Riptek Vol. 6, No.II, Tahun 2012, Hal.: 29 - 38
KAJIAN PENGEMBANGAN DESA PESISIR TANGGUH DI KOTA SEMARANG Ambariyanto *) Denny N.S *) Abstract The coastal area is used as ports, industrial areas, public housing and so on. Especially in the rural / urban settlements are generally dominant condition characterized by inadequate environmental health, seem rundown and highly vulnerable to natural disasters especially floods rob. This condition is consistent with the four major issues facing coastal areas in Indonesia in general, namely: (1) the high level of poverty of coastal communities. Noted, in 2010 poverty in coastal villages reached 7 million people who are 10 639 Coastal Village, (2) high damage coastal resources, (3) lack of independence of social organizations and village erosion of local culture, and (4) poor rural infrastructure and environmental health settlement. The four main issues also contributed to the high vulnerability to natural disasters and climate changes are quite high in the coastal villages. Given the above conditions, the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries through the Directorate General of Marine, Coastal and Small Islands (KP3K) initiated an innovative program to give the spirit of a new movement for the revival and progress of coastal villages in Indonesia, namely the Coastal Resilient Village Development (PDPT). Keywords: coastal village, resilient, disasters, Semarang Pendahuluan Letak strategis Kota Semarang yang berada pada titik sentra jalur utama Pantai Utara Pulau Jawa dengan panjang garis pantai Kota Semarang mencapai 36,63 km menjadikan kota ini maju berkembang sebagai daerah potensial bagi aktivitas industri, perdagangan dan jasa. Berkembangnya Kota Semarang sebagai kota besar yang mengarah sebagai kota metropolitan antara lain ditandai dengan semakin tingginya jumlah dan kepadatan penduduk yang hidup di kawasan desa/kelurahan di pesisir Kota Semarang. Secara administratif, di wilayah pesisir kota Semarang terdapat 4 (empat) kecamatan yakni Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara dan Genuk dan 14 (empat belas) desa / kelurahan. Wilayah ini umumnya dimanfaatkan sebagai pelabuhan, daerah industri, perumahan penduduk dan sebagainya. Khusus di wilayah desa/kelurahan yang dominan sebagai pemukiman penduduk umumnya dicirikan dengan kondisi kesehatan lingkungan yang kurang memadai, terkesan kumuh dan sangat rentan terhadap bencana alam khususnya banjir rob. Kondisi ini sejalan dengan empat persoalan pokok yang dihadapi wilayah pesisir di Indonesia secara umum, yakni: (1) tingginya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir. Tercatat, pada tahun 2010 kemiskinan di desa-desa pesisir mencapai angka 7 juta jiwa yang terdapat 10.639 desa pesisir; (2) tingginya kerusakan sumberdaya pesisir; (3) rendahnya kemandirian organisasi sosial desa dan lunturnya nilai-nilai budaya lokal; dan (4) rendahnya infrastruktur desa dan kesehatan lingkungan pemukiman. Keempat persoalan pokok ini juga memberikan andil terhadap tingginya kerentanan terhadap *)
bencana alam dan perubahan iklim yang cukup tinggi pada desa-desa pesisir. Mengingat kondisi di atas, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) menginisiasi suatu program inovatif untuk memberi spirit gerakan baru bagi kebangkitan dan kemajuan desa-desa pesisir di Indonesia yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh yang disingkat PDPT. Sebagai sebuah kebijakan, PDPT memiliki makna strategis. Pertama, PDPT merupakan implementasi konkrit dari 11 prioritas nasional Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2011-2014. Selain itu, PDPT merupakan implementasi kebijakan presiden terkait peningkatan dan perluasan program pro-rakyat (khususnya program peningkatan kehidupan nelayan). Kedua, PDPT merupakan wujud dari intervensi KKP dalam hal : (1) menata dan meningkatkan kehidupan desa pesisir/nelayan berbasis masyarakat; (2) kegiatan yang menghasilkan keluaran (output) secara fisik yang dapat memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir, sesuai dengan permasalahan dan prioritas kebutuhan masyarakat; (3) pembelajaran secara tidak langsung kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil agar dapat menemukan cara-cara pemecahan masalah dan kebutuhannya sendiri dengan memberdayakan segenap potensi yang ada; dan (4) masyarakat sebagai pelaku pembangunan. Diharapkan melalui program kegiatan Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) maka pengembangan desa pesisir yang berada di wilayah Kota Semarang dapat meningkatkan kualitas desa pesisir yang saat ini masih terkesan
Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan & Universitas Diponegoro
Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang kumuh dan lemah perekonomiannya menjadi desa yang tangguh dalam segala bidang. Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang ini adalah untuk menyiapkan dokumen yang dibutuhkan khususnya profil desa pesisir tangguh sebagai syarat utama dalam mengikuti program PDPT dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia. Penyusunan Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang mempunyai tujuan dalam mengidentifikasi potensi ,permasalahan desa-desa pesisir dan pemilihan desa sebagai lokasi program PDPT sebagai data dasar dalam penyusunan Desa Pesisir Tangguh terhadap ancaman bencana alam. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah teridentifikasikannya potensi, permasalahan desa-desa pesisir dan pemilihan desa sebagai lokasi program PDPT sebagai data dasar dalam penyusunan Desa Pesisir Tangguh terhadap ancaman bencana alam.
(Ambariyanto, Denny N.S) Kedudukan Rencana Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) Kedudukan rencana pengembangan desa pesisir tangguh (PDPT) dalam konteks perencanaan tata ruang menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah rencana detail tata ruang sebagai jabaran rencana tata ruang perdesaan. Kedudukan rencana PDPT dalam konteks perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut UU No. 27 tahun 2007 adalah rencana zonasi rinci sebagai jabaran dari rencana zonasi kabupaten. Kedudukan rencana PDPT dalam konteks sistem perencanaan pembangunan nasional menurut UU No. 25 tahun 2004 dapat merupakan kebijakan perencanaan pembangunan yang mengintegrasikanmensinergiskan rencana pembangunan jangka menengah desa-desa pada wilayah pengembangan PDPT.
Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Lokasi pekerjaan meliputi wilayah pesisir kota Semarang. PROFIL DESA
Output Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah: a) Terpilihnya desa-desa yang berpotensi dan berpeluang untuk dapat terlibat dalam Sumber: Panduan Perencanaan Kawasan PDPT, KKP (2011) program PDPT KKP b) Tersusunnya profil yang berupa potensi, Gambar 1 permasalahan, dan pemanfaatan desa-desa Kedudukan Rencana PDPT tersebut. Model Pendekatan PDPT Pengembangan Desa Pesisir Tangguh PDPT merupakan suatu siklus Kementerian Kelautan dan Perikanan pengelolaan pembangunan desa yang berbasis (KKP) merilis program Pengembangan Desa sumberdaya kelautan dan perikanan dengan Pesisir Tangguh yang disingkat PDPT pada akhir menitikberatkan kepada pemberdayaan tahun 2011. Program ini tidak datang begitu masyarakat mulai dari proses perencanaan, saja, melainkan didasarkan atas realitas implementasi, pengorganisasian, dan persoalan yang dihadapi desa-desa pesisir di pengendalian output dan outcome. Perencanaan Indonesia, yakni: (1) tingginya tingkat PDPT menitikberatkan pemberdayaan kemiskinan masyarakat pesisir. Tercatat, pada masyarakat agar dapat memperkuat pencapaian tahun 2010 kemiskinan di desa-desa pesisir sasaran kapasitas kelembagaan masyarakat baik mencapai angka 7 juta jiwa; (2) tingginya formal maupun non formal. kerusakan sumberdaya pesisir; (3) rendahnya kemandirian organisasi sosial desa dan Konsep Klasterisasi Desa Pesisir lunturnya nilai-nilai budaya lokal; dan (4) Konsep klasterisasi desa pesisir ini rendahnya infrastruktur desa dan kesehatan mengacu pada Buku Panduan Perencanaan lingkungan pemukiman. Atas dasar tersebut, Kawasan Pengembangan Desa Pesisir Tangguh maka tidak heran jika desa-desa pesisir di (PDPT) yang diterbitkan oleh Direktorat Tata Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, terhadap bencana alam dan perubahan iklim. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011.
30
Riptek Vol. 6, No.II, Tahun 2012, Hal.: 29 - 38 Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 (Perpres No.5/2010 tentang RPJMN 2010-2014) terdapat 5 (lima) prioritas pembangunan nasional yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan, yaitu (1) reformasi birokrasi dan tata kelola, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) ketahanan pangan, (4) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana, (5) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca konflik. Kebijakan presiden terkait program pengentasan kemiskinan (klaster-4), yaitu rumah sangat murah, angkutan umum murah, air bersih rakyat, listrik murah, kesejahteraaan nelayan, dan kesejahteraaan masyarakat pinggir perkotaan. Sementara itu untuk percepatan dan perluasan pembangunan nasional dilaksanakan melalui 8 (delapan) program utama yang bermuara kepada 22 (dua puluh dua) kegiatan ekonomi utama. Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) merupakan salah satu model pendekatan pembangunan untuk klaster-4 yang difokuskan pada penataan lingkungan, sosialkelembagaan, infrastruktur, ketahanan terhadap bencana alam, dan usaha perekonomian desadesa pesisir tertinggal, terbelakang, dan miskin dengan berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan. Proses Pelaksanaan Penyusunan Kegiatan a) Persiapan Persiapan penyusunan profil adalah koordinasi tim penyusun, koordinasi antar stakeholder yang terkait, penjelasan metodologi pelaksanaan pekerjaan, perumusan rencana kerja dan pembagian kerja penyusunan profil klaster desa pesisir. b) Pengumpulan Data Pengumpulan data dikategorikan menjadi dua yaitu pengumpulan data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan data yang berasal dari dinas terkait (BPS, Bappeda, dinasdinas terkait, kecamatan, dan lain-lain). Data primer merupakan data yang diambil pada saat survey dilaksanaan seperti dokumentasi kawasan, wawancara, tracking dan marking dengan Global Positioning System (GPS). c) Survey lapangan Survey lapangan bertujuan untuk mendapatkan akurasi data yang ada beserta pengumpulan data primer , selain itu survey lapangan juga untuk koreksi data sekunder yang didapatkan. d) Identifikasi potensi dan permasalahan Identifikasi potensi dan permasalahan wilayah desa pesisir di Kota Semarang. Masing-masing merupakan desa yang berbatasan langsung dengan pesisir utara pulau Jawa. Dalam identifikasi potensi wilayah studi, faktor yang
mendukung identifikasi potensi wilayah didasarkan pada: faktor sosial dan kependudukan faktor sarana dan prasarana faktor ekonomi faktor kelembagaan faktor sumber daya alam faktor kondisi lingkungan faktor bencana alam pesisir e) Klasterisasi Desa Pesisir Salah satu maksud dari kegiatan ini adalah melihat potensi yang dimiliki oleh setiap desa yang kemudian dianalisis dengan analisis tipologi wilayah untuk melihat tipe pengembangan untuk setiap desa pesisir. Dalam kerangka untuk mendapatkan pandangan para stakeholder mengenai pemilihan prioritas pemanfaatan desa-desa pesisir di Kota Semarang, persepsi para stakeholder ini akan dikombinasikan dengan penggalian aspirasi masyarakat terhadap upaya pengembangan komoditas unggulan yang ada. Tahap penyusunan klasterisasi desa pesisir adalah sebagai berikut: penentuan kriteria klasterisasi desa pesisir , skoring dan ranking faktor-faktor kriteria klasterisasi desa pesisir , penetapan tipologi klaster desa pesisir dan penetapan prioritas klaster desa pesisir di Kota Semarang.
Gambar 2 Proses Penyusunan Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh Proses Pemilihan Desa-Desa Lokasi PDPT Kawasan PDPT mencakup 3 (tiga) desa yang secara fisik merupakan satu hamparan yang terdiri atas desa-desa dengan fungsi sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan sosialekonomi berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan dalam satu kesatuan ekologis atau
31
Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang satu kesatuan sosial-budaya, atau satu kesatuan sosial-ekonomi. Kriteria untuk menentukan desa-desa lokasi PDPT, yaitu : (1) terletak dalam satu hamparan wilayah perencanaan (2) kondisi lingkungan desa kumuh, (3) terdapat banyak pengangguran, (4) masyarakat pesisir berpendapatan rendah, (5) terdapat degradasi lingkungan pesisir, (6) rawan terjadi bencana pesisir, (7) tingkat pelayanan prasarana dasar lingkungan terbatas/rendah, (8) tingkat pelayanan prasarana pendukung kegiatan usaha terbatas/rendah. Indikator dan nilai indikator untuk masing-masing kriteria adalah sebagai berikut : 1) Faktor Sosial dan Kependudukan; terdiri atas kriteria sebagai berikut: Kode Indikator Nilai 1.1 Angka pengangguran melebihi 6 50%dari jumlah penduduk desa 1.2 Angka pengangguran kurang 4 50%dari jumlah penduduk desa 1.3 Kepadatan penduduk rendah 2 1.4
Kepadatan penduduk tinggi
1
1.5
Desa termasuk desa swadaya dengan lebih dari 50% jumlah penduduknya adalah prasejahtera Desa termasuk desa swadaya dan jumlah penduduk prasejahtera kurang dari 50% jumlah penduduk
6
1.6
4
2) Faktor Sarana dan Prasarana; terdiri atas kriteria sebagai berikut: Kode Indikator Nilai 2.1 Terbatasnya pelayanan fasilitas 4 pendidikan dasar 2.2
Terbatasnya pelayanan fasilitas kesehatan umum
3
2.3
Terbatasnya pelayanan fasilitas kelembagaan masyarakat
3
2.4
Terbatasnya pelayanan fasilitas perbankan
2
2.5
Terbatasnya pelayanan fasilitas pengangkutan barang
2
2.6
Terbatasnya pelayanan fasilitas perijinan usaha
2
32
(Ambariyanto, Denny N.S) Kode 2.7
Indikator Terbatasnya pelayanan fasilitas pemasaran hasil produksi
Nilai 2
2.8
Terbatasnya pelayanan fasilitas pelatihan ketrampilan
2
2.9
Kemudahan akses ke pusat perekonomian
6
2.10
Berdekatan dengan jalan produksi perekonomian
6
2.11
3 desa berdekatan dalam satu hamparan
6
3) Faktor Ekonomi; terdiri atas kriteria sebagai berikut: Kode 3.1 3.2
Indikator Adanya pengolahan perikanan
Nilai 6
Adanya masyarakat bertani/tambak
6
4) Faktor Kelembagaan; terdiri atas kriteria sebagai berikut: Kode Indikator Nilai 4.1 Desa memiliki lembaga/organisasi 2 kemasyarakatan 4.2 Desa tidak memiliki lembaga/ 1 organisai kemasyarakatan 5) Faktor Sumber Daya Alam; terdiri atas kriteria sebagai berikut: Kode Indikator Nilai 5.1 Desa memiliki areal persawahan 2 5.2 Desa memiliki areal pertambakan 2 5.3 Desa memiliki sumber air (sungai) 2 6) Faktor Kondisi Lingkungan; terdiri atas kriteria sebagai berikut: Kode Indikator Nilai 6.1 Jalan desa berupa jalan tanah 2 atau jalan sebagian besar dalam kondisi rusak 6.2 Kondisi bangunan rumah 1,5 sebagian besar berumur tua dan rusak, baik berupa temok maupun bilik 6.3 Pelayanan listrik belum 1,5 memenuhi sebagian besar wilayah desa 6.4 Pelayanan air bersih untuk 1,5 kehidupan belum memenuhi sebagian besar wilayah desa 6.5 Pelayanan fasilitas mandi, 1,5 cuci, dan kakus (MCK) masih belum memenuhi sebagian besar masyarakat 6.6 Air limbah rumah tangga 2
Riptek Vol. 6, No.II, Tahun 2012, Hal.: 29 - 38 Kode
6.7
6.8
Indikator masih dibuang secara sembarangan ke belakang rumah/ke sungai Terdapat pantai ber hutan mangrove dengan luasan yang terus berkurang krn perubahan peruntukan Terdapat muara sungai dengan kondisi penyempitan yang terus berkurang krn aktivitas masyarakat
Nilai
3
3
7) Faktor Bencana Alam Pesisir; terdiri atas kriteria sebagai berikut: Kode
Indikator
Nilai
7.1
Desa pernah mengalami bencana abrasi Desa pernah mengalami bencana banjir Desa memiliki kerentanan terhadap kenaikan permukaan air laut Desa mengalami sedimentasi pesisir
2
7.2 7.3 7.4
2 2 2
Klasterisasi Desa Pesisir
Gambar 3 Penetapan Prioritas Klasterisasi Desa Pesisir di Kota Semarang Penetapan Prioritas Klaster Desa Pesisir di Kota Semarang Penetapan prioritas klaster desa pesisir berdasarkan hasil skoring dan ranking pada sub bab sebelumnya. Analisis skoring pada bab sebelumnya adalah bertujuan untuk memudahkan dalam mengelompokkan/ klasterisasi desa-desa dengan potensi dan permasalahan yang hampir sama. Setelah dilakukan skoring kemudian dilanjutkan dengan ranking, penentuan ranking dengan membuat skala jumlah hasil skoring. Semakin besar skala jumlah hasil ranking menunjukkan bahwa
kelompok skala tersebut adalah yang dijadikan sebagai prioritas klaster desa. Seperti pada skala jumlah skoring pada ranking 1 (satu) yaitu 70-80. Skala prioritas pertama yang harus dilakukan pada 3 (tiga) desa Mangkang Kulon, Mangunharjo dan Mangkang Wetan. Dari ketiga ini didapatkan persamaan dalam jumlah skoring yang paling tinggi, didapatkan dari beberapa indikator. Nilai skoring yang paling dominan adalah pada Kemudahan akses ke pusat perekonomian dan Berdekatan dengan jalan produksi perekonomian. Pada ranking 2 (kedua) diprioritaskan kedua yaitu pada desa 14-16, yaitu desa Terboyo Wetan, Trimulyo ,Tambakrejo. Sedangkan pada ranking 3 (tiga) diprioritaskan ketiga pada desa 1,5-13 (Mangkang, Kulon, Karanganyar, Tugurejo, Tambakharjo, Tawangsari, Tawangmas, Panggung Lor, Bandarharjo, Tanjung Mas, Terboyo Kulon) kecuali desa 6 (Tugurejo) pada prioritas keempat. Profil Desa Terpilih Hasil dari skoring pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa 3 (tiga) desa yang menjadi satu hamparan dengan potensi dan tipologi yang hampir sama yaitu Desa Mangkang Kulon, Mangunharjo dan Mangkang Wetan termasuk dalam rencana pola pemanfaatan ruang mulai bagian paling utara adalah pantai, tambak, pertanian lahan basah/sawah, pertanian lahan kering, permukiman, industri dan permukiman (bercampur). Profil Desa Pesisir Lokasi PDPT Kelurahan Mangkang Kulon Kelurahan Mangkang Kulon merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Tugu yang terletak kurang lebih 15 km dari pusat kota dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi karena berada di jalur strategis antar kota. Kelurahan Mangkang Kulon mempunyai luas wilayah 346,510 ha, dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara : Sumberejo Kendal Sebelah Selatan : Jl. Jend Oerip Sumoharjo Sebelah Barat : Sumberejo Kendal Sebelah Timur : Kelurahan Mangunharjo Penggunaan lahan di kelurahan Mangkang Kulon, lebih didominasi lahan tambak yaitu mencapai 111.165 Ha sedangkan sawah tadah hujan 40.543 Ha dan pekarangan 65.374 Ha, seperti dijelaskan dalam Gambar 4.
33
Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang Tadah hujan 19% Tambak 51%
Pekarang an utk banguna n dan…
Gambar 4 Penggunaan Lahan Kelurahan Mangkang Kulon Karakteristik Penduduk Kelurahan Mangkang Kulon Kelurahan Mangkang Kulon memiliki Jumlah penduduk sebanyak 3.569 jiwa pada tahun 2010 terdiri dari laki-laki 1.764 jiwa dan perempuan 1.805 jiwa dengan proporsi usia didominasi oleh usia produktif sebesar 55% dari total jumlah penduduk. Banyaknya usia produktif merupakan potensi yang cukup bagus dalam upaya pengembangan Kelurahan Mangkang Kulon sebagai salah satu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh. Dominasi mata pencaharian masyarakat Mangkang Kulon adalah buruh tani, jasa, karyawan dan pedagang. Nelayan hanya terdapat 3% dari total mata pencaharian penduduk sehingga terlihat bahwa karakteristik masyarakat masih menggantungkan pada pertanian daripada hasil laut, padahal kelurahan Mangkang Kulon merupakan salah satu daerah pesisir.
(Ambariyanto, Denny N.S) 98%, 1% lainnya untuk sayur dan 1% lainnya untuk komoditas buah. Hasil tangkapan ikan di Kelurahan Mangkang Kulon kurang lebih sebanyak 12 ton (Monografi, 2011). Potensi Kelurahan Mangkang Kulon adalah terasi, tahu dan penggemukan kepiting. Kayu/ papan 13% Semi Permanen 27%
Permanen 60%
Gambar 6 Kondisi Tempat Tinggal Penduduk Kelurahan Mangkang Kulon Kondisi tempat tinggal masyarakat didominasi oleh bangunan rumah permanen dan hanya 77 unit rumah dari papan. Dengan dilengkapai sarana kesehatan berupa 6 unit posyandu, 1 praktek dokter dan bidan. Sarana penunjang lain adalah perekonomian berupa 27 kios dan warung sebanyak 8 unit. Sebagai kawasan industri kelurahan Mangkang Kulon mempunyai 6 industri besar dan kecil, keberadaan industri menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat yaitu buruh industri. Tidak Sekolah Tidak Tamat SD
69 114 66 13 22
11
25
Petani Sendiri 298
314
Tamat SD
425
868
Petani Buruh
359
Tamat DIII
Nelayan
Tamat PT
465
116
167
Pedagang/ Pengusaha
Gambar 5 Kondisi Penduduk Mangkang Kulon Berdasarkan Mata Pencaharian Berdasarkan gambar di atas mata pencaharian masyarakat Kelurahan Mangkang Kulon didominasi pada sektor pertanian dan berdasarkan data monografi desa, komoditas pertanian yang terbesar adalah padi dan palawija. Komoditas yang dihasilkan kelurahan Mangkang Kulon tidak hanya komoditas pertanian namun sebagai daerah pesisir Kelurahan Mangkang Kulon juga memiliki hasil usaha perikanan. Komoditas hasil pertanian berupa padi dan palawija mendominasi hingga
34
Tamat SLTP Tamat SLTA
495 927
Belum Tamat SD
164
Gambar 7 Kondisi Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Mangkang Kulon Kondisi tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Mangkang Kulon lebih banyak yang belum menamatkan pendidikannya di tingkat Sekolan Dasar (SD) mencapai 868 orang dan tamat SLTP mencapai 495 orang dan lulusan perguruan tinggi mencapai 114 orang. Kelurahan Mangkang Kulon mempunyai panjang garis pantai 1,04 km, tidak mempunyai ekosistem mangrove di area pesisir.
Riptek Vol. 6, No.II, Tahun 2012, Hal.: 29 - 38
Gambar 8 Kondisi Kelurahan Mangkang Kulon Dilihat dari Foto Satelit (Google Earth) Kelurahan Mangunharjo Kelurahan Mangunharjo merupakan tipe desa pesisir, dengan panjang pantai 1,96 km. Luas desa ini adalah 632.802 ha, yang secara administratif mempunyai batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Selatan : Desa Pringlangu dan Tegalrejo (Kec. Ngaliyan) Sebelah Timur : Desa Mangkang Kulon (Kec. Tugu) Sebelah Barat : Desa Podorejo (Kec. Ngaliyan)
Penggunaan lahan untuk kegiatan perikanan (tambak), sebagai ciri khas masyarakat pesisir cukup optimal, dimana sebagian besar tanahnya diperuntukkan untuk tambak yaitu seluas 191.736 ha. Penggunaan tanah secara lebih rinci disajikan dalam tabel 1. Jumlah penduduk di Desa Mangunharjo pada tahun 2010 sebanyak 5.535 jiwa yang terdiri dari 2.780 laki-laki dan 2.755 perempuan. Seperti penduduk yang tinggal di daerah pesisir pada umumnya, tingkat pendidikan penduduk di Desa Mangunharjo tergolong rendah, sebanyak 1.322 jiwa tidak tamat SD dan 1.102 jiwa tidak sekolah. Berikut ini tabel jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan: Tabel 2 Jumlah Penduduk Desa Mangunharjo Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2010 Jumlah (jiwa) 1 Tidak sekolah 593 2 Tidak tamat SD/sederajat 885 3 Tamat SD/sederajat 1.609 4 Tamat SLTP/sederajat 1.039 5 Tamat SLTA/sederajat 1.237 6 Tamat Akademi 171 7 Tamat Pergurun Tinggi 128 Sumber: Kecamatan Tugu Dalam Angka 2010 No.
Tingkat Pendidikan
Tadah hujan
Mangunharjo
156 175 154
69.787
191.736
Pekaranga n utk bangunan dan halaman Tambak
63.535
39
173 123 56 53 21
Petani Sendiri Petani Buruh Nelayan
3394 Pedagang/ Pengusaha Buruh Industri
Gambar 9 Penggunaan Lahan Kelurahan Mangunharjo Tabel 1 Penggunaan Lahan Desa Mangunharjo Tahun 2010 No. Lahan 1 Sawah Tadah Hujan 2 Pemukiman 3 Pekarangan 4 Pertambakan 5 Lainnya Jumlah
Luas (ha) 69.787 63.535 80.727 191.736 227.017 632.802
Sumber: Kecamatan Tugu dalam Angka 2010
Gambar 9 Kondisi Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan Mangunharjo Pekerjaan yang paling banyak digeluti oleh masyarakat Desa Mangunharjo adalah sebagai petani sendiri yaitu sebanyak 175 jiwa dan buruh industri 173 jiwa, sedangkan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan hanya 156 jiwa. Dominan dari data yang diperoleh merupakan mata pencaharian jasa/ lainnya. Menurut monografi desa, potensi unggulan Kelurahan Mangunharjo adalah penghasil rajungan dan olahan pepes rajungan, pembuatan terasi dan jamu gendong. Sarana pendidikan di Kelurahan Mangunharjo tersedia dari tingkat TK sampai
35
Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang dengan SLTA kecuali tingkat SLTP yang tidak tersedia sehingga harus ke Kelurahan Mangkang Wetan. Kondisi sarana perumahan masyarakat sudah didominasi konstruksi permanen dan semi permanen tapi masih ada yang berupa papan sebanyak 78 unit. Sementara ketersediaan sarana kesehatan berupa puskesmas 1 unit, 5 unit posyandu dan masingmasing satu praktek bidan dan dokter. Selain itu ditunjang dengan sarana perekonomian pasar satu unit, 36 kios dan 16 warung. Kelurahan Mangunharjo sebagai kawasan industri, mempunyai kawasan industri sebanyak 3 unit untuk industry besar, 2 unit industri kecil dan 3 unit industri rumah tangga. Mempunyai panjang pantai 5,39 km dengan luasan mangrove sebesar 9 Ha. Panjang mangrove tepi pantai 0,77 km dengan perbandingan tutupan mangrove desa terhadap mangrove total adalah 10,78% sedangkan perbandingan pantai bermangrove dan tidak bermangrove sebesar 1,36%.
(Ambariyanto, Denny N.S) Petani Sendiri 97 48
694
Nelayan
897
44 16
Petani Buruh
Pedagang
568 103 416
162
Buruh Industri Buruh Bangunan Usaha Angkutan
Gambar 11 Grafik Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan Mangkang Wetan Mangkang Wetan Tadah hujan
Pekarangan utk bangunan dan halaman
Gambar 12 Kondisi Penggunaan Lahan di Kelurahan Mangkang Wetan
Gambar 10 Kondisi Kelurahan Mangunharjo dari Foto Satelit (Google Earth) Desa Mangkang Wetan Di Kelurahan Mangkang Wetan mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani buruh kurang lebih sebanyak 897 jiwa, buruh bangunan 568, Jasa/Lainnya 694 dan nelayan hanya 103 jiwa. Rencana pengembangan fungsi utama BWK X yaitu sebagai kawasan industri seperti disebutkan dalam RTRW Kota Semarang. Kelurahan Mangkang Wetan melalui Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sempadan pantai, mempunyai kewenangan dalam fungsinya sebagai kawasan pantai berhutan bakau/ mangrove adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi member perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
36
Peran pemerintah dalam memberikan bantuan berupa pelatihan maupun berbagai fasilitas seperti alat tangkap, rumpon dan perahu sangat dirasakan manfaatnya. Harapan nelayan Mangkang Wetan, pemerintah dapat turun tangan mengatasi sampah dan menormalisasi sungai beringin. Pasalnya banyaknya sampah dari hulu dan pendangkalan sungai beringin menghambat aktifitas nelayan. Dengan bantuan berbagai pelatihan, bantuan rumpon, perahu dan alat tangkap, ternyata membuat para nelayan tak hanya mengandalkan tangkapan ikan dari laut, rumpon juga menghasilkan berbagai ikan dasaran seperti ikan kakap, ikan sembilan, kerapu, dan udang. Hal ini menjadikan para nelayan bisa mendapatkan hasil tanpa mengenal musim. Kelurahan Mangkang Wetan mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan Kelurahan Mangunharjo yaitu sebagai kawasan industri. Industri rumah tangga sebanyak 5 unit dan industri sedang ada 3 unit. Dibandingkan Kelurahan Mangunharjo dan Mangkang Kulon, kondisi dan ketersediaan sarana pendidikan lebih banyak dan lengkap yaitu TK 4 unit, SD 4 unit, SLTP 3 unit dan SLTA sebanyak 1 unit. Kelurahan ini mempunyai panjang garis pantai 1,16 km dengan luas kawasan mangrove 0,84
Riptek Vol. 6, No.II, Tahun 2012, Hal.: 29 - 38 Ha. Panjang mangrove tepi pantai adalah 0,12 km dengan perbandingan luas mangrove desa dan total di Kota Semarang adalah 1,01% dan persentase pantai bermangrove dan pantai tidak bermangrove 0,22%.
Gambar 13 Kondisi Penggunaan Lahan di Kelurahan Mangkang Wetan Identifikasi Kelemahan/Ancaman Desa Pada kawasan dengan kerentanan rendah yang berada di Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Terboyo Kulon, Kelurahan Trimulyo,Kelurahan Bandarharjo, Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan Panggung Lor, Kelurahan Randu Garut, Kelurahan Tambakharjo, Kelurahan Tambakrejo, Kelurahan Tawang Sari, Kelurahan Terboyo Wetan, Kelurahan Tugu Rejo, Kelurahan Jerakah, Kelurahan KarangAnyar dan Kelurahan Mangkang Kulon diperlukan indikasi kegiatan sebagai berikut: Agar adanya pembatasan atau bahkan pelarangan pengembangan kawasan ekonomistrategis (kawasan permukiman, kawasan perdagangan jasa dan industri maupun kawasan perkantoran). Kondisi saat ini, di kawasan kerentanan rendah tersebut tidak terdapat banyak kawasan ekonomi strategis,sehingga arahan ini bersifat antisipasi terhadap perkembangan dan pertumbuhan aktivitas perkotaan di kawasan tersebut. Pada kawasan dengan kerentanan sedang yang berada di Kelurahan Bandarharjo, Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan Mangunharjo,Kelurahan Tanjung Mas, Kelurahan Terboyo Kulon, dan Kelurahan Trimulyo diperlukan beberapa kegiatan yaitu : Agar melakukan tindakan antisipasi dengan mempertahankan kawasan tersebut. Hal ini mengingat saat ini sudah terdapat berbagai kawasan ekonomi strategis di kawasan kelurahan-kelurahan tersebut.
Alternatif strategi yang dilakukan dapat berupa proteksi kawasan seperti halnya peninggian kawasan, pengembangan tanggul laut maupun pengembangan barier alami di sepanjang kawasan tersebut. Rekomendasi Sesuai dengan Panduan Perencanaan Kawasan PDPT, KKP (2011) bahwa hasil dari penyusunan PDPT adalah profil desa. Profil desa yang telah disusun kemudian langkah selanjutnya adalah pengusulan calon lokasi desa pesisir tangguh melalui SK Bupati/ Walikota. Proses selanjutnya setelah penyusunan profil dan pengesahan lokasi PDPT adalah menyusun: 1) Rencana Zonasi Rinci Kawasan PDPT 2) Usulan Program/ kegiatan pembangunan 5 tahun (Rencana Pengembangan Desa Pesisir atau RPDP) 3) Rencana Investasi kegiatan tahun pertama Kesimpulan Hasil dari penyusunan profil Desa Pesisir Tangguh adalah terpilihnya 3 kelurahan yaitu Mangkang Kulon, Mangunharjo dan Mangkang Wetan. Ketiga kelurahan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga diperlukan kajian lebih lanjut sebagai upaya pengembangan kawasan pesisir. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Walikota Semarang dan Kepala Bappeda Kota Semarang yang telah memberikan dana kegiatan penelitian melalui Bidang Litbang Bappeda Kota Semarang tahun 2012. DAFTAR PUSTAKA Dahuri, Rokhmin, Jacub,R.Sapta Putra. G, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Dahuri, Rokhmin, Jacub, R. Sapta Putra. G, dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. (edisi revisi). Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Dahuri, Rokhmin. 1998. “Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Terpadu”. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 1 (2) : 50 – 65. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
37
Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang
(Ambariyanto, Denny N.S)
Dwidjowojoto, Riant, N. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Subarsono. 2010. Analisis Kebijakan Publik : Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Indiahono Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik : Berbasis Dynamic Policy Analysis. Yogjakarta : Gava Media.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Per.16/MEN/2008 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Nybakken, James W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Pranadji, Tri. 2010. “Kebijakan Penelitian Untuk Kemajuan Daerah : Daya Tarik dan Fasilitasi Birokrasi. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 8 (3). Rahmawaty. 2004. Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Kelautan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Sumatera Utara. Manajemen Hutan Universitas Sumatera Utara (Makalah). Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2009. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta : Djambatan
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Tuwo, Ambo. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Surabaya : Brilian Internasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Penanggulangan Bencana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah. Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta
Tobing, Hosiana. L., Y. Warella, Purnaweni dan Hartuti. 2008. “Studi Implementasi Pemerintah Kota Semarang dalam Upaya Melestarikan Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang”. Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik. Vol. 5 (1).
Widodo, Joko. 2011. Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Jakarta
Sinambela, Lijan Poltak dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik : Teori, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Wahab, Solichin, A. 2004. Analisis Kebijaksanaan : dari Reformasi Keimplementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bumi Aksara
38
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo.