16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Teori Implementasi Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik. Biasanya impelementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaiamana yang diharapkan (Afan Gaffar, 2009:295). Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interprestasi dari kebijakan tersebut. Misal, dari sebuah Undang-Undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Peraturan daerah, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan impelementasi termasuk di dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana mengantarkan kebijakan secara konkrit ke masyarakat. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk UndangUndang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala
Daerah,
Keputusan
Kepala
Dinas,
dll
(Riant
Nugroho
Dwijowijoto,2004:158-160). Daniel A. Mazmanian dan Paul A.Sabatier (1979) yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab, menjelaskan makna implementasi dengan menyatakan bahwa apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus
17
perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatankegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan Negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian
(Solichin
Abdul
Wahab,
1997:64-65).
Pengertian
implementasi apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti Undang-Undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplementasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan atau diimplementasikan
agar
mempunyai
dampak
atau
tujuan
yang
diinginkan.Implementasi kebijaksana merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Bambang Sunggono, 1994:137).
Proses implementasi kebijaka
publik baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut (perencanaankota.blogspot.co.id diakses pada tanggal 16/11//2015 pukul 10.00 wib). 1.
Teori Kebijakan Publik Istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa yunani “polis” berarti negara, kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa latin menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa inggris “policy” dipergunakan untuk menunjukan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu badan pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicara-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistem menyangkut analisis kebijakan publik. Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo agustino (2008:7) mendefinisikan kebijakan sebagian serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan seseorang kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan dan
18
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan karena bagaimanapun kebijakan harus memajukan apa yang sesungguhnya dikerjakan dari pada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah. Solichin abdul wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan ahli. Maka memahami istilah kebijakan, solichin abdul wahab (2008:40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai berikut: a. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan b. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi c. Kebijakan mencakup perilaku dan harapan d. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai e. Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisi maupun emplisit f. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu g. Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi yang bersifat intraorganisasi h. Kebijakan publik mesti tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah i. Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif Menurut budi winarno (2007:15), istilah kebijakan (policy tern) mungkin digunakan secara luas seperti pada “ kebijakan luar negeri indonesia”, kebijakan ekonomi jepang, dan atau mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika kita mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi namun baik solihin abdul wahab maupun budi winarno sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan
19
(goals) program, keputusan Undang-undang ketentuan-ketentuan standar, proposal dan grand design (suharso:2009:11) Irfan islamy sebagaimana dikutip suandi (2010:12) kebijakan harus dibedakan yang berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang di dalamnya. James Eanderson sebagaimana dikutip islamy (2009:17) mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “a purposive course of action of concern” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh anderson ini menurut budi winarno (2007:18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Richard Rose sebagaimana dikutip budi winarno (2007:17) juga menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagian serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan dari pada sebagian keputusan yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan adalah keliru, karena pada dasarnya kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatau keputusan untuk melakukan sesuatu Michael Howlet dan M. Ramesh menyatakan proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut (subarsono, 2009:133): a.
Penyusunan agenda (agenda setting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
b.
Formulasi
kebijakan
(policy
formulation),
perumusan pilihan-pilihan oleh pemeringtah.
yakni
proses
20
c.
Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu tindakan.
d.
Implementasi kebijakan (policy implementtion) yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
e.
Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil kinerja kebijakan.
Menurut pandangan ripley, bahwa tahapan kebijakan publik terdiri dari (1) penyusunan agenda kebijakan, (2) formulasi dan legitimasi kebijakan, (3) implementasi kebijakan dan (4) evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan. Dalam tahap penyusunan agenda kebijakan, menurut ripley menyatakan bahwa terdapat tiga kegiatan yang perlu dilakukan (subarsono, 2009:11) yaitu: a.
Membangun resepsi dikalangan stakeholder bahwa sebuah fanomena benar-benar dianggap masalah
b.
Membuat batasan masalah dan
c.
Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut bisa masuk dalam agenda pemerintah.
3. Pelestarian Cagar Budaya UU No 11 Tahun 2010 Latar sejarah pelestarian benda Cagar Budaya. Upaya-upaya penelitian dan pelestarian benda Cagar Budaya telah dimulai sejak Belanda berkuasa di Indonesia. Pada mulanya dilakukan secara perorangan yang tertarik dengan benda-benda purbakala yang baru dilihatnya. Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, benda-benda itu dianggap berhubungan dengan alam gaib, keramat dan bila ditemukan di jadikan benda pusaka. Bahkan kadang-kadang dijadikan sebagai objek pemujaan. Perkembangan penemuan dan penelitian berikutnya mendorong Pemerintahan Belanda mendirikan untuk pertama kalinya suatu badan sementara pada tahun 1901 yang bernama commissie in nederlandch – indie voor oudheidkungdig onderzoek op java en madoera. badan tersebut diganti pada tahun 1913 dengan berdirinya
21
oudheidkundige dienst in nedelandsch – indie sebagai badan tetap yang bertugas di bidang kepurbakalaan. Pada tahun 1913 ini pula dibuat monumenten ordonnantie No 19 ,No. 21 Tahun 1924. Pada tahun 1924 didirikan pula sebuah badan yang bernama Oudheidkundige Vereeniging Madjapahit yang berkedudukan di Trowulan yang bergerak khusus dalam lapangan penelitian terhadap ibukota Majapahit. Perjalanan penelitian dan pelestarian benda Cagar Budaya sempat terganggu dengan mendaratnya Jepang. Ahli-ahli purbakala Belanda banyak yang menjadi tawanan perang. Pada tahun-tahun berikutnya mulai muncul tenaga-tenaga purbakala dari Bangsa Indonesia yang akan memimpin Jawatan Purbakala. Pada masa pergolakan kemerdekaan, Jawatan Purbakala berubah menjadi Jawatan Urusan Barang-Barang Purbakala. Kondisi peperangan yang terjadi dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan antara Belanda dan Indonesia juga mempengaruhi penguasaan Jawatan Purbakala.Setelah terusirnya Belanda dari Indonesia menjadi babak baru bagi sejarah Jawatan Purbakala.Namun demikian, beberapa orang Belanda masih bekerja sampai dengan tahun 1953. Nama Jawatan Purbakala telah mengalami beberapa perubahan, antara lain Dinas Purbakala dan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN).Pada tahun 1975 LPPN dipecah menjadi dua instansi, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (PusP3N) dan Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP). Pada tahun 1980 kembali diubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah). Sekarang ini, penggantian pemimpin Negara atau Presiden RI ternyata juga mempengaruhi perubahan yang terjadi di instansi yang bertugas di bidang penelitian dan pelestarian Benda Cagar Budaya ini.Perubahan yang terjadi sekarang malah terbagi menjadi tiga, yaitu Direktorat Peninggalan Purbakala, Direktorat Peninggalan Bawah Air, dan Pusat Penelitian Arkeologi. Sementara di daerah terdapat Unit Pelaksana Teknis yang bernama Balai Arkeologi (Balar) yang berjumlah 10 buah dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) berjumlah 8 buah serta Balai konservasi Borobudur.Upaya
22
Pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda Cagar Budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya.Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan.Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya. Upaya pelestarian benda Cagar Budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda Cagar Budaya yang masih dipakai (living monument). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda Cagar Budaya miliknya. Upaya pelestarian benda Cagar Budaya secara garis besar sebagai berikut:
A. Perlindungan Perlindungan merupakan upaya melindungi benda Cagar Budaya dari kondisi-kondisi
yang
mengancam
kelestariannya
melalui
tindakan
pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan dilakukan melalui : a. Penyelamatan Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan
menanggulangi
benda Cagar Budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan, pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda Cagar Budaya oleh negara melalui imbalan, pemintakatan, dan pemasangan papan larangan
23
b. Pengamanan Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai benda.
Kegiatannya
berupa
Penempatan
Satuan
Pengamanan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyuluhan UndangUndang Republik Indonesia Nomor : 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. c. Perijinan Perijinan dilakukan melalui pengawasan dan perijinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda Cagar Budaya. Kegiatannya berupa mengeluarkan ijin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan Siswa sekolah dan keagamaan, yaitu perayaan waisak di Situs Muarajambi serta ijin untuk kepentingan penelitian. B. Pemeliharaan Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda Cagar Budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui : a. Konservasi Kegiatan
pemeliharaan
benda
Cagar
Budaya
dari
kemusnahan dengan cara menghambat proses pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara
kimiawi
dan
non
kimiawi.
Kegiatannya
berupa
pengangkatan Juru pelihara (Jupel), penataan lingkungan, pertamanan,
pembersihan
menggunakan
pihak
ketiga,
pembersihan dengan bahan kimia, dan pengujian bahan kimia untuk konservasi.
24
b. Pemugaran Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya. Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak. 1). Keaslian Bentuk Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis. 2). Keaslian Bahan a). Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan
asli dan harus dikembalikan
ke tempatnya semula b). Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali c). Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya. 3). Keaslian Tata Letak a). Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan b). Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula. 4). Keaslian Teknologi Pengerjaan Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan. keaslian teknologi ini antara :
25
a). Teknologi pembuatan b). Teknologi konstruksi Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka perlu dipahami bahwa pemugaran bukan merupakan pekerjaan pembangunan atau pembuatan bangunan, melainkan pekerjaan perbaikan dan pengawetan. 5). Dokumentasi/Publikasi Dokumentasi/Publikasi mendokumentasikan
benda
merupakan
upaya
untuk
Cagar
Budaya
dan
menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak atau
media
elektronik.
Upaya
Dokumentasi/Publikasi
dilakukan melalui : a. Perekaman Data Perekaman data merupakan rangkaian kegiatan pembuatan dokumen tentang benda cagar budaya yang dapat memberikan informasi
atau
pembuktian
tentang
keberadaannya.
Kegiatannya berupa pemotretan, pemetaan, penggambaran, survei, dan pemerian. b. Publikasi Publikasi
merupakan
upaya
menyebarluaskan
informasi
pelestarian benda Cagar Budaya agar dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Kegiatannya berupa pameran, penerbitan buletin dan buku, film dokumenter, dan website. (https://www.google.com/search?client=safari&rls=en&q=pele starian+cagar+budaya+dikota+surakarta&ie=UTF-8&oe=UTF8 diakses pada tanggal 18/11/2015 pukul 12.35). C. Teori Kepastian Hukum Kehidupan manusia di tengah-tengah masyarakat selalu berkembang dan diikuti oleh perubahan-perubahan, hal ini disebabkan karena bergesernya kurun waktu dan semakin berkembanganya tingkat pengetahuan dan juga
26
makin meningkatnya
taraf penghidupan masyarakat.
Dengan adanya
peningkatan taraf kehidupan masyarakat dan meningkatnya tingkat kecerdasan serta semakin banyaknya lapangan usaha yang tersedia di berbagai bidang, maka semakin diperlukan keahlian dan administrasi yang sempurna, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan pentingnya kepastian hukum dalam melindungi kepentingan-kepentingan setiap subjek hukum.Kepastian hukum tersebut dalam masyarakat dibutuhkan demi tegaknya ketertiban dan keadilan. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini menjadikan kehidupan beradal dalam suasanan kekacauan sosial. Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen. Norma-norma adalah produk dan kasi manusia yang deliberate. Undang-undang yang berisi aturanaturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam masyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun hubungannya dengan masyarakat.Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyrakat
dalam
membebani
atau
melakukan
tindakan
terhadap
individu.Adanya aturan itu dan pelaksanakaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. Menurut Gustac Radbruch, hukum harus mengandung tiga nilai identitas yaitu: a. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis. b. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. c. Asas kemanfaatan hukum (zwechhmatigheid atau doelmatigheid atau utility). Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan
27
hukum bagi individu dari kewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran Yurids_Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan. ( M.Yahya Harahap, 2006, hal 76). D. Asas-Asas umum pemerintahan yang baik Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan Perundang-Undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas, yang menjadi sendi utama negara hukum. Akan tetapi, karena ada keterbatasan dari asas ini atau karena adanya kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka kepada pemerintah diberi kebebasan freies Ermessen, yaitu kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial (E. Utrecht, 1957: 30). Dalam praktik freies Ermessen ini membuka peluang terjadinya benturan kepentingan antara Pemerintah dengan warga Negara. Hal ini lah yang sering menimbulkan perdebatan karena Pemerintah sering dianggap lalai dan sewenang wenang dalam bertindak. Menurut Sjachran Basah, Pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya terutama dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara melalui pembangunan, tidak berarti Pemerintah dapat bertindak semena-mena, melainkan sikap tindak itu haruslah dipertanggungjawabkan (Sjachran Basah, 1992: 68). Jika suatu Pemerintah dapat bertanggungjawab atas setiap tindakannya maka tujuan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan dapat tercapai. Salah satu tolok ukur untuk
28
menilai apakah tindakan Pemerintah itu sejalan dengan Negara hukum atau tidak adalah dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Secara formil Asas-asas Umum Pemeritahan yang Baik terdapat dalam pasal
3
Undang-Undang
Nomor
28
Tahun
1999
Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yaitu sebagai berikut: 1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan
peraturan
perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara. 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara. 3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. 4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. 5. Asas
Proporsionalitas,
yaitu
asas
yang
mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. 6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
29
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ridwan HR, 2013: 241-242). Good governance menurut Bank Dunia (World Bank) adalah cara kekuasaan di gunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (the way state power is used in managing economic and social resources for development of society). Menurut UNDP (United National Development planning), good goverance di makna sebagai praktek penerapan kewenangan pengelolaan governance di maknai sebagai praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan Negara secara politik, ekonomi dan administrative di semua tingkatan. Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu: pertama economic governance (kesejahteraan rakyat); kedua,
political
governance
(proses
pengambilan keputusan); ketiga, Adminstrative governance (tata laksana pelaksanaan
kebijakan)
(Martodo,
http://martodo.com/2009/04/03/suara-
mahasiswa-009-mengkritisi-clean-and-good-governance-di-indonesia/,
diakses
tanggal 06 maret 2016). Visi strategis para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik pembangunan perkembangan tersebut. Selain itu kedua belah pihak juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Keseluruhan karakteristik atau prinsip good governance tersebut adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bisa berdiri sendiri. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa terdapat empat unsur atau prinsip utama yang dapat memberikan gambaran adminitrasi public yang berdiri kepemerintahan yang baik yaitu sebagai berikut; Pertama, akuntabilitas adalah adanya kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya; Kedua, transparansi adalah, baik ditingkatkan pusat maupun daerah; Ketiga, keterbukaan adalah menghendaki terbukannya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan; dan keempat, aturan hukum adalah kepemerintahan
30
yang baik mempunyai karakteristi berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan public yang ditempuh (Hildan Firdaus Skripsi, 2013;6).
31
Kerangka Pemikiran: PENGATURAN TENTANG KEBUDAYAAN DALAM PASAL 32 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
UU NO 32 TAHUN 2009 TENTANG LINGKUNGAN HIDUP
ASAS KEPASTIAN HUKUM
TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
UU NO 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA
UU NO 26 TAHUN 2007 TENTANG TATA RUANG
UU NO 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
IMPLEMENTASI UU NO 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR
HAMBATAN DALAM IMPLEMENTASI
SOLUSI
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
32
Keterangan Bagan Kerangka Berpikir:
Bagan kerangka pemikiran menjelaskan alur berpikir Penulis dalam menyusun penelitian Hukum. Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang dasar 1945 menyatakan “ Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan Budaya Nasional “ Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya di Indonesia. Implementasi Undang-Undang 11 tahun 2010 di Surakarta harus sesuai dengan Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang pelestarian pembangunan lingkungan hidup dan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kedua Undang-Undang tersebut dipakai karena sebagai payung Hukum di bidang Dinas Tata Ruang dan sesuai dengan Undang-Undang 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang sebagai pengawal zonasi Cagar Budaya perumusan masalah dalam skripsi ini yaitu yang pertama bagaimana Implementasi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya
pada Cagar
Budaya ponten di Kota Surakarta dalam rangka mewujudkan Kepastian Hukum dan tata Pemerintahan yang baik yang kedua yaitu apa hambatan dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya pada Cagar Budaya ponten di Kota Surakarta dalam rangka mewujudkan Kepastian Hukum dan Tata Pemerintahan yang baik. Perumusan masalah tersebut dianalisis dengan asas Kepastian Hukum dan Tata Pemerintahan yang baik.