14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentangPeradilan Militer a. Landasan Sistem Peradilan Militer Peradilan militer saat ini berpijak pada Undang-Undang No 31 Tahun
1997
tentang
Peradilan
Militer.
Dalam
salah
satu
pertimbangannya, Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa pengaturan tentang Pengadilan dan Oditurat serta Hukum Acara Pidana Militer yang selama ini berlaku dalam Undang-Undang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982. Luhut
M.P Pangaribuan (2006:436) menjelaskan bahwa
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata. Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, pengadilan yang bernaung dibawah pengadilan militer terdiri dari : 1)
Pengadilan Militer;
2)
Pengadilan Militer Tinggi;
3)
Pengadilan Militer Utama;
4)
Pengadilan Militer Pertempuran.
14
15
Pengadilan militer untuk semua tingkatan secara umum memiliki yuridiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada waktu melakukan tindak pidana(S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007:362-363), yaitu : 1)
Prajurit/ militer, yakni orang yang menurut peraturan yang berlaku merupakan prajurit TNI; a) Prajurit
Sukarela,
yaitu
Warga
Negara
yang
mengabdikan diri dalam dinas Keprajuritan atas kesediaan sendiri; b) Prajurit Wajib yang mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan karena diwajibkan berdasar UndangUndang; c) Mereka yang memakai uniform atau pakaian seragam militer dimuka umum terkecuali bila kemudian ternyata mereka bukan militer. 2)
Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit; a) Para mantan anggota militer pada saat mereka mengenakan pakaian seragam militer atau yang dipergunakan untuk suatu dinas militer; b) Orang-orang yang diberi pangkat militer tituler, orang yang dimiliterisir dan anggota dari organisasi atau badan yang dimiliterisir; c) Militer asing yang mengikuti pasukan militer atau operasi militer atas ijin yang berwenang atau yang menjadi tawanan perang.
3)
Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;
16
4)
Seseorang yang tidak termasuk golongan di atas tetapi atas keputusan
Panglima
dengan
persetujuan
Menteri
Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Peradilan militer mempunyai wewenang
Kewenangan lain dari pengadilan yang bernaung di bawah peradilan militer adalah : 1)
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
2)
Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
b. Susunan dan Kewenangan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer sebagaimana dijelaskan menjadi 4 pengadilan dengan kompetensi yang berbeda dalam hal memeriksa dan memutus perkara (Undang-Undang Peradilan Militer 1999:25), yaitu : 1) Pengadilan Militer Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang No. 31 tahun 1997
tentang
Peradilan Militer,
bahwa
kekuasaan
pengadilan militer yaitu pengadilan militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah :
17
a)
Prajurit yang berpangkat kapten kebawah;
b)
Mereka yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya termasuk dalam tingkat kepangkatan kapten ke bawah;
c)
Mereka berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh pengadilan militer.
2) Pengadilan Militer Tinggi Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bahwa kekuasaan pengadilan militer yaitu : pengadilan militer tinggi pada tingkat pertama ; a)
Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah : (1)
Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat mayor ke atas;
(2)
Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasa19 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan mayor ke atas;
(3)
Mereka berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh pengadilan militer tinggi.
b)
Pengadilan militer tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang diputus oleh pengadilan militer dalam daerah
hukumnya
yang dimintakan banding; c)
Pengadilan militer tinggi memutuskan pada tingkat pertama
dan
terakhir
sengketa
kewenangan
mengadili antara pengadilan militer dalam daerah hukumnya.
18
3) Pengadilan Militer Utama Berdasarkan Pasal 42, 43 dan 44 UU No. 31 Tahun 1997
tentang
Peradilan Militer,
bahwa
kekuasaan
kehakiman pengadilan militer yaitu: a)
Pasal
42,
bahwa
Pengadilan
Militer
Utama
memeriksa dan memutuskan pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding. b)
Pasal 43, bahwa : (1)
Pengadilan Militer Utama memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili : (a)
Antar
pengadilan
berkedudukan
di
militer daerah
yang hukum
pengadilan militer tinggi yang berlainan; (b)
Antar pengadilan militer tinggi;
(c)
Antara pengadilan militer tinggi dan pengadilan militer.
(2)
Sengketa sebagaimana dimaksud di atas terjadi: (a)
Apabila dua pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya
berwenang
mengadili atas perkara yang sama; (b)
Apabila dua pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya
berwenang
mengadili perkara yang sama. c)
Pasal 44, (1)
Pengadilan
Militer
pengawasan terhadap:
Utama
melakukan
19
1)
Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Pengadilan
Pengadilan Militer Militer
Militer,
Tinggi
dan
Pertempuran
di
daerah hukumnya masing-masing; 2)
Tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya.
(2)
Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Pertempuran;
(3)
Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Pertempuran;
(4)
Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 tidak mengurangi
kebebasan
Hakim
dalam
memeriksa dan memutus perkara; (5)
Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung.
4) Pengadilan Militer Pertempuran Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer Pasal 45 dan Pasal 46, bahwa kekuasaan pengadilan militer pertempuran yaitu : a)
Pasal 45, bahwa pengadilan militer pertempuran memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang telah dilakukan
20
oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran; b)
Pasal 46, bahwa pengadilan militer pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pertempuran dan berkedudukan serta berda di derah pertempuran.
b. Susunan Oditurat dalam Peradilan Militer Oditurat adalah pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara dibidang
penuntutan
dan
penyidikan
dilingkungan
Angkatan
Bersenjata sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007:349). Oditurat memiliki tugas dan wewenang yang tingkatannya tidak berbeda dengan pengadilan yang bernaung di bawah peradilan militer, yaitu : 1)
Oditurat Militer yang melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Kapten ke bawah, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, melakukan pemeriksaan tambahan.
2)
Oditurat Militer Tinggi yang melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Mayor ke atas. Melaksanakan penetapan Hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan
dalam
lingkungan
Peradilan
Umum,
melakukan pemeriksaan tambahan. 3)
Oditurat Jenderal yang bertugas dan berwenang membina, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenangOditurat,
menyelenggarakan
pengkajian
masalah kejahatan guna kepentingan penegakan dan kebijakan
pembinaan
dan
menyelesaikan
serta
21
melaksanakan penuntutan perkara pidana tertentu yang acaranya diatur secara khusus. 4)
Oditurat Pertempuran yang melaksanakan penetapan hakim atau melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya adalah militer, melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan militer pertempuran.
c. Susunan dalam Persidangan Pengadilan Militer maupun Pengadilan Tinggi Militer bersidang dalam pelaksanaan sidanguntuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana pada tingkat pertama dengan susunannya terdiri dari 1 (satu) orang Hakim Ketua, dan 2 (dua) orang Hakim Anggota, yang dihadiri oleh 1 (satu) orang Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera (Pasal 15 Undang-Undang No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer). Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat pertama dengan susunan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota, yang dibantu oleh 1 (satu) orang Panitera sedangkan dalam pemeriksaan tingkat banding maka Pengadilan Militer Utamaterdiri dari 1 (satu) orang Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
d. Susunan Kepangkatan dalam Persidangan Kepangkatan yang berlaku dalam persidangan di Pengadilan Militer adalah Hakim Ketua paling rendah Mayor dan Hakim Anggota serta Oditur Militer paling rendah Kapten, sedangkan Panitera paling rendah Pembantu Letnan Dua dan paling tinggi Kapten sedangkan untuk persidangan di pengadilan militer tinggi, Hakim ketua paling rendah Kolonel dan Hakim Anggota serta Oditur Militer paling rendah
22
Letnan Kolonel, sedangkan Panitera paling rendah Kapten dan paling tinggi Mayor.
2. Tinjauan tentangPutusan a. Pengertian Hakim Pejabat
penegak
hukum
yang
paling
dominan
dalam
pelaksanaan penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral, dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Kedudukan hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Pengertian hakim juga terdapat pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan,
yang
memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskan. Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana
hakim
dapat
menemukan
hukum
berdasarkan
keyakinannya dalam suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum yang terkenal biasa disebut doktrin.
23
Petisi para juris di Athena yang dideklarasikan pada tanggal 18 Juni 1955 yang dikutip ulang oleh La oDe Husein dalam tulisannya, berbunyi : “ Judges should be guide by rule of law, protect and enforce it without fear or favor and resist any encroechment by goverment or political parties on their independence as judges” (La Ode Husein : 2004:551).
Petisi diatas sangat erat kaitannya dengan peranan para hakim yang memiliki kekuasaan mutlak dalam memutus suatu perkara, dimana para hakim dalam tugasnya berpedoman pada aturan hukum yang haram untuk disimpangi. Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak memihak disini tidak diartikan secara harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang benar. Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilainnya. Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 48Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus
demikian,
menurut
hukum
hakim
dapat
memutuskan
menghukum pemerintah. (Andi Hamzah, 2005:99-101).
b. Pengertian Putusan Putusan hakim
memiliki peranan penting
yang
sangat
menentukan dalam penegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu didalam menjatuhkan putusannya hakim harus sangat berhati-hati dan penuh dengan pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai
24
suatu putusan penuh dengan kekeliruan yang akibatnya akan menimbulkan rasa tidak puas, ketidakadilan dan dapat menjatuhkan kewibawaan pengadilan. Oleh sebab itu sebelum hakim menjatuhkan putusannya, maka harus dilakukan berbagai pertimbangan yang matang karena pertimbangan hakim tersebut dapat memberikan pengaruh dalam menjatuhkan putusan (Muhammad Taufiq, 2013:26). Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP memberikan penjelasan mengenai putusan pengadilan adalah “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta merta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Laden Marpaung (2006:406) mendefiniskan putusan sebagai hasil kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya, yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7 Maret 1962 (staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/putusan diakses 25 Februari 2016) menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersebut.Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sedangkan apabila panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita acara.
25
Berdasarkan Pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi : 1)
Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban;
2)
Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim;
3)
Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara;
4)
Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.;
5)
Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan;
6)
Tandatangan hakim dan panitera.
Setelah selesai pemeriksaan saksi-saksi dan terdakwa/para terdakwadalam hukum acara peradilan militer, hakim ketua sidang kemudian menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya kembali, atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum/ormil atau terdakwa atau penasehat hukum dengan memberi alasannya. Sidang dibuka kembali dimaksudkan untuk menampung data tambahan sebagai bahan untuk musyawarah hakim. Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah untuk mengambil putusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, ormil, dan hadirin meninggalkan ruang sidang. Setelah diadakan musyawarah, maka barulah dapat diambil putusan mengenai perkara yang ditangani.
c. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilanperkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan
26
bunyi UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam menjatuhkan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkarayang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasanbagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurangkurangnyadua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatutindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah. Tentang pembuktian dan putusan dalam acara biasa secara umum diatur dalam Pasal 184 KUHAP menentukan alat-alat bukti (Andi Hamzah, 2014:259) adalah:
27
1) Keterangan Saksi; 2)
Keterangan Ahli;
3)
Surat-surat;
4)
Petunjuk;
5)
Keterangan Terdakwa.
Sedangkan menurut Pasal 172 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sama dengan yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP tersebut diatas (M. Yahya Harahap, 2012:285318), yaitu: 1)
Keterangan Saksi;
2)
Keterangan Ahli;
3)
Surat-surat;
4)
Petunjuk;
5)
Keterangan Terdakwa.
Pertimbangan hakim sangat berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat ringannya penjatuhan hukuman atau sentencing (straftoemeting), dalam istilah Indonesia disebut “pemidanaan”. Di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang sistem pemerintahannya
telah
maju
atau
berkembang
pesat
telah
dikembangkan beberapa dasar alasan pemidanaan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tidak semata-matadidasarkan pada penilaian subjektif hakim, tetapi dilandasi keadaan objektif yang didapatdan dikumpulkan di sekitar kehidupan sosial terdakwa, ditinjau dari segi sosiologis danpsikologis. Misalnya, dengan jalan menelusuri latar belakang budaya kehidupan sosial,rumah tangga, dan tingkat pendidikan terdakwa atau terpidana. Data-datatersebut dapatdiperoleh dari hasil penelusuran riwayat hidup terdakwa, yayasan tempat terdakwa
pernahdirawat,
teman
pendidikan, dan lain sebagainya.
dekat
terdakwa,
lingkungan
28
Tidak
kalahpenting
perlu
diketahuinya
sebab-sebabyang
mendorong dan motivasi melakukan tindakpidana, apakah sematamatadidorong untuk melakukan kejahatan, misalnya benar-benar didorong untuk balas dendam atau memperoleh kepuasan batin dan sebagainya. Atau apakahkarena dorongan sosial ekonomis maupun karena keadaan yang berada diluar kemauankesadaran terdakwa. Juga perlu diperhatikan laporan pejabat tempat terdakwa ditahantentang sikap dan perilakunya selama berada dalam tahanan. Semua halhaldan
keadaantersebut
ikut
dipertimbangkan
sebagai
faktor
menentukan pemidanaan (M. Yahya Harahap,2012:363 ). Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakanbahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilaihukum dan rasa keadilanyang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakimwajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
d. Tahap Pelaksanaan Putusan Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan oleh Kepala Pengadilan pada tingkat pertama dan khusus pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan komandan yang bersangkutan, sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi. Khusus dalam pelaksanaan putusan tentang ganti rugi akibat penggabungan gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dilaksanakan oleh Kepala Kepaniteraan sebagai juru sita.
29
e. Jenis-jenis Putusan Menurut KUHAP, secara doktrin serta aspek teoritik dan praktek peradilan maka pada asasnya putusan hakim atau putusan pengadilan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu : 1)
Putusan Akhir “Putusan akhir” dalam praktik lazim disebut dengan istilah “putusan” atau “eind vonnis” dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakikatnya putusan akhir dapat terjadi setelah Majelis Hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan “pokok perkara” selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, serta Pasal 199 KUHAP).
2)
Putusan yang Bukan Putusan Akhir Bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa “penetapan” atau “putusan sela” atau dengan istilah bahasa Belanda “tussen-vonnis”. Pada hakekatnya putusan ini dapat berupa : a)
Penetapan yang menentukan “tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara, karena merupakan kewenangan relatif “Pengadilan Negeri lain sebagaimana limitatif Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
b)
Putusan
yangmenyatakan
bahwa
dakwaan
jaksa/penuntut umum batal demi hukum, yang diatur oleh ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. c)
Putusan
yang
jaksa/penuntut
berisikan umum
tidak
bahwa
dakwaan
dapat
diterima
sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP disebabkan
materi
perkara
tersebut
telah
kedaluwarsa, materi perkara seharusnya merupakan
30
materi hukum perdata, perkara disebabkan telah nebis in idem, dan sebagainya. Selanjutnya “penetapan” atau “putusan sela” secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa atau penasihat hukum serta penuntut umum telah menerima apa yang diputuskan oleh Majelis Hukum. Tetapi secara materiil perkara dapat dibuka kembali apabila jaksa atau penuntut umum melakukan perlawanan atau verzet yang dibenarkan, sehingga Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2010:124).
f. Bentuk-Bentuk Putusan Putusan pengadilan berdasarkan penilaian terhadap surat dakwaan memuat alasan, sumber hukum tertulis maupun sumber hukum tidak tertulis, hal tersebut sesuai dalam Pasal 50ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Penilaiannya dapat berupa dakwaan terbukti maupun sebaliknya dakwaan tidak terbukti sama sekali. Putusan yang dijatuhkan dalam setiap persidangan dirasa sangat penting karena putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewiljd) dimana setiap orang yang terkait harus mematuhi dan melaksanakan putusan tersebut. Menurut Pasal 189 dan 190 UU No. 31 tahun 1997 (M.Yahya Harahap, 2012:347), putusan dalam sidang pengadilan dapat berupa :
31
1)
Putusan Bebas(vrijpraak/acquittal) Putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum
dalam
surat
dakwaan
sehingga
terdakwa
dibebaskan dari segala macam tuntutan hukum atau terdakwa tidak dijatuhi hukuman pidana ( Pasal 189 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997). Dalam praktek peradilan, jika seorang terdakwa oleh majelis hakim di jatuhi hukungan “vrijkspraak”, pada hakikatnya amar/diktum putusannya haruslah berisikan: “Pembebasan terdakwa secara sah dan meyakinkan dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan,
kedudukan,
serta
martabatnya,
memerintahkan terdakwa segera di bebaskan dari tahanan setelah putusan diucapkan apabila terdakwa ditahan dan pembebanan biaya perkara kepada Negara”
(Lilik
Mulyadi, 2010:22).
2)
Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (onslag van Alle Rechtsvervolging) Ketentuan Pasal 189 ayat (2) UU No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan
Militer
bahwa
jika
pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum terjadi jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana, melainkan perbuatan yang
32
lain,misalnya termasuk yurisdiksi hukum, perdata, adat, atau dagang. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi amar/dictum putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar. Ditinjau dari segi pembuktian, pada putusan pembebasan, perbuatan yang dilakukan dan didakwakan kepada terdakwa “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Jadi, tidak memenuhi atas pembuktian Undang-Undang secara negatif serta tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur. Lain halnya pada putusan dari segala tuntutan hukum. Apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik dinilai dari segi pembuktian menurut UndangUndang maupun dari segi batas minimum yang diatur dalam Pasal 189 ayat (2) UU No. 31 tahun 1997 akan tetapi, perbuatan yang terbukti tadi “tidak merupakan tindak pidana.” Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti tadi, tidak ada diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana. Tapi, mungkin terkadang, atau hukum adat.
3)
Putusan Pemidanaan (veroordeling) Dalam ketentuan Pasal 190 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 bahwa, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah
melakukan
tindak
pidana
yangdidakwakan padanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Putusan pemidanaan dapat terjadi jika perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Perbuatan terdakwa tersebut
33
merupakan
ruang
lingkup
tindak
pidana
kejahatan(misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen) dan
dipenuhinya
alat-alat
bukti
dan
fakta-fakta
dipersidangan. Oleh karena itu majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa.
4)
Penetapan Tak Berwenang Mengadili Kemungkinan dapat terjadi sengketa mengenai wewenang mengadili terhadap suatu perkara, oleh sebab itu Pasal 147 KUHAP memperingatkan agar setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, tindakan pertama yang harus dilakukan ketua Pengadilan Negeri adalah mempelajari berkas perkara. Jika suatu perkara bukan merupakan kewenangan suatu Pengadilan Negeri untuk mengadili, maka untuk itu Pengadilan Negeri mengeluarkan surat “penetapan” tidak berwenang mengadili.
5)
Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman pada Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Jika terdakwa atau penasehat hukum keberatan bahwa surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah penuntut umum diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkannya untuk selanjutnya mengambil keputusan.
6)
Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan Pengadilan yang didasarkan pada Pasal 143 ayat (3) dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat
34
menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, baik karena atas permintaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum dalam eksepei maupun atas wewenang hakim yang karena jabatannya. Alasannya pokok yang dapat dijadikan dasar menyatakan dakwaan jaksa batal demi hukum : a)
Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih didakwaan;
b)
Tidak memperinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan;
c)
Dakwaan kabur atau obscur libel, karena tidak dijelaskan
cara
bagaimana
kejahatan
dilakukan.
g. Hal yang Harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim Mengenai isi dari surat keputusan, tetap harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan secara rinci dan limitatif dalam Pasal 194 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 (S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007:438-439), yaitu sebagai berikut : 1)
Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILANBERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ”;
2)
Nama lengkap terdakwa, pangkat, nomor registrasi pusat,jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jeniskelamin,
kewarganegaraan,
agama,
dan tempat
tinggal; 3)
Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
4)
Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
35
pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; 5)
Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
6)
Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang meringankan dan memberatkan terdakwa;
7)
Hari dan tanggal diadakan musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
8)
Pernyataan
kesalahan
terdakwa,
pernyataan
telah
terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; 9)
Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
10)
Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letakkepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu;
11)
Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
12)
Hari dan tanggal putusan, nama hakim yang memutuskan, nama Oditur, dan nama panitera.
Semua syarat tersebut harus dipenuhi, apabila salah satu syarat tidak terpenuhikecuali yang tersebut pada huruf g maka putusan itu adalah putusan yang batal demi hukum (Pasal 194 ayat (2) UU No. 31 tahun 1997). Sedangkan mengenai surat putusan bukan pemidanaan diatur dalam Pasal 195 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997, yang mensyaratkan sebagai berikut :
36
1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) kecuali huruf e, huruf f dan huruf h;
2)
Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputuslepas dari segala tuntutan hukum, dengan
menyebutkan
alasan
dan
pasal
peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; 3)
Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan apabila ia ditahan;
4)
Pernyataan bahwa perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan melalui saluran Hukum Disiplin Prajurit;
5)
Pernyataan rehabilitasi.
3. Tinjauan tentang Upaya Hukum Upaya hukum adalah cara atau jalan yang ditempuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam memperjuangkan kepentingannya demi mendapatkan yang diharapkan. Menurut Adami Chazawi (2015:220) yang dimaksud dengan upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Demi keadilan dan kebenaran maka putusan hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan, oleh karena itu hukum menyediakan sarana atau upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusandan sarana atau upaya tersebut dinamakan sebagai upaya hukum. Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang berkepentingan, karena itu pula pihak yang bersangkutan sendiri yang harus aktif dengan mengajukannya kepada pengadilan yang diberi kekuasaan untuk itu jika ia menghendakinya.
37
Hukum pidana sebagai hukum publik yang berhubungan dengan kepentingan umum masyarakat luas tentu menjadi hukum yang didambakan
masyarakat
untuk
dapat
memberikan
manfaat
bagi
masyarakat yaitu menciptakan suasana yang tertib dan aman. Dalam pelaksanaannya, upaya hukum juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 dalam hukum Acara Pidana Militer, dimana ketika terdakwa atau Oditur tidak menerima putusan Pengadilan Pertama dapat melakukan upaya hukum, dimana upaya hukum tersebut dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari: a.
Pemeriksaaan Banding Pemeriksaan banding diatur dalam Pasal 219 sampai dengan 230 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Banding merupakan upaya hukum yang diajukan oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau penuntut umum terhadap putusan Pengadilan Tingkat Pertama dengan alasan tidak puasnya terpidana/kuasa hukumnya atau penuntut umum atas putusan hakim pada Pengadilan Negeri sebagai Peradilan
Tingkat
Pertama
yang
dipandang
tidak
mencerminkan rasa keadilan.
b.
Pemeriksaan Kasasi Kasasi merupakan suatu pembatalan terhadap putusan hakim pada Pengadilan Tinggi karena putusannya dianggap tidak memenuhi rasa keadilan baik bagi pihak terpidana maupun pihak penuntut umum. Menurut Andi Hamzah (2000:287) tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan Undang-Undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
38
4. Tinjauan tentangTindak Pidana Penyalahgunaan Kekuasaan a.
Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan mempunyai ancaman sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Dalam RUU KUHP 1999/2001 pada pasal 15 ayat (1), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana adalahperbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”. Tindak pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit”,yang terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar dan feit.“Straf” berarti pidana, “baar” berartidapat atau boleh, “feit” adalah perbuatan (Lamintang dan Tehojunior Lamintang, 2014:179). Terdapat
beberapa pengertian yang
berbeda-beda tentang strafbaarfeit ini, antara lain: R. Tresna (dalam Adami Chazawi, 2002:72) menjelaskan bahwa Tindak Pidana/strafbaarfeit adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Hazewinkel Suringa(dalam P.A.F Lamintang dan Theojuniar Lamintang,
2014:180)
mengatakan
bahwa
tindak
pidana/strafbaarfeit merupakan suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya Prof. POMPE memberi definisi tindak pidana/strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
39
hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (P.A.F Lamintang dan Theojuniar Lamintang, 2014:180) Prof.
SIMONS
memaparkan
bahwa
tindak
pidana
(strafbaarfeit) adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang oleh UndangUndang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum (P.A.F
Lamintang
dan
Theojuniar
Lamintang,
2014:184).
Sedangkan syarat-syarat dari tindak pidana Tersebut adalah: Dipenuhi unsur dari semua delik seperti dalam rumusan delik, dapat dipertanggung jawabkannya pelaku atas perbuatannya, tindakan pelaku tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja pelaku tersebut dapat dihukum. Mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat beberapa pendapat yang berbedaantara lain menurut Soedarto (1990:50), beliau mengatakan bahwa pertanyaan unsur-unsurtindak pidana tidak mempunyai arti penting atau prinsipiil bagi hukum pidana material, yang penting adalah untuk hukum acara pidana atau hukum pidana formal yaitu syarat penuntutan dan bersangut paut dengan itu, maka unsur-unsurdalam rumusan peraturan pidana itu harus dituduhkan dan dibuktikan. Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua segi(P.A.F Lamintang dan Theojunior Lamintang, 2014:192), yaitu: 1)
Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah yang melekat pada diri pelaku atau berhubungan dengansi pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subjektif tindak pidana meliputi:
40
a) Kesengajaan; b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; c) Ada atau tidaknya perencanaan; d) Adanya perasaan takut.
2)
Unsur Objektif Unsur objektif dari tindak pidana adalah hal-halyang berhubungan dengan keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan, dan berada diluar batin si pelaku. Unsur objektif tindak pidana meliputi: a) Sifat melanggar hukum; b) Kualitas si pelaku; c) Kausalitas,
yaitu
yang
berhubungan
antara
penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya.
b.
Pengertian Penyalahgunaan Kekuasaan Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan tindakan tindakan hukum tertentu. Terkait dengan wewenang ini adalah asas spesialitas (specialiteitsbeginsel), yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada subjek hukum dengan tujuan tertentu. Menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir; het gebruiken van een bevoegdheid voor een ander doel). Asas spesialitas dapat diketahui dengan membaca peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari kewenangan yang dilaksanakan.
41
Penyalahgunaan kekuasaan diatur dalam Pasal 126 Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer, yang berbunyi: Militer,
yang
dengan
sengaja
menyalahgunakan
atau
menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan, memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara maksimum lima tahun. Berdasarkan semua pendapat yang telah dikemukakan tersebut diatas, maka seseorang anggota militer baru dapat dikatakan
telah
melakukan
tindak
pidana
penyalahgunaan
kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 KUHPM, apabila unsur-unsur yang disebut di dalam pasal tersebut telah terpenuhi.
42
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Penyalahgunaan Kekuasaan Anggota Militer Pemeriksaan Persidangan pada Pengadilan Militer tingkat Pertama Putusan pada Pengadilan Militer Tingkat Pertama
Terdakwa diputus bersalah
Terdakwa mengajukan upaya hukum banding Diterima Pengadilan Militer Tinggi I Medan Putusan Pengadilan Militer Tinggi
Pertimbangan Hakim Pengadilan Militer Tinggi I Medan
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan Bagan 1 : Kerangka pemikiran diatas mencoba menggambarkan mengenai alur berfikir dari penulis guna mendapatkan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai putusan dalam perkara penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh terdakwa Anggota Militer Akhmad Yani di Pengadilan Militer Tingkat Pertama yaitu di Pengadilan Militer Medan. Adanya hak terdakwa yang berupa upaya hukum banding terhadap Putusan Pengadilan Militer Tingkat Pertama digunakan oleh terdakwa dan permohonan banding terdakwa tersebut diterima oleh hakim dan putusan hakim adalah terdakwa diputus bebas. Selanjutnya dari hal-hal tersebut akan dikaji mengenai upaya hukum banding yang diajukan oleh terdakwa terhadap putusan pengadilan militer tingkat pertama Medan apakah sudah memenuhi ketentuan Pasal 219 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer serta mengkaji kaitan dalam argumen hukum hakim Pengadilan Militer Tinggi 1 Medan dalam menilai alasan banding oleh terdakwa.