagian besar nelayan adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu yang ditebar di sekitar pulau, jaring insang (gill net) dengan menggunakan mesin 12-22 PK dan mesin kompressor 5 PK, dan hanya sebagian kecil sebagai nelayan pemancing. Jenis alat tangkap yang digunakan bervariasi, namun yang dominan adalah pancing dan purse seine. Purse seine menggunakan mesin kapal 30 PK dan mesin penarik jaring 14-24 PK. Pancing menggunakan mesin 5,5 PK. Pancing cumi menggunakan sampan, penyelam teripang menggunakan kapal dengan kapasitas mesin 33 PK dan mesin kompressor 5 PK. Mesin yang digunakan untuk pancing tangan adalah mesin tradisional 5-5,5 PK, pancing rawe (cakalang) menggunakan mesin berkapasitas 5-5,5 PK, tembak (papatte) dengan kapasitas mesin 5 PK, dan gill net (jaring insang) dengan kapasitas mesin tradisional 5-5,5 PK, serta bubu dengan kapasitas mesin modern 19- 22 PK.
79 Pendapatan rata-rata nelayan di kawasan pulau-pulau kecil sangat tergantung dari armada penangkapan yang digunakan. Hal ini disebabkan, setiap jenis alat tangkap mempunyai target dan daerah penangkapan yang berbeda yang akan menentukan jenis dan jumlah hasil tangkapan. Secara umum, nelayan yang menangkap di sekitar Taka Lae-Lae dengan menggunakan alat tangkap pancing dan perahu tradisional dengan kekuatan 5,5 PK mempunyai penghasilan yang paling rendah yaitu sekitar Rp 30000 – Rp 35000 per hari penangkapan. Nelayan yang menggunakan pancing cakalang dengan daerah penangkapan di sekitar Pulau Bonetambung dan Kodingareng Keke mempunyai rata-rata penghasilan Rp 100.000 – Rp 400.000 per hari penangkapan. Armada dengan mesin berkekuatan 19 – 22 PK, dengan daerah penangkapan di sekitar pulau Kodingareng Lompo, Lumu-Lumu, Lanyukang dan Langkai mempunyai penghasilan sekitar 5-7 juta per hari penangkapan untuk setiap armada. Nelayan purse seine (rengge) dengan daerah dan target penangkapan yang sama, rata-rata pendapatan berkisar Rp 500 ribu – 3 juta per trip. Pendapatan rata-rata nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring insang (gill net) di sekitar Pulau Lumu-Lumu dan Taka Raba mempunyai hasil tangkapan berupa ikan kaneke, ikan teri, hiu, lamuru, cepa, sinrili, sibula dan ikan terbang. Pendapatan rata-rata nelayan tersebut sekitar 100-300 ribu per hari penangkapan. Nelayan pancing, dengan daerah penangkapan di sekitar taka-taka lanyukang dan Goseya. Hasil tangkapan berupa ikan katamba, sibula, tinumbu dan sunu, dengan hasil pendapatan rata-rata 50-150 ribu per hari penangkapan. Untuk nelayan tradisional yang menangkap di sekitar pulau Barrang Lompo dan Barrang Caddi, rata-rata pendapatan berkisar Rp 50.000 - Rp 100.000 per hari penangkapan. Nelayan yang menggunakan bubu mempunyai daerah penangkapan di sekitar Pulau Lanyukang sampai ke perairan pulau-pulau Kabupaten Pangkep. Hasil tangkapan nelayan berupa ikan kerapu, katamba, dan sunu. Pendapatan rata-rata berkisar 300 - 700 ribu rupiah per hari penangkapan. Untuk nelayan yang menggunakan pancing tangan mempunyai penghasilan sekitar Rp 35.000-Rp 59.000 perhari penangkapan. Kondisi masyarakat pulau Barrang Lompo agak berbeda dengan pulaupulau kecil lainnya di Kota Makassar, penduduknya sangat majemuk dengan mata
80 pencaharian sebagian besar sebagai pengusaha hasil laut (pedagang pengumpul). Disamping itu, terdapat pula keanekaragaman nelayan mulai dari penyelam teripang, pemancing ikan serta pemancing cumi. Jumlah dan jenis alat tangkap masyarakat Pulau Barrang Lompo dilengkapi kurang lebih 50 buah kapal kayu motor dan banyak perahu/jolloro. Masyarakat P. Barrang Lompo bermata pencaharian sebagai penyelam teripang dengan mesin kapal + 15-30 PK dan mesin kompressor + 5-5,5. Selain itu, pemancing tangan dengan mesin kapal 55,5 PK, pemancing tembak ikan (papatte) dengan mesin kapal 10-15 PK, pancing cumi dengan perahu layar dan dayung. Masyarakat P.Barrang Lompo juga menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yakni bius dan alat peledak (bom). Kondisi ekonomi masyarakat Pulau Samalona bergantung dari sektor pariwisata atau kunjungan wisatawan yang datang ke pulau Samalona. Penghasilan masyarakat di pulau Samalona berasal dari penyewaan rumah dan penyewaan perlengkapan dan jasa wisata. Penduduk kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar terdiri dari suku bangsa, yang didominasi oleh Etnis Bugis (Maros, Pangkep) dan sebagian kecil Etnis Makassar (Takalar dan Jeneponto). Interaksi masyarakat pulau selama ini dengan nelayan, pedagang dan masyarakat Kota Makassar yang beretnis Makassar sangat berpengaruh terhadap budaya dan bahasa keseharian mereka. Masyarakat Bugis yang mendominasi pulau ini telah menggunakan bahasa Makassar dalam kesehariannya. Adat istiadat sering ditemui pada upacara lahir bathin yaitu: mensucikan diri sebelum masuk Bulan Ramadhan, upacara Songkobala yaitu upacara untuk menolak bala yang akan datang. upacara Pa`rappo yaitu upacara ritual yang dilaksanakan para nelayan sebelum turun ke laut serta upacara karangan yakni upacara ritual yang dilakukan para nelayan ketika pulang melaut dengan memperoleh hasil yang berlimpah. Norma-norma adat masyarakat lokal juga masih banyak mewarnai kehidupan masyarakat setempat. Sedangkan, adat istiadat sering kita temui pada upacara penurunan kapal (apparoro), pembuatan rumah, dan duduk bersama untuk membicarakan sesuatu (tudang sipulung).
81 4.4. Sarana dan Prasarana Sosial Di Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar Infrastruktur yang terdapat di pulau-pulau kecil Kota Makassar meliputi ketersediaan sarana air bersih, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, sarana perlistrikan dan telekomunikasi serta sarana perekonomian. Ketersediaan sarana air bersih merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mendukung kegiatan ekowisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar, mengingat ketersediaan air bersih merupakan salah satu faktor pembatas yang terdapat di pulau-pulau kecil. Ketesediaan air bersih di pulaupulau kecil Kota Makassar dapat dilihat pada Tabel 10. Jumlah sumur gali yang terdapat di Pulau Kodingerang Lompo sejumlah 239 buah yang rata–rata berstatus kepemilikan pribadi rumah tangga. Kualitas air sumur tanah di pulau Kodingerang Lompo cukup tawar untuk air minum dan tersedia setiap tahunnya. Tabel 10. Ketersediaan sumber air bersih di pulau-pulau kecil Kota Makassar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Pulau P. Kayangan P. Lae-Lae P. Samalona P. Barrang Lompo P. Barrang Caddi P.Kodinggareng Lompo P.Kodinggareng Keke P. Bonetambung
Ketersediaan Air Bersih Tidak Ada Ada Ada Ada Ada Ada Tidak Ada Ada
9. P. Lumu-Lumu Ada 10. P. Langkai Ada 11. P. Lanyukkang Ada Sumber: BPS Kota Makassar (2009).
Kondisi
Keterangan
Tawar Asin Tawar Asin Tawar Tawar dan Asin Asi Tawar Asin
Dari luar pulau Sumur Sumur Sumur Sumur Sumur Dari luar pulau Tower dan Sumur Sumur Sumur Sumur
Sarana pendidikan yang terdiri dari SD sebanyak 7 buah, tersebar di beberapa pulau, yaitu di Pulau Barrang Lompo 2 buah, Pulau Bonetambung 1 buah dan Pulau Barrang Caddi 1 buah serta Pulau Kodinggareng Lompo dan Pulau Lae-lae masing-masing 1 buah. Sarana kesehatan berupa PUSTU terdapat 4 buah yang terdiri dari 1 buah di Pulau Barrang Lompo dan 1 buah di Pulau Kodinggareng Lompo, 1 buah di Pulau Lae-lae dan 1 buah di Pulau Bonetambung dengan 1 orang mantri dan 1 orang suster. Sarana peribadatan yaitu mesjid dan mushollah terdapat disetiap pulau kecuali Pulau Kodinggareng
82 Keke. Sarana perlistrikan dan telekomunikasi yaitu instalasi listrik milik PT.PLN yang beroperasi antara pukul 18.00-22.00 WIB, terdapat disetiap pulau dan terdapat 2 buah kantor telkom (Telkomsel dan Indosat) yang terdapat di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Barrang caddi. Sarana perekonomian berupa kios-kios dan souvenir bagi wisatawan sebanyak 1 buah yang terdapat di Pulau Barrang Lompo yang diusahakan oleh penduduk lokal. Kios-kios yang menjual kebutuhan material melaut bagi nelayan penangkap ikan, kios-kios kelontong yang menjual kebutuhan seharihari hampir terdapat disetiap pulau yang berpenghuni. Tabel 11. Sarana dan prasarana sosial pulau-pulau kecil Kota Makassar
P. Kayangan P. Lae-Lae P. Samalona
Ya Ya Ya
Jenis Prasarana dan Sarana Sekolah Listrik Sarana Kesehatan Tidak ada Ya Tidak ada Ya Ya Ya Tidak ada Ya Tidak ada
P. Barrang Lompo
Ya
Ya
Ya
Ya
P. Barrang Caddi
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya Ya Ya Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Ya Ya Ya Ya Tidak ada Ya
Ya Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Nama Pulau
Mesjid
P. Kodinggareng Lompo Ya P.Kodinggareng Keke Ya P. Bonetambung Ya P. Lumu-Lumu Ya P. Langkai Ya P. Lanyukkang Ya Sumber: BPS Kota Makassar (2009).
4.5 Aksesibilitas Kawasan wisata bahari pulau-pulau kecil Kota Makassar dapat dijangkau dengan sarana transfortasi laut dan udara. Tranfortasi udara dapat ditempuh melalui bandar udara internasional Hasnuddin, sedangkan tranfortasi laut dapat ditempuh melalui pelabuhan Samudera Makassar Soekarno Hatta. Transfortasi laut dapat juga ditempuh dengan menggunakan kapal penyeberangan berupa perahu rakyat yang disebut jolloro. Keberadaan dermaga sangat penting untuk kelancaran kegiatan tranfortasi pesisir dan laut guna menunjang kegiatan ekowisata bahari pulau-pulau kecil Kota Makassar. Dengan adanya dermaga, akan mempermudah kapal-kapal yang akan berlabuh dan berangkat menuju ke lokasi wisata. Dermaga juga berfungsi sebagai tempat parkir kapal dan ruang
83 tunggu bagi penumpang yang hendak menggunakan transfortasi kapal menuju ke pulau-pulau kecil sebagai tujuan wisata. Pulau-pulau kecil Kota Makassar hampir secara keseluruhan memiliki dermaga, hanya di P. Kodinggareng Keke dan Pulau Lanyukkang yang belum memiliki dermaga (Tabel 12). Untuk menuju Pulau Kodinggareng Keke dapat ditempuh dengan menggunakan perahu motor carteran dengan kapasitas 40 PK dengan biaya sebesar Rp 300.000 - Rp 400.00 dengan waktu tempuh kurang dari 40 menit, karena tidak tersedia transfortasi reguler. Tabel 12. Dermaga di pulau-pulau kecil Kota Makassar No. Nama Pulau Dermaga 1. P. Kayangan Ada 2. P. Lae-Lae Ada 3. P. Samalona Ada 4. P. Barrang Lompo Ada 5. P. Barrang Caddi Ada 6. P. Kodinggareng Lompo Ada 7. P.Kodinggareng Keke Tidak ada 8. P. Bonetambung Ada 9. P. Lumu-Lumu Ada 10. P. Langkai Ada 11. P. Lanyukkang Tidak ada Sumber : BPS Kota Makassar (2009).
Kondisi Baik Baik Baik Baik Baik Baik Diadakan Baik Baik Baik Diadakan
Peruntukan Wisata Wisata Wisata Umum Umum Umum Wisata Umum Umum Umum Wisata
Tipe Trestle Trestle Trestle Trestle Trestle Trestle Trestle Trestle Trestle Trestle Trestle
Dermaga tradisional yang melayani jalur pelayaran antar pulau–pulau yang berada dalam kawasan Kota Makassar, maupun di luar Kota Makassar, terdapat dua buah dermaga tradisional, yakni Pelabuhan Paotere dan Pelabuhan Kayu Bangkoa. Di dermaga Kayu Bangkoa, setiap harinya terdapat transportasi reguler berupa kapal motor yang melayani jalur pelayaran menuju ke Pulau Laelae, Barrang Lompo, Barrang Caddi dan Kodingareng Lompo. Sarana kapal yang dipakai ke pulau–pulau lainnya dapat ditempuh dengan mencarter perahu (sekoci) yang bermesin 40 PK dengan kapasitas penumpang 10 orang. Selain itu, untuk pulau -pulau seperti Pulau Bonetambung, Lumu–lumu, Langkai dan Lancukang, biasanya penumpang menempuh jalur dengan kapal reguler menuju Pulau Barrang Lompo, kemudian mencarter perahu (sekoci) menuju ke pulau– pulau tersebut.
84 4.5.1 Bandar Udara Internasional “Hasanuddin” Badar Udara Internasional Hasanuddin merupakan pintu gerbang udara di kawasan Timur Indonesi dan merupakan satu-satunya gerbang udara menuju kawasan-kawasan lain di Sulawesi Selatan. Peranan Bandar Udara Internasional Hasanuddin sebagai pintu masuk wisatawan ke Kota Makassar, menjadi tulang punggung dalam mendukung kegiatan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil Kota Makassar, karena dapat melayani beragam rute penerbangan, baik domestik maupun internasional, dan dapat didarati oleh pesawat jenis Boeing 747. Setiap hari terdapat setidaknya 20 kali penerbangan dari dan ke Jakarta, yang dilayani oleh hampir seluruh maskapai penerbangan yang ada. Bandara Internasional Hasanuddin juga berfungsi sebagai tempat transit bagi arus penumpang udara dari kawasan Barat ke Timur Indonesia dan sebaliknya. Pengelola Bandar Udara ini adalah BUMN Angkasa Pura I. Bagi wisatawan yang melakukan perjalanan sendiri, tersedia fasilitas taxi resmi bandara yang akan membawa wisatawan ke Kota Makassar. Biaya sekali perjalan ke kawasan Kota Makassar terbagi atas 3 zona yaitu: Zona I dari bandara hingga Jembatan Tallo sebesar Rp 40.000, Zona II dari bandara hingga Jalan Hertasning sebesar Rp 45.000, dan Zona III dari bandara hingga Jalan Cendrawasih sebesar Rp 50.000. Apabila tujuan perjalanan berada di luar zona tersebut, maka biaya perjalanan dapat dikonsultasikan di loket pendaftaran taxi, di bagian kedatangan Bandara International Hasanuddin. 4.5.2 Pelabuhan Samudera Makassar “Soekarno Hatta” Pelabuhan Samudera Makassar ”Soekarno Hatta” merupakan salah satu pelabuhan bersejarah di Indonesia yang telah dibangun sejak abad 17, dan sudah menjadi pelabuhan niaga besar yang melayani pedagang dari seluruh dunia serta merupakan pelabuhan yang paling besar dan paling bagus penataan ruangnya (Poelinggomang). Pelabuhan Soekarno Hatta dikelolah oleh BUMN Pelabuhan Indonesia IV, dengan peranan sebagai pelabuhan samudera terbesar di Kawasan Timur Indonesia, sekaligus sebagai pintu gerbang arus barang dan komoditi yang masuk dan keluar dari kawasan Timur Indonesia.
85 4.6 Kelembagaan Struktur kelembagaan di setiap pulau umumnya sama yaitu dengan struktur yang sangat sederhana, mulai dari perangkat desa, dusun, rukun warga sampai pada rukun tangga. Umumnya, yang menjadi pemimpin warga adalah orang yang dianggap mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat. Dalam hal pembiayaan, didapatkan bahwa umumnya pembiayaan masyarakat dalam melakukan aktifitas sehari-hari melalui ponggawa, meskipun ada yang melalui bank atau koperasi. Kecilnya jumlah masyarakat yang mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan disebabkan oleh tidak adanya anggunan dalam pengambilan kredit. Implementasi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dibentuklah Badan Perwakilan Desa (BPD) Kelurahan Barrang Caddi, Barrang Lompo, dan Kodinggareng Lompo. Masyarakat Pulau Langkai dan Lanyukang yang menjadi bagian dari Kelurahan Barrang Caddi terwadahi dalam lembaga BPD ini. Terdapat 1 orang pemuka masyarakat Pulau Langkai yang menjadi salah seorang anggota BPD Kelurahan Barrang Caddi. Di kedua pulau ini terdapat lembaga informal dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). KSM ini diinisiasi pembentukannya oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LEMSA) lewat program Community Development. Aktivitas KSM diarahkan pada upaya pembangunan dan pengelolaan Alternative Income Generating (AIG). Di Pulau Barrang Lompo terdapat kantor kelurahan Barrang Lompo yang merupakan lembaga formal. Aktifitas kegiatan lembaga informal seperti kelompok-kelompok pengajian di masjid yang terdapat di Pulau Barrang lompo dan Pulau Barrang Caddi. Kegiatan informal lainnya, biasanya dilakukan di Aula Marine Station UNHAS. Adapun bentuk-bentuk kelembagaan informal yang mewarnai kehidupan masyarakat Pulau Barrang Lompo dalam mengelola sumberdaya alam yang terdapat disekitar pulau, antara lain, adalah sistem pemasaran teripang dari produsen ke konsumen yang dapat diidentifikasi. Pada pertengahan tahun 2001 di Pulau Kodingareng Lompo, ataupun lingkup Kelurahan Kodingareng sudah terbentuk Badan Perwakilan Desa (BPD), sebagai wadah formal penyalur aspirasi masyarakat Pulau Kodingareng Lompo. Sebelumnya, masyarakat Pulau Kodingareng Lompo mewadahkan diri dalam
86 LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Banyak di antara remaja-remaja yang ada di Pulau Kodingareng Lompo, menjadi anggota kelompok remaja masjid dan memiliki wadah untuk menjalankan aktifitasnya. Aktifitas yang sampai saat ini digalakkan adalah Taman Pendidikan Al-Qur’an yang sudah berjumlah sekitar 40 buah. Di Pulau Kodingareng Lompo, terdapat lembaga formal dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). KSM ini diinisiasi pembentukannya oleh LSM Plan Internasional lewat bantuan program bantuan perbaikan rumah, bantuan sarana motorisasi kapal untuk nelayan dan pemberian beasiswa untuk anak sekolah. Aktifitas KSM diarahkan pada upaya pembangunan dan peningkatan pendapatan serta perbaikan pendidikan untuk anak-anak sekolah. Kelembagaan non formal masyarakat dalam bentuk lembaga adat sudah tidak dijumpai lagi. Yang masih berjalan dalam kehidupan sehari-hari adalah bentukbentuk pertemuan kekeluargaan dan musyawarah antar penduduk. Bentuk kelembagaan yang masih efektif berjalan adalah kelembagaan formal. Lembaga sosial yang ada dan berjalan efektif di Pulau Lanyukkang adalah Badan Perwakilan Desa (BPD) Kelurahan Barrang Caddi. Anggota dari BPD tersebut adalah masyarakat Pulau Langkai dan lanyukang. Lembaga informal lainya yang terdapat di Pulau Lanyukang dan Langkai adalah kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang pembentukannya diinisiasi oleh lembaga swadaya masyarakat (LEMSA) melalui program community development. Aktivitas KSM diarahkan pada upaya pembangunan dan pengelolaan alternative income generating (AIG). Kelembagaan masyarakat nelayan yang dijumpai di Pulau Lumu-lumu berupa lembaga formal. Mengingat jumlah penduduk yang cukup besar yang terdapat di pulau Lumu-lumu, sehingga menuntut dibentuknya sebuah kelurahan dengan segala perangkat kelembagaannya. Kegiatan non formal yang dilakukan berupa pertemuan-pertemuan masyarakat untuk membahas masalah yang dihadapi nelayan. Pertemuan non formal biasanya diadakan dimasjid.
87
5. PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR 5.1 Kondisi dan Potensi Sumberdaya Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Pengembangan Wisata Bahari Potensi sumberdaya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar terdiri dari beberapa sumberdaya, baik yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih. Di antara sumberdaya tersebut, terdapat beberapa yang dikategorikan sebagai obyek dan daya tarik wisata, oleh karena berferan utama dalam menunjang kegiatan wisata bahari di kawasan pesisir maupun di pulau-pulau kecil khususnya “pleasure diving dan snorkling” serta berfungsi dalam menunjang kehidupan biota laut dan pelindung fisik kawasan pulau-pulau kecil. Adapun sumberdaya tersebut antara lain: mangrove, terumbu karang, ikan karang, air laut, dan hamparan pasir putih serta vegetasi pantai. 5.1.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang di kawasan pesisir Kota Makassar pada saat ini sudah tidak ada lagi bahkan sudah punah, kecuali di sekitar pulau-pulau kecil (Kepulauan Spermonde). Hal ini disebabkan karena terjadi degradasi akibat sedimentasi, dampak aktivitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan, pencemaran, serta proses reklamasi pantai. Kondisi penutupan terumbu karang hidup di kawasan pulau-pulau kecil kota Makassar tergolong rusak hingga baik yang ditentukan oleh persentase terumbu karang hidup dan mati. Persentase tutupan terumbu karang hidup berdasarkan hasil pengamatan di 11 pulau berkisar antara 8,37% - 68,92%, sementara tutupan karang mati berkisar 4,32% - 47,36%. Persentase tutupan karang hidup tertinggi ditemukan di Pulau Lanyukkang dengan persentase tutupan 68,92%, sedangkan persentase tutupan karang hidup terendah ditemukan di Pulau Kayangan (8, 37%). Tutupan karang mati tertinggi di Pulau Barrang Lompo dengan persentase tutupan 47,36%, sementara tutupan karang mati terendah ditemukan di Pulau Kodinggareng Lompo dengan persentase tutupan 4,32%. Kondisi karang pada
88 beberapa pulau dalam penelitian ini yang berpotensi dimanfaatkan untuk kawasan wisata bahari disajikan pada Table 13 dan 14. Tabel 13. Persentase tutupan karang di pulau-pulau kecil Kota Makassar pada kedalaman 10 m. Lokasi
LC DC P. Kayangan 8,37 33,93 P. Lae-Lae 20,94 44,74 P. Samalona 52,26 14,64 P. Barrang Lompo 38,48 8,88 P. Bonetambung 48,14 34,04 P. Kodinggareng Lompo 26,46 11,6 P.Kodinggareng Keke 53,48 12,98 P. Barrang Caddi 33,38 18,36 P. Lumu-Lumu 55,48 21,18 P. Langkai 64,74 34,70 P. Lancukang 66,06 30,18 Sumber: Data primer yang diolah (2010). Keterangan : LC = Life Coral DC = Dead coral ALG = Algae
(%) Tutupan ALG Others 4,67 28,97 13,8 2,30 0 0,42 0 7,14 2,58 5,84 2 29,06 0 6,2 0 2,16 8,94 8,16 0 0,56 2,54 1,22
Abiotik 24,07 18,22 32,68 45,5 9,40 30,88 27,34 46,1 6,24 0 0
Keterangan Rusak Rusak Baik Sedang Sedang Rusak Sedang Sedang Baik Baik Baik
Tabel 14. Persentase tutupan karang di pulau-pulau kecil Kota Makassar pada kedalaman 3 m. Lokasi LC DC P. Kayangan P. Lae-Lae P. Samalona 42,88 20,42 P. Barrang Lompo 39,48 47,36 P. Bonetambung 53,92 38,66 P. Kodinggareng Lompo 19,14 4,32 P.Kodinggareng Keke 42,16 15,42 P. Barrang Caddi 27 7,42 P. Lumu-Lumu 34,42 43,02 P. Langkai 35,44 8,28 P. Lancukang 68,92 14,62 Sumber: Data primer yang diolah (2010). Keterangan : LC = Life Coral DC = Dead coral ALG = Algae
(%) Tutupan ALG 0 1,74 2,76 0,36 0,78 1,1 9,54 0 0,12
Others 6,36 4,1 2,96 1,96 6,46 9,16 8,54 5,44 11,04
Keterangan Abiotik 30,34 7,32 1,70 74,22 55,32 46,1 4,48 50,84 5,30
Rusak Rusak Baik Sedang Sedang Rusak Sedang Sedang Baik Baik Baik
Terumbu karang menyebar hampir di seluruh gugusan pulau yang ada, terdiri dari terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang. Di sisi barat setiap pulau, kondisi terumbu karang tumbuh dengan subur dan memiliki rataan terumbu karang yang sangat luas, sedang di sisi selatan luas terumbu hampir sama
89 atau sedikit lebih kecil dari luas sisi barat. Di sisi utara pulau luas terumbu kadang-kadang setengah atau kurang dari luas terumbu di sisi barat, sedangkan di sisi timur hampir semua pulau memiliki terumbu karang yang sempit dan didominasi oleh substrat berpasir dengan topografi yang cukup landai (Gambar 9,10, 11, dan 12). Salah satu penyebab kerusakan gugusan karang adalah meningkatnya aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan sianida yang telah menyebabkan kerusakan berat pada gugusan karang yang masih sehat maupun kapal-kapal karam sebagai tempat tumbuhnya karang dan berkumpulnya ikan. Contoh kasus, bangkai pesawat Lancaster di sebelah timur Pulau Samalona, salah satu lokasi selam yang selama ini sering dikunjungi penyelam, yang pada dua tahun terakhir ini dihancurkan total oleh kegiatan pengeboman ikan. Degradasi gugusan karang dipinggir shelf Spermonde akibat penggunaan sianida yang sampai sekarang hanya menyisakan beberapa lokasi saja. Kerusakan gugusan karang juga disebabkan oleh laju sedimentasi yang tinggi serta masuknya zat-zat pencemar yang berasal dari daratan Kota Makassar seperti di Pulau Kayangan dan Lae-lae. Kondisi terumbu karang tersebut sangat rusak karena tingkat pencemaran yang tinggi dan mempunyai jarak yang dekat dari Kota Makassar. Selain itu, peningkatan aktifitas membuang jangkar juga merupakan faktor penyebab yang dominan sejak meningkatnya intensitas transportasi (aktifitas pelayaran lokal) terutama di Pulau Kayangan dan Pulau Lae-lae.
5.1.2 Ikan Karang Sumberdaya ikan karang yang ditemukan di pulau-pulau kecil Kota Makassar pada umumnya berupa ikan hias dan ikan pangan. Kehidupan kelompok ikan hias dan ikan pangan sangat tergantung pada substrat dasar terumbu karang atau karang hidup sebagai habitatnya. Perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar memiliki 164 species ikan-ikan karang yang terdiri dari 34 famili. Famili Pomacentridaea memiliki komposisi species tertinggi (35 species), kemudian Famili Chaetodontidae. Familia Pomacentridaea paling banyak ditemukan di Pulau Barrang Caddi dan Pulau Lanyukkang. Ikan-ikan karang Famili Pomacentrideae sebagian besar hidupnya di batu-batuan dan karang terutama
90 pada terumbu yang memiliki karakteristik bentuk pertumbuhan bercabang (branching), sedangkan Famili Labridae hidupnya sebagaian besar dipantai berkarang dan tengah-tengah rumput laut. Rendahnya stok ikan di perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar dibandingkan dengan perairan di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia, khususnya komunitas ikan karang disebabkan oleh intensitas penangkapan untuk setiap kelompok sumberdaya ikan cukup tinggi. Sebagian besar terumbu karang di pulau ini yang merupakan habitat penting sebagai daerah asuhan (nursery area) dan daerah pemijahan (spawning area) bagi ikan-ikan karang telah mengalami degradasi. Menurunnya stok ikan di perairan Kota Makasar, juga disebabkan oleh adanya penggunaan bom ikan dan bahan beracun dalam kegiatan penangkapan ikan di sekitar terumbu karang, serta penggunaan teknologi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti dogol, payang, cantrang dan trowl.
5.1.3 Ekosistem Mangrove Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di pesisir Kota Makassar telah mengalami degradasi akibat dikonversi menjadi lahan tambak, pemukiman, kawasan industri, atau ditebang menjadi kayu bakar. Menipisnya hutan mangrove sebagai sempadan pantai atau sempadan sungai menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap kondisi fisik pantai dan sungai, terjadi pendangkalan, kekeruhan, penurunan kualitas air, berkurangnya keindahan ekologi pantai, serta penurunan keanekaragaman. Rusaknya ekosistem mangrove juga telah mengakibatkan banyak tambak tidak berfungsi dengan baik. Ekosistem mangrove yang masih tersisa di kawasan pesisir Kota Makassar terdapat di bagian utara Kota Makassar yaitu pesisir Pantai Untia yang merupakan kawasan hutan mangrove terluas. Di Pantai Barombong dan sungai Tallo juga terdapat mangrove, namun luasannya sangatlah sempit. Luas kawasan mangrove di Pantai Untia adalah 27 ha. Jenis mangrove yang ditemukan adalah Rhizophora apiculata, Brugguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, dan Nypa fruticans. Kompleks hutan mangrove di muara Sungai Tallo, Pantai Untia, dan Pantai Barombong lebih didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata 106 pohon (ind/100m2) dan Avicennia marina 83 pohon (ind/100m2). Jumlah kehadiran
91 Rhizophora apiculata di muara Sungai Tallo 58 pohon (ind/100m2), di Pantai Untia 43 pohon (ind/100m2) dan di Pantai Barombong 5 pohon (ind/100m2), sedangkan avicennia marina di muara Sungai Tallo 8 pohon (ind/100m2), di Pantai Untia 39 pohon (ind/100m2), dan di Pantai Barombong 36 pohon (ind/100m2). Hasil pengamatan dan analisis citra pada kordinat proyeksi UTM 760667 mT- 9440052 mU, 9422747 mU atau pada proyeksi geografik (latitude/longitude) 119021’61” BT-119o30’40,58” BT dan 5o3’41,84” LS-5o13’2,72” LS, diperoleh NDVI vegetasi di daerah penelitian -0,702 sampai dengan 0,413. Tingkat kerusakan hutan mangrove berdasarkan nilai diperoleh indeks vegetasi mangrove di kawasan pesisir Kota Makassar berkisar antara: -0,78 – 0,41, untuk nilai HDVI mangrove sebesar 0,008 sampai dengan 0,242. Kondisi ini masuk dalam kategori rusak berat, kecuali di kawasan Pantai Untia (DPK Sul-Sel, 2009 in Ramli, 2010). Sebagian besar pesisir Untia merupakan pantai berlumpur dan bervegetasi mangrove serta merupakan pantai yang landai, hanya sebagian kecil pantai ini tergolong cadas, sehingga masih banyak ditemukan tumbuhan mangrove. Ekosistem mangrove di kawasan Untia tercatat sekitar 5 hingga 27 ha, memiliki ketebalan mangrove <500 m, kerapatan mangrove >15 – 25 m2. Dilihat dari segi stabilitas pantai, maka pantai ini dapat dikatakan relatif stabil dan tenang, namun cenderung maju ke arah laut akibat sedimentasi dari Sungai Mandai, sehingga masih berpotensi untuk pemanfaatan wisata mangrove (Gambar 13). Pengelolaan kawasan Untia selama ini masih dikelola oleh masyarakat lokal (Untia) dengan cara masih sebatas pelestarian hutan mangrove, sedangkan untuk wisata, baik wisata mangrove maupun wisata kampung nelayan belum dikelola secara baik karena masyarakat lokal kurang memahami tentang bagaimana menjadikan kawasan ini sebagai kawasan wisata. Oleh karena itu, dibutuhkan SDM yang cukup memadai dalam rangka peningkatan pengelolaan kawasan wisata, agar di masa yang akan datang dapat menjadi sebuah kawasan wisata mangrove yang berkelanjutan yang dikenal oleh para wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Disamping itu juga, tampak adanya gejala abrasi sepanjang sekitar 30 m di perkampungan nelayan Kelurahan Untia. Penanaman mangrove juga sedang
92 digalakkan oleh pihak pemerintah lokal dengan melibatkan masyarakat setempat untuk menanam mangrove sehingga sangat potensial untuk dijadikan sebagai obyek wisata baik wisata mangrove maupun wisata kampung nelayan.
5.1.4 Ekosistem Lamun Padang lamun di kawasan pesisir Kota Makassar sudah sangat menipis dan bahkan terdegradasi akibat dari ulah manusia itu sendiri. Menipisnya padang lamun di kawasan pesisir Kota Makassar akibat terjadinya degradasi karena pembangunan pemukiman, hotel, Mall, dan industri. Sedangkan, di pulau-pulau kecil masih ditemukan lamun, namun kondisinya rusak hingga sedang. Jenis lamun yang ditemukan di perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar antara lain: Cymodocea rotundata, Halophila sp., Halodule sp., Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, dan Enhalus acoroides. Jenis lamun Enhalus acoroides lebih dominan ditemukan hampir di seluruh perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Persentase tutupan lamun relatif tinggi dapat ditemukan di Pulau Lancukang (72,5%) dan terendah ditemukan di Pulau Kayangan (5%). Kondisi tutupan lamun diperairan Pulau Kayangan dan Pulau Lae-lae relatif rusak bahkan sangat rusak dengan persentase tutupan 5 – 21,25%. Hanya beberapa pulau yang kondisi tutupan lamun masih baik, yaitu Pulau Langkai dan Pulau Barrang Lompo dengan persentase tutupan lamun masing-masing sebesar 71,25% dan 72,5% (Gambar 9,10,11 dan 12). Permasalahan utama ekosistem padang lamun di kawasan pulaupulau kecil Kota Makassar adalah kerusakan akibat tingginya pencemaran perairan laut oleh limbah industri dan rumah tangga serta kegiatan penimbunan dan pengerukan yang semakin meluas yang diindikasikan oleh hilangnya biota laut terutama di Pulau Kayangan dan di Pulau Lae-lae. Tidak adanya terumbu karang di Pulau Lae-lae juga menjadi salah satu faktor yang tidak mendukung kondisi lingkungan perairan bagi pertumbuhan lamun, oleh karena terumbu karang berfungsi sebagai pemecah ombak alamiah di perairan pesisir, sedangkan pertumbuhan padang lamun membutuhkan arus ombak yang tenang.
93
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Pe ta Kondisi Eksisting Kep. Sperm onde Ma kassa r N
W
P. Bo net am bun g
E S
1 P. Ba rrang Lo mp o
5°3'00"
5°3'00"
0
1km
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Daera h Perlindungan Laut (DPL) Lok asi B udidaya K erang Mutia ra
5°4'30"
5°4'30"
Tutupan Substr at : Karang Hidup Rubber/Kara ng Mati La mun Pas ir
Peta Indeks : P. Ba rrang Ca dd i
Barru
Pangkajene K
E
P
U
L
A
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
U
Maros Makassar Gowa
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Sum ber : 1. Citra Landsa t ETM+ 2 007 2. Survey Lapangan
Gambar 9. Peta sebaran ekosistem dan kondisi eksisting di pulau Barrang Lompo, Barrang Caddi dan Bonetambung 93
94
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
5°6'00"
5°6'00"
Peta Kondisi Eksisting Kep. Sperm onde Ma kassa r N
W
E
P. Ko dinga reng K eke S
1
0
1 km
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat 5°7'30"
5°7'30"
P. Sa ma lo na
Peta Indeks :
P. Ko dinga reng Lo mp o
Barru
5°9'00"
5°9'00"
Tutupan Substr at : Karang Hidup Rubber/Kara ng Mati La mun Pas ir
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Pangkajene K
E
P
U
L
A
U
Maros
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
Makassar Gowa
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Sum ber : 1. Citra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
94
Gambar 10. Peta sebaran ekosistem dankondisi eksisting di pulau Kodinggareng Keke, Samalona dan Kodinggareng Lompo.
95
11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Peta Kondisi Eksisting Kep. Sperm onde Ma kassa r N
W
E S
500
0
500
1000 m
Lum u-Lum u keci l
4°57'00"
4°57'00"
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat
Tutupan Substr at : Karang Hidup Rubber/Kara ng Mati La mun Pas ir
4°58'30"
Barru
P. Lum u-Lum u
4°58'30"
Peta Indeks :
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Pangkajene K
E
P
U
L
A
U
Maros Makassar Gowa
11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor Sum ber : 1. Citra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
Gambar 11. Peta sebaran ekosistem dan kondisi eksisting di pulau Lumu-lumu dan Lumu-lumu kecil. 95
96 11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
11 9 °7 '3 0 "
Peta Indeks :
Pangk ajene K
E
P
U
L
A
U
4°58'30"
4°58'30"
Bar ru
P. Lanc uk ang Maros Maka ssa r Gowa
5°00'00"
5°00'00"
5°1'30"
5°1'30"
P. Langka i
5°3'00"
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
Peta Kondisi Eksisting Kep. Sperm onde Ma kassa r N
W
E S
1
0
1 km
11 9 °7 '3 0 "
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat Tutupan Substrat : Karang Hidup Rubber/Karang Mati Lamun Pasir
Sum ber : 1. Citra Landsat E TM+ 2007 2. Survey Lapangan
Gambar 12. Peta sebaran ekosistem dan kondisi eksisting di Pulau Lancukang, dan Pulau Langkai.
5°3'00"
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
97 5.2 Kondisi dan Potensi Wisata Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 5.2.1 Wisata Pantai Di Wilayah Pesisir Kawasan pesisir Kota Makassar mempunyai sejumlah pantai yang dijadikan sebagai daerah tujuan wisata (DTW) seperti Pantai Barombong, Pantai Tanjung Merdeka, Pantai Tanjung Bayam, Pantai Anging Mammiri, Pantai Akkarena, Pantai Losari, Pantai Paotereq dan Pantai Untia. Pantai Akkarena dan Pantai Losari setiap hari ramai dikunjungi oleh wisatawan khususnya wisatawan lokal, sedangkan Pantai Barombong, Pantai Tanjung Bayam, Pantai Tanjung Merdeka dan Pantai Untia ramai dikunjungi wisatawan pada hari minggu atau hari libur. Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil wawancara dengan masyarakat lokal, masyarakat yang berkunjung atau wisatawan yang datang baik lokal maupun mancanegara ke Pantai Akkarena dan Pantai Losari, tujuannya adalah untuk melakukan rekreasi dengan berjemur di pinggir pantai. Selain itu juga, untuk tujuan duduk-duduk santai sambil menikmati angin yang bertiup sepoisepoi terutama pada sore hari dan juga menikmati matahari terbenam atau Sunset. Pantai Losari setiap hari ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara, mereka datang hanya duduk santai saja sambil menikmati udara di pagi hari maupun pada sore hari bahkan pada malam hari. Mereka juga mencicipi makanan yang ada dijual di sekitar pantai Losari seperti pisang epe, sarabba, dan ikan bakar. Menurut informasi dari masyarakat setempat bahwa orang senang datang di Pantai Losari karena pantainya sangat indah dan letaknya sangat strategis karena berada di kawasan Kota Makassar, dan mudah dijangkau khususnya masyarakat yang tinggal di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Maros. Kegiatan wisata lainnya yang dapat dilakukan di Pantai Losari khususnya pada malam hari adalah wisata mancing, dimana wisata mancing tersebut dapat dilakukan di sekitar Anjungan Pantai Losari yang telah tersedia. Terdapat beberapa tempat untuk melakukan kegiatan memancing yaitu Pantai Barombong, Pantai Tanjung Bayam, Pantai Lette, Pantai Untia dan Pantai Losari. Hasil wawancara dengan beberapa pengunjung yang melakukan kegiatan memancing bahwa mereka datang hanya pada hari-hari tertentu saja yakni pada hari sabtu, minggu, dan hari libur, namun di Pantai Losari hampir setiap malam tetapi pada
98 malam minggu pengunjung jauh lebih banyak dibandingkan dengan hari biasa. Tujuan wisatawan adalah untuk dijadikan sebagai hiburan, dan kadang mereka bersama dengan keluarganya. Pengunjung yang datang memancing umumnya berasal dari masyarakat Makassar, Gowa, dan Kabupaten Maros. Sedangkan wisatawan mancanegara sangat jarang berkunjung ke lokasi ini. Di kawasan pesisir Kota Makassar terdapat beberapa lokasi yang bisa dijadikan tempat wisata renang seperti Pantai Tanjung Bunga, Pantai Barombong, Pulau Kayangan, dan Pulau Lae-lae. Ke empat lokasi ini sering dikunjungi oleh para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun mancanegarauntuk berenang. Para wisatawan yang datang di lokasi tersebut umumnya bersama dengan keluarganya. Selain berenang, kegiatan wisata yang dilakukan adalah olah raga pantai, berjemur, dan sekedar duduk sambil menyaksikan para pengunjung melakukan aktifitas-aktifitas wisata di tempat wisata tersebut. 5.2.2 Festival dan Perayaan Bahari di Bandar Makassar Festival dan perayaan bahari telah menjadi agenda setiap tahun bagi Kota Makassar. Beberapa di antaranya merupakan bagian dari festival Internasional, di mana Kota Makassar ikut sebagai salah satu penyelenggaranya. Adapun kegiatan tersebut antara lain : 1) Makassar Regatte, 2) Sandeq Race dan Pesta Bandar Makassar, 3) Jolloroq Race, serta 4)Perlombaan jet sky. 1). Makassar Regatte Sejak tahun 1990, Bandar Makassar menjadi salah satu mata rantai dalam rangkaian lomba-lomba yacht yang diadakan disekian banyak lokasi di Indonesia seusai lomba perahu layar Internasional Darwin – Ambon. Lomba Makassar Regatta biasanya diadakan pada bulan Agustus, pada tahun-tahun terakhir, penyelenggaraan mampu menarik sampai 50 unit perahu pesiar dari seluruh penjuru dunia untuk mengunjungi Kota Makassar. 2). Sandeq Race dan Pesta Bandar Makassar Masyarakat nelayan dan Pelaut Mandar pada tahun 1995, meminta agar perlombaan perahu layar tradisional dengan tipe sandeq dengan rute Majene– Makassar. Tujuan utama penyelenggaraan perlombaan ini adalah meneruskan tradisi perlombaan perahu seusai musim penangkapan ikan terbang dan telurnya
99 di Selat Makassar yang di anut oleh para nelayan daerah Mandar. Pelaksanaan sandeq race pertama kali dilaksanakan pada tahun 1995 yang di fasilitasi oleh salah satu organisasi kemahasiswaan Universitas Hasanuddin (UNHAS). Dua tahun kemudian perlombaan sandeq tidak diadakan lagi, namun tahun 1998, sandeq race tersebut kembali di gelar setiap tahun secara berturut-turut. Tiga kali pelaksanaan sandeq race tersebut secara berturut-turut di bawah bimbingan Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu pada tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002. Sejak tahun 2003 pelaksanaan sandeq race diselenggarakan oleh pemerintah Propinsi Sulawesi–Selatan. Selama ditangani oleh UNHAS dan DKP, lomba sandeq race mengambil starnya di Majene pada tanggal 11 Agustus dan tiba di Makassar pada tanggal 16 Agustus. Sejak tahun 2004, penanggalan diubah dengan mempercepat keberangkatan armada lomba yakni tanggal 10 Agustus. Penerimaan peserta sandeq race antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Perayaan pesta Bandar Makassar yang merupakan sebuah festival musik, parade lomba di darat dan di laut sepanjang Pantai Losari setiap tanggal 15-17 Agustus yang diadakan oleh sebuah LSM asal Makassar. Sama halnya dengan sandeq race, pengadaan festival Bandar Makassar sejak tahun 2003 telah diambil alih oleh pemerintah daerah dan diberi nama baru yaitu festival Losari. 3). Jolloroq Race Kapal Jolloroq adalah jenis kapal yang digunakan sebagai alat transportasi dari Makassar ke pulau – pulau sekitarnya, atau antar pulau. Tahun 2001 dan 2002 sekolompok pemerhati budaya Maritim Makassar mengadakan kegiatan lomba bagi perahu motor lokal tipe jolloroq. Ajang lomba selama 2 hari ini diterima dengan sangat meriah oleh para pelaut tradisional dan bahkan menarik peserta dari seluruh kawasan Selat Makassar sampai ke Kalimantan. Kegiatan Jolloroq Race dilaksanakan dalam rangka HUT Kota Makassar. Selama dua tahun yaitu tahun 2002 dan 2003, kegiatan yang amat menarik dan tidak dapat diadakan kembali. Akhir mei 2004 dilaksanakan kembali perlombaan Jolloroq yang diikuti hampir 100 perahu dalam rangka ikut memeriahkan peluncuran ekspedisi Wallacea Indonesia yang ke 2000 di Makassar. Sejak Tahun 2007 kegiatan Jolloroq Race
100 kembali diadakan setiap HUT Kota Makassar yang penyelenggaraannya dikelola oleh pemerintah Kota Makassar. 4). Perlombaan Jet sky Jet sky merupakan salah satu olah raga air yang banyak diminati oleh masyarakat Makassar. Tempat penyewaan jet ski dapat kita jumpai di Kota Makassar. Teluk Losari dengan perairannya yang tenang merupakan tempat yang ideal untuk berolah raga jet ski. Tahun 2004, Kota Makassar mendapat kepercayaan sebagai penyelenggara putaran ke V perlombaan Jet ski Nasional. 5.2.3 Potensi Wisata Kampung Nelayan Untia (KNU) Kampung nelayan Untia (KNU) sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai obyek wisata budaya maritim karena didukung oleh beberapa sumberdaya alam baik sumberdaya alam yang ada di Pesisir Untia seperti pantai, memiliki pohon mangrove yang cukup luas, dan pembangunan tempat pelelangan ikan (TPI). Kampung nelayan juga bersentuhan langsung dengan, sehingga kampung ini bisa ditata sedemikian rupa agar dapat menjadi indah, unik, dan dapat menjadi daya tarik wisata bagi pengunjung apabila lokasi ini dijadikan sebagai destinasi tujuan wisata. Oleh karena itu, pembangunan kampung nelayan Untia (KNU) kedepan diharapkan pemerintah dapat memfasilitasi Kampung ini untuk dijadikan sebagai obyek wisata. Selanjutnya berdasarkan hasil kuesioner yang disebarkan kepada masyarakat kampung nelayan, masyarakat sangat setuju apabila kampung nelayan Untia dijadikan sebagai daerah tujuan wisata (DTW). Adapun alasannya bahwa apabila dijadikan DTW, maka masyarakat lokal akan mendapatkan pekerjaan sampingan dan tingkat kehidupan mereka akan lebih baik sehingga kesejahteraan masyarakat lokal akan lebih makmur. Pelibatan masyarakat Untia diharapkan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan tahap evaluasi, sehingga kebijakan yang terjadi adalah dari bawah ke atas (Bottom up).
101 11 9 °2 2 '3 0 "
11 9 °2 5 '0 0 "
11 9 °2 7 '3 0 "
Peta Ind eks :
Pe la buhan P erika nan N us anta ra U ntia K ota M a ka ss ar
Soppeng Bar ru
T P I U n t ia
Bone
T $
Pangk ajene
Maros
K e c.
Maka ssa r
B ir in g ka n a ya
Sinjai
5°5'00"
5°5'00"
6 . P a n t a i U n t ia
Gowa Bulukumba
Ta kalar Bantae ng Jeneponto
T P I P a o te r e P e la b u h a n R a k y a t P a o t e re
K e c. T a m a la n r e a
P e la b u h a n S o e k a r n o H a t a
Î
P. Ka hyan gan
T $
. Ta ll
o
K e c. U ju n g t a n a h
S
K e c. T a llo
1 . P a n t a i L o s a ri
5°7'30"
5°7'30"
Gs. La e-La e K e c. W a jo
Î
TP I R a ja w a li
K e c. B o n to a l a K e c. P a n a kk u ka n g
P. Lae -Lae 1
P a n ta i d i K a w a s a n T a n ju n g B u n g a :
K e c. U ju n g p a n d a n g
2 . A k a re n a
K e c. M a k a ss a r
3 . Ta n jun g B un ga
T $
4 . Ta n jun g B a y a m
5°10'00"
5°10'00"
K e c. M a r is o 2
K e c. R a p p o c in i
3
K e c. M a m a ja n g
K e c. T a m a la t e 4
S. Jen ebera ng
5 . P a n ta i B a r om b o ng
Kab. G ow a
T $
11 9 °2 2 '3 0 "
Peta Potensi da n Jenis Kegia tan Di S epanjang P antai Kota M aka ssar
N
W
11 9 °2 5 '0 0 "
Keterangan :
Î
Pelabuhan Batas Kabupaten Batas Kec amatan Sungai Perairan D angk al Kaw asan Pelabuhan
E S
1
0
1 Km
5°12'30"
5°12'30"
5 TP I B a r om b o ng
11 9 °2 7 '3 0 "
Ko nd isi Eksistin g & K eg iatan di K aw asan Pesisir Tam bak Mangrove Kaw asan Perdagangan
T $
Ro smawaty A nw ar N R P. C261040091
Tem pat Pelelangan Ikan
Su m be r Pe ta : 1. Pe ta R BI B akosu rtan al Skal a 1:5 0.00 0 2. C itra L an dsat 20 05 3. Su rvei L ap an gan
Pr ogram Stu di SPL Seko lah Pascasarjan a Institut Pertanian Bo go r
Gambar 13. Peta ekosistem dan kondisi eksisting di wilayah pesisir Kota Makassar 5.2.4 Kondisi dan Potensi Wisata Pulau Pengusahaan wisata pulau merupakan sektor ekonomi yang penting di pulau-pulau kecil Kota Makassar, karena kawasan ini merupakan bagian kawasan pariwisata yang tidak terpisahkan dari Kota Makassar. Kawasan ini memiliki 11
102 pulau yang beragam, menarik dan cukup terkenal, yang telah menjadi tujuan kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara. Posisi geografis Kota Makassar yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar, memilliki gugusan pulau karang yang tidak jauh dari kota yang mempunyai keindahan panorama bawah laut dan pantai dengan hamparan pasir putih. Selain itu juga, terdapat keanekaragaman terumbu karang dengan berbagai macam jenis ikan dan kehidupan masyarakat nelayan tradisional yang merupakan daya tarik bagi pengembangan wisata bahari di Kota Makassar. Kondisi tersebut menjadi simpul rangkaian kunjungan wisata dengan obyek wisata budaya dan sejarah yang ada di Kota Makassar maupun di daerah lainnya di Sulawesi-Selatan bahkan di Kawasan Timur Indonesia (Gambar 9 samapai 12). Dari 11 pulau yang di miliki kota Makassar, maka tiga di antaranya yaitu Pulau Kayangan, Pulau Samalna dan Pulau Kodinggareng Keke, saat ini telah dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Pulau kayangan yang dikelola penuh oleh swasta masih membutuhkan peningkatan saranan dan prasarana. Kondisi yang sama terjadi di Pulau Kodinggareng Keke sedang menunggu status pengelolaannya, oleh karena selama ini pulau Kodinggareng Keke dikelola oleh pihak asing. Pulau Samalona dan Pulau Lanyukang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai wistata diving dan snorkling masih menunggu sentuhan pemerintah khususnya kebijakan terhadap penduduk setempat yang sudah berada di pulau tersebut. Keunggulan potensi wisata bahari di Kota Makassar yang telah diuraikan di atas, belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah Kota Makassar. Hal ini tercermin dari obyek-obyek wisata bahari belum menjadi primadona dan menjadi daerah tujun wisata (destinasi utama) baik bagi wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. 5.2.5 Potensi Wisata Kapal Karam (Wreck Diving) Wreck diving adalah kegiatan penyelaman (diving) d iatas bangkai kapal karam yang merupakan salah satu jenis wisata diving yang sangat digemari pada lima tahun terakhir. Beberapa lokasi bangkai kapal karam yang terdapat di perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar merupakan obyek wisata wreck dive yang memiliki daya tarik yang tinggi bagi penyelam professional.
103 Keunggulan perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar yang memiliki sejumlah wreckspot menjadi salah satu primadona bagi wisata diving di perairan Makassar, sehingga diharapkan lokasi-lokasi ini dapat dikonservasi dari kerusakan akibat eksplotasi sumberdaya perikanan yang tidak ramah lingkungan. Adapun lokasi-lokasi wreckspot yang tersebar dipulau-pulau kecil Kota Makassar adalah sebagai berikut: 1). Kapal Maru (Sebelah barat Pulau Samalona) Kapal Maru terletak di sebelah barat Pulau Samalona, merupakan kapal perang jepang yang panjangnya sekitar 50 meter, masih membawa amunisi dan masih dalam keadaan baik, serta berada dalam posisi tegak di sebelah Barat Pulau Samalona. Kapal yang tenggelam ditutupi oleh karang keras dan lunak dan di sekeliling kapal terdapat keanekaragaman ikan yang cukup tinggi. Kapal Maru terletak di kedalaman maximum 31 m dengan geladaknya pada kedalaman 22 – 25 m, maka penyelaman ini dianjurkan bagi penyelam yang berpengalaman dengan visibilitas 10 – 20 meter. 2). Kapal Perang Kapal yang terdapat di Pulau Kodinggareng Keke merupakan Kapal patroli pemburu kapal selam atau gunboat yang berasal dari Jepang. Panjang kapal sekitar 30 m dan terletak di sebelah Timur Laut Pulau Kodingareng Keke. Kapal ini masih dalam keadaan cukup lengkap dengan posisi miring ke sebelah kiri lambung. Meriam di kapal ini pun masih dalam kondisi terpasang. Lambungnya tertutup dengan karang dan terdapat keanekaragaman ikan yang sangat indah. Kapal karam itu terletak di kedalaman 30 – 40 meter, sehingga dianjurkan hanya untuk penyelam berpengalaman. 3). Kapal Submarine Kapal Submarine merupakan bangkai kapal selam USS S-36 (SS-144) dengan panjang 66 meter. Kondisi kapal sudah terbelah dua dengan bagian haluan terletak diatas karang pinggir dengan kedalaman 3 – 11 meter. Salah satu pecahan bagian tengah lambung terdapat pada slope karang pada kedalaman 25 – 40 meter. Keanekaragaman hayati laut bervariasi, karena perairan ini memiliki arus yang
104 kencang maka diperlukan pengalaman untuk dapat menyelam dan melihat bangkai kapal tersebut. 4). Kapal Hakko Maru Kapal Hakko Maru terletak di pinggir karang sebelah barat daya Pulau Lae Lae dan merupakan kapal kargo besar buatan Belanda yang ditenggelamkan pada perang dunia II. Kondisi kapal sudah pecah, dan visibilitas sangatlah kurang. Di lokasi kapal dengan kedalaman 10–24 meter ini kurang memiliki keanekaragaman ikan dan karang. 5). Pesawat Pengebom Michell/Lancaster Bomber Pesawat Michell/Lancaster Bomber merupakan pesawat pengebom yang terletak sekitar 1 mil laut dari Pulau Samalona dan terdapat di kedalaman 30 meter, sehingga untuk menikmati pemandangan kapal ini disarankan bagi penyelam yang berpengalaman. Pada dua tahun lalu, bangkai kapal pesawat yang selama ini merupakan salah satu primadona penyelaman di perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar hampir seluruhnya dihancurkan oleh kegiatan pengeboman.
5.3 Kualitas Air Di Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar 5.3.1 Di Perairan Pesisir Kualitas air merupakan salah satu penentu utama dalam pengembangan wisata bahari. Kualitas air mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang dan keragaman ikan karang yang merupakan daya tarik utama dalam kegiatan wisata bahari. Kualitas air di sekitar saluran buangan perairan Pantai Losari Makassar (Nypah, 2003 in Ramli, 2010), ditunjukkan pada Tabel 15. Intensitas matahari sangat berpengaruh terhadap kecerahan perairan, karena keberadaan intensitas matahari yang terserap ke dalam perairan sangat membantu keberlangsungan hidup biota laut dalam proses assimiliasi. Keputusan Menteri KLH No.51Tahun2004 tentang pedoman baku mutu air laut untuk biota laut membutuhkan intensitas kecerahan
5 m. Tingkat kecerahan di sepanjang
pantai Losari Makassar mengalami fluktuasi yang berbeda dalam setiap periode musim. Sebelas pulau terluar masih memiliki tingkat kecerahan cukup tinggi. Daerah pesisir Kota Makassar khususnya Pantai Losari sudah didapati kandungan
105 limbah yang berasal dari uraian bahan-bahan organik yang berasal dari limbah rumah sakit, rumah tangga, perhotelan, dan pedagang kaki lima. Hal ini menyebabkan menurunnya kualitas air yang secara fisik ditandai dengan perubahan warna air laut dengan bau yang tidak sedap. Hal ini ditandai dengan berkurangnya organisme perairan seperti ikan, kepiting, dan udang yang hidup di pesisir Pantai Makassar. Tabel 15. Kualitas air di sekitar perairan pesisir Kota Makassar. Lokasi Sampling N o
Parameter
1
Suhu
2
Kecerahan
3
pH
4
Losari
Tanjung Bunga
Barombong
Paotereq
Untia
C
30,7
30,5
alami
30,9
alami
Baku Mutu Wisata alami
M
<6
>6
>5
>3
>5
>6
-
7,36
7,48
7 – 8,5
6,87
7,17
7 – 8,5
Nitrat
mg/l
0,014
0,011
0,008
168,29
0,008
5
Fosfat
mg/l
0,020
0,013
0,015
tt
0,044 8 0,749
6
Salinitas
o
30,98
34,16
alami
30,69
33
Alami
6,72
6,98
>5
19,45
5,76
>5
Satuan
/oo
mg/l Oksigen terlarut (DO) Sumber: Ramli (2010)
7
0,015
5.3.2 Perairan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar Kecerahan perairan di sekitar Kepulauan Spermonde Kota Makassar berdasarkan hasil pengukuran di lapangan berkisar antara 3-22 m, artinya sampai kedalaman 3-22 m di bawah permukaan air laut objek/benda masih bisa dilihat dengan mata telanjang secara langsung. suhu udara di atas permukaan air laut disekitar Kepulauan Spermonde berkisar antara 29,5–31oC, sementara secara alami, suhu perairan laut berkisar antara 26-320C. Hasil penelitian diperoleh kisaran salinitas perairan antara 31–36 o/oo. Nilai pH perairan dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesa, suhu air, buangan industry dan buangan rumah tangga. Kisaran pH di lokasi penelitian adalah 7,89-8,39. Nilai parameter kualitas air secara fisika dan kimia pada 11 pulau-pulau kecil di Kota Makassar disajikan pada Tabel 16.
106
Tabel 16. Kualitas air di perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar Pulau
106
Langkai Lanyukang Lumu-Lumu Bonetambung Barrang Caddi Barrang Lompo KodinggarengLompo Kodinggareng Keke Samalona Lae-Lae Kayangan
Suhu (oC) 30 – 31 30 – 31 30 – 31 30 – 31 30,5 29,5 – 31 30 30 – 30,5 30 31 31
Kecerahan (m) 10 – 17 13 – 19 11 – 18 12 – 17 15 – 18 11 – 15 13 – 18 10 – 13 13 – 15 3–4 4
Kedalaman (m) 2 – 20 2 – 31 2 – 33 2 – 30 2 – 26 2 – 24 2 – 24 2 – 31 2 – 30 2 – 28 2 – 30
Arus (m/dtk) 0.06– 0.25 0.04-0.28 0.10-0.20 0.08-0.28 0.20-0.26 0.17-0.20 0.07-0.25 0.10-0.18 0.04-0.08 0.02-0.28 0.04-0.26
Parameter Oksigen pH (mg/l) 5.3 – 6.5 7.9 – 8.0 4.9 – 6.9 7.9 – 8.0 5.0 – 5.3 7.9 – 8.0 4.3 – 6.1 8.01-8.03 4.8 – 5.6 7.91-8.04 5.3 – 6.0 7.9 – 8.0 3.9 – 4.9 7.89 – 8.0 4.0 – 4.9 7.9 - 8.0 4.9 – 6.7 8.0 - 8.30 5.1 – 5.7 8.08-8.39 5.3 – 5.5 7.97-8.03
Salinitas (o/oo) 34 – 36 34 – 36 34 – 35 34 – 35 34 – 35 34 – 35 35 34 – 35 34 - 35 33 – 34 31
Nitrat (mg/l) 0.10-1.28 0.23-0.75 0.13-0.68 0.11-0.30 0.17-1.12 0.11-2.45 0.05-019 0.05-0.29 0.31-0.62 0.31-0.62 0.25-0.58
Fosfat (mg/l) 0.49-0.84 0.44-0.96 0.63-0.80 0.61-0.81 0.46-1.06 0.57-0.65 0.56-0.67 0.45-0.67 0.39-0.71 0.59-0.69 0.40-0.76
107 Secara umum nilai rata-rata parameter kualitas air di perairan pulau-pulau kecil Kota Makassar masih layak atau mendukung untuk melakukak aktifitas wisata bahari, kecuali di Pulau Lae-Lae dan Pulau Kayangan. Hal ini dapat dilihat dari nilai yang didapatkan dari kesebelas lokasi pengambilan sampel, hanya Pulau Lae-lae dan Pulau kayangan yang melewati ambang batas kisaran baku mutu air untuk wisata bahari yang ditetapkan oleh Kepmen Negara LH No.51 Tahun 2004. Kondisi perairan kedua pulau tersebut disebabkan karena letaknya yang sangat dekat dari mainland Kota Makassar, sehingga limbah antropogenik sangat mudah masuk keperairan laut tersebut. 5.4 Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan untuk Wisata Bahari Kesesuaian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar untuk pemanfaatan wisata bahari dilakukan untuk mengetahui tingkat kecocokan atau kesesuaian
jenis kegiatan wisata yang dikembangkan berdasarkan potensi
sumberdaya alam. Analisis kesesuaian
wisata bahari dalam penelitian ini
meliputi: (1) wisata pantai kategori rekreasi dan mangrove, (2) wisata snorkling, dan (3) wisata selam. Penilaian kesesuaian wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dilakukan berdasarkan kriteria/parameter dengan menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode tumpang susun (overlay) yang disajikan dalam bentuk peta kesesuaian kawasan dan besaran luasan dengan memberikan warna yang berbeda. Masing-masing kawasan diidentifikasi secara terpisah berdasarkan kriteria/parameter kesesuaian
yang
telah ditentukan pada setiap penggunaan kawasan, kemudian disusun klasifikasi (pengkelasan) yang meliputi 3 (tiga) kelas kesesuaian , yaitu: sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (TS). . Pembobotan pada setiap faktor pembatas ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. Setiap parameter diberikan besaran bobot antara 1 - 5. Pemberian skoring bertujuan untuk menilai beberapa parameter yang menjadi kriteria terhadap suatu evaluasi kesesuaian . Kelas sangat sesuai (S1) diberi skor 84-100 %, kelas sesuai (S2) diberi skor 5083%, dan skor < 50% diberikan untuk kelas tidak sesuai (TS).
108 5.4.1 Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Wisata Bahari Kota Makassar yang secara geografis terletak di Pulau Sulawesi yang memiliki kawasan pesisir yang sangat menarik sehingga berpotensi untuk pengembangan wisata bahari. Berdasarkan hasil analisis spasial dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil kesesuaian wisata yaitu kawasan pesisir sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi dan wisata mangrove, sedangkan di pulau-pulau kecil kota Makasar sesuai untuk wisata pantai, snorkling, dan diving. 1). Kesesuaian Kawasan Pesisir untuk Wisata Pantai Analisis kesesuaian untuk wisata pantai di pesisir Kota Makassar dengan menggunakan analisis spasial (Gambar 14) dan (Tabel 18), maka pantai di kawasan Tanjung Bunga dikategorikan sangat sesuai (S1) untuk wisata pantai dengan panjang garis pantai adalah 6443 m. Pantai Losari dikategorikan sesuai (S2) untuk wisata pantai dengan panjang garis pantai adalah 2533 m. Pantai Barombong dengan panjang garis pantai 2672 m dikategorikan sesuai untuk wisata pantai, sedangkan 4009 m dikategorikan tidak sesuai untuk wisata pantai. Pelabuhan Rakyat Paotereq dan Pantai Untia dikategorikan tidak sesuai (TS) untuk pengembangan wisata pantai. Panjang pantai pada kelas kesesuaian S1 diperoleh panjang pantai yang lebih besar dibandingkan kelas kesesuaian S2. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pantai Akkarena, Pantai Losari, dan Pantai Barombong masih cukup baik dan sesuai untuk dimanfaatkan sebagai tempat wisata bahari kategori wisata pantai, karena faktor-faktor pembatas yang ada untuk kegiatan ini relatif kecil. Oleh karena itu, pengembangan wisata pantai kategori rekreasi pada waktu-waktu mendatang masih dapat dilakukan dengan memperhatikan daya dukung kawasan dan pengembangan yang berkelanjutan. Pantai di kawasan Tanjung Bunga memiliki tipe pantai yang landai dan berpasir, perairannya yang tenang, kecerahan cukup baik, dan penutupan lahan pantai berupa pohon kelapa, ketersediaan air tawar cukup tersedia serta mempunyai garis pantai terpanjang di kawasan pesisir Kota Makassar. Hal ini juga disebabkan karena di dalam kawasan Tanjung Bunga terdapat 3 pantai yang saling menyambung antara satu dengan yang lainnya, yaitu Pantai Tanjung Bayam, Pantai Akkarena, dan Pantai Anging Mammiri sehingga merupakan
109 kawasan kota wisata pantai yang terbesar dan menjadi tujuan wisata pantai yang utama di kota Makassar. Selain itu, sarana untuk wisata pantai di kawasan wisata Tanjung Bunga cukup tersedia.
11 9 °2 2 '3 0 "
11 9 °2 5 '0 0 "
11 9 °2 7 '3 0 "
K aw as an W is ata ma ngrove
# K e c. Y B irin g ka n a ya
5°5'00"
5°5'00"
6 . P a n ta i U n t ia
# Y K e c. T a m a la n re a
Î . Ta ll
o
# Y
K e c. U ju n g t a n a h
S
5°7'30"
5°7'30"
# Y K e c. T a llo 1 . P a n ta i L o s a ri
# K e c. W a jo Y
Î
# K e c. B o n to a l a Y 7 . Ta n jun g B un ga # Y
1
P a n ta i d i K a w a s a n T a n ju n g B u n g a : 2 . A k a re n a
7
K e c. U ju n g p a n d a n g # Y # Y
3 . T a n j u n g M e rd e k a
K e c. P a n a kk u ka n g
K e c. M a k a ss a r
4 . Ta n jun g B a y a m
# Y K e c. M a n g g a la
2
5°10'00"
5°10'00"
# K e c. M a ris o Y # Y K e c. R a p p o c in i # K e c. M a m a ja n g Y
3
# Y 4
K e c. T a m a la t e
S. Jen ebera ng
5
5°12'30"
5°12'30"
Kab. G ow a 5 . P a n ta i B a r om b o ng
11 9 °2 2 '3 0 "
P eta Ka wa san W isa ta Bahari Di S epanjang P antai Kota M aka ssar N W
E
11 9 °2 5 '0 0 "
Î
Pelabuhan Batas Kabupaten Batas Kec amatan Sungai Perairan D angk al Kaw asan Pelabuhan
S
11 9 °2 7 '3 0 "
R osm awati Anw ar N R P. C261040091
Keterangan : Peta Ind eks : Soppeng Bar ru Bone
Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana Ins titut Pertanian Bogor
Pangk ajene
Maros Maka ssa r Sinjai
Kesesuaian W isata Pan tai 1
0
1 Km
Sangat Sesuai Ses uai Tidak Sesuai
Gowa Bulukumba
Ta kalar Bantae ng Jeneponto
Su m be r Pe ta : 1. Pe ta R BI B akosu rtan al Skal a 1:5 0.00 0 2. C itra L an dsat 20 05 3. Su rvei L ap an gan
Gambar 14. Peta kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi di wilayah pesisir Kota Makassar.
110 Adapun transportasi menuju lokasi wisata disediakan secara gratis oleh pemerintah Kota Makassar. Kawasan Tanjung Bunga merupakan kawasan wisata terpadu antara pemukiman, wisata, dan niaga. Secara administratif, pantai ini terletak dibagian Barat Kota Makassar dan terletak di Kecamatan Tamalate yang sangat strategis, tepatnya Kelurahan Tanjung Merdeka. Pantai Tanjung Bunga sangat strategis, karena di dalam kawasan Tanjung Bunga terletak tiga buah pantai yaitu Pantai Akkarena, Pantai Tanjung Bayam dan Pantai Anging Mammiri, yang saling menyambung anatara satu dengan yang lainnya. Pantai kawasan Tanjung Bunga merupakan kawasan kota wisata bahari yang terbesar dan menjadi daerah tujuan wisata pantai yang utama di Kota Makasar. Pantai Akkarena yang merupakan salah satu pantai yang terdapat di dalam kawasan Tanjung Bunga, memiliki luas sekitar 3,37 km2. Jarak Pantai akkarena dari pusat Kota Makassar sekitar 3 km dan dapat ditempuh sekitar 10-15 menit. Pantai Akkarena merupakan salah satu pantai yang ramai dikunjungi wisatawan baik dari luar Kota Makassar maupun dari sekitar Kota Makassar terutama di musim liburan dan pada akhir pekan. Aktifitas wisata yang dapat dilakukan di Pantai Akkarena adalah berenang atau hanya sekedar menikmati indahnya panorama pantai sembari menghilangkan kepenatan dan kejenuhan setelah melakukan rutinitas. Adapun yang menjadi atraksi wisata bagi pengunjung adalah jet ski, atraksi hobbies, dan berenang. Pantai Akkarena memiliki sarana wisata yang cukup tersedia antara lain adalah sarana bermain seperti banana boat, luncuran, dan juga tersedia olah raga pantai seperti lapangan volly pantai. Infrastruktur di Pantai Akkarena cukup memadai dan akses transportasi menuju lokasi wisata Pantai Akkarena ini cukup baik, lapangan parkir yang sangat luas, restaurant, serta memiliki jety sebagai tempat bersantai dan home stay bagi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Kawasan Tanjung Bunga juga memiliki obyek wisata selain dari wisata pantai yaitu wisata muara Sungai Jeneberang, Moll GTC sebagai wisata belanja. Pantai Akkarena juga berbatasan langsung dengan Pantai Tanjung Bayam dan Pantai Angin Mammiri, Pantai Barombong, dan Sungai Jeneberang. Hasil analisis kesesuaian dengan menggunakan analisis spasial lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12.
111 Pantai Tanjung Bayam dan Pantai Angin Mammiri memiliki struktur ekologi atau vegetasi pantai yang beraneka ragam yaitu: berpasir, tambak, tanaman pohon waru, pohon kelapa, pohon pisang, petai cina, dan memiliki pula tempat peristirahatan antara lain: tenda untuk disewa, home stay (balla-balla). Selain hal tersebut, bagi pengunjung yang ingin berenang tersedia juga ban yang disewakan oleh masyarakat lokal. Kedua pantai tersebut sering juga di kunjungi wisatawan, baik wisatawan lokal maupun mancanegara, khususnya pada hari Minggu, dan hari libur. Penduduk setempat pada hari minggu dan hari libur banyak yang mempersewakan rumahnya untuk dijadikan sebagai tempat istirahat bagi para wisatawan yang datang, sehingga mereka mendapatkan tambahan pendapatan dari hasil sewa rumah tersebut. Pantai ini memiliki potensi yang strategi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata karena pantai ini sangat dekat dengan Kota Makassar dan aksesnya mudah di jangkau oleh para wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisata mancanegara. Masyarakat Tanjung Bayam sangat ramah bila mereka kedatangan tamu baik tamu dari pihak keluarga maupun dari pihak manapun, mereka tidak memilah–milah, semua pengunjung diperlakukan seperti keluarga sendiri. Hasil analisis spatial untuk kesesuaian wisata pantai, menunjukkan bahwa Pantai Barombong dikategorikan sesuai (S2) untuk wisata pantai. Hal ini disebabkan karena pantainya berpasir masing-masing parameter yaitu; kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar pantai, kecepatan arus, kecerahan, penutupan lahan pantai, dan ketersediaan air tawar yang cukup, sehingga Pantai Barombong berada pada kategori sesuai untuk pengembangan wisata pantai. Selain itu, Pantai Barombong juga memiliki tempat peristirahatan berupa home stay sebagai tempat bersantai bagi wisatawan, sehingga menambah keindahan alam pantainya. Kawasan ini sangat ramai di kunjungi oleh wisatawan lokal terutama pada hari minggu dan hari libur. Hasil wawancara dengan masyarakat Barombong (2007) mengatakan bahwa dalam pengelolaan wisata Pantai Barombong hingga saat ini masyarakat lokal kurang dilibatkan karena pengelolaannya masih toff-down artinya dari atas kebawah, sehingga masyarakat lokal kurang berpartisipasi karena mereka tidak pernah diajak untuk duduk bersama mencari solusi agar kawasan wisata tersebut
112 dikelola secara bersama dengan masyarakat lokal.
Keputusan penuh masih ada
pada pihak pemerintah daerah tingkat I Propinsi Sulawesi-Selatan. Perhatian pemerintah terhadap perkembangan wisata di kawasan Pantai Barombong masih rendah. Hasil analisis kesesuain, menunjukkan bahwa Pantai Losari sesuai (S2) untuk pengembangan wisata pantai karena masing-masing parameter yang digunakan yakni; kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar pantai, kecepatan arus, kecerahan, dan ketersediaan air tawar masih sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi serta didukung oleh perairan yang relatif tenang sepanjang tahun dengan keindahan panorama sunset yang sangat indah dikala matahari senja. Pesisir Pantai Losari terletak pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Pantai Losari merupakan ikon wisata di Kota Makassar. Para wisatawan baik domestik maupun mancanegara dapat menyaksikan keindahan alam Pantai Losari yang berupa sunset di waktu senja atau menikmati suasana Pantai Losari pada malam hari sambil menikmati makanan sea food atau makanan khas Kota Makassar yang banyak dijajakan pedagang sepanjang Pantai Losari. Pantai Losari merupakan Icon obyek wisata di Kota Makassar karena letaknya sangat strategis dan bersentuhan langsung dengan Kota Makassar, oleh sebab itu apabila para pendatang atau wisatawan yang datang di Kota Makassar sangatlah rugi apabila tidak mampir sejenak untuk menikmati keindahan alam di Pantai Losari Makassar. Pantai Losari ini sering ramai dikunjungi orang utamamnya di malam hari baik dari masyarakat lokal, masyarakat pendatang maupun mancanegara. Selain wisata bahari, Pantai Losari juga di kenal dengan obyek wisata sejarah dan budaya seperti lokasi Benteng Ujung Pandang/ Fort Rotterdam, dan Pelabuhan Kayu Bangkoa. Sarana sosial budaya yang terdapat di Pantai Losari sebagai pendukung atraksi wisata adalah: sepeda air, bebek air, restaurant terapung, anjungan, panggung hiburan, taman bermain, hotel, wisata kuliner, kerajinan khas Sulsel, emas, Wisata Belanja, Pelabuhan Kayu Bangkoa, serta Pelabuhan Sukarno Hatta. Kelengkapan sarana-sarana tersebut menyebabkan banyak wisatawan yang tertarik untuk berkunjung ketempat ini dengan berekreasi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama dengan keluarga. Letak yang sangat
113 strategis menyebabkan kawasan wisata ini mudah diakses dan telah menjadi tujuan wisata yang utama di Kota Makassar. Akses untuk menuju lokasi ini dapat ditempuh dari berbagai sudut Kota Makassar karena letaknya
yang sangat
strategis dan memiliki sarana pendukung yaitu; museum, pusat suaka peninggalan purbakala, serta didukung oleh areal parkir yang luas, restaurant, penjual souvenir, dan lain-lain. Hasil analisis spasial untuk kesesuaian wisata bahari menunjukkan bahwa Pelabuhan Rakyat Paotereq tidak sesuai (TS) untuk pengembangan wisata pantai. Hal ini disebabkan karena pantainya berbatu dantidak berpasir serta kekeruhannya yang sangat tinggi sehingga tidak memenuhi standar wisata pantai. Selain itu, pelabuhan Paotereq setiap hari ditempati kapal-kapal untuk berlabuh. Kapal yang berlabuh disini adalah kapal-kapal tradisional yang melayani pulau-pulau kecil yang berada di kawasan spermonde antara Makassar – Pangkep maupun antar provinsi. Hasil analisis spatial juga menunjukkan bahwa Pantai Untia tidak sesuai (TS) untuk dijadikan obyek wisata pantai karena tipe pantainya berlumpur dan sebagian tergolong cadas. 2). Kesesuaian Kawasan Pesisir untuk Wisata Mangrove Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa Pantai Untia dikategorikan sangat sesuai (S1) untuk wisata mangrove. Hal ini disebabkan karena, Pantai Untia sebagian besar merupakan pantai berlumpur dan merupakan pantai yang landai, dan hanya sebagian kecil pantai ini tergolong cadas, sehingga sangat mendukung untuk pertumbuhan mangrove. Jumlah luasan hutan mangrove di Pantai Untia adalah kurang lebih 5 - 27 ha, yang berpotensi untuk dijadikan kawasan wisata mangrove karena masih memiliki lahan mangrove yang cukup luas, sehingga masih banyak di tempati ikan untuk memijah, dan mencari makan. Dilihat dari segi stabilitas pantainya, maka pantai ini dapat dikatakan relatif stabil dan tenang dan berlumpur, namun cenderung maju ke arah laut akibat sedimentasi dari Sungai Mandai. Pantai Untia secara geografis terletak pada bagian Selatan Kota Makassar dengan luas 2,89 km2. Ini terlihat pada peta kesesuaian (Gambar 15) yang di beri warna hijau dengan kode polygon: A, B, dan C. Sedangkan kategori sesuai (S2) adalah berwarna ungu dengan polygon E dan F, dan polygon G dan H dikategorikan tidak sesuai (S3) dan diberi warna abu-abu.
114 11 9 °2 7 '3 0 "
11 9 °2 8 '0 0 "
11 9 °2 8 '3 0 "
11 9 °2 9 '0 0 "
11 9 °2 9 '3 0 "
Pe ta Ke sesuaia n W isata Man grove Keluraha n U ntia Kec. Biringkan aya Ko ta Ma ka ssa r N
W
Lah an Ko so ng
E S
Kab. M aros 300
5°3'30"
5°3'30"
0
300 m
Pe ta I nde ks : Soppeng Bar ru Bone Pangk ajene
Maros Maka ssa r Sinjai Gowa Bulukumba
Ta kalar
Bantae ng
5°4'00"
5°4'00"
Jeneponto
Keterangan : Batas Kabupaten
Kec. B iringka na ya K ota Mak assa r
Tambak
Kesesuaian wis ata m angr ov e :
11 9 °2 7 '3 0 "
11 9 °2 8 '0 0 "
11 9 °2 8 '3 0 "
Pe mu kim an Nelayan De sa Un tia
11 9 °2 9 '0 0 "
5°4'30"
5°4'30"
Sangat Ses uai Sesuai Lah an Ko so ng
11 9 °2 9 '3 0 "
Tidak S esuai Ro smawaty A nw ar N R P. C261040091
Pr ogram Stu di SPL Seko lah Pascasarjan a Institut Pertanian Bo go r
Gambar 15. Peta kesesuaian wisata pantai kategori mangrove Kota Makassar Kehadiran kawasan wisata budaya Kampung Nelayan Untia (KNU) di pesisir pantai Untia juga sangat mendukung bagi pengembangan wisata mangrove. Penanaman mangrove juga sedang digalakkan oleh pihak pemerintah lokal dengan melibatkan masyarakat setempat sehingga, masyarakat lokal memperoleh pekerjaan tambahan selain menangkap ikan. Di kawasan Untia saat ini juga sedang dibangun Pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Wisata Kampung Nelayan di pesisir Pantai Untia sebagai pendukung wisata mangrove, juga cukup potensial untuk dikembangkan karena lokasinya bersentuhan langsung dengan laut. Kampung Nelayan ini memiliki kanal-kanal yang masih memerlukan penataan yang serius, sehingga memiliki daya tarik wisata tinggi. Kampung Nelayan ini kanalnya juga bersentuhan langsung dengan laut, sehingga apabila ditata dengan baik maka, tentu semakin menarik bagi wisatawan untuk berkunjung, atraksi wisata yang dapat dilakukan bagi wisatawan adalah berperahu keliling kanal di kawasan Kampung Nelayan sambil memancing ikan dan mengenal lebih dekat tentang budaya masyarakat nelayan. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian untuk pengembangan wisata pesisir Kota Makassar maka ke lima obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP)
115 tersebut di atas baik secara ekologi, sosial, dan ekonomi, maka yang dikategorikan sangat sesuai (S1) untuk wisata pantai adalah Pantai Akkarena. Pantai Barombong dan Pantai Losari dikategorikan sesuai (S2) untuk wisata pantai, sedangkan pantai Paotereq dan Pantai Untia dikategorikan tidak sesuai (TS) untuk wisata pantai, tetapi Pantai Untia dikategorikan sangat sesuai (S1) untuk wisata mangrove.
5.4.2
Kesesuaian Pulau-Pulau Kecil untuk Wisata Bahari Penilaian kesesuaian wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar
dilakukan berdasarkan kriteria/parameter dengan menggunakan pendekatan sistem informasi geografis (SIG) dengan metode tumpang susun (overlay) yang disajikan dalam bentuk peta kesesuaian lahan dan besaran luasan dengan memberikan warna yang berbeda (Gambar 13). Masing-masing kawasan diidentifikasi secara terpisah berdasarkan kriteria/parameter kesesuaian yang telah ditentukan pada setiap penggunaan kawasan, kemudian disusun klasifikasi (pengkelasan) yang meliputi 3 (tiga) kelas kesesuaian yaitu; sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (TS). Hasil analisis kesesuaian
wisata bahari yang didapatkan dari masing-
masing kesesuaian tersebut, kemudian dilakukan overlay lagi, sehingga diperoleh satu peta overlay dari berbagai peruntukan kegiatan wisata bahari yang terdiri dari 3 jenis kegiatan, yaitu wisata pantai, wisata snorkling, dan wisata diving. Hasil overlay menunjukkan bahwa satu pulau terdapat beberapa kesesuaian
wisata
bahari, namun tidak terjadi tumpang tindih kegiatan di dalam ruang yang sama. Secara ilustratif, peta hasil overlay berbagai kesesuaian wisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar disajikan pada Gambar 16, 17, 18, 19, dan 20. Kesesuaian wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar dibagi dalam tiga kategori wisata yaitu; wisata pantai kategori rekreasi, wisata snorkling, dan kategori wisata diving.
116
11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
11 9 °7 '3 0 "
Peta Indeks :
Pangk ajene K
E
P
U
L
A
U
4°58'30"
4°58'30"
Bar ru
P. Lanc uk ang Maros Maka ssa r Gowa
5°00'00"
5°00'00"
5°1'30"
5°1'30"
P. Langka i
5°3'00"
5°3'00"
11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Bahari Kep. Spermonde Makassar N
W
E S
1
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat
0
1 km
Kesesuaian W isata Bahari : Wisata Selam Wisata Snorkling Wisata Pantai
11 9 °7 '3 0 "
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sum ber : 1. Citra Landsat E TM+ 2007 2. Survey Lapangan
Gambar 16. Peta hasil overlay berbagai kesesuaian wisata bahari di Pulau Lancukang dan Pulau Langkai
117
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
5°6'00"
5°6'00"
Peta Kese suaian W is ata Ba hari Ke p. Spe rmonde Makas sar N
W
E S
P. Ko dinga reng K ek e 1
0
1 km
Peta Indeks : Barru
Pangkajene
5°7'30"
K E P U LA U A N SP E R M O N D E
5°7'30"
P. Sa ma lo na
Maros Makassar Gowa
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat
Wisata Selam Wisata Snorkling Wisata Panta i
P. Ko dinga reng Lo mp o
5°9'00"
5°9'00"
Kese suaian W is ata Ba ha ri :
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Sum ber : 1. C itra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
117
Gambar 17. Peta hasil overlay berbagai kesesuaian wisata bahari di Pulau Kodinggareng Keke dan Pulau Samalona
118
11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Peta Kese suaian W is ata Ba hari Ke p. Spe rmonde Makas sar N
W
E S
500
0
1000 m
500
Gs . Lum u-Lum u ke cil
Peta Indeks : 4°57'00"
4°57'00"
Barru
Pangkajene K E P U LA U A N SP E R M O N D E
Maros Makassar Gowa
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Kese suaian W is ata Ba ha ri :
4°58'30"
4°58'30"
Wisata Selam Wisata Snorkling Wisata Panta i
P. Lum u-Lum u
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
118
11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Sum ber : 1. Citra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
Gambar 18. Peta hasil overlay berbagai kesesuaian wisata bahari di Pulau Lumu-lumu
119
11 9 °2 4 '0 0 "
Peta Indeks :
5°6'40"
5°6'40"
11 9 °2 3 '2 0 "
Bar ru
Pangk ajene K E P UL A U AN S P E R M ON D E
Maros Maka ssa r Gowa
P. Kahyangan
5°7'20"
5°7'20"
Î
5°8'00"
5°8'00"
Ko ta Makassar
P. L ae-L ae
11 9 °2 3 '2 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Bahari Kep. Sperm onde Makassar N
W
E S
250
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat
0
250 Me ters
Kesesuaian W isata Bahari : Wisata Selam Wisata Snorkling Wisata Pantai
11 9 °2 4 '0 0 "
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sum ber : 1. Citra Landsat E TM+ 2007 2. Survey Lapangan
Gambar 19. Peta hasil overlay berbagai kesesuaian wisata bahari di Pulau Kayangan
120
11 9 °16 '3 0 "
11 9 °1 8'0 0 "
119 °1 9 '30 "
Peta Kese suaian W is ata Ba hari Ke p. Spe rmonde Makas sar N
W
P. Bo net am bun g
E S
1
0
1 km
Peta Indeks : 5°3'00"
5°3'00"
P. Ba rrang Lo mp o
Barru
Pangkajene K
E
P
U
L
A
U
Maros Makassar Gowa
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Kese suaian W is ata Ba ha ri : 5°4'30"
5°4'30"
P. Ba rrang Ca dd i
120
11 9 °16 '3 0 "
11 9 °1 8'0 0 "
119 °1 9 '30 "
Wisata Selam Wisata Snorkling Wisata Panta i Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor Sum ber : 1. Citra Landsa t ETM+ 2 007 2. Survey Lapangan
Gambar 20. Peta hasil overlay berbagai kesesuaian wisata bahari di Pulau Bonetambung, Barrang Lompo dan Barrang Caddi
121 1). Kesesuaian Pulau-Pulau Kecil untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi Evaluasi kelas kesesuaian wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar
untuk
wisata
pantai
kategori
rekreasi
dilakukan
dengan
mempertimbangkan 7 parameter yaitu; kedalaman perairan, tipe pantai, substrat dasar perairan, kecepatan arus, kecerahan perairan, biota berbahaya, serta ketersediaan air tawar (Bengen dkk, 2002; Yulianda, 2007). Setiap parameter diberikan bobot dan skor berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruhnya terhadap kegiatan rekreasi pantai. Hasil analisis spasial kesesuaian wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar, untuk wisata pantai kategori rekreasi (Gambar 16, 17, 18, 19, dan 20) menunjukkan bahwa kesesuaian wisata pantai untuk kelas sangat sesuai terdiri dari 3 pulau yaitu P. Kayangan, P. Samalona, dan P. Lanyukang (Lampiran 3, 4, dan 5).
Pada kelas S2 (sesuai) terdiri dari 3 pulau, yaitu; P. Bonetambung,
Kodinggareng Keke, dan P. Langkai (Lampiran 2, 3, dan 4). Kelas kesesuaian dengan kategori sangat sesuai (S1) mempunyai total garis pantai sepanjang 2857,03 m yang terdiri dari 3 pulau yaitu P. Kayangan 372,65 m, P. Samalona 960,23 m, dan P. Lanyukang 1524,15 m. Panjang garis pantai tertinggi terdapat di P. Lanyukkang yaitu sepanjang 1524,15 m dan yang terendah di P. Kayangan yaitu 372,65 m. Pada kelas kesesuaian dengan kategori sesuai (S2) diperoleh total panjang garis pantai sebesar 854,9 m yang terdiri dari tiga pulau, yaitu P. Bonetambung 254,31 m, P. Kodinggareng Keke 263,45 m, dan P. Langkai 960,23 m. Panjang garis pantai tertinggi terdapat di P. Langkai yaitu sepanjang 960,23 m, dan panjang garis pantai terendah yaitu 263,45 m terdapat di P. Bonetambung, sehingga didapatkan total panjang garis pantai yang sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi adalah 3711,93 m. Secara rinci luasan kesesuaian kawasan wisata pantai kategori wisata rekreasi pada setiap pulau disajikan pada Tabel 18 dan secara deskriptif disajikan pada Gambar 16, 17, 18, 19 dan 20. Berdasarkan panjang garis pantai yang didapatkan pada masing-masing kelas kesesuaian, ternyata kelas kesesuaian S1 (kategori sangat sesuai) yang memiliki panjang garis pantai terbesar yaitu mencapai 2857,03 m dibandingkan dengan kelas S2 (kategori sesuai) dengan panjang garis pantai mencapai 854,9 m. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan wisata pantai pada dasarnya mengutamakan
122 lokasi-lokasi yang memiliki taman laut dengan garis pantai yang panjang, pantai berpasir dan landai, kecepatan arus yng lemah serta ditunjang oleh vegetasi pantai berupa pohon kelapat, waru laut, cemara laut dan lain sebagainya yang merupakan cirri khas pesisir pulau. Pantai yang mempunyai garis pantai yang panjang memberikan panorama yang sangat indah dan apabila ditunjang oleh aksesibilitas yang mudah merupakan obyek wisata yang bernilai jual tinggi dan merupakan modal utama untuk pengembangan wisata pantai kategori rekreasi. Pulau yang termasuk ke dalam kategori tidak sesuai, pada beberapa sisi disetiap pulau memiliki faktor pembatas yang cukup berat sehingga pemanfaatannya tidak sesuai untuk wisata pantai kategori wisata rekreasi (Yudaswara, 2004). Hasil pengamatan di lapangan menunjukakan bahwa kesesuaian kawasan yang didasarkan pada parameter yang menjadi kriteria penilaian untuk pemanfaatan wisata pantai kategori rekreasi masih cukup baik, seperti kedalaman dasar perairan 15 m, kecerahan perairan yang menembus sampai kedalaman 6 m yang berarti memiliki perairan yang jernih. Tipe pantai pasir putih sedikit karang, material/substrat dasar karang berpasir, kecepatan arus relative rendah (12 m/dtk), dan kurangnya biota berbahaya, serta penutupan lahan pantai berupa pohon kelapa yang memberikan panorama pantai yang indah dan sejuk. Parameter ketersediaan air tawar yang berjarak 0,5 – 1 km. Tersedianya sarana tranfortasi dan informasi juga merupakan faktor pendukung kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi. Yulianda (2007) dan Baksir (2010) menyatakan bahwa kesesuaian lahan untuk wisata pantai didasarkan pada panjang garis pantai dan keberadaan panorama alam pantai pasir putih dengan perairan yang jernih dan tenang. Pantai yang mempunyai garis pantai yang panjang memberikan panorama yang sangat indah dan apabila ditunjang oleh aksesibilitas yang mudah merupakan obyek wisata yang bernilai jual tinggi dan merupakan modal utama untuk pengembangan wisata pantai kategori rekreasi. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukakan bahwa kesesuaian kawasan yang didasarkan pada parameter yang menjadi kriteria penilaian untuk pemanfaatan wisata pantai kategori rekreasi masih cukup baik, seperti kedalaman dasar perairan 15 m, kecerahan perairan yang menembus sampai kedalaman 6 m sehingga memiliki perairan yang jernih, tipe pantai pasir putih sedikit karang, material/substrat dasar karang berpasir,
123 kecepatan arus relative rendah (12 m/dtk), dan kurangnya biota berbahaya, serta penutupan lahan pantai berupa pohon kelapa yang memberikan panorama pantai yang indah dan sejuk. Parameter ketersediaan air tawar yang berjarak 0,5 – 1 km. Tersedianya sarana tranfortasi dan informasi juga merupakan faktor pendukung kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi. Kesesuaian kawasan wisata pantai kategori rekreasi yang didasarkan pada parameter tersebut di atas, memungkinkan rekreasi pantai yang dapat dinikmati adalah berenang, menikmati pemandangan pantai dan laut yang indah sambil berjemur, berjalan-jalan atau berlari-lari di sepanjang pantai, berolah raga pantai, menikmati keindahan bawah laut, berperahu, bermain jet sky dan memancing. 2). Kesesuaian Pulau-Pulau Kecil untuk Wisata Snorkling Evaluasi kesesuaian wisata bahari dilakukan dengan cara mengalikan antara pembobotan dan skor. Pembobotan kelas kesesuaian untuk wisata bahari kategori wisata snorkling dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas yang terdiri dari kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang. Setiap parameter pembatas diberi pembobotan dan skor. Pemberian bobot pada semua parameter didasarkan pada tingkat kepentingan untuk kegiatan wisata snorkling. Analisis kesesuaian wisata snorkling diperoleh 8 pulau yang sesuai untuk wisata snorkling yang terdiri dari 3 pulau untuk kategori S1 (sangat sesuai) dengan luas keseluruhan adalah 7,912 ha dan 5 pulau untuk kategori S2 (sesuai) dengan luas keseluruhan adalah 21,343 ha, sehingga total luas yang sesuai untuk wisata snorkling adalah 29,246 ha. Kategori sangat sesuai terdiri dari 3 pulau, yaitu; P. Lanyukkang, P. Barrang Caddi, dan P.Samalona, sedangkan untuk kategori S2 (sesuai) terdiri dari P. Barrang Lompo, P. Bonetambung, P. Langkai, P. Lumu-Lumu, dan P. Kodinggareng Keke (Lampiran 10). Berdasarkan luasan yang didapatkan pada masing-masing kelas kesesuaian wisata snorkling (Tabel 18), kelas kesesuian S2 memiliki luasan yang paling besar hingga mencapai 21,343 ha dan wisata snorkling terdapat hampir di seluruh pulau. Hal ini menunjukkan bahwa kesesuaian wisata snorkling didasarkan pada persentase tutupan karang hidup, dimana pulau-pulau yang masuk dalam kategori sangat sesuai mempunyai persentase tutupan karang hidup yang tinggi. Oleh
124 karena itu, kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar masih sesuai untuk pemanfaatan wisata bahari kategori wisata snorkling kecuali P. Kayangan dan Lae-lae. Parameter kecerahan dan tutupan komunitas karang juga sangat menentukan dalam kegiatan snorkling. Perairan yang jernih mengundang rasa ingin tahu untuk melihat keindahan bawah laut, sedangkan tutupan komunitas karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Hasil analisis kesesuaian kawasan wisata bahari kategori wisata snorkling disajikan pada Gambar 16, 17, 18. 19 dan 20. Hasil analisis SIG seperti pada Gambar 16, 17, 18, 19, dan 20, menunjukkan bahwa kelas kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkling umumnya berada pada kelas sesuai (S2) dan sangat sesuai (S1). Oleh karena itu, pemanfaatan untuk wisata bahari kategori wisata snorkling sesuai untuk seluruh pulau, kecuali P. Kayangan dan P. Lae-lae, sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan pulau-pulau kecil Kota Makasar masih sesuai untuk pemanfaatan wisata bahari kategori wisata snorkling. P. Kayangan dan P. Lae-lae tidak sesuai untuk wisata snorkling, disebabkan karena P. Lae-lae dan P. Kayangan mempunyai jarak yang dekat dengan daratan Kota Makassar yaitu hanya berjarak 1,2 km dan 2,8 km dan berhadapan langsung dengan Pelabuhan Internasional Soekarno-Hatta, sehingga menyebabkan tingginya pencemaran perairan laut oleh limbah industri dan rumah tangga serta masuknya zat-zat pencemar yang berasal dari daratan Kota Makassar sehingga kondisi terumbu karang sangat rusak. Berdasarkan
luasan
yang
didapatkan
pada
masing-masing
kelas
kesesuaian, kelas kesesuian S2 untuk wisata snorkling memiliki luasan yang paling besar hingga mencapai 12,752 ha sedangkan kelas kesesuaian S1 memiliki luasan yang lebih kecil daripada S2. Hal ini menunjukkan pula bahwa kesesuaian wisata snorkling didasarkan pada persen tutupan karang hidup, dan pulau-pulau yang masuk dalam kategori sangat sesuai mempunyai persen tutupan karang hidup yang tinggi. Oleh karena itu, kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar masih sesuai untuk pemanfaatan wisata bahari kategori wisata snorkling. Hasil pengamatan dilapangan menujukkan bahawa kondisi lingkungan yang menjadi kriteria penilaian untuk pemanfaatan wisata bahari kategori wisata
125 snorkling masih sangat bagus, dimana perairannya relatif jernih (>80%), tutupan komunitas karang >52,16%, jenis life form >15, jenis ikan karang >35 hingga 160 jenis, kecepatan arus relatif lemah (6.m/dtk), dan kedalaman terumbu karang <10 m. kecerahan perairan 10-20 m, jumlah jenis life form mencapai 12. Parameter kecerahan dan tutupan komunitas karang sangat menentukan dalam kegiatan snorkling. Perairan yang jernih mengundang rasa ingin tahu untuk melihat keindahan bawah laut, sedangkan tutupan komunitas karang merupakan daya tarik wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Kecepatan arus dan kedalaman perairan memiliki bobot yang lebih kecil daripada yang lainnya, oleh karena kedua parameter tersebut dapat teratasi oleh parameter lainnya. Kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam (wisatawan). Kedalaman dasar laut meskipun merupakan faktor pembatas kehidupan karang, tetapi pada perairan yang jernih dan kondisi lingkungannya memungkinkan, terumbu karang dapat hidup pada kedalaman 50 meter. Wisata bahari kategori snorkling dengan kelas kesesuaian
S2 pada
dasarnya memiliki faktor pembatas yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan wisata snorkling, sehingga memerlukan masukan (input) untuk memperbaiki faktor pembatas tersebut. Oleh sebab itu, faktor-faktor yang menjadi kriteria didalam penilaian kelas kesesuaian tersebut di atas, masih perlu diperbaiki untuk meningkatkan kelas kesesuaian wisata snorkling dari kategori sesuai (S2) menjadi kategori sangat sesuai di masa yang akan datang. Kawasan kelas tidak sesuai (TS), dimana faktor-faktor yang menjadi indikator ketidaksesuaian sangat memerlukan masukan perbaikan, namun masukan yang dibutuhkan untuk memperbaiki faktor pembatas pada kelas TS lebih besar dibandingkan dengan kelas S2. Masukan-masukan untuk memperbaiki faktor pembatas diharapkan potensinya masih dapat ditingkatkan yaitu dari kondisi tidak sesuai (TS) menjadi kelas sesuai (S2) dan kelas sangat sesuai (S1). 3). Kesesuaian Pulau-Pulau Kecil untuk Wisata Diving Evaluasi kelas kesesuaian kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar untuk ekowisata bahari kategori wisata diving dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria penilaian yang terdiri dari; kedalaman perairan, tipe pantai, substrat dasar perairan, kecepatan arus, kecerahan perairan, dan biota berbahaya,
126 serta ketersediaan air tawar. Kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam diperoleh luas keseluruhan yang sesuai untuk wisata selam adalah 82,376 ha yang terdiri dari kategori S1 (sangat sesuai) adalah 57,431 ha dan kategori S2 (sesuai) adalah 24,945 ha. Tabel 17, menunjukkan bahwa luasan tertinggi untuk wisata selam kategori sangat sesuai (S1), terdapat di P. Langkai yaitu 21,117 ha dan terendah di P. Barrang Caddi yaitu 3,438 ha.
Tabel 17. Kesesuaian wisata bahari berbagai kategori di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar Kesesuaian Wisata Bahari Wisata Pantai Wisata Wisata Nama Lokasi Panjang Garis Snorkling Selam Pantai (m) Luas (ha) Luas (ha) Pantai Barombong 2672 Pantai Tianjung Bunga 6443 Pantai Losari 2533 Pantai Paotereq Pantai Untia Pulau Kayangan 372,65 Pulau Lae-Lae Pulau Samalona 960,23 2,562 3,488 Pulau Barrang Lompo 4,529 10,304 Pulau Barrang Caddi 1.653 3,438 Pulau Kodinggareng 263,45 1,261 5,742 Keke Pulau Bonetambung 254,31 5,615 11,203 Pulau Lumu-Lumu 2,8 11,924 Pulau Langkai 337,14 4,123 21,117 Pulau Lanyukang 1524,15 6,803 15,1420 Total 15119,92 29,246 82,376 Sumber: Data primer yang diolah (2010)
Gambar 16, 17, 18, 19 dan 20, menunjukkan bahwa kesesuaian wisata selam untuk kategori sangat sesuai terdiri dari 5 pulau yaitu; P. Samalona (3,488 ha), P. Lanyukang (15.142 ha), P. Langkai (21,117 ha), P. Lumu-Lumu (11,924 ha), dan P. Kodinggareng Keke (5,742 ha), sedangkan untuk kategori S2 (sesuai) terdiri dari 3 pulau, yaitu; P. Bonetambung (11,203 ha), P. Barrang Caddi (3,438 ha), dan P. Barrang Lompo (10,304 ha). Secara illustratif, peta hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata bahari kategori wisata selam (diving) disajikan pada Gambar 16, 17, 18, 19 dan 20.
127 Berdasarkan hasil analisis kelas kesesuaian wisata bahari kategori wisata diving (Lampiran 9) menunjukkan bahwa pulau-pulau dengan kategori sangat sesuai untuk kegiatan wisata diving mempunyai luas tutupan karang hidup yang sangat tinggi khususnya Pulau Lanyukkang (68,92%), Pulau Langkai (66,06%), Pulau Samalona (52,16%), Pulau Lumu-lumu (64,72%), dan Pulau Kodinggareng Keke (42,88%). Pulau-pulau kategori sesuai (Pulau Bonetambung, Pulau Barrang Lompo, dan Pulau Barrang Caddi) mempunyai persen tutupan karang hidup yang lebih rendah (Tabel 14 dan 15). Pulau-pulau dengan kategori sangat sesuai memiliki rataan terumbu karang yang cukup luas pada sisi barat, selatan dan utara. Kondisi terumbu karang untuk sisi barat bagus hingga sangat bagus, sedangkan pada sisi utara dan selatan relatif sedang hingga baik. Pada kawasan terumbu karang ini jarang ditemukan karang mati dan pecahan karang mati, oleh karena jarak yang relatif jauh dari daratan Kota Makassar. Hal ini meunjukkan bahwa tingkat pengrusakan terumbu karang oleh aktivitas manusia di Pulau Lanyukkang, Pulau Langkai, Pulau Lumu-lumu, dan Pulau Kodinggareng Keke dan PulauSamalona masih sangat jarang. Masyarakat di sini jarang menggunakan bahan peledak atau bius, mereka kebanyakan menangkap ikan hidup dengan pancing, sehingga terumbu karang tetap terjaga. Pulau Samalona dan Pulau Kodinggareng Keke mempunyai jarak yang lebih dekat ke daratan Kota Makassar dibandingkan dengan Pulau Langkai, Lanyukkang dan Pulau Lumu-lumu, namun perekonomian masyarakat Pulau Samalona bergantung dari sektor pariwisata atau kunjungan wisatawan yang datang ke pulau tersebut, sehingga mereka benar-benar ikut menjaga dan memelihara terumbu karang dan keanekaragaman biota yang terkandung di dalamnya. Pulau Kodinggareng Keke oleh pemerintah Kota Makassar sampai saat ini pengelolaannya telah diberikan kepada pihak asing dengan status disewakan selama 30 tahun untuk wisata bahari kategori wisata selam (diving), sehingga masyarakat sekitar maupun pengunjung tidak diperbolehkan menangkap ataupun mengeksploitasi terumbu karang dan organisme laut lainnya yang hidup di sekitar Pulau Kodinggareng Keke tersebut. Pulau- pulau yang termasuk dalam kategori sesuai untuk wisata diving mempunyai persen tutupan karang hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan
128 kategori sangat sesuai. Hal ini disebabkan karena di pulau-pulau tersebut, terumbu karang tersebar ke barat dan selatan pulau, sedangkan sisi timurnya tidak ditumbuhi terumbu karang. Terdapatnya paparan atau rataan pasir yang melebar di sisi barat ke arah laut sekitar 500 m, sedangkan tiga sisi lainnya paparan terumbu sempit dengan lebar sekitar 20 – 100 m. Kondisi terumbu karang di sekitar pulau Barrang Lompo cukup baik. Hal ini ditandai dengan tutupan karang hidup pada sisi utara, barat dan selatannya yang masih baik. Sisi timur pulau tidak ditumbuhi oleh terumbu karang melainkan pasir dan sebagai lokasi pelabuhan. Di Pulau Bonetambung dimana kondisi terumbu karang tergolong sedang (39,48% karang hidup). Hal ini terlihat di sisi barat dan utara pulau, terumbu karang tumbuh pulih dengan cukup subur. Sementara sisi selatannya lebih banyak terdapat pecahan karang mati (rubble). Selain tutupan terumbu karang, pulau-pulau yang termasuk kategori sesuai untuk wisata diving mempunyai tingkat kecerahan 10-15 m, sehingga mempunyai kualitas daerah penyelaman yang masih layak (sesuai) di bawah permukaan air. Kecerahan perairan menyangkut jarak pandang dan tingkat penetrasi matahari terhadap biota dasar perairan. David dan Tisdel (1996) mengemukakan bahwa kualitas daerah penyelaman tergantung pada tingkat kecerahan, kedalaman perairan, tutupan komunitas karang dan life form. Selanjutnya dikatakan bahwa, jarak pandang yang sesuai untuk wisata bahari adalah 10-20 m, dan kedalaman yang sesuai untuk penyelaman adalah 5-10 m, sedangkan untuk snorkling kedalaman 2-5 m, sehingga, di atas kedalaman air tersebut, pengaruh gelombang sudah semakin besar dan kemungkinan keberadaan hewan berbahaya sangat besar sehingga dapat mengancam keselamatan penyelam. Kelas kesesuaian wisata bahari kategori diving, yang termasuk dalam kategori tidak sesuai (Pulau Kayangan, Pulau Lae-lae) umumnya mempunyai kondisi terumbu karang dalam kondisi rusak bahkan sangat rusak seperti yang terlihat di P. Kayangan dan Pulau Lae-lae
pada kedalaman 3m. Pengaruh
kerusakan terumbu karang pada masyarakat pulau dapat dilihat dari beberapa indikator seperti mulai langkanya ikan-ikan karang sehingga harganya menjadi lebih mahal. Perubahan-perubahan dalam terumbu karang dapat mempengaruhi industri wisata bahari khususnya wisata diving yang semakin lama membuat para
129 wisatawan selam semakin sulit melakukan penyelaman untuk yang ke dua kalinya di lokasi yang sama. Kerusakan dan kehancuran terumbu karang juga akan mengancam kehidupan manusia dalam jangka panjang, karena pemulihan kondisi terumbu karang memerlukan waktu sangat lama, Hal ini merupakan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah Faktor-faktor tersebut di atas menjadi penentu atau menjadi indikator kesesuaian kawasan bagi wisata bahari, namun perlu tetap mendapat dukungan kebijakan dari pemerintah Kota Makassar termasuk ketersediaan infrastruktur, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dibidang ekowisata bahari serta promosi wisata yang menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar. 5.5 Daya Dukung Kawasan untuk Wisata Bahari Analisis daya dukung suatu kawasan wisata bahari (DDK) dilakukan untuk menentukan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung di kawasan wisata bahari serta disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia, sehingga tidak mengancam kelestarian sumberdaya alam serta untuk mendapatkan tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh para pengunjung pada saat melakukan aktivitas wisata bahari. Selain itu, penentuan daya dukung juga ditujukan untuk menekan perkembangan jumlah wisatawan pada kawasan-kawasan wisata, sehingga dapat menekan berbagai dampak yang merugikan akibat tingginya jumlah wisatawan seperti pencemaran perairan, terjadinya akumulasi sampah, memburuknya nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, dan mengurangi terjadinya kemacetan lalu lintas di daerahdaerah wisata pada setiap hari libur. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari Yulianda (2007) bahwa daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung oleh kawasan yang telah disediakan dalam waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan/kerusakan pada sumberdaya alam dan manusia. Penentuan daya dukung dimaksudkan untuk meminimalkan kemunduran kualitas lingkungan akibat tekanan pengunjung/wisatawan dari penyelenggaran wisata. Mengacu pendapat McCool and Lime (2001) yang mengemukakan bahwa daya dukung wisata merupakan suatu paradigma untuk mengatasi dan membatasi
130 jumlah kegiatan pengembangan wisata, sehingga daya dukung adalah jumlah tertentu wisatawan melalui periode waktu tertentu untuk mempertahankan komunitas lokal dan konteks budaya dan lingkungan, dan juga merupakan kapasitas rekreasi sebagai cara merumuskan masalah dan tindakan pengelolaan yang
mengakibatkan
penurunan
dampak.
Cole
dan
Stephen
(1997)
mengemukakan bahwa LAC (limit of acceptable change) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk pemantauan atau mengevaluasi dampak akibat penyelenggaraan wisata melalui penilaian/penentuan daya dukung kawasan. Daya dukung kawasan wisata pantai kategori rekreasi di pesisir Kota Makassar untuk Pantai Tanjung Bunga dengan total panjang garis pantainya adalah 4516 m, maka daya dukung wisata bahari kategori wisata pantai diperoleh 181 orang/hari. Pantai Barombong mempunyai panjang garis pantai 1100m, maka daya dukung wisata pantai kategori rekreasi adalah 44 orang/hari, dan Pantai Losari dengan panjang garis pantai 1512 m, adalah 61 orang/hari. Berdasarkan hasil analisis daya dukung menunjukkan bahwa daya dukung kawasan untuk wisata pantai kategori rekreasi yang tertinggi terdapat di Pantai Tanjung Bunga dan terendah terdapat di Pantai Barombong. Hal ini disebabkan karena luas area yang dapat digunakan untuk jenis wisata pantai di Pantai Tanjung Bunga adalah yang terluas yaitu seluas 4516 m serta mempunyai sarana dan prasarana wisata bahari yang terlengkap yang dapat mendukung kegiatan wisata pantai kategori rekreasi. Penentuan daya dukung wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar berbeda-beda untuk setiap jenis kegiatan wisata bahari. David dan Tisdell (1995) mengasumsikan bahwa salah satu alasan orang melakukan wisata diving adalah keinginan untuk mencari pengalaman dibelantara laut yang berkaitan dengan ekologi perairan laut, formasi geologi di bawah laut, melakukan petualangan dengan resiko tertentu, sebagai sarana olah raga yang special yang berbeda dengan olah raga lainnya, dan kehidupan laut merupakan pesona laut untuk tujuan hobi fotografi di bawah laut. Oleh karena itu, penentuan daya dukung di lokasi wisata bahari sangatlah diperlukan guna pencapaian kepuasan wisatawan.
131 Daya dukung kawasan wisata pantai kategori rekreasi ditentukan berdasarkan panjang garis pantai dan potensi ekologis pengunjung. Untuk 1 orang pengunjung wisata pantai kategori rekreasi minimal dibutuhkan panjang garis pantai sebesar 50 m. Sedangkan, daya dukung kawasan untuk wisata snorkling ditentukan berdasarkan kemampuan rata-rata setiap pengunjung untuk melakukan aktivitas snorkling, dimana setiap pengunjung memiliki kemampuan untuk melakukan snorkling rata-rata 500 m2. Daya dukung kawasan untuk wisata selam (diving) ditentukan berdasarkan luas area potensial untuk melakukan wisata selam dengan mempertimbangkan kondisi persentase tutupan komunitas karang sehingga kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam (diving) mengikuti persentase tutupan komunitas karang yang dihasilkan dari luas hasil overlay kesesuaian wisata selam. Daya dukung kawasan untuk wisata pantai kategori rekreasi di PPK tertinggi didapatkan di Pulau Lanyukkang dan terendah di Pulau Bonetambung. Daya dukung wisata bahari berbagai kategori di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Daya dukung wisata bahari berbagai kategori di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar No.
Lokasi Penelitian
Daya Dukung (Orang/hari) Wisata Pantai Wisata Wisata Snorkling Diving
1. Pantai Tanjung Bunga 2. Pantai Barombong 3. Pantai Losari 4. Pulau Kayangan 5. Pulau Bonetambung 6. Pulau Kodinggaeng keke 7. Pulau Lanyukang 8. Pulau Langkai 9. Pulau Samalona 10. Pulau Barrang Caddi 11. Pulau Barrang lompo 12. Pulau Lumu-Lumu *PPK = Pulau-pulau kecil Sumber: Data primer yang diolah (2010).
181 44 61 15 10 11 61 13 38 -
225 50 268 165 102 66 181 112
177 98 335 291 73 58 146 257
132 Wisata pantai kategori rekreasi berdasarkan hasil analisis daya dukung diperoleh daya dukung yang berbeda-beda setiap pulau tergantung pada panjang garis pantainya. Makin panjang garis pantai suatu pulau maka, daya dukung kawasan untuk wisata pantai kategori rekreasi makin besar pula, begitupula sebaliknya, makin pendek panjang garis pantai suatu pulau maka, daya dukung kawasan suatu pulau untuk wisata pantai makin kecil. Hasil analisis daya dukung (Tabel 18) menunjukkan bahwa, daya dukung kawasan untuk wisata snorkling yang paling besar adalah di Pulau Lanyukkang dan untuk wisata selam terbesar juga terdapat di Pulau Lanyukkang. Hal ini disebabkan karena luas area yang dapat digunakan untuk jenis wisata selam maupun snorkling di Pulau Lanyukang adalah yang tertinggi (Lampiran 9 dan 10). Pulau Lanyukang mempunyai persen tutupan komunitas karang yang tertinggi di antara ke sebelas pulau-pulau kecil yang ada di Kota Makassar. Yulianda (2007), megemukakan bahwa persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Selain itu, daya dukung wisata bahari juga sangat erat kaitannya dengan tersedianya lokasi wisata yang bekualitas tinggi dengan kehadiran biota yang beragam (Piarce dan Kirk, 1986) sehingga, di dalam penyelenggaraan wisata snorkling dan selam, pertimbangan terhadap kondisi komunitas karang sangat penting karena potensi ini yang merupakan daya tarik utama bagi pengunjung Daya dukung kawasan untuk kegiatan selam lebih kecil dibandingkan dengan daya dukung kawasan untuk kegiatan snorkling. Hal ini disebabkan karena kegiatan selam membutuhkan area yang lebih luas dibandingkan dengan kegiatan snorkling yaitu 2000 m2. Luke et al (2007) mengemukakan bahwa wisatawan terumbu karang tampaknya lebih menyukai berekreasi di area penyelaman yang lebih luas tetapi dengan jumlah pengunjung yang lebih sedikit oleh karena, wisatawan selam mencari pengalaman yang tidak terkekang dari lingkungan laut dan tidak terlalu kacau ataupun bising, dan merupakan rekreasi petualangan yang sangat menarik sehingga, di dalam mendesain dan mengelola lokasi rekreasi terumbu karang (lokasi penyelaman) harus membatasi jumlah pengunjung. Jumlah pengunjung yang tinggi akan mengurangi daya tarik daerah terumbu karang sebagai lokasi penyelaman.
133 Selain itu, penentuan daya dukung sangat penting dalam pengembangan wisata bahari, oleh karena penentuan daya dukung berfungsi untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dalam pengembangan wisata bahari. Limits acceptable change (LAC) merupakan suatu metode pemantauan dampak yang ditimbulkan dalam pengembangan pariwisata yang basis penilaiannya didasarkan pada penentuan daya dukung dengan tujuan dari kondisi yang diinginkan. Kondisi dan tujuan yang diinginkan didefinisikan terlebih dahulu dan ditetapkan sebagai mandat dan kebijakan yang legal untuk dijadikan pedoman bagi pihak pengelola untuk mengelola dan menyeimbangkan antara signifikansi area, keunikan serta keindahan kawasan wisata baik secara nasional maupun internasional (Cole dan Stephen, 1997). 5.6 Pengembangan Wisata Bahari Di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Potensi pengembangan wisata bahari di Kota Makassar, sangat terbuka luas untuk dikelola menjadi industri wisata bahari yang memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam. Berdasarkan kondisi fisik Kota Makassar berupa kawasan pesisir dan gugusan pulau-pulau kecil berkarang serta lokasinya dekat dengan ibu kota Provinsi Sulawesi-Selatan,
merupakan modal utama dalam
pengembangan kegiatan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Konsep wisata yang cocok dikembangkan adalah wisata terpadu yang memperhatikan kelestarian sumberdaya alam. Proses pengembangan wisata bahari yang memperhatikan pelestarian sumberdaya alam, diperlukan penentuan kesesuaian dan daya dukung sesuai dengan masing-masing kegiatan wisata yang akan dikembangkan. 5.6.1 Luas dan Kapasitas Pengembangan Wisata Pantai Di Kawasan Pesisir 1). Luas Dasar yang digunakan untuk menentukan luasan areal pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir Kota Makassar adalah hasil overlay antara kondisi existing dan hasil analisis kesesuaian. Hasil analisis kesesuaian , diperoleh bahwa kegiatan wisata bahari yang potensial dikembangkan di kawasan pesisir adalah kegiatan wisata pantai kategori rekreasi dan wisata mangrove. Banyaknya kawasan pantai yang memenuhi kriteria kesesuaian lahan untuk kegiatan wisata
134 pantai kategori rekreasi di kawasan pesisir ada 3 pantai yang terdiri atas 1 pantai yang masuk dalam kategori sangat sesuai yaitu Pantai kawasan Tanjung Bunga, dan 2 pantai yang masuk kategori sesuai yaitu Pantai Losari dan Pantai Barombong. Untuk kegiatan wisata mangrove 1 pantai yaitu Pantai Untia. Sedangkan, kondisi existing di kawasan pesisir terdapat 4 pantai yang telah dimanfaatkan sebagai destinasi wisata pantai, sehingga 1 pantai yaitu Pantai Paotereq yang saat ini telah dimanfaatkan untuk kegiatan wisata tersebut merupakan kawasan yang tidak sesuai untuk pengembangan wisata pantai. Dari analisis yang dilakukan (Tabel 19 dan Gambar 21), rencana pengembangan wisata pantai yang diarahkan untuk pengembangan wisata pantai yang potensial untuk dikembangkan di kawasan pesisir adalah 4,645 km untuk wisata pantai kategori rekreasi dan 8,768 km untuk kategori mangrove. Dari 3 kawasan wisata pantai yang sesuai, yang direkomendasikan untuk pengembangan wisata pantai kategori rekreasi adalah kawasan Pantai Barombong dan Pantai Tanjung Bunga. Saat ini, pemanfaatan pantai Barombong untuk kegiatan wisata pantai adalah 1,100 km, sedangkan hasil analisis kesesuaian menunjukkan bahwa panjang pantai yang sesuai untuk pengembangan wisata pantai adalah 2,672 km. Oleh karena itu, kedepannya pantai barombong masih berpotensi untuk pengembangan
wisata
pantai
kategori
rekreasi
dengan
panjang
yang
direferensikan untuk aktivitas ini adalah 1,572 km. Pemanfaatan kawasan Pantai Tanjung Bunga untuk kegiatan wisata pantai saat ini hanya sekitar 3,37 km, sedangkan hasil analisis kesesuaian wisata pantai di kawasan Tanjung Bunga adalah 6,443 km. Artinya, kedepannya masih berpeluang sekitar 3,073 km untuk pengembangan wisata pantai.
Adapun jenis kegiatan wisata yang diusulkan
adalah berenang, berjemur dan bermain di pantai, olah raga pantai, menikmati panorama pantai dan laut lepas. Sedangkan di Pantai Losari jenis kegiatan yang diarahkan adalah menikmati panorama pantai dan laut lepas, tontonan panggung terbuka dan perayaan-perayaan festival bahari sebagai pendukung atraksi wisata. Namun tentunya potensi dan kondisi ini harus tetap dipertahankan kelestariannya Luas kawasan mangrove di Pantai Untia yang diusulkan untuk pengembangan wisata mangrove adalah 8,768 ha. Hal ini disebabkan karena, saat ini kawasan mangrove di Pantai Untia belum dimanfaatkan untuk kegiatan wisata
135 pantai kategori mangrove. Hal ini ditunjang pula oleh adanya program penanaman tanaman mangrove oleh pemerintah Kota Makassar selama 5 tahun, yang dimulai sejak awal tahun 2007. Program penanaman mangrove tersebut melibatkan masyarakat nelayan yang bermukim di sekitar Pantai Untia, mulai dari tahap perencanan, penanaman, hingga tahap pemeliharaan dan pengawasan. Sedangkan, kawasan pantai yang dimanfaatkan untuk pelabuhan komersial dan pelabuhan perikanan diarahkan tetap di lokasi yang sudah ada saat ini. Tabel 19. Luas kawasan potensial untuk pengembangan wisata pantai di kawasan pesisir No .
Pantai
Kriteria
Pemanfaatan Existing (km)
Analisis Kesesuaian (km)
Wisata Rekreasi 1.
Pantai Sesuai 3,0 Losari 2. Pantai Sangat 3,37 Tanjung sesuai Bunga 3.Pantai Sesuai 1,100 Barombong Wisata Mangrove 4.Pantai Sangat 7,03 Untia sesuai Sumber: Data primer yang di olah (2010).
Pengembangan (km) 4,645
2,533
-
6,443
3,073
2,672
1,572
8,768
1,738 ha 1,738 ha
2). Kapasitas Kapasitas pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata pantai kategori rekreasi dan mangrove dihitung dengan mengukur daya dukung kawasan untuk menampung pengunjung dalam satuan orang per m2. Perhitungan daya dukung wisata disesuaikan dengan jenis kegiatan wisata dan karakteristik sumberdaya dengan memperhitungkan potensi ekologis pengunjung dan luas area kegiatan. Pengembangan kegiatan wisata bahari di kawasan pesisir Kota Makassar diupayakan tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan tersebut. Daya dukung ini tidak berlaku untuk kegiatan wisata dayung, selancar, ski, boating dan sight seeing (wisata dengan perahu untuk melihat keindahan alam). Kapasitas kawasan potensial untuk wisata pantai kategori rekreasi dan mangrove di wilayah pesisir Kota Makassar disajikan pada Tabel 20.
136 Tabel 20. Kapasitas kawasan potensial untuk wisata pantai kategori rekreasi dan mangrove di wilayah pesisir. No.
Nama Pantai
9,115
Total Pengunjung per hari (orang) 365
Panjang Pantai (km)
Wisata Pantai 1.
Tanjung Bunga
6,443
258
2.
Barombong
2,672
107
Wisata Mangrove
8,768
702
1.
8,768
702
Untia
Sumber: Data primer yang diolah (2010) Dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan, maka total pengunjung per hari untuk wisata pantai di wilayah pesisir adalah 1067 orang dengan rincian 365 orang untuk wisata pantai kategori rekreasi dan 702 orang untuk kegiatan wisata mangrove.
3). Arahan Pengembangan Wisata Pantai Pengembangan wisata pantai di kawasan pesisir Kota Makassar di arahkan di Pantai Tanjung Bunga dan Pantai Barombong dengan total panjang pantai 4,645 km atau 47,89% dari total panjang pantai di kecamatan Tamalate Kota Makassar. Arahan pengembangan wisata pantai yang dapat dikembangkan di kawasan pesisir adalah kegiatan wisata pantai terpadu yang memperhatikan daya dukung kawasan dan bertumpu pada kehidupan masyarakat setempat dan kondisi sumberdaya alam. Adapun arahan rencana pola ruang pengembangan adalah: 1. Pengembangan wisata pantai diarahkan di Pantai Tanjung bunga dengan total panjang pantai 3,073 km yang dilengkapi dengan sistem pengolahan dan pembuangan limbah menggunakan system daur ulang. 2. Pengembangan wisata mangrove diarahkan di Pantai Untia dengan total luas yang arahkan adalah1,738 ha. 3. Kawasan Pantai Barombong diarahkan untuk rehabilitasi mangrove adalah sepanjang 2,672 km.
137 4. Pengembangan kawasan pelabuhan dan bandara sebagai pendukung kegiatan wisata bahari tetap diarahkan di lokasi saat ini, yaitu di pelabuhan Soekarno Hatta dan Bandar udara Sultan Hasanuddin. 5. Membangun areal dermaga penyeberangan di Pantai Tanjung Bayam untuk menuju lokasi wisata pulau. 11 9 °2 2 '3 0 "
11 9 °2 5 '0 0 "
11 9 °2 7 '3 0 "
Peta Ind eks :
Pe la buhan P erika nan N us anta ra U ntia K ota M a ka ss ar
Soppeng Bar ru
T P I U n t ia
Bone
T $
Pangk ajene
Maros
K e c.
Maka ssa r
B ir in g ka n a ya
Sinjai
5°5'00"
5°5'00"
6 . P a n t a i U n t ia
Gowa Bulukumba
Ta kalar Bantae ng Jeneponto
TP I P a ote r e P e la b u h a n R a k y a t P a o t e re
K e c. T a m a la n r e a
P e la b u h a n S o e k a r n o H a ta
Î
P. Ka hyan gan
T $
.T all
o
K e c. U ju n g t a n a h
S
K e c. T a llo
5°7'30"
5°7'30"
Gs. La e-La e 1 . P a n t a i L o s a ri
K e c. W a jo
Î
TP I R a ja w a li
K e c. B o n to a l a K e c. P a n a kk u ka n g
P. Lae -Lae 1
P a n t a i d i K a w a s a n T a n ju n g B u n g a :
K e c. U ju n g p a n d a n g
2 . A k a re n a
K e c. M a k a ss a r
3 . Ta n jun g B un ga
T $
4 . Ta n jun g B a y a m
5°10'00"
5°10'00"
K e c. M a r is o 2
K e c. R a p p o c in i
3
K e c. M a m a ja n g
K e c. T a m a la t e 4
S. Jen ebera ng
5 . P a n ta i B a r om b o ng
Kab. G ow a
T $
11 9 °2 2 '3 0 "
O verl ay Ke sesua ian W isata Pantai da n Jenis Kegia ta n di Kaw as an Pe sisi r Di S epanjang P antai K ota Maka ssar N
W
0
Keterangan :
Î
Pelabuhan Batas Kabupaten Batas Kec amatan Sungai Perairan D angk al Kaw asan Pelabuhan
E
Kesesuaian W isata Pan tai
S 1
11 9 °2 5 '0 0 "
Sangat Sesuai Ses uai
1 Km
Tidak Sesuai
5°12'30"
5°12'30"
5 TP I B a r om b o ng
11 9 °2 7 '3 0 "
Ko nd isi Eksistin g & K eg iatan di K aw asan Pesisir Tam bak Mangrove Kaw asan Perdagangan
T $
Ro smawaty A nw ar N R P. C261040091
Tem pat Pelelangan Ikan
Su m be r Pe ta : 1. Pe ta R BI B akosu rtan al Skal a 1:5 0.00 0 2. C itra L an dsat 20 05 3. Su rvei L ap an gan
Pr ogram Stu di SPL Seko lah Pascasarjan a Institut Pertanian Bo go r
Gambar 21. Peta overlay kesesuaian wisata pantai dengan potensi dan jenis kegiatan di kawasan pesisir Kota Makassar
138 11 9 °2 2 '3 0 "
11 9 °2 5 '0 0 "
11 9 °2 7 '3 0 "
Peta Ind eks :
Pe la buhan P erika nan N us anta ra U ntia K ota M a ka ss ar
Soppeng Bar ru
T P I U n t ia
Bone
T $
Pangk ajene
R e h a b i l it a s i M a n g ro v e Maros
K e c.
Maka ssa r
B ir in g ka n a ya
Sinjai
5°5'00"
5°5'00"
Gowa Bulukumba
Ta kalar Bantae ng Jeneponto
T P I P a o te r e P e la b u h a n R a k y a t P a o t e re
W i s a t a M a n g ro v e
K e c. T a m a la n r e a
P e la b u h a n S o e k a r n o H a t a
Î
P. Ka hyan gan
T $ . Ta
l
o
K e c. U ju n g t a n a h
S
K e c. T a llo
A n ju n g a n
5°7'30"
5°7'30"
Gs. La e-La e K e c. W a jo
Î
TP I R a ja w a li
K e c. B o n to a l a K e c. P a n a kk u ka n g
P. Lae -Lae 1
W i s a ta P a nta i :
K e c. U ju n g p a n d a n g 1 . P a n ta i Lo s a r i
2 . A k a re n a 3 . Ta n jun g B un ga
K e c. M a k a ss a r
T $
4 . Ta n jun g B a y a m Tr a ns S tu di o
K e c. M a r is o
5°10'00"
5°10'00"
U % % U
K e c. R a p p o c in i
2 R e h a b i l ita s i M a n g ro v e
K e c. M a m a ja n g 3 K e c. T a m a la t e 4
S. Jen ebera ng K o la m R e n a n g A i r T a w a r
Kab. G ow a
T $ P u s a t R e k re a s i P a n ta i
TP I B a r om b o ng
M o d e rn
11 9 °2 2 '3 0 "
Peta A rahan P engem bangan Pantai Kota Mak assa r N
W
0
11 9 °2 5 '0 0 "
Keterangan :
Î
Pelabuhan Batas Kabupaten Batas Kec amatan Sungai Perairan D angk al Kaw asan Pelabuhan
E
Arahan Pengem bangan Kesesuaian W isata Pan tai
S 1
5°12'30"
5°12'30"
5
1 Km
Sangat Sesuai Ses uai Tidak Sesuai
11 9 °2 7 '3 0 "
Ko nd isi Eksistin g & K eg iatan di K aw asan Pesisir Tam bak Mangrove Kaw asan Perdagangan
T $
Ro smawaty A nw ar N R P. C261040091
Pem ukim an/G edung Terbangun Tem pat Pelelangan Ikan
Su m be r Pe ta : 1. Pe ta R BI B akosu rtan al Skal a 1:5 0.00 0 2. C itra L an dsat 20 05 3. Su rvei L ap an gan
Pr ogram Stu di SPL Seko lah Pascasarjan a Institut Pertanian Bo go r
Gambar 22. Peta arahan pengembangan wisata pantai kategori rekreasi dan mangrove di wilayah pesisir Kota Makassar.
139 5.6.2 Luas dan Kapasitas Pengembangan Wisata Bahari Di Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar 1). Luas Setiap kawasan yang akan dimanfaatkan untuk suatu kegiatan wisata bahari, sebaiknya memperhitungkan tingkat kesesuaian pemanfaatan kawasan tersebut. Penentuan tingkat kesesuaian
kawasan dimaksudkan agar setiap
kegiatan pemanfaatan tidak mengganggu ataupun merusak sistem ekologi, budaya, maupun social ekonomi. Oleh karena itu, dasar yang digunakan untuk menentukan luasan areal pengembangan wisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil adalah hasil overlay antara hasil kesesuaian dengan pemanfaatan existing di lokasi penelitian. Hal ini ditujukan untuk mengetahui luasan yang masih potensial untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Banyaknya pulau yang memenuhi kriteria kesesuaian
kawasan untuk
kegiatan wisata bahari adalah 9 pulau yang terdiri atas 5 pulau yang sesuai untuk berbagai kegiatan wisata bahari (pantai , snorkeling, dan diving), serta 9 pulau yang sesuai untuk wisata snorkling dan diving. Untuk kegiatan wisata pantai, terdapat 3 pulau yang memenuhi kriteria sangat sesuai dan 3 pulau yang memenuhi kriteria sesuai.
Untuk wisata snorkling, 3 pulau yang memenuhi
kriteria sangat sesuai dan 5 pulau yang memenuhi kriteria sesuai. Sedangkan untuk kegiatan wisata selam, 5 pulau yang memenuhi kriteria sangat sesuai dan 3 pulau yang memenuhi kriteria sesuai. Berdasarkan hasil overlay kondisi existing dengan hasil analisis kesesuaian (Gambar 23 sampai 27), diperoleh luas kawasan yang potensial untuk pengembangan wisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar adalah 104,862 ha, yang terdiri atas wisata pantai
0,664 km, wisata snorkeling 25,113
ha, dan wisata diving 79,085 ha. Luas kawasan potensial untuk pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil disajikan pada Tabel 21.
140 Tabel 21. Luas kawasan potensial untuk pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil menurut kegiatan wisata yang diterapkan. No.
Pulau
Wisata Pantai 1. Kayangan 2. Samalona 3. Lancukang 4. Bonetambung 5. Kodinggareng Keke 6. Langkai Total Wisata Snorkling 1. Lancukkang 2. Langkai 3. Samalona 4. Lumu-lumu 5. Bonetambung 6. Barrang Lompo 7. Barrang Caddi 8. Kodinggareng Keke Total Wisata Diving 1. Lancukkang 2. Langkai 3. Samalona 4. Lumu-lumu 5. Bonetambung 6. Barrang Lompo 7. Barrang Caddi 8. Kodinggareng Keke Total
Hasil Pemanfaatan Luas Kesesuaian Existing Pengembangan (km) (km) (km) 0,373 0,5 0,960 0,710 0,25 1,524 0,945 0,579 0,254 0,215 0,039 0,264 0,464 0,337 0,214 0,123 3,712 3,048 0,664 (ha) (ha) (ha) 6,803 6,803 4,123 4,123 2,562 2,562 2,8 2,8 5,615 1,05* 4,565 4,529 1,53** 2,999 1,653 1,76* 1,261 1,261 29,346 4,34 25,113 15,142 21,117 3,488 11,924 11,203 10,304 3,438 5,742 82,358
2,92* 1,76* 4,68
15,142 21,117 3,488 11,924 8,283 10,304 3,085 5,742 79,085
Sumber: Data primer yang di olah (2010) Keterangan: Daerah perlindungan laut Budidaya Mutiara 2). Kapasitas Berdasarkan hasil analisis daya dukung, maka pengembangan kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar diupayakan tidak melebihi kapasitas daya dukung dan jumlah maksimum pengunjung yang melakukan snorkeling dan diving per harinya. Kapasitas kawasan potensial untuk wisata bahari di pulau-pulau kecil disajikan pada Tabel 22.
141 Tabel 22. Kapasitas kawasan potensial untuk wisata bahari di pulau-pulau kecil menurut kegiatan wisata yang diterapkan. No.
Pulau
Wisata Pantai 2. Samalona 3. Lancukang 4. Bonetambung 5. Kodinggareng Keke 6. Langkai Total Wisata Snorkling 1. Lancukkang 2. Langkai 3. Samalona 4. Lumu-lumu 5. Bonetambung 6. 7. 8.
Barrang Lompo Barrang Caddi Kodinggareng Keke Total Wisata Diving 1. Lancukkang 2. Langkai 3. Samalona 4. Lumu-lumu 5. Bonetambung 6. Barrang Lompo 7. Barrang Caddi 8. Kodinggareng Keke Total
Luas Pengembangan (km) 0,960 1,524 0,254 0,264 0,337 3,339 (ha) 6,803 4,123 2,562 2,8 5,615 4,529 1,653 1,261 29,346 (ha) 15,142 21,117 3,488 11,924 11,203 10,304 3,438 5,742 82,358
Total Pengunjung per hari (orang) 39 61 11 11 14 136 273 165 103 112 225 182 67 51 1178 606 845 140 477 449 413 138 230 3298
3). Arahan Pengembangan Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dikawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar adalah pengembangan ekowisata bahari. Atraksi wisata yang utama dalam kegiatan ekowisata bahari adalah kualitas terumbu karang. Oleh karena itu, di masa akan datang diperlukan bentuk pengelolaan terumbu karang yang lebih baik. Adapun arahan pengembangan ekowisata bahari yang direkomendasikan: 1. Pulau Lancukang, Langkai, Samalona, Kodinggareng keke diarahkan untuk pengembangan wisata pantai, snorkling, dan diving.
142 2. Daerah pemukiman di kawasan yang diarahkan untuk pengembangan ekowisata bahari berada di daerah yang tidak sesuai dengan bentuk rumah menghadap ke arah area wisata. 3. Pulau kayangan diarahkan untuk pengembangan wisata pantai 4. Pulau Kodinggareng Lompo diarahkan untuk kegiatan rehabilitasi terumbu karang. 5. Kegiatan daerah perlindungan laut diarahkan di pulau Bonetambung, Kodinggareng Lompo dan Barrang caddi. Bentuk pengelolaan terumbu karang yang diusulkan adalah kegiatan rehabilitasi dengan pembuatan daerah perlindungan laut. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kondisi karang terutama pada lokasi yang mempunyai terumbu karang yang tergolong kategori rusak.
Daerah perlindungan laut berfungsi
sebagai daerah penyangga kehidupan terumbu karang diperairan yang terdapat kegiatan daerah perlindungan laut (DPL). Daerah perlindungan laut (DPL) tersebut direferensikan pada lokasi yang memerlukan pemulihan kondisi terumbu karang yaitu pada Pulau Kayangan, Kodinggareng Lompo, dan Pulau Lae-lae. Selain itu, pulau-pulau yang mempunyai status terumbu karang sedang hingga baik, harus tetap dijaga kelestariannya terutama mengenai pengaturan jumlah wisatawan yang dapat ditampung serta penegakan peraturan yang telah ditetapkan. Diperlukan kekonsistenan semua pihak dalam menerapkan aturanaturan pengelolaan yang telah dibuat bersama oleh seluruh stakeholder, sehingga diharapkan dimasa yang akan datang luasan tutupan karang hidup dapat meningkat serta peningkatan indeks kesesuaian wisata snorkling dan diving di pulau-pulau
kecil
Kota
Makassar
akan
meningkat
pula.
Peta
arahan
pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar disajikan pada Gambar 26, 27, 28, 29, 30.
143
11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
11 9 °7 '3 0 "
Peta Indeks :
Pangk ajene K
E
P
U
L
A
U
4°58'30"
4°58'30"
Bar ru
P. Lanc uk ang Maros Maka ssa r Gowa
5°00'00"
5°00'00"
5°1'30"
5°1'30"
P. Langka i
5°3'00"
5°3'00"
11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Bahari Kep. Spermonde Makassar N
W
E S
1
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat
0
1 km
Kesesuaian W isata Bahari : Wisata Selam Wisata Snorkling Wisata Pantai
11 9 °7 '3 0 "
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sum ber : 1. Citra Landsat E TM+ 2007 2. Survey Lapangan
Gambar 23. Peta overlay kesesuaian wisata bahari dengan kondisi eksisting di pulau Lancukang dan Langkai.
144
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
Over lay Peta K esesuaian Wisata B ahari dan Jenis Kegiata n di P. B aranglompo, P. B arrangc addi dan P. B onetam bung
11 9 °1 9 '3 0 "
Keg iat an B udidaya K erang Mu tia ra
N
P. Bo net am bun g W
E S
1
Daerah Perlind unga n Lau t (DPL ) 5°3'00"
5°3'00"
U % P. Ba rrang Lo mp o
0
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Kese suaian W is ata Ba ha ri : Wisata Selam Wisata Snorkling Wisata Panta i Tidak Sesuai
5°4'30"
5°4'30"
Daerah Perlind unga n Lau t (DPL )
Peta Indeks : P. Ba rrang Ca dd i
Barru
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
Pangkajene K
E
P
U
L
A
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
U
Maros Makassar Gowa
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Sum ber : 1. Citra Landsa t ETM+ 2 007 2. Survey Lapangan
144
Gambar 24. Peta overlay kesesuaian wisata bahari dengan kondisi eksisting di pulau Bonetambung, Barrang Lompo, dan Barrang Caddi.
1km
145
11 9 °2 4 '0 0 "
Peta Indeks :
5°6'40"
5°6'40"
11 9 °2 3 '2 0 "
Bar ru
Pangk ajene K E P UL A U AN S P E R M ON D E
Maros Maka ssa r Gowa
P. Kahyangan
5°7'20"
5°7'20"
Î
5°8'00"
5°8'00"
Ko ta Makassar
P. L ae-L ae
11 9 °2 3 '2 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Bahari Kep. Sperm onde Makassar N
W
E S
250
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat
0
250 Me ters
Kesesuaian W isata Bahari : Wisata Selam Wisata Snorkling Wisata Pantai
11 9 °2 4 '0 0 "
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sum ber : 1. Citra Landsat E TM+ 2007 2. Survey Lapangan
Gambar 25. Peta overlay kesesuaian wisata bahari dengan kondisi eksisting di pulau Kayangan dan Lae-lae.
146
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Peta Ar ahan Pengem bangan Kepulauan Sper monde N
W
P. Bo net am bun g
E S
1 P. Ba rrang Lo mp o
5°3'00"
5°3'00"
0
1km
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Daera h Perlindungan Laut (DPL) Lok asi B udidaya
5°4'30"
5°4'30"
Rekom endasi Jenis K egiatan : Rehabili tas i Terum bu K arang (Ke m bali k e Fungsi Al am ) Tutupan Substr at : Karang Hidup Rubber/Kara ng Mati La mun Pas ir
Peta Indeks : P. Ba rrang Ca dd i
Barru
Pangkajene K
E
P
U
L
A
Kese suaian W is ata Ba ha ri : Selam Pantai Snorke lig Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
U
Maros Makassar Gowa
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Sum ber : 1. Citra Landsa t ETM+ 2 007 2. Survey Lapangan
146
Gambar 26. Peta Arahan Pengembangan Pulau Barrang Lompo, Bonetambung dan Barrang Caddi
147
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
5°6'00"
5°6'00"
Peta Ar ahan Pengem bangan Kepulauan Sper monde N
W
E
P. Ko dinga reng K eke S
1
0
1 km
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat 5°7'30"
5°7'30"
P. Sa ma lo na
Rekom endasi Jenis K egiatan : Rehabili tas i Terum bu K arang (Ke m bali k e Fungsi Al am )
Kese suaian W is ata Ba ha ri : Selam Pantai Snorke lig
Peta Indeks :
P. Ko dinga reng Lo mp o
Barru
5°9'00"
5°9'00"
Tutupan Substr at : Karang Hidup Rubber/Kara ng Mati La mun Pas ir
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Pangkajene K
E
P
U
L
A
U
Maros
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
Makassar Gowa
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Sum ber : 1. Citra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
Gambar 27. Peta Arahan Pengembangan Pulau Kodingareng Keke, Kodingareng Lompo dan Samalona
147
148 11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
11 9 °7 '3 0 "
Peta Indeks :
Pangk ajene K
E
P
U
L
A
U
4°58'30"
4°58'30"
Bar ru
P. Lanc uk ang Maros Maka ssa r Gowa
5°00'00"
5°00'00"
5°1'30"
5°1'30"
P. Langka i
5°3'00"
5°3'00"
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
Peta Ar ahan Pengem bangan Kepulauan Sper monde N
W
E S
1
0
1 km
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat Kesesuaian W isata Bahari : Selam Pantai Snorkelig
11 9 °7 '3 0 "
Tutupan Substrat : Karang Hidup Rubber/Karang Mati Lamun Pasir Rekom endasi Jenis K egiatan : Rehabili tas i Terum bu K arang (Ke m bali k e Fungsi Al am ) Sum ber : 1. Ci tra Landsat E TM+ 200 7 2. S urvey Lapangan
Gambar 28. Peta Arahan Pengembangan Pulau Lancukang dan Langkai
149
11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Peta Ar ahan Pengem bangan Kepulauan Sper monde N
W
E S
500
0
500
1000 m
Lum u-Lum u keci l
4°57'00"
4°57'00"
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Rekom endasi Jenis K egiatan : Rehabili tas i Terum bu K arang (Ke m bali k e Fungsi Al am ) Tutupan Substr at : Karang Hidup Rubber/Kara ng Mati La mun Pas ir Kese suaian W is ata Ba ha ri : Selam Pantai Snorke lig
4°58'30"
Barru
P. Lum u-Lum u
4°58'30"
Peta Indeks :
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Pangkajene K
E
P
U
L
A
U
Maros Makassar Gowa
11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor Sum ber : 1. Citra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
Gambar 29. Peta Arahan Pengembangan Pulau Lumu-lumu 149
Rekom endasi Jenis K egiatan : Rehabili tas i Terum bu K arang (Ke m bali k e Fungsi Al am )
150
151
6. KEBERLANJUTAN WISATA BAHARI DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR Penilaian keberlanjutan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut Rapid Appraisal of Small Island Ecotourism (RAPSIECO). Metode Rapsieco merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang telah digunakan untuk menilai status keberlanjutan pengembangan perikanan tangkap. Hasil analisis keberlanjutan ini dinyatakan dalam indeks keberlanjutan yang mencerminkan status keberlanjutan pengembangan wisata bahari yang sedang diteliti berdasarkan kondisi eksisting. Nilai indeks keberlanjutan pengembangan wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dianalisis pada lima dimensi yaitu; dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan dengan memberikan nilai skoring hasil pendapat pakar pada setiap atribut pada masing-masing dimensi. Nilai skoring indeks keberlanjutan di setiap dimensi berkisar antara 0 – 100% dengan kriteria: berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 75-100%, cukup berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 50 – 74,99%, kurang berkelanjutan dengan nilai indeks terletak antara 25 – 49,99%, dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 0 – 24,99%.
6.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut
yang
diperkirakan
memberikan
pengaruh
terhadap
status
keberlanjutan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar pada dimensi ekologi adalah; (1) daya dukung kawasan, (2) jumlah spesies ikan, (3) kecepatan arus, (4) kecerahan perairan, (5) pencemaran perairan, (6) persentase tutupan karang, (7) substrat perairan, (8) keindahan, kebersihan, dan keamanan, (9) sumber air tawar, dan (10) kesesuaian lahan. Hasil analisis Rapsieco terhadap sepuluh atribut dimensi ekologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan adalah sebesar 62.27% (Gambar 30). Hal ini menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan dimensi ekologi untuk pengembangan
152 wisata bahari dikategorikan cukup berkelanjutan sehingga keberlanjutan sumberdaya alam di kawasan ini masih tetap terjaga, apabila pemanfaatan kawasan wisata bahari tetap dipertahankan seperti pada kondisi saat ini. Hal ini mengandung arti bahwa kegiatan wisata bahari kategori wisata selam, snorkling, dan wisata pantai saat ini berada pada kondisi yang sesuai dan belum melebihi daya dukung atau mengganggu keberlanjutan sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Namun, atribut-atribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pada aspek ekologi tersebut tetap harus ditingkatkan dengan menekan atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap pengembangan wisata bahari, agar pengelolaan dan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berkelanjutan di masa yang akan datang.
Gambar 30. Nilai indeks keberlanjutan pada dimensi ekologi Setiap atribut di dalam dimensi ekologi memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Selanjutnya, atribut-
153 atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan pada dimensi ekologi dapat diketahui dengan melakukan analisis leverage.
Gambar 31. Peran setiap atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai Root Mean Square (RMS). Atribut daya dukung kawasan, persentase tutupan karang, jumlah spesies ikan, dan kecerahan perairan memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih tinggi dalam pengelolaan wisata bahari, sedangkan kondisi kawasan wisata (keindahan, keamanan dan kebersihan) memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih rendah dari ke sembilan atribut lainnya. Daya dukung wisata bahari merupakan salah satu faktor ekologi yang sangat mempengaruhi pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan PPK Kota Makassar. Hal ini disebabkan karena daya dukung dapat mempengaruhi tingkat pemanfaatan dan keberlanjutan potensi sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan wisata bahari. Penentuan daya dukung sangat diperlukan mengingat pengembangan wisata bahari memiliki peluang mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, sehingga setiap aktvitas wisata bahari harus memperhatikan daya dukung kawasan, sumberdaya hayati, serta ekosistemnya, agar pengembangan wisata bahari dapat berkelanjutan dan lestari.
154 Penentuan daya dukung terutama pada kawasan wisata snorkling dan diving sangatlah penting mengingat, aktifitas penyelaman yang dilakukan secara intensif dapat menyebabkan kerusakan pada koloni terumbu karang dan kerusakan tertinggi terjadi pada terumbu karang bercabang karena bentuk pertumbuhannya yang sangat rapuh, tetapi terumbu karang bercabang tersebut juga mampu mempertahankan sebahagian besar kerusakan karena pertumbuhannya yang cepat (Rouphael dan Inglis, 1997). Deplesi karang menyebabkan terjadinya penurunan kelimpahan ikan callivorous dan peningkatan mortalitas, di mana besarnya respon tersebut dengan ikan berbeda-beda, tergantung pada tingkat ketergantungan ikan tersebut pada karang sebagai tempat makan dan sebagai tempat berteduh (Wilson et al, 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa, kerusakan terumbu karang tidak hanya disebabkan oleh kontak langsung dengan penyelam, tetapi juga dapat disebabkan oleh sedimentasi yang disebabkan oleh penyelam. Kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh penyelam scuba diving merupakan kerusakan yang sebagian besar tidak disengaja seperti; menendang koloni dengan sirip, menginjak, memegang, berlutut, dan menekan koloni dengan peralatan selam. Begitu pula, David dan Tisdell (1995), alasan orang melakukan diving adalah keinginan untuk mencari pengalaman di belantara laut yang berkaitan dengan ekologi perairan laut, formasi geologi di bawah laut, melakukan petualangan dengan resiko tertentu, sebagai sarana olah raga yang special dan berbeda dengan olah raga lainnya, dan kehidupan laut merupakan pesona laut untuk tujuan hobi fotografi di bawah laut. Oleh karena itu, penentuan daya dukung sangatlah diperlukan guna pencapaian kepuasan pengunjung. Daya dukung wisata bahari merupakan jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan kawasan. Daya dukung kawasan diperoleh dari analisis kesesuaian wisata bahari. Kesesuaian wisata bahari, khususnya wisata snorkling dan diving sangat ditentukan oleh persentase tutupan komunitas karang. Dalam hal ini, makin tinggi persentase tutupan komunitas karang yang ditunjang oleh parameter pendukung lainnya, makin besar pula daya dukung suatu kawasan wisata snorkling dan diving. Yulianda (2007) mengemukakan bahwa persentase tutupan karang menggambarkan kondisi dan
155 daya dukung karang. Khusus untuk wisata snorkling dan diving pertimbangan terhadap kondisi tutupan komunitas karang sangat penting karena potensi ini menggambarkan kondisi dan daya dukung yang juga merupakan daya tarik bagi wisatawan. Pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan PPK Kota Makassar tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung dalam melakukan kegiatan snorkling dan diving perharinya. Kondisi ini harus benar-benar diperhatikan agar pemanfaatan ruang yang optimal dan peningkatan pendapatan masyarakat dapat terwujud
secara
signifikan.
Pengembangan
wisata
bahari
juga
harus
memperhitungkan daya dukung kawasan secara seksama, sehingga kerusakan terhadap obyek wisata yang menjadi asset utama dapat diminimalisir dan dihindari. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka hal yang harus diakukan antara lain adalah menerapkan prinsip konservasi dan efisiensi. Faktor lain tak kalah pentingnya didalam pengembangan wisata bahari yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pada dimensi ekologi adalah persentase tutupan karang dan jumlah ikan karang serta kecerahan perairan. Ke tiga atribut tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama di kawasan pesisir yang sangat produktif yang sangat mempengaruhi keanekaragaman ikan karang dan juga merupakan daya tarik utama untuk wisata snorkling dan diving, namun sangat rentan terhadap perubahan-perubahan atau pengaruh eksternal perairan. Karena itu pengelolaan terumbu karang harus didasarkan atas pemahaman perspektif holistic dan berbasis ekologis. Tingginya persentase tutupan karang akan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi (keanekaragaman) ikan-ikan karang. Hal yang sama juga akan terjadi pada kecerahan perairan yang tinggi, yang menyebabkan semakin dalamnya penetrasi cahaya matahari sehingga, terumbu karang semakin tumbuh subur dan proses fotosintesis pada karang hidup dapat berlangsung secara optimal. Meningkatnya persentase tutupan karang hidup akan menyebabkan produksi ikanikan karang meningkat, karena terumbu karang merupakan habitat tempat hidup, tempat mencari makan, dan sebagai tempat asuhan bagi ikan-ikan karang yang bernilai ekonomis tinggi tersebut. Adanya kegiatan pelestarian dan pemulihan
156 kepunahan terumbu karang akan dapat mempertahankan keindahan panorama taman laut sebagai destinasi wisata bahari unggulan di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil Kota Makassar. Upaya perbaikan atribut tidak hanya dilakukan terhadap atribut yang memberikan pengaruh yang sensitive terhadap nilai indeks keberlanjutan pada dimensi ekologi, melainkan atribut-atribut yang memberikan pengaruh yang positif juga perlu ditangani dengan serius. Hal ini tentu akan dapat mempertahankan atau meningkatkan dampak yang positif terhadap peningkatan keberlanjutan dimensi ekologi kawasan wisata pesisir dan pulau-pulau kecil serta berupaya semaksimal mungkin menekan atribut-atribut yang berpengaruh terhadap penurunan tingkat keberlanjutan dimensi ekologi kawasan. Adapun atribut-atribut yang perlu dipertahankan agar dapat meningkatkan pengaruh positif terhadap nilai indeks keberlanjutan adalah (1) kecepatan arus, (2) kesesuaian lahan, (3) kondisi perairan (4), kondisi kawasan wisata PPK (keindahan, kebersihan, kenyamanan, dan keamanan) serta (5) ketersediaan sumber air tawar sepanjang waktu khuhusnya di pulau-pulau kecil Kota Makassar. 6.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Status keberlanjutan dimensi ekonomi dalam pengembangan wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar diperkirakan dipengaruhi oleh 10 atribut, yaitu (1) jumlah obyek wisata, (2) keuntungan wisata bahari, (3) ketergantungan sumberdaya perikanan sebagai sumber nafkah, (4) ketergantungan wisata bahari sebagai sumber nafkah, (5) biaya konsumsi, (6) jumlah tenaga kerja nelayan, (7) transfer keuntungan, (8) biaya penginapan, (9) jumlah kunjungan wisatawan dan (10) kontribusi sektor wisata terhadap PDRB. Hasil analisis dengan menggunakan Rapsieco terhadap sepuluh atribut dimensi ekonomi diperoleh nilai indeks keberlanjutan adalah sebesar 54,03% (Gambar 32). Ke sepeluh atribut di atas memberikan pengaruh yang berbedabeda terhadap nilai indeks keberlanjutan terhadap dimensi ekonomi.
157
Gambar 32. Nilai indeks keberlajutan wisata bahari pada dimensi ekonomi
Gambar 33. Peran setiap atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS (Root Mean Square)
158 Empat atribut yang sensitive berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan wisata bahari dari dimensi ekonomi yaitu (1) jumlah obyek wisata, (2) keuntungan wisata bahari, (3) ketergantungan sumberdaya perikanan sebagai sumber nafkah, dan (4) ketergantungan wisata sebagai sumber nafkah (Gambar 22). Ke empat atribut dalam dimensi ekonomi tersebut, saling mempengaruhi satu sama lainnya dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan PPK Kota Makassar (Gambar 33). Obyek wisata dalam pengembangan wisata bahari merupakan cerminan dari potensi biofisik dan sosial budaya yang merupakan komponen daya tarik kawasan yang dipadukan dengan kenyamanan, aksesibilitas, pelayanan yang baik, pelayanan sarana informasi dan ruangan untuk kegiatan perdangangan. Jumlah obyek wisata sangat mempengaruhi keuntungan wisata dan iklim usaha wisata, dimana dipersivikasi obyek wisata bahari akan memberikan keuntungan usaha wisata bahari yang tinggi dan menjadikan kawasan wisata tersebut menjadi destinasi wisata bahari unggulan di Kota Makassar, oleh karena jumlah wiasatawan yang berkunjung akan semakin meningkat, sehingga akan menjamin keberlanjutan usaha wisata bahari tersebut. Tercapainya keberlanjutan usaha wisata bahari, maka peningkatan pendapatan masyarakat akan meningkat yang berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan karena keberlanjutan usaha wisata bahari akan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak sehingga memberikan keterjaminan kehidupan dan pendapatan serta menciptakan lapangan kerja alternative bagi masyarakat lokal sehingga ketergantungan wisata bahari sebagai sumber nafkah bagi masyarakat lokal semakin tinggi pula. Agar obyek dan daya tarik wisata dapat ditingkatkan guna menciptakan wisata bahari berkelanjutan maka upaya pengelolaan dan pengembangan wisata bahari harus berpengang pada prinsip keberlanjutan dan daya dukung kawasan sesuai dengan tujuan dari pengusahaan wisata bahari itu sendiri. Tujuan dari pengusahaan wisata bahari adalah untuk meningkatkan pemanfaatan keindahan panorama alam pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam zona pemanfatan kawasan wisata bahari tersebut yang aktivitasnya harus memperhatikan kegiatan daya dukung sumberdaya hayati dan
159 ekosistemnya. Aktivitas yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan rekreasi, pondok wisata, penginapan yang menyediakan sarana dan prasarana pendukung. Adapun langkah-langkah pendukung yang diperlukan guna menciptakan wisata bahari yang berkelanjutan, yaitu; (1) menyusun rencana pengembangan aksesbilitas baik di darat, laut maupun di udara, (2) menentukan prioritas pembangunan aksesibilitas menuju ke objek dan daya tarik wisata, (3) mengadakan dan meningkatkan aksesibilitas yang dibutuhkan ke objek dan daya tarik wisata, serta (4) menjaga dan memelihara aksesibilitas yang sudah ada.
6.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya Hasil analisis dengan menggunakan Rapsieco terhadap sepuluh atribut dimensi social budaya, diperoleh nilai indeks keberlanjutan adalah sebesar 55,68% (Gambar 34). Nilai indeks keberlanjutan ini memposisikan dimensi social budaya pada status cukup berkelanjutan.
Atribut yang diperkirakan
memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlajutan pada dimensi social-budaya terdiri dari 9 atribut yaitu; (1) budaya masyarakat, (2) memiliki nilai estetika, (3) pola hubungan masyarakat, (4) peran lembaga adat, (5) keamanan dan kenyamanan, (6) pemberdayaan masyarakat, (7) jarak pemukiman ke lokasi wisata, (8) penyerapan tenaga kerja, dan (9) pendidikan formal masyarakat. Setiap atribut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya. Untuk melihat pengaruh dari setiap atribut terhadap nilai indeks keberlanjutan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 3 atribut yang sensitive terhadap nilai indeks keberlanjutan pada dimensi sosial-budaya yaitu; (1) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan wisata bahari, (2) pola hubungan masyarakat dalam kegiatan wisata bahari, dan (3) peran masyarakat adat dalam wisata bahari, dan penyerapan tenaga kerja dalam pengembangan wisata bahari (Gambar 35).
160
Gambar 34. Nilai indeks keberlanjutan pengembangan wisata bahari dimensi sosial budaya. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang berdampak negative terhadap nilai indeks keberlanjutan pada dimensi sosialbudaya sehingga dapat meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dalam pengembangan wisata bahari
di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota
Makassar di masa yang akan datang. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan wisata bahari di Kota Makassar dilakukan guna mengurangi ancaman terhadap degradasi kawasan dalam memanfaatkan jasa lingkungan yang dimilki oleh kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar sebagai kawasan wisata bahari sehingga memberikan manfaat optimal secara berkelanjutan. Pemberdayaan ini diharapkan mampu mengakomodasi keterlibatan masyarakat secara aktif sehingga tugas dan wewenang dalam pengembangan kawasan wisata bahari tersebut akan semakin mudah untuk mencapai tujuan yang optimal serta dapat menigkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada gilirannya akan mengurangi akifitas
161 masyarakat yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mengancam kelestarian SDA dan jasa lingkungan yang merupakan daya tarik wisata bahari.
Gambar 35. Peran setiap atribut dimensi sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) Partisipasi masyarakat secara aktif akan menjadi faktor kekuatan karena adanya pemahaman dan pengetahuan lokal (indogenous knowledge) terhadap pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan wisata bahari yang merupakan milik mereka. Oleh karena itu, perlu adanya revitalisasi pemahaman dan pengetahuan lokal masyarakat khususnya masyarakat adat dan peninjauan kembali kebijakan pemanfaatan sumberdaya hidup mereka. Lewaherilla (2006) mengemukakan bahwa revitalisasi pemahaman dan pengetahuan masyarakat adat dalam pemanfatan sumberdaya dan lingkungan hidup didaerah ulayat adat merupakan wujud nyata atas kepedulian terhadap eksistensi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dalam pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan. Pelibatan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja usaha pariwisata merupakan upaya paling cepat dan mudah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Melibatkan masyrakat lokal sebagai tenaga kerja pada usaha pariwisata, terbangun ikatan yang kuat antara masyarakat dengan lingkungan tempat tinggal sehingga
162 mendorong masyarakat untuk tetap tinggal di lingkungan tersebut. Semakin banyak masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan usaha pariwisata, semakin banyak manfaat yang dapat diperoleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan kegiatan dan paketpaket wisata dapat dilakukan dengan melibatkan mereka sebagai pemandu wisatawan atau bahkan sebagai pengembang kegiatan dan paket-paket wisata. Usaha pariwisata,dalam hal ini, hotel dan biro perjalanan wisata dapat berperan dalam memasarkan peket-paket wisata di kawasan pesisir Kota Makassar. Penyelenggara paket wisata menggunakan tenaga lokal sebagai pemandu, sehingga dianggap lebih memahami kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat lokal. Adapun manfaat mengembangkan paket wisata adalah : 1. Biro perjalanan wisata Manfaat yang diperoleh dengan masyarakat lokal untuk pengembangan kegiatan dan paket wisata adalah pengembangan bisnis, peningkatan pendapatan atau keuntungan dari komisi, dan menawarkan keunikan dari paket wisata yang ditawarkan. 2. Masyarakat lokal Manfaat yang dapat diperoleh melalui kemitraan dengan biro perjalanan wisata dalam pengembangan kegiatan dan paket wisata adalah terciptanya lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta promosi budaya masyarakat melalui pariwisata. 3. Masyarakat umum (semua pihak) Manfaat yang diperoleh melalui kemitraan antara biro perjalanan wisata dengan masyarakat lokal adalah wisatawan yang mendapatkan pengalaman berwisata yang lebih baik, kepuasan wisatawan, peningkatan pengeluaran wisatawan, dan meningkatkan brand usaha pariwisata. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Indonesia dianggap berhasil apabila pelibatan masyarakat turut andil dalam pengembangan pariwisata baik lokal, regional, dan nasional. Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pengembangan wisata bahari, maka pengembangan kawasan yang dilakukan akan memberikan manfaat
163 optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu, prinsip peran serta masyarakat bukan hanya sebagai slogan semata namun harus dilaksanakan secara tegas mencakup semua berbagai kepentingan masyarakat yaitu; kesetaraan dan kemitraan, transfaransi, distribusi kewenangan yang seimbang, kesetaraan tanggung jawab serta pemberdayaan dan kerjasama. Sebagaimana yang dikemukakakn oleh Sarosa (2002) bahwa pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dalam konteks pembangunan berkelanjutan adalah bahwa masyarakat saat ini tidak bisa hanya dijadikan sebagai objek dari pembangunan tetapi sekaligus sebagai subjek dari pembangunan itu sendiri, yang dikenal dengan slogan pengelolaan berbasis masyarakat. Konteks pendekatan pengelolaan dan pengembangan berbasis masyarakat mengandung makna bahwa dalam pengembangan dan keberlanjutan pengusahaan wisata bahari, maka masyarakat diposisikan sebagai mitra yang setara dengan pemerintah di dalam pengembangan wisata bahari melalui pendekatan kolaboratif. Pengembangan sumberdaya manusia di bidang kepariwisataan sangat penting dilakukan agar Kota Makassar dapat menyediakan sendiri kebutuhan akan tenaga–tenaga pariwisata yang terlatih sehingga dapat memberikan pelayanan standar sesuai standar internasional. Adapun yang dimaksud standar Internasional adalah : a) menyiapkan tenaga-tenaga terampil dibidang usaha pariwisata, b) meningkatkan kemampuan berbahasa asing dikalangan stakeholders yang bergerak dibidang pariwisata, c) memantapkan kesiapan masyarakat lokal sebagai tuan rumah, d) meningkatkan kemampuan teknis dibidang manajemen kepariwisataan, dan e) meningkatkan kemampuan dibidang perencanaan dan pemasaran pariwisata. Namun, pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan wisata bahari di Kota Makassar mempunyai tantangan yang besar yaitu kualitas keterampilan dan keahlian yang masih sangat rendah sebagai tenaga kerja pada usaha pariwisata, sehingga harus dilakukan upaya peningkatan kualitas tenaga kerja pada bidang yang tidak memerlukan keahlian khusus, maupun bagi tenaga kerja tingkat top dan middle management ( LAPI ITB 2007). Seiring dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 yang mengatur tentang pengusahaan obyek wisata dan daya tarik wisata. Pengusahaan tersebut meliputi kegiatan membangun dan mengelola obyek wisata dan daya tarik wisata
164 beserta sarana dan prasarana yang diperlukan atau kegiatan mengelola obyek dan daya tarik wisata yang telah ada . Pengusahaan obyek wisata dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya alam dan tata lingkungannya untuk dijadikan sarana wisata. Masyarakat memiliki kesempatan yang luas dan berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan (Pasal 30). Pengembangan investasi dibidang pariwisata adalah: a) memberikan kemudahan-kemudahan bagi investor dalam membuka usaha dibidang pariwisata, b) meningkatkan mata anggaran dan alokasi dana dalam pengembangan pariwisata. Selanjutnya pengembangan pengelolaan lingkungan merupakan strategi umum yang mendasari semua pengembangan kepariwisataan yang akan dilakukan antara lain : a) pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan dan hemat energi, b) peningkatan kesadaran lingkungan bagi masyarakat, c) meningkatkan dan memantapkan konservasi kawasan-kawasan yang rentan terhadap perubahan, dan d) membuat produk-produk hukum tentang dampak lingkungan dalam pengembangan pariwisata. Degradasi perilaku dan tradisi masyarakat lokal yang berpihak terhadap kelestarian kawasan wisata bahari bisa terjadi akibat interaksi dengan para wisatawan ataupun
ketidaksetaraan dan ketidakadilan distribusi pemanfaatan
kawasan wisata bahari tersebut. Persepsi pemanfaatan flora dan fauna sebagai cenderamata yang dimilki wisatawan juga bisa mempengaruhi persepsi masyarakat lokal. Perubahan persepsi masyarakat lokal tentang eksploitasi SDA dapat berdampak pada perilaku dan permisivitas masyarakat lokal untuk melakukan ekploitasi potensi kawasan wisata bahari yang tidak terkendali. Oleh karena itu, sangat diperlukan keterlibatan masyarakat sebagai stakeholder dalam mengamankan dan melestarikan seluruh potensi wisata obyek wisata agar terhindar dari degradasi lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya. Pola hubungan masyarakat dikawasan wiasata bahari di Kota Masyarakat khususnya di kawasan pulau-pulau kecil dalam kegiatan wisata bahari masih saling menguntungkan dan ini tercermin dalam sikap kegotongroyongan dan bekerjasama yang tinggi. Masyarakat lokal biasanya saling membantu khususnya pada saat kunjungan wisatawan. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan kekeluargaan ataupun karena pembentukan kelompok-kelompok kemasyarakatan
165 non formal seperti pembentukan kelompok nelayan, koperasi ataupun kelompok kemasyarakatan lainnya. Peran kelompok ini sangat besar dalam menggerakkan anggotanya dalam sarana tukar menukar informasi kunjungan wisatawan khususnya dalam pengalokasian alat tranfortasi penyeberangan menunju pulau sebagai tujuan wisata. 6.4 Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Hasil analisis dengan menggunakan Rapsieco terhadap sembilan atribut dimensi infrastruktur dan teknologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan adalah sebesar 49,54% dengan status kurang berkelanjutan (Gambar 36). Nilai indeks keberlanjutan ini menunjukkan bahwa pengembangan dan pemanfaatan infrastruktur dan teknologi dalam pengembangan wisata bahari di Kota Makassar masih sangat minim. Walaupun posisi titik nilai indeks keberlanjutan berada pada kwadran positif yang berarti bahwa kecenderungan pengelolaan sekarang kearah yang lebih baik, namun nilai indeks yang rendah yang berada pada satus kurang berkelanjutan mengindikasikan adanya atribut-atribut yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, atribut-atribut yang sensitive mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan aspek infrastruktur dan teknologi harus ditingkatkan kearah berkelanjutan, sehingga pengembangan wisata bahari tidak mengalami penurunan nilai manfaat.
Gambar 36. Nilai indeks keberlanjutan pengembangan wisata bahari pada dimensi infrastruktur dan teknologi
166 Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi dalam pengembangan wisata bahari di Kota Makassar dipengaruhi oleh 9 atribut, yaitu (1) ketersediaan penyulingan air bersih/air tawar, (2) ketersediaan teknologi informasi, (3) jenis teknologi wisata bahari, (4) rumah makan, (5) akomodasi, (6) ketersediaan alat pendukung kegiatan wisata bahari, (7) ketersediaan kapal penyebrangan, (8) sarana kesehatan dan keamanan, dan (9) kemudahan akses ke lokasi wisata bahari Hasil analisis lavarage diperoleh 4 atribut yang sensitive terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi yaitu; (1) ketersediaan kapal penyeberangan, (2) kemudahan akses ke lokasi wisata bahari, .(3) ketersediaan teknologi informasi, dan (4) akomodasi. Hasil analisis leverage pada dimensi infrastruktur dan teknologi disajikan pada Gambar 37.
Gambar 37. Peran setiap atribut dimensi infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS (Root Mean Square) Pengembangan wisata bahari di Kota Makassar khusunya pengembangan obyek wisata pulau, maka ketersediaan kapal penyeberangan merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi mengingat letak antar pulau-pulau kecil di
167 Kota Makassar berbeda-beda. Berdasarkan hasil survey dan wawancara di lokasi kajian, diketahui bahwa ketersediaan kapal penyeberangan menuju lokasi obyek wisata pulau-pulau kecil di Kota Makassar masih sangat minim, bahkan pada beberapa pulau belum tersedia samasekali, kalaupun ada hanya berupa carteran yang sudah tentu membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Minimnya kapal penyeberangan sebagai satu-satunya alat transfortasi menuju ke pulau-pulau kecil, menyebabkan tingkat kunjungan wisatawan juga masih sangat dibandingkan dengan tingkat kunjungan wisatawan di kawasan pesisir. Untuk itu, ketersediaan kapal penyeberangan yang memadai dan terjamin keamanannya, diharapkan dapat memperlancar arus wisatawan dari dan ke destinasi wisata bahari sehingga dapat meningkatkan jumlah wisatawan menuju daerah tujuan wisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Begitu pula kemudahan akses ke lokasi wisata bahari di kawasan pesisir Kota Makassar masih merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan. Saat ini akses menuju kawasan wisata di kawasan pesisir Kota Makassar sangat mudah, oleh karena pemerintah Kota Makassar telah menyediakan bus wisata Tanjung Bunga yang diberangkatkan setiap hari. Namun hal ini belum optimal oleh karena jumlah unit bus masih sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah wisatawan atau masyarakat yang ingin dan akan berkunjung ke lokasi wisata, serta keberangkatannyapun hanya pada jam-jam tertentu, sehingga belum mampu melayani wisatawan yang akan berwisata. Untuk itu, diperlukan penambahan armada angkutan dan pengadaan trayek umum menuju lokasi wisata bahari di kawasan pesisirKota Makassar. Begitu pula sarana pendukung lainnya yang tidak kalah pentingnya berpengaruh dalam meningkatkan jumlah wisatawan adalah ketersediaan teknologi informasi untuk mempromosikan produk wisata bahari. Walaupun atribut ketersediaan teknologi informasi ini dalam analisis leverage menunjukkan urutan ke tiga sensitive berpengaruh pada pengembangan wisata bahari di Kota Makassar, akan tetapi atribut ini perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan karena teknologi informasi untuk mempromosikan wisata bahari yang sedang dikembangkan merupakan kekuatan yang berfungsi meningkatkan jejaring nasional dan international agar pengusahaan wisata bahari yang sedang
168 dikembangkan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dapat dikenal luas sampai ke taraf internasional. Begitu pula sebaliknya, ketersediaan teknologi
informasi
diharapkan
akan
meimbulkan
efek
ganda
seperti
mempermudah akses informasi secara dua arah. Kurangnya kegiatan promosi wisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar menyebabkan kunjungan wisatawan dikawasan pulau-pulau kecil masih sangat rendah. Agar kegiatan promosi memberikan kontribusi yang
nyata pada
pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan, maka program promosi harus mempertimbangkan langkah-langkah: 1. Memantapkan bauran pemasaran, alat dan bahan promosi untuk mempromosikan objek dan daya tarik wisata bahari. 2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas bahan dan alat wisata bahari dalam berbagai macam bahan. 3. Meningkatkan
pusat
pelayanan
informasi
wisata
bahari
dengan
pemanfaatan teknologi informasi dalam menyebarluaskan potensi wisata bahari (Website). 4. Membuka pusat informasi pariwisata Sul-Sel di Bali, Yogya, Manado, Batam dan Jakarta. 5. Mengalokasikan dana promosi pariwisata Sul-Sel secara proporsional. 6.5 Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rapsieco diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 51,098 dengan status cukup berkelanjutan. Agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, maka diperlukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitive berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum dan kelembagaan ini. Nilai indeks keberlanjutan berdasarkan hasil analisis Rapsieco pada dimensi hukum dan kelembagaan disajikan pada Gambar 38.
169
Gambar 38. Nilai indeks keberlanjutan pada dimensi Hukum dan kelembagaan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari sepuluh atribut yaitu: (1) dukungan kebijakan pemerintah daerah, (2) kerjasama dengan lembaga non pemerintah, (3) pemegang kepentingan utama, (4) pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian, (5) koordinasi antar sektoral, (6) ketersediaan kelompok tani nelayan, (7) konflik kepentingan, (8) ketersediaan lembaga sosial, (9) ketersediaan penengakan hukum, dan (10) ketersediaan perangkat hukum adat/agama. Untuk melihat atribut-atribut yang memberikan pengaruh sensitive terhadap nilai indeks keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan dilakukan analisis Leverage. Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh 2 atribut yang sensitive terhadap nilai indeks keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu (1) pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian, dan (2) ketersediaan kelompok tani nelayan (Gambar 39).
170
Gambar 39. Peran setiap atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS (Root Mean Square). Indikasi program pengembangan wisata bahari disusun dan dirumuskan dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan sesuai potensi yang ada dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Disamping itu, indikasi program juga harus mampu menjawab karakteristik kawasan perencanaan yang dikaitkan dengan kondisi sumberdaya alam yang ada ataupun peran dan letak geografisnya. Penyusunan indikasi program harus memperhatikan skala prioritas. Skala prioritas ini akan sangat membantu stakehoder pengambil kebijakan di daerah/kawasan perencanaan dalam hal ini Pemerintah Kota Makassar dalam mengimplementasikan berbagai program yang sudah dirumuskan. Penetapan skala prioritas
didasarkan
pada
kepentingan
masing-masing
program
dalam
mewujudkan visi dan misi yang sudah ditetapkan. Penetapan skala prioritas juga sangat membantu dalam pengalokasian dana yang tersedia dengan tingkat kepentingan program yang akan dilaksanakan. Namun perlu diingat bahwa penyusunan dan pelaksanaan program tidak diarahkan pada pelaksanaan proyek semata, melainkan diarahkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Dengan demikian keberhasilan dalam pelaksanaan proyek dapat diukur dari manfaat yang diperoleh
171 masyarakat secara berkelanjutan. Disamping itu, indikasi program yang akan ditetapkan juga sebaiknya sudah ditetapkan instansi atau pihak mana yang bertanggungjawab atau dapat terlibat di dalamnya. Pembagian tugas dan wewenang ini menjadi sangat penting, agar implementasi di lapangan dapat segera diterapkan. Siapa mengerjakan apa dan apa menjadi tanggugjawab siapa harus secara jelas direncanakan dalam indikasi program yang disusun. Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan dalam pengembangan wisata bahari dimaksudkan untuk memantau dan mengevaluasi apakah pelaksanaan program yang telah disusun dan direncanakan yang disesuaiakan dengan potensi dan kebutuhan berjalan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan program optimal. Pada pola ini masyarakatlah yang memiliki inisiatif
dan
berperan penuh pada kegiatan-kegiatan mereka sehingga keberhasilannya sangat ditentukan dari rasa tanggung jawab dari masyarakat itu sendiri. Atribut
lainya
yang
menunjukkan
pengaruh
sensitive
terhadap
pengembangan wisata bahari di Kota Makassar adalah ketersediaan kelompok tani nelayan. Hasil survey, menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat khususnya di pulau-pulau kecil Kota Makassar terhadap pentingnya hidup berorganisasi atau berkelompok sudah tertanam dalam jiwa mereka. Hal ini dirasakan dengan keikutsertaan seluruh nelayan dalam lembaga atau kelompok yang telah dibentuk. Proses penyadaran ini telah dilakukan melalui kegiatan pelatihan untuk mendukung penguatan kelembagaan dan SDM, penyadaran masyarakat dimaksudkan agar terwujud peningkatan pengetahuan masyarakat yang sesuai dengan kearifan lokal. Hal ini terlihat dari keberadaan lembaga social yang tersedia hamper disemua pulau yang berpenduduk dan berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing sehingga keberadaan lembaga social ini patut untuk dipertahankan. Namun agar nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ini dapat lebih meningkat maka perlu lebih ditingkatkan lagi keberadaan dari lembaga social ini. Lembaga sosial yang ada dan berjalan efektif di pulau Lanyukkang adalah Badan Perwakilan Desa (BPD) Kelurahan Barrang Caddi. Anggota dari BPD
172 tersebut adalah masyarakat pulau langkai dan lanyukang. Lembaga informal lainya yang terdapat di pulau Lanyukang dan Langkai adalah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang pembentukannya diinisiasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LEMSA) melalui program Community Development yang telah difasilitasi selama ini. Aktivitas KSM ini diarahkan pada upaya pembangunan dan pengelolaan Alternative Income Generating (AIG). Kelembagaan masyarakat nelayan yang dijumpai di pulau Lumu-lumu berupa lembaga formal mengingat jumlah penduduk yang cukup besar di pulau ini sehingga menuntut dibentuknya sebuah kelurahan dengan segala perangkat kelembagaannya. Pertemuan-pertemuan masyarakat untuk membahas masalah yang dihadapi nelayan biasanya diadakan di masjid. Berdasarkan hasil analisis setiap dimensi, selanjutnya dilakukan perbandingan keberlanjutan antar dimensi (dari dimensi ekologi 62,27%, dimensi ekonomi 54,03%, dimensi sosial dan budaya sebesar 55,68%, dimensi infrastruktur dan teknologi 49,55%, serta dimensi hukum dan kelembagaan 51,10%), yang divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti pada Gambar 40.
Gambar 40. Diagram layang-layang nilai indeks keberlanjutan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Gambar 40 di atas, menunjukkan bahwa dimensi teknologi dan infrastruktur berada pada status kurang berkelanjutan. Agar nilai indeks keberlanjutan ini dapat terus meningkat sampai mencapai status keberlanjutan dimasa yang akan datang, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif
173 berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan.
Perbaikan yang dimaksud
adalah meningkatkan kapasitas atribut yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Sebaliknya, menekan seminim mungkin atribut yang berpeluang menurunkan nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis Monte Carlo pada taraf 95% menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil Kota Makassar tidak banyak berbeda dengan hasil analisis Rapsieco (Tabel 23). Ini berarti bahwa kesalahan dalam pemberian skoring dapat diperkecil dan variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil. Proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang cukup stabil serta kesalahan dalam menginput data dan kehilangan data dapat dihindari. Tabel 23. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rapseico dengan Monte Carlo. Dimensi Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Soial-budaya Teknologi dan infrastruktur Hukum dan kelembagaan Multidimensi
Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Rapseico Monte Carlo Perbedaan 67,22 61,69 5,53 54,03 53,90 1,3 55,53 55,28 0,25 49,54 49,33 0,21 51,10 50,86 2,4
Sumber: Data primer yang diolah (2010) Hasli analisis Rapseico menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap keberlanjutan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Terlihat dari nilai stress yang diperoleh berkisar antara 14% hingga 16% dan nilai (RSQ) yang diperoleh berkisar antara 0,94% hingga 95%. Hal ini sesuai dengan Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari nilai 0,25 (25%). dan nilai (RSQ) mendekati nilai 1,0 (Tabel 24). Tabel 24. Hasli analisis Rapseico untuk nilai Stress dan RSQ Dimensi Keberlanjutan B C D E Stress 0,14 0,15 0,15 0,16 0,15 RSQ 0,95 0,95 0,95 0,94 0,95 Iterasi 2 2 2 2 2 Keterangan : A= Dimensi Ekologi, B= Dimensi Ekonomi, C= Dimensi Sosial, D= Dimensi Infrastruktur-Teknologi, E= Dimensi Hukum-Kelembagaan, dan F=Multidimensi. Parameter
A
174
175
7. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR Penentuan skala prioritas kebijakan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dilakukan dengan menggunakan metode A’WOT yang merupakan modifikasi dari metode SWOT dan Analysis Hierararchy Process (AHP). Analisis kebijakan bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor SWOT dalam menentukan prioritas kebijakan. Analisis SWOT dimaksudkan untuk melihat semua faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada atau mungkin ada guna penyusunan kebijakan. AHP digunakan untuk menentukan skala prioritas kebijakan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan PPK Kota Makassar yang paling mungkin dan paling menguntungkan. Dalam hal ini, analisis SWOT menyediakan frame dasar yang akan menghasilkan keputusan situasional, sedangkan AHP akan membantu meningkatkan analisis SWOT dalam mengelaborasikan hasil analisis sehingga keputusan strategi alternatif dapat diprioritaskan.
7.1 Komponen SWOT Hasil identifikasi terhadap komponen dan faktor-faktor SWOT dalam pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di Kota Makassar dengan menggunakan AWOT disajikan pada Gambar 41.
Gambar 41. Skala prioritas kebijakan berdasarkan komponen SWOT Skala
prioritas
kebijakan
berdasarkan
komponen
SWOT
dalam
pengelolaan wisata bahari di kawasan pesisir dan PPK Kota Makassar berturutturut adalah: (1) kekuatan menempati prioritas ke I (utama) dengan bobot 0.565; (2) ancaman, menempati prioritas ke II dengan bobot 0,262, (3) peluang
176 menempati prioritas ke III dengan bobot 0,118, dan (4) kelemahan menempati prioritas ke IV dengan bobot 0,055. Gambar 41, menunjukkan bahwa di dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, maka unsur kekuatan menjadi skala prioritas utama yang harus diperhatikan dan sekaligus eksistensi faktor-faktor yang menjadi pendukung kekukatan harus secara terus menerus diperhatikan. Potensi SDA, dukungan kebijakan wisata bahari yang kuat dari pemerintah daerah dan propinsi, serta aksesibilitas yang mudah menjadi dasar dalam pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Sedangkan, faktor-faktor ancaman seperti, meningkatnya pencemaran lingkungan baik dari darat maupun laut (kapal), degradasi sumberdaya akibat aktivitas wisata yang tidak dikelola dengan baik, rendahnya penegakan hukum, dan potensi terjadinya penguasaan/kepemilikan pulau oleh orang asing, sangat berpotensi menjadi ancaman yang serius dalam pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di kawasan pesisir dan PPK Kota Makassar di masa yang akan datang. Oleh karena itu, dalam waktu yang bersamaan, unsur ancaman juga harus diperhatikan, oleh karena unsur ancaman menempati skala prioritas yang ke II.
7.2 Komponen Strength (Kekuatan) Daya dukung kawasan merupakan faktor kekuatan yang menjadi prioritas pertama dengan bobot 0,446. Prioritas selanjutnya antara lain potensi sumberdaya laut dan perikanan yang cukup tinggi dengan bobot 0,202, kebijakan pemerintah yang mendukung kegiatan wisata bahari dengan bobot 0,178, kemudahan aksesibilitas ke lokasi wisata dengan bobot 0,102, obyek dan daya tarik wisata dengan bobot 0,046, dan keseuaian wisata bahari dengan bobot 0,025. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 42.
177
Gambar 42. Skala prioritas kebijakan berdasarkan komponen strength. Daya dukung kawasan wisata bahari merupakan faktor yang sangat kuat dan sangat berpengaruh terhadap faktor pembentuk kekuatan (strength) bagi pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar (Gambar 42). Dengan adanya dukungan kawasan diharapkan kinerjanya dapat dimaksimalkan melalui berbagai strategi yang akan dilaksanakan di masa mendatang.
Potensi
sumberdaya
alam
(laut)
yang
tinggi
khususnya
keanekaragaman terumbu karang dan ikan karang di PPK Kota Makassar, dengan adanya dukungan kebijakan wisata bahari baik dari pemerintah maupun dari penyelenggara wisata serta didukung oleh aksesibilitas yang mudah, merupakan faktor kekuatan utama dalam pengembangan wisata bahari serta diyakini akan dapat
menumbuhkembangkan
minat
dan
motivasi
masyarakat
dalam
pengembangan wisata bahari sesuai kondisi lokal/kearifan lokal.
7.3 Komponen Weaknesses (Kelemahan) Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi penentuan skala prioritas kebijakan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan PPK Kota Makassar dari komponen weaknesses adalah: (a) kurangnya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari, (b) kawasan wisata bahari belum dikelola secara optimal, (c) kurang mendapat dukungan dari masyarakat setempat, (d) lemahnya penengakan hukum lingkungan,
dan (e) rendahnya SDM.
Bobot dan skala prioritas kebijakan
berdasarkan hasil analisis AWOT pada komponen weaknesses disajikan pada Gambar 43 dan Tabel 25.
178
Gambar 43. Skala prioritas kebijakan berdasarkan komponen weaknesses. Faktor kawasan wisata bahari yang belum dikelola secara optimal merupakan faktor kelemahan yang menjadi prioritas pertama atau utama dalam pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil Kota Makassar dengan bobot 0,478 (Gambar 39 dan Tabel 25). Faktor lainnya berturut-turut adalah rendahnya SDM baik pengelola kawasan wisata maupun masyarakat lokal dengan bobot 0,267, lemahnya penegakan hukum dengan bobot 0,095, kurangnya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengembangan wisata bahari sesuai dengan aturan dengan bobot 0,081, dan yang terakhir adalah kurangnya dukungan dari masyarakat setempat dengan bobot 0,079.
Tabel 25. Matriks skala prioritas kebijakan wisata bahari di pesisir dan PPK Kota Makassar berdasarkan komponen Weaknesses. Faktor Weaknesses.
Bobot
Skala Prioritas
Kawasan wisata belum dikelola secara professional Rendahnya SDM Lemahnya penengakan hukum lingkungan Kurangnya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengembangan sesuai dengan aturan Kurang mendapat dukungan dari masyarakat setempat
0,478 0,267 0,095 0,081
P1 P2 P3 P3
0,079
P4
Pengembangan wisata bahari baik di kawasan pesisir maupun di PPK Kota Makassar belum dikelola secara professional (Tabel 25). Hal ini dapat dilihat pada perluasan kawasan wisata Tanjung Bunga untuk peruntukan kawasan wisata bahari dengan cara mereklamasi kawasan pesisir menjadi kawasan wisata dengan
179 mengorbankan kawasan hutan mangrove yang terdapat di kawasan tesebut. Kondisi yang sama juga terjadi di Pantai Losari yang merupakan produk wisata pantai unggulan di Kota Makassar, namun akibat penanganan yang tidak optimal, sehingga kegiatan wisata ini justru merusak lingkungan hidup akibat tingginya pencemaran yang ditimbulkan oleh kegiatan wisata yang semula dijadikan sebagai daya tarik utama. Semula Pantai Losari ini sangat indah karena memiliki perairan yang jernih dan tenang, sangat luas sejauh mata memandang, memilki pemandangan sunset yang indah disore hari, menarik berbagai wisatawan asing dan lokal untuk datang menikmatinya atau sekedar duduk di tepi pantai sambil menikmati makanan khas Kota Makassar. Namun demikian obyek wisata ini diekploitasi sangat eksesif untuk menghasilkan devisa tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Akibatnya, banyak terjadi kerusakan khususnya biota laut akibat pencemaran perairan, hamparan tepi pantai penuh sesak dengan sebaran sampah, dan ombak pantai hilang akibat rusaknya terumbu karang. Saat ini, Pantai Losari tidak lagi menarik sebagai tempat melakukan aktifitas wisata bahari. Hal ini dapat terlihat dari berkurangnya wisatawan mancanegara dan wisatawan asing yang berkunjung ke Pantai Losari. Wisatawan datang untuk menikmati alam namun wisatawan pula
yang menjadi faktor perusak alam.
Kondisi tersebut
memperlihatkan bahwa kawasan wisata baik di pesisir maupun di pulau-pulau kecil Kota Makassar sebagian besar telah tercemar dan telah mengalami degradasi serta kerusakan berbagai ekosistemnya, sehingga masih sangat dibutuhkan kebijakan dan komitmen semua stakeholder dalam kegiatan pengendalian, penataan kawasan wisata serta pengembangan wisata bahari secara lestari. Hal ini menunjukkan pula bahwa kurang seriusnya pihak pemerintah Kota Makassar untuk mendukung program-program wisata bahari berkelanjutan yang berdampak pada pengembangan obyek andalan wisata bahari di Kota Makassar. Walaupun kondisi demikian, namun wisatawan lokal (masyarakat sekitar Kota Makassar) masih tetap mau berkunjung karena potensi sumberdaya alam (laut) seperti panorama alamnya yang sangat indah merupakan daya tarik tersendiri dan merupakan prioritas ke dua dari faktor kekuatan dalam pengembangan wisata bahari di pesisir dan PPK Kota Makassar. Berdasarkan hal
180 tersebut, di masa yang akan datang perlu dilakukan perumusan berbagai strategi yang ditunjang oleh peningkatan kepedulian masyarakat, pemerintah, maupun penyelenggara wisata bahari, sehingga daya tarik sebagai obyek wisata dapat tetap dipertahankan, agar tercipta destinasi wisata unggulan di Kota Makassar, yaitu penyelenggaraan wisata bahari yang ramah lingkungan dan berbasis konservasi serta berbasis masyarakat yang berdasarkan pada kearifan lokal.
7.4 Komponen Opportunities (Peluang) Komponen yang menjadi faktor Opportunities (peluang) untuk menentukan skala prioritas kebijakan pengembangan wisata bahari di pesisir dan PPK Kota Makassar meliputi: (a) target Pemkot Makassar untuk mengembangkan kawasan wisata bahari, (b) tingginya dukungan dari LSM setempat dan donator internasional untuk mengembangkan kawasan wisata bahari, dan (c) peningkatan pendapatan masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Makassar (Gambar 44 dan Tabel 26).
Gambar 44. Skala prioritas kebijakan berdasarkan komponen Opportunities.
Faktor target Pemkot Makassar untuk mengembangkan kawasan wisata bahari dengan bobot 0,637 merupakan faktor utama yang menjadi peluang dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Faktor penting lainnya berturut-turut adalah peningkatan pendapatan masyarakat dan Pendapatan Asli daerah (PAD) dengan bobot 0,258, dan terakhir adalah faktor tingginya dukungan dari LSM setempat dan donator internasional untuk mengembangkan kawasan wisata bahari dengan bobot 0,1.
181 Tabel 26. Matriks skala prioritas kebijakan wisata bahari di pesisir dan PPK Kota Makassar berdasarkan Komponen opportunities. Faktor Weaknesses.
Bobot
Skala Prioritas
untuk
0,637
P1
dan
0,258
P2
Tingginya dukungan dari LSM setempat dan donator internasional untuk mengembangkan kawasan ekowisata
0,105
P3
Target Pemkot Makassar mengembangkan kawasan ekowisata Peningkatan pendapatan masyarakat Pendapatan Asli daerah (PAD)
Berdasarkan peringkat faktor-faktor peluang di atas, ternyata target Pemkot Makassar merupakan faktor peluang yang sangat penting dalam upaya pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Pemerintah sebagai pengambil keputusan di Kota Makassar menjadikan pemerintah memengang peranan yang sangat besar dalam pengembangan destinasi wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Kondisi ekologi termasuk keanekaragaman flora dan faunanya sangat tinggi dan sangat mendukung kegiatan wisata bahari sehingga menjadi daya tarik dan obyek wisata yang utama di kawasan wisata bahari dan pulau-pulau kecil Kota Makassar. Namun dalam keadaan jika tidak ada dukungan dari pihak pemerintah baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kota Makassar seperti penyediaan sarana dan prasarana, kebijakan dan membuka peluang kerjasama dengan menerapkan pola kemitraan bersama investor, maka pengembangan wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar sebagai destinasi wisata bahari unggulan tidak akan optimal dan tidak berkelanjutan. Apabila kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dijadikan sebagai target utama dalam pengembangan wisata bahari oleh pemerintah Kota Makassar dan ditunjang dengan faktor tingginya dukungan dari LSM setempat dan donator internasional, maka pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil Kota Makassar dapat berkelanjutan.
182 7.5 Komponen Threats (Ancaman) Komponen
yang
menjadi
ancaman
dalam
pengembangan
dan
keberlanjutan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar adalah: (a) degradasi sumberdaya akibat aktivitas wisata yang tidak dikelola dengan baik, (b) meningkatnya pencemaran lingkungan baik dari darat maupuun laut (kapal), dan (c) umumnya species yang dilindungi mempunyai nilai ekonomis yang tinggi (Gambar 45 dan Tabel 27). Komponen SWOT yang memiliki nilai bobot terendah dalam penentuan skala prioritas kebijakan pengembangan wisata bahari PPK Kota Makassar adalah komponen ancaman.
Gambar 45. Skala prioritas kebijakan berdasarkan komponen threats. Komponen utama yang menjadi ancaman dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar adalah meningkatnya pencemaran lingkungan baik dari darat maupun laut (kapal) dengan bobot 0,649. Komponen penting selanjutnya adalah degradasi sumberdaya akibat aktivitas wisata yang tidak dikelola dengan baik dan rendahnya penegakan hukum dengan bobot 0,279. Umumnya species yang dilindungi mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dengan bobot 0,072 merupakan faktor yang terakhir menjadi ancaman dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar( Tabel 27). Tabel 27. Matriks skala prioritas kebijakan wisata bahari di pesisir dan PPK Kota Makassar berdasarkan komponen threats Faktor Threats Meningkatnya pencemaran lingkungan baik dari darat maupun laut (kapal) Degradasi sumberdaya akibat aktivitas ekowisata yang tidak dikelola dengan baik dan rendahnya penegakan hokum Species yang dilindungi mempunyai nilai ekonomis yang tinggi
Bobot 0,649
Skala Prioritas P1
0,279
P2
0,072
P3
183 Skala prioritas faktor-faktor ancaman tersebut di atas (Tabel 22) menunjukkan bahwa meningkatnya intensitas pencemaran lingkungan perairan akibat aktivitas di daratan maupun di laut seperti limbah detergen rumah tangga dan industry yang mencemari khususnya Pulau Kayangan dan Pulau Lae-lae. Penumpukan sampah di pesisir pantai sebelah timur Pulau Barrang Lompo, penggunaan bom dan limbah beracun untuk menangkap ikan, serta penambangan batu karang untuk bahan bangunan dan reklamasi, merupakan faktor utama penyebab terjadinya kekeruhan air laut yang menyebabkan kepunahan ekosistem terumbu karang dan semakin menurunya keanekaragaman ikan karang yang merupakan daya tarik utama dalam kegiatan wisata bahari khususnya snorkling dan diving.Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan daya tarik obyek wisata menjadi berkurang sehingga akan berpengaruh langsung terhadap pendapatan masyarakat. Tingginya tingkat pencemaran tersebut merupakan faktor ancaman yang sangat penting diperhatikan dalam upaya pengembangan wisata bahari. Oleh karena itu, kebijakan terhadap faktor ancaman sedapat mungkin diminimalkan melalui perumusan strategi berbagai kebijakan yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang. 7.6 Strategi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Perumusan alternatif kebijakan pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di Kota Makassar menggunakan pendekatan strategi strength-opportunity (SO), weaknesses-opportunity (WO), strength-threath (ST), dan weakness-threat (WT). Prinsip dari pendekatan ini adalah memaksimalkan kekuatan untuk memperbesar
peluang
yang
dimiliki
dengan
mengatasi
ancaman
dan
meminimalkan kelemahan yang ada sehingga dapat memanfaatkan peluang yang dimiliki dengan maksimal dan mengatasi ancaman (Rangkuti, 2000). Komponen yang menjadi strategi kebijakan pengembangan wisata bahari di Kota Makassar (Tabel 28 dan Gambar 46) yaitu: a. Pengembangan wisata snorkling dan diving melalui kegiatan transplantasi terumbu karang di PPK b. Pengembangan wisata pantai kategori rekreasi di kawasan pesisir
184 c. Peningkatan SDM pengelola wisata dan masyarakat sekitar kawasan d. Penetapan tata ruang kawasan wisata dan sarana dan prasarana penunjangnya. e. Peningkatan pendapatan, lapangan kerja dan penggalian mata pencaharian alternatif. f. Penguatan hukum lingkungan dan kelembagaan.
Tabel
28. Matriks prioritas alternatif kebijakan wisata bahari dengan metode AWOT. Alternatif Strategi Pengelolaan
Rerata Bobot
Prioritas relatif
Pengembangan wisata snorkling dan diving melalui kegiatan transplantasi terumbu karang di PPK.
0,321
P1
Pengembangan wisata pantai di kawasan pesisir.
0,195
P2
Penetapan tata ruang kawasan wisata dan sarana prasarana penunjangnya
0,161
P3
Penguatan kelembangaan
0,125
P4
dan
0,110
P5
Peningkatan SDM pengelola wisata dan masyarakat sekitar kawasan wisata bahari.
0,089
P6
Peningkatan pendapatan, lapangan kerja penggalian mata pencaharian alternative.
185 0,025 Kesesuaian wisata bahari
0,046 Obyek dan daya tarik wisata
0,446 Daya dukung kawasan
0,321Pengembangan wisata bahari ppk dgn mengtransplantasi terumbu karang
0,705 Strength 0,202 Potensi SDA cukup tinggi
0,102 Kebijakan yg mendukung 0,195 Pengembangan wisata bahari pesisir 0,102 Aksesibilitas muda
0,081 Kurangnya koordinasi
0,478 Kws wisata dikelola blm optimal 1,000 Pengembangan Wisata Bahari Pesisir & PPK Kota Makassar
0,058 Weaknesses
0,089 Peningkatan SDM & pemb masy
0,079 Kurang dukungan masy
0,095 Lemahnya penegakan hukum
0,161 Penyusunan tata ruang
0,267 Rendahnya SDM
0,637 Target Pemkot Makassar 0,110 Peningkatan pendptn, lk & part 0,073 Opportunities
0,105 Tingginya dukungan LSM & LI
0,258 Target peningkatan PAD
0,279 Degradasi SDA
0,164 Threaty
0,125 Penguatan kelmbagaan
0,649 Pencemaran lingkungan
0,072 Species yg dilindungi
Gambar 46. Skala prioritas kebijakan berdasarkan komponen SWOT. . Strategi kebijakan pengembangan wisata bahari di Kota Makassar yang menjadi prioritas utama adalah pengembangan ekowisata bahari di pulau-pulau kecil Kota Makassar yang dilakukan melalui pendekatan dan rehabilitasi habitathabitat penting dengan bobot 0,321 (Tabel 28 dan Gambar 46). Strategi kebijakan berikutnya adalah pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir, dengan bobot
186 0,195, penetapan tata ruang kawasan wisata bahari dan sarana prasarana penunjangnya dengan bobot 0,161, penengakan hukum lingkungan dan kelembagaan dengan bobot 0,125, peningkatan pendapatan, lapangan kerja dan penggalian mata pencaharian alternative dengan bobot 0,048, dan peningkatan SDM pengelola wisata dan masyarakat sekitar kawasan dengan bobot 0,089. Strategis kebijakan pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di kawasan pesisir Kota Makassar adalah pengembangan wisata pantai di kawasan pesisir dan pengembangan wisata snorkling dan diving di pulau-pulau kecil berupa: kegiatan telah dapat dilakukan dengan cara kegiatan rehabilitasi habitathabitat penting,
prioritas utama selain hal tersebut harus juga mendapatkan
perhatian utama dan harus sesegera mungkin mendapatkan penangan yang serius oleh pengambil kebijakan. Pengembangan wisata bahari harus disesuaikan dengan potensi SDA dan dan daya dukung wisata bahari serta sesuai dengan keinginan mayarakat lokal agar tidak terjadi penurunan kualitas sumberdaya, tumpang tindih pemanfaatan lahan untuk berbagai kegiatan wisata bahari dan tidak menimbulkan konflik dan masalah dikemudian hari. Adapun strategi kebijakan pengembangan pariwisata adalah sebagai berikut: a.
Meningkatkan
sumberdaya
manusia
yang
professional
dan
mensosialisasikan budaya melayani melalui program pelatihan maupun praktek lapang (magang), bermitra dengan pengelola wisata (resor). b.
Mengurangi intensitas pencemaran dari perairan sekitar akibat kegiatan pembangunan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak
yang
ditimbulkan
dari
kegiatan
sehari-hari
sehingga
mengakibatkan turunnya nilai jual obyek wisata. c.
Mempertahankan keindahan panorama alam dengan melestarikan dan memulihkan kepunahan terumbu karang dan mangrove;
d.
Mengendalikan pertumbuhan penduduk dengan membatasi kedatangan penduduk luar untuk tinggal menetap di pulau-pulau Kecil Kota Makassar;
e.
Mempertahankan
keunikan
dan
keaslian
ekosistem,
dengan
melestarikan sumberdaya alam melalui pengusahaan wisata alam (ekowisata) di pulau-pulau kecil.
187 f.
Mengoptimalkan pemanfaatan obyek wisata yang tersedia tiga “S” (sun, sen, dan sand), yaitu pemandangan alam yang menarik (keindahan matahari terbit dan terbenam dicakrawala pembatas dalam hamparan laut, air jernih dengan keragaman terumbu karang yang indah, dan pantai berpasir putih, dengan membuat paket wisata yang dapat dilakukan dalam satu hari (one day tour).
g.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana ke tujuan wisata dan prasarana di lokasi wisata, dengan harga terjangkau sesuai dengan daya beli masyarakat. Khusus sarana transportasi dilakukan peningkatan keterpaduan system transportasi yang ada, handal dan aman.
h.
Menanggulangi pencemaran melalui kegiatan program pantai bersih yang telah dilakukan PEMKOT Makassar, serta kegiatan transplantasi karang di Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar. Kegiatan tersebut dijadikan sebagai kegiatan wisata bahari yang memiliki asas menumbuhkan kepedulian wisatawan untuk melestarikan sumberdaya alam dan memberikan pengetahuan tentang ekosistem pesisir pada wisatawan yang berkunjung, sehingga mereka akan menjaga untuk tidak tidak mengotori, mencemari, dan merusak sumberdaya alam tersebut.
i.
Meningkatkan akses informasi wisata dengan materi informasi yang mudah dipahami, mudah didapat dan mudah dilakukan, sehingga informasi menjadi efektif dan efisien dalam melanyani pengunjung (wisatawan).
j. Memberikan
rambu-rambu
yang
jelas
kepada
investor
dalam
pengelolaan pulau wisata yang cenderung merubah kealamian pulau sehingga, menggangu keseimbangan ekosistem untuk pengembangan wisata bahari sebagai prioritas pembangunan. k.
Memanfaatkan secara optimal peluang usaha dibidang pariwisata karena lokasi tidak jauh dari Kota Makassar.
l.
Memperluas peran masyarakat setempat dalam kreatifitas usaha kepariwisataan dengan mengciptakan harmonisasi dan keterkaitan ekonomi, social, yang lebih besar antara masyarakat setempat dengan
188 pengelolapariwisata bahari (resor) dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. Pengembangan wisata bahari berwawasan lingkungan dengan mengacu kepada prinsip berkelanjutan, memerlukan adanya kebijakan yang dijadikan dasar pengelolaan wisata berwawasan lingkungan. Pengembangan wisata bahari diarahkan pada penerapan pengembangan pola kawasan, yaitu pengembangan suatu daerah tertentu yang diperuntukan bagi kegiatan pariwisata, agar sekaligus dapat menerapkan pola/system pengelolaannya untuk lebih mengefektifkan pengendalian pengawasannya. Selain itu perlu diperhitungkan secara saksama tentang daya dukung kawasan wisata bahari tersebut, sehingga kerusakan terhadap obyek wisata yang menjadi asset utama akan dapat dihindari. Soebagio (2005) mengemukakan bahwa dalam penyelenggaraan kegiatan wisata bahari, perlu diterapkan azas low number high value yang berarti prinsip konservasi dan efisiensi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan setempat sekaligus untuk mendorong perkembangan dan kehidupan ekonomi masyrakat setempat. Beberapa kasus mengungkapkan bahwa pembangunan sarana dan prasarana yang tidak sesuai dengan wisata bahari justru akan mengakibatkan tingginya biaya hidup bagi masyarakat setempat. Disamping hal tersebut, pada daerah-daerah yang mempunyai nilai ekosistem tinggi tetapi sedikit penduduknya seperti Pulau Kodinggareng Keke dan Pulau Samalona, sebaiknya diterapkan prinsip menjadi tujuan wisata khusus. Pengembangan pulau yang tidak atau kurang berpenduduk akan membutuhkan pembiayaan yang lebih mahal/tinggi dengan pembangunan sarana dan prasarana yang terbatas dan apa adanya dengan tetap mempertahankan kealamian ekosistem dan budaya khas masyarakat pulau. Pengembangan pulau dengan tujuan wisata khusus yang menjadikan ekosistem alami dan budaya masyarakat pulau yang khas sebagai landasan pengembangan wisata bahari yang berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat, akan menciptakan dan mempercepat tercapainya pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan.
189
8. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan 1.
Potensi
sumberdaya
yang
terdapat
di
kawasan
pesisir
untuk
pengembangan wisata bahari adalah ekosistem pantai dan ekosistem mangrove, wisata kampung nelayan. Sedangkan, potensi sumberdaya yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar adalah ekosistem terumbu karang, ekosistem lamun, ekosistem pantai, ikan karang, dan potensi wisata kapal karam. Adapun potensi kegiatan wisata yang dapat dilakukan di wilayah pesisir Kota Makassar adalah: festival makassar regatte, sandeq race, pesta bandar makassar (jollorog race), dan perlombaan jet sky. 2.
Pulau Lanyukang, Pulau Samalona, Pulau Kodinggareng Keke, Langkai, dan Pulau Bonetambung sesuai untuk wisata pantai, snorkling, dan diving. Sedangkan Pantai Tanjung Bunga, Pantai Losari, Pantai Barombong dan Pulau Kayangan sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi, sedangkan Pantai Untia sesuai untuk wisata pantai kategori mangrove.
3.
Daya dukung kawasan wisata pantai di pesisir sebanyak 228 orang/hari. Daya dukung kawasan wisata selam adalah 605 orang/hari, daya dukung kawasan wisata snorkling adalah 958 orang/hari, serta daya dukung kawasan wisata pantai di PPK adalah 148 orang/hari.
4.
Dimensi infrastruktur dan teknologi dalam pengembangan wisata bahari belum berkelanjutan khususnya dalam hal penyediaan transportasi ke PPK serta peningkatan kegiatan paket promosi, sedangkan dimensi ekologi, ekonomi, cukup berkelanjutan.
5.
Arahan strategi kebijakan menunjukkan bahwa faktor kekuatan (strength) sebagai modal utama dalam pengembangan wisata bahari di Kota Makasar, sebaliknya faktor kelemahan perlu diantisipasi agar tidak menjadi ancaman bagi pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan di Kota Makassar. Strategi kebijakan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir adalah pengembangan wisata pantai kategori rekreasi dan wisata mangrove, sedangkan di PPK adalah pengembangan wisata bahari kategori snorkling dan diving.
190
8.2. Saran 1. Penelitian lebih lanjut mengenai dampak yang ditimbulkan dengan adanya tekanan pengunjung dan pembangunan sarana dan prasarana wisata, masih perlu dilakukan. 2. Penzonasian kegiatan wisata bahari (snorkling dan diving) masih dapat dikembangkan, khususnya pada lokasi yang belum terjangkau pada saat penelitian. 3. Kemampuan daya dukung dan kesesuaian diakomodasi
dan
diintegrasikan,
sehingga
wisata masih belum bisa
dijadikan
bahan
pertimbangan bagi penelitian lebih lanjut agar didapatkan hasil penelitian yang lebih komrehensif.
191 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor. Alder J, Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner K, Ferris B. 2001. How Good is Good? : A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the North Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds). Methodes for evaluationg the impacts of fisheries on the north Atlantic Ecosystem. Fisheries Centre Research Reports. Vol.8 No.2 Astuti MT. 2008. Model Kemitraan dalam Mengembangkan Usaha Pariwisata. Journal Kepariwisataan Indonesia, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 3 (1): 89-99. Jakarta Azis IJ. 1998. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Lembaga Pengkajian Ekonomi-UI. Jakarta. Baksir AR. 2010. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil untuk Pemanfaatan Ekowisata Berkelanjutan di Kecamatan Morotai Selatan dan Morotai Selatan Barat Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara.(Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bacon F, Fames R, Crystal E, Niki N. 2006. Putting Principles into Practise in Yosemite National Park. Journal of Park and Recreation Administration Vol.23 No.2. Badan Pusat Statistik Sulawesi-Selatan. 2004. Sulawesi-Selatan dalam Angka. Makassar. Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2006. Makassar dalam Angka. Makassar. Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2009. Biringkanayya dalam Angka. Makassar. Banapon MM. 2008. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. BAPEDALDA Sulawesi Selatan. 2004. Pemanfaatan dan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup dalam Pemanfaatan Kawasan Pantai Kota Makassar. BAPEDALDA Sulawesi Selatan kerjasama dengan PPLH Universitas Hasanuddin. Makassar. Bengen D.G. 2000. Sinopsis Tehnik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
192 Bengen DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip-Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bengen DG, Tahir A, Wiryawan B. 2003. Tinjauan Sustainabilitas, Akuntabilitas, Replikabilitas Pengembangan Daerah Perlindungan Laut di Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Bengen DG. 2004. Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor. Bengen DG. 2006. Identifikasi Pulau-Pulau Kecil bagi Kegiatan Ekowisata di Provinsi Maluku. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bogor. Bilhair. 2003. Teori-Teori Sosial. Observasi Kritis terhadap para Pilosof Terkemuka. Social Theory: A Guide to Central Thinkers. Alien & Unwin Pty Ltd. 8 Napier Street, Nort Sydney. NSW 2059. Australia. Yokyakarta. Bjork P. 2000. Ecotourism from a Conceptual Perspective, an Extended Definition of a Unique Tourism Form. International Journal of Tourism Research 2: 189-202. Brander LM, Pieter VB, Herman SJC. 2006. The Recreational Value of Coral Reefs: A Meta-Analysis. Journal Ecological Economic 63: 209-218. Brookfield HC. 1990. An Approach to Islands. In Bell, P. d’ayala and P. Hein (eds). Sustainable Development and Envioremental Management of Small Is Lands. UNESCO, Paris,. P. 23-33. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Kawasan Pesisir dan Lautan. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Butler R. 2002. Implementing Sustainable Tourism Development on a Small Island: Development and Use of Sustainable Tourism Development Indicators in Samoa. Journal of Sustainable Tourism 10(5):363-387. Carter E and G. Lowman. 1994. Ecotourism: A Sustainable Option. Whiley. London. Ceballos-Lascurain H. 1995. Ekoturisme sebagai suatu Gejala yang Menyebar ke Seluruh Dunia. Ekoturisme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola. K Lingberg dan DE Hawkins eds. The Ecotourism Society dan USAID. Jakarta.
193 Chamdani U. 2006. Pengembangan Pariwisata Nusantara Melalui Pendekatan Komunikasi Pemasaran. Journal Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, Kementerian Kebudayaan Pariwisata. Jakarta. Christie P, D. Makapedua, Lalamentik. 2003. Bio-Physical Impact and Line to Integrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia. Jounal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No.1 Hal.8. Cole DN, and Stephen F. McCool. 1997. The Limits of Acceptable Change Process: Modifications and Clarifications. Journal of Applied Ecology 32: 203-214. Cooper C, Fletchehr J, Gilbert D, S Wanhill. 1993. Toursm: Prisiples and Practice. London. Longman Group Limited. Dahl C, 1997. Integrated Coastal Resources Management and Community Participation in a Small Island Setting. Journal of Ocean and Coastal Management, 36 (1): 23-45. Dahuri R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan. Makalah Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta. Dahuri, R., Rais, J., Sapta P.G., Sitepu, M. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Kawasan Pesisir dan Lautan secara Terpadu. (Edisi Revisi) Saptodadi. Jakarta. Danim S. 2000. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Bumi Aksara. Jakarta. Darajati W. 2004. Review Program dan Pelaksanaan MCRMP. Makalah disampaikan pada Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Lautan Terpadu. Jakarta. Dasmin. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor. Davis D and Tisdell C. 1995. Recreational SCUBA Diving and Carrying Capacity in Marine Protected Areas. Journal of Ocean and Coastal Management 26: 19-40. Davis D and Tisdell C. 1996. Economic Management of Recreational SCUBA Diving and the Environment. Journal of Environmental Management 48:229-248. Debora. 2003. Dampak Pariwisata terhadap Pencemaran Pantai Losari Kota Makassar. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
194 Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Pedoman Umum Pengelolaan PulauPulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan Sulawesi-Selatan. 2005. Rencana Tata Ruang Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi-Selatan. Makassar Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Rencana Zonasi Kawasan Pesisir Kota Makassar. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2007. Master Plan Pengembangan Pariwisata di Destinasi Unggulan Kepulauan Spermonde. Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata kerjasama dengan Profesional Delapan Tambah. Jakarta. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi-Selatan. 2010. Gambaran Umum Kepariwisataan Sulawesi- Selatan. Propinsi Sulawesi-Selatan. Makassar. Dowling RK. 1995. Ecotourism, Concept, Design, and Strategy. Journal of Tourism Recreation Research. 20: 60-65. Dowling RK. 1997. Ecotourism in Southeast Asia. Journal of Tourism 18 (1): 51-57.
Sustainable
Dunn WN. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. (Edisi ke Dua). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Dunn WN. 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Dunn WN. 1988. Analisis Kebijakan Publik. Haninditya Graha Widya. Yogyakarta. Dymond SC. 1997. Indicators of Suitainable Tourism in New Zealand: A Local Goverment Perspective. Journal of Sustainable Tourism 5 (4): 279-292. Eryatno dan Fajar S. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. Fandeli C dan Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yokyakarta. Farrel TA and Jeffrey LM. 2002. The Protected Area Visitor Impact Managemen (VIM) Framework: A Simplified Process for Making Management Decisions. Journal of Sustainable Tourism 10 (1): 37-51.
195 Fark-Fark R, Leonard T, Dietriech DG, Alex R, Agung R. 2006. Identifikasi Pulau-Pulau Kecil bagi Kegiatan Ekowisata di Provinsi Maluku. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bogor. Fauzi A dan S. Anna. 2004. Eknomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi A dan S. Anna. 2005. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan Raffish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, 4 (3): 43-55. Firdaus. 2006. Potensi Wisata Hutan Raya Sangkima di Kawasan Taman Nasional Kutai. Kalimantan Timur. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 1(4): 337-344. Jakarta. Goodwin RF. 1999. Redeveloping Deteriorated Urban Waterfronts: The Effectiveness of U.S. Coastal Management Programs. Journal Coastal Management 27: 239-269. Hall CM. 2001. Trends in Ocean and Coastal Tourism: The End of the Last Frointier. Journal of Ocean and Coastal Management 37:429-449. Hamdiah S. 2004. Kajian dan Kesesuaian Pengembangan Pariwisata Bahari Di Kepulauan Abang Kota Batam. (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hasler H and Jorg A. Ott. 2008. Diving Down the Reef? Intensive Diving Tourism Threatens the Reefs of the Northerm Red Sea. Marine Pollution 56(2008):17881794. Journal Homepage:www.elsevier.com/locate/marpolbul. Hawkins JP and Roberts CM. 1997. Estimating the Carrying Capacity of Coral Reefs for Scuba Diving. Journal of Biological Conservation 62: 171-178. Hermawan, 2008. Analisis Pengembangan Kebijakan Pariwisata Indonesia: Suatu Studi Perbandingan Kebijakan Pariwisata Indonesia dengan Singapore dan Malaysia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 3 (1): 13-35. Jakarta. Hermantoro, H. 2009. Pengelolaan Bidang Pariwisata Bahari dalam Pelaksanaan Strategi Adaptasi terhadap Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia. Journal Kepariwisataan Indonesia, Kementerian Kebudayaan Pariwisata. Jakarta. 4 (1): 1-11 Hershman MJ, Good JW, Cohen TB, Goodwin RT, Lee V, Pogue P., 1999. The Effectiveness of Coastal Zone Management in the United States. Journal of Coastal Management 27: 113-138.
196 Hess AL. 1990. Overview Sustainable Development and Envioremental Management of Small Islands. In Beller, WP d’Ayala and P Hein (eds). Sustainable Development and Envioremental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P.3-14 Hidayah. 2000. Konsep dan Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari. Seawatch Indonesia. BPPT Jakarta. Hikmat H. 2001. Strategi Pemberdayaan Mayarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Bandung. Konsolas I. 2002. The Compotitive Advantage of Greece: Aplication of Porter’s Diamond. Ashgate Publications. P. 214. Kurniawan R. 2010. Sistem Pengelolaan Kawasan Karst Maros-Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan secara Berkelanjutan. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Lapi ITB. 2007. Studi Pengembangan Model Kemitraan Usaha Pariwisata. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan. Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata. Kementerian Pariwisata RI. Jakarta. Lewarherilla NE. 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Kawasan Taman Wisata Teluk Youtefa Jayapura. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. McElroy JL, B Potter, and E Towle. 1990. Chalenges for Sustainable Development in Small Caribbean. In Bell, W P d’ Ayala and P Hein (eds). Sustainable Development and Envioremental Management of Small Islands. UNESCO, Paris: P. 299-316. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk: Teknik dan Aplikasi. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Marion JL and Leung Y-F. 2001. Trail Resources Impacts and an Examination of Alternative Assesment Techniques. Journal of Park and Recreations Administration 19 (3): 17-37. Masberg BA and Morales N. 1999. A Case Analysis of Strategies in Ecotourism Development. Journal of Aquatic Ecosystem Healt and Management 2: 289-300. McCool SF and DW Lime. 2001. Tourism Carrying Capacity: Tempting Fantasy or Usefull Reality? Journal of Sustainable Tourism, 9 (5): 113-138. Minnesota, USA. Meiyani E, 2004. Pendayagunaan Pengetahuan Lokal bagi Masyarakat Maritim. Jurnal Ilmiah Prospek 29 (3): 35-44. Makassar.
197 Mulyanto B.I. 2003. Tentang Pariwisata dan Ekowisata. Artikel. Pikiran Rakyat http://www.pikiranrakyat.org Nikijuluw VPH. 2001. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Journal Pesisir dan Lautan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT Pustaka Cidesindo. Jakarta. Nurdiyansyah JA dan A Pakpahan. 1998. Manajemen dan Pengembangan PulauPulau Kecil untuk Ekowisata Pesisir. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan. TPSA, BPPT, CRMP. USAID. Nurisyah. 2006. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata. Bahan Kuliah Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Nypah. 2003. Provil Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Makassar kerjasama dengan Pusat Studi Terumbu Karang UNHAS. Makassar.. Parkin D, Dave B, Brett W, Emma S, Helen P. 2000. Providing for a Diverse Range of Outdoor Recreation Opportunities: A “Micro-ROS” Approach to Planning and Management. Journal Australian Parks and Leisure 2(3): 41-47. Pearce DG and Kirk RM. 1986. Carrying Capacities for Coastal Tourism. Journal of Enviromental Management 9 (1): 3-7. Permanasari IK. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. Journal Kepariwisataan Indonesia, Kementerian Kebudayaan dan pariwisata. 1(4): 69-82. Jakarta. Pollinac R, R Pomeroy, L Bunce. 2003. Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indonesia. Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1. Rahmadani. 2005. Sistem Pendukung Kompetensi: Suatu Wacana Struktural, Idealisasi dan Implementasi. Konsep Pengambilan Keputusan. PT Remaja Rosda Karya. Bandung. Ramli, 2010. Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Wisata Pantai Kota Makassar. Jurnal Kepariwisataan Indonesia. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 5(3): 299-318. Jakarta.
198 Rouphael AB and Inglis Gj. 1997. Impacts of Recreational Scuba Diving at Sites with Different Reef Topographies. Journal Biological Concervation 82: 329-336. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. (terjemahan Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World). Pustaka Binaman Presindo. Jakarta. 270 hal. Santosa. 1997. The Tourist Destination Tourism Practice and Practical, Part II. Tugas Mata Ajaran Ekotursme. Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sarosa W. 2002. A Framework for the Analysis of Urban Sustainability: Linking Theory and Practice. URDI. Jakarta. Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT Pustaka Cidesindo. Jakarta. Saveriades A. 2000. Establishing the Social Tourism Carrying Capacity for the Tourist Resorts of The East Coast of The Republic of Cyprus. Journal of Tourism Management 25: 275-283. Pergamon. Schianetz K, Lydia K, David L. 2007. The Learning Tourism Destination: The Potensial of a Learning Organisation Approach for Improving the Sustainability of Tourism Destinations. Journal of Tourism Managemen 28: 1485-1496. Sekartjakarini S dan Legoh KN. 2004. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. Innovative Development of Eco Awareness (IdeA), Jakarta. Shirta N. 2005. Kebijakan Pembangunan Pariwisata sebagai Program Unggulan. Majalah Ilmiah Pariwisata No.1 juni. Universitas Udayana. Denpasar. Sievanen L. 2003. Shifting Communities and Sustainability Implications. Indonesion Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1. Simatupang MP. 1998. Program Transmigran Mendukung Pembangunan Daerah serta Pembangunan Pulau-Pulau Kecil, Terpencil dan Strategis. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan. TPSA, BPPT, CMRP USAID. Jakarta. Simon F, Yeamduan N, Daniel P. 2004. Carrying Capacity in the Tourism Industry: A Case Study of Hengistbury Head. Journal of Tourism Management 25: 275-283. Pergamon.
199 Sulekale DD. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Jurnal Ekonomi Rakyat. http://www.ekonomirakyat.org Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suryadi K dan Ramdhani A. 2000. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. PT Remaja Rosda Karya. Bandung. Susilo, S.B. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tahir A, DG Bengen, dan S.B. Susilo. 2002. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijalkan Pemanfaatan Ruang Teluk Balik Papan. Jurnal Pesisir dan Lautan, 4(3): 1-16. Taslim, A. 2009. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Thamrin. 2009.Model Pengembangan Kawasan Agropolitan secara Berkelanjutan di Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia: Studi Kasus Kawasan Perbatasan Kabupaten Bengkawan-Serawak. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tisdel C. 1996. Ecotourism, Economic and the Environment: Observation from China. Journal of Travel Research 34 (4): 11-19. Tombielu N, DG Bengen, Nikijuluw VPH, Idris. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya, Sulawesi Utara. Journal Pesisir dan Lautan. Volume 3. No. 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan dan Peraturan Pelaksanaannya. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
WCDE. 1987. Our Common Future. Osxfod University Press, New Work. Wilson, S.K., Graham, N.A.J., Prachett, M.S., Jones, G.P., Polunin, N.V.C., 2006. Multiple Disturbances and the Global Degradation of Coral Reefs: Are
200 Reef Fishes at Risk or Resilient? Journal of Global Change Biology 12: 2220-2234. Wong, PP., 1998. Coastal Tourism Development in Southeast Asia: Relevanced and Lessons for Coastal Zone Management. Journal of Ocean and Coastal Management 38: 89-109. WTO. 2000. Tourism Market Trend. Word Tourism Organization. Routledge, USA and Canada. Yoeti OA. 1999. Ecotourism, Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Makalah pada Penataran Dosen dan Tenaga Pengajar Bidang Pariwisata seIndonesia. Direktorat Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. 23-27 Agustus. Bogor. Yudaswara. 2004. Kebijakan PengembanganWisata Bahari dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil secara Berkelanjutan: Studi Kasus Pulau Menjangan Kab. Buleleng Bali. (Tesis). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah Seminar Sains Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK-IPB, 21 Februari. Bogor. Yusuf M. 2007. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kawasan Taman Nasional Karimunjawa secara Berkelanjutan. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zhiyong F and Sheng Z. 2009. Research on Psychological Carrying Capaity of Tourism Destination. Chinese Journal of Population 7 (1): 47-50.
201
LAMPIRAN
202
203 Lampiran 1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian No. 1.
Jenis Data Data Primer Aspek ekologi Kondisi biofisik terumbu karang Kondisi biofisik mangrove Ikan karang Substrat Vegetasi pantai Aspek sosial-ekonomi Penduduk Mata pencaharian Sistem perekonomian yang dianut Pendidikan Jumlah tenaga kerja Pelibatan masyarakat Jumlah wisatawan Karakteristik wisatawan Pengeluaran wisatawan Sarana dan prasarana wisata Pola kebutuhan masyarakat lokal Pola interaksi dan adaptasi masyarakat sekitar Aspek kelembagaan Ketersediaan kebijakan Ketersediaan hukum adat/agama Ketersediaan lembaga sosial Ketersediaan lembaga keuangan Ketersediaan kelompok tani
2.
Sumber Data
Survey lapangan Survey lapangan Survey lapangan Survey lapangan Survey lapangan Responden dan instansi Responden dan instansi Responden Responden Responden Responden Responden Responden dan instansi Responden, BPS Responden Survey lapangan Survey lapangan Survey lapangan Responden dan instansi Responden Responden Responden Responden
Data Sekunder -Jumlah hotel dan restauran -Citra landsat ETM 7 - Sarana transfortasi -Topografi (geografi) -Tata ruang dan tata guna lahan -Jaringan jalan dan infrastruktur pendukung -Kondisi iklim dan cuaca -Kondisi umum lingkungan -Angkatan kerja -Regulasi, undang-undang dan lain-lain -Penduduk -Hidrologi -Tour operator, travel agen -Peta kawasan pesisir Kota Makassar -Peta administrasi Kota Makassar -Peta RTRW/RUTR Propinsi Sul-Sel 2005-2015 -Peta RTRW/RUTR Kota Makassar 2006-20016 -Peta Land use kawasan pesisir Kota Makassar -Peta Lokasi Kawasan Pesisir Kota Makassar -RENSTRA Kawasan Pesisir Kota Makassar 2005 -Laporan Tahunan Dinas Pariwisata Propinsi SULSEL 2006 dan 2009 -Laporan Tahunan Dinas Pariwisata Kota Makassar 2006 dan 2009 -Laporan Tahunan DKP SULSEL 2006 dan 2009 -Sulawesi Selatan dalam Angka 2006 dan 2009 -Kota Makassar dalam Angka 2006 dan 2009 -Rencana Induk Pariwisata Kota Makassar 2006 -Sarana dan prasarana wisata bahari
PHRI PSTK UNHAS Assosiasi transfort wisatawan, survey dan instansi terkait BAPPEDA dan BPN DKP Sulsel Dinas PU Badan Meteorologi dan geofisika BAPPEDALDA Dinas tenaga kerja dan tranmigrasi Bagian hukum Setwilda BPS BAPPEDALDA BPS DKP Kota Makassar PEMDA Makassar PEMDA Sulsel PEMDA Sulsel PEMDA Makassar DKP Makassar DKP Makassar Dinas Pariwisata Sulsel Dinas Pariwisata Makassar DKP Sulsel BPS Sulsel BPS Kota Makassar Dinas Pariwisata DKP Kota Makassar dan Survey lapangan
204
Lampiran 2. Morfologi pantai pulau-pulau kecil Kota Makassar
No.
Pulau
1.
Lae-Lae
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kayangan Samalona Barrang caddi Barrang lompo Kodinggareng keke Kodingareng lompo Lanyukkang Langkai Lumu-Lumu
11.
Bonetambung
Kondisi Subtrat Lebar Sempadan (m) Pasir- tembok 50 barier Pasir putih 30 Pasir putih 20-200 Pasir 10-30 Pasir 30 Pasir putih 20-50 Pasir putih 20-100 Pasir putih 20-100 Pasir putih 50-200 Pasir pecahan 10-20 karang Pasir pecahan 30-60 karang Substrat
Kelandaian 5 dan 6 4 3 5 6 6 5 6 6 3-6 6
205
Lampiran 3. Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Bonetambung, Barrang Lompo, dan Barrang Caddi.
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Peta Kese suaian R ekrea si Pantai K ep. Spermonde Maka ssar N
W
E
P. Bo net am bun g S
1
0
1km
Peta Indeks : 5°3'00"
5°3'00"
P. Ba rrang Lo mp o
Barru
Pangkajene K
E
P
U
L
A
U
Maros Makassar Gowa
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Kese suaian W is ata Pantai : 5°4'30"
5°4'30"
P. Ba rrang Ca dd i
Sanga t Ses uai Ses uai Tidak Sesuai Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
205
11 9 °1 6 '3 0 "
Sum ber : 1. Citra Landsa t ETM+ 2 007 2. Survey Lapangan
206
Lampiran 4. Kesesuaian Wisata Pantai di PulauKodinggareng Keke dan Pulau Samalona. 11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
5°6'00"
5°6'00"
Peta Kese suaian W is ata Pantai K ep. Spermonde Maka ssar N
W
E
P. Ko dinga reng K eke S
1
0
1 km
Peta Indeks : Barru
Pangkajene
5°7'30"
K
E
P
U
L
A
U
5°7'30"
P. Sa ma lo na
Maros Makassar Gowa
P. Ko dinga reng Lo mp o
5°9'00"
5°9'00"
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Kese suaian W is ata Pantai : Sanga t Ses uai Ses uai Tidak Sesuai Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
206
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Sum ber : 1. Citra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
207
Lampiran 5. Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Lancukang dan Langkai 11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
11 9 °7 '3 0 "
Peta Indeks :
Pangk ajene K E P U L AU A N S P E R M O N DE
4°58'30"
4°58'30"
Bar ru
P. Lanc uk ang Maros Maka ssa r Gowa
5°00'00"
5°00'00"
5°1'30"
5°1'30"
P. Langka i
5°3'00"
5°3'00"
11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Pantai Kep. Spermonde Makassar N
W
E S
1
0
1 km
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat Kesesuaian W isata Pantai : Sangat Sesuai Sesuai Tidak S esuai
11 9 °7 '3 0 "
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sum ber : 1. Citra Landsat E TM+ 2007 2. Survey Lapangan
208
Lampiran 6. Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Kayangan. 11 9 °2 4 '0 0 "
Peta Indeks :
5°6'40"
5°6'40"
11 9 °2 3 '2 0 "
Bar ru
Pangk ajene K E P UL A U AN S P E R M ON D E
Maros Maka ssa r Gowa
P. Kahyangan
5°7'20"
5°7'20"
Î
5°8'00"
5°8'00"
Ko ta Makassar
P. L ae-L ae
11 9 °2 3 '2 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Pantai Kep. Spermonde Makassar N
W
E S
250
0
250 Me ters
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat Kesesuaian W isata Pantai : Sangat Sesuai Sesuai Tidak S esuai
11 9 °2 4 '0 0 "
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sum ber : 1. Citra Landsat E TM+ 2007 2. Survey Lapangan
209
Lampiran 7. Kesesuaian Wisata Selam di Pulau Barrang Lompo, Bonetambung, dan Barrang Caddi 11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Peta Kese suaian W is ata Sela m Kep. Sperm onde Makass ar N
P. Bo net am bun g W
E S
1
0
1km
Peta Indeks : 5°3'00"
5°3'00"
P. Ba rrang Lo mp o
Barru
Pangkajene K E P U LA U A N S P E R M O N D E
Maros Makassar Gowa
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Lok asi Penyelam an Kese suaian W is ata Sela m : 5°4'30"
5°4'30"
P. Ba rrang Ca dd i
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor Sum ber : 1. Citra Landsa t ETM+ 2 007 2. Survey Lapangan
209
11 9 °1 6 '3 0 "
Sanga t Ses uai Ses uai Tidak Sesuai
210
Lampiran 8. Kesesuaian Wisata Selam Di Pulau Lancukang dan Langkai
11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
11 9 °7 '3 0 "
Peta Indeks :
Pangk ajene K E P U L AU A N S P E R M O N DE
4°58'30"
4°58'30"
Bar ru
P. Lanc uk ang Maros Maka ssa r Gowa
5°00'00"
5°00'00"
5°1'30"
5°1'30"
P. Langka i
5°3'00"
5°3'00"
11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Selam Kep. Spermonde Makassar N
W
E S
1
0
1 km
Keterangan : Garis Pantai Perairan Dangkal Darat Lokasi Penyelam an Kesesuaian W isata Selam : Sangat Sesuai Sesuai Tidak S esuai
11 9 °7 '3 0 "
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
P rogram S tudi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sum ber : 1. Citra Landsat E TM+ 2007 2. Survey Lapangan
211
Lampiran 9. Kesesuaian Wisata Selam Di Pulau Lumu-lumu. 11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Peta Kese suaian W is ata Sela m Kep. Sperm onde Makass ar N
W
E S
500
0
500
1000 m
Lum u-Lum u keci l
Peta Indeks : 4°57'00"
4°57'00"
Barru
Pangkajene K E P U LA U A N SP E R M O N D E
Maros Makassar Gowa
4°58'30"
4°58'30"
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Lok asi Penyelam an
P. Lum u-Lum u
Kese suaian W is ata Sela m : Sanga t Ses uai Ses uai Tidak Sesuai Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
211
11 9 °1 2 '0 0 "
Sum ber : 1. Citra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
212
Lampiran 10. Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Bonetambung, Barrang Lompo dan Barrang Caddi
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Peta Kese suaian W is ata Snorkling Kep. Sperm onde Makass ar N
P. Bo net am bun g W
E S
1
0
1km
Peta Indeks :
5°3'00"
5°3'00"
P. Ba rrang Lo mp o
Barru
Pangkajene K
E
P
U
L
A
U
Maros Makassar Gowa
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Lok asi Snor kling
5°4'30"
5°4'30"
216
212
P. Ba rrang Ca dd i
11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
Kese suaian W is ata Snor kling : Sanga t Ses uai Ses uai Tidak Sesuai Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor Sum ber : 1. Citra Landsa t ETM+ 2 007 2. Survey Lapangan
217
213
Lampiran 11. Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Kodinggareng Keke dan Samalona. 11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
Peta K esesu aian W isata Sno rkling K ep. Sperm ond e Makassar
11 9 °1 9 '3 0 "
5°6'00"
5°6'00"
N
W
E
P. Ko dinga reng K ek e S
1
0
1 km
Peta Indeks : Barru
Pangkajene K E P U LA U A N SP E R M O N D E
5°7'30"
5°7'30" Maros
P. Sa ma lo na
Makassar Gowa
P. Ko dinga reng Lo mp o
5°9'00"
5°9'00"
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Lok asi Snorkling Kese suaian W is ata Snor kling : Sanga t Ses uai Ses uai Tidak Sesuai Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor 11 9 °1 6 '3 0 "
11 9 °1 8 '0 0 "
11 9 °1 9 '3 0 "
213
Sum ber : 1. C itra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
214 Lampiran 12. Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Lancukang dan Langkai 11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
11 9 °7 '3 0 "
Peta Indeks :
Pangk ajene K E P U L AU A N S P E R M O N DE
4°58'30"
4°58'30"
Bar ru
P. Lanc uk ang Maros Maka ssa r Gowa
5°00'00"
5°00'00"
5°1'30"
5°1'30"
P. Langka i
5°3'00"
5°3'00"
11 9 °4 '3 0 "
11 9 °6 '0 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Snorkling Keterangan : Kep. Spermonde Makassar Garis Pantai Perairan Dangkal Darat Lokasi Snorkling
N
W
E S
1
0
1 km
Kesesuaian W isata Snorkling : Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai
11 9 °7 '3 0 "
Rosmawaty Anwar NR P. C261040091
Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sum ber : 1. Citra Landsat ETM+ 2007 2. Survey Lapangan
217
Lampiran 13. Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Lumu-lumu 11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Peta Kesesuaian Wisata Snorkling Kep. Spermonde Makassar N
W
E S
500
0
500
1000 m
Lum u-Lum u keci l
Peta Indeks :
4°57'00"
4°57'00"
Barru
Pangkajene K E P U LA U A N SP E R M O N D E
Maros Makassar Gowa
4°58'30"
4°58'30"
Keterangan : Garis Pantai Per aira n D angkal Darat Lok asi Snorkling
P. Lum u-Lum u
Kese suaian W is ata Snor kling : Sanga t Ses uai Ses uai Tidak Sesuai Rosm aw aty Anwar N RP. C2 61040 091
Program Studi SPL Sek olah Pascas arja na Institut Pertanian B ogor
11 9 °1 2 '0 0 "
11 9 °1 3 '3 0 "
11 9 °1 5 '0 0 "
Sum ber : 1. C itra Lan dsat ETM+ 2007 2. Survey Lapang an
215
218
Lampiran 14. Hasil Analisis Kesesuaian Wisata Diving di Pulau-pulau Kecil Kota Makassar
P. Barangcaddi Keterangan
nilai_ce
Karang Hidup Karang Hidup
10 10
nilai_TKK
nilai_JLF
10 10
nilai_JIK
12 12
nilai_ar 8 8
nilai_de
3 3
Kesesuaian 6 6
Sesuai Sesuai
Area 17681.787 16698.782
Perimeter
Hectares
1254.146 1254.027
1.768 1.67
Total
3.438
P.Barrang Lompo Keterangan Karang Hidup Karang Hidup
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_dep
jumlah_bbtxskor
10
10
12
12
6
6
56
Kesesuaian Sangat Sesuai
10
10
8
12
6
6
52
Sesuai
Perimeter
Hectares
2579.941
5.873
3374.307
4.431
Total
10.304
P. Bone Tambung Keterangan Karang Hidup Karang Hidup Karang Hidup
nilai_cerah
nilai_TKK
nilai_JL
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
Kesesuaian
10
10
12
12
6
6
Sesuai
10
10
12
12
6
6
10
10
12
12
9
9
Area
Perimeter
Hectares
96341.884
3560.1
6.444
Sesuai
113332.641
3705.521
2.813
Sangat Sesuai
104722.306
3547.219
1.946
216
Total
11.203
219
Lanjutan
P. Kodinggareng Keke. Keterangan Karang Hidup Karang Hidup
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
jumlah_bbtxskor
10
10
8
12
9
9
58
Kesesuaian Sangat Sesuai
10
10
8
12
9
6
55
Sesuai
Perimeter
Hectares
781.378
1.491
2135.585
4.251
Total
5.742
P.Lanyukang keterangan Karang Hidup Karang Hidup Karang Hidup
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_d
jumlah_bbtxskor
15
15
12
12
6
9
69
15
15
12
12
6
9
69
15
15
12
12
6
9
69
Kesesuaian Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai
Perimeter
Hectares
4514.049
7.133
4740.472
5.599
3147.882
2.41 21.142
Total P. Langkai Keterangan
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_d
jumah_bbtxskor
Karang Hidup
10
10
12
8
6
6
52
Karang Hidup
15
10
12
12
6
9
64
Karang Hidup
15
10
12
12
6
9
64
Kesesuaian Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai
Perimeter
Hectares
4504.05
7.921
3499.271
6.008
4506.345
7.188
Total
21.117
217
220
Lanjutan P. LumuLumu Keterangan
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
jumlah_bbtxskor
Karang Hidup
10
10
12
12
6
6
56
Karang Hidup
10
10
12
12
6
6
56
Kesesuaian Sangat Sesuai Sangat Sesuai
Perimeter
Hectares
3005.638
7.284
2817.944
4.64
Total
11.924
P. Samalona Keterangan
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
jumlah_bbtxskor
Karang Hidup
10
5
12
12
6
6
51
Karang Hidup
15
5
12
12
6
6
56
Kesesuaian Sesuai Sangat Sesuai
Perimeter
Hectares
888.305
1.515
1235.048
1.973
218
Total
3.488
221
Lampiran 15. Hasil Analisis Kesesuaian Wisata Snorkling di Pulau-pulau Kecil Kota Makassar Pulau Barangcaddi Keterangan
nilai_ce
Karang Hidup
nilai_TKK 10
nilai_JLF
10
12
nilai_JIK
nilai_ar
12
nilai_de 6
nilai_LHD
6
3
jumlah_bbtxskor 59
Kesesuaian Sangat Sesuai Total
Hectares 1.653 1.653
Pulau Barang Lompo Keterangan
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
nilai_LHD
jumlah_bbtxskor
Kesesuaian
Hectares
Karang Hidup
10
5
12
12
6
6
3
54
Sesuai
2.303
Karang Hidup
10
5
12
12
6
6
3
54
Sesuai
2.226
Total
4.529
Pulau Bone Tambung Keterangan
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
nilai_LHD
jumlah_bbtxskor
Kesesuaian
Hectares
Karang Hidup
10
5
6
6
9
6
3
45
Sesuai
0.775
Karang Hidup
10
5
6
6
9
6
3
45
Sesuai
0.422
Karang Hidup
10
10
6
6
6
6
3
47
Sesuai
2.509
Karang Hidup
10
5
6
6
9
6
6
48
Sesuai
1.909
Total
5.615
Pulau Kodingareng Keke Keterangan
nilai_de
nilai_ar
nilai_cer
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_LHD
jumlah_bbtxskor
Kesesuaian
Hectares
Karang Hidup
6
6
10
10
12
12
3
53
Sesuai
0.5
Karang Hidup
6
6
10
10
12
12
3
53
Sesuai
0.652
Total
1.261
Karang Hidup
219
222
Lanjutan Pulau Lanyukang keterangan
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
nilai_LHD
jumlah_bbtxskor
Karang Hidup
10
10
8
12
6
6
3
55
Karang Hidup
15
15
8
12
6
9
6
71
Karang Hidup
15
15
8
12
6
9
6
Karang Hidup
15
5
8
12
6
3
3
Kesesuaian
Hectares 1.751
71
Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai
52
Sesuai
1.355
Total
6.703
1.291 2.406
Pulau Langkai Keterangan
nila_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
nilai_LHD
jumlah_bbtxskor
Kesesuaian
Hectares
Karang Hidup
10
10
8
8
6
6
6
54
Sesuai
3.127
Karang Hidup
10
10
8
8
6
6
6
54
Sesuai
0.996
Total
4.123
Pulau Lumu-Lumu Keterangan
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
Karang Hidup
nilai_dept 6
nilai_ce 10
10
8
8
nilai_ar 6
nilai_LHD 3
jumlah_bbtxskor 51
Kesesuaian Sesuai
1.002
Karang Hidup
6
10
10
8
8
6
3
51
Sesuai
1.798
Total
Hectares
2.8
Pulau Samalona Keterangan
nilai_ce
nilai_TKK
nilai_JLF
nilai_JIK
nilai_ar
nilai_de
nilai_LHD
jumlah_bbtxskor
Karang Hidup
15
10
12
12
9
6
6
70
Karang Hidup
15
10
12
12
9
6
3
67
Kesesuaian Sangat Sesuai Sangat Sesuai
220
Total
Hectares 1.207 1.355 2.562
223