TINJAUAN KEBIJAKAN TERKAIT PENGELOLAAN POSYANDU SEBAGAI MASUKAN DALAM PERUMUSAN PERAN DAN TANGGUNG JAWAB DEPARTEMEN KESEHATAN DALAM PENGELOLAAN POSYANDU Oleh: Ede Surya Darmawan, Departemen AKK FKMUI Disampaikan sebagai makalah pembahas dalam Lokakarya Perumusan Peran Dan Tanggung Jawab Departemen Kesehatan Dalam Pengelolaan Posyandu Hotel Sahira Bogor, 23 Maret 2009 Latar Belakang Dalam lokakarya ini telah dibahas Peran Sentral Posyandu dari berbagai pandang mulai dari sejarah ”Posyandu dari Dulu Hingga Sekarang” oleh Prof. Soekirman, ”Peran Posyandu dalam Pembangunan Kesehatan: Identifikasi Peran dan Tanggung Jawab Departemen Kesehatan” oleh Dr. Agus Suwandono, ”Perumusan Paket Pelayanan Dasar di Posyandu serta Alokasi Sumber Daya untuk Mendukung Pelaksanaan Paket Paket Pelayanan Dasar di Posyandu” oleh Dr. Benny Soegianto, ”Hasil Studi Terkait Posyandu: Implementasi Program Gizi di Cianjur dan Penyuluhan Gizi serta Program Tanaman Pekarangan di Bogor” oleh Dr. Dadang Sukandar, serta ”Peran dan Fungsi Promosi Kesehatan dalam Pembangunan Posyandu: Masalah dan Tantangan” oleh Kepala Pusat Promosi Kesehatan. Dari berbagai pemaparan tersebut dapat ditarik benang merah gambaran posisi dan situasi yang dihadapi Posyandu dalam pembangunan kesehatan di Indonesia khususnya pada tingkat grassroot sebagai berikut: • Posyandu telah berperan dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan cakupan program kesehatan • Posyandu pada akhir-akhir mengalami stagnasi karena banyak faktor antara lain: terdapat banyak program titipan, kader kurang aktif dan kurang semangat, ada pendekatan proyek yang melemahkan inisiatif masyarakat, dan kurangnya pemberdayaan, dan belum jelasnya siapa ”pemilik”posyandu, pokja dan pokjanal posyandu tidak berjalan. Makalah dalam pembahasan ini tidak akan membahas permasalahan yang telah disebutkan karena sudah jelas dan telah diketahui bersama. Makalah ini akan lebih diarahkan pada pembahasan mengapa kejadian itu terus berlangsung selama bertahun-tahun, hasil riset terkait manajemen Posyandu, dan kemudian mencoba memberikan alternatif jawaban yang diharapkan dapat berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi posyandu. Tinjauan Kebijakan Terkait Pembangunan Kesehatan dan Posyandu: Saat ini atau periode Pemerintahan 2004-2009 sebenarnya peluang untuk peningkatan kiprah dan peran Posyandu sangat besar. Hal ini karena telah jelas disebutkan dalam kebijakan nasional tentang pembangunan kesehatan yang lebih menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat dengan berperilaku sehat dan tinggal pada lingkungan yang sehat. Beberapa kebijakan yang mendukung dimaksud sebagai berikut: a. RPJMN 2004-2009 Bidang Kesehatan Dalam RPJMN 2004-2009 terlihat jelas bagaimana kesehatan mendapat proporsi perhatian yang besar, diantaranya sebagai berikut: 1|Page
Visi Pembangunan Nasional Tahun 2004–2009, yaitu: 1) Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai; 2) Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia; serta 3) Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Selanjutnya berdasarkan visi pembangunan nasional tersebut ditetapkan 3 (tiga) Misi Pembangunan Nasional Tahun 2004–2009, yaitu 1) Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai 2) Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis 3) Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pembangunan nasional tersebut di atas telah ditetapkan 2 (dua) Strategi Pokok Pembangunan, yaitu: 1) Strategi Penataan Kembali Indonesia yang diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan semangat, jiwa, nilai, dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kebangsaan Republik Indonesia yang meliputi Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945 (terutama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945); tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan tetap berkembangnya pluralisme dan keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. 2) Strategi Pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh. Berdasarkan visi, misi, dan strategi pembangunan di atas disusun 3 (tiga) kemudian disusunlah Agenda Pembangunan Nasional Tahun 2004– 2009, yaitu: 1) Menciptakan Indonesia yang Aman dan Damai 2) Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis 3) Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia Ketiga agenda pokok pembangunan tahun 2004–2009 tersebut selanjutnya diterjemahkan kedalam program-program pembangunan yang hendak dicapai dalam 5 (lima) tahun. Untuk agenda Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat kemudian disusun dan ditetapkan 3sasaran pembangunan yaitu: 1) Menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada tahun 2009 dengan didukung oleh stabilitas ekonomi yang tetap terjaga. 2) Berkurangnya kesenjangan antar wilayah yang tercermin dari meningkatnya peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan; meningkatnya pembangunan pada daerah2|Page
daerah terbelakang dan tertinggal; meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing kawasan dan produk-produk unggulan daerah; serta meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah. 3) Meningkatnya kualitas manusia yang secara menyeluruh tercermin dari membaiknya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Dari sasaran membaiknya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama yang kemudian disusun 5 prioritas dan arah kebijakan. Pembangun kesehatan adalah prioritas dan arah kebijakan No. 2 dengan penekanan sebagai berikut: Meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masyarakat yang ditandai oleh meningkatnya angka harapan hidup, menurunnya tingkat kematian bayi dan kematian ibu melahirkan, dan perbaikan status gizi. Selanjutnya dalam Pembangunan Kesehatan dikembangkan kebijakan yang diarahkan untuk: 1) meningkatkan jumlah, jaringan dan kualitas pusat kesehatan masyarakat; 2) meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan; 3) mengembangkan sistem jaminan kesehatan, terutama bagi penduduk miskin; 4) meningkatkan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; 5) meningkatkan pendidikan kesehatan kepada masyarakat sejak usia dini; dan 6) meningkatkan pemerataan dan kualitas fasilitas kesehatan dasar. Adapun indikasi Program Pembangunan yang akan dilaksanakan terdiri atas 11 program sebagai berikut: 1) Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat 2) Program lingkungan sehat 3) Program upaya kesehatan masyarakat 4) Program upaya kesehatan perorangan 5) Program pencegahan dan pemberantasan penyakit 6) Program perbaikan gizi masyarakat 7) Program sumber daya kesehatan 8) Program obat dan perbekalan kesehatan 9) Program pengembangan obat asli indonesia 10) Program pengawasan obat dan makanan 11) Program penelitian dan pengembangan kesehatan
Berdasarkan kesebelas (11) indikasi program tersebut terlihat dengan jelas bahwa Program Upaya Kesehatan Masyarakat terdapat lebih dari setengah merupakan indikasi program yang berhubungan dengan Posyandu yaitu nomor 1 hingga nomor 6. Khusus untuk indikasi program upaya kesehatan masyarakat disebutkan bahwa Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah, pemerataan, dan kualitas pelayanan kesehatan melalui puskesmas dan jaringannya meliputi puskesmas pembantu, puskesmas keliling 3|Page
dan bidan di desa. Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi: 1) Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya; 2) Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya; 3) Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial; 4) Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar; dan 5) Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan. Sebagai upaya menterjemahkan RPJMN dalam bidang kesehatan di atas, Departemen Kesehatan kemudian menetapkan 4 grand strategy pembangunan sebagai berikut: 1) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat 2) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat 3) Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan 4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan Berdasarkan strategi di atas, jelas sekali bahwa upaya pemberdayaan masyarakat merupakan strategi utama yang dilaksanakan Departemen KEsehatan. b. Pembagian Wewenang Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota Kebijakan yang menyangkut pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota dapat ditelusuri mulai tahun 2000 ketika UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi dilaksanakan. UU ini kemudian diperjelas dengan terbitnya PP 25/2000 tentang Pembagian Wewenang antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota menyebutkan kewenangan Pemerintah di bidang kesehatan meliputi antara lain surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah penyakit menular dan kejadian luar biasa. Kewenangan Propinsi meliputi surveilans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar biasa. Setelah terbitnya revisi UU 22/1999 oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan pemerintahan tersebut direvisi dan diperjelas dengan terbitnya PP Nomor 38 tahun 2007 yang menetapkan kesehatan sebagai salah satu dari 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Terdapat klausul yang secara khusus menjelaskan bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan saranan dan prasana, serta kepegawaian. Di dalam Pasal 14 UU No. 32 tahun 2004 telah menetapkan secara eksplisit 14 bidang berskala kabupaten/kota, termasuk di dalamnya bidang kesehatan (point e) yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Urusan kesehatan juga menjadi salah satu urusan wajib bagi pemerintah propinsi dan kabupaten/kota. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan pelayanan dasar. Urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup 4|Page
minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Agar urusan kesehatan dan urusan pemerintahan lain dilaksanakan dengan benar, Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal disebutkan bahwa urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh peraturan perundangundangan kepada daerah untuk perlindungan hak konstitusional, kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, serta ketentraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional. Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM tertentu, berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan. Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan. Lebih lanjut, Pasal 2 PP 65 tahun 2005 menyebutkan bahwa SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib pemerintahan daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.. Pasal 4 ayat (1) PP No. 65 tahun 2005 menugaskan Menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen menyusun SPM sesuai dengan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2). Sebagai penjabarannya, untuk mendukung penerapan SPM, Menteri yang besangkutan menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri (Pasal 8 ayat 1), dan pemerintahan daerah harus menerapkan SPM sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri (Pasal 9 ayat 1). Pada saat PP ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPM dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP ini (Pasal 20). Sebelum PP No. 65 tahun 2005 ini dikeluarkan, Departemen Kesehatan secara pro aktif telah menyikapi kebutuhan akan Standar Pelayanan Minimal di Bidang Kesehatan dengan menetapkan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003. Bahkan Depkes juga telah mengeluarkan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten Kota (Keputusan Menkes No. 1091/Menkes/SK/X/2004) Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan meliputi 9 urusan wajib, 31 jenis pelayanan, dan 54 indikator kinerja. Kebijakan ini telah disosialisasikan secara luas ke seluruh dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, dan telah diimplementasikan di beberapa daerah. Agar SPM Bidang Kesehatan tersebut dapat diimplementasikan di daerah, seharusnya disesuaikan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Petunjuk teknis penyusunan dan penetapan standar pelayanan minimal ini 5|Page
dimaksudkan untuk memberikan acuan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dalam menyusun dan menetapkan SPM sesuai lingkup tugas dan fungsinya. Berdasarkan peraturan perundanga-undangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa peranan Departemen Kesehatan dalam pembangunan kesehatan adalah sebagai lembaga tingkat pusat yang berwenang menerbitkan: a. Norma b. Standard c. Prosedur d. Kebijakan c. Kebijakan Terkait Pembangunan Pada Tingkat Desa/Kelurahan Kebijakan dan Peraturan terkait dengan pembangunan pada tingkat desa/kelurahan dapat dilihat pada Pasal 206 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah menyebutkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup Urusan Pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota, serta Urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah propinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia. Hal yang kurang lebih sama, sudah disebutkan dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang dibatalkan oleh UU No. 32 tahun 2004) dan Kep Mendagri Nomor 64 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa. Kewenangan Desa tersebut diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Lebih jauh PP ini menetapkan pula wewenang kepala desa yang salah satu diantaranya adalah membina kehidupan masyarakat desa dan mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif. Kepala desa juga berkewajiban meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa, dan memberdayakan masyarakat. Departemen Dalam Negeri telah menyiapkan beberapa aturan mengenai pelimpahan urusan kabupaten/kota ke kelurahan dan desa. Aturan tersebut antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 tahun 2007 tentang Pelimpahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Lurah. Ditetapkan bahwa pelimpahan urusan pemerintahan kepada lurah disesuaikan dengan kebutuhan kelurahan dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan peningkatan akuntabilitas. Pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota tersebut disertai dengan sarana, prasarana, pembiayaan, dan personil. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang dilimpahkan oleh bupati/walikota kepada lurah merupakan urusan wajib dan urusan pilihan. Aturan lain yang diterbitkan oleh Mendagri adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 tahun 2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa. Salah satu Urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang dapat diserahkan pengaturannya kepada Desa antara adalah Bidang Kesehatan. Permendagri tersebut menyebutkan secara rinci urusan dalam bidang kesehatan meliputi: 6|Page
1) 2) 3) 4) 5)
Penyuluhan sederhana tentang pemberantasan penyakit menular; Pembinaan bidan desa dan poliklinik desa; Memfasilitasi dan memotivasi pelaksanaan kegiatan gerakan sayang ibu; Pemantaun terhadap dukun bayi; Memfasilitasi pelaksanaan, pemberian makanan tambahan penyuluhan dan pemberian makanan tambahan pemulihan; 6) Pengelolaan posyandu; 7) Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan tradisional; 8) Pengelolaan dana sehat; 9) Pengelolaan kegiatan tanaman obat keluarga (toga); 10) Penyelenggaraan upaya sarana kesehatan tingkat desa; 11) Penyelenggaraan upaya promosi kesehatan; 12) Pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif di desa; 13) Pemantauan peredaran dan pemakaian alat kontrasepsi; 14) Pelaksanaan penyuluhan tentang keluarga berencana; 15) Pembinaan terhadap kader keluarga berencana; 16) Pengelolaan kelompok-kelompok bina keluarga. Pelaksanaan urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada Desa dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Sumber pendapatan desa terdiri atas: pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari Pemerintah, Pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. Belanja desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, pada Penjelasan Pasal 14 ayat 1 menyebutkan bahwa Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan kemasyarakatan yakni pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan sosial budaya masyarakat seperti bidang kesehatan. d. Kader Pemberdayaan Masyarakat Permendagri Nomor 7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) menyebutkan bahwa Kader Pemberdayaan Masyarakat adalah anggota masyarakat desa dan kelurahan yang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dan kelurahan yang meliputi aspek ekonomi, sosial budaya, politik, dan lingkungan hidup melalui penguatan Pemerintahan Desa dan Kelurahan, lembaga kemasyarakatan dan upaya dalam penguatan kapasitas masyarakat. KPM memiliki tugas membantu pemerintah desa atau lurah dan lembaga kemasyarakatan dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif, yang meliputi antara lain menggerakkan dan memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan di wilayahnya, membantu masyarakat dalam mengartikulasikan kebutuhannya dan membantu mengidentifikasi masalah, dan 7|Page
membantu masyarakat mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah yang dihadapi secara efektif. Salah satu fungsi Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) adalah pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan kader teknis dalam pemberdayaaan masyarakat dan pembangunan partisipatif. Pembangunan partisipatif adalah pembangunan yang dilaksanakan dari, oleh, dan untuk masyarakat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemanfaatan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan serta pengembangan tindaklanjut hasil pembangunan, dengan peranserta seluruh lapisan masyarakat. Ditargetkan terdapat 5 – 10 Kader Pemberdayaan Masyarakat di setiap desa. Hubungan kerja KPM dengan kepala desa atau lurah, lembaga kemasyarakatan, kader teknis, dan kelompok masyarakat bersifat koordinatif dan konsultatif. Hubungan KPM dengan kader teknis bersifat sinkronisasi, integrasi dan harmonisasi kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif. Dalam Pedoman Pelaksanaan Kebijakan dan Program-Program Pemberdayaan Masyarakat dan Desa seperti tertuang dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 410/656/SJ tertanggal 4 April 2006 dan ditujukan kepada seluruh gubernur/bupati/walikota dan pimpinan DPRD propinsi dan kabupaten/kota, disebutkan bahwa peningkatan peran aktif pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di desa/kelurahan melalui revitalisasi dan optimalisasi peran posyandu merupakan salah satu pokok program pemantapan ketahanan keluarga dan Peningkatan Kesejahteraan Keluarga. e. Kebijakan Pengelolaan Posyandu Sampai saat ini pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan sebagai landasan dalam pengelolaan dan revitaliasi Posyandu yaitu: 1) Tim Lintas Sektoral: TP PKK Pusat, Ditjen PMD-Depdagri, Ditjen BinkesmasDepkes, PPKM-Depkes, Ditjen Diklusepora-Depdikbud, BKKBN, dan Unicef. Panduan Pelatihan Kader Posyandu. Jakarta, 1999 2) SE Mendagri 411.3/2001 tentang Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu 3) Ditjen PMD Depdagri, Pedoman Umum Manajemen Pokjanal Posyandu, 2004 4) Departemen Kesehatan RI, Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu, Jakarta, 2006 5) Permendagri 54/2007 tentang Pedoman Pembentukan Pokjanal Pembinaan Posyandu Hasil-hasil Penelitian Terkait Pengelolaan Posyandu Berdasarkan kebijakan diatas, mulai dari RPJMN, Renstra Depkes, Pembagian Kewenangan Pemerintahan, Pengelolaan Desa, hingga kebijakan pengelolaan Posyandu, dapat ditarik benang merah bahwa: a. Arah pembangunan kesehatan sudah langsung pada keluarga di tingkat desa (grassroot) b. Pengaturan/kebijakan tentang Desa sebagai manajer pembangunan tingkat desa termasuk pengelolaan Posyandu sudah cukup jelas c. Persoalan Posyandu berjalan atau tidak, mestinya bukan lagi isu kebijakan operasional tapi lebih dikarenakan persoalan pelaksanaan (sumber daya) Terkait dengan pengelolaan Posyandu yang menuntut perana dari pemerintahan desa sebagai manajemen pembangunan tingkat desa dan persoalan sumber daya pendukung 8|Page
posyandu, 2 riset yang penulis pimpin dapat memberikan bukti nyata dari lapangan sebagai berikut: a. Analisis Kebijakan Kesiapan Petugas dan Masyarakat dalam Pengembangan Desa Siaga (Darmawan dkk., Puskabangkes – PT Madep, 2007) b. Studi Penerapan Sistem Informasi Posyandu (Darmawn dkk., Ditjen BPM – PT Makara Cita Cipta, 2008) Dalam riset tentang desa siaga di atas diperoleh hasil bahwa daerah-daerah yang mampu menerapkan desa siaga umumnya karena: y Dukungan yang kuat dari Pimpinan dan Pemerintah Daerah y Telah ada UKBM (Posyandu) yang berjalan baik y Menyesuaikan dengan kondisi yang ada di daerah y Dedikasi petugas terutama Dinas Kesehatan dan Puskesmas y Sangat berhubungan dengan kebiasaan masyarakat setempat Sedangkan daerah-daerah yang belum mampu menerapkan desa siaga kaena: y Desa siaga kurang dukungan – kekuatan kebijakannya lemah, dalam UKS ada SKB 4 Menteri, desa siaga setidaknya ada dukungan Menkes dan Mendagri y Program desa siaga itu identik dengan program dadakan yang sosialisasinya sangat cepat, sehingga nomenclature pun belum dipahami oleh Gubernur/Bupati-Walikota dan menyulitkan dukungan dari Pemerintah Daerah y Target ada dari pusat dan target jumlah desa ada di daerah, tapi di tengah kosong karena tak ada uang akibatnya target tidak tercapai y Pengembangan desa siaga memang benar sentralistik. y Proses desa siaga berbeda bergantung kesiapan dan karakteristik daerah Berdasarkan penelitian diatas kemudian disusun rekomendasi sebagai berikut: y Perubahan/penambahan institusi yankes membutuhkan perbaikan pada supported insitutions (revitalisasi Dinas & Puskesmas - SKMenkes 564/2006) y Meningkatkan kemampuan menggalang dukungan lintas sektor terkait: dimulai di tingkat pusat y Kemampuan mendorong kebijakan kesehatan menjadi kebijakan pemerintah dan kebijakan pemerintah daerah sehingga lebih ada jaminan dalam penyediaan sumber daya y Format ketenagaan (tenaga kesehatan) tingkat desa yang lebih mampu memberdayakan masyarakat Dalam riset tentang implementasi system informasi posyandu diketahui bahwa system informasi posyandu tidak berjalan karena: 1) Kebijakan terkait belum secara tegas mengatur dan memberikan dukungan sumber daya SIP dan Pokjanal Posyandu pada tingkat pusat hingga Pokja Posyandu di tingkat Desa/kelurahan 2) Masing-masing sektor memiliki sistem informasi tersendiri sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing sektor. Akibat dari hal ini adalah data pada tingkat posyandu bisa sama namun menjadi berbeda ketika data tersebut sudah berada pada masing-masing sektor 3) Penyediaan program dan anggaran untuk mendukung operasionalisasi Posyandu masih belum memadai. Program dimaksud adalah program-program yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan retensi kader posyandu. Dukungan dari 9|Page
pemerintah masih belum berkesinambungan dan sangat bergantung kepada kepemimpinan daerah (Misal: Proyek PAUD) 4) Sumber Daya Manusia untuk mendukung Posyandu dan Sistem Informasi Posyandu masih tidak memadai utamanya pada tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan dan seterusnya (Tidak ada petugas khusus). 5) Permasalahan yang ditemui dalam penerapan Sistem Informasi Posyandu masih erat kaitannya dengan pengelolaan posyandu dan operasionalisasi manajemen Posyandu oleh Pokja dan Pokjanal. Kesulitan, ketiadaan dukungan, dan permasalahan dalam Pokja dan Pokjanal akhirnya menular dan identik dengan permasalahan dalam penerapan Sistem Informasi Posyandu. Rekomendasi: y Perlunya penyediaan dukungan sumber daya yang memadai untuk operasionalisasi Pokja/Pokjanal Posyandu mulai dari penyediaan sekretariat dan dukungan sumber daya yang diperlukannya. y Penguatan struktur dan manajemen pembangunan tingkat desa dan pemberian kapasitas agar desa dapat benar-benar menjadi penyedia pangkalan data untuk semua sektor pembangunan termasuk sektor-sektor yang menjadikan posyandu sebagai salah satu ujung tombak pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
Analisis Akar Masalah y Disain program/fasilitas belum disertai disain sumber dayaÆ “Posyandu penting tapi kurang perhatian” y Secara teknis: belum lengkap, misal Kebijakan Dasar Puskesmas belum ada Indikator (KPI) dan KPI belum menjadi KPI kepala desa/daerah y Mentalitas project oriented: y Ditolak: tak ada solusi (untuk kader tetap tak dibayar) y Diterima: ada solusi ? (petugas bekerja bila ada proyek? Kader dibayar sbg bagian dari proyek? Pokjanal dibiayai?) y Persoalan belum selesai ketika SK/Kebijakan selesai
Diskusi Peran Departemen Kesehatan dalam Pengelolaan Posyandu Pada bagian akhir makalah ini, penulis mencoba mendiskusikan peranan yang dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan dalam Pengelolaan Posyandu: Kisi-kisi Peran Depkes menurut PP 38/2008: 1) Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional. 2) Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan. 3) Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional. 4) Pengelolaan tenaga kesehatan strategis (bagaiman dengan kader Posyandu dan tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat?) 5) Pembinaan dan pengawasanpendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional. 6) Pengelolaan promosi kesehatan skala nasional. 7) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan. 8) Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional 10 | P a g e
9) Pengelolaan dan pengembangan SIK skala nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah. Disamping itu Departemen Kesehatan yang merupakan institusi penanggung jawab kesehatan pada tingkat pusat (dan nasional) harus mengarahkan perannya untuk: y Membuat disain Arsitektur Pelayanan Kesehatan pada tingkat Desa atau perdesaan. Departemen Kesehatan sudah waktunya membuat kejelasan tentang system kesehatan yang ada di tingkat desa. y Kejelasan juga mengenai status Posyandu apakah merupakan bagian dari kegiatan masyarakat atau sebuah perpanjangan layanan posyandu sbg (community activity vs extension service?). Bila posyadu merupakan upaya pemberdayaan dan kegiatan masyarakat maka harus diterima bila ada variasi yang cukup jelas. Pada sisi lain kalau posyandu merupakan extension service maka harus jelas kedudukan ketenagaan agar tidak memberatkan masyarakat dan memperjelas siapa yang bertanggung jawab. y Melakukan upaya Kapasitasi dan pemberian Dukungan Sumberdaya untuk Pelayanan Kesehatan di grassroot. Saat ini patut diakui bahwa Puskesmas sebagai “muara pelaksana” program nasional. Hampir seluruh program kesehatan diserahkan kepada Puskesmas dengan harapan semua program itu akan diperhatikan dan dilaksakanan dengan baik oleh para pegawai puskesmas. Hanya saja sampai sejauh ini belum jelas seberapa besar kemampuan puskesmas dalam melaksanakan program-program itu. Hal yang sama juga berlaku pada desa yang diperlakukan sebagai pelaksana untuk semua sektor pembangunan di desa, dan posyandu sebagai ‘pos segala layanan” yang intinya berikanlah hak mereka dan jangan hanya menuntut kewajiban dan kinerja. Hak mereka dalam hal ini adalah pemberian kapasitasi dan sumber daya yang memungkinkan pembangunan di tingkat desa termasuk layanan dalam posyandu berjalan lancar. y Melakukan Advokasi kepada sektor terkait tingkat pusat-daearah: Departemen Kesehatan haruslah menjadi champion for health development and healthy people dengan melakukan advokasi tiada henti agar kesehatan menjadi bagian utama dalam proses pembangunan termasuk kegiatan di tingkat posyandu. Sebagai penutup, penulis ingin mengakhiri dengan sebuah perenungan bahwa pada dasarnya pengelolaan posyandu haruslah dilihat konteks besarnya yang ada di lapangan dalam hal ini di tingkat desa. Itu artinya pengelolaan posyandu merupakan bagian dari pengelolaan pemerintahan tingkat desa. Posyandu tidak bisa lagi dipisahkan dari pengelolaan pemerintahan tingkat desa selaku ujung tombak dari pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian maka pemerintahan desa harus diberdayakan agar siap untuk melakukan tugas meningkatkan kesejahteraan rakyat secara langsung dengan salah satunya melalui kegiatan posyandu yang ada di masyarakat. Daftar Pustaka Ditjen PMD Depdagri, Pedoman Umum Manajemen Pokjanal Posyandu, 2004 Departemen Kesehatan RI, Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu, Jakarta, 2006 Permendagri 54/2007 tentang Pedoman Pembentukan Pokjanal Pembinaan Posyandu Darmawan, Ede Surya dkk., Analisis Kebijakan Kesiapan Petugas dan Masyarakat dalam Pengembangan Desa Siaga, Puskabangkes – PT Madep, 2007
11 | P a g e
Darmawan, Ede Surya dkk., Studi Penerapan Sistem Informasi Posyandu, Ditjen BPM – PT Makara Cita Cipta, 2008) Pedoman Pelaksanaan Kebijakan dan Program-Program Pemberdayaan Masyarakat dan Desa seperti tertuang dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 410/656/SJ tertanggal 4 April 2006 Permendagri Nomor 7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 tahun 2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 tahun 2007 tentang Pelimpahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Lurah PP 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal PP Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota TP PKK Pusat, Ditjen PMD-Depdagri, Ditjen Binkesmas-Depkes, PPKM-Depkes, Ditjen Diklusepora-Depdikbud, BKKBN, dan Unicef. Panduan Pelatihan Kader Posyandu. Jakarta, 1999 SE Mendagri 411.3/2001 tentang Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Ucapan Terimakasih: Disampaikan kepada Bapak Dr. Arum Atmawikarta sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi pembahas dalam kegiatan Lokakarya Perumusan Peran Dan Tanggung Jawab Departemen Kesehatan Dalam Pengelolaan Posyandu
12 | P a g e