4
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Geografis Kabupaten Merauke Kabupaten Merauke adalah kabupaten induk dari 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Mappi, Asmat, dan Bouven Digul, hasil pemekaran pada tahun 2001. Luas wilayah Kabupaten Merauke adalah 45,071 km² (11% dari wilayah Provinsi Papua) dengan jumlah penduduk 192.383 jiwa. Kabupaten Merauke terletak di ujung timur pantai selatan Papua pada koordinat 137º40’-141º0’ BT dan 6º30’9º10’ LS. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mappi dan Kabupaten Bouven Digul, sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG), di sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Laut Arafura. Kondisi kontur wilayah berdataran rendah dan berawa, kemiringan 0-3 dengan ketinggian 0-20 meter dpl. Suhu udara rata-rata pada tahun 2008 berkisar pada 27.4 oC. Suhu udara maksimum 31.9 oC dan suhu udara minimum 23.5 oC. Kabupaten Merauke memiliki kelembapan udara yang cukup tinggi, yaitu 81.2%, dengan curah hujan 1 963 mm dan jumlah hari hujan 164 hari. Di daerah pantai, angin bertiup cukup kencang dengan kecepatan sekitar 4-5 m/det dan di pedalaman berkisar 2 m/det. Penyinaran matahari rata–rata di Merauke adalah 5.5 jam/hari pada bulan Juli dan yang terbesar 8.43 jam/hari pada bulan September. Pemerintah Kabupaten Merauke melalui Dinas Peternakan sejak tahun 2008 menetapkan suatu program peternakan, yaitu “Ternak Bangkit”. Tujuan program ini adalah untuk mendukung Kabupaten Merauke sebagai sumber lumbung pangan di Indonesia bagian timur melalui Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2008. Pada bulan Februari 2010, pemerintah pusat menetapkan Kabupaten Merauke sebagai salah satu daerah Food Estate atau kawasan pertanian pangan luas yang berbentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Komoditas subsektor peternakan yang menjadi andalan di Kabupaten Merauke adalah sapi potong. Hal ini disebabkan karena Merauke juga berperan sebagai penyuplai daging ke beberapa kabupaten lain di Papua. Wilayah yang cukup luas memungkinkan untuk pengembangan peternakan berskala besar. Dengan lahan yang luas tersebar di berbagai distrik, maka rencana pengembangan
5 ke depan subsektor peternakan adalah potensi lahan pengembangan seluas 577 031 ha, daya dukung lahan : 415 462 ha, dan prospek pengembangan ternak : 397 710.37 ST (BPS 2010).
Lingkungan Ternak Ternak sapi mendapatkan panas dari aktivitas metabolik dan lingkungan, dan kehilangan panas melalui cara konveksi, radiasi, konduksi, dan evaporasi. Lingkungan ternak adalah semua faktor fisik, kimia, biologi, dan sosial yang ada di sekitar ternak. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah iklim (suhu, cahaya, dan humiditas), tingkah laku ternak, penyebab penyakit, dan pengelolaan ternak (kandang, pemberian makan, minum, dan pemeliharaan). Adaptasi atau penyesuaian diri ternak terhadap lingkungan merupakan suatu bentuk atau sifat tingkah laku yang ditujukan untuk bertahan hidup atau melakukan reproduksi dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan yang tidak baik dapat mengakibatkan perubahan status fisiologis ternak yang disebut stres atau cekaman. Ternak yang terkena stres akan menunjukkan perubahan tingkah laku. Cara ternak untuk mengatasi atau mengurangi stres adalah dengan penyesuaian diri, baik secara genetis maupun fenotipe. Faktor penting yang mempengaruhi kemampuan termoregulasi ternak sapi dalam situasi panas ialah bangsa dan tantangan iklim. Hewan ternak mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim. Hasil penelitian Beatty et al. (2006) menunjukkan bahwa sapi bangsa Bos taurus mengalami perubahan fisiologis yang berpengaruh nyata selama terpapar matahari dibandingkan sapi bangsa Bos indicus. Keturunan bangsa sapi Pernakan Ongole (Bos indicus) diketahui sudah lebih toleran panas daripada keturunan lainnya. Faktor lingkungan yang langsung berpengaruh pada kehidupan ternak adalah iklim. Iklim merupakan faktor penentu ciri khas dan pola hidup dari suatu ternak. Misalnya, ternak pada daerah tropis tidak sama dengan ternak yang berada di daerah subtropis. Iklim sangat berpengaruh pada hewan ternak. Beberapa ahli mempelajari pengaruh iklim pada berbagai fenotipe, antara lain bentuk tubuh (Hukum Bergmann), insulasi pelindung atau kulit dan bulu (Hukum Wilson), warna (Hukum Gloger), tubuh bagian dalam/internal (Hukum Claude Bernard).
6 Pengaruh iklim pada produksi ternak menurut Valtorta (2006) dapat dilihat pada empat hal, yaitu: a) pengaruh pada ketersediaan dan harga bijian pakan ternak, b) pengaruh pada produktivitas dan kualitas pastura dan hijauan pakan ternak, c) perubahan pada penyebaran hama dan penyakit ternak, dan d) pengaruh langsung dari cuaca dan kondisi yang ekstrim pada kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Temperatur lingkungan mempengaruhi penggunaan energi yang diperoleh ternak dari makanan, produksi panas, dan pembuangan panas hewan ternak ke lingkungannya. Radiasi sinar matahari pada hewan ternak dapat menimbulkan dua bentuk gangguan umum, yaitu mutasi gen oleh radiasi kosmik dan kerusakan sel kulit oleh sinar ultraviolet pada proses 'sunburn'. Menurut Williamson dan Payne (1993), pengaruh iklim pada produktivitas ternak di daerah-daerah beriklim tropis secara langsung terlihat pada perilaku merumput ternak-ternak yang digembalakan, asupan dan penggunaan pakan, pertumbuhan, produksi susu, dan reproduksi. Faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkah laku ternak. Bila suhu lingkungan berada di atas atau di bawah suhu nyaman, untuk mempertahankan suhu tubuhnya ternak akan mengurangi atau meningkatkan laju metabolisme. Williamson dan Payne (1993) menjelaskan, sapi yang berada di daerah tropis yang dipelihara pada suhu lingkungan di atas 27°C, mekanisme pengaturan panas aktif dan laju pernapasan dan penguapan akan meningkat. Beban panas yang ada pada lingkungan ternak digambarkan menggunakan THI karena termoregulasi pada sapi dipengaruhi oleh suhu udara dan kelembapan relatif. Aklimatisasi Salah satu istilah untuk menggambarkan kemampuan ternak merespons kondisi lingkungan yang berubah adalah aklimatisasi.
Definisi aklimatisasi
menurut Bligh (1976) adalah suatu proses ketika hewan beradaptasi terhadap beberapa stressor di dalam lingkungan alamnya. Aklimatisasi menurut Bernabucci et al. (2010) adalah merupakan proses perubahan fisiologis atau tingkah laku yang terjadi dalam masa hidup suatu organisme dalam merespons perubahan iklim alam (misalnya musiman atau geografis). Fenomena perubahan fisiologis atau biokimia terjadi dalam kehidupan individu hewan dalam kurun waktu yang lebih
7 cepat, yang dihasilkan dari paparan di lingkungan yang baru disebut juga sebagai aklimatisasi (Willmer et al. 2005). Aklimatisasi juga merupakan kompensasi fungsional untuk merespons faktor lingkungan yang kompleks, seperti perubahan musim atau iklim selama periode beberapa hari sampai beberapa minggu (Gaughan et al. 2009). Unsur fisik lingkungan yang sangat penting dalam terjadinya stres pada ternak adalah suhu udara. Lingkungan yang panas telah terbukti menyebabkan perubahan fase, peningkatan amplitudo, dan peningkatan kemampuan dari ritme diurnal (Hahn 1999). Aklimatisasi stress panas terjadi ketika hewan, sebagai konsekuensi dari paparan secara berulang atau permanen pada lingkungan yang lebih panas, dapat mengembangkan kualitas fungsional, struktural, dan tingkah laku yang meningkatkan kemampuannya untuk menahan lingkungan panas tanpa kesulitan (McDowell 1972). Proses terjadinya aklimatisasi memerlukan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu dan melibatkan perubahan sinyal hormonal yang mempengaruhi kemampuan merespons jaringan target terhadap
rangsangan lingkungan
(Bernabucci et al. 2010). Tingkat aklimatisasi terhadap stres panas bervariasi antara bangsa dalam spesies yang sama dan ini dapat mungkin terjadi karena sapi Bos indicus dan Bos taurus telah berevolusi dalam iklim yang berbeda (Hansen 2004). Hahn (1999) menemukan bahwa aklimatisasi fisiologis terhadap kondisi suhu tinggi tercermin pada siang hari dengan mengamati variasi suhu tubuh pada 0.1 ºC -0.4 ºC per hari.
Termoregulasi Proses mempertahankan suhu tubuh dikenal dengan proses termoregulasi atau pengaturan panas. Proses ini akan aktif bila sapi mulai merasa tidak nyaman. Proses termoregulasi pada prinsipnya adalah proses keseimbangan panas antara produksi panas dan pelepasan panas. Pada kondisi produksi panas atau beban panas lebih besar, sapi berusaha melepas panas sebanyak-banyaknya (Yousef 1985).
8 Esmay (1982) menyatakan bahwa termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung pada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan. Panas adalah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan temperatur. Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja (Esmay1982). Salah satu cara mengurangi kehilangan panas adalah dengan mengurangi evaporasi (Esmay 1982). Produksi panas diatur oleh mekanisme seperti menggigil, pergantian pada posisi otot, dan sekresi kelenjar endokrin yang meningkatkan produksi panas. Produksi panas metabolis dihasilkan dari energi kimia bahan makanan yang diubah menjadi energi panas. Keseimbangan panas menurut Williamson dan Payne (1993) dipengaruhi oleh produksi panas metabolik (produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk proses produksi), panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernapasan), dan panas yang hilang atau didapat dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi, dan radiasi. Respons
fisiologis
ternak
terhadap
beban
panas
termal
sangat
dinamis dan kompleks, yang melibatkan unsur genotipe, umur, kondisi tubuh, gizi, dan aspek status kesehatan (Hahn 1999). Ternak mengintegrasikan kondisi lingkungan dan kemudian merespons secara adaptif. Berbagai langkah dapat digunakan untuk mengindikasikan stres panas, antara lain: observasi perilaku, laju pertambahan bobot badan, konsumsi harian pakan, sifat karkas, fungsi kekebalan tubuh, suhu tubuh, dan laju respirasi.
Suhu Kulit, Suhu Rektal, dan Suhu Tubuh Suhu rektal ternak dapat digunakan mewakili suhu tubuh karena suhu rektum merupakan suhu yang optimal. Suhu rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor, yaitu temperatur lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan pencernaan
(Duke’s
1995).
Suhu
rektal
merupakan
indikator
keseimbangan termal dan mungkin efektif dalam mengukur kerasnya panas lingkungan (Silanikove 2000).
9 Lokasi yang biasa digunakan untuk pengukuran suhu rektal adalah rektum, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil. Menurut Weeth et al. (2008), temperatur rektal dan kulit pada siang hari meningkat akibat dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan temperatur tubuh berfluktuasi lebih besar pada keadaan dehidrasi. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan temperatur tubuh pada hewan, rektum adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan temperatur tubuh. Suhu rektal ternak yang berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 °C dan ternak di bawah satu tahun berkisar 38.6-9.8 °C. Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas (Esmay 1982). Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh hewan homeotermis adalah relatif seragam dan konstan, tetapi di beberapa bagian tubuh memiliki temperatur yang berbeda. Variasi suhu dari bagian ke bagian lainnya dalam tubuh disebabkan oleh perbedaan dalam insulasi. Menurut Robertshaw (1984), suhu tubuh atau suhu inti (core temperature) dapat dihitung pada beberapa lokasi. Menurut Kelly et al. (1984), suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara suhu yang diproduksi dengan suhu yang dilepaskan. Suhu tubuh hewan hoemotermis cenderung lebih tinggi di sore menjelang malam hari daripada pagi hari. Pada banyak spesies, penyimpangan suhu tubuh sebesar 5-7 °C dapat menyebabkan kematian, dan setidaknya kinerja produktif menurun (Gaughan et al. 2009).
Denyut Jantung Jantung adalah struktur otot (muskuler) berongga yang bentuknya menyerupai kerucut dan siklus jantung adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, kelahiran, tahap laktasi, rangsangan, olah raga, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, dan temperatur lingkungan
10 (Frandson 1992). Menurut Ganong (1983), faktor yang mempengaruhi denyut jantung adalah temperatur lingkungan, pakan, aktivitas latihan otot, dan tidur. Menurut Schmidt-Nielsen (1997), jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa atau pada bagian dada kiri atas (dekat ketiak) dekat tulang axilla sebelah kiri dengan menggunakan stetoskop. Kisaran denyut jantung sapi sekitar 60-70 kali/menit (Smith dan Kamping 1988). Respirasi Respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu respons fisiologis akibat perubahan temperatur lingkungan, suhu tubuh, ukuran tubuh, dan keadaan bunting (Smith 1988). Banyak penelitian telah dilakukan mendukung adanya korelasi positif antara laju respirasi dan suhu udara. Selain itu, peningkatan laju respirasi telah dikaitkan dengan peningkatan radiasi matahari, meningkatnya kelembapan relatif, dan menurunnya kecepatan angin (Eigenberg et al. 2005). Respirasi merupakan bentuk perpindahan panas dari tubuh secara konveksi. Udara yang dihirup dekat hubungannya dengan suhu tubuh pada saat udara mencapai trakea yang disebabkan karena pertukaran panas dan kelembapan (Yousef 1985). Pada kebanyakan mamalia, respirasi merupakan jalur penting untuk transfer panas pada berbagai kondisi lingkungan (Eigenberg et al. 2000) Dua fungsi utama sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah, dan mengambil karbon dioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi yang bersifat sekunder meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi (pada alveolus) dapat mengatur kelembapan dan temperatur udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh. Sistem respirasi terdiri atas paru dan saluran-saluran yang memungkinkan udara dapat mencapai dan meninggalkan paru (Frandson 1992). Pusat pengaturan respirasi pada burung dan mamalia adalah di medula yang sensitif terhadap perubahan pH, temperatur darah, dan faktor-faktor lain (Duke 1977). Medula adalah perpanjangan dari otak yang terletak sepanjang ruas tulang belakang (Esmay 1982).
11 Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada, dan perut (merespons kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma). Observasi aktivitas respirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang sakit. Pengamatan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut. Disarankan untuk mengamati ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui kemiripan pergerakan kedua sisi (Kelly et al. 1984). Mekanisme respirasi dikontrol di medula yang sensitif terhadap kadar CO2 pada darah. Jika tekanan meningkat sedikit, pernapasan menjadi lebih dalam dan cepat (Esmay 1982). Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu setelah olah raga, terekspos oleh suhu lingkungan, dan kelembapan relatif yang tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984). Respirasi pada masing-masing jenis hewan berbeda. Ternak sapi mempunyai kisaran respirasi sekitar 24-42 (Smith dan Kamping 1988). Mengukur laju respirasi adalah hal yang paling mudah diakses dan pendekatan termudah untuk mengevaluasi tingkat stres panas pada hewan ternak. Pada ternak, tingkat stres rendah: 40-60 kali/menit, menengah tinggi: 60-80 kali/menit, tinggi: 80-120 kali/menit, dan stres berat: di atas 150 kali/menit. Saat laju respirasi mencapai 160 kali/menit atau lebih tinggi, harus diberikan pertimbangan tindakan darurat untuk mengurangi beban panas yang berlebihan (misalnya membasahi hewan). Pada cuaca musim panas, bangsa sapi Bos indicus (zebu) memiliki kemampuan mempertahankan laju
pernapasan
yang
lebih rendah
jika
dibandingkan dengan sapi bangsa Bos taurus. Biasanya, laju pernapasan yang rendah pada ternak di bawah cuaca panas mengidentifikasi ternak tersebut pada situasi ketidaknyamanan yang lebih rendah. Karakteristik Sapi PO dan Sapi bali Tingkat adaptasi dari suatu bangsa ternak akan mempengaruhi kemampuan ternak tersebut dalam menghadapi cekaman lingkungan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim atau cuaca. Perbedaan bangsa ada pada kemampuan adaptasi
12 genetik. Genotipe mempengaruhi karakteristik fisiologis, biokomia, dan perilaku neurokimia hewan, yang semuanya menentukan bagaimana hewan dapat menahan stress yang terkait dengan cuaca (Williamson dan Payne 1993). Ternak yang telah berevolusi untuk bertahan hidup dalam kondisi buruk umumnya memiliki karakteristik berikut: resistensi yang tinggi terhadap stres, tingkat metabolisme rendah, fekunditas rendah, masa hidup panjang, perbedaan perilaku, maturitas lambat, ukuran tubuh dewasa lebih kecil, dan laju perkembangan lambat (Gauhgan 2009). Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan atau penggunaan ternak (bangsa indigenous) yang terbiasa dengan iklim buruk akan memiliki produktivitas lebih rendah daripada ternak yang di iklim kurang cekaman. Di banyak negara berkembang yang terletak di daerah tropis, perfomans reproduksi sapi yang buruk (baik bangsa indigenous dan impor), adalah hasil dari kombinasi genetika, manajemen, dan faktor lingkungan. Bergantung pada lokasi, perubahan
iklim
dapat
memperbaiki
lingkungan
setempat
atau memiliki dampak negatif besar. Sapi PO adalah bangsa sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi betina lokal di Jawa yang berwarna putih. Saat ini, sapi PO yang murni mulai sulit ditemukan karena telah banyak disilangkan dengan sapi Brahman sehingga sapi PO diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih (keabu-abuan), berkelasa dan gelambir. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak, dan jantannya memiliki kualitas semen yang baik (Affandhy et al. 2002). Sapi PO juga menunjukkan keunggulan sapi tropis, yaitu daya adaptasi terhadap iklim tropis yang tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap gangguan parasit, seperti gigitan nyamuk dan caplak, di samping itu juga menunjukkan toleransi yang baik terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Dalam kondisi iklim panas, hasil penelitian menunjukkan adaptasi genetik sapi bangsa Bos indicus memungkinkan mereka untuk memiliki laju respirasi dan suhu rektal yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi bangsa Bos taurus.
13 Sapi bali adalah bangsa sapi potong lokal asli Indonesia hasil domestikasi dari banteng (Bos-bibos banteng) yang telah dijinakkan berabad-abad yang lalu (Hardjosubroto dan Astuti 1994). Penyebaran sapi bali telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis hitam yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut bentuk tanduk silak congklok, yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Bentuk tanduk yang ideal pada betina disebut manggul gangsa, yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk ini berwarna hitam (Hardjosubroto, 1994). Sapi bali memiliki pola warna bulu yang unik dan menarik, yaitu warna bulu pada ternak jantan berbeda dari betinanya sehingga termasuk hewan dimorfisme seks. Pada umunya, bulu sapi bali berwarna merah keemasan. Sapi bali betina dan sapi jantan muda berwarna merah bata kecokelatan, namun sapi bali jantan berubah menjadi warna hitam sejak umur 1,5 dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Bulu sapi bali dapat pendek-pendek, halus, dan mengkilap. Lebih lanjut disebutkan bahwa sapi bali mempunyai angka reproduksi yang tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak, sedangkan faktor lingkungan memberikan kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya. Seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik tempat ternak hidup atau dipelihara, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin penampilan apabila ternak tidak memiliki mutu genetik yang baik.