TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Administratif dan Geografis Kabupaten Tangerang Wilayah Kabupaten Tangerang mempunyai luas 1.110,38 Km2, terdiri dari 26 Kecamatan dan 251 Desa dan 77 Kelurahan. Terletak di bagian timur wilayah Provinsi Banten yang berbatasan : -
Sebelah Barat dengan Kabupaten Serang dan Lebak,
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Bogor dan Kota
Depok, -
Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang, dan
-
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.
Wilayah bagian utara merupakan dataran pesisir dengan panjang pantai mencapai + 50 Km. Letak geografis wilayah Kabupaten Tangerang berada pada batas astronomis / koordinat
106o 20’ – 106o 43’ Bujur Timur dan 6o 00’ – 6o 20’
Lintang Selatan. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Tangerang terdiri dari 5 (lima) jenis yaitu Alluvial (31%), Regosol (1%), Latosol (42%), Podsolik Merah Kuning (19%) dan Hidromorp Kelabu (7%). Keadaan topografi Kabupaten Tangerang termasuk kedalam zone I yaitu relatif datar dengan kemiringan 0-3% dan ketinggian tempat rata-rata 0-85 m dpl.
Wilayah Kabupaten Tangerang
memiliki iklim AF (iklim hujan tropis) menurut klasifikasi Koppen, dan termasuk zone iklim D (sedang) menurut klasifikasi Oldeman. Kabupaten Tangerang, sebagian wilayahnya adalah pantai sehingga dipengaruhi iklim laut (ada muson barat pada musim hujan dan muson timur pada musim kemarau).
Curah hujan rata-rata 1.898 mm per tahun. Sedangkan
temperatur udara berkisar antara 23,5 - 33,2 oC. Rata-rata kelembaban udara dan intensitas matahari sekitar 79,8% dan 61,7% (Bapeda 2005).
5
Pasar Tradisional di Kabupaten Tangerang Kabupaten Tangerang memiliki 28 pasar tradisional yang terdiri dari 16 pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah melalui PD Pasar Kertarahardja dan 12 pasar desa yang dikelola oleh pemerintahan desa. Aktifitas pasar desa tidak berlangsung setiap hari, tetapi hanya berlangsung satu hari dalam satu pekan yaitu yang disebut dengan ”hari pasar” dengan jumlah dan jenis komoditi yang diperjualbelikan amat terbatas. Sedangkan pasar tradisional yang dikelola oleh PD Pasar, beraktifitas setiap hari dengan jumlah dan jenis komoditi yang beraneka ragam.
Kondisi pasar tradisional di Wilayah Kabupaten
Tangerang saat ini masih sangat sederhana, dimana belum ada pemisahan yang jelas antara berbagai jenis komoditi seperti produk peternakan dengan sayuran, ikan maupun produk lainnya (Bapeda 2005). Pasar tradisional menjual berbagai jenis produk peternakan, diantaranya yaitu telur ayam ras.
Sumber telur ayam ras yang dijual 87% berasal dari
peternakan ayam ras di Wilayah Kabupaten Tangerang, sedangkan selebihnya berasal dari daerah Bogor (9%) dan Jawa Tengah serta Jawa Timur (4%) (Distanak 2005).
Potensi Peternakan Ayam Ras di Kabupaten Tangerang a. Peternakan Pembibitan Ayam Ras (Breeder) dan Penetasan Telur Tetas (Hatchery) Di Wilayah Kabupaten Tangerang terdapat 4 buah peternakan pembibitan ayam ras niaga (Breeding Farm Final Stock), yaitu : PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Central Agromina, PT. Sierad Produce dan PT. Cibadak Indah Sari Farm dengan total populasi berkisar 400-600 ribu ekor. Dari keempat peternakan tersebut, hanya PT. Sierad Produce yang tidak memiliki fasilitas Penetasan (Hatchery) di Kabupaten Tangerang dan mengirimkan Telur Tetasnya (Hatching Eggs) ke Wilayah Bogor. Produksi maksimum Anak Ayam Umur Sehari (Day Old Chick/DOC) Pedaging (Broiler) dan Petelur (Layer) sebanyak 12-15 juta ekor per tahun dengan prosentasi produksi DOC Layer sebesar 12-18%. Distribusi DOC tidak hanya diperuntukkan di Wilayah Kabupaten Tangerang, tetapi juga ke beberapa daerah lainnya seperti Jawa Timur sebanyak 20%, Jawa Tengah
6
sebanyak 20%, Jawa Barat sebanyak 20%, Lampung sebanyak 10%, sedangkan untuk Wilayah Jabodetabek sebanyak 30% (Distanak 2005). Sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan Nomor 26/TN.530/Kpts/DJP/Deptan/86
tentang
Pedoman
Pelaksanaan
Pengujian
Penyakit Pullorum, maka semua perusahaan Pembibitan (Breeder) ayam petelur atau ayam pedaging wajib menyelenggarakan pengujian pullorum, yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan Salmonella pullorum yang menjadi penyebab penyakit pullorum pada ayam bibit. Pengujian terhadap penyakit pullorum hanya boleh dilakukan oleh lembaga, badan hukum atau pihak yang berwenang. Pengujian pertama dilakukan pada semua ayam bibit yang berumur 14 minggu sampai menjelang bertelur, selanjutnya dilaksanakan secara teratur satu kali dalam waktu selang enam bulan. Tiap kali pengujian harus dilakukan ulangan selang waktu 35 hari sampai tidak ditemukan reaktor lagi dalam dua kali uji ulang berturut-turut. Sesuai dengan laporan pemasukan ayam bibit atau laporan berkala dari tiap
breeder,
Dinas
Pertanian
dan
Peternakan
Kabupaten
Tangerang
melaksanakan pengujian pullorum dengan menggunakan antigen pullorum yang berasal dari Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor. Pengujian dilakukan dengan mencampurkan satu tetes antigen pullorum (0,01 ml) di atas porselen putih dengan darah yang berasal dari pembuluh darah balik di sayap ayam. Reaksi Positif, apabila terjadi gumpalan (aglutinasi) yang jelas dengan sekelilingnya bening beberapa detik sesudah pengadukan. Reaksi negatif, apabila campuran tetap serba sama, tidak terjadi gumpalan hingga waktu dua menit berlalu.
Reaksi dubius, apabila penggumpalan tidak spesifik dengan cairan
sekelilingnya tetap keruh.
Pelaksanaan pengujian pullorum pada salah satu
peternakan pembibitan ayam di Kabupaten Tangerang, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :
7
Gambar 1 Pelaksanaan pengujian pullorum pada peternakan Ayam Bibit (Breeder) (Distanak 2006) Peternakan pembibitan
dinyatakan bebas penyakit pullorum, apabila dari
pengujian pertama dan pengujian ulangan tidak ditemukan reaktor yang dikukuhkan dengan sertifikat bebas pullorum dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang (Distanak 2006). b. Peternakan Ayam Ras Petelur Pada tahun 2005 di Wilayah Kabupaten Tangerang terdapat 50 peternakan ayam ras petelur dengan populasi total berjumlah 3.110.000 ekor dengan produksi telur ayam ras sebesar 27.737.766 kg/tahun (Distanak 2005). Data peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Tangerang dapat dilihat pada tabel 1. Peternak ayam ras petelur di Kabupaten Tangerang, sebagian besar memelihara ayam ras mulai dari ayam berumur satu hari dengan menggunakan sistem kandang litter yang beralaskan sekam padi atau serbuk gergaji hingga ayam berumur 14 atau 16 minggu. Setelah ayam mencapai umur 18-21 minggu, ayam sudah mendekati masa produksi dan harus dipindah ke kandang layer dengan sistem cage. Bahan cage pada umumnya terbuat dari bambu atau kawat dengan tempat ransum maupun air minum ditempatkan di luar cage dengan bentuk trough. Tempat air minum ditempatkan di atas tempat ransum, agar ransum tidak mengotori air minum. Beberapa peternakan sudah menggunakan nipple untuk tempat air minum ayam sehingga air minum tidak berceceran di sekitar lokasi kandang.
8
Tabel 1 Jumlah peternakan dan populasi ayam ras petelur di Kab. Tangerang Tahun 2005. No.
Kecamatan
1.
Legok
2.
3.
Nama Farm
1. Buana 2. Langsing 3. Koming 4. Budi 5. Atung 6. Babat 7. Tungki 8. Teddy 9. Trijaya 10. Ayung 11. LM 12. KM 13. Garuda 14. LC 15. YS 16. HS 17. S Jaya 18. Darmaw Curug 19. Hidup J 20. Tanto 21. S Multi 22. Acun 23. HO Ps. Kemis 24. SIH 25. Kurnia Sub Total
Populasi (ekor) 80.000 70.000 60.000 45.000 80.000 75.000 60.000 60.000 60.000 45.000 60.000 60.000 60.000 65.000 65.000 60.000 50.000 80.000 60.000 55.000 70.000 60.000 65.000 60.000 45.000 1.550.000 Total
No.
Kecamatan
4.
Kemeri
5.
Panongan
6. 7.
Pd. Aren Ciputat
8. 9. 10.
Cikupa Cisoka Pagedangan
Nama Farm 26. TKK 27. Gloria 28. Kemeri 29. Napoya 30. Asia J 31. Sinar F 32. Klebet 33. Abadi 34. Timur J 35. Garuda 36. SH 37. Sumber 38. Rudy 39. SR 40. Eden 41. Eden P 42. Arman 43. AEC 44. Dunia 45. Soka 46. TA 47. YA 48. LA 49. Ok Kio 50. Tuti F
Sub Total
Populasi (ekor) 55.000 85.000 60.000 30.000 80.000 75.000 65.000 60.000 75.000 65.000 65.000 60.000 60.000 65.000 60.000 65.000 65.000 85.000 80.000 60.000 60.000 20.000 45.000 40.000 80.000 1.560.000 3.110.000
Sumber : Distanak Kabupaten Tangerang 2005
Usaha pencegahan penyakit dilakukan dengan melakukan vaksinasi dengan memberikan vaksin New Castledisease,
Infectious Bursal Disease,
Cholera, Coccidiosis, Coryza, Chronic Respiratory Disease dan Avian Influenza (Distanak 2005). Pelaksanaan vaksinasi terhadap S. Enteritidis di Indonesia tidak direkomendasikan, karena antibodi yang terbentuk pascavaksinasi dapat ’mengacaukan” pemeriksaan uji pullorum yang dilakukan akibat adanya reaksi silang antara Salmonella spp. yang terdapat dalam satu Grup.
Sesuai dengan
klasifikasi struktur antigenik menurut Skema Kaufman-White, bakteri S. Enteritidis dan S. Pullorum termasuk dalam grup D yang memiliki kesamaan struktur antigenik somatik yaitu O1,9,12 (Ariyanti et al. 2004).
9
Untuk menurunkan biaya produksi, para peternak pada umumnya membuat ransum sendiri (self mixing) dari berbagai jenis bahan baku, antara lain : jagung kuning, dedak halus, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung ikan dan tepung kerang. Dari data yang diperoleh, 40 % peternak ayam ras di Kabupaten Tangerang telah menggunakan probiotik dalam air minum sebagai pengganti pemacu pertumbuhan (growth promotor) yang biasanya dicampurkan dalam pakan ternak. Dosis probiotik yang digunakan adalah 2 ml/liter air minum yang diberikan setiap hari menjelang masa produksi atau bila kondisi kesehatan ayam terlihat menurun. Pemilihan penggunaan probiotik dalam air minum dilakukan untuk menghindari resistensi antibiotika dan membuat konsistensi feces menjadi lebih kering sehingga mengurangi bau dan lalat disekitar lokasi peternakan.
Probiotik Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang diaplikasikan secara oral dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan ternak dengan cara memanipulasi komposisi bakteri yang ada dalam saluran pencernaan ternak. Alternatif penggunaan probiotik yang dilakukan oleh para peternak disebabkan karena beberapa negara telah melakukan pelarangan penggunaan antibiotika sebagai growth promotor serta kecenderungan terjadinya resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap antibiotika tertentu (Revolledo et al. 2006). Berdasarkan hasil pengujian beberapa serotipe Salmonella yang berasal dari spesimen hewan dengan 17 jenis antibiotika, diperoleh hasil bahwa terjadi resistensi terhadap antibiotika-antibiotika tersebut yang umumnya selain digunakan untuk pengobatan manusia dan hewan, juga di bidang industri peternakan digunakan sebagai growth promotor (Headrick & Cray 2001). Sebagian besar probiotik yang digunakan sebagai aditif tergolong dalam jenis bakteri, diantaranya species Lactobacillus (L. acidophilus, L. lactis, L. plantarum) dan Bifidobacterium (B. bifidum, B. thermophilum), disamping itu terdapat juga bakteri Streptococcus lactis dan jenis fungi seperti Aspergilus niger dan Aspergilus oryzue. Terdapat monostrain, multistrain dan multispecies probiotik.
Monostrain
probiotik mengandung satu strain bakteri dari satu species, multistrain probiotik
10
mengandung lebih dari satu strain bakteri dari satu species atau genus yang sama, sedangkan multispecies probiotik mengandung beberapa strain bakteri dari species atau genus yang berbeda (Timmerman et al. 2004). Hingga saat ini, belum dapat dipastikan mekanisme kerja probiotik dalam mengurangi infeksi bakteri patogen dalam tubuh induk semang. Lactobacillus mempunyai kemampuan untuk mencegah
perlekatan, perkembangbiakan dan
menurunkan patogenitas bakteri enteropatogen.
Mekanisme lainnya, yaitu
dengan memproduksi rantai pendek asam lemak terbang sehingga akan menurunkan pH lumen usus dimana hal ini merupakan kondisi yang tidak mendukung bagi perkembangan bakteri enteropatogen, menghasilkan substansi yang bersifat menghambat metabolit yang diperlukan oleh bakteri patogen dan memproduksi senyawa spesifik seperti bakteriosin yang bersifat bakterisidal. Penelitian terhadap reaksi imunologi dari pemberian probiotik saat ini terus dikembangkan, Lactobacillus mampu meningkatkan imunitas mukosal dan sistemik
saluran
pencernaan
terhadap
bakteri
enteropatogen
dengan
meningkatkan produksi dari SIgA (Secretory IgA). Efek immmune-modulation bakteri yang terdapat dalam probiotik juga dimiliki oleh mekanisme lain yang disebut dengan competitive exclusion (CE) yaitu suatu mekanisme bakteri untuk memanipulasi komposisi mikrobiota intestinal.
Kedua mekanisme ini, mampu
mencegah infeksi bakteri enteropatogen seperti Salmonella dengan cara mempertahankan kondisi optimal dari usus induk semang dan menjaga kestabilan mikroflora normal usus.
Kondisi kesehatan induk semang merupakan faktor
penting yang mempengarungi kinerja probiotik untuk menghambat infeksi bakteri enteropatogen (Nemeth et al. 2006 & Tellez et al. 2001). Mekanisme immunomodulation probiotik dan competitive exclusion dalam usus unggas, dapat dilihat pada gambar 2 berikut.
11
Sekresi IgA (SIgA)
Peningkatan Imunitas Mukosa Usus
SIL
ILI Komponen Sekresi (KS)
Sitokin
Gambar 2 Mekanisme immuno-modulation probiotik dan Competitive Exclusion dalam usus unggas (Revolledo et al. 2006) Keterangan gambar : SIgA=Sekresi IgA; CE=Competitive Exclusion; SIL=Sel Intraepitelial; ILI=Intraepitelial Limfosit Intestinal; LPL=lamina propria limfosit (T limfosit aktivasi); LB= Limfosit B; LT=Limfosit T; M sel=sel yang berfungsi untuk mengirimkan antigen dari lumen intestinal ke usus unggas; KS=Komponen Sekresi. Mekanisme kerja : Penangkapan antigen : 1. antigen dapat dikenali secara langsung oleh Intraepitelial Limfosit Intestinal (ILI) yang kemudian mengirimkan sinyalnya pada lamina propia; 2. pada saat antigen ditangkap oleh sel-sel M , terdapat 2 kemungkinan untuk menstimulasi terjadinya respon imunologi : a) antigen langsung ditangkap oleh makrofag atau sel-sel dendrit, yang mampu memproses untuk menghasilkan Limfosit T (LT) pada lamina propia; atau b) antigen akan mengaktifkan sel-sel B, yang akan menstimulasi LT pada lamina propia; 3. Antigen dapat ditangkap oleh Sel Intraepitelial (SIL) melalui proses endositosis. SIL mempunyai kemampuan seperti LT untuk memproses antigen. SigA akan memproduksi : LT aktivasi dan menghasilkan sitokin yang akan menstimulir aktivasi Limfosit B (LB) dan pada akhirnya sel plasma akan menghasilkan IgA. Pada akhirnya produksi IgA akan menghambat perlekatan antigen di permukaan mukosa usus unggas.
12
Struktur Telur Telur ayam mempunyai struktur sangat khusus, yaitu mengandung zat gizi yang cukup untuk mengembangkan sel yang telah dibuahi menjadi seekor anak ayam (Puslitnak 2000). Telur secara umum terbagi atas kulit telur (kerabang), putih telur (albumen) dan kuning telur. Pada umumnya telur ayam berbentuk bulat lonjong, tetapi ada sebagian kecil telur mempunyai bentuk yang abnormal. Perbedaan bentuk itu dapat terjadi karena adanya faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah sifat genetis, umur ayam pada waktu bertelur, sifat-sifat biologis sewaktu bertelur dan sifat-sifat fisiologis yang terdapat pada induknya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besarnya telur antara lain bangsa ayam, umur, perubahan musim sewaktu bertelur, sifat keturunan, umur pembuahan, bobot badan induk dan pakan yang diberikan pada ayam yang bersangkutan (AEB 2005).
a. Kerabang Telur AEB (2005), menyatakan bahwa kerabang telur tersusun atas empat bagian utama yaitu lapisan mammilari, lapisan spongiosa, kutikula dan pori-pori. Kerabang adalah bagian kulit telur yang keras yang melindungi isi telur dan embrio terhadap gangguan dari luar, baik fisik maupun kimia serta sebagian lapisan untuk difusi udara respirasi (Bloomquist 2000). Sebutir telur memiliki 7000-17.000 pori-pori yang tersebar tidak merata pada permukaan kerabang. Ujung telur yang tumpul mengandung paling banyak pori-pori, sedangkan ujung yang lancip paling sedikit. Jumlah pori-pori yang terbuka pada telur segar relatif lebih sedikit dibandingkan telur yang mengalami penyimpanan (Yahya 2005). Warna kerabang telur ayam sangat bervariasi, ada yang berwarna putih, coklat muda sampai coklat tua. Perbedaan warna kerabang tersebut disebabkan oleh pigmen dan sifat genetis induk ayam. Kerabang telur yang berwarna coklat disebabkan adanya pigmen cophorpyrin yang terdapat pada permukaan kerabang telur (AEB 2005).
13
b. Putih Telur Menurut FDHS (2004), putih telur terdiri dari 4 lapisan yaitu lapisan putih telur kental dalam, lapisan putih telur encer dalam, lapisan putih telur kental luar dan lapisan putih telur encer luar. Lapisan putih telur kental dalam, langsung mengelilingi kuning telur dan ujungnya membentuk tali kalaza yang berfungsi memegang kuning telur pada kedua ujungnya. Lapisan ini sangat tipis dan menyusun 3% dari total putih telur. Lapisan putih telur encer dalam, mengelilingi lapisan putih telur kental dalam dan merupakan 21% dari total putih telur. Lapisan putih telur kental luar, membentuk amplop yang membungkus lapisan putih telur encer dalam serta kuning telur. Lapisan ini merupakan bagian putih telur yang tertinggi (55%). Lapisan putih telur encer luar terletak di bawah membran kulit kecuali pada bagian dimana lapisan putih telur kental luar menyentuh membran kulit dan merupakan 21% dari total putih telur.
c. Kuning Telur Kuning telur terdiri dari blastoderma, latebra, lingkaran pusat, lingkaran kuning dan membran vitelin. Latebra merupakan saluran yang menghubungkan blastoderm ke pusat kuning telur yang berfungsi untuk tempat pertumbuhan embrio. Blastoderm yang terlihat sebagai bintik kecil pada permukaan kuning telur, dimana dalam telur yang terbuahi benih ini berkembang menjadi anak ayam. Membran vitelin merupakan lapisan tipis yang mengelilingi kuning telur (FDHS 2004).
Kuman Pencemar Thiagarajan et al. (1994), melaporkan bahwa pencemaran kuman pada telur dapat terjadi sejak telur di dalam induk ayam yaitu secara vertikal, sampai telur dikeluarkan oleh induk ayam. Secara vertikal yaitu pencemaran terjadi melalui telur, hal ini karena mikroba berada dalam indung telur (ovarium). Mikroba yang mencemari telur yang sudah berada diluar tubuh induk atau yang dinamakan dengan kontaminasi secara horizontal, dapat berasal dari feses, tanah,
14
kandang, tangan peternak, udara dan tempat pengemasan. Penyebaran infeksi oleh mikroba diantara kelompok ayam merupakan mata rantai yang selalu berkaitan, yaitu pengeluaran kuman bersama kotoran dari ayam sakit atau karier, dan menginfeksi ayam sehat lain melalui pakan yang tercemar mikroba. Kondisi pasar tradisional yang masih sederhana dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai serta iklim tropis akan mendukung peningkatan kontaminasi dan perkembangbiakan mikroba (Jekti 1990). Pertumbuhan mikroba dapat dibagi menjadi empat fase yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik (exponential), fase konstan (stationary) dan fase pertumbuhan yang menurun atau fase kematian (death). Berdasarkan suhu optimum pertumbuhan mikroba digolongkan menjadi psikrofilik dengan suhu optimum pertumbuhan sekitar 0 – 20 oC, psiktotrofik -5 – 30 oC, mesofilik sekitar 20 – 43 oC dan termofilik sekitar 40 – 65 oC (Supardi & Sukamto 1999). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kuman di dalam telur yaitu faktor intrinsik yaitu nilai nutrisi telur, kadar air, pH, ada tidaknya bahan penghambat serta faktor ekstrinsik yaitu suhu lingkungan, kelembaban dan ada tidaknya oksigen (Buckle et al. 1987).
Salmonella enteritica Serovar Enteritidis (S. Enteritidis) Menurut Gianella (2001) menyatakan bahwa genus Salmonella merupakan anggota famili Enterobacteriaceae yaitu bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Salmonella memiliki dua jenis spesies yaitu Salmonella enteritica dan Salmonella bongori. Salmonella enteritica memiliki enam subspesies yaitu subspesies I : subspesies enteritica; subspesies II : subspesies salamae; subspesies IIIa : subspesies arizonae; subspesies IIIb : subspesies diarizonae; subspesies IV : subspesies hautenae dan subspesies V : subspesies indica. Pengelompokan subspesies dibedakan berdasarkan sifat-sifat biokimianya.
Berdasarkan sifat-sifat biokimianya, S. Enteritidis merupakan
subspesies enteritica.
15
Berdasarkan serovar/serotipe.
struktur
antigennya
subspesies
dibagi
menjadi
Untuk menuliskan nama serotipe, misalnya cara lama S.
enteritidis menjadi S. enteritica subspesies enteritica serotipe Enteritidis menjadi Salmonella ser Enteritidis dan saat ini penulisannya menjadi Salmonella Enteritidis (Murray 1991). Salmonella diklasifikasikan dalam group sesuai dengan klasifikasi Kaufman-White yang didasarkan pada antigen badan somatik O (ohne) dan antigen flagel H (hauch). Genus ini mempunyai struktur antigen yang tidak stabil dan dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu dan bakteri ini pada suatu saat dapat membentuk variasi secara tiba-tiba (Kaufmann 1972). S. Enteritidis bersifat Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak berspora dengan ukuran 0,7-1,5 x 2,0-5,0 mm, umumnya bergerak dengan flagella peritrikus.
S. Enteritidis tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa, akan tetapi
membentuk asam dan juga gas dari glukosa, maltosa, dan mannitol. S. Enteritidis memberi reaksi positif terhadap sitrat, lisin, ornithin dekarboksilase, serta memberi reaksi negatif pada indol dan urease. Karakteristik lainnya yaitu dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit, dapat memfermentasi dulsitol, memproduksi H2S, dan tumbuh secara optimal pada suhu 37 oC (Cox et al. 2000).
Gambar 3 Bakteri Salmonella Enteritidis (Cox et al. 2000)
16
Kontaminasi S. Enteritidis pada telur diketahui dengan dua mekanisme yaitu melalui induk yang terinfeksi oleh S. Enteritidis (vertikal) dan secara horizontal. Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial (transovarial contaminated). Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa S. Enteritidis pada telur ayam, berasal dari induk ayam yang terinfeksi (Cox et al. 2000). Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan ayam yang sedang bertelur dan diinfeksi dengan S. Enteritidis, ternyata mengakibatkan telur-telur tersebut terinfeksi dengan strain S. Enteritidis yang sama (FSIS dan FDA 1998). S. Enteritidis dapat menginfeksi telur yang berasal dari induk ayam yang sehat dimana kontaminasi terjadi sebelum kulit telur terbentuk, letak infeksi biasanya di putih telur dekat membran kuning telur (CDC 2003). FSIS dan FDA (1998) telah melakukan survei mengenai keberadaan S. Enteritidis di telur. Hasil survey membuktikan adanya S. Enteritidis di kerabang, kuning dan putih telur. Selain telur, FSIS dan FDA (1998) melakukan survei tentang keberadaan S. Enteritidis di tubuh ayam petelur. Hasil dari survei tersebut ditemukan S. Enteritidis di organ usus buntu, hati, ginjal, indung telur dan saluran indung telur. Kontaminasi S. Enteritidis pada kerabang telur ayam secara horizontal, diakibatkan oleh infeksi dari saluran reproduksi induk ayam bagian bawah dan/atau kontaminasi feses dari induk ayam saat pengeraman. Kontaminasi ini difasilitasi dengan kondisi kerabang-kerabang telur yang lembab, penyimpanan pada suhu tinggi dan kerusakan kerabang telur. Kontaminasi pada kerabang telur, tidak hanya meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi pada isi telur, tetapi juga meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi silang pada telur disekitarnya dan produk-produk berbahan telur lainnya. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya penetrasi dan multiplikasi S. Enteritidis diantara telur-telur ayam. Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi S. Enteritidis di antara telur-telur tersebut, yaitu: kualitas kerabang telur, banyaknya pori-pori pada kerabang telur, temperatur, kelembaban dan tekanan uap. Penetrasi pada isi telur meningkat dengan lamanya kontak
dengan
bahan-bahan
yang
terkontaminasi,
khususnya
selama
penyimpanan dan kelembaban pada temperatur tinggi (FSIS dan FDA 1998; Cox et al. 2000) .
17
S. Enteritidis tidak mempengaruhi kualitas suatu makanan, serta tidak menimbulkan kerusakan dan pembusukan pada telur. Namun apabila manusia memakan telur yang terkontaminasi dan tidak dimasak sempurna atau setengah matang, maka akan mengakibatkan penyakit pada manusia (CDC 2003). Salmonellosis menyebabkan berbagai gejala
seperti gastroenteritis,
demam enterik, septikemia dan infeksi fokal. Salah satu gejala yang ditimbulkan oleh infeksi S. Enteritidis adalah gastroenteritis. Patogenesis ini sangat tergantung dari faktor virulensi bakteri yaitu: (1) kemampuan invasi sel, (2) lapisan lipopolisakarida yang lengkap, (3) kemampuan replikasi intrasel, dan (4) kemungkinan perbanyakan toksin. Setelah bakteri dicerna, organisme tersebut berkoloni di ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan terjadi proliferasi epitel dan folikel limfoid (Gianella 2001). Tahap selanjutnya yaitu menginduksi membran enterosit yang terganggu dan menstimulasi pinositosis organisme. Invasi tergantung dari pengaturan sel sitoskeleton dan kemungkinan melibatkan peningkatan fosfat inositol dan kalsium sel. Perlekatan dan invasi tersebut di bawah regulasi genetik dan melibatkan gengen ganda pada kromosom plasmid. Selanjutnya, patogenesis enterokolitis dan diare akibat salmonellosis dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.
1. tempat masuknya S. Enteritidis 3. gastroenteritis dan diare
2. S. Enteritidis menyebar (demam non tipoid )
4. tempat pengeluaran S. Enteritidis
Gambar 4 Patogenesis enterokolitis dan diare salmonellosis (Gianella 2001)
18
Setelah menginvasi epitel usus, bakteri ini menginduksi respon inflamasi yang dapat menyebabkan ulserasi dan peningkatan sitokin sehingga menghambat sintesis protein. Mekanisme tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, invasi pada mukosa menyebabkan sel epitel mensintesis dan melepaskan berbagai sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL8, TNF2. Hal ini membangkitkan respon inflamasi akut dan juga meningkatkan terjadinya kerusakan usus karena reaksi inflamasi usus. Akibat reaksi tersebut, dapat terjadi gejala panas-dingin, nyeri
perut,
lekositosis
dan
diare.
Feses
dapat
mengandung
lekosit
polimorfonuklear (PMN), darah dan lendir. Patogenesis munculnya diare secara ringkas dapat dilihat pada gambar 5.
Termakannya S. Enteritidis
S. Enteritidis berkoloni di usus halus dan usus buntu
S. Enteritidis melakukan invasi ke dalam mukosa usus usus sitotoksin Inflamasi akut akibat adanya invasi bakteri dan produksi sitotoksin + ulserasi Sintesa prostaglandin Enterotoksin sitokin
Aktivasi adenyl cyclase c-AMP meningkat
Produksi cairan dalam jumlah besar atau kecil
Diare
Gambar 5 Ringkasan patogenesis salmonellosis (Gianella 2001)
19
Invasi mukosa usus diikuti aktivasi adenylate cyclase dan peningkatan keseimbangan sekresi siklik AMP (c-AMP). Mekanisme tersebut juga belum diketahui dengan pasti, kemungkinaan adanya keterlibatan produksi lokal dari prostaglandin atau komponen lain dari prostaglandin akibat reaksi inflamasi. Strain-strain Salmonella mengeluarkan satu atau lebih substansi enterotoksin yang menstimulasi sekresi usus, namun peran toksin tersebut pada patogenesis S. Enteritidis masih belum pasti. Orang dewasa dan anak-anak yang berisiko untuk terinfeksi S. Enteritidis dari telur adalah wanita hamil dan orang-orang dengan sistem imun yang lemah, meningkatkan risiko timbulnya penyakit yang lebih serius. Pada orang-orang ini, bakteri dengan jumlah yang relatif kecil sudah dapat mengakibatkan penyakit (WHO 2005; Berkeley 2002). Penderita yang terinfeksi S. Enteritidis menimbulkan gejala berupa diare, demam, kedinginan, nyeri perut, nyeri kepala, yang dimulai 12 sampai 72 jam setelah mengkonsumsi telur mentah atau setengah matang
yang telah
terkontaminasi (Blumenthal 2002). Penyakit tersebut dapat bertahan sampai 4-7 hari. Meskipun banyak penderita dapat sembuh
sempurna tanpa pemberian
antibiotika. Namun, diare dapat berlebihan dan memerlukan perawatan rumah sakit (FSIS & FDA 1998; Hecht 2004). Pada penderita dengan risiko tinggi, infeksi dapat menyebar dari usus ke aliran darah atau ke tempat lain di seluruh tubuh dan dapat menyebabkan kematian tanpa pengobatan antibiotika pada penderita (CDC 2003). Sumber utama terjadinya infeksi pada manusia adalah peternakan. Mengurangi keberadaan S. Enteritidis pada hewan/ternak, secara signifikan juga akan mengurangi paparan bakteri tersebut pada manusia. Salah satu pengendalian yang penting adalah menjaga kebersihan peternakan. Penelitian menunjukkan bahwa pembersihan secara intensif dan penggunaan desinfektan dapat mengurangi keberadaan bakteri tersebut (Berkeley 2002). Telur seperti juga daging, hasil ternak, susu dan bahan olahan lainnya akan aman bila diolah dengan baik.
Telur ayam akan aman bila disimpan dalam
pendingin (refrigerator) tersendiri dan dimasak serta dikonsumsi segera (Blumenthal 2002).
20
Diperkirakan 100 sel S. Enteritidis pada 100 gram telur, akan memudahkan timbulnya penyakit. Penyimpanan telur pada pendingin secara adekuat dapat mencegah perbanyakan bakteri tersebut pada telur, sehingga telur sebaiknya disimpan pada pendingin, sampai saat akan digunakan. Pemasakan juga akan mengurangi jumlah bakteri yang ada pada telur, namun putih telur dan kuning telur yang belum matang, akan berisiko lebih besar menimbulkan infeksi dibandingkan dengan telur yang telah matang karena S. Enteritidis akan mati karena pemanasan paling sedikit selama 12 menit pada suhu 66 oC atau 77-83 menit pada suhu 60 oC (Blumenthal 2002; CDC 2003). Untuk mengurangi risiko infeksi S. Enteritidis pada telur yang akan dikonsumsi, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) simpan telur pada pendingin, (2) buang telur yang telah pecah atau kotor, (3) cuci tangan dan rebus peralatan rumah tangga dengan sabun dan air setelah kontak dengan telur mentah, (4) makan segera telur setelah dimasak dan jangan menyimpan telur matang pada suhu kamar lebih dari 4 jam, (5) dinginkan telur yang belum digunakan, (6) hindarkan makan telur mentah (seperti telur campuran es krim produksi rumah tangga atau telur mentah yang dicampur dalam minuman) dan (7) hindari memakan makanan restoran yang menggunakan bahan telur mentah atau telur yang tidak dipasteurisasi (WHO 2002). Amerika Serikat telah melakukan upaya pengendalian untuk mengurangi wabah S. Enteritidis. CDC telah meminta departemen kesehatan, rumah sakit, dan tempat-tempat perawatan untuk menggunakan peralatan spesifik dengan tujuan mengurangi risiko infeksi. Beberapa negara bagian di sana diminta untuk mendinginkan telur-telur dari produsen sebelum sampai ke konsumen. Departemen Pertanian Amerika Serikat menilai kelayakan peternakan yang memproduksi ayam petelur untuk memastikan telah terbebas dari S. Enteritidis. Telur-telur yang diketahui telah terkontaminasi dari peternakan, dilakukan pasteurisasi. USFDA telah mengeluarkan petunjuk penanganan telur di pengecer makanan dan akan memonitor ayam-ayam yang sedang bertelur (CDC 2003).