BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Implementasi Kebijakan Publik (Public Policy Implementation) Untuk melaksanakan program pembangunan, pemerintah menuangkannya ke dalam kebijakan. Anderson (2005) memberikan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: 1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3. kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Jones (2007) menekankan studi kebijakan publik ini pada 2 (dua) proses yaitu: 1. Proses-proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan masalah itu, dan bagaimana tindakan pemerintah. 2. Refleksi tentang bagaimana seseorang beraksi terhadap masalahmasalah, terhadap kebijakan negara, dan memecahkannya. Menurut Jones (2007), kebijakan publik terdiri dari kompenen-kompenen: 1)
Goal atau tujuan yang diinginkan
2)
Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan
3)
Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,
4)
Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevalusi program
5)
Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak). Untuk dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan
publik, Dunn (2008) mengutarakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu: 1.
Menetapkan agenda kebijakan (agenda setting)
2.
Merumuskan kebijakan (policy formulation)
3.
Mengadopsi kebijakan (policy adoption)
4.
Pelaksanaan/implementasi kebijakan (policy implementation)
5.
Penilaian dan evaluasi kebijakan (policy assesment and evaluation).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka implementasi atau pelaksanaan merupakan tahapan yang harus dilakukan dalam proses kebijakan publik (public policy process). Pelaksanaan atau implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 448) ialah proses atau perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya). Program akan menunjang pelaksanaan karena di dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain: 1. Tujuan yang akan dicapai 2. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan. 3. Aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. 4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan. 5. Strategi pelaksanaan. Pelaksanaan Kebijakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan dan mengerahkan segenap sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini pengawasan/monitoring dapat dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki (2005) bahwa pelaksanaan atau implementasi kebijakan berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. Tahapan implementasi atau pelaksanaan kebijakan merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan
ditetapkan dan disahkan dengan membentuk dan memberikan kewenangan atau otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian, tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program ataupun proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Setiap kebijakan apakah itu menyangkut program atau proyek yang telah dirumuskan dan ditetapkan senantiasa diikuti oleh pelaksanaan atau implementasi yang merupakan penerjemahan terhadap apa yang telah dirumuskan dalam perencanaan pembangunan. Menurut Jones (2001) “implementasi adalah suatu proses berpikir interaktif antara suatu perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan yang mendahuluinya atau implementasi dapat dikatakan sebagai kegiatan untuk mengoperasikan program dengan pilarpilar organisasi interpretasi dari pelaksanaan”. Sedangkan Drucker (2005) merumuskan “implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah digariskan terlebih dahulu”. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar dapat merealisasikan dampak atau tujuan yang dinginkan. Dunn (2008: 24-25) menganjurkan bahwa setiap tahapan proses kebijakan publik dari tahapan penyusunan agenda (agenda setting) sampai evaluasi kebijakan (policy evaluation), termasuk dalam hal ini adalah tahapan implementasi kebijakan (policy implementation), perlu dilakukan analisis. Analisis dalam hal ini tidaklah sama dengan proses evaluasi kebijakan. Ungkapan Dunn yang terkenal adalah: lebih baik perumusan masalah publik benar tapi pelaksanaan salah, dari pada perumusan masalah keliru tapi pelaksanaannya benar. Hal ini memberi arti
penting kesinambungan tahapan kebijakan, termasuk implementasi yang tepat bagi proyek pembangunan untuk kepentingan publik yang memang telah teragregasi berdasarkan kebutuhan faktual masyarakat (need for assessment), sehingga persoalan-persoalan publik (public problems) mendapatkan solusi yang tepat melalui implementasi. Van Meter dan Van Horn (2005) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompokkelompok baik pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut. Model proses implementasi yang diperkenalkan oleh Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil- akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan
tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif. Model yang lain adalah model kerangka analisis implementasi (A Frame For Implementation Analisys) yang diperkenalkan oleh Mazmanian dan Sabatier (2007) Duet Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel,yaitu: 1.
Variabel independent, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2.
Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana dan perekrutan pejabat pelaksanaan dan keterbukaan kepada pihak luar dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan resources dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3.
Variabel dependent, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksanaan, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atau kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
Model yang ketiga adalah model Hoogwood dan Gun (2006). Menurut kedua pakar ini untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat: 1.
Berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar.
2.
Untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai, termasuk sumber daya waktu gagasan ini sangat bijaksana karena berkenaan dengan feasibility (kemampuan untuk melaksanakan) dari implementasi kebijakan.
3.
Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijakan publik adalah kebijakan yang kompleks dan menyangkut dampak yang luas karena itu implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai sumber yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya maupun sumber aktor.
4.
Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang handal. Jadi prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat menyelesaikan masalah yang ditanggulangi.
5.
Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi asumsinya, semakin sedikit hubungan “sebab-akibat” semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijakan yang mempunyai hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas implementasi kebijakan.
6.
Hubungan saling ketergantungan kecil asumsinya jika hubungan saling ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan berjalan dengan efektif, apalagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan.
7.
Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
8.
Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektifitas implementasi kebijakan. Sebenarnya, model Hogwood dan Gun mendasarkan kepada konsep
manajemen strategis yang mengarahkan pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah pokok kebijakan publik. Menurut Grindle, ( 2005), model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup: 1.
Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
2.
Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3.
Derajat perubahan yang diinginkan
4.
Kedudukan pembuat kebijakan
5.
(Siapa) pelaksana program
6.
Sumber daya yang dikerahkan
Sementara itu konteks implementasinya adalah: 1.
Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2.
Karakteristik lembaga dan penguasa
3.
Kepatuhan dan daya tanggap
2.2.
Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan daerah berbasis masyarakat lokal (Daerah Pesisir) Secara etimologi, pemberdayaan berasal dari kata berdaya yang berarti
berkekuatan, berkemampuan bertenaga (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998 : 189).
Sedangkan
Menurut
Sumodiningrat,
Gunawan
(1999)
pengertian
pemberdayaan adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian.. Perserikatan Bangsa Bangsa untuk program pembangunan (United Nations Development Programme) mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai proses dimana semua usaha swadaya masyarakat
digabungkan dengan usaha usaha yang
dilakukan pemerintah guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Atau pengertian tersebut dapat disederhanakan menjadi Suatu metode atau pendekatan yang menekankan adanya partisipasi umum dan keterlibatan langsung penduduk dalam proses pembangunan Pembangunan yang berbasis masyarakat khususnya masyarakat lokal adalah pembangunan tersebut melibatkan segenap sumber daya lokal secara optimal. Dengan kata lain Penduduk setempat bukan hanya sekedar menjadi penonton , akan tetapi juga dilibatkan dalam pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan harus berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat, bukan hanya mengejar target pertumbuhan variabel ekonomi makro. pembangunan diwujudkan secara kemitraan dan membuka akses masyarakat lokal terhadap teknologi, pasar, pengetahuan manajemen dan lain lain. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pembangunan, pemberdayaan dan pengelolaan daerah pesisir bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat semata, tetapi
juga telah dilimpahkan
wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelolanya sejauh 12 Mil laut dari garis pantai ke laut lepas untuk daerah propinsi 1/3 dari batas propinsi untuk kabupaten yakni 4 mil. Sedangkan kewengan daerah terhadap sumber daya pesisir dan lautnya yang meliputi : 1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut 2. Pengaturan administratif 3. Pengaturan tata ruang 4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah atau yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat 5. Penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut. Pembangunan dan pengelolaan daerah pesisir yang berbasis masyarakat khususnya masyarakat lokal/setempat adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerjasama antara masyarakat setempat beserta pemerintah, dimana partisipasi masyarakat tersebut secara aktif dilakukan dari mulai perencanaan yang
berkaitan
dengan
penentuan
kebijakan
strategis
sampai
pada
pelaksanaannya bahkan sampai ke tahap pengawasannya. Hal ini sejalan dengan tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir khususnya di Kabupaten Langkat, antara lain : 1. peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan dan kesempatan kerja. 2. pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya lestari di wilayah pesisir.
3. peningkatan kemampuan dan peran serta masyarakat pesisir pantai dalam pelestarian lingkungan. 4. peningkatan pendidikan, latihan, penelitian dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan.
2.3.
Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir. Pembangunan
wilayah
pesisir
selama
ini
masih
dilihat
seperti
pembangunan wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan wilayah perdesaan. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena wilayah pesisir menurut RUU Pesisir memiliki beberapa karakteristik yang khas. Yaitu : 1. Wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan udara. Sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan
dinamis
dari
proses
pelapukan
(weathering)
dan
pembangunan ketiga aspek di atas ; 2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan; 3. Wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4. Memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; 5. tempat
bertemunya
berbagai
kepentingan
pembangunan
baik
pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional.
Untuk dapat mengelola pembangunan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan (on a sustainable basis), perlu pemahaman dan penguasaan yang mendalam tentang batasan dan karakteristik utama dari wilayah tersebut. Menurut (Dahuri, 1998) bahwa pengelolaan pembangunan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan, terdapat lima karakteristik utama dari ekosistem pesisir dan lautan yang harus dipahami oleh para perencana dan pengelola, serta kemudian dijadikan sebagai landasan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kedua wilayah tersebut. Pertama, bahwa komponen hayati dan nir-hayati dari suatu wilayah pesisir membentuk suatu sistem alam (ekosistem) yang sangat kompleks. Keadaan yang kompleks ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang unik yang tersusun oleh berbagai ragam proses biofisik (ekologis) dari ekosistem daratan dan lautan. Faktor- faktor lingkungan (seperti angin, gelombang, pasang surut, suhu dan salinitas) di perairan pesisir sangat bervariasi dan secara gradual berubah dari arah darat ke laut. Oleh karena itu, ekosistem pesisir telah beradaptasi dengan keadaan lingkungannya, dan ekosistem pesisir dapat sangat tahan atau sebaliknya sangat rentan terhadap gangguan (perubahan) kondisi lingkungan baik yang disebabkan oleh kegiatan manusia maupun bencana alam. Kedua, dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumber daya alam dan jasa- jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan, seperti tambak, perikanan tangkap, pariwisata, pertambangan, industri dan permukiman.
Ketiga, dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Perubahan suhu perairan dan penyediaan unsur hara dapat menurunkan populasi (stok) ikan di perairan pesisir, seperti yang telah ditunjukkan oleh dampak El Nino terhadap stok ikan sardine di Samudera Pasifik (UNESCO, 1993) padahal, sangat sukar atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah kesenangan bekerja ( profesi) sekelompok orang yang sudah secara mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan. Keempat, baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Kelima, kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumber daya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Padahal setiap pengguna sumber daya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over- eksploitasi sumber daya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini. Isu tentang hak kepemilikan lahan dan alokasi sumber daya merupakan sumber utama konflik di kebanyakan daerah pesisir. Lahan pasangsurut (tanah timbul), dasar laut pesisir, dan perairan pesisir pada umumnya tidak ada pemiliknya. Demikian juga tentang hak terhadap pemanfaatan sumber daya yang terdapat di ketiga daerah tersebut, kebanyakan belum ada sistem pengaturannya. Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan di atas, daerah pesisir
ini biasa disebut sebagai sumber daya milik bersama, dimana berlaku azas pemanfaatan secara bebas oleh siapa saja (open access). Memang, azas open access ini sesuai untuk kondisi, dimana permintaan masyarakat terhadap sumber daya jauh lebih kecil dari pada kemampuan ekosistem pesisir untuk menyediakannya. Akan tetapi, ketika tingkat permintaan terhadap sumber daya lebih besar ketimbang jumlah yang dapat disediakan oleh alam, maka sistem alokasi sumber daya semacam ini tidak diberlakukan, maka persaingan tidak sehat antar pengguna sumber daya (resource users) akan muncul, kemudian menciptakan mentalitas “free-for-all” diantara pengguna sumber daya, dan pada gilirannya akan mengakibatkan pengikisan sumber daya (resources depletion) serta konflik sosial yang menjurus pada pembangunan yang tidak berkelanjutan. Sumber daya pesisir adalah merupakan integrasi dari semua potensi alam, potensi manusia, potensi buatan dan potensi kelembagaan. Menurut Adisasmita (2006) sumber daya merupakan semua potensi yang disediakan oleh alam dan manusia, baik dalam bentuk tanah, bahan mentah, modal, tenaga kerja, keahlian, keindahan alam maupun sosial budaya. Pengelolaan sumber daya pesisir dalam menghasilkan barang untuk kebutuhan pangan, peralatan, dan hiasan belum optimal. Para nelayan masih melakukan usaha ekstratif yang diperoleh dari generasi sebelumnya denga fokus penangkapan, dan pada usaha generatif , masih keterbatasan manajemen dalam usaha, yang membuat mereka tetap dalam belenggu kemiskinan. Sumber daya alam ikan dan hutan bakau bersifat replenishable resources (sumber daya yang selalu ada dan muncul secara alami) dan renewable yang berlimpah, kekayaan sumber daya alam belum dimanfaatkan untuk komoditi apa yang harus diproduksikan. Sumber daya perikanan meskipun
dapat pulih, perlu dikelola dengan prinsip dan kaidah yang benar agar tidak mengalami deplasi degradasi dan kepunahan Nikijuluwu, 2006 (dalam Ramli, 2008). Teori ekonomi sebagai landasan pengambilan keputusan, apa yang harus diproduksi, bagaimana caranya dan bagaimana distribusinya, belum dilakukan secara optimal atas sumber daya pesisir dan laut yang berlimpah. Pemberdayaan masyarakat pesisir terhadap pengolahan sumber daya pesisir dan laut yang berlimpah adalah bagian yang tak terlepas dari pembangunan desa. Pada umumnya pemberdayaan masyarakat bertujuan membantu masyarakat untuk dapat membangun dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri dengan berbasis pada pengembangan potensi alam dan lingkungan (Dahuri, dkk, 2004). Menurut Budiharsono (2005) dalam (Ramli, 2008) bahwa pembangunan wilayah pesisir dan lautan dengan menggunakan pendekatan pembangunan wilayah terpadu sekurang- kurangnya memperhatikan enam aspek, yang merupakan pilar- pilar pembangunan wilayah. Aspek biogiofisik meliputi kandungan sumber daya hayati, sumber daya non hayati, jasa- jasa kelautan maupun sarana dan prasarana yang ada di wilayah pesisir dan lautan. Aspek ekonomi meliputi kegiatan ekonomi yang terjadi di wilayah pesisir dan lautan. Aspek sosial budaya politik dan hankam meliputi kependudukan, kualitas sumber daya manusia, posisi tawar (dalam bidang politik) budaya masyarakat pesisir dan lautan serta pertahanan dan keamanan.
Aspek lokasi meliputi ruang (spasial) yang berkaitan dengan tempat komoditi kelautan diproduksi, dan bagaimana memperoleh sarana produksi, diolah, dan dipasarkan. Aspek lokasi juga menunjukkan keterikatan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya yang berhubungan dengan aspek sarana produksi, produksi, pengolahan maupun pemasaran. Aspek
lingkungan
meliputi
kajian
mengenai
bagaimana
proses
mengambil input dari ekosistem, dapat menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kelestarian lingkungan. Aspek kelembagaan meliputi kelembagaan masyarakat yang ada dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, dapat juga serangkaian peraturan pusat maupun peraturan daerah dan lembaga- lembaga sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Di era otonomi daerah pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai salah satu sumber daya potensial kerap pula memunculkan beberapa permasalahan, antara lain hubungan antara daerah dan pusat. Pembangunan ekonomi (yang berkait dengan kemiskinan), serta ekspoitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kelestariannya. Permasalahan umum yang banyak terjadi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah kurang selarasnya pemenuhan kepentingan pusat dan daerah. Kondisi ini terjadi antara lain karena : 1. Instansi dinas (kelautan dan perikanan) yang ada ditingkat kabupaten/kota pada era otonomi daerah ini sangat beragam baik dalam struktur organisasi dan kewenangannya. Perubahan ini berpengaruh pada intensitas komunikasi antara instansi yang berada di pusat dan daerah.
2. Seringkali instansi dinas di kabupaten dan kota telah memiliki tugas pokok organisasi, namun belum memiliki kewenangan teknis karena belum ada penyerahan kewenangan dari pusat dan propinsi. 3. UU No. 32/2004 belum dapat berjalan selaras dengan UU perikanan dan sebagian peraturan daerah lainnya, sehingga kewenangan dalam dinas kabupaten/kota belum efektif. Permasalahan dalam pembangunan ekonomi di daerah menyangkut pada kebijakan ekonomi makro, kesenjangan, dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi makro selama ini (terutama yang berada di luar pulau Jawa) lebih difokuskan pada usaha ekstrasi hasil bumi (sumber daya alam) seperti pemberian konsesi pada perusahaan- perusahaan asing dan berskala besar. Ini berarti kurangnya perhatian terhadap usaha masyarakat lokal yang cenderung berskala kecil. Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut dalam kerangka pengembangan wilayah, akan lebih efektif bila dilaksanakan secara bersama- sama dari seluruh stakeholder yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Otonomi daerah telah membuka peluang desentralisasi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Ini tenting karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan banyak memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi dan komunikasi, masih lemah sistem administrasi pemerintahnya, masih kurangnya kapasitas SDM, serta begitu banyaknya masyarakat yang menggantungkan kehidupan dan nafkahnya pada sumber daya pesisir dan laut. Dengan demikian, antara pemerintah dan masyarakat akan semakin dekat dan terpetakan berbagai masalah yang dihadapi sebagian besar masyarakat.
Pengelolaan sumber daya perairan laut dengan paradigma baru dalam sistem pemerintahan dari sendtralisasi ke disentralisasi, mempunyai makna (Adisasmita R; 2006) dalam (Ramli, 2008). 1) Pengelolaan berorientasi pada mekanisme pasar (dimand and market driven) 2) Pengelolaan berbasis sumber daya dan masyarakat (resource and commonity based development) 3) Pengelolaan tidak harus seragam tetapi harus sesuai kepentingan dan budaya masyarakat lokal. 4) Pengelolaan secara berkeadilan (harus memperhatikan kebutuhan dan kemampuan seluruh masyarakat). Pembangunan perekonomian daerah, terutama yang didasarkan pada sumber daya wilayah pesisir dan laut dapat dilakukan dengan lebih baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga didapat konsep pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhan
mereka.
Pembangunan
yang
berkelanjutan
juga
mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi secara merata dan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat serta antar generasi karena pembangunan berkelanjutan ini berwawasan lingkungan. Wilayah pesisir dan laut dengan segala karakteristiknya menjadi satu potensi yang patut dijaga dan dikembangkan sebagai sumber perekonomian daerah, sehingga dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Potret pembangunan berkelanjutan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan potrer negara berkembang pada umumnya, bahkan cenderung lebih buruk. Meskipun komitmen pemerintah nampaknya cukup besar sejak zaman Orde Baru, diantaranya dapat dilihat dengan keberadaan Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang tentunya diikuti dengan kebijakan dan anggaran untuk melestarikan lingkungan hidup. Namun komitmen dan keberadaan kemeterian yang menjaga lingkungan hidup pun ternyata tidak mencukupi. Dapat dilihat dari kerusakan lingkungan hidup Indonesia yang masih saja berlanjut, sehingga bencana alam semakin banyak terjadi di tanah air kita yang tercinta ini. Laut, hutan dan lingkungan hidup lainnya pada umumnya semakin rusak. Kegagalan implementasi kebijakan, program ataupun proyek- proyek pada pembangunan berkelanjutan seringkali karena tidak mempertimbangkan berbagai aspek yang perlu dilihat, baik dari sisi teknis, legal, fiskal, administrasi, politik, etik dan budaya (Cooper and Vargas, 2004). Pertanyaannya adalah apakah secara teknis suatu kebijakan fisibel erat kaitannya dengan apakah kita tahu apa yang perlu dilakukan, bagaimana caranya? Seringkali tantangannya disini adalah lebih pada masalah keberlanjutannya suatu kebijakan, dan apa yang dilakukan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Ketertinggalan pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai sumber daya ekonomi, merupakan indikator bahwa sektor kelautan selama 35 tahun belum menjadi sektor prioritas dalam pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Begitu sumber daya alam lainnya (seperti hutan dan minyak bumi) sudah mengarah pada beban pembangunan karena sulit diperbaharui (un-renewable) sebagai akibat pengelolaan yang kurang bijaksana,
maka sumber daya pesisir dan laut merupakan pilihan berikutnya karena keberlimpahan sumber daya yang ada serta belum dikelola secara optimal dan profesional. Agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama, maka dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir harus memperhatikan tiga hal utama, yaitu : 1. Apapun persepsi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, maka sebagai sumber ekonomi baru yang kompetitif haruslah bermuara pada pengurangan kemiskinan masyarakat. 2. Fokus kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sebagai sumber ekonomi baru harus berangkat pada pemikiran untuk meningkatkan pembangunan kegiatan ekonomi yang berbasis pada sumber daya lokal yang ada. 3. Sedini mungkin membuat rambu- rambu pengelolaan sumber daya pesisir dan laut dengan melibatkan masyarakat. Dalam menghadapi peluang dan tantangan pembangunan dalam era globalisasi, maka pembangunan perikanan serta pengelolaan sumber daya pesisir dan laut harus mampu mentransformasikan berbagai usaha perikanan masyarakat ke arah bisnis dan swasembada secara menyeluruh dan terpadu. Pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu ini berarti melihat usaha perikanan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait, yaitu : 1. Sumber daya perikanan, yaitu sumber daya alam (baik yang berada di laut, pesisir, perairan tawar), SDM dan sumber daya buatan. 2. Sarana dan Prasarana, meliputi perencanaan dan penyediaan prasarana perikanan seperti pelabuhan, pabrik es, cold storage, infrastruktur pada
sentra industri, pengadaan dan penyaluran sarana produksi (seperti BBM, benih, mesin dan alat tangkap), serta sistem informasi tentang teknologi baru dan sistem pengelolaan usaha yang efisien. 3. Produksi perikanan, meliputi usaha budidaya dan penangkapan yang menyangkut usaha perikanan skala kecil maupun besar. 4. Pengolahan Hasil Perikanan, meliputi kegiatan pengolahan sederhana yang dilakukan oleh petani dan nelayan tradisional hingga pengolahan dengan teknologi maju di pabrik yang mencakup penanganan pasca panen sampai produk siap dipasarkan. 5. Pemasaran hasil perikanan, meliputi kegiatan distribusi dan pemasaran hasil- hasil perikanan atau olahannya untuk memenuhi kebutuhan pasar. Termasuk pula didalamnya kegiatan pemantauan distribusi informasi pasar (market development) dan pengembangan produk (product development).
2.4.
Perspektif Pembangunan Ketahanan Pangan. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang permintaannya terus meningkat
seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup, namun demikian dalam beberapa hal defenisi atau konsep ketahanan pangan sangat bervariasi pada banyak pihak yang berkepentingan. Ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan suatu keadaan dimana pangan tersedia bagia setiap individu setiap saat dimana saja baik secara fisik, maupun ekonomi. Ada tiga aspek yang menjadi indikator ketahanan pangan suatu wilayah, yaitu sektor ketersediaan pangan, stabilitas ekonomi (harga) pangan, dan akses fisik maupun ekonomi bagi setiap individu untuk mendapatkan pangan.
Definisi mengenai ketahanan pangan (food security) memiliki perbedaan dalam tiap konteks waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sebagai sebuah kebijakan ini pertama kali dikenal pada saat World Food Summit tahun 1974, setelah itu ada banyak sekali pengembangan. Definisi konseptual maupun teoritis dari ketahanan pangan dan hal- hal yang terkait dengan ketahanan pangan. Diantaranya, Maxwell, mencoba menelusuri perubahan- perubahan definisi tentang ketahanan pangan sejak World Food Summit tahun 1974 hingga pertengahan dekade 1990-an. Menurutnya, perubahan yang terjadi yang menjelaskan mengenai konsep ketahanan pangan, dapat terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga, dan bahkan individu. Perkembangannya terlihat dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator- indikator objektif ke persepsi yang lebih subjektif. Maxwell dan Slatter pun turut menganalisis diskursus mengenai definisi ketahanan pangan tersebut. Mereka menemukan bahwa ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus terhadap ketersediaan- penyediaan (supply and availability) keperspektif hak dan akses (etitlements). Sejak tahun 1980-an, diskursus global ketahanan pangan didominasi oleh hak atas pangan (food etitlements), resiko dan kerentanan (vulnerability). Secara formal, setidaknya ada lima organisasi internasional yang memberikan definisi mengenai ketahanan pangan. Definisi tersebut dianggap saling melengkapi satu sama lain, diantaranya : 1. First World Food Conference 1974, United Nations, 1975
“Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu … untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan …, dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.” 2. FAO (Food and Agricultural Organization), 1992 “Ketahanan pangan adalah situasi dimana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.” 3. Bank Dunia (World Bank), 1996 “ Ketahanan pangan adalah akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.” 4. OXFAM, 2001 “Ketahanan pangan adalah kondisi ketika setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang sehat dan aktif. Ada dua kandungan makna yang tercantum disini, yakni ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas, dan akses dalam artian hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran, maupun klaim.” 5. FIVIMS (Food Insecurit and Vulnerability Information and Mapping Sustems), 2005 “Ketahanan pangan adalah kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial, dan ekonomi, memiliki akses atas pangan yang cukup, aman dan bergizi, untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food proferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.”
Akhirnya, dari beberapa rumusan mengenai definisi ketahanan pangan menurut berbagai lembaga pangan diatas, dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi yang menjamin ketersediaan produksi pangan, lancarnya distribusi pangan dan mampunya masyarakat memperoleh dan memilih pangan yang sehat untuk kehidupannya. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi : 1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu. 2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses. 3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial. 4. Berorientasi pada pemenuhan gizi. Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari : (1) Tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) Aman; (3) Merata; (4) Terjangkau; Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut : 1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang
berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunannya, yangbermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. 2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama. 3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. 4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Dalam undang- undang RI Nomor 7 tahun 1996 disebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Oengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena : 1. Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia merupakan hak yang paling azasi bagi manusia. 2. Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi. 3. Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Anonymous, 2001).
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai sussistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. 1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. 2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata- mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk. 3. Subsistem pengetahuan
konsumsi dan
pangan
kemampuan
menyangkut masyarakat
upaya
peningkatan
agar
mempunyai
pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang seimbang, sesuai dengan
kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas, dan produktif. Pembangunan ketahananpangan memerlukan keharmonisan dari ketiga subsistem tersebut (Hardinsyah, Dodik Briawan, Retnaningsih, Tin Herawati dan Retno Wijaya, 2002). Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan subsistem distribusi pangan bertujuan
menjamin
aksesibilitas
pangan
dan
stabilitas
harga
pangan.
Pembangunan subsistem konsumsi bertujuan menjamin setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi dan aman. Keberhasilan pembangunan masing- masing subsistem tersebut perlu didukung oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya yang pada akhirnya akan berdampak pada status gizi. Pemantapan ketahanan pangan tidak terlepas dari penanganan kerawanan pangan karena kerawanan pangan merupakan penyebab penting instabilitas ketahanan pangan. Kerawanan pangan dapat disebabkan karena kendala yang bersifat kronis seperti terbatasnya sumber daya dan kemampuan, maupun yang bersifat sementara seperti tertimpa musibah ataubencana alam. Untuk mengatasi hal ini pemerintah dan masyarakat perlu membangun suatu sistem kewaspadaan, yang mampu mendeteksi secara dini adanya gejala kerawanan pangan di sekitarnya serta dapat meresponnya dengan cepat dan efektif. Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindarkan masyarakat tersebut dari kerawanan yang lebih parah, dengan segala dampak yang mengikutinya.
Ketahanan pangan yang kokoh dibangun pada tingkat rumah tangga yang bertumpu pada keragaman sumber daya lokal. Sejalan dengan dinamika pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan mengembangkan sumbersumber bahan pangan, kelembagaan pangan dan budaya pangan yang dimiliki pada masyarakat masing- masing wilayah. Keunggulan dari pendekatan ini antara lain adalah bahwa bahan pangan yang diproduksi secara lokal telah sesuai dengan sumber daya iklim setempat, sehingga ketersediaannya dapat diupayakan secara berkesinambungan. Dengan kemampuan lokal tersebut maka ketahanan pangan masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh masalah atau gejolak pasokan pangan yang terjadi di luar wilayah atau luar negeri. Dalam kaitan inilah, aspek pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat menjadi sangat penting. Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai perwujudan dan pengembangan kapasitas masyarakat yang berlandaskan pada pemberdayaan sumber daya manusia agar dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai status dan peranannya dalam pembangunan ketahanan pangan. Namun demikian, setiap wilayah atau daerah mempunyai keunggulan maupun keterbatasan dalam memproduksi bahan pangan secara efisien. Ada daerah yang surplus dan ada daerah yang minus dalam memproduksi pangan tertentu. Dengan banyaknya jenis pangan esensial nabati maupun hewani sebagai sumber zat gizi makro dan mikro, tidak satupun daerah mampu memenuhi seluruh jenis pangan yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakatnya. Oleh karena itu interaksi antar wilayah mutlak diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan pangan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan daerah.
Demikian pula interaksi antar tataran daerah dengan tataran nasional, dalam suatu jejaring yang aktif dan dinamis sangat diperlukan dalam rangka ketahanan pangan nasional. Pada dasarnya pemantapan ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis dan akuabisnis utamanya bagi golongan rawan pangan sementara maupun rawan pangan kronis yang masih mempunyai potensi pengembangan aktivitas ekonominya. Agribisnis dan akuabisnis melibatkan banyak pelaku, usaha kecil seperti petani, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang yang berbasis pada keunggulan komparatif dan kompetitif sumber daya lokal. Agar terwujudnya ketahanan pangan yang kokoh, mulai dari tingkat rumah tangga sampai tingkat nasional, sistem dan usaha agribisnis dan akuabisnis yang dibangun adalah yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi. 1. Berdaya saing, dicirikan dengan tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi serta kemampuan untuk menerobos pasar, meingkatkan pangsa pasar dan memberikan pelayanan profesional. 2. Berkerakyatan, dicirikan dengan berkembangnya usaha produktif yang melibatkan masyarakat secara luas dengan peluang berusaha, kesempatan kerja dan menikmati nilai tambah (Pendapatan). 3. Berkelanjutan, dicirikan dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya pangan yang semakin besar dari waktu ke waktu yang semakin mensejahterakan masyarakat baik secara ekonomis, sosial dan lingkungan hidup.
4. Desentralistis, diartikan bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh masyarakat pelaku sesuatu dengan kondisi wilayahnya atas dasar keunggulan
komparatif
dan
aspirasi
masyarakat
setempat
(Anonomous, 2001). Ketahanan
pangan
merupakan
hal
yang
penting
dan
strategis,
karenaberdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu. Undang- undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi, maka upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan bangsa. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim dengan sumber daya alam dan sosial budaya yang beragam, harus dipandang sebagai karunia Ilahi untuk mewujudkan ketahanan pangan. Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan harus dihindari sejauh mungkin ketergantungan pada pemasukan pangan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota,
Pemerintah
Desa
dan
masyarakat
untuk
meningkatkan strategi demi mewujudkan ketahanan pangan nasional. Oleh karena ketahanan pangan tercermin pada ketersediaan pangan secara nyata, maka harus
secara jelas dapat diketahui oleh masyarakat mengenai penyediaan pangan. Penyediaan pangan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Beberapa strategi umum untuk mencapai ketahanan pangan rumah tangga adalah : Pertama adalah sangat perlu untuk mengadopsi strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi makro yang menciptakan pertumbuhan yang berdimensi pemerataan dan berkelanjutan (sustainable development). Kedua adalah merupakan keperluan yang mendesak untuk mempercepat pertumbuhan sektor pertanian dan pangan serta pembangunan perdesaan dengan fokus kepentingan golongan miskin. Dan ini berarti pertanian (pangan) harus menjadi mainstream dalam ekonomi nasional. Ketiga, sudah saatnya harus meningkatkan akses terhadap lahan dan sumber daya pertanian dalam arti luas secara lebih bijaksana, termasuk menciptakan
dan
meningkatkan kesempatan
kerja, transfer pendapatan,
menstabilkan pasokan pangan, perbaikan perencanaan dan pemberian bantuan pangan dalam keadaan darurat kepada masyarakat.
2.5. Pelaksanaan Proyek Pengembangan Akuakultur untuk Ketahanan Pangan dan Pengurangan Kemiskinan (Sustainable Aquaculture Development for Food Security and Poverty Reduction Project) atau SAFVER
Terdapat berbagai pendapat atau defenisi mengenai pengertian program, yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang sehingga berakibat pada perbedaan defenisi itu sendiri. Program atau Proyek menurut A.P. Situmorang (1993 : 1,27) adalah “suatu jenis kegiatan yang disusun secara terperinci sebagai suatu bentuk kegiatan yang dilaksanakan”. Dalam buku Evaluasi Program karya F.Y. Tayibnapis, disebutkan bahwa program atau proyek adalah segala sesuatu yang dicoba dilakukan seseorang dengan harapan akan mendatangkan hasil atau pengaruh (2000 : 9). Dari kedua defenisi di atas, dapat diasumsikan bahwa proyek adalah suatu pekerjaan yang telah disusun dan direncanakan secara sistematis untuk dilaksanakan pada periode tertentu dengan harapan akan mendatangkan hasil atau pengaruh. Pelaksanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 448) ialah proses atau perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya). Program akan menunjang pelaksanaan karena di dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain : a. Tujuan yang akan dicapai b. Kebijaksanaan – kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan. c. Aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. d. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan. e. Strategi pelaksanaan (Tambunan, 2007;3).
Unsur kedua yang harus dipenuhi dalam proses implementasi yaitu adanya kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program sehingga masyarakat ikut dilibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankan dengan adanya perubahan dan peningkatan dalam kehidupannya. Tanpa memberikan manfaat kepada masyarakat maka boleh dikatakan program tersebut telah gagal dilaksanakan. Berhasil tidaknya suatu program diimplementasikan tergantung dari unsure pelaksananya. Unsure yang melaksanakannya adalah unsure ketiga, atinya pelaksana penting karena pelaksana baik organisasi maupun perseorangan bertanggung jawab dalam pengelolaan maupun pengawasan dalam proses implementasi. Pemerintah Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah kabupaten yang mendapat Proyek Pengembangan Akuakultur untuk Ketahanan Pangan dan Pengurangan Kemiskinan (Sustainable Aquaculture Development for Food Security and Poverty Reduction Project) atau SAFVER. Proyek ini di biayai oleh pinjaman lunak (Loan) yang bersumber dari Bank Pembangunan Asia / Asian Development Bank (ADB) mulai berjalan dari tahun 2009 dan akan berakhir pada akhir tahun 2013.
2.5.1. Tujuan Proyek. Dalam rangka mendukung program pemerintah untuk mengembangkan perikanan budidaya air payau dan laut yang berkelanjutan dan dikelola oleh masyarakat pesisir, proyek ini bertujuan untuk : 1. Meningkatkan produksi ikan dan hasil laut lainnya; 2. Memperbaiki pendapatan dan kondisi gizi para masyarakat pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir yang miskin, dan 3. Menciptakan lapangan pekerjaan di lokasi proyek.
2.5.2. Manfaat Khusus Proyek. Proyek ini memiliki empat manfaat khusus dalam rancangannya, yaitu : 1. Bertujuan mengatasi kemiskinan. Penerima manfaat proyek adalah pembudidaya ikan yang miskin. Lokasi proyek dipilih yang mewakili berbagai system ekologi pertanian tempat pembudidaya ikan yang miskin tinggal, yaitu dari usaha budidaya ikan air tawar hingga air payau dan laut, yang beragam penduduknya. Dengan demikian, proyek ini diharapkan menjadi suatu model yang memenuhi kebutuhan masyarakat pembudidaya ikan yang miskin di seluruh nusantara. 2. Keikutsertaan Masyarakat. Masyarakat pembudidaya ikan yang miskin akan berpartisipasi dalam pelaksanaan proyek untuk menjamin mutu dan keberlangsungan kegiatan proyek untuk mencapainya, para penerima manfaat akan memberi sumbangsih terhadap pembiayaan proyek yang diperkirakan sebesar 6.2% dari biaya proyek keseluruhan. Kontribusi ini akan memacu pembudidaya ikan untuk memiliki dan memelihara fasilitasfasilitas yang disediakan oleh proyek. 3. Kemitraan antara Pemerintah dan Swasta. Proyek ini mempromosikan kemitraan
antara
pemerintah
dan
swasta
dalam
pelaksanaan
pengembangan kegiatan- kegiatan perikanan budidaya. Proyek ini juga akan menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi pihak swasta untuk berinvestasi dengan cara menghilangkan kendala teknis dan infrastruktur bagi pengembangan perikanan budidaya di lokasi- lokasi proyek. 4. Peningkatan kemampuan pada tingkat daerah. Proyek ini akan dikoordinasi secara nasional oleh Departemen Kelautan tetapi akan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten secara terdesentralisasi. Proyek ini akan membantu pemerintah kabupaten dalam membangun kemampuan mereka untuk mendukung kabutuhan para penerima manfaat dan
masyarakat mereka disamping menunjang industri perikanan bubidaya nasional secara keseluruhan. 2.5.3. Komponen Proyek. Untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut. Cakupan proyek terdiri dari tiga komponen utama, yaitu (i) peningkatan produksi perikanan budidaya, (ii) pelayanan penunjang perikanan budidaya, dan (iii) penguatan kelembagaan dan pengelolaan proyek. Komponen peningkatan produksi perikanan bubidaya adalah komponen inti dari proyek ini dan ditujukan untuk memperbaiki kinerja produksi seluruh jenis sistem perikanan budidaya (sistem budidaya air tawar, budidaya air payau, dan budidaya laut) di wilayah proyek melalui pengelolaan berdasarkan masyarakat, bertumpu pada budidaya dan pengembangan budidaya yang berkelanjutan yang mengikuti selera pasar. Intervensi- intervensi pada komponen ini mencakup : 1) Penyiapan dan pengorganisasian masyarakat dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai kelompok masyarakat (Pokmas); 2) Perbaikan tambak perikanan air payau; 3) Pembangunan fasilitas percontohan berbagai sistem produksi perikanan budidaya; 4) Pelatihan para pembudidaya ikan; 5) Perbaikan pengelolaan lingkungan dan pelestarian lingkungan, dan 6) Pembangunan lokasi pemacuan cadangan ikan- ikan dan perikanan berbasis budidaya yang dilaksanakan oleh masyarakat.
Pelayanan penunjang perikanan budidaya ditujukan untuk meningkatan teknik produksi dan mutu hasil budidaya melalui penguatan penyuluhan dan perbaikan teknik penanganan pasca panen, pengolahan, dan pemasaran yang bekerja sama dengan swasta dan organisasi pembudidaya ikan. Kegiatan- kegiatan utama komponen ini mencakup :
1) Peningkatan penanganan pasca panen ikan/udang/rumput laut berskala kecil dan fasilitas- fasilitas pengolahan yang dimiliki dan dioperasikan oleh organisasi- organisasi pembudidaya ikan. 2) Pengembangan pasar dan pemasaran. 3) Pengelolaan lingkungan dan kesehatan ikan 4) Penyediaan bantuan input produksi 5) Penguatan dan penyediaan jasa- jasa penyuluhan oleh tenaga penyuluh kabupaten dan para Kader Penyuluh Desa. 6) Melakukan penelitian terapan untuk mendukung pengembangan perikanan budidaya, dan 7) Penyediaan infrastruktur, fasilitas umum (terutama skema persediaan air berskala kecil), dan jasa- jasa lainnya. Komponen penguatan kelembagaan dan pengelolaan proyek bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan Dirjen Perikanan Budidaya (DJPB),
Dinas
Kelautan
dan
Perikanan
(DKP),
organisasi-
organisasi
pembudidaya ikan (OPI), dan pihak swasta melalui kegiatan- kegiatan sebagai berikut : 1) Pelatihan dan pengembangan SDM bagi DJPB, Dinas KP dan OPI; 2) Penyediaan jasa konsultan untuk membantu Dinas Perikanan dan Kelautan dalam pengelolaan proyek; 3) Penyediaan jasa LSM untuk membantu pembentukan dan pengelolaan organisasi- organisasi pembudidaya ikan; 4) Pengadaan
kendaraan,
perlengkapan,
bahan-
bahan,
dan
kebutuhan- kebutuhan lainnya bagi penyuluh 5) Pemantapan sistem akuntansi, pemantauan, pelaporan, dan evaluasi.
2.5.4. Pelaksana Proyek. Untuk pencapaian tujuan, perlu adanya petugas pelaksana yang mengelola kegiatan proyek baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat kecamatan dan desa, setiap pengelola pelaksana harus memiliki tanggung jawab terhadap tugasnya masing- masing. Adapun pengelola pelaksana proyek SAFVER di kabupaten Langkat, terdiri dari : 1. Penanggung Jawab Proyek Kabupaten. penanggung jawab proyek kabupaten adalah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Langkat. 2. Kepala PIU. Kepala PIU bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek sehari- hari di tingkat kabupaten, termasuk : 1)
Merancang dan merehabilitasi sistem perikanan budidaya yang berkelanjutan dan fasilitas- fasilitas pasca panen.
2)
Membuat program- program mengenai produksi pembenihan (hatchery), culture- based fisheries, dan manajemen danau dan sungai ;
3)
Percontohan dan penyuluhan teknologi perikanan budidaya, dan
4)
Pengembangan sarana berskala kecil untuk mendukung perikanan budidaya setempat.
3. Pejabat Pembuat Komitmen Tingkat Kabupaten. PPK Tingkat Kabupaten adalah pejabat yang diangkat oleh Bupati sebagai pemilik pekerjaan. Yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di tingkat kabupaten. 4. Komite Penasihat Wilayah (Regional Advisory Committee (RAC)) di bentuk di setiap kabupaten proyek dan bertugas untuk : 1)
Memberikan saran pertimbangan dalam menyusun perencanaan proyek di daerah;
2)
Memadukan koordinasi dengan Komite Pengarah Nasional;
3)
Menjadi penghubung dengan Komite Pengarah Nasional;
4)
Membahas dan menyalurkan aspirasi para Pemangku Kepentingan Penerima manfaat proyek;
5)
Melakukan pemantauan selama pelaksanaan proyek di daerah;
6)
Menyelenggarakan rapat sekurang- kurangnya empat kali dalam setahun;
7)
Menyampaikan laporan secara berskala kepala Ketua Komite Pengarah Nasional dengan tembusan Bupati.
Susunan Komite Penasihat Wilayah di Kabupaten Langkat pada proyek SAFVER seperti yang tertera pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Susunan Komite Penasihat Wilayah. No
Jabatan
Kedudukan Dalam Komite
1
Bupati
Ketua
2
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
3
Kuasa
Pengguna
Wakil Ketua
Anggaran/Pejabat
Pembuat
Sekretaris
Komitmen 4
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Anggota
5
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Anggota
6
Kepala
Dinas
Pertambangan,
Energi
dan
Anggota
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan
Anggota
Pengendalian Dampak Lingkungan daerah 7
Kelurahan 8
Kepala Dinas Koperasi dan UKM
Anggota
9
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Anggota
10
Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Anggota
11
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan
Anggota
12
Tokoh Masyarakat
Anggota
13
Wakil- wakil Kelompok Pembudidaya Ikan
Anggota
14
Lembaga Swadaya Masyarakat
Anggota
5. Konsultan Pendamping Kabupaten. Konsultan pendamping kabupaten adalah Site Adviser yang bertugas di tiap kabupaten peserta proyek selama lima tahun. 6. Lembaga Swadaya Masyarakat. Nongovernment Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akan dipilih dan direkrut oleh PIU. Tugas LSM adalah mendukung PIU dalam melaksanakan kegiatankegiatan proyek sebagai berikut : 1)
Melakukan Persiapan sosial dan pemberdayaan masyarakat;
2)
Mengatur para pembudidaya ikan berskala kecil atau pembudidaya ikan yang miskin menjadi organisasi- organisasi pembudidaya ikan yang terus hidup agar mereka dapat merencanakan, melaksanakan, mengoperasikan, dan memantau kegiatan subproyek;
3)
Melaksanakan penilaian masalah- masalah desa untuk menentukan masalah- masalah desa dan solusi- solusi yang memungkinkan;
4)
Menyusun rencana kerja masyarakat (community action plan) untuk mengatasi masalah- masalah dan kendala- kendala untuk mengembangkan perikanan budidaya yang berkelanjutan.
5)
Mendampingi pembentukan percontohan- percontohan sistem perikanan budidaya;
6)
Menyediakan bantuan input produksi dan dukungan pasar untuk pembudidaya ikan berskala kecil, dan
7)
Mendampingi pembudidaya ikan dalam untuk mendapatkan kredit dan bantuan finansial.
7. Penyuluh
Berbasis
Masyarakat.
Sekitar
12
penyuluh
berbasis
masyarakat (community extensin worker) yang berasal dari masyarakat
perikanan setempat atau sekitar lokasi akan direkrut oleh PIU. Para penyuluh bertanggung jawab untuk menyediakan penyuluhan kepada organisasi- organisasi pembudidaya ikan dan kelompok- kelompok perempuan mengenai cara memperbaiki produktivitas dan keuntungan kolam ikan yang didukung oleh proyek. 8. Organisasi Pembudidaya Ikan. Setiap organisasi pembudidaya ikan yang ditumbuhkembangkan oleh LSM akan terdiri dari seorang ketua, sekretaris, dan bendahara dengan para anggota. Organisasi tersebut akan mewakili para pembudidaya ikan dalam pengembangan perikanan budidaya di lokasi proyek. Setiap organisasi akan terdiri dari 15 sampai 30 anggota. Pelatihan, pemberdayaan dan bantuan teknis yang disediakan proyek akan diberikan kepada para pembudidaya ikan melalui organisasiorganisasi tersebut.
Adapun Struktur Organisasi Proyek SAFVER, dapat dilihat pada gambar 2.1.
BUPATI
Site Adviser
KEPALA DINAS/ KPA
Sekretaris
Pejabat Pembuat Komitmen/ Kepala PIU Pejabat Penandatangan SPM
Bendahara
Staf Ahli Gender
Staf Keuangan & Perencanaan
Staf Monitoring & Evaliuasi
Staf Pengadaan & Administrasi
Seksi Perikanan Budidaya
LSM
Penyuluh Berbasis Komunitas
Organisasi Pembudidaya Ikan
Gambar 2.1. Bagan Struktur Organisasi Proyek SAFVER.
2.5.5. Sasaran Proyek. Adapun Sasaran Proyek SAFVER yang ingin dicapai selama 5 tahun berjalan (2009 s/d 2013) adalah : -
Pendapatan pembudidaya naik 20%
-
Produksi Akuakultur naik 30 %
-
Sebanyak 9.062 RTP menerima manfaat.
-
Sebanyak 18.000 orang peluang kerja diciptakan
-
Tingkat konsumsi makan ikan naik 20%.
2.5.6. Komoditas dan Lokasi Kegiatan. Komoditas yang dikembangkan pada proyek SAFVER adalah ikan kerapu, udang windu dan udang vaname, sertakepiting soka dengan wadah budidaya di keramba jarring apung/ keramba jaring tancap untuk komoditas kerapu dan dilahan tambak air payau untuk komoditas udang windu, udang vaname, dan kepiting soka. Proyek ini dilaksanakan di 9 kecamatan pesisir dengan jumlah desa 42. Adapun penyebaran komoditas pada lokasi kegiatan seperti tertera pada table 2.2. Tabel 2.2. Lokasi Kegiatan dan Pengembangan Komoditas Proyek SAFVER Kecamatan Besitang
Pematang Jaya
Pangkalan Susu
Nama Desa
Komoditas
1.Pekan Besitang
Udang Windu
2. Bukit Selamat
Udang Windu
1. Serang jaya Hilir
Udang Windu
2. Pematang Tengah
Udang Windu
3. Limau Mungkur
Udang Windu
4. Damar Condong
Udang Windu
1. Pintu Air
Udang Windu
2. Beras Basah
Udang Windu
3. Tanjung Pasir
Udang Windu
Brandan Barat
Sei Lepan
Babalan
Gebang
Tanjung Pura
Secanggang
4. Pulau Kampai
Kerapu
5. Pulau Sembilan
Kerapu
6. Pangkalan Siata
Udang Windu
7. Sei Meran
Udang Windu
8. Alur Cempedak
Udang Windu
1. Tangkahan Durian
Kepiting Soka
2. Lubuk Kasih
Kepiting Soka
3. Lubuk Kertang
Kepiting Soka
4.Pangkalan Batu
Kepiting Soka
5.Perlis
Kerapu
6.Kelantan
Kerapu
1. Alur Dua Baru
Kepiting Soka
2.Alur Dua
Kepiting Soka
3.Sei Bilah
Kerapu
1.Teluk Meku
Udang Vaname
2.Securai Selatan
Udang Vaname
3.Brandan Barat
Udang Vaname
1.Pasar Rawa
Udang Vaname
2.Pekan Gebang
Udang Vaname
3.Dogang
Udang Windu
4.Kwala Gebang
Udang Windu
5.Sangga Lima
Udang Windu
1.Kwala Serapuh
Udang Tiger
2.Kwala Langkat
Udang Tiger
3.Tapak Kuda
Udang Tiger
4.Bubun
Udang Tiger
1.Tanjung Ibus
Udang Tiger
2.Selotong
Udang Tiger
3.Sei Ular
Udang Tiger
4.Pantai Gading
Udang Tiger
5.Pekan Secanggang
Udang Tiger
6.Jaring Halus
Kerapu
7.Kwala Besar
Kerapu
9 Kecamatan
42 Desa
2.6. Kerangka Berfikir Penelitian Sebagai gambaran yang cukup sederhana mengenai alur pemikiran penulis dalam memahami permasalahan kepemimpinan serta pengaruhnya terhadap efektivitas kerja tentunya diperlukan frame berfikir yang sistematis. Kerangka berfikir ini juga memberikan penjelasan tentang bagaimana secara teoritis beberapa pendekatan yang digunakan akan memiliki keteerkaitan secara konseptual. Berikut ini dijelaskan mengenai frame berfikir yang digunakan dalam menjawab permasalahan penelitian ini nantinya yakni:
Deskripsi Implementasi Proyek SAFVER : 1. Standar Pelaksanaan 2. Sumber Daya 3. Sikap Pelaksana 4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 5. Peranan Kelembagaan
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
Keberlanjutan Proyek SAFVER