ISBN 978-602-14867-0-2
PENGEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN KOTA PESISIR PROCEEDING
“e i ar Nasio al KOTA HIJAU PESISIR TROPIS Manado, 19-20 September 2013
Penyunting
Veronica A. Kumurur Fela Warouw Penerbit PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNSRAT MANADO – 2013
PENGEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN KOTA PESISIR PROCEEDING “e i ar Nasio al KOTA HIJAU PE“I“IR TROPI“ di Manado 19-20 September 2013
Diterbitkan oleh: PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNSRAT Gedung Fakultas Teknik – Universitas Sam Ratulangi, Jl. Kampus Unsrat – Bahu Manado - 95115 Telp/Fax: (0431)852959/ (0431)823705 website: www.pwkunsrat.net Email:
[email protected]
Penyunting : Veronica A. Kumurur & Fela Warouw Disain cover: Jonathan Ijong
Cetakan pertama Desember 2013
ISBN: 978-602-14867-0-2
Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Seminar Nasional „ Kota Hijau Pesisir Tropis „
Model “Green City” Resolusi Tersembunyi Dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Tropis R. Marsuki Iswandi(1) & La Ode Alwi(2) (1)
(2)
Dosen Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Program Pascasarjana ProgramStudi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo dan Mahasiswa Program Doktor Pada Sekolah Pascasarja Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Abstrak Pada umumnya pengembangan kota lebih ditekankan pada pembangunan sanitasi, jalan, dan prasarana umum, sedangkan Green City berada pada prioritas berikutnya. Proses pertumbuhan dan perkembangan kota khususnya Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan pengaruh sosial politik, kemudian faktor-faktor tersebut mengarah pada pembangunan kota sebagai konsekuensinya. Seperti halnya kota-kota di Indoenesia yang secara geografis kebanyakan berada wilayah pesisir serta dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan pesat. Kondisi perkotaan yang cukup padat dan lahan yang sempit, pengembangan kota terus dilakukan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan. Pembangunan kota tidak terlepas dari perubahan lingkungan yang secara fisik mengalami dampak kerusakan dan secara tidak sadar dampak tersebut menimbulkan masalah-masalah baru seiring dengan proses pertumbuhan yang terjadi. Dengan demikian, perlu solusi perencanaan pembangunan kota yang mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan menjaga kelangsungan hidup ekosistem lingkungan kota yang ada di dalamnya, salah satunya yaitu konsep Green City. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi pendekatan pengembangan konsep Green City pada kawasan kota pesisir yang berdasarkan aspek-aspek fisik kawasan kota dan arahan perancangannya. Konsep Green City adalah gerakan tidak sekadar mengedepankan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), tetapi merencanakan dan menata ulang kota sehat secar a sosial, ekonomi dan ekologis, dengan atribut : Green Planning and Design, Green Open Space, Green Community, dan Green infrastruktur yaitu Green Waste, Green Transportation, Green Water, Green Energy, Green Building. Hasil review berbagai literatur bahwa menjadikan kota sebagai Green City diperlukan pengembangan fasilitas dan infrastruktur lengkap dan memadai dalam arti bahwa aman terhadap lingkungan dan penggunaannya, murah dalam pengembangan dan pencapaiannya. Penggunaan lahan dan ruang hijau yang relatif seimbangan dan merata serta didukung oleh kegiatan ekonomi, lapangan kerja dan sosial politik yang kondusif sehingga tercipta sebuah kota yang mandiri dan berkelanjutan. Upaya tersebut, dapat direalisasikan dengan menjaga dan menata kembali ruang hijau yang dominan, penggunaan lahan dibatasi dengan solusi mix use, melengkapi fasilitas vital kota dan adanya konservasi kawasan. Oleh sebab itu, dalam proses perencanaan diperlukan kolaborasi antara peremerintah, swasta dan masyarakat dalam lingkup kebijakan pengelolaan, pendanaan dan stabilitas keamanan sosial kota. Kata Kunci : Green City, Mandiri dan Berkelanjutan
Pendahuluan Indonesia telah memasuki era urban, yang ditandai dengan fakta nyata yaitu peningkatan pertumbuhan populasi yang tinggi untuk menetap di wilayah perkotaan, hal ini terlihata dengan tingginya jumlah populasi menetap di perkotaan. Pada tahun 2010, lebih dari 112 juta orang tinggal di daerah perkotaan, setara dengan 52,03 persen dari total penduduk Indonesia. Tingkat pertumbuhan tahunan diperkirakan sebesar 1,49 persen. Wilayah perkotaan yang letaknya berada di dekat perairan terbuka atau wilayah pesisir, menyebabkan aktivitas industri memberikan pengaruh terhadap tingginya kandungan zat pencemar yang mengurangi potensi
pemanfaatannya sebagai air bersih. Lahan yang digunakan sebagai lokasi pabrik mengalami pencemaran tanah yang membutuhkan waktu yang lama bagi pemulihannya (Graham & Marvin, 2001; Ernawi, 2010). Data dari United Stase Ekonomi dan Sosial (2012) menyatakan bahwa wilayah metropolitan Jakarta, sebagai aglomerasi perkotaan terpadat di Indonesia, menduduki peringkat ke-24 daftar metropolitan terbesar 30 dunia. Fakta lain juga terlihat bahwa peningkatan jumlah populasi wilayah perkotaan tidak disertai dengan sarana infrastruktur yang baik seperti kendaraan dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas serta sudut pandang ekonomi, praktek seperti ini menyababkan biaya Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013 | 193
Model “Green City” Resolusi Tersembunyi Dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Tropis
transportasi yang sangat tinggi dan juga memancarkan jumlah gas rumah kaca yang sangat signifikan (Veron, 2006; Birch, 2008 ; de Rio, 2011). Kota Pesisir di Indonesia rentan terhadap beberapa bencana. Dari 1997 sampai 2007 ada 343 bencana, baik alam dan buatan manusia, dimana sekitar 60% terkait dengan perubahan iklim dan dampak perubahan iklim, kondisi inilah terjadi pada kota-kota yang terletak pada wilayah pesisir seperti krisis air, badai tropis, kenaikan permukaan laut, dan banjir, serta potensi bencana lain diperkirakan sekitar 25 pusat-pusat pertumbuhan nasional dan 84 pusat-pusat pertumbuhan daerah beresiko tinggi genangan pesisir dan terdapat 18 pusat pertumbuhan nasional termasuk Semarang, Surabaya dan Banjarmasin, berada pada risiko tinggi yaitu banjir karena intensitas curah hujan yang tinggi dikombinasikan dengan kerentanan sosial yang tinggi, serta beberapa kota kainnya di Indonesia, krisis air tetap menjadi ancaman serius (Glaeser dan Kahn (2010) ; Kirmanto dkk, 2012). Aspek lain Kota Pesisir di Indonesia menderita kekurangan ruang terbuka hijau (RTH). Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, RTH telah menurun dari 35 persen rata-rata menjadi kurang dari 10 persen dari kondisi saat ini. Seiring dengan pertumbuhan populasi yang cepat, daerah RTH per kapita di kota-kota besar Indonesia sangat rendah. Jakarta, misalnya dengan hanya 9 persen, memiliki hanya 7.08 RTH m2 per kapita. Sebagai perbandingan, angka tersebut jauh lebih rendah daripada Stockholm (80 m2), New York dan Berlin (sekitar 30 m2), dan Paris (sekitar 15 m2). Selain itu, rata-rata rasio RTH dari kota-kota Asia adalah 15 meter persegi per orang dan rata-rata dunia adalah 11-134 meter m2 per orang. Sebagai daerah RTH berkurang drastis, memberikan dampak serius terhadap kualitas udara di kota-kota. Besar kegiatan perkotaan tingkat menambah polusi karena emisi rumah kaca yang, pada gilirannya, memerlukan pelayanan kesehatan lebih mahal atau biaya sosial. Eliminasi seperti RTH juga telah peningkatan suhu harian rata-rata dan menurunkan kemampuan alami untuk mempertahankan hujan yang berlebihan 194 | Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013
(Daniel, 2008, Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works, Indonesia (2010, 2011 dan 2012). Disisi lain sesuai hasil kajian Wilson & Piper (2010) serta Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works (2010) yang menyatakan bahwa kondisi ekologi dari beberapa wilayah perkotaan pesisir di Indonesia seperti Jawa dan Bali telah mengalami overshoot ekologi dan dikhawatirkan terus terjadi ecological footprint. Kondisi ini menunjukkan indikasi kuat bahwa produksi dan pola konsumsi belum efisien. Kota-kota besar Indonesia perlu lebih bijaksana dalam memanfaatkan sumberdaya yang terbatas dan rendahnya kesadaran untuk mempertahankan ekologi, dan cenderung mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka panjang. Permasalahan dan Pentingnya Green
Cities Kota berkelanjutan sangat berkaitan erat dengan Green Cities yaitu kota yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam segala aspek kehidupan dan penunjang bagi warganya, termasuk unsur-unsur lainnya baik tumbuhan dan tanaman, hewan dan satwa liar, maupun tanah, air dan udara. Arifin (2009) Dalam karyanya Community Participatory Based Toward Green City, menjelaskan Green Cities sebagai sebuah konsep kota sehat dan ekologis. Kota yang ekologis mengedepankan pembangunan yang ramah lingkungan. Permasalahan kota adalah permasalahan kompleks yang tidak bisa ditangani secara parsial atau hanya berbasis proyek, tetapi harus secara komprehensif melalui perencanaan yang matang dengan visi yang menjawab solusi ke depan yang berkelanjutan. Di seluruh dunia, kota hijau atau green cities telah menjadi model pengembangan perkota-an yang baru, baik di benua Amerika, Asia, Eropa, Australia, maupun Afrika. Fenomena yang sama juga dialami oleh Indonesia. Maka perlu dideklarasikan bahwa dampak perubahan iklim di Indonesia bukan hanya dihadapi melalui pengembangan kawasan seperti entitas perkotaan khususnya kota pesisir,
R. Marsuki Iswandi dan La Ode Alwi
dengan konsep Green City. Ini merupakan tantangan baru dan terbesar yang sedang dihadapi Indonesia, terlebih karena lebih dari 52% penduduk nasional mendiami kawasan perkotaan. Perubahan iklim dan perubahan perkotaan dengan pertumbuhan yang tinggi telah memicu kebutuhan untuk membuat praktek perencanaan yang lebih progresif, yang disebut "perencanaan “fast-forward", yang kompatibel dengan laju pembangunan kota saat ini. Perencanaan harus dibingkai kembali, untuk menjadi mampu merespon secara efektif tantangan besar dan masalah yang dihadapi oleh kota-kota pesisir Indonesia, melalui pendekatan berorientasi aksi yang mencakup prinsip-prinsip pembangunan perkotaan pesisir yang berkelanjutan yang menekankan pada keseimbangan antara ekonomi, aspek sosial dan ekologi. Salah satu strategi untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui konsep kota hijau (green cities). Daniels (2008) dan Wright (2011) isu penting dalam pelaksanaan green cities : pertama, kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang bersih sebagai prasyarat dari kualitas hidup yang baik; kedua, kebutuhan untuk menjadi lebih kompetitif di arena global. Elemen hijau menjadi aset ekonomi utamanya kota pesisir 'untuk mendukung kota-kota dinamis, seperti untuk pariwisata, taman dan pemandangan laut. Meneth (2011) kota hijau tidak murni masalah teknis, juga politis. Kota hijau merupakan prasyarat untuk pengembangan iklim yang sehat demokrasi. Sebagimana dikatakan Gutmann (2008) yang berbunyi "Jika Anda ingin demokrasi yang sehat, anda harus memupuk kota hijau. Perspektif tersebut tampaknya sangat relevan dengan konteks aktual Indonesia di mana demokrasi saat ini dalam proses pematangan. Dengan definisi yang ringkas, "Green Cities” adalah karbon netral dan sepenuhnya berkelanjutan" (Glaeser dan Kahn, 2010; Birch & Wachter, 2008). Karena Green Cities memiliki semua potensi untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon, maka dalam aplikasi skala besar, juga dapat dianggap sebagai "kota rendah karbon". Selain itu, satu mungkin menggambarkannya sebagai
penggunaan optimal dari sumberdaya alam yang langka untuk menjamin kehidupan berkelanjutan penduduk perkotaan pesisir dengan karakteristik tertentu yaitu: ruang terbuka hijau, penggunaan energi terbarukan (matahari, angin, dan air), penggunaan transportasi umum, konservasi air dan pengolahan limbah (reduce, reuse, dan recycle). Berdasarkan keadaan itu, dalam melakukan perencanaan kota dibutuhkan pendekatan konsep perencanaan yang berkelanjutan. Ada beberapa konsep pengembangan kota yang berkelanjutan, salah satunya adalah konsep Green City yang selaras dengan alam.
Green City dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara ekologis juga dapat dikatakan kota yang sehat. Artinya adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Kota sehat juga merupakan suatu kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor terkait dan sinkron dengan perencanaan kota. Untuk dapat mewujudkannya, diperlukan usaha dari setiap individu anggota masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders). De Roo (2010), konsep Green Cities menempatkan ruang hijau di pusat pengembangan dan regenerasi, setara dengan
"merah, biru, dan abu-abu" pada master plan. Menggunakan argumen evidence based untuk menyoroti pentingnya elemen dan posisi mereka sebagai green solusi yang fundamental dan merespon terhadap banyak Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013 | 195
Model “Green City” Resolusi Tersembunyi Dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Tropis
tantangan kehidupan kontemporer. De Roo (2010) juga mengidentifikasi empat elemen kota hijau: perencanaan hijau, ekonomi hijau, ruang terbuka hijau, dan jaringan hijau. Pada prinsipnya, berfokus pada menciptakan keseimbangan antara lingkungan alam dan dibangun untuk kualitas hidup yang lebih baik dinikmati oleh semua orang. Benediktus and McMahon (2002); Newell at al, (2012) ; Kirmanto, dkk (2012) bahwa Green Cities sebagai metafora untuk pencapaian tujuan
yang mempunyai relevansi tentang pengembangan green cities pada kota pesisir tropis serta kisah sukses dari berbagai negara yang mengembangkan green cities. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan yang digunakan dalam tulisan ini adalah melalui review data-data sekunder khususnya dari berbagai jurnal akreditasi nasional dan internasional, yang berkiatan langsung dengan pengembangan green cities terutama pada kota pesisir. Metode Analisis Data Metode analisis data yang dgunakan adalah analisis deskriptif yaitu menjelaskan model pengembangan green cities pada kota pesisir olehg berbagai negara dan berhasil dalam menciptakan pembangunan kota pesisir secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Analisis dan Interpretasi Kisah Sukses Penerapan Green Cities Pesisir
pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Singkatnya, konsep berupaya untuk mempromosikan sebuah kota yang ecofriendly yang menyeimbangkan dan mencipttakan harmonisasi antara dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah dipertimbangkan konsep green city sebagai langkah inovatif untuk mengatasi masalah perkotaan yang sebenarnya dan secara paralel untuk mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan dari kecepatan tinggi urbanisasi. Program ini secara bertahap akan mengubah pendekatan pembangunan kota, yang berorientasi pertumbuhan ekonomi menuju keseimbangan antara efisiensi lebih berorientasi ekonomi, pelestarian ekologis dan keadilan sosial, melalui pengembangan delapan atribut green city, yang terdiri dari 8 (delapan atribut (Gambar 1). Atribut ini tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan Metode Tulisan ini merupakan kajian kualitatif melakukan review terhadap berbagai literatur 196 | Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013
a.
Green Planing and Design
Diamanatkan oleh UU 26/2007 tentang Perencanaan dan Pengembangan Tata Ruang, setiap kota Indonesia harus mengalokasikan setidaknya 30% dari wilayahnya untuk menjadi ruang terbuka hijau, 20% dari yang harus mengambil bentuk sebagai domain publik. Pernyataan kebijakan ini termasuk dalam planvii spatial lokal sebagai legalitas dalam rangka mencapai tujuan masa depan. Dalam hal ini, desainer atau perencana dianggap sebagai turunan dari rencana tata ruang lokal. Design dan perencanaan ini terdiri dari roadmap yang menguraikan tujuan yang terukur ditetapkan untuk tahap pembangunan. Ini mengidentifikasi ada terbuka hijau ruang, baik pemerintah daerah maupun swasta, membangun strategi lokal untuk mencapai realistis jangka panjang dan tujuan jangka pendek, dan mengevaluasi prioritas pelaksanaan ruang terbuka hijau. Desainer perkotaan pesisir, dan arsitek serta pemerintah daerah. Dalam kebanyakan kasus, RTH sangat sensitif dengan dikonversi menjadi tujuan lain, khususnya perumahan
R. Marsuki Iswandi dan La Ode Alwi
dan komersial. Memang hal yang umum bahwa ekspansi perkotaan membu -tuhkan tempat dengan mengorbankan RTH yang ada. Upaya untuk mempertahankan RTH ini kemudian sangat sulit, karena nilai lahan yang didedikasikan untuk RTH jarang dinilai. Faktafakta ini menunjukkan pentingnya master plan sebagai dokumen acuan yang harus diikuti oleh aktor publik dan swasta, sehingga tren tekanan RTH dapat dihindari. Oleh karena dalam perencanaan pembangunan green cities pesisir mengacu pada Dalam UU No. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir pasal 31 ayat 1 – 3, yang menyatakan bahwa 1) Pemerintah Daerah menetapkan batas sempadan pantaiyang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidrooseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya serta ketentuanlain; 2) Penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan: a) perlindungan terhadap gempadan/atau tsunami; b) perlindungan pantai dari erosi dan abrasi; c) perlindungan sumberdaya buatan dipesisir, dari badai, banjir, dan bencana alamlainnya; d) perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria dan delta; d) pengaturan akses publik; serta e) pengaturan untuk saluran air dan limbah. b.
Green Open Spatial
Menanggapi permasalahan di atas, UU Nomor 26 Tahun 2007 Tetang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa setiap Prop/Kab/Kota yang dalam proses penyusunan RTRW diwajibkan untuk memiliki proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada setiap wilayahnya sebesar 30%, atau untuk wilayah kota paling sedikit 20%. Perwujudan RTH pada setiap wilayah ini merupakan perwujudan dan penguatan dari tujuan Penataan Ruang, yaitu “mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan”. Kata
berkelanjutan di dalam UU ini berkaitan erat dengan lingkungan, kualitas lingkungan sudah seharusnya dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi mendatang. Jika melihat tujuan dari Penataan Ruang, dapat dikatakan perencanaan tidak sematamata hanya menuntut suatu wilayah agar produktif, akan tetapi juga memperhatikan keseimbangan lingkungan dan masyarakat di dalamnya. Di Indonesia kota yang berhasil mengembangkan green open spasial adalah Kota Surakata, sehingga kota mendapat mendapat gelar “Kota Langit Biru” oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Dalam penilaian ini, Kota Surakarta memiliki skor tertinggi untuk kategori kota besar dan telah menyisihkan 12 kota besar di Indonesia. Penilaian ini dilakukan dengan mengukur tingkat emisi gas buang dari sumber yang bergerak atau kendaraan bermotor dan penyediaan Green Open Spatial (GOS) yang telah dirancang pemerintah untuk dapat menciptakan iklim mikro yang bersih. Kirmanto (2012), telah berhasil dilaksanakan pada beberapa daerah di Indonesia, seperti Kabupaten Raja Ampat dan Kota Surakarta. GOS tidaklah hanya direncanakan dan dilaksanakan begitu saja, melainkan terdapat beberapa instansi pemerintah daerah yang terlibat didalam kepengurusan dan perawatan GOS Kota Surakarta, di antaranya adalah untuk pengelolaan dan pemeliharaan taman kota, jalur hijau, dan lapangan dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Lingkungan Hidup berperan di dalam penyediaan pohon dan RTH di sempadan sungai, Dinas Pertanian juga terlibat di dalam penyediaan tanaman produktif, selain itu seluruh penduduk Kota Surakarta juga berkewajiban memelihara taman-taman lingkungan di lingkup RT/RW/Kelurahan agar iklim mikro tetap terjaga dan mendukung perwujudan Kota Hijau. GOS di Kota Surakarta terdiri dari taman seluas 357 (tiga ratus lima puluh tujuh) Ha, GOS Dalam bentuk Taman Pemakaman Umum (TPU) seluas 50 (lima puluh) Ha, GOS dalam bentuk sempadan pesisir laut seluas 73 (tujuh puluh tiga) Ha dengan sebaran di beberapa kecamatan. Selain itu juga terdapat Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013 | 197
Model “Green City” Resolusi Tersembunyi Dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Tropis
Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Kota Surakata seluas 7 (tujuh) Ha yang juga tersebar diseluruh kawasan kecamatan. Untuk mewujudkan GOS yang telah direncanakan, Pemerintah Kota Surakarta telah melakukan kerjasama pendanaan melalui dana sharing APBN dan APDB serta pihak perbankan melalui Bank Mandiri yang telah melakukan kesepakatan terkait konsep kerjasama untuk merealisasikan GOS. Saat ini, telah tercatat ±18.61% RTH di Kota Surakarta, di dalam perencanaan ke depan Pemerintah Kota Surakarta yang dibantu oleh jajarannya juga telah menyiapkan beberapa program dalam rangka merealisasikan “Komitmen Kota Hijau”, di antaranya adalah Program “Green Building”, menggalakkan konsep “Roof Garden” sebagaimana yang telah tercantum di dalan Draft RTRW Kota Surakarta, pembangunan jalan lingkungan dengan menggunakan paving, penanaman 1 (satu) juta pohon, dan kegiatan sayembara inisiasi rencana kota.
c. Green Community
Hal serupa telah menjadi program bagi negara-negara maju seperti Newell et al (2012) yang menyatakan program penghijauan melalui penyediaan GOS di AS tidak diragukan lagi berorientasi pada tujuan pengelolaan storm water. Misalnya, Arena upaya percontohan hijau di Baltimore bertujuan untuk mengurangi volume limpasan tercemar ke sungai dan lingkungan Baltimore Harbor, program Washington DC berusaha untuk meningkatkan kualitas air Rock Creek dan aliran air proksimat lain melalui meningkatkan pengawasan storm water, dan Program GOS Chicago dilaksanakan untuk mengurangi banjir periodik dan untuk membantu resapan air tanah.
Untuk menarik supaya orang bersikap konsisten antara apa yang dia pikirkan dengan yang dilakukan perlu ditingkatkan melalui jalur hukum dan jalur pendidikan. Melalui
198 | Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan GOS dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi pnrgetahuan, persepsi, dan sikap dan faktor eksternal (sosial, ekonomi, budaya, luas tanah, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Peran pemerintah dalam mendorong pelaksanaan GOS, Penegakan hukum yang berkaitan dengan Penataan ruang dan GOS). Untuk menjaga GOS yang mempunyai fungsi: ekologis, sosial budaya, arsitektual, dan ekonomi memerlukan partisipasi masyarakat. Konsistensi perilaku/partisipasi masyarakat dalam pengelolaan GOS dipengaruhi oleh sikap. Berkaitan dengan hal tersebut ditemukan tiga postulat yaitu: Postulat konsistensi, Postulat variasi independent, Postulat konsistensi tergantung. Berkaitan dengan pengelolaan GOS seseorang yang mempunyai sikap positif dia akan mengelola GOS di lingkungannya secara baik, tetapi kemungkinan lain bahwa kondisinya itu terbalik, yaitu sikap yang positif terhadap GOS tidak menentukan tingginya seseorang dalam mengelola GOS di lingkungannya. Hal ini sesuai dengan teori disonansi kognitif (cognitiue dissonance) (Sumarmi, 2007). Dalam teori disonansi kognitif situasi perilaku tidak sesuai dengan sikap. Seorang individu melakukan tindakan tetapi tindakannya tidak sesuai dengan yang dia pikirkan sehingga seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap GOS tetapi belum tentu mereka berpartisipasi secara baik dalam mengelola GOS di lingkungannya tersebut.
R. Marsuki Iswandi dan La Ode Alwi
pendidikan tentang lingkungan sejak dini, seseorang tidak hanya tahu tetapi mempunyai sikap yang baik, bahkan terampil dalam mengelola GOS. Sumarmi (2009), bahwa dalam kurikulum Geografi/lPS Geografi sejak SD sampai PT Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikatornya banyak memuat hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan termasuk GOS, Sehingga partisipasinya terhadap pengelolaan GOS diharapkan dapat meningkat. Selain itu untuk meningkatkan partisipasi orang dalam mengelola GOS dengan memberikan dorongan yang bisa dilakukan oleh tokoh masyarakat/pemerintah untuk mengelola GOS tersebut. juga membuat RTRW yang jelas termasuk GOS, serta menerapkan aturan hukum yang tegas berkaitan dengan pengelolaan GOS.
d. Green Waste Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Menurut menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003), secara sosial wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah/Kota dan 181 Daerah Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonom tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Salah satu keberlanjutan ekosistem wilayah kota pesisir adalah melalui pengelolaan sampah terpadu, seperti pemilahan, daur ulang, dan pengomposan sedang dilaksanakan (Glaeser dan Kahn, 2010; Kirmanto dkk, 2012). Unit pengolahan sampah memperlakukan limbah padat yang dihasilkan dari daerah perumahan, komersial, dan masyarakat sekitar kawasan perkotaan pesisir, pertama dengan pemilahan dan pengomposan kegiatan yang dilakukan oleh warga setempat,
sebelum pengangkutan dan sampah sesuai dengan jenisnya.
pemisahan
Hal ini sesuai dengan kajian Zheng et al, (2010) tentang penghijauan di Cina dan di Makassar. Dimana masyarakat perkotaan pesisir terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan pendapatan per kapita dengan emisi gas rumah kaca. Dengan menggunakan data mikro untuk peringkat 74 kota besar Cina yang terkait dengan emisi karbon yang dihasilkan rumah tangga. Hasil temuan menunjukkan bahwa kota ”terhijau” berdasarkan kriteria ini adalah Huaian dan Suqian sedangkan kota 'paling kotor' yang Daqing dan Mudanjiang. Bahkan di kota paling kotor (Daqing), rumah tangga standar hanya menghasilkan 1/5 (seperlima) dari emisi yang dihasilkan di kota terhijau di San Diego, Amerika (Zheng et al, (2010). Sehingga disimpulkan berhasil dalam pengelolaan limbah rumah tangga dibanding dengan Amerika. Limbah perkotaan pesisir di Cina terdiri dari berbagai macam seperti limbah rumah tanggah berupa tulang dan kepala ikan serta limbah organik lainnya yang di daur ulang menjadi pakan ternak dan pupuk sehingga dapat memberikan nilia ekonomi yang tinggi bagi masyarakt kota pesisir, kondisi ini menyebabkan emisi karbon berkurang lebih cepat (Arif (2008). Sehingga target masa depan di Cina adalah, pemilahan sampah akan diharapkan menjadi bagian dari gaya hidup kota hijau yang membawa manfaat ekonomi langsung bagi warga setempat. Hal serupa dikatakan oleh Glaeser dan Kahn, (2010) yang menyatakan bahwa pembuangan sampah pada semabarang tempat khususnya pada lahan kosong sekitar wilayah pesisir dapat meningkatkan emisi CO2, oleh karena itu Arif (2008) menyatakan bahwa dalam rangka untuk mengantisipasi dan menanggulangi adanya musibah bencana alam yang akan terjadi dikawasan kota pesisir, perlu dilakukan upaya komprehensif yaitu meliputi pembuatan prasarana, sarana pengendalian serta peraturan, dan pelaksanaannya harus melibatkan instansi terkait. Untuk kawasan pesisir yang rawan terhadap bencana alam gelombang pasang tsunami, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah membangun Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013 | 199
Model “Green City” Resolusi Tersembunyi Dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Tropis
rumah di kawasan pantai yang aman dari jangkauan tsunami; mengembangkan perlindungan alami yaitu dengan cara penanaman mangrove untuk membuat greenbelt; serta perlu dilakukan penyuluhan tentang bahaya gelombang pasang tsunami dan cara-cara penyelamatannya.
e. Green Transportation Transportasi Hijau (penggunaan transportasi massal, ramah lingkungan berbahan bakar terbarukan, mendorong penggunaan transportasi bukan kendaraan bermotor berjalan kaki, bersepeda, delman/dokar/andong, becak. Jenis transportasi tersebut memberikan banyak manfaat kepada manusia dan lingkungan. Selain mampu mempersingkat waktu tempuh, sepeda juga menyehatkan bagi penggunanya dan sangat ramah lingkungan. Penggalakkan transportasi ini diharapkan mampu mempertahankan daya dukung lingkungan bagi jumlah populasi manusia yang terus meningkat. Transportasi hijau yang memberikan banyak manfaat kepada manusia dan lingkungan. Selain mampu mempersingkat waktu tempuh, sepeda juga menyehatkan bagi penggunanya dan sangat ramah lingkungan. Penggalakkan transportasi ini diharapkan mampu mempertahankan daya dukung lingkungan bagi jumlah populasi manusia yang terus meningkat. Transportasi ini mempunyai nilai ekonomis dan manfaat yang cukup tinggi. Alat transportasi hijau ini tidak memiliki elemen yang dapat merusak lingkungan. Selain ramah lingkungan, bersepeda juga dapat memberikan mafaat kesehatan pada tubuh. Sebagian besar polutan di udara adalah hasil dari emisi bahan bakar fosil yang dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti asma, iritasi paru-paru, bronkitis, dan lainnya. Menurut Tugaswati (2012), kesadaran masyarakat akan pencemaran udara akibat gas buang kendaraan bermotor di kota-kota besar saat ini makin tinggi. Resiko kesehatan yang dikaitkan dengan pencemaran udara di perkotaan secara umum, banyak menarik perhatian dalam beberapa dekade belakangan ini.
200 | Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013
Penyediaan fasilitas taman jalur khusus sepeda berfungsi untuk bersepeda, penyediaan stok O2 melalui ruang terbuka hijaunya, terjaganya keanekaragaman hayati, dan sebagainya. Fasilitas ini akan lebih efektif apabila memiliki rencana pengelolaan yang tertata dengan baik. Untuk mengetahui rencana pengelolaan yang baik untuk jalur khusus sepeda, maka diperlukan riset mengenai jalur khusus sepeda ini yang tergolong baru. Meningkatnya minat masyarakat beraktifitas sepeda di Indonesia merupakan suatu peluang bagi pihak pemerintah kota pesisir. Peluang tersebut dapat diubah menjadi suatu keuntungan apabila pihak pemerintah kota pesisir mampu mengelola jalur khusus sepeda secara berkelanjutan. Kota-kota di Indonesia sedang merencanakan pembangunan jalur khusus sepeda. Di antara kota-kota tersebut adalah hanya pada sekitar wilayah daratan seperti Sentul City. Sentul City merupakan daerah yang memiliki 65% daerah hijau. Sentul City memiliki kualitas lingkungan yang bersih dan sehat. Luas dari kawasan ini adalah 3.100 ha. Kawasan ini memiliki konsep Eco City, yakni pembangunan kota untuk memastikan keselarasan dengan lokasi sekitarnya dengan konsep Green Property. Salah satu kegiatan pengembangan berkelanjutan (sustainable development) menuju ecocity adalah penyediaan taman jalur khusus sepeda
f. Green Building Seiring dengan isu pemanasan global, banyak pengembang properti berlomba-lomba membangun hunian dengan konsep hijau atau green building. Namun, ada sejumlah persyaratan dasar agar pengembang disebut sudah menerapkan konsep green building. Konsep green building yang paling sederhana yakni membangun rumah atau bangunan dengan ventilasi yang baik agar cahaya mudah masuk. Hingga mampu mengurangi pemakaian listrik dan lebih memanfaatkan tenaga solar sistem atau energi matahari. Woolley (1997); Blank (2005) menyatakan bahwa Standar yang paling mudah green building yaitu 1 (satu) rumah dengan luas dibawah 200 meter, harus ada satu pohon pelindung, sumur resapan, pengolahan
R. Marsuki Iswandi dan La Ode Alwi
sampah. Rumah hijau bisa tercipta dengan perilaku Green Habit," Pada dekade terakhir ini, kesadaran global tentang lingkungan hidup, khususnya dalam bidang arsitektur, meningkat dengan tajam. Kong, Fanhua,et al (2010) ; Newell (2012); Young, Robert et al (2013) menyatakan bahwa gerakan hijau berkembang pesat tidak hanya sekedar melindungi sumber daya alam, tetapi juga pada implementasinya dalam rangka efisiensi penggunaan energi dan meminimalisir kerusakan lingkungan. Perancangan arsitektur sedikit banyak telah berubah, merefleksikan sikap masyarakat yang makin peduli terhadap lingkungan hidup. Demikian pula ketersediaan produk ramah lingkungan yang makin mudah diperoleh di pasar. Secara umum dapat disampaikan bahwa menuju bangunan yang ramah lingkungan adalah mengukur dampak pada lingkungan luar (bangunan) dan membantu
memperbaiki lingkungan dalam (bangunan). Biasanya beberapa aspek yang diperiksa adalah antara lain: rancangan arsitektur bangunan, metodologi membangun, material bangunan, efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air dan life cycle ecological living. Bangunan berpeluang besar untuk dimanfaatkan sebagai sarana menghambat laju perubahan iklim. Untuk itu diperlukan bangunan yang ramah lingkungan, hemat energi, hemat sumber daya alam, didesain, dibangun dan dioperasikan dengan ramah lingkungan. Green Building adalah upaya untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Bangunan hijau merupakan konsep yang luas dan dapat didefinisikan dengan bermacam arti, namun menurut Woolley (1997); Blank (2005) dan Nirwono (2008) menyatakan gagasan-gagasan inti mengenai bangunan hijau dapat dirumuskan meliputi beberapa hal, yaitu: ramah lingkungan, penggunaan sumber daya yang efisien, dan didesain untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penghuninya. Konsep ramah lingkungan dapat diartikan sebagai pembangunan bangunan yang memperhatikan lingkungan sekitar dan tidak merusak margasatwa sekitar, pola hidup seharihari, dan tidak mengakibatkan efek negatif pada lingkungan alam di sekitarnya. Hal lain yang diperhatikan pada konsep ramah lingkungan adalah penggunaan material bangunan yang digunakan adalah material yang ramah lingkungan dan tersedia di daerah sekitar dan pembangunan bangunan tersebut didesain dengan pedoman penekanan polusi dan efek negatif pada lingkungan. Khusus di Indonesia green building dikembangkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) mulai mencoba menerapkan konsep bangunan hijau di beberapa gedunggedung di dalam kampus ITB. Salah satunya adalah Gedung Campus Center ITB sebagai konsep green campus. Gedung Campus Center ITB memang belum memenuhi standar green building yang dikeluarkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI), namun pembangunan gedung ini dinilai sebagai tahap inisiasi penerapan konsep green building. Dapat dilihat beberapa elemen-elemen arsitektur pada bangunan tersebut sudah mulai mencoba menerapkan beberapa konsep green building, meskipun untuk mendapatkan sertifikasi green building harus ada perbaikan-
Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013 | 201
Model “Green City” Resolusi Tersembunyi Dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Tropis
perbaikan yang mendukung. Hal tersebut, sejalan dengan pendapat Allen dan Potiowsky (2008) ; Dawkins (2000); Chao at al (1999) Permasalahan dana pada projek bangunan dengan konsep hijau sering kali menjadi kendala. Dibutuhkan biaya lebih untuk membangun sebuah bangunan hijau dibandingkan dengan bangunan konvensional. Hal tersebut karena dalam pembangunan bangunan hijau ada banyak hal yang harus diperhatikan baik material bangunan, sistem bangunan, dan lain sebagainya. Meski demikian, bangunan hijau membawa keuntungan dalam hal finansial dibandingkan bangunan konvensional. Keuntungan tersebut meliputi penghematan air dan energi, mengurangi limbah, meningkatkan kualitas lingkungan di dalam ruangan, produktivitas/ kenyamanan karyawan yang lebih tinggi, mengurangi biaya kesehatan karyawan dan menekan biaya operasional dan pemeliharaan (Kats).
g. Green Water Paradigma baru dalam pengelolaan air memasukkan green water sebagai komponen penting dalam pembangunan kota pesisir. Green water adalah air yang terdapat dalam zona tidak jenuh dalam tanah (unsaturated zone), yaitu di daerah perakaran tanaman hingga zona air tanah jenuh (saturated zone). Green water terkumpul karena hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan mengalami infiltrasi ke bawah permukaan. Namun, green water juga menguap melalui proses evaporasi (langsung dari permukaan tanah) atau transpirasi. Perhitungan Falkenmark dan Rockstrom (2006) menunjukkan bahwa produksi pangan global memerlukan 6800 km3/tahun green
water (evaporasi dan transpirasi). Dari jumlah tersebut, 1800 km3/tahun diperoleh dari blue water dari sungai, danau, atau air tanah. Umumnya, perencana kota pesisir mempertimbangkan blue water sebagai total air yang dipergunakan dalam kebutuhan perkotaan, meskipun pada kenyataannya porsi terbesar penggunaan air disuplai oleh green water. Dengan demikian pengelolaan air untuk pembangunan kota pesisir yang memasukkan pengelolaan green water menjadi sangat penting untuk dilakukan. Studi yang dilakukan oleh Rockström et al. (2009) membuktikan bahwa pengelolaan green water yang tepat akan menjadi basis baru bagi revolusi hijau. Bahkan bisa menjadi basis bagi ketahanan terhadap bencana yang disebabkan air, seperti banjir, kekeringan, dan musim kemarau yang kini menjadi sulit diprediksi akibat perubahan iklim (climate change). Tanpa peningkatan produktivitas air yang siginifikan dengan diiringi usaha-usaha lain untuk penyediaan pangan penduduk dunia dapat menjadi masalah serius di tahun-tahun mendatang.
Untuk menunjang green water pada kota pesisir pengembangan green open spatial dan green building sangat diperlukan guna menciptakan air yang dihasilkan melalui proses tranpirasi. Menurut Savenije (2000) di dalam Yang dan Zehnder (2008) yang dimaksud dengan green water menunjukkan jumlah air yang tersimpan di dalam zona tanah tak jenuh. Green water merupakan sumberdaya air 202 | Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013
R. Marsuki Iswandi dan La Ode Alwi
untuk pertanian tadah hujan. Kondisi ini akan memperkuat interaksi antara wilayah perkotaan dengan perdesaan sebagai penghasil pangan pertanian Wilibald et al. (2004) dan kota pesisir baik sebagai sentral ekonomi pengembangan jasa perdagangan, industri bahkan pengolahan hasil perikanan dan kelautan. Dengan demikian akan tercipta integrasi pembangunan kota pesisir dengan wilayah lainnya.
h. Green Energy Keterbatasan energi fosil, diiringi konsumsi yang terus meningkat, sejalan dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk wilayah kota khususnya kota pesisir dan laju pertumbuhan ekonomi, paradigma pemanfaatan energi harus bergeser pada pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy), seperti panas bumi, energi surya, energi angin, energi samudra bahkan energi nuklir. Ini perlu dikembangkan di tataran kota pesisir, agar masyarakat tidak tergantung pada pasokan dan subsidi pemerintah serta dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka miliki, khususnya untuk wilayah pedesaan terpencil dan sulit dijangkau. Potensi energi samudra di Indonesia adalah energi yang berasal dari gelombang samudra, energi pasang surut, dan energi perbedaan suhu laut. Energi yang terkandung dalam gelombang, berkisar antara 20 – 70 kW/m, yang diukur pada rata-rata garis depan gelombang. Dengan kata lain, gelombang sepanjang 1 km dapat menghasilkan 20-70 MW. Potensi energi pasang surut dan perbedaaan suhu laut masih memberikan harapan yang baik, meskipun belum banyak diteliti untuk dimanfaatkan. Indonesia belum pemanfaatan energi gelombang laut sebagai
sumber listrik. Memang Indonesia dengan wilayahnya yang luas, memiliki potensi mengembangkan PLTGL. Namun untuk merealisasikan hal tersebut perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Berdasarkan perhitungan ini dapat diprediksikan berbagai potensi energi dari gelombang laut di berbagai tempat di dunia. Dari data tersebut, diketahui bahwa pantai barat Pulau Sumatera bagian selatan dan pantai selatan Pulau Jawa bagian barat berpotensi memiliki energi gelombang laut sekitar 40 kw/m. Alternatif teknologi yang diprediksikan tepat dikembangkan di pesisir pantai selatan Pulau Jawa adalah teknologi Tapered Channel (Tapchan). Prinsip teknologi ini cukup sederhana, gelombang laut yang datang disalurkan memasuki sebuah saluran runcing yang berujung pada sebuah bak penampung yang diletakkan pada sebuah ketinggian tertentu. Air laut yang berada dalam bak penampung dikembalikan ke laut melalui saluran yang terhubung dengan turbin generator penghasil energi listrik. Variasi prinsip teknologi ini dikembangkan di Jepang dengan nama might whale technology. Di Skotlandia, Inggris Raya, telah dibangun pembangkit tenaga gelombang laut yang menggunakan teknologi ini. Pembangkit yang selesai dibangun pada 2000 ini dilengkapai listrik sampai 500 kW. Selain itu, di Denmark dikembangkan pula teknologi pembangkit tenaga gelombang laut yang disebut wave dragon, prinsip kerjanya mirip dengan tapered channel. Kesimpulan
Green
Cities
sebagai metafora untuk pencapaian tujuan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Singkatnya, konsep berupaya untuk mempromosikan sebuah kota yang ecofriendly yang menyeimbangkan dan menciptakan harmonisasi antara dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah dipertimbangkan konsep green city sebagai langkah inovatif untuk mengatasi masalah perkotaan yang sebenarnya dan secara paralel untuk mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan dari kecepatan tinggi urbanisasi. Program ini secara bertahap akan mengubah pendekatan Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013 | 203
Model “Green City” Resolusi Tersembunyi Dalam Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Tropis
pembangunan kota, yang berorientasi pertumbuhan ekonomi menuju keseimbangan antara efisiensi lebih berorientasi ekonomi, pelestarian ekologis dan keadilan sosial, melalui pengembangan delapan atribut green city, yang terdiri dari 8 (delapan) atribut yaitu terdiri dari 3 (tiga) atribut yang fokus pada penanganan Green Cities yaitu green
planning and design, green open spasial dan green community, sedangkan 5 (lima) atribut lainnya, yaitu green transportation, green building, green waste, green water, dan green energy yang disebut green infrastucture yaitu fokus pada perluasan program. Namum demikian Atribut ini tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling berkolaborasi dan dilaksanakan secara berkolaborasi pula antara pemerintah, masyarakat dan swasta Ucapan Terima Kasih Dalam penyusunan tulisan tidak telepas dari peran berbagai pihak baik dalam subtansi penulisan, materi dan gagasan tentang green cities kota pesisir maupun terkait dengan finansial, olehnya itu diucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Usman Rianse yang telah banyak memberikan arahan tentang penyusunan model pembangunan wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan 2. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, banyak memberikan inspirasi dalam pembangunan wilayah berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang ditinjau dari segi aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kelembagaan. 3. Prof. Dr. Ir. La Rianda, M.Si memberikan dukungan moral dan finansial terkait dengan pengembangan sumberdaya Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Program Pascasarjana Universitas Haluoleo. Daftar Pustaka Anonimous. 2010. Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works (2010a), Ecological Footprint of Indonesia 2010, Jakarta: 204 | Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013
Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works. Anonimous. 2011. Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry Program of Public Works (2011),
Pengembangan Kota Hijau: Dari Rencana Menuju Aksi Nyata, Jakarta: Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works. Proceeding. Anonimous. 2012. Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works (2012a), Kajian Telapak Ekologis pada KSN Perkotaan, Jakarta: Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works. Anonimous. 2003. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. Tinjauan Aspek
Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir. Surabaya Anonimous. 2012. United Nations. The Future We Want, at the Rio+20 Conference, Rio de Janeiro, Brazil, 20-22 June Allen, J. H. & Potiowsky, T. 2008. Portland„s Green Building cluster: Economic Trends and Impacts. EconomicDevelopment Quarterly 22(4), 303-315 Arif F, Mary Selintung Dan Ria Wikantari, 2011. Settlement Rubbish Handling In The Coastal Regions Of Makassar City, Teknik Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Blank, Tarquin. 2005. Engineering Economy. New York: Mc Graw-Hill inc Birch, E.L. & Wachter, S.M. (ed). 2008.
Growing Greener Cities : Urban Sustainability in the Twenty First Century, University of Pennsylvania Philadelphia, 392p.
Press,
Chao, M. Parker,G. Mahon, D. & Kammerud, R. 1999. Recognition of Energy Costs and
Energy Performance in Commercial Property Valuation: Recommendations and Guidelines for Appraisers, February 1999. For the Pacific Gas & Electric Company and the U.S. Environmental Protection Agency.
R. Marsuki Iswandi dan La Ode Alwi
Retrieved June 29, 2009, from http://www.imt.org/ DF%20files/CA%20RGs%202-99.PDF Daniels, T. 2008. Taking the Initiative :Why Cities Are Greening Now, in ”Growing Greener Cities : Urban Sustainability in the Twenty First Century”, edited by Birch, E.L & Wachter, S.M, University of Pennsylvania Press, p ix – xii Dawkins, C, J. 2000. Transactions Cost and the Land Use Planning Process. Journal of Planning Literature 14(4), 507-518. De Roo, M. 2011. The Green City Guidelines: Techniques for A Healthy Liveable City, Vormerveer: Zwaan Print Media. Ernawi, I. S. 2010. The “Green Concept”
Interfere the Urban Development Policy in Indonesia, 2nd International Seminar on Tropical Eco-Settlements, 2010, Bali.
3
November
Falkenmark, M., and J. Rockstrom. 2006. The
New Blue and Green Water Paradigm: Breaking New Ground for Water Resources Planning and Management. Journal of Water Resources Planning and Management 132, no. 3 (May 0): 129-132 Glaeser, E. L., Kahn, M. E. 2010. The
greenness of cities: carbon dioxide emissions and urban development. Journal of Urban Economics, 67: 404–418. Graham, S. & Marvin, S. 2001. Splintering
Urbanism: Networked Infrastructures, Technological Mobilities and the Urban Condition, London: Routledge.
Newell J, Mona Seymour, Thomas Yee, Jennifer Renteria,, Travis Longcore, Jennifer R. Wolch, Anne Shishkovsky. 2012.
Green Alley Programs: Planning for a sustainable urban infrastructure?. journal homepage: www.elsevier.com/locate/cities. Cities xxx (2012) xxx–xxx Sumarmi. 2007. Perilaku Masyarahat dalarn Pelestaian lalur Hiiau di Sempidan Sungai Brantas. Malang: Lembaga Penelitian. Sumarmi. 2009. Sekolah Hijau sebagai Alternatif Pendidikan Lingkungan Hidup dengan Menggunakan Pendekatan Ko ntelcstual. lurnal llmu Pendidikan UM. Malang: Universitas Negeri Malang. Veron, J. 2006. L‟urbanisation du Monde, Collection reperès, Paris: la Découverte. Tom. 1997. Green Building Handbook Volume 1. New York:E & FN
Woolley,
Spon. Wilson, E & Piper, J. 2010. Spatial Planning and Climate Change, Oxon: Routledge
Understanding green infrastructure: the development of a contested concept in England. Local
Wright,
H.
2011.
Environment, 16, 1003–1019. Young Robert, E. Gregory McPherson, 2013.
Governing metropolitan green infrastructure in the United States, Journal :Landscape and Urban Planning homepage: www.elsevier.com/locate/landurbplan
Kirmanto J, Imam S. Ernawi, and Ruchyat Deni Djakapermana, 2012. Indonesia Green
City Development Program: an Urban Reform. Ministry of Public Works, Indonesia. Kong Fanhua, Haiwei Yin, Nobukazu Nakagoshi and, Yueguang Zong, 2010
Urban green space network development for biodiversity conservation: Identification based on graph theory and gravity modeling. Journal : Landscape and Urban Planning, journal homepage: www.elsevier.com/locate/landurbplan Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII ASPI / September 2013 | 205