85
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan, terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam (Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai (garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008). Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai. Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan langsung dengan daratan baru. Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir mengalami perubahan. Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia
86
sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye tahun 2001. Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara darat dan laut.
Gambar 18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010
87
Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km2), dengan titik awal delineasi pada koordinat 0°46”941 LU, 127°23”305 BT dan titik akhir pada koordinat 0°48”033 LU, 127°23”160 BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah 3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi 3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar 30-250 m. Perubahan garis pantai atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat 0°47”456 LU, 127°23”415 BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai awal (tahun 2001). Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan hanya 110,07 km2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau Ternate bertambah menjadi 110,30 km2. Secara administratif, terjadi penambahan luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08 km² (tahun 2010) (Gambar 19).
Gambar 19. Perubahan Spasial Kota Ternate Tahun 2001-2010
88
Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront Secara
administratif,
reklamasi
pantai
berada
pada
4
(empat)
kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk (perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut. Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir tersebut. Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara digitasi visual dari data citra Quickbird tahun 2010. Interpretasi citra secara visual untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur, bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya. Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/Mall. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II) yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam
89
bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan waterfront.
Gambar 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
90
Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya. Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12 ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront. Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront Luas Penggunaan Lahan (ha) Badan air 4,25 Jalan 3,90 RTH/Taman Kota 2,86 Mall/Dept.Store 2,56 Pasar Tradisional 2,01 Permukiman 2,02 Pertokoan 1,42 RTH/Jalur Hijau 1,40 Ruko 1,12 Sarana Ibadah 0,87 Terminal Angkutan Umum 0,90 Perkantoran 0,59 TPS 0,03 Jumlah 23,93
Persentase (%) 17 16 12 11 8 8 6 6 5 4 4 2 1 100
91
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010 Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi. Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business DistrictCBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2004-2010 disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010
92
Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun 2004-2010 (Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%). Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha (55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004 seluas 10.110 ha dan tahun 2010 seluas 10.220 ha. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan kawasan waterfront. Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010 Tahun Penggunaan Lahan
2004 (ha)
2010 (ha)
Luas (ha)
Lahan Tidak Terbangun
9.166
8.755
-411
Perubahan Persentase Perubahan luas/luas lahan awal (%) -4
944
1.465
521
55
10.110
10.220
110
Lahan Terbangun Jumlah Luas
Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel 25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha. Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi. Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010 Penggunaan Lahan Tahun 2004 (ha) Lahan Tidak Terbangun (non built up)
Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha) Lahan Tidak Terbangun Lahan Terbangun (non built up) (built up)
Jumlah Luas (ha)
8.721
445
9.166
Lahan Terbangun (built up)
34
910
944
Jumlah Luas (ha)
8.755
1.355
93
Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang ada di unit wilayah tersebut. Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland). Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP. Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun 2011. Keempat titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan. Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi (Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04 (lihat Gambar 22).
94
45,00 40,00 35,00
58,49
59,73
25,04
24,55
10,17
10,15
12,75
9,86
8,29
60,17
48,34
26,05
24,86
30,00
25,00
11,95
20,00 15,00
9,25
10,00
9,80
5,00 0,00 2005
2006 Stdev IP
2008
2011
Average IP
Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit. Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006, 2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun 2011. Hal ini berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu tempuh. Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3 (hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut : 1.
Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,
95
terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa), dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma). 2.
Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 24,86 - 34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir.
3.
Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.
Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011 Hierarki Wilayah Hierarki 1 Hierarki 2 Hierarki 3
Jenis Kelurahan Pesisir Bukan pesisir Pesisir Bukan pesisir Pesisir Bukan pesisir
Banyaknya Kelurahan/Desa 6 1 8 7 18 8
Indeks Perkembangan (IP)
Jumlah Jenis
> 34,66
140
24,86 - 34,66
275
< 24,86
398
Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12 kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir
96
(Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro). 2.
Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir.
3.
Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.
Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005 Hierarki Wilayah Hierarki 1 Hierarki 2 Hierarki 3
Jenis Kelurahan Pesisir Bukan pesisir Pesisir Bukan pesisir Pesisir Bukan pesisir
Banyaknya Kelurahan/Desa 3 3 7 5 22 8
Indeks Perkembangan (IP)
Jumlah Jenis
> 34,29
123
25,04 - 34,29
213
< 25,04
428
Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011), sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi 18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.
97
Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011 Hierarki Wilayah Hierarki 1 Hierarki 2 Hierarki 3
Tahun 2005 Banyaknya Banyaknya Kelurahan/Desa Kelurahan/Desa Bukan pesisir Pesisir 3 3 5 7 8 22
Tahun 2011 Banyaknya Banyaknya Kelurahan/Desa Kelurahan/Desa Bukan pesisir Pesisir 1 6 7 8 8 18
Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah hinterland dari wilayah yang lainnya.
Gambar 23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011
98
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Konsep
pengembangan
wilayah
tidak
terlepas
dari
ketersediaan
infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen. Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan perekonomian mempertahankan
wilayah,
penunjang
daya
dukung
aspek
sosial
lingkungan.
budaya
serta
Pemerintah
berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana
dapat
Daerah/Kota
(infrastruktur) untuk
kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Infrastruktur tersebut
meliputi
infrastruktur
fisik
(greey
infrastructure),
infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur hijau (green infrastructure). Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah dianalisis
sebelumnya
menunjukkan
adanya
perkembangan
ketersediaan
infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan.
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik Infrastruktur Jaringan Jalan Kondisi Eksisting Jaringan Jalan Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa
99
pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah.
Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010
Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997 hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2001. Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km
100
(2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun 2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km. Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate. 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00
60,00 40,00 20,00 0,00
1997 1998 Baik 116,20 143,11 Sedang 17,46 11,90 Rusak 6,05 6,55 Rusak Berat 10,03 6,94
2001 131,78 62,56 9,61 14,90
2005 57,19 145,98 1,17 54,69
2006 88,30 112,68 52,35 18,26
2007 83,36 101,78 80,50 9,97
2008 85,03 108,14 9,81 84,99
2009 2010 141,05 159,32 75,79 0,00 23,62 123,75 47,82 6,67
Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan
Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990 Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan). Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.
101
Jaringan jalan kolektor sekunder dan jalan lokal/lingkungan umumnya berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan pemukiman maupun dengan pusat-pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi jalan ini berupa jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah. Jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat sub bagian wilayah kota dengan panjang jalan 23,10 km dan lebar jalan 5-6 m. Jalan lokal primer menghubungkan jalan kolektor sekunder dengan lokal sekunder, dengan panjang jalan 39,8 km. Sementara untuk jalan lokal sekunder merupakan jalan lingkungan yang menghubungkan langsung dengan jalan lokal primer. Panjang jalan lokal primer adalah 41,27 km dan hanya tipe kendaraan mobil dan motor yang dapat diizinkan untuk melintas. Klasifikasi jalan perkotaan sesuai fungsinya berdasarkan Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990, yang dibandingkan dengan kondisi eksisting jaringan jalan di kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 29 dan Lampiran 3. Lebar jalur pada jalan kolektor primer dan jalan kolektor sekunder telah memenuhi standar yang ada. Jalan lokal primer dan lokal sekunder masih belum memenuhi standar, yaitu masing-masing masih terdapat ruas jalan dengan lebar jalur hanya 3 m dan 1,5 m. Tabel 29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate Panjang Lebar Jalur Standar Keterangan Jalan (km) (m) Lebar Jalur* (m) Kolektor Primer 47,499 6,0-8,0 5,0-6,0 Memenuhi Jumlah 47,499 standar Kolektor Sekunder Baik 41,651 5,0-6,0 5,0-6,5 Memenuhi Rusak 7,947 standar Jumlah 49,598 Lokal Primer Baik 21,278 Belum 3,0-7,0 4,5-5,0 Rusak 4,958 memenuhi Jumlah 26,236 standar Lokal Sekunder Baik 26,347 Belum Rusak 2,720 1,5-5,0 3,0-4,5 memenuhi Jumlah 29,067 standar * Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990 Status Jalan
Kondisi Jalan Baik
Akses Pencapain Infrastruktur Jalan per Kecamatan Akses pencapaian prasarana jalan dianalisis berdasarkan kerapatan jalan yaitu hasil perbandingan antara luas wilayah dibagi dengan panjang jalan. Semakin rapat jalan semakin mudah akses di dalam wilayah, yang berimplikasi pada; 1) cakupan wilayah pelayanan jaringan jalan dan 2) jarak tempuh. Analisis
102
kerapatan jalan di Kota Ternate menunjukkan bahwa kecamatan Ternate Tengah memiliki kerapatan jalan tinggi. Ini ditandai dengan kerapatan jalan 0,280 km (<0,5 km), yang berarti bahwa untuk menuju ke kecamatan ini mudah diakses dan waktu tempuh relatif lebih cepat. Berbeda halnya dengan kecamatan Pulau Ternate yang hanya memiliki kerapatan jalan 1,073 km (>0,5 km). Hal ini menunjukkan kerapatan jalan rendah di kecamatan Pulau Ternate dibanding dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Pulau Ternate juga memiliki permukiman yang jarang, sehingga berpengaruh pada perkembangan jaringan jalan yang ada. Analisis kerapatan jalan di Kota Ternate tahun 2010 disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010 Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara
Panjang Jalan (km) 34,685 38,293 38,656 27,504
Luas Wilayah (km2) 37,23 16,98 10,85 14,38
Kerapatan Jalan (km/km2) 1,073 0,443 0,280 0,522
Keterangan* Kerapatan jalan rendah Kerapatan jalan tinggi Kerapatan jalan tinggi Kerapatan jalan rendah
*kerapatan jalan <0,5 km/km2 = kerapatan jalan tinggi; kerapatan jalan >0,5 km/km2 = kerapatan jalan rendah
Kecamatan Ternate Tengah merupakan Bagian Wilayah Kota II (BWK II), yang diarahkan untuk pengembangan kawasan jasa dan perdagangan, pariwisata, pelabuhan, pemukiman, pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga, sehingga kerapatan jalan meningkat/tinggi yang menyebabkan akses ke pusat kota (sarana dan prasarana kota) semakin mudah. Luas wilayahnya hanya 10,85 km2, dengan panjang jalan 38,656 km yang menunjukkan tingkat kerapatan jalan tinggi yaitu 0,280 km/km2. Hal ini memberikan dampak pada tingginya mobilisasi moda transportasi di kecamatan tersebut (lihat Gambar 26).
103
Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder
Gambar 26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah Gambar 27 menampilkan prasarana jalan di Kecamatan Ternate Selatan, dengan tingkat kerapatan tinggi hanya terdapat pada beberapa kelurahan/desa yang temasuk bagian pusat kota Ternate. Luas wilayah 16,98 km2 memiliki panjang jalan 38,293 km, sehingga kerapatan jalannya tergolong tinggi yaitu 0,443 km/km2. Jalan lokal sekunder mendominasi jaringan jalan yang ada di kecamatan tersebut, sehingga akses dari permukiman ke pusat-pusat prasarana dapat dicapai dan waktu tempuh relatif lebih cepat.
104
Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder
Gambar 27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan
Infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara memiliki kerapatan jalan rendah. Kerapatan jalannya 0,522 km/km2 (>0,5 km/km2) dengan luas wilayah 14,38 km2 dan panjang jalan yang berada di kecamatan ini adalah 27,504 km. Kerapatan jalan dominan berada di sekitar pusat kota (menuju Kecamatan Ternate Tengah). Meskipun demikian, akses dari permukiman ke pusat-pusat sarana dan prasarana kota cenderung mudah, yang dihubungkan dengan jalan lokal primer dan lokal sekunder (jalan lingkungan) menuju jalan kolektor sekunder maupun jalan kolektor primer. Gambar 28 memperlihatkan ketersediaan infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara.
105
Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder
Gambar 28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara
Sementara untuk infrastruktur jalan di Kecamatan Pulau Ternate yang ditampilkan dalam Gambar 29, menunjukkan bahwa hanya terdapat jalan kolektor primer, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Umumnya kawasan permukiman memadati sepanjang jalan kolektor primer. Luas wilayahnya 37,23 km2 cenderung lebih luas dibandingkan dengan 3 (tiga) kecamatan lainnya yang merata dengan panjang jalan 34,685 km, sehingga memiliki kerapatan jalan rendah yaitu 1,073 km/km2 (>0,5 km/km2). Akses menuju pusat sarana dan prasarana kota tergolong mudah, karena dihubungkan dengan jalan kolektor
106
primer yang mengelilingi pulau Ternate (jalur trans Ternate), namun waktu tempuh yang dibutuhkan relatif lebih lama.
Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder
Gambar 29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Jaringan Jalan Infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang akan membentuk struktur tata ruang kota (Sinulingga, 1999), dimana hampir semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung memerlukan jaringan jalan. Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan sosial budaya masyarakat,
107
infrastruktur jalan yang baik akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam pasar karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan. Hal ini disebabkan karena adanya aliran orang, barang, dan jasa dari satu tempat ke tempat lainnya. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan mempengaruhi kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi terhadap pemakai jalan. Faktor topografis wilayah mempengaruhi sebaran prasarana jalan yang ada di kota Ternate. Jaringan jalan yang mengelilingi pulau yang dihubungkan dengan jalan kolektor primer, dan terkonsentrasi di wilayah pesisir sampai daerah dataran tinggi. Namun bagian yang terluas atau memiliki prasarana jalan tinggi terpusat pada wilayah pesisir. Hal ini berkaitan dengan permukiman penduduk yang tersebar merata di wilayah pesisir. Sementara wilayah dataran tinggi memiliki prasarana jalan sedang karena permukiman jarang/kurang penduduknya. Kerapatan jalan tinggi berada pada wilayah kecamatan Ternate Tengah, sebagian kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara, yang merupakan pusat kota/pusat kegiatan. Perkembangan jaringan jalan yang terpusat di 3 (tiga) kecamatan tersebut menyebabkan wilayah-wilayah ini lebih cepat berkembang. Adanya pergerakan/mobilisasi aliran orang maupun barang yang mudah dan waktu tempuh yang singkat menyebabkan timbulnya aglomerasi pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tersebut.
Infrastruktur Air Bersih Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Air Bersih Air bersih yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum bagi masyarakat kota saat ini masih bersumber pada air permukaan dan air tanah melalui sumur dalam maupun sumur dangkal yang terdapat di wilayah Kota Ternate. Sumber air baku yang meliputi air permukaan berasal dari danau Laguna di kecamatan Ternate Selatan, sedangkan air tanah berasal dari mata air TegeTege yang berada di kecamatan Ternate Tengah, mata air Akega’ale, mata air Santosa di kecamatan Ternate Utara, dan mata air Akerica di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 30).
108
Instalasi Pengolahan Air Minum pertama yang dibangun guna memenuhi kebutuhan pelabuhan Ternate pada tahun 1976 adalah dengan membuat sumur gali dan menara air (tower reservoir) di jalan Jenderal A.Yani. Sistem tersebut kemudian dikembangkan pada ground reservoir yang bersumber dari mata air Santosa dan mulai melayani 200 sambungan pelanggan di pusat kota Ternate. Dengan bantuan hibah dalam program Six City’s Water Supply pada tahun 1980, kemudian dibangun 6 unit sumur berkapasitas 60 liter/detik dengan sistem pengendalian terpusat di Operation Building yang berada di Kelurahan Kalumpang, Ground Reservoir dengan kapasitas 1.080 m3 di Skep (Kelurahan Salahudin) dan jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang ±82 km yang tersebar di pusat kota. Pada tahun 1991 hingga saat ini, bangunan penyadap air semakin bertambah. Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah bagian tengah dan utara kota, maka dibangun Instalasi Akega’ale dengan kapasitas 60 lt/det yaitu 6 unit sumur dangkal, reservoir di Facei dengan kapasitas 500 m3 serta sistem booster di Skep dan reservoir di Tabahawa 300 m3 dan perluas jaringan pipa distribusi sepanjang ±52 km’. Untuk melayani wilayah bagian selatan kota, dibangun instalasi Ubo-Ubo sebesar 40 lt/det dengan 2 unit sumur bor, reservoir di kelurahan Ubo-Ubo yang berkapasitas 500 m3 serta reservoir di Jan dengan kapasitas 100 m3 dalam upaya melayani pada daerah ketinggian. Jaringan pipa yang tertanam di tiap-tiap kota umumnya menggunakan jenis pipa Poly Vinyl Cloride (PVC) dan Galvanis Iron Pipe (GIP) dengan berbagai ukuran, seperti yang disajikan dalam Tabel 31. Tabel 31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi Jaringan Pipa (mm) Dn-315 Dn-250 Dn-200 Dn-160 Dn-110 Dn-90 Dn-75 Dn-63 Dn-50 Jumlah
Transmisi (m) 1.700 1.481 3.505 975 2.066 9.664
Sumber: PDAM Kota Ternate (2011)
Distribusi (m) 1.276 1.382 6.391 14.535 27.106 28.059 39.445 51.485 13.297 182.968
109
Sebaran sumber air baku, reservoir dan jaringan pipa transmisi dan distribusi disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate
Wilayah cakupan pelayanan air bersih yang bersumber dari PDAM melingkupi 4 (empat) kecamatan di Kota Ternate, yaitu kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate. Data tahun 2008 sampai tahun 2011 yang bersumber dari PDAM Kota Ternate, menampilkan jumlah penduduk yang terlayani pada 4 (empat) kecamatan tersebut semakin meningkat. Pada tahun 2008, misalnya pada Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM yaitu 33.738 jiwa meningkat menjadi 41.916 jiwa di tahun 2011. Di kecamatan Pulau Ternate, peningkatan jumlah penduduk yang terlayani tidak terlalu singnifikan, yakni penambahan jumlah penduduk hanya berkisar 200 jiwa atau naik dari 2.025 jiwa (tahun 2008) menjadi 2.256 jiwa (tahun 2011) (Gambar 31).
110
45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0
PULAU TERNATE
TERNATE SELATAN
TERNATE TENGAH
TERNATE UTARA
2008
2.052
33.738
29.688
28.344
2009
2.058
35.820
30.864
27.756
2010
2.082
37.488
32.010
32.112
2011
2.256
41.916
36.228
32.550
Gambar 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM
Cakupan pelayanan air bersih tahun 2010 disajikan pada Gambar 32. Kategori jumlah penduduk yang terlayani <1.000 jiwa terdapat di 3 kelurahan di kecamatan Pulau Ternate, 6 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, 1 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, dan 3 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya, cakupan pelayanan dengan kategori >5.000 jiwa hanya terdapat di 2 kelurahan yang masing-masing berada di kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan.
Gambar 32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010
111
Komparasi Ketersediaan Air Bersih dengan Standar Kebutuhan Air Minum Berdasarkan Pedoman No.534/KPTS/M/2001 Standar kebutuhan air bersih untuk wilayah perkotaan adalah 60-220 liter/orang/hari dengan cakupan pelayanan 55%-75% (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001). Jika kebutuhan air bersih kota Ternate diasumsikan 100 liter/orang/hari, maka kebutuhan air bersih dapat dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah kebutuhan dasar penduduk untuk klasifikasi kota sedang (100 liter/orang/hari). Dengan perhitungan ini, maka diketahui kebutuhan air bersih pada tahun 2011 adalah sebesar 18.331.300 lt/hari (Tabel 33). Sementara itu, ketersediaan air bersih hanya 3.965.760 lt/hari, sehingga masih kekurangan 14.365.540 lt/hari. Data tersebut mengindikasikan bahwa masih dibutuhkan peningkatan kapasitas produksi sebesar 78% di tahun 2011. Perhatikan Tabel 32, jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011 sebanyak 183.313 jiwa, dimana jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM di Kota Ternate sebanyak 112.950 jiwa (62%) dan penduduk yang tidak terlayani sebanyak 70.363 jiwa (38%). Kecamatan Ternate Utara memiliki jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM yang terbanyak yaitu sekitar 68% (32.550 jiwa) dari jumlah penduduk yang bermukim di kecamatan tersebut. Kecamatan Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Pulau Ternate masing-masing memiliki jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM sebanyak 66% (36.228 jiwa), 64% (41.916 jiwa) dan 15% (2.256 jiwa). Merujuk pada jumlah penduduk dan jumlah penduduk terlayani air bersih, maka jumlah penduduk yang tidak terlayani air bersih di empat kecamatan tersebut berkisar 32-85%. Angka tersebut didasarkan pada hasil perhitungan persentase jumlah penduduk tidak terlayani dibagi dengan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang belum terlayani air bersih dari PDAM cukup tinggi. Hal demikian dipengaruhi oleh adanya beberapa kelurahan/desa di kecamatan Pulau Ternate yang belum mendapat akses air bersih dari PDAM.
112
Tabel 32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011 Pulau Ternate
Kecamatan Ternate Ternate Selatan Tengah
Ternate Utara
15.024
65.888
54.677
47.724
183.313
1.502.400
6.588.800
5.467.700
4.772.400
18.331.300
(Jiwa)
2.256
41.916
36.228
32.550
112.950
(%) (lt/hari) (%)
15 79.210 5
64 1.471.702 22
66 1.271.993 23
68 1.142.855 24
62 3.965.760 22
(jiwa)
12.768
23.972
18.449
15.174
70.363
(%)
85
36
34
32
38
(lt/hari)
1.423.190
5.117.098
4.195.707
3.629.545
14.365.540
95
78
77
76
78
Infrastruktur Air Bersih PDAM Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan Air Bersih* (lt/hari) Jumlah Penduduk Terlayani PDAM Ketersediaan Air Bersih PDAM Jumlah Penduduk Tidak Terlayani PDAM Kekurangan Air Bersih PDAM
(%) *Standar 100 lt/org/hari
Kota Ternate
Secara fisik, air dari produksi PDAM Kota Ternate telah memenuhi syarat yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Namun dalam proses distribusinya bisa terjadi kontaminasi akibat kebocoran pipa ataupun kontinuitas pengaliran pada beberapa lokasi yang belum mencapai 24jam/hari. Untuk itu diperlukan sisa chlor pada air di jaringan pipa distribusi terjauh minimal 0,01 ppm. Kondisi demikian belum terpenuhi di PDAM kota Ternate, karena dalam 5 tahun terakhir proses desinfeksi tidak lagi dilakukan. Dari data kapasitas terpasang dan produksi air PDAM Kota Ternate pada tahun 2011 telah terlayani 62% pelanggan (18.916 sambungan). Namun sebagian pelanggan tidak bisa menerima air secara penuh 1x24 jam sehingga timbul kesan bahwa syarat pelayanan air minum secara kuantitas belum memadai. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat kehilangan air PDAM di tahun 2011 sebesar 40,97% atau 5.930.417 m3 dari jumlah air yang terdistribusi yaitu 14.475.024 m3. Dampak kehilangan air akan mempengaruhi biaya yang lebih tinggi (nilai jual) yang ditanggung konsumen dari pada harga produksi (Soma, 2011a). Sebagian besar pelanggan PDAM Kota Ternate telah dapat dilayani secara kontinyu 24 jam/hari terutama yang bermukim di daerah dataran rendah hingga ke pesisir pantai. Sementara beberapa lokasi yang umumnya terletak di dataran tinggi/pegunungan masih dilakukan secara bergiliran 2-3 hari sekali untuk
113
mendapatkan distribusi air minum PDAM. Hal ini mengindikasikan belum terpenuhinya persyaratan kontinuitas secara menyeluruh dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Air Bersih Masih terdapat beberapa kelurahan/desa pada Kecamatan Ternate Tengah, dan Kecamatan Pulau Ternate yang belum terlayani air bersih PDAM. Di Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2 (dua) kelurahan yang tidak terlayani. Sementara untuk Kecamatan Pulau Ternate masih terdapat 10 (sepuluh) kelurahan yang belum tersedia air bersih dari PDAM. Hal ini disebabkan karena kondisi topografis, dimana wilayah/kelurahan tersebut berada pada ketinggian (dataran tinggi) dan jauh dari sumber air atau reservoir yang ada sebelumnya. Untuk mendistribusikan air bersih ke wilayah tersebut tentunya memerlukan biaya operasional yang tinggi, karena pada umumnya sumber air baku berada pada wilayah pesisir/dataran rendah. Wilayah yang tidak terlayani air bersih dari PDAM, masih memanfaatkan sumur gali, penampungan air hujan dan mata air sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari. Kapasitas produksi air (supply) masih jauh dari rata-rata kebutuhan air (demand) yang harus disediakan oleh PDAM. Hal ini dikaitkan juga dengan tingkat kehilangan air yang cukup tinggi yaitu sekitar 40% di tahun 2011, sehingga menimbulkan biaya (nilai jual) yang tinggi terhadap konsumen. Wilayah cakupan pendistribusian air bersih hanya menjangkau bagian pusat kota yang berada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelayanan PDAM terhadap kebutuhan masyarakat di Kota Ternate masih belum mencukupi standar pelayanan. Tingkat akses prasarana air yang rendah akan mengakibatkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat.
Infrastruktur Listrik Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Listrik Infrastruktur listrik memiliki 3 (tiga) komponen dasar yaitu pembangkit, penyaluran (transmisi), dan distribusi (gardu). Kota Ternate memperoleh pasokan listrik dari PT PLN (Persero) Wilayah Maluku dan Maluku Utara Cabang Ternate.
114
Pembangkit listrik yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di Kota Ternate yaitu dengan memanfaatkan tenaga diesel. Panjang jaringan yang ada untuk tegangan rendah (SUTR) 171,83 KMS dan tegangan menengah (SUTM) 94,08 KMS, dengan jumlah gardu sebanyak 133 dan kapasitas terpasang 35.870 VA (lihat Tabel 33). Sampai tahun 2010, wilayah pelayanan (service area) kelistrikan sudah menjangkau seluruh kelurahan di Kecamatan Ternate Utara, Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Pulau Ternate, namun demikian pada waktu tertentu sering mengalami pemadaman bergilir dalam kurun waktu rata-rata 1 jam. Tabel 33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang Uraian Satuan Jumlah Pelanggan Sambungan SKTM KMS SUTM KMS SUTR KMS Daya Terpasang VA Gardu Buah Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2010)
Jumlah 27.310 0,70 94,08 171,83 35.870 133
Pada tahun 2010 jumlah mesin PT.PLN (Persero) yang digunakan untuk membangkitkan listrik di Kota Ternate sebanyak 6 buah. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan 7 buah mesin, dikarenakan kerusakan mesin yang masih dalam proses perbaikan. Dengan 6 buah mesin tersebut produksi listrik yang dihasilkan sebesar 102.233 MWH dengan daya tersambung sebesar 40.467 MVA (lihat Tabel 34). Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan kapasitas produksi listrik, meskipun dalam keterbatasan jumlah mesin yang ada. Pada Tabel 34 diuraikan tren perkembangan jumlah mesin dan kapasitas mesin, selama tahun 2006-2011. Jumlah mesin tetap dari tahun 2006 hingga tahun 2011, yaitu 7 unit, meskipun pada tahun 2008 dan 2010 berkurang yaitu hanya 6 unit. Dengan jumlah mesin yang tetap, kapasitas mesin dalam menghasilkan energi listrik terus mengalami peningkatan. Misalnya untuk produksi listrik yang dihasilkan sebesar 65.600 MWH di tahun 2006 meningkat hingga 115.620 MWH pada tahun 2011. Sama halnya dengan daya sambung listrik, di tahun 2006 sebesar 31.239 KVA meningkat menjadi 41.042 KVA di tahun 2011. Daya mampu antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan. Hal ini
115
mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dalam waktu rata-rata 4 jam/hari, sehingga menggangu aktivitas masyarakat. Tabel 34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate Keadaan Mesin 2006 Jumlah Mesin (Unit) 7 Kapasitas Terpasang (KW) 21.122 Daya Mampu (KW) 13.300 Beban Puncak (KW) 12.811 Produksi (MWH) 65.600 Daya Sambung (KVA) 31.239 Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2011)
2007 7 21.122 12.800 12.811 76.553 34.814
2008 6 24.402 11.300 12.270 82.904 38.468
2009 7 26.842 14.500 15.000 87.015 39.215
2010 6 25.802 18.900 16.815 102.233 40.467
2011 7 27.064 26.200 19.000 115.620 41.042
Cakupan pelayanan listrik pada masing-masing kecamatan ikut mengalami peningkatan. Variabel jumlah penduduk sebagaimana disajikan pada Gambar 33 menunjukkan bahwa kapasitas pelayanan listrik dari PT. PLN Cabang Ternate cenderung semakin meningkat. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan terbanyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Sementara untuk jumlah pelanggan listrik yang terkecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh faktor jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk di kecamatan Ternate Selatan lebih banyak sedangkan penduduk yang jumlahnya lebih kecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. 14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0
2005
PULAU TERNATE 2.263
TERNATE SELATAN 6.968
TERNATE TENGAH 7.434
TERNATE UTARA 5.672
2006
2.279
6.968
7.434
2008
3.093
11.195
10.632
5.678 8.711
2011
3.250
12.884
12.292
10.186
Gambar 33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN Tahun 2005-2011
116
Gambar 34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN Tahun 2011 Cakupan pelayanan listrik tahun 2011 (Gambar 34) untuk kategori jumlah pelanggan <100 sambungan/pelanggan terdapat 1 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah. Kategori jumlah pelanggan 700-1.000 sambungan/pelanggan terdapat pada 3 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 4 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan dan 7 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya untuk cakupan pelayanan dengan kategori >1.000 pelanggan terdapat 6 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 3 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, dan 1 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaran cakupan pelayanan listrik di kota Ternate, terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang cenderung berada di pusat kota (kecamatan Ternate Tengah) atau dekat dengan pusat kota.
Komparasi Ketersediaan Listrik Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004 Jaringan distribusi dan jumlah daya terpasang/daya sambung listrik menjadi hal utama dalam pemenuhan energi listrik. Daya sambung listrik yang diproduksi oleh pusat pembangkit tenaga listrik disalurkan ke gardu induk melalui jaringan transmisi selanjutnya diteruskan ke gardu-gardu distribusi kemudian
117
disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, mengsyaratkan bahwa setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlahkebutuhan rumah tangga. Evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana listrik dianalisis berdasarkan jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah pelayanan. Besaran daya dalam wilayah layanan dipengaruhi jumlah dan kepadatan rumah tangga (KK) wilayah tersebut. Pasokan daya yang dibutuhkan disebar melalui jaringan transmisi (gardu listrik). Jika distandarkan daya listrik minimal yang harus dilayani 450 VA per jiwa, maka dapat dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011 sebanyak 183.313 jiwa sehingga didapat jumlah daya listrik yang dibutuhkan adalah 82.491.300 VA atau 82.491 KVA. Dibadingkan dengan daya sambung 41.042 KVA pada tahun 2011, maka pasokan listrik rumah tangga secara keseluruhan belum mampu melayani standar kebutuhan yang ada dan masih kekurangan pasokan daya listrik sekitar 50%. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011 Kecamatan
Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate
Jumlah Pelanggan
Daya Tersambung
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah Keluarga (KK)
(PLG)
(%)
(KVA)
(%)
15.024
3.947
3.250
82
3.455
51
65.888
15.795
12.884
82
13.695
54.677
11.898
11.892
100
47.724
10.882
10.186
183.313
42.522
38.212
Standar Kebutuhan Daya Listrik* (KVA)
Kekurangan Daya Listrik (KVA)
(%)
6.761
3.306
49
46
29.650
15.955
54
13.066
53
24.605
11.539
47
94
10.827
50
21.476
10.649
50
90
41.042
50
82.491
41.449
50
*Standar minimal daya listrik 450 VA per jiwa
Melihat jumlah pelanggan listrik dengan jumlah keluarga di Kota Ternate yang tersaji pada Tabel 36, maka jumlah keluarga yang telah mendapat akses listrik sekitar 90%. Pada masing-masing kecamatan, persentase jumlah pelanggan yang telah teraliri listrik berkisar 82-100%. Persentase jumlah pelanggan tersebut didasarkan pada perhitungan jumlah pelanggan dibagi dengan jumlah keluarga
118
yang berada pada masing-masing kecamatan. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap listrik mudah dan telah menjangkau empat kecamatan yang ada di Kota Ternate. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Listrik Ketersediaan infrastruktur listrik telah menjangkau ke seluruh kecamatan yang berada di kota Ternate. Cakupan pelayanan listrik di tiap kecamatan ikut mengalami peningkatan dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2011. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang terbanyak, sedangkan kecamatan Pulau Ternate memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan tersebut.
Jika
dibandingkan
dengan
standar
SNI
03-1733-2004
yang
mengsyaratkan setiap unit rumah tangga harus dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa, maka pasokan daya listrik rumah tangga pada tahun 2011 belum mampu melayani standar kebutuhan masyarakat. Daya mampu infrastruktur listrik antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan, disebabkan oleh rusaknya mesin pembangkit listrik. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dengan waktu rata-rata 4 jam/hari. Pemadaman listrik secara bergilir berdampak pada terganggunya aktivitas masyarakat dan menambah biaya (cost) untuk produksi di berbagai sektor yang berujung pada kerugian perekonomian daerah.
Infrastruktur Sistem Drainase Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Sistem Drainase Sistem drainase kota juga disebut sistem tulang daun, yakni terdiri dari saluran utama/primer (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air hujan ke laut, saluran pengumpul (sekunder) dan saluran lokal (tersier). Saluran drainase primer di Kota Ternate berupa sungai (kalimati) membentuk sistem drainase makro, sedangkan sistem drainase mikro berupa saluran drainase sekunder dan tersier terbentang mengikuti jaringan jalan utama maupun jalan lingkungan.
119
Kondisi eksisting saluran drainase utama kota Ternate, baik alamiah maupun buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih tinggi (>500 mdpl) dari pada elevasi dasar muara/pantai (< 50 mdpl). Hal ini berkaitan dengan kondisi topografis yang bervariatif, karena berupa pulau gunung api yang mengerucut ke puncak (kawah gunung api). Kondisi topografis yang demikian memudahkan dalam mengalirkan air permukaan menuju ke laut tanpa memerlukan teknologi, namun kelemahannya terletak pada tingkat sedimentasi yang sangat tinggi akibat erosi, apalagi jenis tanahnya ialah Regosol yang sangat peka terhadap pergerakan air. Secara makro pola penggunaan lahan perkotaan mempengaruhi sistem drainase. Pola penggunaan lahan di kota Ternate, diantaranya lahan permukiman (1.270,23 ha), jasa dan perdagangan (69,26 ha), hutan lindung (2.608,26 ha), perkebunan (5.125,68 ha), dan pertanian lahan kering (208,18 ha). Penggunaan lahan permukiman terkonsentrasi di kawasan pusat kota, akibat adanya daya tarik ketersediaan infrastruktur yang terpusat di kawasan tersebut. Keterbatasan lahan dalam kota
yang disertai tingginya
harga
lahan serta kecenderungan
berkembangnya permukiman yang mendekat ke infrastruktur kota memicu pembangunan perumahan pada areal bantaran sungai serta lahan pertanian dan perkebunan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dengan tingkat kemiringan lereng 15-30%. Kondisi ini akan berdampak pada cepatnya atau bertambah besar aliran permukaan dan berkurangnya cadangan air tanah, karena semakin berkurangnya daerah resapan air. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, akan berdampak pada kebutuhan lahan permukiman. Kondisi demikian tentunya mempengaruhi konversi lahan dari kawasan perkebunan maupun pertanian menjadi kawasan permukiman. Konversi lahan di kota Ternate tidak merata di setiap kecamatan, disebabkan karena hanya 3 (tiga) kecamatan yang berada di pusat kota atau dekat pusat kota, cenderung memiliki daya tarik untuk bermukim di lokasi tersebut. Khususnya untuk lahan permukiman di sekitar pesisir pantai ikut terkonversi menjadi lahan jasa dan perdagangan, sedangkan wilayah belakang/puncak gunung (hinterland) terkonversi menjadi kawasan permukiman.
120
Konversi lahan perkebunan dan pertanian menjadi lahan terbangun seperti permukiman ataupun sarana dan prasarana tentunya akan berpengaruh pada kondisi tata air tanah dan fisiografis lahan. Kemampuan tanah dalam menyerap air akan semakin berkurang seiring dengan terganggunya tata air tanah yang berdampak pada besarnya aliran permukaan serta perubahan permukaan tanah. Tanpa adanya upaya pematangan lahan yang baik, maka akan berakibat terjadinya longsor dan erosi karena sangat tidak menguntungkan dengan jenis tanah Regosol dan kemiringan lereng rata-rata >8-15% yang mendominasi bentang alam kota Ternate. Material erosi dan longsor yang terbawa serta kedalam saluran air dan sungai menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran. Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Tengah menunjukkan bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut sebagai saluran primer dengan 107 bangunan gorong-gorong (Culvert), 18.131 m saluran tersier, 30.276 m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor yang berada di kawasan permukiman seluas 340,10 ha atau 24,79% dari jumlah luas wilayahnya 1.371,88 ha. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah Kelurahan Makassar Timur Makassar Barat Santiong Gamalama Kalumpang Moya Marikrubu Muhajirin Tanah Raja Stadion Kampung Pisang Maliaro Takoma Kota Baru Jumlah
Luas Wilayah (ha)
Luas Lahan Permukiman (ha)
18,74 29,03 24,36 40,56 25,73 453,20 432,79 14,38 8,42 16,54 14,73 249,66 20,46 23,28 1.371,88
18,68 22,75 16,47 38,99 24,38 15,91 51,12 14,03 8,42 14,78 14,13 57,55 20,39 22,50 340,10
Panjang Drainase Sekunder (m) 1432 1150 1440 3578 2383 3596 5932 1050 792 1405 1198 2747 1886 1687 30.276
Tersier (m) 802 2250 1906 1394 1945 2739 475 278 444 1096 1004 1696 1042 1060 18.131
Jumlah Bangunan Drainase Gorong-Gorong
Sungai
12 9 8 19 13 19 7 3 3 2 9 3 107
1 1 2 4 1 4 13
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Tengah seperti yang terlihat dalam Gambar 35, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi
121
tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>500 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >20%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 4 kelurahan yaitu kelurahan Marikurubu, kelurahan Maliaro, kelurahan Soa dan kelurahan Makassar Barat.
Gambar 35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah
Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Tengah membentuk 3 (tiga) pola, yaitu pola pararel, pola siku dan pola jaring-jaring. Saluran-saluran drainase yang membentuk pola pararel dibuat sejajar dengan saluran sekunder untuk dialiri ke pembuangan saluran primer yakni sungai hingga menuju ke laut. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung sebelum masuk ke saluran sekunder. Kecamatan Ternate Selatan memiliki saluran drainase yang terdiri dari 39 sungai sebagai saluran primer, 142 bangunan gorong-gorong, 19.070 m saluran tersier, dan 31.801 m saluran sekunder yang berada di kawasan permukiman (412,91 ha), dimana saluran sekunder sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor (Tabel 37). Kecamatan ini memiliki saluran primer (sungai) terbanyak dibanding kecamatan lainnya, sehingga aliran air dari hulu
122
sebagian besar masuk ke sungai-sungai yang melintasi kecamatan Ternate Selatan. Namun demikian dimensi sungai yang berada di bagian hilir cenderung semakin menyempit yang diakibatkan oleh permukiman warga yang berada di bantaran sungai. Selain itu, tumpukan sampah dan sedimentasi masih terlihat di hilir sungai hingga sampai ke tepi pantai. Tabel 37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan Kelurahan
Luas Wilayah (ha)
Luas Lahan Permukiman (ha)
Toboko Tanah Tinggi Jati Jati Perumnas Tobona Mangga Dua Ubu-Ubo Bastiong Kalumata Sasa Gambesi Fitu Jumlah
12,06 44,56 58,11 25,31 302,89 58,03 22,23 60,38 333,63 388,83 311,29 331,15 1.948,47
10,42 33,10 41,13 16,70 27,69 51,87 21,59 57,91 73,54 30,91 26,63 21,42 412,91
Panjang Drainase Sekunder (m) 956 3241 3988 1922 1872 1628 1864 2270 2771 938 3814 6537 31.801
Tersier (m) 1213 1713 1750 1849 996 2487 1082 2803 745 1974 2280 178 19.070
Jumlah Bangunan Drainase GorongSungai Gorong 2 6 3 6 10 2 10 2 6 3 11 1 28 3 30 5 12 5 9 7 12 8 142 39
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Selatan, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kalumata, kelurahan Tobona, dan kelurahan Ngade (Gambar 36).
123
Gambar 36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan
Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Selatan membentuk 4 (empat) pola, yaitu pola pararel, pola siku, pola jaring-jaring dan pola grid iron. Pola pararel pada jaringan drainase di lokasi ini berfungsi sebagai saluran pengumpul untuk selanjutnya diteruskan ke saluran primer. Pola siku cocok untuk wilayah dengan topografi dataran tinggi, dimana aliran air dapat dialiri dari saluran sekunder yang dibuat lebih tinggi untuk mengaliri dengan baik langsung ke sungai/laut. Pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung/pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder. Beberapa saluran drainase sekunder yang membentuk pola grid iron dibangun sejajar satu sama lain sedangkan saluran yang lainnya dibuat sebagai saluran pengumpul. Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Utara menunjukkan bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 101 bangunan goronggorong, 24.479 m saluran terseier, 18.703 m saluran sekunder yang berada di permukiman 360,79 ha atau 24,33% dari jumlah luas wilayahnya 1.482,42 ha (lihat Tabel 38).
124
Tabel 38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara Kelurahan Tabam Tafure Tubo Akehuda Dufa-Dufa Sangaji Toboleu Salero Kasturian Soasio Soa Sango Jumlah
Luas Wilayah (ha)
Luas Lahan Permukiman (ha)
234,89 71,06 202,01 52,79 270,31 130,92 118,46 20,18 59,67 17,90 46,76 257,47 1.482,42
39,76 61,42 13,87 34,82 42,72 32,73 27,91 14,42 20,53 14,67 26,68 31,26 360,79
Panjang Drainase Sekunder (m) 1602 1959 2663 2374 1825 3700 2725 921 3877 681 2122 30 24.479
Tersier (m) 142 106 454 554 1275 6923 2271 1741 1841 621 2248 527 18.703
Jumlah Bangunan Drainase GorongSungai Gorong 5 3 1 5 1 9 1 11 2 20 2 12 1 12 1 11 1 6 1 6 2 1 101 13
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Sebagian area permukiman di kecamatan Ternate Utara masih belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kasturian, kelurahan Tubo, dan kelurahan Sangaji (Gambar 37).
Gambar 37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara
125
Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Utara membentuk 4 (empat) pola, yaitu pola grid iron, pola radial, pola siku, dan pola jaring-jaring. Jaringan drainase dengan pola grid iron yakni seluruh drainase tersier mengarah pada drainase sekunder yang berada memanjang mengikuti jaringan jalan kemudian masuk ke saluran primer (sungai) hingga menuju ke laut. Pola radial dibangun agar supaya air berpencar ke segala arah sehingga air dibuang ke sebelah utara yang merupakan lahan perkebunan, ke sebelah timur menuju drainase sekunder sedangkan ke selatan menuju sungai. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder. Kecamatan Pulau Ternate memiliki 13 kelurahan, yang terdata memiliki saluran drainase hanya 3 kelurahan yaitu kelurahan Kastela, Foramadiahi dan Jambula. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate menunjukkan bahwa terdapat 9 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 17 bangunan gorong-gorong (Culvert), 2.247 m saluran tersier, 2.918 m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor primer (jalan trans Ternate). Jumlah luas wilayah kecamatan ini adalah 4.770,68 ha dengan luas lahan permukiman 172,56 ha atau 3,62% dari luas jumlahnya. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate Kelurahan
Luas Wilayah (ha)
Luas Lahan Permukiman (ha)
Kastela Foramadiahi Jambula Jumlah
144,48 491,59 115,16 751,23
11,07 5,63 33,01 49,71
Panjang Drainase Sekunder (m) 955 825 1138 2.918
Tersier (m) 415 958 874 2.247
Jumlah Bangunan Drainase GorongSungai Gorong 9 5 6 2 2 2 17 9
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Kecamatan ini memiliki luas permukiman terkecil dibanding dengan kecamatan lain, sehingga ikut berpengaruh pada jaringan drainase yang tersedia. Jaringan drainase yang berada di kecamatan Pulau Ternate, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Afetaduma, kelurahan Rua, dan kelurahan Dorpedu (Gambar 38).
126
Gambar 38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate Pola jaringan drainase yang terdapat di kecamatan ini ialah bentuk pola siku, dan pola grid iron. Pola tersebut dapat terlihat dari adanya saluran drainase yang dibuat sejajar yang berfungsi sebagai pencegah pembebanan aliran sebelum masuk pada saluran drainase penampung sekaligus pengantar menuju saluran drainase primer/alam (sungai), bahkan drainase pencegah pembebanan aliran bisa juga langsung menuju sungai. Kondisi eksisting saluran riol di kota Ternate terdapat pada jalan utama kota (jalan kolektor primer) atau tepatnya berada di jalan utama (kelurahan Takoma) yang saat ini belum mampu bekerja secara maksimal. Saluran riol membentang sepanjang 200 m, dimensi lebar 2 m dan tinggi 2 m dengan kapasitas tampung 800 m3 harusnya dapat menampung debit 5,25 m3/det. Namun hal tersebut belum dapat terpenuhi, karena disebabkan oleh tingginya outlet riol yang bermuara pada sungai Takoma berada sama dengan tinggi air sungai pada saat musim hujan, disamping itu desain outlet riol yang dibangun tanpa memperhitungkan aliran air sungai sehingga jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, kerap menimbulkan back water pada saluran riol.
127
Limpasan air (run-off) dari wilayah belakang atau dari wilayah atas (dataran tinggi) yang membebani saluran drainase di pusat kota (kelurahan Gamalama dan sekitarnya) yang dapat menimbulkan genangan atau banjir lokal, dapat diatasi dengan adanya riol di kelurahan Takoma. Apabila kawasan permukiman berkembang di kawasan ini atau daerah atasnya, maka diketahui koefisien pengaliran akan meningkat maka dapat dievakuasi masuk kedalam riol tersebut. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa air limpasan dari daerah atas yang kerap menimbulkan masalah banjir bagi kawasan pusat kota dapat diatasi dengan saluran riol tersebut (Dinas PU Kota Ternate, 2008). Identifikasi Daerah Genangan di Kota Ternate Sistem drainase di kota Ternate masih terdapat saluran-saluran yang tidak berfungsi dengan baik sehingga menimbulkan genangan, misalnya di kelurahan Gamalama, kelurahan Mangga Dua Utara, kelurahan Dufa-Dufa, kelurahan Tafure dan Kelurahan Tubo (Lihat Tabel 40 dan Gambar 39). Hal ini disebabkan oleh rusaknya saluran drainase akibat dari sedimentasi dan tumpukan sampah pada saluran yang menyumbat aliran air. Tabel 40. Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate Lokasi Genangan Banjir Jl. Poros Tafure
Luas (ha) 0,4
Data Kuantitatif Genangan Tinggi Waktu Konsentrasi (cm) (menit) 15 15
Area yang Tergenang Jalan Jalan dan rumah penduduk
Kel. Tubo RT 03-08
1,7
20
90
Jl. Poros Mangga Dua (Depan SD Islamiyah)
0,2
10
12
Jalan
Kel. Gamalama (Depan RS. Dharma Ibu)
0,3
15
15
Jalan
Kel. Dufa-Dufa Lingkungan Toloko
0,7
20
30
Jalan dan rumah penduduk
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Faktor penyebab terjadinya banjir dan genangan di kota Ternate adalah sebagai berikut : a. Limpasan air dari sungai menggenangi dalam kota. b. Limpasan air akibat kecepatan aliran air dalam saluran yang tinggi terutama drainase yang berada pada jalan yang memiliki kemiringan.
128
c. Menurunnya kemampuan saluran/drainase akibat sedimentasi/endapan lumpur dan penyumbatan akibat sampah. d. Tidak cukupnya kapasitas saluran drainase kota. e. Dimensi saluran yang mengecil akibat penyerobotan lahan permukiman atau bangunan ataupun adanya bangunan di atas saluran. f. Kemungkinan back water di saluran drainase atau di muara-muara sungai karena air pasang atau karena sampah dan sedimentasi.
Gambar 39. Jaringan Drainase dan Daerah Genangan di Kota Ternate Kesimpulan Cakupan Pelayanan Sistem Drainase Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting dalam menangani kelebihan air permukaan sebelum masuk ke alur-alur besar atau sungai. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada. Kondisi sistem drainase yang ada di kota Ternate memberikan gambaran bahwa masih terdapat wilayah yang belum tersedia saluran drainase (khususnya dataran tinggi) dan daerah-daerah genangan yang umumnya terjadi pada saluran-saluran yang berada di jalan-jalan pusat kota. Waktu konsentrasi genangan tidak berlangsung lama (rata-rata 30 menit) dan
129
terjadi jika intensitas hujan tinggi. Namun demikian, genangan air tersebut dapat memperlambat kendaraan yang melintas dan secara berjangka air dapat merusak infrastruktur jalan. Selain itu, genangan air dapat menurunkan kualitas lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Infrastruktur Persampahan Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Persampahan Pengelolaan sampah di kota Ternate merupakan tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPA Buku Deru-Deru terletak di Kelurahan/Desa
Takome
Kecamatan
Pulau
Ternate
merupakan
tempat
pemrosesan akhir terhadap sampah perkotaan. Akses ke TPA ±15 km dari pusat kota, dengan luas 60 ha dan kondisi topografisnya bergelombang pada bagian kaki bukit, serta kemiringan lereng 8-15% kearah pantai dengan kondisi tanah bebatuan. Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open dumping dengan zona aktif 5,25 ha dimanfaatkan sebagai lahan penimbunan terbuka, 0,02 ha digunakan sebagai sarana dan prasarana pendukung TPA dan bangunan komposting. Untuk lahan yang termasuk zona pasif seluas 7,80 ha merupakan eks lahan penimbunan sampah sistem open dumping dan 0,4 ha sistem controlled landfill. Sisa lahan ±46,52 ha merupakan zona penyangga yang ditumbuhi oleh berbagai semak belukar dan tanaman non produktif. Fungsi zona penyangga tersebut berguna untuk meredam dampak yang timbul dari aktivitas TPA seperti bau dan kebisingan terhadap masyarakat yang bermukim di sekitarnya (lihat Tabel 41 dan Gambar 39). Tabel 41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru No 1
2
3
Area Zona Pasif TPA controlled landfill Eks open dumping Zona Aktif Open dumping Bangunan sarana dan prasarana Bangunan Komposting Zona Penyangga Semak belukar, tanaman non produktif
Luas (ha)
Keterangan
1,12 0,40
Belum beroperasi Tidak beroperasi
5,25 0,18 0,01 53,03
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2008)
130
Pengolahan sampah secara open dumping dinilai ekonomis terhadap biaya serta mekanisme pelaksanaannya mudah, namun dampak yang ditimbulkan cukup kompleks terhadap lingkungan sekitar TPA. Dampak yang ditimbulkan meliputi pencemaran udara berupa bau, pencemaran air meliputi pengaruh fisik dan kimia air serta penyakit yang ditularkan oleh perkembangbiakan hewan misalnya lalat, tikus, kecoak, cacing dan berbagai hewan lainnya. Selain itu sistem sanitasi yang tidak baik dapat menimbulkan pencemaran air, karena air lindi dapat meresap/merembes secara terinfiltrasi masuk kedalam tanah yang dapat menyebabkan pencemaran tanah, air permukaan maupun air sungai yang berada di sekitarnya. Secara teknis sistem pengolahan sampah dengan metode open dumping dimulai dari kedatangan truck amroll atau dump truck yang mengangkut sampah dari sumber sampah ke lokasi TPA, selanjutnya petugas pengawas lapangan menunjukkan lokasi dimana sampah yang datang harus dibongkar, hasil pembongkaran selanjutnya diratakan tanpa diberi timbunan penutup, hal ini berlangsung setiap hari yang dilakukan oleh petugas pengelola di lokasi TPA. Adapun mekanisme pengelolaan sampah di lokasi TPA diantaranya dengan cara penimbunan, komposting, pemanfaatan sapi, serta daur ulang (recycling). Dalam perencanaannya kedepan, sistem open dumping akan ditingkatkan menjadi controlled landfill dengan mengambil lokasi dari zona aktif TPA seluas 1,12 ha (Dinas Kebersihan Kota Ternate, 2008). Penyiapan prasarana untuk controller landfill telah dilaksanakan sebagian seperti penyediaan area sel dengan sistem geomembran. Pemrosesan air lindi yang terdiri dari 3 (tiga) kolam, yaitu kolam anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi, pipa saluran air lindi yang meliputi pipa primer 6” dan pipa sekunder 4”, dan pembuatan sumur kontrol kualitas air sebanyak 3 buah. Akan tetapi prasarana tersebut belum dapat dipergunakan karena ada beberapa hal teknis yang masih dipertimbangkan.
131
Gambar 40. Blok Pelayanan dan Prasarana Persampahan Kota Ternate
Pengelolaan persampahan di Kota Ternate hingga saat ini baru menjangkau 28 kelurahan pada 3 kecamatan di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 blok pelayanan. Pada kecamatan Ternate Utara hanya dapat menjangkau 12 kelurahan dari jumlah14 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 3 blok pelayanan. Sementara untuk kecamatan Ternate Tengah hanya mampu menjangkau kelurahan yang berada di sekitar kawasan pesisir yaitu 12 kelurahan dari jumlah 15 kelurahan dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Ternate Selatan hanya terlayani 12 kelurahan dari jumlah17 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Pulau Ternate belum sama sekali terlayani untuk pengangkutan sampah ke TPA. Namun demikian lokasi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) tersebar merata di seluruh kecamatan (lihat Gambar 40). Cakupan pelayanan pada tahun 2010 sebesar 80,02% dari jumlah penduduk Kota Ternate (lihat Tabel 42).
132
Tabel 42. Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate Volume TPA Lokasi TPA Buku DeruDeru (Kel.Takome)
Luas (ha)
Luas Terpakai (ha)
56
3
Produksi Sampah Dan Tingkat Pelayanan Produksi sampah Jumlah Tingkat Per hari Per hari Pelayanan (jiwa) (m3) lt/hari 80,02 % dari jumlah 145 2,5 penduduk kota Ternate
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)
Komparasi Ketersediaan InfrastrukturPersampahan Berdasarkan Standar SNI 19-2454-2002 Kondisi eksisting penanganan persampahan di Kota Ternate dianalisis menggunakan beberapa pola pelayanan yang disesuaikan dengan SNI 19-24542002, dengan wilayah pelayanan antara lain : 1. Sampah Rumah Tangga Untuk daerah permukiman menggunakan pola pelayanan dengan sistem pola individual langsung atau sistem door to door yaitu sampah dikumpulkan dan diangkut dengan dump truk dari sumbernya ke TPA. Masyarakat hanya mengumpulkan dengan kantong-kantong plastik dan meletakkan dipinggir jalan. Pola pelayanan tersebut sering menimbulkan kemacetan atau sulitnya kendaraan berlintasan di permukiman yang jalannya sempit. Selain itu sistem door to door ini waktu tempuh pengumpulan dan pengangkutan sampah menjadi lebih lama. 2. Sampah Perkantoran Pola pelayanan sampah perkantoran menggunakan pola komunal langsung yaitu sampah dikumpulkan pada wadahnya/TPS kemudian langsung diangkut ke TPA menggunakan dump truk. 3. Sampah Jalan, Taman dan Drainase. Pengumpulan sampah jalan, taman dan drainase pada umumnya dilakukan pembersihan sampah dan dikumpulkan pada bak sampah kemudian diangkut langsung ke TPA. 4. Sampah Pasar Untuk areal pasar, pola pelayanan yang dipakai adalah pola kumunal langsung yaitu sampah diangkut langsung ke TPA setelah sampah dikumpulkan warga pasar dalam kontainer yang disediakan Dinas Kebersihan Kota Ternate.
133
namun demikian, ada pula sampah yang sebagian diolah (komposting) misalnya di wilayah kelurahan Gamalama yang menyediakan bangunan komposting untuk mengolah sampah yang berasal dari pasar. Merujuk pada SNI 19-3983-1995 tentang spesifikasai timbulan sampah untuk ukuran kota kecil yaitu 2,5–2,75 lt/org/hari, maka timbulan sampah yang diangkut ke TPA telah sesuai dengan standar yang ada (lihat Tabel 42) dengan komposisi sampah terlihat pada Tabel 44. Ini berarti bahwa dengan jumlah penduduk kota Ternate di tahun 2010 yang mencapai 174.945 jiwa menghasilkan produksi sampah sebesar 2,5 lt/hari, dengan komposisi sampah terbesar yaitu dari komponen sampah sisa makanan (organik). Namun timbulan sampah yang tidak terangkut ke TPA belum dapat diketahui, karena adanya lokasi (kelurahan) yang belum terlayani pengangkutan sampah misalnya pada kelurahan-kelurahan yang berada di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 39). Tabel 43. Komposisi Sampah Kota Ternate No 1 2 3 4 5 6 7
Komponen Sampah Sisa Makanan (organik) Kertas Plastik Kaca/botol gelas Kulit Logam Kaleng Jumlah
Berat Sampah per Komponen di TPA (kg) 63,82 2,51 3,40 2,88 0,21 2,48 3,19 78,49
Persentase (%) 81,31 3,20 4,33 3,67 0,27 3,16 4,06 100,00
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)
Adapun produksi sampah dan kapasitas pelayanan mulai dari tahun 2005 sampai 2008 disajikan pada Tabel 44. Tabel 44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008 Tahun
Jumlah Penduduk (jiwa)
2005 2006 2007 2008
163.166 165.961 171.722 185.453
Jumlah Penduduk Terlayani jiwa % 134.499 82 141.272 85 142.134 83 153.925 83
Jumlah Penduduk Tidak Terlayani jiwa % 28.667 18 24.689 15 29.588 17 31.528 17
Produksi Sampah m3/tahun 129.240 131.400 136.080 146.880
Diangkut ke TPA m3/tahun % 77.040 60 80.280 61 82.800 61 90.000 61
Tidak diangkut ke TPA m3/tahun % 52.200 40 51.120 39 53.280 39 56.880 39
Kapasitas pelayanan sampah dari tahun 2005 hingga tahun 2008, menunjukkan adanya peningkatan pelayanan. Ini ditandai dengan meningkatnya tingkat pelayanan pada tahun 2005 hanya mampu melayani penduduk 134.499
134
jiwa (82%) dari jumlah penduduk meningkat 153.925 jiwa (83%) di tahun 2008. Jumlah penduduk yang tidak terlayani hanya berkisar 17%-18% dari jumlah penduduk di tahun 2005-2008. Hal ini tentunya berpengaruh pada kapasitas angkut sampah, dimana produksi sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Tercatat dari Tabel 44 bahwa produksi sampah pada tahun 2008 yaitu 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 90.000 m3/tahun (61%) atau adanya produksi sampah yang tidak terangkut berkisar 56.880 m3/tahun (39%). Sampah yang tidak terangkut ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Fenomena tersebut sudah membudaya dan berlangsung sejak lama. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran air di sekitar tepian pantai. Contoh kasus ialah pada kawasan permukiman yang berada diatas air (rumah gantung) di kelurahan Makassar Timur, sebelumnya tidak difasilitasi dengan sarana sanitasi dan persampahan yang ideal sehingga badan air sangat mudah tercemar oleh aktivitas masyarakat yang membuang sampah ataupun MCK di tepian pantai tersebut (Djafar, 2004). Kawasan permukiman tersebut sangat terlihat kumuh dan tepat berada di kawasan waterfront, sehingga sangat menganggu estetika kota. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Infrastruktur Persampahan Sampah di kota Ternate dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998,
dengan menggunakan pola pengolahan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open dumping yang dinilai ekonomis dalam hal biaya serta mekanisme pelaksanaannya yang mudah, namun berdampak terhadap lingkungan sekitar TPA. Pengelolaan persampahan di Kota Ternate telah menjangkau 28 Kelurahan dari 59 kelurahan yang berada di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 (sepuluh) blok pelayanan. Kapasitas pelayanan sampah pada tahun 2005-2008 cenderung meningkat dari 82% (134.499 jiwa) menjadi 83% (153.925 jiwa). Produksi sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Produksi sampah pada tahun 2008 adalah 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 61% dan sampah yang tidak terangkut berkisar 39%. Sampah yang tidak terangkut
135
ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian, pengelolaan sampah di Kota Ternate memerlukan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh, karena hal ini berkaitan erat dengan keindahan kota dan kesehatan masyarakat. Semakin besar ukuran suatu kota, maka masalah persampahan semakin sulit ditangani karena jumlah bangkitan sampah semakin besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Prasarana Pendidikan Kondisi Eksisting Prasarana Pendidikan Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Secara berjenjang pendidikan dasar terdiri dari pendidikan anak usia dini meliputi taman kanak-kanak, raudhatul athfal, kelompok bermain dengan masa pendidikan 2-3 tahun, pendidikan dasar 6 tahun meliputi sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, kelompok belajar paket A, dan pendidikan dasar 3 tahun meliputi sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah dan kelompok belajar paket B. Sebaran prasarana pendidikan dasar di kota Ternate tahun 2010 adalah jumlah TK 42 unit, jumlah SD 96 unit, jumlah SMP sebesar 19 unit, jumlah SMU/SMK sebesar 19 unit. Sebaran prasarana pendidikan dasar pada setiap jenjang dikaitkan dengan jumlah peserta didik (siswa) dan jumlah tenaga pendidik (guru). Jumlah prasarana pendidikan dasar di Kota Ternate disajikan dalam Tabel 45 dan Tabel 46. Tabel 45. Jumlah Prasarana Pendidikan Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate
TK 7 12 12 11 42
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Jumlah Praarana Pendidikan SD SLTP SMU/SMK 13 4 1 33 8 7 27 5 6 23 2 5 96 19 19
136
Tabel 46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate
TK Siswa Guru 249 37 395 56 396 62 381 57 1.421 212
SD Siswa 1.637 5.912 6.283 3.819 17.651
Guru 189 391 372 274 1.226
SLTP Siswa Guru 440 64 2.088 208 2.473 187 1.502 96 6.503 555
SMU/SMK Siswa Guru 118 33 1.630 197 3.213 255 2.353 280 7.314 765
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Komparasi Ketersediaan Prasarana Pendidikan Berdasarkan Standar SNI 192454-2002 Perencanaan fasilitas pendidikan yang didasarkan pada tujuan pendidikan, harus
menyediakan
ruang
belajar
untuk
mengembangkan
pengetahuan,
keterampilan, serta sikap siswa (peserta didik) secara optimal. Penyedian fasilitas pendidikan di suatu wilayah harus mempertimbangkan usia anak sekolah yang membutuhkan pendidikan, pendekatan ruang setiap unit dalam lingkungan, dan memperhatikan jangkauan radius pelayanan. Kebutuhan
prasarana
pendidikan
berdasarkan
SNI-03-1733-2004,
dianalisis dari jumlah penduduk (usia anak sekolah) secara berjenjang dari unit terendah (PAUD/TK) hingga unit tertinggi (SMU/SMK). Kebutuhan taman kanak-kanak (TK) per 1.250 jiwa dengan radius 500 meter, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 2 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 25-30 siswa dan berada di dalam lingkungan perumahan. Sekolah Dasar (SD) per 1.600 jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa serta berada di dalam lingkungan perumahan bergabung dengan taman dan ruang terbuka hijau. Sekolah Menengah Pertama (SLTP) per 4.800 jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa dan dapat bergabung dengan Sekolah Dasar serta akses pencapaian dapat juga ditempuh dengan kendaraan dan berlokasi di jalan lokal atau jalan lingkungan perumahan. Dengan mengetahui jumlah anak usia sekolah, maka secara langsung akan diketahui kebutuhan prasarana pendidikan dalam suatu wilayah. Hingga tahun 2010, jumlah usia sekolah di Kota Ternate pada masing-masing jenjang pendidikan disajikan pada Tabel 47.
137
Tabel 47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar Umur 0-4 Tahun (jiwa) 2.243
Umur 5-9 Tahun (jiwa) 1.798
Umur 10-14 Tahun (jiwa) 1.938
Umur 15-19 Tahun (jiwa) 2.595
Ternate Selatan
4.807
6.038
3.277
3.121
Ternate Tengah
5.952
6.311
3.954
4.412
Ternate Utara
4.020
3.974
2.819
3.892
Kota Ternate
17.022
18.121
11.988
14.020
Kecamatan Pulau Ternate
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Taman Kanak Kanak (TK) Usia sekolah untuk pendidikan usia dini (TK) diasumsikan rata-rata 2-4 tahun sebanyak 10.000 jiwa (Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar ialah 333 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @ 25-30 siswa) atau 167 sekolah (1 gedung sekolah minimal 2 ruang belajar). Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting TK yang ada di Kota Ternate (tahun 2010) yang hanya berkisar 42 unit sekolah atau ketersediaan hanya berkisar 25% (lihat Tabel 48), maka ketersediaan gedung sekolah TK belum mencukupi dari segi jumlah penduduk usia sekolah yang terlayani. Dari perhitungan tersebut maka terlihat bahwa masih kekurangan fasilitas sekolah sebanyak 125 unit (75%). Jumlah penduduk yang tercatat sebagai siswa TK hanya berkisar 1.421 siswa, sementara dengan melihat jumlah anak usia sekolah pendidikan usia dini sebanyak 10.000 jiwa menunjukkan bahwa masih ada sekitar 8.000 jiwa (75%) yang belum mendapatkan akses pendidikan TK. Tabel 48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate Kecamatan
Jumlah Penduduk (Usia 0-4)
Kebutuhan Anak Usia Sekolah Sekolah*
Ketersediaan
Kekurangan
Siswa
Sekolah
%
Sekolah
%
Pulau Ternate
2.243
1.300
22
249
7
32
15
68
Ternate Selatan
4.807
2.800
47
395
12
26
35
74
Ternate Tengah
5.952
3.500
58
396
12
21
46
79
Ternate Utara
4.020
2.400
40
381
11
28
29
73
Kota Ternate
17.022
10.000
167
1.421
42
25
125
75
Ket Tidak cukup Tidak cukup Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 0-4 tahun
Akses pencapaian sekolah TK pada masing-masing kecamatan rata-rata berada pada radius <500 m dan berada pada lingkungan perumahan. Sebaran
138
fasilitas pendidikan TK, umumnya merata pada 3 (tiga) kecamatan, yaitu kecamatan Ternate Utara, kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan. Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate hanya terdapat 8 sekolah TK yang hanya tersebar pada beberapa kelurahan, sehingga ada sekitar 6 kelurahan yang tidak mendapatkan akses fasilitas gedung sekolah. Namun demikian, jumlah sekolah tentunya berkaitan dengan jumlah usia anak sekolah, dimana jumlahnya di kecamatan Pulau Ternate lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan lainnya, sehingga sebaran fasilitas gedung sekolah lebih sedikit atau terbatas (Gambar 41).
Gambar 41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Pendidikan sekolah dasar (SD) dengan usia sekolah 6-12 tahun diasumsikan jumlah penduduk sebanyak 17.800 jiwa (dianalisis dari Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar adalah 445 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau 74 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar).
139
Ketersediaan SD di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 96 sekolah, maka ketersediaan sekolah SD telah melebihi dari standar jumlah penduduk yang terlayani. Meskipun demikian, belum secara keseluruhan jumlah usia anak sekolah SD mendapat akses pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah siswa SD yang terdaftar sebanyak 17.651 siswa, sedangkan jumlah usia sekolah SD sebanyak 17.800 jiwa, sehingga diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 150 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan SD. Selanjutnya dapat disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate Kebutuhan Jumlah Penduduk Anak Usia Sekolah (Usia 5-14) Sekolah* Pulau Ternate 3.736 2.200 9 Ternate Selatan 9.315 5.500 23 Ternate Tengah 10.265 6.100 25 Ternate Utara 6.793 4.000 17 Kota Ternate 30.109 17.800 74 *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 6-12 tahun Kecamatan
Ketersediaan Siswa
Sekolah
1.637 5.912 6.283 3.819 17.651
13 33 27 23 96
Keterangan Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup
Akses pencapaian sekolah SD pada masing-masing kecamatan terbilang mudah, karena memiliki sebaran merata pada tiap kelurahan. Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas SD berada pada radius <1.000 m dan berada pada lingkungan perumahan maupun jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder. Umumnya fasilitas gedung sekolah yang berada di jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder terkonsentrasi di pusat kota, yaitu pada kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara. Sebaran fasilitas pendidikan SD yang terlihat pada Gambar 42 menunjukkan sebaran merata pada 4 (empat) kecamatan dan kecamatan Ternate Selatan memiliki ketersediaan sekolah SD yang lebih banyak yaitu 33 sekolah. Jumlah siswa yang hanya 5.912 siswa di kecamatan Ternate Selatan lebih kecil dibandingkan kecamatan Ternate Tengah, sehingga secara keseluruhan kecamatan Ternate Tengah lebih cenderung mempunyai daya tampung terpadat dibandingkan dengan kecamatan lainnya (lihat Tabel 49).
140
Gambar 42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama Kebutuhan prasarana pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) dengan usia sekolah 13-15 tahun, diasumsikan jika jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 7.400 jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 185 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar). Jika sarana pendidikan SLTP yang ada di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 19 unit sekolah (cakupan pelayanan 12%) dengan jumlah siswa sebanyak 6.503 siswa (Tabel 50), maka ketersediaan sekolah masih kurang dari standar untuk dapat melayani jumlah usia sekolah tingkat pertama. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diasumsikan bahwa masih dibutuhkan sarana sekolah sekitar 11 unit (37%) untuk dapat menampung sekitar 900 jiwa (jumlah penduduk usia sekolah) yang tersisa.
141
Tabel 50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate Kecamatan
Jumlah Penduduk (Usia 10-19)
Kebutuhan Anak Usia Sekolah Sekolah*
Ketersediaan
Kekurangan
Siswa
Sekolah
%
Sekolah
%
Pulau Ternate
4.533
1.200
6
440
4
67
2
33
Ternate Selatan
6.398
1.900
7
2.088
8
100
-
-
Ternate Tengah
8.366
2.400
10
2.473
5
50
5
50
Ternate Utara
6.711
1.900
7
1.502
2
29
5
71
26.008
7.400
30
6.503
19
63
11
37
Kota Ternate
Ket Tidak cukup Cukup Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 13-15 tahun
Gambar 43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP
Akses pencapaian sekolah SLTP pada masing-masing kecamatan yang terlihat pada Gambar 43 memiliki sebaran merata hampir pada tiap kecamatan. Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas sekolah berada pada radius <1 km untuk kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan, sedangkan untuk kecamatan Ternate Utara, kecamatan Pulau Ternate dan sebagian kecamatan Ternate Selatan berada pada radius >1 km atau jarak terjauh dengan radius 2 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer maupun
142
terletak pada jalan kolektor sekunder, sehingga akses menuju sekolah lebih mudah meskipun waktu tempuh perjalanan berbeda-beda. Rata-rata waktu tempuh ke fasilitas sekolah yang berada di kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan hanya sekitar 10-15 menit. Sementara untuk wilayah kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu tempuh lebih dari 25 menit untuk sampai ke lokasi.
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Sekolah Menengah Umum/Kejuruan Usia sekolah untuk pendidikan sekolah menengah baik umum maupun kejuruan (SMU/SMK), diasumsikan rata-rata 16-18 tahun dengan perhitungan jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 8.200 jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 200 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau dibutuhkan sekitar 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar). Jika sarana pendidikan SMU/SMK yang ada di kota Ternate pada tahun 2010 diketahui sebanyak 19 unit sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 7.314 siswa (Tabel 51), maka berdasarkan standar ketersediaan sekolah masih kurang untuk dapat melayani jumlah usia sekolah menengah. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk untuk usia sekolah, maka diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 1.000 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan dan masih kekurangan fasilitas sekolah adalah 15 unit (44%). Tabel 51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate Kecamatan
Jumlah Penduduk (Usia 15-19)
Kebutuhan Anak Usia Sekolah Sekolah*
Ketersediaan
Kekurangan
Siswa
Sekolah
%
Sekolah
%
Pulau Ternate
2.595
1.500
6
118
1
17
5
83
Ternate Selatan
3.121
1.800
7
1.630
7
100
-
-
Ternate Tengah
4.412
2.600
10
3.213
6
60
4
40
Ternate Utara
3.892
2.300
9
2.353
5
56
4
44
Kota Ternate
14.020
8.200
34
7.314
19
56
15
44
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 16-18 tahun
Ket Tidak cukup Cukup Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup
143
Gambar 44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK Akses pencapaian ke fasilitas sekolah SMU/SMK pada masing-masing kecamatan (lihat Gambar 44) memiliki sebaran cenderung bergerombol pada wilayah pusat kota (berada atau dekat kecamatan Ternate Tengah). Radius pencapaian dari permukiman ke fasilitas sekolah untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan <1 km,
sedangkan untuk kecamatan Ternate
Utara dan kecamatan Pulau Ternate berada pada radius >1 km atau radius terjauh hingga 3 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer dan jalan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses pencapaiannya. Waktu tempuh tiap kecamatan berbeda, misalnya untuk kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu tempuh >30 menit untuk menuju sekolah, dibanding 3 (tiga) kecamatan lainnya yang cenderung membutuhkan waktu <15 menit. Perbedaan jarak antara permukiman dan fasilitas pelayanan menyebabkan adanya perbedaan dalam waktu tempuh.
144
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Pendidikan Analisis jumlah penduduk berdasarkan tingkat usia sekolah pada tiap jenjang pendidikan memperlihatkan bahwa kebutuhan akan sarana dan prasarana pendidikan dasar belum mencukupi. Fasilitas pendidikan yang belum mencukupi diantaranya sekolah TK, SLTP dan SMU/SMK, sedangkan fasilitas sekolah SD telah mencukupi standar pelayanan. Jika jumlah penduduk usia sekolah dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mendapatkan akses pendidikan, maka diketahui masing-masing jenjang pendidikan masih membutuhkan fasilitas sekolah TK 75%, SLTP 36% dan SMU/SMK 44%. Jumlah usia sekolah untuk jenjang pendidikan usia dini (TK) lebih tinggi untuk kategori yang belum mendapatkan akses pendidikan. Hal ini disebabkan karena umumnya usia sekolah TK di Kota Ternate rata-rata setelah 4 tahun, sehingga jumlah anak yang bersekolah di TK hanya separuh dari jumlah yang ada. Sementara ketentuan pendidikan anak usia dini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ialah usia sekolah untuk jenjang tersebut antara 2-5 tahun. Sebaran fasilitas pendidikan berhubungan dengan jumlah penduduk usia sekolah di suatu wilayah. Jumlah penduduk usia sekolah yang lebih banyak misalnya pada Kecamatan Ternate Tengah (pusat kota), maka ketersediaan fasilitas akan semakin tinggi. Pola sebaran terlihat merata pada tiap kelurahan untuk sarana pendidikan SD, sedangkan untuk sarana pendidikan TK, SLTP, dan SMU/SMK lebih cenderung (lebih banyak) terkonsentrasi di pusat kota. Akses pencapaian pada jenjang pendidikan TK dan SD telah memenuhi standar dengan radius pencapaian masing-masing >500 m dan >1 km. Jenjang pendidikan SLTP dan SMU/SMK di kecamatan Pulau Ternate memiliki jarak tempuh dalam radius terjauh masing-masing 2 km dan 3 km, dan untuk wilayah sekitar pusat kota yang meliputi 3 (tiga) kecamatan memiliki radius ke fasilitas pendidikan < 1 km. Pendidikan merupakan hal yang mendasar untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Jumlah fasilitas atau sarana penunjang yang lengkap berkorelasi positif terhadap kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan yang baik dapat memainkan peran kunci dalam membentuk sumberdaya manusia untuk menciptakan, menyerap teknologi modern,
dan
untuk
mengembangkan
kapasitas
serta
menyebarluaskan
145
pengetahuan. Secara makro mutu pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan daya saing bangsa.
Prasarana Kesehatan Kondisi Eksisting Prasarana Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan prasarana ini adalah didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut. Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-17332004 adalah sebagai berikut : a. Posyandu b. Balai Pengobatan Warga c. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA/Klinik Bersalin) d. Puskesmas dan Balai Pengobatan e. Puskesmas f. Tempat Praktek Dokter g. Apotek
Kondisi eksisiting ketersediaan prasarana kesehatan di Kota Ternate pada tahun 2011 meliputi, 6 rumah sakit, 3 rumah sakit bersalin, 1 poliklinik/balai pengobatan, 6 puskemas, 9 puskesmas pembantu, 21 posyandu, 47 tempat praktek dokter dan 26 Apotek (dilihat pada Tabel 52). Tabel 52. Prasarana Kesehatan di Kota Ternate Prasarana Kesehatan Posyandu Poliklinik/Balai Pengobatan Rumah Sakit Bersalin Puskesmas Puskesmas Pembantu Tempat Praktek Dokter Apotek Rumah Sakit Jumlah
Pulau Ternate 3 1 2 6
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
Kecamatan Ternate Ternate Selatan Tengah 5 2 1 1 1 2 2 2 2 11 32 7 15 1 4 29 59
Ternate Utara 11 1 1 3 4 4 1 25
Jumlah 21 1 3 6 9 47 26 6 119
146
Kecamatan Ternate Tengah memiliki prasarana kesehatan terbanyak dari pada kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pusat pelayanan kesahatan terkonsentrasi pada kecamatan Ternate Tengah. Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Posyandu terlihat sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan (lihat Gambar 45). Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Sementara sarana dan prasarana kesehatan lainnya misalnya rumah sakit, rumah sakit bersalin, balai pengobatan, tempat praktek dokter maupun apotek hanya terpusat pada wilayah yang berada di pusat kota atau sekitar pusat kota yaitu pada kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate Utara.
Gambar 45. Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate
Komparasi Ketersediaan Prasarana Kesehatan Berdasarkan Standar SNI 031733-2004 Jangkauan radius pelayanan fasilitas kesehatan dipertimbangkan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi dalam melayani suatu wilayah. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, kebutuhan Posyandu dengan ratio
147
pelayanan per 2.500 jiwa berada pada radius pelayanan 1 km2, balai kesejahteraan ibu dan anak (BKIA/klinik bersalin) per 30.000 jiwa radius pelayanan 4 km2, puskesmas pembantu dan balai pengobatan per 30.000 jiwa radius pelayanan 1,5 km2, puskesmas dan balai pengobatan per 120.000 jiwa dengan radius pelayanan 3 km2, tempat praktek dokter per 5.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2, dan Apotek per 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2. Tabel 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate Prasarana Kesehatan
Pulau Ternate (15.024 jiwa)* tidak butuh tidak butuh 1 1 cukup 3 3 cukup 3 tidak cukup tidak butuh
Kecamatan Ternate Selatan Ternate Tengah (65.888 jiwa)* (54.677 jiwa)* 1 1 1 4 cukup cukup 2 1 1 1 tidak cukup cukup 1 1 2 2 cukup cukup 13 10 13 10 cukup cukup 13 11 11 32 tidak cukup cukup 2 1 7 15 cukup cukup
Ternate Utara (47.724 jiwa)* 1 1 cukup 1 1 cukup 1 1 cukup 9 11 cukup 10 4 tidak cukup 1 4 cukup
Kebutuhan1 Ketersediaan Keterangan Rumah Kebutuhan2 Sakit Ketersediaan Bersalin Keterangan Kebutuhan3 Ketersediaan Puskesmas Keterangan Kebutuhan4 Ketersediaan Posyandu Keterangan Kebutuhan5 Praktek Ketersediaan Dokter Keterangan Kebutuhan6 Apotek Ketersediaan Keterangan * Jumlah Penduduk tahun 2011 1 Standar 150.000 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 120.000 jiwa; 4 Standar 5.000 jiwa; 5 Standar 5.000 jiwa; 6 Standar 30.000 jiwa; Rumah Sakit
Evaluasi ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat didasarkan pada jumlah layanan dari jenjang terendah yakni posyandu, puskesmas atau balai pengobatan hingga jenjang tertinggi yakni rumah sakit. Ketersediaan fasilitas yang terlihat pada Tabel 53 menunjukkan bahwa untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek sebarannya tidak merata. Fasilitas tersebut cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Jumlah posyandu terbanyak berada di Kecamatan Ternate Utara dengan jumlah penduduk hanya berkisar 47.724 jiwa, sehingga masyarakat terlayani untuk setiap Posyandu adalah sekitar 4.000 jiwa. Untuk fasilitas Puskemas di Kecamatan Ternate Utara memiliki 1 Puskesmas yang melayani 47.724 jiwa. Sama halnya pada kecamatan Pulau Ternate yang memiliki 1 Puskesmas untuk dapat melayani 15.024 jiwa, namun jumlah tersebut masih memenuhi standar SNI
148
03-1733-2004 untuk 30.000 jiwa/Puskesmas. Kapasitas pelayanan Puskesmas juga masih tercukupi untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan. Fasilitas praktek dokter dan apotek terpusat di beberapa lokasi, sehingga sebarannya tidak merata. Kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas tersebut paling banyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Untuk itu pelayanan kesehatan di kecamatan ini tergolong lebih tinggi. Selain itu faktor kemudaan dalam akses pencapaian menjadi faktor utama dalam penyediaan tempat praktek dokter dan apotek, dimana hampir keseluruhan berada pada jalan-jalan utama (jalan kolektor). Akses pencapaian dari permukiman ke fasilitas kesehatan didukung oleh adanya jaringan jalan untuk menuju ke lokasi sarana kesehatan. Wilayah pelayanan posyandu rata-rata berjarak <0,5 km dengan waktu tempuh <25 menit, puskesmas rata-rata 1-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, RSB/BKIA dan RS jarak rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >40 menit, dan praktek dokter maupun apotek berjarak rata-rata 0,5-1 km dengan waktu tempuh <30 menit. Umumnya lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga untuk akses ke fasilitas kesehatan sangat mudah. Kondisi jaringan jalan yang baik menjadi titik tolak terpenting untuk melayani pertolongan pertama/tindakan darurat. Akses pencapaian ke sarana kesehatan berkaiatan dengan jaringan jalan dari jenjang jalan lingkungan hingga jalan kolektor. Jarak pencapaian ke fasilitas kesehatan oleh masyarakat disajikan dalam Tabel 54. Tabel 54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan Kecamatan
Radius Pencapaian RSB/ RS BKIA (km) (km) 6-7 6-7
Praktek Dokter (km) 6-7
Posyandu (km)
Puskesmas (km)
0,5-1
5-6
Ternate Selatan
0,2-0,5
2-3
2-3
2-3
1,5-2
1-1,5
Ternate Tengah
0,2-0,5
1-2
1-2
1-1,5
0,5-1
0,5-1
Ternate Utara
0,2-0,5
2-3
4-5
3-4
1,5-2
1,5-2
Pulau Ternate
Apotek (km) 6-7
149
Radius pencapaian dari permukiman di kecamatan Pulau Ternate ke berbagai fasilitas kesehatan sangat jauh yakni berkisar 6-7 km. Hal ini disebabkan karena minimnya fasilitas yang ada di kecamatan ini, sehingga untuk menjangkau fasilitas kesehatan yang terdekat harus menempuh radius jarak hingga 7 km dengan waktu tempuh > 1 jam. Untuk akses ke fasilitas kesehatan di kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara tergolong sangat mudah. Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, rumah sakit, atau praktek dokter berjarak rata-rata < 1 km. Sebaran sarana dan prasarana kesehatan masyarakat di 3 (tiga) kecamatan tersebut rata-rata berjarak 1-2,5 km. Pencapaian dari permukiman ke sarana dan prasarana kesehatan masyarakat terlayani mulai dari lingkungan hingga ke jenjang kecamatan. Jarak pencapaian terpenuhi atau sesuai standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai.
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Kesehatan Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kota Ternate menunjukkan sebaran tidak merata untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek, dan cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Lokasi pelayanaan pada tiap kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses ke fasilitas kesehatan. Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan. Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Ini berarti ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan telah memenuhi standar pelayanan minimum. Prasarana Niaga dan Perdagangan Kondisi Eksisting Prasarana Niaga dan Perdagangan Dasar penyediaan fasilitas niaga dan perdagangan selain berdasarkan jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Lokasi penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan
150
terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lingkungan perumahan dapat dirunut dari jenjang terendah dengan radius pelayanan kecil hingga jenjang tertinggi dengan radius pelayanan skala kota. Urutan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi adalah sebagai berikut: 1. Toko/warung. 2. Pertokoan, Rumah Toko. 3. Pasar di Lingkungan tingkat Kelurahan dan Kecamatan. 4. Mini Market/Swalayan kecil. 5. Supermarket/Pasar Swalayan. 6. Pusat Perbelanjaan/Plaza/Mall. Ketersediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di Kota Ternate pada tahun 2010 meliputi, 3 unit Pasar Tradisional, 21 unit Minimarket, 11 unit Pusat Pertokoan (Ruko), 2 unit Pusat Perbelanjaan (Mall) yang tersebar hanya pada 3 (tiga) kecamatan, sedangkan 3.152 unit toko/warung tersebar di semua kecamatan (lihat Tabel 55). Tabel 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Jumlah
Toko/ Warung
Pasar Tradisional
Minimarket
204 815 1.379 754 3.152
1 1 1 3
13 6 2 21
Pusat Pertokoan (Ruko) 2 6 3 11
Pusat Perbelanjaan/ Mall 2 2
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, khususnya untuk fasilitas toko/warung memiliki sebaran merata di seluruh kecamatan yang ada di Kota Ternate. Fasilitas ini yang melayani kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang bermukim di kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya fasilitas niaga dan perdagangan lainnya misalnya pasar tradisional maupun minimarket di wilayah tersebut. Berdasarkan standar kebutuhan, maka jumlah penduduk manjadi acuan sebagai faktor penyediaan sarana niaga dan
151
perdagangan. Jumlah penduduk kecamatan Pulau Ternate yang hanya berkisar 14.692 jiwa, belum mencukupi standar pelayanan untuk fasilitas pasar atau minimarket. Namun demikian akses ke prasarana tersebut cukup mudah karena ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai, yakni adanya jalan kolektor primer (jalan trans Ternate) sehingga memudahkan akses pencapaian ke pusat kota. Sebaran prasarana niaga dan perdagangan skala besar misalnya pusat perbelanjaan/Mall, atau pusat pertokoan (ruko) yang ada di Kota Ternate, hampir semuanya terkonsentrasi di pusat kota atau dekat pusat kota. Sementara untuk pasar tradisional seperti yang terlihat dalam Gambar 46, menunjukkan pola sebaran merata di masing-masing kecamatan, meskipun wilayah kecamatan Pulau Ternate tidak terlayani pasar tradisional. Secara makro, kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas niaga dan perdagangan yang lengkap, atau dengan kata lain bahwa aglomerasi fasilitas niaga dan perdagangan berada di kecamatan ini. Hal ini berkaitan pula dengan peruntukan Bagian Wilayah Kota I (BWK I) berdasarkan RTRW Kota Ternate, dimana kecamatan Ternate Tengah difokuskan sebagai pusat perdagangan skala kota/lokal.
Gambar 46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate
152
Studi Komparasi Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004 Kebutuhan fasilitas niaga dan perdagangan berdasarkan SNI-03-17332004 dianalisis berdasarkan ratio jumlah penduduk terlayani dan radius pelayanannya. Kebutuhan toko/warung ratio per 250 jiwa dengan radius 300 m, dan pertokoan/ruko ratio 6.000 jiwa dengan radius 2 km berlokasi di pusat kegiatan sub lingkungan. Kebutuhan pasar berdasarkan ratio penduduk 30.000 jiwa berlokasi di pusat lingkungan jenjang kelurahan atau kecamatan dengan radius pelayanan 5-10 km. Minimarket/swalayan kecil ratio 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 500 m dari pasar dan dapat dijangkau dengan berkendaraan. Kebutuhan pusat perbelanjaan/mall ratio per 120.000 jiwa berlokasi di jalan utama dan pusat kegiatan serta memiliki fasilitas parkir mandiri. Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan seperti toko/warung, minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate berdasarkan standar pelayanan minimum penduduk telah terpenuhi (Tabel 56). Sementara untuk pasar masih diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Pasar tradisonal dan minimarket berada di lokasi sama (berdampingan) yakni pada kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan, sedangkan kecamatan Ternate Utara pasar tradisional tidak dilengkapi dengan minimarket. Jumlah sebaran fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah layanan dengan jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada wilayah pelayanannya terpusat di satu lokasi (kecamatan Ternate Tengah). Tabel 56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Prasarana Niaga dan Perdagangan
Pulau Ternate (14.692 jiwa)* 59 204 cukup tidak butuh tidak butuh tidak butuh
Kecamatan Ternate Selatan Ternate Tengah (63.746 jiwa)* (52.072 jiwa)* 255 208 815 1.379 cukup cukup 2 1 1 1 tidak cukup cukup 2 1 13 6 cukup cukup 1 2 tidak butuh cukup
Kebutuhan1 Ketersediaan Keterangan Kebutuhan2 Pasar Ketersediaan Keterangan Kebutuhan3 Ketersediaan Minimarket Keterangan Kebutuhan4 Pusat Ketersediaan Perbelanjaan/ Keterangan Mall * Jumlah Penduduk tahun 2010 1 Standar 250 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 30.000 jiwa; 4 Standar 120.000 jiwa; Toko/warung
Ternate Utara (45.574 jiwa)* 182 754 cukup 1 1 cukup 1 2 cukup tidak butuh
153
Wilayah pelayanan fasilitas toko/warung rata-rata berjarak <300 m atau jarak terdekat dengan radius 150 m dengan relatif waktu tempuh <10 menit dari permukiman penduduk. Jarak tempuh ke pasar tradisional rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, minimarket dengan jarak <0,5 km dengan waktu tempuh <15 menit, dan pusat pertokoan (ruko) maupun pusat perbelanjaan/mall masing-masing berjarak rata-rata 2-3 km waktu tempuh >30 menit dan 3 km dengan waktu tempuh >30 menit. Lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan akses ke fasilitas. Jarak pencapaian sarana dan prasarana niaga dan perdagangan disajikan dalam Tabel 57. Tabel 57. Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan Kecamatan
Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara
Toko/ Warung (km)
Pasar (km)
0,2-0,3 0,1-0,25 0,1-0,25 0,2-0,25
6-7 2,5-4 2-2,5 3-5
Radius Pencapaian Pusat MiniPertokoan market (Ruko) (km) (km) 6-7 6-7 0,5-1 2-3 0,3-0,5 1-2 0,5-1 2-3
Pusat Perbelanjaan/ Mall (km) 9-10 3-5 1-2 3-4,5
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Niaga dan Perdagangan Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan diantaranya toko/warung, minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate telah memenuhi standar pelayanan minimum. Namun fasilitas pasar masih diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Jumlah fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah pelayanan minimum dengan jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada wilayah pelayanan yang terpusat di satu lokasi yaitu di kecamatan Ternate Tengah. Sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa merupakan sektor-sektor yang memiliki andil terbesar dalam peningkatan Produk Domestik Reginal Bruto (PDRB) Kota Ternate. Terlebih lagi sejak pengembangan kawasan waterfront, peningkatan sektor tersebut cukup signifikan pada waktu memasuki tahun 2008 hingga tahun 2011 (empat tahun terakhir) (lihat pada hal. 82 tentang PDRB Kota Ternate). Hal ini tentunya berkaitan erat dengan peningkatan
154
prasarana niaga dan perdagangan berdasarkan analisis cakupan pelayanannya, sehingga dapat mendukung pertumbuhan sektor tersebut. Akses pencapaian sangat mudah dari permukiman khususnya di kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota yakni kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara untuk menuju sarana dan prasarana niaga dan perdagangan. Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas tersebut berjarak ratarata <1 km, sedangkan pada 3 (tiga) kecamatan lainnya rata-rata radius terdekat berjarak 1-2,5 km. Hal ini didasari oleh peruntukan ruang kecamatan Ternate Tengah, untuk pusat kegiatan khususnya untuk kawasan niaga dan perdagangan (Central Business District) skala kota/lokal. Secara keseluruhan akses pencapaian ke sarana dan prasarana niaga dan perdagngan telah terpenuhi atau sesuai standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai. Pengaturan zona pelayanan diperlukan agar tidak terjadi pemusatan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di satu lokasi.
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau Dalam mewujudkan kota ramah lingkungan (eco-city), maka penataan ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur harus mempertimbangan keseimbangan ekologis dengan menerapkan konsep infrastruktur hijau (green infrastructure). Infrastruktur hijau terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link dan site. Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan menyediakan komponen ekosistem alam, misalnya daerah konservasi, hutan lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs, berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk hijau (green belt) maupun jaringan jalan. Sites merupakan unit yang lebih kecil dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site dapat berupa taman ataupun ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun kawasan rekreasi atau tempat wisata alam. Dari hasil identifikasi citra satelit, peta tematik dan survey lapang, diperoleh objek-objek yang termasuk Hubs, Links dan Site di Kota Ternate,
155
dengan hasil klasifikasi menurut kategori elemen-elemen tersebut, sebagai berikut: Hubs 1. Cadangan alami : Hutan lindung, mangrove, semak belukar 2. Lahan kegiatan usaha: perkebunan cengkeh dan pala, kebun campur, pertanian lahan kering Links 1. Koridor konservasi: sepadan sungai, sepadan danau (badan air) 2. Keterkaitan lansekap: sepadan jaringan jalan Site 1. Taman Kota, Taman wisata sejarah 2. Lapangan 3. Areal Pemakaman
Kondisi Eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ternate Konsep pembangunan infrastruktur hijau (green infrastructure) di Indonesia saat ini diimplementasikan dengan mengelola kawasan ruang terbuka hijau (RTH) (Herwirawan, 2009). Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Tipologi RTH secara fisik dapat dibagi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan, sedangkan berdasarkan kepemilikan terbagi atas RTH publik dan RTH privat (PERMEN PU No.05/PRT/M/2008). Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. RTH merupakan salah satu objek kawasan lindung yang diprioritaskan dalam rencana pola ruang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2010-2030.
156
Dengan mengetahui luas wilayah pusat kota Ternate (Kecamatan Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara) 5.428,58 ha, maka luas RTH yang harus disediakan sebesar 1.628,57 ha dari luas kota. Pembagian RTH publik 20% atau 1.085,72 ha dan 10% atau 542,86 ha untuk RTH privat. Target ketersediaan RTH tersebut, dapat diwujudkan dengan sebaran kawasan hijau pada 3 (tiga) kecamatan yang ada di Kota Ternate. Ketersediaan RTH dapat diidentifikasi dari data penggunaan lahan eksisting. Dari hasil analisis citra 2010, penggunaan lahan (landuse) didominasi oleh kawasan vegetasi/RTH yaitu 4.035,94 ha atau 74% dari luas wilayah pusat kota Ternate. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pusat kota Ternate tergolong masih hijau, terutama di bagian dataran tinggi hingga menuju ke puncak gunung Gamalama. Kawasan ini meliputi hutan lindung, kebun campur, semak belukar, mangrove, taman dan lapangan. Berikut ini disajikan Tabel 58 berkaitan dengan proporsi penggunaan lahan di Kota Ternate. Tabel 58. Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate Penggunaan Lahan Lahan Terbangun Kawasan Jasa Perdagangan Permukiman RTH/Vegetasi Mangrove Hutan Kebun Campuran Lapangan Makam Perkebunan Pertanian Lahan Kering Semak Belukar Taman Badan Air
Jumlah Luas (ha) 1.253,58 151,85 1.101,73 4.035,94 3,38 1.447,21 75,90 11,91 23,93 2.148,04 121,51 178,56 25,51 40,55
Danau Sungai
18,32 22,23
Lahan Kosong
54,83
Lahan Kosong Kawah Kawah Gunung Api Penggunaan lahan di Kota Ternate
Persentase (%) 23
74
1
54,83
1
43,68
1
43,68 5.428,58
Ketersediaan RTH Kota Ternate saat ini adalah 4.035,94 ha, yang terbagi dalam RTH publik 1.690,50 ha dan RTH privat 2.345,46 ha. Jika dibandingan dengan standar ketersediaan RTH kota yakni 30%, maka luas RTH Kota Ternate
157
tergolong masih melebihi dari standar yang ditetapkan yaitu masing-masing RTH Publik 31% dan RTH Privat 43%. Dilihat pada tiap kecamatan, maka luas RTH adalah 76% (Ternate Selatan), 74% (Ternate Utara) dan 72% (Ternate Tengah) (lihat Tabel 59). Tabel 59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan RTH Publik (ha) (%) 365,33 26
RTH Privat (ha) (%) 656,06 46
Jumlah Luas RTH (ha) (%) 1.021,39 72
Ternate Tengah
Luas Wilayah (ha) 1.416,34
Ternate Selatan Ternate Utara
2.304,99 1.707,24
794,58 530,59
34 31
962,23 727,17
42 43
1.756,80 1.257,75
76 74
Kota Ternate
5.428,58
1.690,50
31
2.345,46
43
4.035,94
74
Kecamatan
Gambar 47. RTH Kecamatan Ternate Selatan Tabel 60. Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan Penggunaan Lahan Lahan Terbangun RTH/Vegetasi Badan Air Lahan Kosong Kawah Gunung Api Jumlah
Luas (ha)
Persentase (%)
470,32 1.756,80 32,32 25,05 20,48 2.304,99
20,40 76,22 1,40 1,09 0,89 100
158
Penggunaan lahan vegetasi/RTH masih terbilang cukup luas di kecamatan Ternate Selatan dengan memiliki luas 1.756,80 ha atau masih ada sekitar 76% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 47). Sementara untuk penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai dengan jumlah luasnya 470,32 ha atau 20% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 60. Persentase ketersediaan RTH didasarkan pada perhitungan persentase dari jumlah luas RTH publik maupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Selatan yang terlihat pada Tabel 61 yaitu masing-masing 34% dan 42%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas 962,23 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 794,58 ha. Penggunaan lahan perkebunan mendominasi RTH Privat yaitu 847,59 ha. Tabel 61. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan RTH Publik Lapangan Makam Mangrove Taman
Luas (ha) 4,42 6,69 3,38 12,20
Hutan Lindung Semak Belukar
766,93 0,96
Jumlah Persentase (%)
794,58 34
RTH Privat Kebun Campur Pertanian Lahan Kering Perkebunan
Luas (ha) 48,92 65,72 847,59
962,23 42
Kondisi eksisting penggunaan lahan Kecamatan Ternate Tengah seperti yang terlihat pada Gambar 48, menggambarkan bahwa perbandingan luas lahan terbangun dan non terbangun hampir 1:3. Kecamatan ini merupakan wilayah terpadat di Kota Ternate, karena merupakan bagian wilayah kota yang melayani sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, jasa dan perdagangan, serta kawasan permukiman. Luas RTH di kecamatan ini tergolong paling kecil diantara kecamatan lainnya yaitu hanya 1.021,39 ha atau 72% (Tabel 62). Kawasan vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >40%. Penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai
159
(kemiringan 0-10%) hingga ke dataran tinggi (kemiringan 10-20%) dengan luas berkisar 379,21 ha atau 26% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Tengah.
Gambar 48. RTH Kecamatan Ternate Tengah
Tabel 62. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah Penggunaan Lahan Lahan Terbangun RTH/Vegetasi Badan Air Lahan Kosong Kawah Gunung Api Jumlah
Luas (ha) 379,21 1.021,39 4,62 2,57 8,53 1.416,34
Persentase (%) 26,77 72,11 0,33 0,18 0,60 100
Tabel 63. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah RTH Publik Lapangan Makam
Luas (ha) 4,12 12,90
Taman Hutan Lindung
4,45 343,84
Jumlah Persentase (%)
365,31 26
RTH Privat Kebun Campur Pertanian Lahan Kering Perkebunan
Luas (ha) 21,96 2,45 631,64 656,05 46
160
Persentase ketersediaan RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Tengah yaitu masing-masing 26% dan 46%. Perhitungan persentase jumlah luas RTH publik ataupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah kecamatan Ternate Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat masih lebih luas 365,31 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 656,05 ha. Penggunaan lahan perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 631,64 ha dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat. Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 63. Proporsi penggunaan lahan di kecamatan Ternate Utara juga menunjukkan penggunaan lahan untuk vegetasi/RTH masih terbilang cukup luas yakni 1.257,75 ha atau masih ada sekitar 73% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 49). Berbeda halnya dengan penggunaan lahan terbangun, dimana hampir sepanjang kawasan pesisir pantai dipadati permukiman dengan jumlah luasnya berkisar 404,03 ha atau 23% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Utara (lihat pada Tabel 654).
Gambar 49. RTH Kecamatan Ternate Utara
161
Tabel 64. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Utara Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Persentase (%) 23,67
RTH/Vegetasi Badan Air Lahan Kosong Kawah Gunung Api
404,03 1.257,75 3,59 27,20 14,66
Jumlah
1.707,24
100
Lahan Terbangun
73,67 0,21 1,59 0,86
Tabel 65. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Utara RTH Publik Lapangan Makam Taman
Luas (ha) 3,36 4,33 8,85
Hutan Lindung Semak Belukar
336,43 177,59
Jumlah Persentase (%)
530,56 31
RTH Privat Kebun Campur Pertanian Lahan Kering Perkebunan
Luas (ha) 5,01 53,34 668,80
727,15 43
Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan yang dibagi menjadi RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Utara yaitu masing-masing 31% dan 43%. Angka tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas 727,15 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 530,56 ha. Penggunaan lahan untuk perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 668,80 ha dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat. Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan di kecamatan Ternate Utara disajikan pada Tabel 65.
Kesimpulan Cakupan Infrastruktur Hijau Meskipun ketersediaan RTH kota Ternate tergolong cukup dalam memenuhi standar RTH kota 30%, namun keberadaan RTH yang dominan bukan berada pada kawasan pesisir (pusat kota) menyebabkan kondisi iklim kota semakin tidak nyaman. Hal ini berkaitan dengan kondisi iklim di Kota Ternate, dimana rata-rata suhu udara berkisar 21.0ºC – 32.5ºC dengan tingkat penyinaran matahari rata-rata 64%, sehingga kondisi cuaca khususnya pada siang hari cukup panas. Keberadaan tanaman dan unsur air sebagai komponen utama RTH mampu menciptakan iklim mikro yang lebih baik di kawasan perkotaan.
162
Sebaran RTH khususnya di pusat Kota, yaitu 3 (tiga) kecamatan, Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara, diupayakan untuk dapat mengoptimalkan fungsi RTH. Penggunaan lahan di kawasan pusat perkotaan lebih dominan sebagai kawasan jasa dan perdagangan, sarana pendidikan, kesehatan, areal perkantoran serta permukiman penduduk, sehingga ketersediaan ruang terbuka hijau masih sangat minim. Hal ini disebabkan karena laju konversi lahan pada kawasan perkotaan semakin tinggi. Untuk itu perencanaan tata ruang kota (RTRW) dapat dijadikan kerangka kerja (framework) untuk pengendalian pemanfaatan ruang khususnya kawasan pusat kota serta peremajaan kota dengan membangun spot-spot area terbuka hijau (site) dan jalur hijau pada jaringan jalan (link) di pusat perkotaan sebagai RTH publik dan menetapkan koefisien dasar hijau (KDH) pada lahan-lahan milik masyarakat di kawasan permukiman sebagai RTH privat. Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2013-2032 Jumlah penduduk merupakan faktor utama untuk menentukkan banyaknya infrastruktur dan fasilitas umum yang harus disediakan di suatu wilayah perencanaan. Proyeksi jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu sangat membantu untuk menyusun perencanaan wilayah (perkotaan) di masa mendatang. Berdasarkan hasil analisis regresi linear, proyeksi penduduk kota Ternate di tahun 2013-2032 disajikan pada Tabel 66. Tabel 66. Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Ternate Tahun 2013-2032 Tahun Proyeksi Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Jumlah
2013
2017
2022
2027
2032
15.483 67.865 56.293 49.154
16.348 72.517 60.744 53.034
17.428 78.332 66.308 57.884
18.509 84.146 71.872 62.734
19.589 89.961 77.436 67.584
188.795 202.643
219.952
237.261 254.570
Rata-Rata Pertumbuhan (%) 1,33 1,63 1,88 1,87 1,68
Proyeksi penduduk di tahun 2013 diprediksikan mencapai 188.795 jiwa dan di tahun 2032 mencapai 254.570 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 20 tahun sebesar 1,68%. Jumlah penduduk yang terbesar diprediksikan berada di kecamatan Ternate Selatan yaitu 89.961 jiwa pada tahun 2032 dengan rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,63%.
163
Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate diprediksikan memiliki jumlah penduduk terkecil yaitu 19.589 jiwa di tahun 2032 dengan rata-rata pertumbuhan 1,33%. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi jumlah dan sebaran sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk melayani kebutuhan masyarakat Kota Ternate. Proyeksi jumlah penduduk (Tabel 67) dapat dimanfaatkan untuk menghitung kebutuhan infrastruktur perkotaan. Jumlah penduduk dapat dijadikan sebagai
parameter
untuk
merencanakan
infrastruktur
kota.
Kebutuhan
infrastruktur yang dapat dianalisis dengan proyeksi jumlah penduduk secara linear diantaranya adalah kebutuhan air bersih PDAM, daya listrik, produksi sampah, prasarana kesehatan dan prasarana niaga dan perdagangan. Sementara untuk prasarana pendidikan tidak dapat dilakukan analisis prediksi, disebabkan oleh keterbatasan data (mortalitas dan fertilitas) sebagai penunjang untuk melakukan analisi proyeksi penduduk berdasarkan usia. Dilain pihak bahwa untuk memprediksi kebutuhan prasarana pendidikan harus didasarkan pada jumlah anak usia sekolah. Hal demikian tentunya membutuhkan data prediksi jumlah penduduk berdasarkan usia.
Prediksi Kebutuhan Air Bersih Standar kebutuhan air bersih untuk ukuran Kota Sedang (jumlah penduduk 0,1–0,5 juta jiwa) adalah 100 lt/org/hr dengan asumsi tingkat kebocoran air 10%. Melihat proyeksi jumlah penduduk Kota Ternate pada tahun 2013-2032 (Tabel 66) maka kebutuhan air bersih PDAM disajikan pada Tabel 67. Prediksi kebutuhan air bersih di Kota Ternate pada tahun 2013 adalah 20.767.450 lt/hari dan pada tahun 2032 meningkat 28.002.700 lt/hari. Peningkatan jumlah air bersih tersebut mencapai 7.235.250 lt/hari atau 25%. Dengan membandingkan ketersediaan air bersih PDAM tahun 2011 sebesar 3.965.760 lt/hari dan prediksi kebutuhan air di tahun 2032 adalah 28.002.700 lt/hari, maka upaya peningkatan kapasitas produksi air bersih yang harus disediakan oleh PDAM hingga tahun 2023 sebesar 24.036.940 lt/hari atau peningkatan 7x dari ketersediaan air bersih di tahun 2011. Penyediaan kapasitas air dengan jumlah tersebut, sangatlah tinggi mengingat keterbatasan pelayanan air
164
bersih PDAM saat ini. Untuk itu disarankan untuk mencari alternatif potensi sumber air baku yang berada di Kota Ternate untuk dapat dimanfaatkan masyarakat dalam menunjang aktivitas sehari-hari, mengingat air merupakan kebutuhan dasar (basic need) bagi kelangsungan kehidupan masyarakat. Tabel 67. Prediksi Kebutuhan Air Bersih PDAM Tahun 2013-2032 Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara
Kondisi Eksisting 2011 79.210 1.471.702 1.271.993 1.142.855
Jumlah 3.965.760 Tingkat Kebocoran 10% 3.965.760 Jumlah *Standar 100 lt/org/hari
Kebutuhan Air Bersih (lt/hari)* 2013
2017
2022
2027
2032
1.548.300 6.786.500 5.629.300 4.915.400
1.634.800 7.251.700 6.074.400 5.303.400
1.742.800 7.833.200 6.630.800 5.788.400
1.850.900 8.414.600 7.187.200 6.273.400
1.958.900 8.996.100 7.743.600 6.758.400
18.879.500
20.264.300
21.995.200
23.726.100
25.457.000
1.887.950
2.026.430
2.199.520
2.372.610
2.545.700
20.767.450
22.290.730
24.194.720
26.098.710
28.002.700
Prediksi Kebutuhan Daya Listrik Untuk menentukan kebutuhan daya listrik digunakan standar pelayanan daya listrik 450 VA per jiwa berdasarkan SNI 03-1733-2004. Proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2032 adalah 254.570 jiwa (Tabel 66), maka kebutuhan daya listrik mencapai 114.557 KVA. Hasil estimasi perhitungan kebutuhan daya listrik pada tahun 2013 hingga tahun 2032 terus mengalami peningkatan seiringan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan daya listrik mencapai 29.599 KVA atau 26%. Prediksi kebutuhan daya listrik tahun 2013-2032 disajikan pada Tabel 68. Kondisi eksisting daya tersambung listrik tahun 2011 sebesar 41.042 KVA. Jika dibandingkan dengan prediksi kebutuhan daya listrik hingga tahun 2032 yaitu 114.557 KVA, maka kapasitas produksi listrik sebesar 73.515 KVA atau 3x dari ketersediaan daya listrik (tahun 2011) perlu diupayakan untuk dapat menjamin pelayanan listrik di Kota Ternate hingga tahun 2032.
165
Tabel 68. Prediksi Kebutuhan Daya Listrik Tahun 2013-2032 Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara
Kondisi Eksisting 2011 3.455 13.695 13.066 10.827
Jumlah 41.042 *Standar 450 VA per jiwa
Kebutuhan Daya Listrik (KVA)* 2013
2017
2022
2027
2032
6.967 30.539 25.332 22.119
7.357 32.633 27.335 23.865
7.843 35.249 29.839 26.048
8.329 37.866 32.342 28.230
8.815 40.482 34.846 30.413
84.958
91.189
98.978
106.767
114.557
Prediksi Produksi Sampah Berdasarkan hasil perhitungan estimasi produksi sampah tahun 2013-2032 mendatang menunjukkan peningkatan timbulan sampah dari 471.988 lt/hari meningkat 636.425 lt/hari atau mengalami peningkatan sebesar 26%. Kecamatan Ternate Selatan diprediksikan memiliki produksi sampah terbanyak yaitu sebesar 224.903 lt/hari, sedangkan produksi sampah yang terkecil berada di kecamatan Pulau Ternate yaitu 48.973 lt/hari pada tahun 2032. Untuk itu kebutuhan jumlah sarana TPS dan sebarannya perlu dipertimbangkan pada masing-masing kecamatan untuk memberikan layanan pengangkutan sampah yang optimal dan merata. Untuk lebih jelasanya disajikan pada Tabel 69. Tabel 69. Prediksi Produksi Sampah Tahun 2013-2032 Kondisi Eksisting 2008
2013
2017
2022
2027
2032
6.720 55.710 51.980 32.470
38.708 169.663 140.733 122.885
40.870 181.293 151.860 132.585
43.570 195.830 165.770 144.710
46.273 210.365 179.680 156.835
48.973 224.903 193.590 168.960
146.880 *Standar 2,5 lt/org/hari
471.988
506.608
549.880
593.153
636.425
Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Jumlah
Produksi Sampah (lt/hari)*
Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan Estimasi jumlah kebutuhan prasarana kesehatan didasarkan oleh proyeksi jumlah penduduk. Proyeksi jumlah penduduk hingga tahun 2032 adalah 254.570 jiwa (Tabel 66), sehingga diprediksikan membutuhkan 129 unit prasarana kesehatan (Tabel 70). Prasarana kesehatan diprediksikan pada tahun 2013 hingga tahun 2032 meningkat dari 129 unit menjadi 174 unit atau mengalami peningkatan sebesar 25% (45 unit).
166
Melihat ketersediaan prasarana kesehatan tahun 2011 dan prediksi kebutuhan tahun 2013-2032, maka prasarana kesehatan hingga tahun 2032 perlu diupayakan peningkatannya untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat. Perencanaan prasarana kesehatan di tahun 2032 membutuhkan peningkatan sebanyak 65 unit dan sebarannya perlu diperhatikan agar dapat memberikan kemudahan untuk menjangkau tiap kecamatan ke prasarana kesehatan tersebut. Tabel 70. Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan Tahun 2013-2032 Prasarana Kesehatan Rumah Sakit
1
Kondisi Eksisting 2011 6
Tahun Prediksi 2013
2017
2022
2027
2032
1 1 1 2 2 Rumah Sakit Bersalin2 3 6 7 7 8 8 Puskesmas3 6 2 2 2 2 2 Posyandu4 21 76 81 88 95 102 Praktek Dokter5 47 38 41 44 47 51 Apotek6 26 6 7 7 8 8 Jumlah 109 129 138 150 162 174 1 Standar 150.000 jiwa; 2Standar 30.000 jiwa; 3Standar 120.000 jiwa; 4Standar 5.000 jiwa; 5 Standar 5.000 jiwa; 6Standar 30.000 jiwa;
Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan Rencana kebutuhan prasarana niaga dan perdagangan pada tahun 20132032 berdasarkan analisis prediksi adalah 1.037 unit. Tabel 71 menunjukkan peningkatan kebutuhan prasarana niaga dan perdagangan di tahun tersebut sebesar 241 unit. Namun ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan pada tahun 2010 telah melebihi kebutuhan pada tahun 2032. Hal ini menunjukkan bahwa prasarana niaga dan perdagangan cenderung tumbuh lebih cepat di Kota Ternate. Jika dilihat berdasarkan jenis prasarananya, maka fasilitas pasar masih diperlukan upaya peningkatan sebanyak 5 unit pada tahun 2032. Selain itu zona pelayanan prasarana niaga dan perdagangan perlu diatur sehingga sebarannya merata di setiap unit kecamatan. Tabel 71. Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan Tahun 2013-2032 Prasarana Niaga dan Perdagangan
Kondisi Tahun Prediksi Eksisting 2013 2017 2022 2027 2010 Toko/warung1 3.152 755 811 880 949 Pasar2 3 6 7 7 8 Minimarket3 21 6 7 7 8 Pusat Perbelanjaan/Mall4 13 2 2 2 2 Jumlah 3.189 769 826 896 967 1 Standar 250 jiwa; 2Standar 30.000 jiwa; 3Standar 30.000 jiwa; 4Standar 120.000 jiwa
2032 1.018 8 8 2 1.037
167
Persepsi Stakeholder dalam Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Waterfront Arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan waterfront bertujuan untuk memberikan rancangan konsep kebijakan pengelolaan kelayakan infrastruktur yang berkelanjutan. Setelah pengembangan kawasan waterfront masih
menyisakan sejumlah permasalahan.
Permasalahan
yang
muncul
diantaranya belum selesainya pembangunan sarana dan prasarana misalnya pembangunan gelanggang remaja sebagai sarana rekreasi dan fasilitas pasar tradisional, munculnya sektor informal (PKL) yang tidak terencana, kebersihan kawasan dimana masih terdapat sampah di sekitar tepi pantai dan kondisi taman kota yang tidak terawat. Analisis persepsi stakeholder diharapkan dapat memberikan alternatif untuk memperbaiki sarana dan prasarana di kawasan waterfront. Analisis persepsi stakeholder menggunakan tools Analitycal Hierarchy Process (AHP). Jumlah responden sebanyak 11 responden yang terdiri dari kalangan pemerintah, pihak swasta dan akademisi. Responden yang dipilih yaitu para pihak yang terkait langsung dengan bidang infrastruktur. Aspek Infrastruktur Hasil analisis persepsi stakeholder terkait aspek infrastruktur memiliki nilai Consistency Ratio (CR) 0,089. Nilai CR tersebut menunjukkan tingkat konsistensi serta prioritas terhadap elemen-elemen yang mewakili semua responden. Pada elemen-elemen di Tingkat 2 yakni Aspek infrastruktur, aspek yang menjadi prioritas untuk dibenahi menurut para stakeholders yaitu infrastruktur fisik (0,525), kemudian disusul infrastruktur hijau (0,238) dan selanjutnya infrastruktur sosial dan ekonomi (0,237). Pembobotan tertinggi dalam tingkatan ini yaitu infrastruktur fisik didasarkan atas permasalahan di kawasan waterfront misalnya belum optimalnya penanggulangan sampah di kawasan, sehingga perlu pengelolaan lebih lanjut. Hasil analisis AHP untuk aspek infrastruktur disajikan pada Gambar 50 .
168
Infrastruktur Hijau
0,238
Infrastruktur Sosial & Ekonomi
0,237
Infrastruktur Fisik 0,000
0,525 0,100
0,200
0,300
0,400
0,500
0,600
Gambar 50. Hasil AHP Aspek Infrastruktur
Sub Aspek Ketersediaan Infrastruktur di Kawasan Waterfront Sub aspek ketersediaan infrastruktur yang berada di kawasan waterfront meliputi jalan, air bersih, listrik, drainase dan sampah (infrastruktur fisik); terminal angkutan umum, pasar tradisional, mall/pertokoan dan mesjid (infrastruktur sosial ekonomi) dan taman kota (infrastruktur hijau). Beberapa sub aspek infrastrutkur yang masih menjadi problem dalam penataan dan pengelolaan kawasan diantaranya adalah sampah, pasar tradisional dan taman kota. Hasil analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek infrastruktur memiliki nilai Consistency Ratio (CR) 0,023. Pada elemen-elemen di tingkat 3, sub aspek infrastruktur fisik yang menjadi prioritas untuk diperhatikan menurut para stakeholders yaitu sampah (0,233), jaringan jalan (0,211), saluran drainase (0,208) kemudian disusul pelayanan air bersih (0,175) dan selanjutnya jaringan listrik (0,174). Gambar 51 menyajikan hasil analisis AHP sub aspek infrastruktur fisik. Sampah
0,233
Saluran drainase
0,208
Pelayanan Air Bersih
0,174
Listrik
0,175
Jaringan Jalan 0,000
0,211 0,050
0,100
Gambar 51. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Fisik
0,150
0,200
0,250
169
Bobot penilaian 0,233 pada sub aspek sampah menunjukkan bahwa kebersihan kawasan waterfront yang menjadi prioritas. Pengembangan kawasan waterfront dilihat dalam rencana tata ruang bahwa salah satu prioritas untuk menanggulangi pencemaran lingkungan khususnya di kawasan pesisir yang tercemar akibat sampah. Penanggulangan sampah diharapkan dapat memberikan tatanan lingkungan khususnya kawasan pesisir yang lebih sehat dan bernilai estetika. Berdasarkan hasil analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek infrastruktur sosial dan ekonomi memiliki nilai Consistency Ratio (CR) 0,043 yang menunjukkan tingkat konsistensi serta prioritas terhadap elemen-elemen yang mewakili semua responden. Pada elemen-elemen di tingkat 3, sub aspek infrastruktur sosial dan ekonomi yang mejadi prioritas utama menurut para stakeholders secara berurutan yaitu pasar tradisional dengan bobot nilai 0,330, mesjid dengan bobot nilai 0,310, terminal angkutan dengan bobot nilai 0,209 kemudian disusul pertokoan/mall dengan bobot nilai 0,159 (Gambar 52). Terminal Angkutan
0,209
Mesjid
0,310
Pertokoan/Mall
0,159
Pasar Tradisional 0,000
0,330 0,050
0,100
0,150
0,200
0,250
0,300
0,350
Gambar 52. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Sosial dan Ekonomi
Pengembangan kawasan waterfront ditujukan untuk pelayanan sarana dan prasarana sosial ekonomi. Sarana tersebut salah satunya adalah pasar tradisional. Keberadaan pasar tradisional yang lama tidak layak lagi untuk dapat menampung aktivitas jual beli masyarakat, sehingga pembangunan pasar tradisional yang baru dirasakan penting untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Prioritas utama pada pasar tradisional dimaksudkan untuk mengembangkan ekonomi berbasis masyarakat.