TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Kebijakan Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan keputusan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented), sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan (Suharto 2006). Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Dunn 2004). Lebih lanjut Dunn (2004) menyatakan analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan dan dalam proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan kebijakan tentang proses pembuatan kebijakan dilakukan dengan menganalisis tentang sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik. Hal ini dapat tercapai jika pengetahuan tentang kebijakan dikaitkan dengan pengetahuan dalam proses kebijakan, anggota-anggota badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bersama dengan warga negara yang memiliki peranan dalam keputusan publik, dapat menggunakan hasil-hasil analisis kebijakan untuk memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya. Efektifitas pembuatan kebijakan tergantung pada akses terhadap stok pengetahuan yang tersedia, komunikasi, dan penggunaan analisis kebijakan menjadi penting sekali dalam praktek dan teori pembuatan kebijakan publik. Analisis kebijakan lebih fokus kepada bagaimana pengambil keputusan mendapatkan sejumlah alternatif kebijakan yang terbaik, sekaligus alternatif yang terpilih sebagai rekomendasi dari analisis kebijakan atau tim analisis kebijakan. Peran analisis kebijakan adalah memastikan bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik, dan bukan asal menguntungkan pengambil kebijakan. Analisis kebijakan adalah salah satu di antara sejumlah banyak faktor dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola
14 institusional di mana kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara 3 unsur yaitu: kebijakan publik, pelaku publik dan lingkungan publik. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Berikut tiga unsur dalam sistem kebijakan. Pelaku Publik
Lingkungan Publik
Kebijakan Publik
Gambar 3 Tiga Unsur Kebijakan (Thomas R Dye dalam Dunn 2004) Hubungan antara komponen-komponen informasi kebijakan dan metodemetode analisis-kebijakan memberi landasan untuk membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan: a) analisis prospektif, merupakan analisis yang dilakukan sebelum aksi kebijakan dimulai; b) analisis retrospektif, merupakan analisis yang dilakukan sesudah aksi kebijakan dilakukan dan c) analisis terintegrasi, merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan penciptaan informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil (Dunn 2004). Analisis kebijakan terintegrasi tidak hanya mengkaitkan tahapan retrospketif dan prospektif, tetapi menuntut para analis secara terus menerus menghasilkan dan menstransformasikan informasi setiap saat. Artinya analisis terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus menerus sepanjang waktu. Dengan demikian, analisis yang terintegrasi merupakan multidisiplin karena dibangun atas kekuatan disiplin yang menspesialisasikan pada analisis perspektif (seperti ekonomi, teknik sistem, riset operasi), dan yang menekankan pada analis retrospektif (seperti ilmu politik, sosiologi, dan hukum).
Kebijakan Publik Kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn 2004). Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan oleh „otoritas” dalam sistem politik yaitu para
15 senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965 dalam Agustino 2008). Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis (Wahab 2008). Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang satu dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah: a.
Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara tunggal.
b.
Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang merupakan mata rantai berkesinambungan.
c.
Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem politik akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah.
d.
Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat mengubah yang hampir mungkin menjadi mungkin.
e.
Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap dan akurat. Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan mengakibatkan salah pandang dan salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan. Pada prinsipnya ketika kebijakan diluncurkan, maka kebijakan tersebut harus
dapat memberikan dampak yang positif terhadap kondisi semula. Oleh karena itu perlu adanya ukuran efektifitas dari kebijakan itu. Yang diperlukan dalam pengukuran efektifitas suatu kebijakan adalah: a.
Efesien, artinya kebijakan harus dapat meningkatkan efesiensi kondisi sekarang dibanding kondisi yang lalu.
b.
Fair, artinya adil yaitu bahwa kebijakan harus dapat ditempatkan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
c.
Insentif, artinya bahwa kebijakan yang diambil harus dapat memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk dapat melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan.
16 d.
Enforceability, artinya mempunyai kekuatan untuk menegakkan hukum. Kebijakan tidak akan berjalan efektif apabila kondisi penegakan hukum yang lemah (poor law enforcement).
e.
Public acceptability, artinya dapat diterima oleh masyarakat.
f.
Moral, artinya bahwa kebijakan harus dilandasi dengan etika.
Beberapa pokok pikiran yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan kebijakan kehutanan dapat dirumuskan sebagai berikut: a.
Mengembangkan iklim berusaha serta kehidupan bermasyarakat yang memperhatikan dan peduli terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Langkah ini sangat jelas berhubungan dengan insentif dan disentif ekonomi, peran serta masyarakat dan penegakan hukum dalam rangkaian kebijakan tataguna lahan serta pengelolaan sumberdaya alam, kehutanan, dan daerah aliran sungai. Alokasi lahan yang secara de facto mengakui tanah adat dan lahan masyarakat harus ditegakkan.
b.
Kepedulian dan sense of possession dari masyarakat terhadap situasi negatif, akan tumbuh jika terdapat pengakuan masyarakat. Demikian pula, luas unit usaha dalam kebijakan tataguna lahan harus disesuaikan dengan resiko yang terjadi dan degradasi sumberdaya alam lainnya. Sistem insentif dan disentif bagi pengelola hutan harus ditegakkan, sehingga apabila terjadi kerusakan lahan, para pemilik konsesi dan masyarakat ikut merasakan dan bertanggungjawab.
c.
Memperbaiki penegakan hukum dan kebijakan di tingkat pemerintah daerah dan pusat. Disamping itu, masyarakat adat dan masyarakat lainnya harus secara luas dapat melakukan kontrol (dan penuntutan hukum) atas kelalaian pemerintah dalam penanggulangan bencana sumberdaya alam dan kehutanan serta degradasi alam lainnya.
d.
Meningkatkan porsi dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam berbagai urusan yang berhubungan dengan perencanaan, implementasi, dan kontrol terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan kehutanan. Hal ini sebenarnya sangat relevan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang saat ini sedang digalakkan, walaupun kita tidak harus berharap banyak terhadap paket kebijakan desentralisasi, karena kemungkinan untuk
17 terjadinya kesalahan pengelolaan (mismanajemen), masih cukup besar sehingga tragedi lama mungkin terjadi (Arifin 2001). Aktor dan Pelaku Pembuat Kebijakan Pelaku kebijakan adalah para individu atau kelompok yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Para pelaku kebijakan antara lain kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih, dan para analis kebijakan (Dunn 2004). Pejabat pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik, walau dalam kenyataannya beberapa orang yang mempunyai wewenang untuk bertindak dikendalikan oleh orang lain, seperti pimpinan partai politik atau kelompok penekan (Agustino 2008). Yang termasuk dalam pembuat kebijakan secara normatif adalah legislatif, eksekutif, administrator, dan para hakim (Agustino 2008). Masing-masing mempunyai tugas dalam pembuatan kebijakan yang relatif berbeda dengan lembaga lainnya. Selain lembaga-lembaga tersebut di atas yang secara formal membuat kebijakan publik, masih ada elemen lain yang berpartisipasi dalam proses kebijakan di antaranya kelompok kepentingan, partai politik, dan warganegara secara pribadi. Kelompok di atas dikenal sebagai partisipan nonpemerintah karena bagaimanapun elemen ini dianggap penting atau dominan dalam situasi yang berlainan, walau pada dasarnya kelompok ini tidak memiliki wewenang yang sah untuk membuat kebijakan. Lingkungan Publik Lingkungan kebijakan publik yaitu konteks khusus di mana kejadian-kejadian di sekelilig isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik (Dunn 2004). Kebijakan publik akan dibentuk dan membentuk lingkungan sekitarnya (sosial, politik, ekonomi maupun budaya). Suatu keadaan akan terjadi di mana kebijakan menyalurkan masukannya pada lingkungan sekitarnya, namun pada saat yang sama atau yang lain, lingkungan sekitar membatasi dan memaksakan pada perilaku yang harus dikerjakan oleh para pengambil keputusan/kebijakan. Artinya, interaksi antara lingkungan
18 kebijakan dan kegiatan kebijakan publik memiliki hubungan yang saling berpengaruh. Pemahaman lingkungan kebijakan yang spesifik perlu ditingkatkan dengan pemaknaan yang plural, dalam tiga ketegori luas yaitu: a.
Lingkungan umum di luar pemerintahan dalam arti pola-pola yang melibatkan faktor-faktor sosial ekonomi, politik dan nilai-nilai tertentu
b.
Lingkungan di dalam pemerintahan dalam arti institusional, seperti karakteristik birokrasi, sumberdaya yang dimiliki, sumberdaya finansial yang tersedia, dan sebagainya.
c.
Lingkungan khusus yang mempengaruhi kebijakan. Beberapa bentuk lingkungan yang mempengaruhi dapat dilihat dari sisi
formulasi, implementasi, hingga evaluasi bahkan perubahan kebijakan publik seperti karakteristik geografis (sumber-sumber alam, iklim, topografi), variabel demografi (populasi masyarakat, persebaran usia, lokasi), budaya politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi. Negara lain juga menjadi penting dalam struktur lingkungan kebijakan khususnya berkaitan dengan kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri. Khusus untuk ilmuwan/studi kebijakan publik dan ilmuwan politik, lebih menitikberatkan pada pembahasan variabel kondisi budaya politik dan variabel sosial ekonomi. Kedua variabel di atas menjadi hal penting untuk memahami pengaruhnya terhadap kebijakan yang terjadi. a.
Kondisi dan Budaya Politik Setiap masyarakat mempunyai kebiasaan, tradisi, dan budaya yang membedakan nilai serta perilaku anggota masyarakat dari yang lain. Budaya masyarakat pada umumnya dapat membentuk budaya politik, yang secara luas memberikan nilai, kepercayaan, dan sikap mengenai apa yang yang harus dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana mereka harus menjalankan, serta hubungan antara warga negara dan pemerintah. Yang menjadi perhatian dalam budaya politik suatu negara adalah bagaimana suatu kebijakan publik diformulasi dan implementasikan dengan mengkaji kondisi dan budaya politik yang terjadi.
19 b.
Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi sangat sulit dipisahkan dalam proses formulasi kebijakan publik. Tingkat masyarakat dalam perkembangan ekonomi akan menentukan batasan yang dapat dikerjakan pemerintah dalam menyediakan barang-barang dan pelayanan publik kepada masyarakat. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap apa yang dikerjakan pemerintah dalam program kesejahteraan adalah sumber-sumber ekonomi yang dipakai. Penelitian yang dilakukan Thomas R. Dye (1966) dengan mengikutsertakan analisis statistik mengenai output kebijakan di 50 negara, menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi (dengan variabel: pendapatan perkapita, persentasi populasi urban, tingkat rata-rata pendidikan dan pekerjaan industri) mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kebijakan negara dalam hal pendidikan, kesejahteraan, jalan raya dan peraturan publik). Sedangkan variabel politik (partisipasi pemberi suara, persaingan antar partai, kekuatan partai politik dan pembagian legislatif) hanya mempunyai hubungan yang lemah (Agustino 2008). Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Publik Pemahaman dan penjelasan tentang proses pembuatan keputusan dilihat
dengan beberapa pendekatan teoritis dalam sistem politik. Pendekatan teoritis sangat berguna untuk mempermudah cara berpikir kita dan memberikan saran yang mungkin bagi kegiatan politik atau khususnya dalam menganalisis masalah kebijakan publik. Metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima macam pertanyaan: Apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang diharapkan? Jawaban terhadap pertanyaan di atas membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa-depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan (Dunn 2004). Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia: definisi, prediksi, preskripsi,
20 deskripsi, dan evaluasi seperti pada Gambar 4 (Dunn 2004). Prosedur-prosedur dalam analisis kebijakan memperoleh nama-nama khusus yaitu: a.
Perumusan masalah (definisi): menghasilkan informasi mengenai kondisikondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
b.
Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu.
c.
Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah.
d.
Pemantauam (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
e.
Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Kelima prosedur analisis kebijakan dapat dilihat pada gambar di bawah:
Gambar 4 Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn 2004)
21 Proses Pembuatan Kebijakan Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik. Proses ini dapat divisualisasikan sebagai proses pembuatan kebijakan, yang memiliki lima tahap penting yaitu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Dunn 2004). Tahapan dan karakteristik pembuatan kebijakan di atas dapat dilihat pada Tabel 1. Perlu ditekankan bahwa analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir dari upaya memperbaiki proses pembuatan kebijakan. Tabel 1 Tahapan proses pembuatan kebijakan
Tahapan
Karakteristik
Penyusunan Agenda
Fomulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Penilaian Kebijakan
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia Unit-unit pemeriksaan dan akuntasi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Sumber: Dunn (2004) Perhatian yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan adalah proses perumusan masalah publik pada tahapan penyusunan agenda publik. Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen dasar dalam merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai. Perumusan masalah menurut Dunn (2004) akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis masalah publik, memetakan
tujuan
yang
memungkinkan,
memadukan
pandangan
yang
22 berseberangan/bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan baru. Lebih lanjut dikatakan, dalam perumusan masalah terdapat fase-fase yang harus dilakukan
secara
hati-hati
yaitu
pencarian
masalah
(problem
search),
pendefinisian masalah (problem defenision), spesifikasi masalah (problem specification) dan pengenalan masalah (problem sensing). Hal terpenting lain dalam pembuatan kebijakan selain merumuskan masalah adalah menemukan masalah publik yang dibedakan dengan masalah privat. Masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatankesempatan yang tidak terealisir tetapi dapat dicapai melalui tindakan publik (Dunn 2004). Ciri-ciri yang menonjol dari masalah kebijakan sebagai berikut: a. Saling ketergantungan dari masalah kebijakan, yang mengharuskan perlunya pendekatan yang holistic. b. Subyektifitas. Masalah merupakan elemen dari banyak situasi masalah yang diabstraksikan oleh analis. Hal yang sangat penting dalam analisis kebijakan yaitu membedakan situasi masalah dengan masalah kebijakan. c. Sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan sebenarnya adalah apa yang ada dalam masyarakat itu sendiri. d. Dinamika masalah kebijakan, menjelaskan bahwa solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang. Proses
pembuatan
kebijakan
berhubungan
dengan
didapatkannya
persetujuan dari alternatif kebijakan yang dipilih. Proses ini dapat dipelajari sebagai suatu proses individual atau kolektif. Ada beberapa kriteria yang dapat mempengaruhi pilihan kebijakan yang bersifat individual manakala hendak diputuskan yaitu nilai (sosial, ekonomi, religius, politik, dan lain-lain), afiliasi pada partai politik, kepentingan para pemilih (konstituen), pendapat publik, dan perbedaan (Agustino 2008). Untuk memahami formulasi kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye (1995) dalam Agustino (2008) setidaknya ada sembilan model formulasi kebijakan yang banyak digunakan selama ini oleh negara/lembaga/institusi dalam menetapkan keputusannya, yaitu: model sistem, model elite, model institusional, model kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan
23 publik, dan model teori permainan. Penjelasan dari beberapa model formulasi kebijakan tersebut, yaitu: a.
Model proses: kebijakan publik sebagai suatu aktivitas yang menyertakan rangkaian-rangkaian kegiatan (yang berproses) yang berujung evaluasi kebijakan.
b.
Model rasional. Prinsip dasar dari model rasional adalah bagaimana keputusan yang diambil oleh pemerintah harus sudah diperhitungkan rasionalitas cost and benefits-nya bagi warga masyarakat. Tahapan yang harus dilakukan yaitu: (1) mengetahui pilihan-pilhan dan kecenderungan yang diinginkan warga; (2) menemukan pilihan-pilihan kebijakan yang mungkin untuk diimplementasikan; (3) menilai konsekuensi masing-masing dari pilihan kebijakan; (4) menilai perbandingan perhitungan keuntungankeuntungan dan kerugian-kerugian apabila kebijakan diimplementasikan; (5) memilih alternatif kebijakan yang efesien dan ekonomis. Model ini dikenal juga sebagai Model Rasional Komprehensif.
c.
Model inkremental, merupakan model formulasi yang “melanjutkan” atau “memodifikasi” kebijakan yang tengah berlangsung ataupun kebijakan yang telah lalu. Model ini disebut juga sebagai Model Praktis.
d.
Model pilihan publik menyatakan kebijakan yang dibuat pemerintah haruslah kebijakan yang memang berbasis pada publik, yang sesuai dengan konteks negara demokratis yang mengedepankan one man one vote. Kebijakan publik yang mayoritas merupakan rancang bangun teori kontrak sosial yang sangat tergantung pada preferensi publik atas pilihan-pilihan yang ada.
e.
Model teori permainan (game theory). Kebijakan publik berada pada kompetisi yang sempurna, sehingga pengaturan strategi kebijakan yang ditawarkan pada pengambil keputusan lain dapat diterima, khususnya oleh para penentang. Tahapan dalam model teori permainan, pengaturan/pemilihan strategi menjadi hal yang paling utama. Grindle dan Thomas (1990) dalam Kartodihardjo (2008) dan Sutton (1999)
menyatakan proses pembuatan kebijakan selama ini menggunakan pendekatan rasional atau linier yaitu: mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah, kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dan kondisi harapan
24 yang diinginkan, merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah atau gap, memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi, memilih tindakan, pelaksanaan kebijakan, serta evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Asumsi yang digunakan dalam model linier adalah pembuat kebijakan melakukan pendekatan terhadap masalah secara rasional, melalui setiap tahapan proses dengan logis, dan mempertimbangkan dengan cermat dan hati-hati berbagai informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang dimaksudkan, maka kesalahan seringkali tidak diarahkan pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau pengelolaan dalam implementasi kebijakan tersebut (Juma & Clark 1995 dalam Sutton 1999). Kegagalan dalam pelaksana kebijakan biasanya ditujukan pada lemahnya “political will”, keterbatasan sumberdaya (anggaran, sumberdaya manusia), dan manajemen. Model pembuatan kebijakan menurut Sutton (1999) berdasarkan adanya berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu: a. Model tahap demi tahap (incremental model). Suatu kebijakan menetapkan isu sebagai alternatif yang dianggap kritis dan tidak ada perubahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan dengan kebijakan sebelumnya. b. Kebijakan sebagai argumen. Suatu kebijakan yang baru merupakan argumen, yang dikembangkan melalui perdebatan antara pemerintah dengan pihak lain. Pihak-pihak yang terlibat melakukan klaim dan justifikasi terhadap sesuatu dan pihak lain menanggapi secara kritis. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi ide menampilkan posisi politik dan fakta sosial dari berbagai pandangan dan ideologi. c. Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaharuan kebijakan memperhatikan perubahan sosial yang berjalan sebagai suatu trial dan error, melalui pembuktian sejumlah hipotesis yang diuji berdasarkan realitas. Model ini menggunakan pendekatan eksperimen ilmu-ilmu alam. d. Kebijakan sebagai proses belajar secara interaktif (interactive learning). Kebijakan ini berakar dari kritik kebijakan pembangunan top down, dimana
25 kebijakan dibuat berdasarkan perpektif aktor secara terbatas oleh individuindividu, lembaga atau kelompok sosial yang mengendalikan dan menjalankan sistem pemerintahan. Pendekatan ini mempromosikan interaksi antara para pembuat kebijakan dan para pihak yang langsung terkena dampak kebijakan. Contohnya pendekatan partisipatoty rural appraisal (PRA). IDS (2006) menjelaskan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Proses pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik dan bukan semata-mata masalah teknis, 2) Proses pembuatan bersifat incremental (bertahap), iterative (berulang) dan experimental (uji coba), serta belajar dari kesalahan, 3) Selalu diwarnai kepentingan yang tumpang tindih dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga yang terabaikan, 4) Keputusan tidak tersendiri dan mempertimbangkan hal teknis, tetapi nilai dan fakta sangat berperan penting, 5) Implementasi melibatkan pertimbangan dan negoisasi oleh pelaksana di tingkat lapangan, 6) Para ahli teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan. Penelitian yang dilakukan oleh IDS (2006) di beberapa negara menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan dalam prakteknya tidak mengikuti pendekatan rasional (non_linier) tersebut. Penetapan masalah serta solusi atas suatu fenomena tertentu seringkali melibatkan berbagai kepentingan, kerangka pikir (discourse/narrative) maupun aktor dan jaringan, sehingga tidak lagi dapat menggunakan kerangka pendekatan rasional. Studi kasus terhadap tiga perumusan kebijakan pemerintah di bidang kehutanan yang dilakukan Kartodihardjo (2008) menunjukkan hal yang sama bahwa para pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan menghadapi situasi ketidakpastian, berbagai skenario muncul dengan berbagai perspektif yang senantiasa bersaing satu sama lain. Proses pembuatan kebijakan tidak terlepas dari adanya narasi-narasi yang telah terbangun. Narasi dibangun sebagai upaya mengatasi adanya interaksi dan proses oleh orang banyak yang kompleks yang menjadi karakteristik situasi pembangunan. Kegiatan pembangunan mempunyai sifat ketidak-pastian. Birokrat dan para pembuat kebijakan mengartikulasikan ketidak-pastian tersebut dengan membuat narasi dan skenario melalui sejumlah penyederhanaan. Beberapa kasus
26 menunjukkan, narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi kebijakan (policy space) yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Diskursus berdasarkan pendekatan antropologi mempunyai peranan yang penting dalam proses pembuatan kebijakan. Diskursus sebagai cara berpikir dan menentukan argumentasi biasanya menyertakan politik dalam pemberian penamaan (misalnya perambah hutan, kapitalis, dll) dan pengklasifikasian yang secara tegas menolak cara berpikir yang lain. Berbeda dengan “narasi” sebagai cara pikir untuk ruang yang lebih spesifik, diskursus digunakan sebagai bentuk kerangka pikir yang lebih luas. Implemetasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, di mana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan (Agustino 2008). Ada tiga hal penting dari pengertian implementasi kebijakan, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan. Fokus analisis implementasi kebijakan berkisar pada masalah-masalah pencapaian tujuan formal yang telah ditentukan. Fokus tersebut membawa konsekuensi pada perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efesiensi dan efektivitas pelaksanaan kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan kebijakan. Pemahaman mengenai implementasi kebijakan publik, tidak hanya menyoroti perilaku lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang bertanggungjawab atas suatu program tetapi perlu memperhatikan secara cermat berbagai jaringan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat program dan yang pada akhirnya membawa dampak yang diharapkan maupun tidak diharapkan dari suatu program.
27 Baginski dan Soussan (2002) menunjukkan bahwa implementasi kebijakan merupakan bagian dari proses pembuatan kebijakan, bukan merupakan kegiatan yang terpisah. Hal ini dapat terwujud apabila hasil kebijakan dilakukan komunikasi dan desiminasi serta adanya interpretasi kebijakan yang sama dari berbagai pihak yang terlibat di tingkat pelaksana. Program-program atau kegiatan sebagai perwujudan implementasi suatu kebijakan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan kebijakan dan dampak yang diharapkan. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam implementasi kebijakan yaitu pendekatan top down dan pendekatan button up (Agustino 2008). Pendekatan top down
bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik yang
ditetapkan oleh pembuat kebijakan di tingkat pusat dilaksanakan oleh birokrat pada level bawahnya. Pendekatan button up adalah model implementasi kebijakan di mana formulasi kebijakan berada di tingkat warga, sehingga lebih memahami dan menganalisis kebijakan-kebijakan yang cocok dengan sumberdaya daerahnya, sistem sosio-kultur yang ada agar kebijakam tersebut tidak kontradiktif. Semua kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengawasi perilaku manusia untuk suatu tujuan tertentu. Apabila kebijakan tersebut tidak dapat merubah perilaku manusia atau tidak mematuhi kebijakan yang ditentukan, maka kebijakan tersebut dikatakan tidak efektif. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya suatu kebijakan, antara lain: a. Faktor penentu pemenuhan kebijakan 1. Respek anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah 2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan 3. Adanya sanksi hukum 4. Adanya kepentingan publik 5. Adanya kepentingan pribadi 6. Masalah waktu b. Faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan 1. Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada 2. Tidak adanya kepastian hukum 3. Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi 4. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.
28 Kebijakan Pengelolaan Cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Eksploitasi cendana di Provinsi NTT telah dimulai sejak abab III. NTT termasuk salah satu wilayah yang aktif dalam perdagangan kayu cendana. Perkiraan perdagangan cendana mulai diperdagangkan tahun 1500 SM. Perdagangan cendana mulai intensif sekitar permulaan abad Masehi. Menurut Van Leur (1954) dalam Widyatmika (2007), para pelaut India telah sampai ke Kepulauan NTT pada sekitar abab Masehi, diikuti oleh pelaut Cina dan pedagang bagian Barat yang memulai perburuan cendana ke Pulau Sumba. Masa pasca kemerdekaan, pemerintahan Provinsi NTT melihat bahwa cendana merupakan komoditi yang bernilai ekonomi tinggi. Pengelolaan dan pengusahaan cendana diambil alih pemerintah daerah dengan mengeluarkan Perda-Perda tentang cendana. Penetapan jumlah produksi, harga cendana, dan calon pembeli melalui penetapan Daftar Rekanan Mampu (DRM) ditetapkan setiap tahun oleh pemerintah daerah bersama DPRD. Penetapan jumlah produksi dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi cendana yang dilakukan secara sensus setiap lima tahun sejak tahun 1965 sampai 1998 yang terlihat pada Tabel 2 dan produksi cendana Pelita I sampai Pelita VI dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2 Hasil inventarisasi cendana di Provinsi NTT tahun 1965 - 1998 Tahun Inventarisasi 1965 -1968 1973 – 1976 1987 – 1990 1997 – 1998 2003* 2008*
Anakan 375 065 325 106 502 584 199 523 586 108 399 526
Populasi cendana Induk 131 687 200 575 182 933 51 417 182 898 102 852
Jumlah 506 752 525 681 685 527 250 940 769 006 501 904
Sumber: DISHUT Provinsi NTT (1986; 1988; 1998), * BPS Provinsi NTT (2003;2008) Data populasi cendana di Provinsi NTT tahun 2003 dan 2008 dalam Tabel 2, bukan merupakan hasil inventarisasi seperti yang dilakukan sebelum tahun 1998. Populasi cendana tahun 2003 dalam BPS Provinsi NTT merupakan jumlah populasi cendana di Pulau Timor dan Sumba, sedangkan populasi cendana tahun
29 2008 khusus untuk pulau Timor. Namun, secara real di lapangan, jumlah populasi cendana tersebut sangat sulit ditemukan. Berdasarkan produksi cendana pada Tabel 3, memberikan gambaran bahwa rata-rata produksi cendana yang ditetapkan pemerintah sebesar 600 ton/tahun. Produksi cendana pada tahun 1996/1997 menunjukkan jumlah yang sangat tinggi dibandingkan produksi tahun sebelmnya. Hal ini disebabkan pada tahun 1996 pemerintah mengeluarkan kebijakan “Operasi Sahabat” di mana terjadi pengumpulan dan penebangan cendana dalam jumlah besar yang melibatkan berbagai pihak. Namun, pada tahun 1997 pemerintah mengeluarkan larangan penebangan cendana selama lima tahun ke depan melalui Instruksi Gubernur No. 12 Tahun 1997 dengan tujuan menjaga kelestraian cendana. Tabel 3 Produksi cendana Pelita I - VI Tahun 1969 - 1996
1969/1970
Jumlah Produksi (Kg) 850 480
1983/1984
1970/1971
549 414
1984/1985
443 005
1971/1972
712 539
1985/1986
86 556
1972/1973
995 463
1986/1987
794 182
1973/1974
420 858
1987/1988
734 421
1974/1975
354 463
1988/1989
650 488
1975/1976
100 895
1989/1990
605 206
1976/1977
388 793
1990/1991
640 174
1977/1978
606 344
1991/1992
610 163
1978/1979
585 163
1992/1993
524 814
1979/1980
635 924
1993/1994
615 139
1980/1981
354 778
1994/1995
334 001
1981/1982
500 380
1995/1996
292 917
1982/1983
373 608
1996/1997
2 458 594
Tahun
Tahun
Jumlah 1969/1979 – 1996/1997
Jumlah Produksi (Kg) 757 239
16 976 361
Sumber: Biro Ekonomi Kantor Gubernur NTT dalam BanoEt (2000) Keterangan: Tahun 1996-1986 perhitungan berat teras 100 kg/pohon Tahun 1997-1996 Perhitungan berat teras 50 kg/ pohon
30 Hasil penjualan produksi cendana menjadi kontribusi penerimaan daerah dalam bentuk PAD. Besarnya PAD yang diperoleh dari cendana menjadi salah satu dasar penguasaan pemerintah terhadap seluruh tanaman cendana. Cendana sangat mendukung pembangunan daerah, karena kontribusi cendana terhadap PAD Provinsi NTT tahun 1986 (Leki et al. 1996) dan tahun 1990 mencapai 47% (Damokusumo et al. 2000). Tahun 2000 cendana sudah tidak memberikan kontribusi terhadap PAD NTT. Kontribusi cendana terhadap PAD Provinsi NTT tahun 1986 – 2000 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kontribusi cendana terhadap PAD NTT tahun 1986 - 2000 Tahun
PAD NTT (Rp)
Kontribusi cendana (Rp)
Persentase (%)
1986/1987
2 753 619 150
1 310 000 000
47
1987/1988
4 078 448 750
1 140 000 000
28
1988/1989
5 396 814 400
2 115 0000 00
39
1989/1990
6 182 087 300
2 739 250 000
44
1990/1991
8 162 081 300
3 829 113 870
47
1991/1992
10 395 764 896
3 385 750 000
33
1992/1993
11 783 248 087
3 660 325 750
31
1993/1994
13 128 757 319
4781554 690
36
1995/1996
15 995 385 266
3 104 042 700
19
1996/1997
24 990 718 346
2 568 620 000
10
31 010 872 600
7 772 548 900
25*
30 576 255 000
1 280 368 700
4
29 053 660 441
4 170 436 500
14*
1998/1999
19 950 917 000
2 761 834 000
14
1999/2000
18 136 400 000
2 383 172 786
13
1997/1998
2000 /2001 12 230 093 400 0 Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NTT 1995 dalam Leki et al. 1996; Darmokusumo et al. 2000; *BanoEt 2000 Pengelolaan cendana di era otonomi daerah sudah diserahkan kepada kabupaten masing-masing. Produksi cendana lebih banyak dilakukan masyarakat pada lahan milik. Data BPS Provinsi 1999 -2008 menunjukkan bahwa kabupaten yang masih memproduksi cendana yaitu Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang, TTS, TTU, Belu, Ende Manggarai, Kota Kupang dan Rote Ndao. Kabupaten TTS
31 dan Belu merupakan kabupaten dengan produksi terbesar yaitu sekitar 50% dari jumlah produksi. Data produksi cendana terkini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Produksi kayu cendana di Provinsi NTT 1999 - 2008 Tahun Produksi cendana (Kg) 1999
145 696
2000
145 696
2001
145 695
2001
261 259
2003
283 819
2004
170 063
2005
170 063
2006
189 692
2007
432 386
2008
10 140
Jumlah
1 954 279
Sumber: BPS Provinsi NTT 1999 - 2008 Berdasarkan data produksi dan kontribusi cendana terhadap PAD Provinsi NTT menunjukkan peraturan daerah tentang pengelolaan cendana hanya berdasarkan pertimbangan ekonomi untuk peningkatan PAD. Pertimbangan yang mengabaikan aspek ekologis (kelestarian hasil, teknis budidaya cendana) dan sosial budaya (status kepemilikan cendana di lahan milik dan pendapatan masyarakat dari cendana). Penurunan populasi cendana sampai saat ini karena kebijakan yang tidak berpihak pada masalah yang dihadapi masyarakat. Faktor ketidakjelasan hak dan kepemilikan serta jaminan kepastian (tenurial security) atas sumberdaya alam juga menjadi pemicu konflik pengelolaan hutan seperti illegal logging dan pembukaan lahan secara sengaja dalam skala besar (Kartodihardjo 2006). Perkembangan peraturan-peraturan tentang cendana di NTT sebelum penjajahan hingga saat ini oleh Pello (2002) diuraikan sebagai berikut:
32 a. Sebelum Masa Kolonial Peraturan yang berlaku saat ini adalah aturan adat. Masyarakat Timor di NTT telah memiliki ketentuan adat menyangkut pengelolaan cendana yang disebut “Banu Haumeni. Peraturan adat tersebut berisi: 1. Barang siapa yang menebang sembarangan, membakar atau merusak tanaman cendana akan dikenai hukuman denda seekor kerbau atau kambing. Besarnya denda tergantung pada umur tanaman yang dirusak. Semakin tua pohon yang dirusak, dendanya semakin berat. Demikian juga apabila masyarakat membuka lahan pertanian, jika terjadi kerusakan kayu cendana maka petani tersebut akan didenda. 2. Rakyat jelata dilarang berdagang cendana secara langsung dengan pedagang Cina, Arab, dan Eropa sebelum raja dan keluarganya bertemu dengan para pedagang tersebut. Aturan yang berlaku pada Zaman Masehi adalah apabila kapal pedagang yang datang, mereka harus memberi hadiah sirih pinang kepada raja sebagai ganti biaya berlabuh dan lain-lain. Kayu cendana dibeli dengan harga sangat murah dari masyarakat dan seluruh keuntungan dinikmati oleh raja dan bangsawan beserta seluruh keluarganya (Widyatmika 2007). b.
Masa Kolonial Masa pemerintahan Portugis dan VOC peraturan tentang cendana mengalami perubahan. Penebangan dan perdagangan cendana diatur dengan persyaratan bagi hasil yaitu 2/3 bagian untuk Portugis atau VOC dan 1/3 bagian untuk raja. Sedangkan pada masa kedatangan pemerintahan Hindia Belanda, terjadi persaingan dagang dengan Portugis, VOC, Hindia Belanda sampai tahun 1916. Sebagai contoh, VOC mengatur penjualan cendana dengan memesan cendana dari para penguasa lokal di Sultan Bima yang berkedudukan di Pulau Sumba atau yang berasal dari penduduk dibayar 12 ringgit untuk 16 potongan kayu cendana. Kekuasaan raja pada masa ini juga mengatur seluruh kayu cendana yang tumbuh di hutan, lahan masyarakat merupakan milik pemerintah atau penguasa lokal, masyarakat hanya mendapatkan bagian upah tebang dan upah angkut. Sebagai contoh, pembagian hasil disebutkan 5/10 untuk raja, 2/10
33 untuk fetor (bawahan raja), 1/10 untuk temukung (petugas kerajaan) dan 2/10 untuk tukang tebang. Pemerintah Hindia Belanda menerapkan peraturan tentang cendana yang terasa sangat memberatkan masyarakat karena mereka harus merawat tanaman cendana yang tumbuh di lahannya. Apabila tanaman itu mati, maka pemiliknya akan dikenai hukuman, antara lain: 1.
Jika seorang merusak cendana yang sudah besar maka didenda sebesar 10 rupiah uang perak;
2.
Pelaku penebang liar kayu cendana didenda 10 rupiah uang perak dan penjara 3 tahun;
3.
Apabila seseorang sengaja membakar belukar yang menyebabkan daun cendana gugur maka didenda 1 ringgit uang perak dan penjara 3 tahun;
4.
Apabila seseorang ketahuan mematikan anakan cendana di kebun atau ladang atau pekarangan petani, maka didenda 5 rupiah uang perak dan penjara 6 tahun;
5.
Pelaku pencurian kayu cendana didenda 10 rupiah uang perak dan dipenjara 3 tahun;
6.
Apabila seseorang memotong ranting cendana dengan sengaja sewaktu berkebun maka didenda 1 ringgit uang perak dan dipenjara 3 tahun
c.
Masa Awal Kemerdekaan - Sekarang Setelah Indonesia merdeka, peraturan-peraturan tentang cendana masih tetap berlaku bahkan dijadikan peraturan resmi daerah dalam Perda. 1.
Perda Timor No. 4 Tahun 1953 tentang kayu cendana Hal penting yang diatur dalam Perda ini yaitu: a) Semua kayu cendana yang berupa tumbuhan hidup maupun yang telah mati di dalam Daerah Timor dikuasai sepenuhnya oleh Pemda Timor b) Pembagian hasil sudah dilakukan dengan ketentuan bahwa rakyat yang memelihara, menebang dan mengumpulkan cendana mendapat 40 sen/kg sebagai penghargaan atas jasa pemeliharaan cendana. Pengangkutan cendana dari rumah ke tempat pengumpulan diberi upah 0.5 sen/kg/km; Pahtuaf mendapat premi sebesar 20 sen/kg;
34 Temukung mendapat premi sebesar 15 sen/kg; Fettor mendapat premi sebesar 2 sen/kg; kepala Swapraja mendapat premi sebesar 5 sen/kg; 2.
Perda Provinsi NTT No. 11/PD/1966, tentang kayu cendana Perda ini mengatur tentang: a) Penguasaan, pembinaan, eksploitasi dan pemasaran cendana diatur oleh Pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan Kabupaten b) Pembagian hasil penjualan kayu cendana sebagai berikut: Kayu cendana asal dari kawasan hutan negara: a. Premi untuk Pah Tuaf/Tobe 3%, Temukung 2%, Fetor 1% b. Kas pemerintah kabupaten 74% c. Kas pemerintah provinsi 20% Kayu cendana dari luar kawasan hutan negara: Di dalam tanah milik: a. Premi untuk Pah Tuaf/Tobe 2%, Temukung 1%, Fetor 1% b. Pemilik tanah 50% c. Kas pemerintah kabupaten 36% d. Kas pemerintah provinsi 10% Di luar tanah milik: a. Premi untuk Pah Tuaf/Tobe 3%, Temukung 2%, Fetor 1% b. Kas pemerintah kabupaten 74% c. Kas pemerintah provinsi 20%
3.
Perda Provinsi NTT No. 17 Tahun 1974 Perda ini merupakan Perubahan kedua Perda No. 11/PD/1966 Pasal 6 dan Pasal 9. Perubahan disebabkan berdirinya industri penyulingan minyak cendana yang menggunakan bahan baku cendana. Perubahannya yaitu: a) Untuk keperluan industri dilakukan penjualan langsung kepada industri dan tata cara penjualan kayu cendana serta penetapan harga dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi NTT (Pasal 6) b) Pasal 9 mengatur tentang Ketentuan pidana
35 4.
Perda Provinsi NTT No. 7 Tahun 1980 Perda ini merupakan Perubahan ketiga Perda No. 11/PD/1966 Pasal 8 di mana pembagian hasil diatur untuk Kabupaten penghasil 50% ( 25% digunakan
untuk
biaya
pembinaan,
penanaman
kembali
dan
pemeliharaan cendana) dan pemerintah provinsi 50% (50% untuk pembangunan hutan dan 50% untuk biaya rutin). 5.
Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 Perda ini berisi tentang: a) Cendana yang berada dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan Negara dalam Provinsi NTT dikuasai oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan NTT. Pembagian hasil cendana yang tumbuh secara alami di lahan milik ditetapkan 85% untuk pemerintah dan 15% untuk masyarakat b) Pelaksanaan pengurusan cendana yang meliputi pengamanan, pemeliharaan,
perlindungan,
pemungutan
hasil,
eksploitasi,
pengangkutan, penjualan, penguasaan, dan pemeliharaan diatur oleh Pemda NTT. c) Pembinaan dan pemeliharaan cendana dilakukan oleh Pemda NTT. d) Produksi dan jatah tebang, harga penjualan, dan biaya eksploitasi cendana ditetapkan oleh gubernur Kepala Daerah NTT berdasar pada hasil inventarisasi Dinas Kehutanan 6.
Keputusan Kepala Daerah TK I NTT No. 71 Tahun 1986 Perda ini mengatur tentang target penebangan dan pengumpulan kayu cendana tahun 1986/1987. Peraturan ini merupakan pengesahan target penebangan yang diperbolehkan setiap tahun. Sebagai contoh tahun 1986/1987 pohon cendana yang diperbolehkan ditebang maksimum sebanyak 800 ton. Kewajiban untuk menanam, memelihara dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan kelestarian cendana tidak disebutkan.
7.
Keputusan Gubernur NTT No. 53 Tahun 1992 tentag Koordinasi Pengamanan Kayu Cendana. Kegiatan ini melibatkan aparat pemerintah
36 daerah tingkat II, para Camat, Kepala Desa, aparat keamanan, pemuka masyarakat, kepala dusun, RT/RW/RW 8. Keputusan Gubernur Provinsi NTT No. 7 Tahun 1993 SK Gubernur NTT No. 7 Tahun 1993 tentang Pengaturan Tata Niaga Kayu Cendana terdiri dari 18 bab berisi 19 pasal. Dalam SK tersebut, hanya terdapat 2 (dua) pasal yang mengatur tentang pelestarian yaitu Pasal 4 berbunyi: Diatur bahwa yang ditebang selain pohonnya, tunggak yang mati dan yang hidup sekurang-kurangnya 2 tahun setelah penebangan pohonnya, dan Pasal 15 berbunyi: Kewajiban Pemda TK II dan para pengusaha penyulingan, kerajinan untuk membudidayakan cendana. 9. Keputusan Gubernur No. 8 Tahun 1993 tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu Cendana 10. Perda Provinsi No. 2 Tahun 1996 11. Perda ini merupakan revisi dari Perda No. 16 Tahun 1986 dalam hal proporsi pembagian hasil, yaitu 40% bagian untuk petani dan 60% untuk Pemda. 12. Instruksi Gubernur No. 12 Tahun 1997 13. Instruksi Gubernur ini berisi tentang pelanggaran penebangan kayu cendana sejak tahun 1997 sampai 2003, untuk menjaga kelestarian cendana dari penebangan liar yang dilakukan masyarakat. 14. Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 Perda ini dikeluarkan pada tanggal 26 Maret 1999 untuk mencabut Perda No. 16 Tahun 1986 dan menyerahkan kepengurusan cendana kepada Pemda Kabupaten. Pencabutan Perda No. 16 Tahun 1986, mengandung arti: Cendana di lahan petani dapat dipanen dan dijual secara bebas oleh petani yang menanamnya Cendana yang dikelola oleh Perkebunan Pemerintah dipanen dengan peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.
37 Menindaklanjuti pencabutan Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986, dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, mulai tahun 2000–2008 sudah ada 5 kabupaten (dari 20 kabupaten) di Provinsi NTT yang telah mengeluarkan peraturan tentang cendana yaitu Kabupaten Sumba Timur, Timur Tengah Selatan, Sumba Barat, Atambua dan Timur Tengah Utara. Ada semangat baru dalam Perda yang ditetapkan di tingkat kabupaten, di mana kepemilikan cendana oleh masyarakat diakui secara hukum untuk cendana yang tumbuh di lahan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan perda tentang cendana dapat memotivasi masyarakat dan swasta untuk mengelola cendana. Untuk menunjang keberhasilan pengembangan cendana di kabupatenkabupaten di Provinsi NTT, Indonesia perlu melihat perkembangan pengelolaan cendana di negara Australia dan India yang saat ini menjadi negara produsen cendana di dunia. Populasi cendana di India berkembang pesat dan saat ini merupakan salah satu negara penghasil kayu cendana terbesar kedua setelah Australia. Keberhasilan pengembangan penanaman cendana di India pada lahan masyarakat karena didukung oleh kondisi sosial budaya masyarakat yang tinggi. Dewasa ini tanaman cendana berkembang meluas sampai ke tanah milik negara (Surata 2006). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Pengeloaan hutan adalah praktek penerapan prinsip-prinsip dalam bidang biologi, fisika, kimia, analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial dan analisis kebijakan dalam rangkaian kegiatan membangun atau mengenerasikan, membina, memanfaatkan dan mengkonservasikan hutan untuk mendapatkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, dengan tetap mempertahankan produktifitas dan kualitas hutan (Suhendang 2002). Pengelolaan hutan yang berkelanjutan mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tahun 1999 mendefenisikan Sustaianable Forest Management (SFM) sebagai strategi dan pelaksanaan kegiatan produksi hutan, kelestarian fungsi ekologi/lingkungan dan kelestarian fungsi sosial dari hutan. Pengertian Sustainability mengandung tiga pengertian
mendasar
yaitu
pertama
berhubungan
dengan
keberlanjutan
38 sumberdaya alam, keberlanjutan jumlah dan keanekaragaman spesies dan ekosistem serta ketiga adalah keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial tanpa mengurangi atau mengganggu keberadaan sumberdaya generasi yang akan datang. Tingginya
ketergantungan
masyarakat
terhadap
hutan,
dan
untuk
mengurangi kerusakan hutan serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada dalam dan sekitar hutan, LEI telah mengembangkan sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Sistem ini dibangun berangkat dari semangat untuk mendorong rekognisi PHBM di Indonesia di tingkat internasional. Karakteristik PHBM yang unik dan beragam menuntut dikembangkannya sebuah sistem sertifikasi yang mampu mengadopsi keunikan dan keberagaman tersebut. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) lestari diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun individual berskala kecil sampai sedang, yang dilakukan secara lestari (LEI 2002). Sampai saat ini, kurang lebih telah ada 2 (dua) juta hektar hutan berbasis masyarakat di dunia yang mendapatkan sertifikat. Secara keseluruhan unit manajemen hutan berbasis masyarakat tersebut masih berkonsentrasi pada produk kayu. Bentuk organisasi pengelolanya pun sangat bervariasi. Mulai dari yang sederhana dengan luasan 286 ha di Kostarika sampai dengan organisasi pengelola yang telah maju seperti Menominee Tribal Enterprise di Amerika Serikat. Pengelolaan PHBM di Indonesia telah dilakukan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa sejak tahun 2001 (Perum Perhutani 2009). Kegiatan PHBM pada awalnya merupakan kegiatan tumpangsari yaitu menanam palawija di bawah tegakan pokok. Kesempatan ini digunakan masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Masyarakat memperoleh hasil berupa tanaman semusim untuk menunjang kebutuhan subsistem Kajian yang dilakukan oleh WAC (2009) pada DAS Konto, Kabupaten Malang, Jawa Timur menunjukkan Kecamatan Ngantang merupakan salah satu daerah yang dianggap berhasil dalam menjalankan keberhasilan PHBM dengan
39 tingkat pertumbuhan tanaman mahoni sebagai tanaman pokok sebesar 91%. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan PHBM yaitu alih guna lahan, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap program PHBM, penyuluhan dan tingkat kepercayaan masyarakat. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepemilikan Cendana Cendana adalah tumbuhan berbentuk pohon yang bersifat setengah parasit (hemiparasit) sehingga membutuhkan tumbuhan lain sebagai pemasok beberapa unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Sifat cendana tersebut menjadi perhatian penting dalam pengembangannya untuk memilih sistem yang tepat. Sistem agroforestry dapat ditawarkan dengan pemilihan jenis inang yang sesuai (Rahayu et al. 2002). Nilai ekonomis cendana yang tinggi dapat menjadi faktor yang mendorong petani untuk menanam cendana. Krause dan Uibrig (2006) menyatakan faktorfaktor penentu keputusan petani menanam tanaman berkayu, terutama di pekarangan, yaitu kegunaan kayu untuk kayu bakar, produk yang berasal dari kayu, pendapatan uang, dan kurangnya sumberdaya lahan dan bibit. Selain faktor di atas, Banister dan Nair (2003) menjelaskan karakteristik rumahtangga dan karakteristik lahan pertanian juga mempengaruhi keputusan petani menanam pohon. Karakteristik rumahtangga yaitu: (1) umur kepala rumahtangga, (2) pendidikan anggota keluarga, (3) jenis kelamin anggota keluarga, (4) kepala rumahtangga imigran/lokal, sedangkan karakteristik lahan pertanian yaitu: (1) persen kemiringan, (2) jarak dari rumah ke lahan pertanian, (3) tenure, dan (4) penilaian kualitatif kesuburan tanah. Keputusan
suatu
rumahtangga
dalam
memproduksi
jenis
tanaman
dipengaruhi pemahaman dan pola pikir dari petani yang disebabkan oleh faktorfaktor sosial ekonomi dan budaya yang melingkupi petani. Penelitian yang dilakukan Sirait (2010) menunjukkan faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang berpengaruh dalam pengelolaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan yaitu pengetahuan, sikap, tingkat pendapatan, tenaga kerja, luas lahan, jumlah pohon cendana, jumlah jenis tanaman pertanian dan kehutanan, kegiatan
40 penyuluhan, dan budaya masyarakat, sedangkan jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh dalam pengelolaan cendana. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Rumahtangga petani (Farm Haousehold) adalah satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan waktu, tenaga kerja dan reproduksi. Pola perilaku rumah tangga dalam aktivitasnya dapat bersifat subsisten, semi-komersial sampai berorientasi pasar. Sesuai prinsip ekonomi, rumahtangga petani dalam mengalokasikan sumberdaya umumnya bertindak rasional, mengkonsumsi barang dan jasa untuk memaksimumkan utilitas, serta sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan, seperti layaknya sebuah perusahaan dalam skala besar (Purwita 2009). Model ekonomi rumahtangga petani lahir dari pemikiran bahwa di dalam satu unit rumahtangga pertanian terdapat keputusan produksi yang tidak dapat dipisahkan dengan keputusan konsumsi, di mana hasil produksi ada dikonsumsi dan ada yang dijual (Singh et al. 1986 dalam Purwita 2009). Model ekonomi rumahtangga memandang rumahtangga sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi serta hubungannya dengan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Ada dua proses perilaku rumahtangga yaitu: (1) proses produksi rumahtangga, dan (2) proses konsumsi rumahtangga yang merupakan pemilihan terhadap barang-barang yang dikonsumsi (Becker 1965 dalam Suprapto 2001).
Menurut Mangkuprawira (1984), proses pengambilan keputusan rumahtangga dalam mengalokasikan waktu setiap anggota rumahtangga dilakukan secara simultan. Setiap anggota rumahtangga dalam mengalokasikan waktu berbagai kegiatan dipengaruhi oleh faktor-faktor di dalam dan luar rumahtangga. Faktor di dalam rumahtangga adalah usia, pengalaman, jenis kelamin, pengetahuan, jumlah tanggungan rumahtangga, dan pendapatan kepala rumahtangga. Faktor luar rumah tangga meliputi tingkat upah, harga barang-barang di pasar, jenis pekerjaan, teknologi, dan struktur sosial. Aktifitas
ekonomi
rumahtangga
dapat
mempengaruhi
kesejahteraan
rumahtangga dan anggotanya. Untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga
41 tersebut, maka perlu dukungan pemerintah. Invertensi pemerintah dapat dilakukan dalam bentuk kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan produktifitas yang selanjutnya dapat meningkatnya pendapatan rumahtangga dan keluarganya. Kajian aktifitas ekonomi rumahtangga, mempelajari dampak kebijakan pemeritah terhadap keputusan rumah tangga dapat dilakukan dengan persamaan simultan.