BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjuan tentang Perjanjian dan Perjanjian Kredit a. Pengertian Perjanjian Menurut Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya.Perumusan ketentuan pasal ini sebenarnya tidak jelas. Ketidakjelasan itu dapat dikaji dari beberapa unsur dalam rumusan Pasal 1313 KUHPerdata sebagaimana diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad (2010, 289), berikut ini : 1) Lingkup perjanjian terlalu luas, mencakup juga perjanjian perkawinan yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal, yang dimaksud adalah hubungan antara debitor dan kreditor yang bersifat kebendaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanya melingkupi perjanjian bersifat kebendaan, tidak melingkupi perjanjian bersifat perorangan (personal); 2) Perbuatan dapat dengan persetujuan dan dapat juga tanpa persetujuan. Dalam hal ini tanpa persetujuan, yang disimpulkan dari unsur definisi perbuatan
yang
meliputi
juga
perbuatan
perwakilan
sukarela
(zaakwaarneming), perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang terjadinya itu tanpa persetujuan. Seharusnya unsur tersebut dirumuskan: perjanjian adalah persetujuan; 3) Perjanjian dari sepihak saja hal ini dapat dipahami dari unsur definisi kata kerja mengikatkan diri, sifatnya hanya datang dari satu pihak, tidak dari kedua belah
pihak.
Seharusnya unsur tersebut
dirumuskansaling
mengikatkan diri, artinya pihak yang satu mengikatkan diri pada pihak yang lain dan pihak yang lain juga pada pihak yang satu. Jadi ada persetujuan antara dua pihak.; 4) Tanpa menyatakan tujuan, dalam rumusan pasal tersebut tidak dinyatakan tujuan pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas. Jika tujuan mereka
14
tidak jelas mungkin dapat menimbulkan dugaan tujuan yang dilarang undang-undang yang dapat mengakibatkan perjanjian batal. Menurut Handri Rahrjo (2009: 41) pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata memiliki kelemahan yaitu : Tabel 1.2 Kelemahan Pasal 1313 KUHPerdata Kelemahan pengertian dari 1313
Seharusnya
KUHPerdata Merupakan
perbuatan
(hal
ini Perbuatan hukum
bermakna terlalu luas) Yang mengikatkan diri hanya satu Saling mengikatkan diri pihak (kurang lengkap) sehingga bisa disebut perjanjian sepihak Tujuan tidak jelas
Harus jelas
Sumber : Handri Rahrjo, 2009: 41 Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian (Pasal 1313 KUHPerdata) menurut Hendri Raharjo adalah sebagai berikut, perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak atau subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum. Berdasarkan pada alasan-alasan yang diuraikan diatas, konsep perjanjian dapat dirumuskan dalam arti sempit sebagai berikut, Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan dibidang harta kekayaan. Definisi dalam arti sempit ini jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan (kesepakatan) antara pihak yang satu (kreditor) dan pihak yang lain (debitor), untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk)sebagai objek perjanjian.Objek tersebut dibidang harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.Perjanjian perkawinan misalnya, tidak dapat dinilai dengan uang karena bukan hubungan mengenai suatu hal yang bersifat kebendaan, melainkan
15
mengenai hal yang bersifat keorangan (persoonlijk) antara suami dan istri di bidang moral. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditor atau seseorang berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitor atau seseorang berhutang.Hubungan antara dua orang atau dua pihak ini dinamakan hubungan hukum yang berarti bahwa hak kreditor itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela kreditor dapat menuntutnya di depan hakim. Konstruksi dan akibat hukum diartikan bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian, tidak hanya pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi berdasarkan perjanjian tersebut, yang harus mengetahui secara pasti setiap konsekuensi dari pembuatan perjanjian, melainkan juga pihak yang berhak atas pemenuhan prestasi, juga wajib mengetahui secara pasti kapan dan bagaimana suatu perjanjian yang telah dibuatnya tersebut dapat dipaksakan pelaksanaan prestasinya. Definisi secara teliti, menurut Abdulkadir Muhammad (2010: 290-291) konsep perjanjian dalam arti sempit dalam bidang harta kekayaan memuat unsurunsur sebagai berikut : a. Subjek perjanjian, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian; b. Persetujuan tetap, yaitu kesempatan final antara para pihak; c. Objek perjanjian, yaitu berupa benda tertentu sebagai prestasi; d. Tujuan perjanjian, yaitu hak kebendaan yang akan diperoleh para pihak; e. Bentuk perjanjian, yaitu dapat secara lisan atau secara tertulis; f. Syarat-syarat perjanjian, yaitu isi perjanjian wajib dipenuhi para pihak. Sedangkan pengertian perjanjian menurut para ahli adalah sebagai berikut: 1. Menurut Sri Soedewi Masjehoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. 2. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
16
3. A.Qirom Samsudin Meliala bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana seseorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (Griswanti Lena, 2005: 87). 4. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa, seorang berjanji kepada seseorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (Subekti, 1996: 1). Suatu peristiwa yang dimaksud diatas, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.Perjanjian itu menerbitkan perikatan antara dua orang yang membuatnya.Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping terdapat sumber-sumber lain. Perjanjian merupakan sumber perikatan yang terpenting. Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,2010: 1). Perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.Kita tidak dapat melihat
dengan
mata
kepala
kita
suatu
perikatan.Kita
hanya
dapat
membayangkannya dalam pikiran kita.Tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya. Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya, perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Perikatan yang lahir dari perjanjian juga banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas oleh para legislator, para praktisi hukum, serta juga para cendekiawan hukum, menjadi aturan-aturan hukum positif yang tertulis, yurisprudensi dan doktrin-doktrin hukum yang dapat kita temui dari waktu ke waktu. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut 17
pelaksanaan
prestasi
dalam
perikatan
yang
lahir
dari
perjanjian
tersebut.Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut (Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2010: 91). Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan terdapat dalam ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian melahirkan perikatan. Rumusan yang demikian KUHPerdata hendak menyatakan bahwa di luar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan.Dapat diartikan bahwa perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Pihak yang mengadakan perjanjian dalam membuat perjanjian, secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap pihak lain telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Menggunakan sifat yang sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,2010: 2). b. Jenis-jenis Perjanjian Perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad (2000 : 227) dapat dibedakan yaitu : 1) Perjanjian timbal balik dan sepihak Perbedaan jenis ini berdasarkan kewajiban berprestasi.Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah, hadiah. 18
2) Perjanjian bernama dan tak bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan, pengangkutan, melakukan pekerjaan dan lain-lain. KUHPerdata mengaturnya dalam title V s/d XVIII dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan. Definisi perjanjian innominat atau tidak bernama dapat dilihat unsur-unsur dari perjanjian tersebut adalah : (a) Perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata; (b) Perjanjian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat; (c) Berdasarkan asas kebebasan berkontrak.; 3) Perjanjian obligatoir dan kebendaan Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban misalnya dalam jual beli, sejak terjadi konsensus mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan pembeli wajib membayar harga, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berhak atas benda yang dibeli. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual beli, hibah, tukar menukar.Sedangkan dalam perjanjian lainnya hanya memindahkan penguasaan atas benda (bezit) misalnya sewa menyewa, pinjam pakai, gadai. 4) Perjanjian kosensual dan riil Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadinya itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja bagi pihak-pihak.Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan relisasi hak dan kewajiban tersebut. Perjanjian riil adalah perjanjian yang terjadinya itu sekaligus realisasi tujuan perjanjian yaitu pemindahan hak. Hukum adat di dalamnya mengartikan bahwa, perjanjian riil justru yang lebih menonjol sesuai sifat hukum adat bahwa setiap perjanjian yang objeknya benda tertentu, seketika itu juga terjadi peralihan hak, ini disebut kontan (tunai). Adapun pendapat lain menganai jenis-jenis perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu : 19
1) Perjanjian menurut sumbernya (Sudikno Mertokusumo, 1986: 11) a) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga; b) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda; c) Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban; d) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara; e) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik. 2) Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi (Salim HS, 2003:19-20) : a) Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak; b) Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja, sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak. 3) Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain, dibedakan menjadi (Salim HS, 2003: 20) : a) Perjanjiancuma-cuma,adalah
perjanjian
yang
hanya
memberikan keuntungan pada salah satu pihak; b) Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra presatsi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 4) Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjanjian khusus atau bernama atau nominaat dan perjanjian umum atau tidak bernama atau innominaat atau perjanjian jenis baru (Pasal 1319 KUHPerdata) (Salim HS, 2003:18): a) Perjanjian khusus atau bernama atau nominaat adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata (Djaja S. Meliala, 2007: 88). b) Perjanjian umum atau tidak bernama atau innominaat atau perjanjian jenis baru adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan
20
perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan (Salim HS, 2003: 4 dan 17) 5) Perjanjian menurut bentuknya ada dua macam yaitu perjanjian lisan atau tidak tertulis dan perjanjian tertulis. Termasuk perjanjian lisan adalah : a) Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian bersangkutan. b) Perjanjian riil adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis yaitu : a) Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak olek produsen atau kreditor,
serta
bersifat
missal,
tanpa
mempertimbangkan
perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen atau debitor (Djaja S.Meliala, 2007: 90). b) Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu (R.Subekti, 1987: 16). 6) Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Yang termasuk dalam perjanjian yang istimewa sifatnya adalah : a) Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada; b) Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka; c) Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 KUHPerdata); d) Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah). 7) Perjanjian campuran atau contractus sui generis (Pasal 1601 C KUHPerdata). Di dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tidak 21
dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. (Djaja S.Meliala, 2007: 89) 8) Perjanjian penanggungan (borgtocht). Adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentinagn kreditor mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor tidak memenuhi perikatannya (Pasal1820 KUHPerdata) (Djaja S.Meliala, 2007: 90). 9) Perjanjian Garansi (Pasal 1316 KUHPerdata) dan Derden Beding (Pasal 1317 KUHPerdata) a) Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar perjanjian (bukan pihak dalam perjanjian yang bersangkutan) akan
melakukan sesuatu (atau tidak akan
melakukan sesuatu) dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi kewajibannya, maka ia akan bertanggung jawab untuk itu (J. Satrio,1995 : 97). b) Derden Beding (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata) dan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihk ketiga (Pasal 1317 KUHPerdata). 10) Perjanjian menurut sifatnya, dibedakan menjadi dua yaitu : a) Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang utama. b) Perjanjian accessoir, yaitu perjanjian tambahanyang mengikuti perjanjian utama atau pokok. Sedangkan penggolongan yang lain adalah didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya kewajiban tersebut : a) Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik. b) Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain. 22
c. Asas-asas Perjanjian Asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2010 :140) adalah 1) Asas kebebasan berkontrak Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun betuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.Ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Menurut perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggungjawab). Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka.Pasal-pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena pasal 1320 KUHPerdata bersifat memaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila para phak tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka para pihak mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hal ini, Buku III KUHPerdata. Jika dipahami secara seksama menurut Handri Raharjo (2009: 44) maka asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : a) Membuat atau tidak membuat perjanjian; b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d) Menentukan bentuk perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan. Bahwa
pada
dasarnya
semua
perjanjian
dapat
dibuat
dan
diselenggarakan oleh setiap orang.Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.
23
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang begi mereka yang membuatnya (Salim H.S,2014: 9). 2) Asas Iktikad baik Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata).Iktikad baik menurut Abdulkadir Muhammad, 2010: 45) ada dua yaitu : a) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. b) Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin sesorang. Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditor dan debitor harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.Asas iktikad baik menurut Salim H.S (2014: 11) dibagi menjadi dua yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak.Iktikad baik nisbi merupakan iktikad yang dilihat pada orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Iktikad baik mutlak merupakan iktikad yang dilihat dari penilainnya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 3) Asas Pacta Sunt Servanda Asas yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata ini, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pengertian tersebut merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan.Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja,atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannnya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme
24
dan jalur hukum yang berlaku (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010: 59). Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak (Salim H.S, 2014: 10). 4) Asas konsensualisme Pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah
orang-orang tersebut
mencapai
kesepakatan
atau
konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 KUHPerdata).Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak (Handri Rahrjo, 2009: 44). Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas ini dapat ditemui dalam rumusan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian yang yaitu : ‘ a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c) Suatu pokok persoalan tertentu; d) Suatu sebab yang tidak terlarang. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak (Salim H.S, 2014: 10). 5) Asas Keseimbangan Asas keseimbangan adalah asas yang dikehendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.Kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun debitor memikul pula kewajiban 25
untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik (Salim H.S, 2014: 13). 6) Asas Proporsionalitas Asas
proporsionalitas
merupakan
asas
yang
diangkat
dan
dikembangkan dari pola pikir hukum adat yang berlandaskan pada gotong royong, tolong menolong, dan kekeluargaan. Menurut Agus Yudha Hernoko mengemukakan yang pada intinya bahwa dalam kontrak komersial harus menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan dengan adanya pertukaran hak dan kewajiban secara fair (proporsional). Selain itu, ia juga menegaskan bahwa untuk mencari makna azas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofi keadilan.Seperti menurut Aristoteles, menyatakan bahwa: “justice consist in treating equals equally and unequals unequally, in propotion to their inequality”. (Prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional). Dan Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai berikut: “Keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masingmasing apa yang menjadi haknya ‘to give everybody his own’”. Sedangkan John Rawls memberikan kriteria pembagian proporsional yang menekan pada prinsip hak yang berlandaskan rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Akan tetapi Atijah memberikan landasan-landasan pemikiran mengenai asas proporsionalitas dalam kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil dalam dunia bisnis, bahwa transaksi para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in what they want. Sejalan dengan pendapat di atas, Peter Mahmud Marzuki menyebut istilah proporsionalitas dengan istilah ‘equitability contract’ dengan unsurjustice dan fairness.
Makna
‘equitability’
menunjukkan
suatu
hubungan yang setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan adil (fair). Merujuk pada asas aequitas praestasionis, yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium yaitu kepantasan menurut hukum. Menurutnya bahwa tidak dapat disangkal lagi kesamaan para pihak tidak pernah ada dan sebaliknya, para pihak yang masuk ke dalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama, akan tetapi 26
ketidaksamaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain, dalam situasi inilah asas proporsionalitas bermakna eqitability. Ahmad Miru dalam disertasinya menyatakan bahwa, Keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat dicapai denganmeningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen lebih kuat dibandingkan konsumen. Dengan demikian, dapat asas keseimbangan dapat diartikan sebagai keseimbangan posisi para pihak. d. Syarat-syarat sah Perjanjian Perjanjian sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dan mengikat diakui dan memiliki akibat hukum (legally concluded contract). Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, setiap perjanjian selalu memiliki empat unsur dan pada setiap unsur melekat syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, empat syarat tersebut adalah : 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Unsur subjek, minimal ada dua pihak dalam perjanjian yang mengadakan persetujuan kehendak (ijab qabul) antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Kedua pihak dalam perjanjian harus memenuhi syarat-syarat keabsahan menyatakan kehendak, tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan satu sama lain. Persetujuan kehendak adalah persepakatan seia sekata antara pihak-pihak mengenal pokok (esensi) perjanjian.Apa yang dikehendaki oleh pihakyang satu juga dihendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan atau kesepakatan itu sifatnya sudah final, tidak lagi dalam tawar menawar. Menurut yurisprudensi (Arrest Hoge Raad 6 Mei 1926), persetujuan kehendak atau kesepakatan itu ternyata dapat dari tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan lalu lintas masyarakat dan kepercayaan, yang diakui oleh pihak lainnya, baik secara lisan maupun secara tertulis, misalnya telegram dan surat (Abdulkadir Muhammad, 2010: 300). 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Unsur perbuatan (kewenangan berbuat), setiap pihak dalam perjanjian wenang melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang. Para pihak yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu sudah dewas, artinya sudah berumur 21 Tahun penuh, walaupun belum 21 Tahun penuh, tetapi 27
sudah pernah kawin, sehat akal (tidak gila), tidak dibawah pengampuan, dan memiliki surat kuasa apabila mewakili pihak lain. Pada umumnya orang dikatakan wenang atau cakap melakukan perbuatan hukum apabila pihak sudah dewasa.Artinya, sudah mencapai umur 21 Tahun penuh atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 Tahun penuh.Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan orang yang sakit ingatan (gila).Apabila melakukan perbuatan hukum, mereka harus diwakili oleh wakil mereka (Abdulkadir Muhammad, 2010: 302). 3) Suatu pokok persoalan tertentu Unsur objek (prestasi) tertentu dapat ditentukan berupa memberikan suatu benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan tertentu.Suatu objek tertentu atau prestasi tertentu merupakan objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi.Prestasi
itu
harus
tertentu
atau
sekurang-kurangnya
dapat
ditentukan.Kejelasan mengenai objek perjanjian adalah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak.Jika objek perjanjian atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan, perjanjian itu batal (nietig, vold). Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, objek perjanjian atau prestasi yang wajib dipenuhi pihak-pihak itu dapat berupa memberikan benda tertentu, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud (Abdulkadir Muhammad, 2010: 302). 4) Suatu sebab yang tidak terlarang Unsur tujuan yaitu sesuatu yang ingin dicapai para pihak itu harus memenuhi syarat halal. Tujuan perjanjian yang akan dicapai para pihak sifatnya
harus
halal.
Artinya,
tidak
dilarang
undang-undang,
tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat (Pasal 1337 KUHPerdata). Kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukan sebab yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan isi perjanjian itu sendiri menjadi tujuan yang akan dicapai para pihak. Undang-undang tidak memedulikan apa yang menjadi sebab para pihak mengadakan perjanjian, tetapi yang diawasi oleh undang28
undang adalah isi perjanjian sebagai tujuan yang hendak dicapai para pihak tersebut (Abdulkadir Muhammad, 2010: 303). Keempat syarat tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan oleh Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2010: 93) ke dalam : 1) Dua unsur yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif) dan 2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif) Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang
berjanji
dan
kecakapan
dari
pihak-pihak
yang
melaksanakan
perjanjian.Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan, dan klausa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuai yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.Tidak terpenuhinya salah satu syarat dari ke empat syarat tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap syarat subjektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif) dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. e. Akibat Hukum Perjanjian yang Sah Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. 1) Berlaku sebagai undang-undangbagi para pihak Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, para pihak dianggap sama dengan melanggar undang-undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum.
29
2) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak Karena perjanjian itu adalah persetujuan kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak pula. Tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undangundang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. Alasan-alasan yang diterapkan oleh undang-undang itu adalah sebagai berikut : a) Perjanjian bersifat terus-menerus, berlakunya dapat dihentikan secara sepihak. Misalnya Pasal 1571 KUHPerdata tentang sewa menyewa yang
dibuat
secara
tidak
tertulis
dapat
dihentikan
dengan
pemberitahuan kepada penyewa b) Perjanjian sewa suatu rumah Pasal 1587 KUHPerdata setelah berakhir waktu sewa seperti ditentukan dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah tersebut. Tanpa ada tegoran dari pemilik yang menyewakan, maka penyewa dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar sewa menyewa dengan syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan menurut kebiasaan setempat. Jika pemilik ingin menghentikan sewa menyewa tersebut pemilik harus memberitahukan kepada penyewa menurut kebiasaan setempat. c) Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving), Pasal 1814 KUHPerdata, pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya apabila pemberi kuasa menghendakinya d) Pasal 1817 KUHPerdata, penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya dengan memberitahukan penghentian kepada pemberi kuasa. 3) Harus dilaksanakan dengan iktikad baik Yang dimaksud dengan iktikad baik (te goerder trouw in good faith) dalam Pasal 1338 KUHPerdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apabila pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesususilaan, maka pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan sesuai apa yang diperjanjikan. Orang dapat mengatakan bahwa suatu pernyataan adalah suatu penawaran apabila hal itu sampai pada orang yang diberikan penawaran, sedang pernyataan itu sendiri haruslah diartikan sebagai suatu tanda yang 30
dapat diketahui dan dimengerti oleh lawan janjinya.Konsekuensinya, jika terjadi karena penawaran itu diterima secara keliru, ada ekseptasi yang menyimpang dari penawarannya maka pada dasarnya tidak lahir perjanjian (J.Satrio, 1995: 164). J. Satrio menyebutkan ada beberapa cara untuk mengemukakan kehendak tersebut, yakni secara tegas, tertulis, dengan tanda, dan diam-diam. Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang yaitu adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan adanya penipuan (bedrog), dan dalam perkembangan lebih lanjut, dikenal pula cacat kehendak yang lain yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandingheden)(RM Pangabean.Jurnal Hukum No.4 Vol.17. 2010: 656). f. Pengertian Perjanjian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere)yang berarti kepercayaan (truth atau faith) sehingga dasar dari kredit ialah kepercayaan. Kredit mengandung pengertian adanya suatu kepercayaan diri seseorang atau badan yang diberikan kepada seseorang atau badan lainnya yaitu bahwa yang bersangkutan pada masa yang akan datang memenuhi segala sesuatu kewajiban yang telah diperjanjikan terlebih dahulu (Firdaus dan Maya Ariyanti, 2009: 1). Perjanjian kredit merupakan perikatan antara dua pihak atau lebih yang menggunakan uang sebagai objek dari perjanjian, jadi dalam perjanjian kredit ini titik beratnya adalah pemenuhan prestasi antara pihak yang menggunakan uang sebagai objek atau sesuatu yang dipersamakan dengan uang. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil.Sebagaimana perjanjian pokok lainnya, maka perjanjian jaminan adalah accessoir-nya.Ada atau berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil adalah bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah kreditor (Hermansyah, 2006 : 71) Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang sangat khusus baik oleh bank sebagai kreditor maupun oleh nasabah sebagai debitor, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: 1) Perjanjian kredit berfungi sebagai perjanjian pokok; 31
2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak diantara kreditor dan debitor; 3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit (Hermansyah, 2006 : 72). g. Bentuk Perjanjian Kredit Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata.Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekatnya pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya.Sekarng ini dalam dunia modern yang komplek, perjanjian lisan tentu sudah dapat disarankan untuk tidak digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di kemudian hari.Untuk itu setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit sebagai alat bukti, dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perbankan. Pasal ini terdapat kata-kata penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis, namun dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi, teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuktian tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan bahwa dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitor atau antara bank sentral dan bank-bank lainnya. h. Prestasi, Wanprestasi dan Ganti Kerugian Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan dan objek perikatan (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 201). Kewajiban memenuhi prestasi
hukum
perdata
selalu
disertai
32
dengan
jaminan
harta
kekayaan
debitor.Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata ada tiga kemungkinan wujud prestasi yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu . Pengertian memberikan sesuatu yang terdapat dalam Pasal 1235 KUHPerdata merupakan menyerahkan kekuasaan yang nyata atau sesuatu benda dari debitor kepada kreditor.Perikatan yang objeknya berbuat sesuatu, debitor wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan.Dalam melakukan perbuatan itu
debitor
harus
bertanggungjawab
mematuhi
atas
semua
perbuatannya
ketentuan
yang
tidak
dalam sesuai
perikatan.Debitor dengan
ketentuan
perikatan.Dalam perikatan yang objeknya tidak berbuat sesuatu, debitor tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan. Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitor, maka perlu diketahui sifat-sifatatnya, yaitu (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 202-203) : 1) Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Hal ini memungkinkan debitor memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan mengakibatkan perikatan batal; 2) Harus mungkin, artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor secara wajar dengan segala usahanya. Jika tidak demikian perikatan batal; 3) Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak betentangan dengan kepentingan umum. Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal; 4) Harus ada manfaat bagi kreditor, artinya kreditor dapat menggunkan, menikmati dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan; 5) Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi itu berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali mengakibatkan dapat mengakibatkan pembatalan perikatan. Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah keharusan bagi debitor membayar ganti rugi (scardevegoiding).Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian. Seperti yang dapat kita lihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei 1973 No 70HK/Sip.1972 : apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual beli (M.Yahya Harahap,1984 :60-61). Sebab dengan tindakan debitor dalam melaksanakan kewajiban tidak tepat waktu atau tidak layak, jelas merupakan 33
pelanggaran hak kreditor. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad. Memang hampir serupa onrechtmatige daad dengan wanprestasi. Itu sebabnya dapat dikatakan, wanprestasi merupakan genus spesifik dari onrechtmatige daad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Oleh karena itu sebagaimana juga hanya dalam onrechtmatige daad maka dalam wanprestasi juga demikian halnya. Wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditor, akan hilang atau terhapus atas dasar alasan overmacht atau keadaan memaksa. Jika ketidak tepatan waktu pelaksanaan atau terdapat kekurangan sempurnaan pelaksanaan prestasi yang merugikan kreditor terjadi diluar perhitungan debitor, dalam hal seperti ini wanprestasi tidak melekat.Tidak ada dalam hal ini perbuatan melawan hukum.Kekurang tepatan waktu dan kekurang patutan yang dapat dipakai sebagai wanprestasi adalah jika timbul oleh keadaan-keadaan yang benarbenar dapat diperkirakan oleh debitor. Namun untuk membenarkan keadaan di luar perkiraannya itu, debitor harus membuktikan akan adanya keadaan memaksa di luar perhitungan dan kemampuannya (M.Yahya Harahap, 1986: 61). Wanprestasi berasal dari perkataan Belanda yang berarti suatu keadaan yang menunjukan debitor tidak berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat dipersalahkan. Ada tiga unsur yang menentukan kesalahan yaitu perbuatan yang dilakukan debitor dapat disesalkan kreditor, debitor dapat menduga akibatnya, dan debitor dalam keadaan cakap berbuat (Hendri Raharjo, 2009 :79). Sehingga dapat dikatakan wanprestasi apabila debitor atau kreditor tidak melakukan prestasi yang diatas dan jika dalam perjanjian mencantumkan tenggangwaktu pelaksanaan prestasi maka debitor dianggap wanprestasi bila telah melewati tenggang waktu tersebut debitor belum juga melaksanakan prestasinya (Hendri Raharjo, 2009 :80). Ada empat macam bentuk dari wanprestasi menurut Hendri Rahrjo (2009, 80) yaitu : 1) Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat lagi atau tidak dapat diperbaiki; 2) Terlambat memenuhi prestasi; 3) Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya; 4) Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 34
Ada bebarapa akibat yang dapat ditimbulkan dari suatu keadaan wanprestasi yaitu: 1) Bagi debitor a) Mengganti kerugian; b) Objek perjanjian menjadi tanggungjawab debitor. 2) Bagi kreditor (Pasal 1267 KUHPerdata) yaitu kreditor dapat menuntut : a) Pemenuhan perikatan; b) Ganti kerugian (Pasal 1243-1252 KUHPerdata). Adalah akibat hukum yang ditanggung debitor yang tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) yang berupa memberikan atau mengganti: (1) Biaya yaitu segala pengeluaran atau ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan kreditor; (2) Rugi yaitu segala akibat negatif yang menimpa akibat kelalaian debitor atau kerugian nyata yang dapat atau diperoleh pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. (3) Bunga yaitu keuntungan yang diharapkan namun tidak diperoleh kreditor. 3) Pembatalan perikatan Berlaku asas syarat batal (Pasal 1266 KUHPerdata) apabila salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik tidak memenuhi kewajibannya maka pihak lainnya pun tidak terlalu perlu memenuhi prestasi. Tiga syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya pembatalan perjanjian adalah : a) Perjanjian harus timbal balik; b) Harus ada wanprestasi; c) Harus ada putusan hakim. 4)
Pemenuhan perikatan danganti kerugian;
5)
Peralihan risiko;
6)
Bayar biaya perkara (bila sampai ke pengadilan) Ada dua sebab timbulnya ganti rugi yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum.Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam buku III KUHPerdata, yang dimulai dari Pasal 1246 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata.Sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya.Ganti rugi itu timbul 35
karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitor yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditor kepada debitor yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara krditor dengan debitor ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditor kepada debitor adalah sebagai berikut : a) Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya kerugian; b) Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUHPerdata), ini ditujukan kepada bunga-bunga (Salim HS,2014 :101). Arti dari biaya-biaya (ongkos-ongkos), yaitu ongkos yang telah dikeluarkan oleh kreditor untuk mengurus objek perjanjian.Kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian. Sedangkan bunga-bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditor. Pengganti biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.Pasal 1249 KUHPerdata ditentukan bahwa penggantian kerugian dapat disebabkan wanprestasi
hanya
ditentukan
dalam
bentuk
uang.Namun,
dalam
perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ganti rugi material dan ganti rugi inmaterial.Kerugian material adalah suatu kerugian yang diderita kreditor dalam bentuk uang atau kekayaan atau benda. Sedangkan kerugian yang inmaterial adalah suatu kerugian yang diderita oleh kreditor yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat dan lain-lain (Salim H.S, 2014: 101) i. Overmacht dan Risiko Overmacht ialah suatu keadaan yang memaksa.Overmacht menjadi landasan hukum yang memaafkan kesalahan seseorang debitor.Peristiwa overmachtmencegah debitor menanggung akibat dan risiko perjanjian.Itulah sebabnya overmacht merupakan penyimpangan dari asas hukum.Ketentuan tentang overmacht dapat dilihat
dan
dibaca
dalam
Pasal
1244
KUHPerdata
dan
Pasal
1245
KUHPerdata.Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitor untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada kreditor, oleh karena suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya.Ada tiga hal yang menyebabkan debitor tidak melakukan penggantian biaya kerugian dan bunga yaitu adanya suatu 36
hal yang tak terduga sebelumnya, atauterjadinya secara kebetulan, dan atau keadaan memaksa. Diartikan dengan keadaan memaksa merupakan suatu keadaan debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditor, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu Keadaan memaksa absolut dan Keadaan memaksa relatif (Salim H.S 2, 2014: 102). Menurut Salim HS ada tiga akibat keadaan memaksa yaitu : a) Debitor tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata; b) Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara; c) Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUHPerdata . Teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicooler (ajaran tentang risiko).Resicooler adalah suatu ajaran, yaitu seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian, jika atas sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian (Salim HS, 2014 :103). Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht).Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian, salah satu pihak aktif melakukan prestasi sedangkan pihak lainnya pasif.Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya.Ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata telah dicabut berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun penerapannya harus memperhatikan pada letak dan tempat beradanya barang itu dan pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut (Salim HS, 2014 :104). Perjanjian tukar menukar, risiko tentang musnahnya barang di luar kesalahan pemilik, persetujuan dianggap gugur dan pihak yang telah memenuhi persetujuan dapat menuntut pengembalian barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPerdata). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli risiko musnahnya barang menjadi tanggungjawab pembeli, sedangkan dalam perjanjian tukar menukar, perjanjian menjadi gugur (Salim H.S, 2014 : 104).
37
Menurut asas hukum setiap kelalaian dan keingkaran mengakibatkan pelaku wajib mengganti kerugian serta memikul segala risiko akibat kelalaian dan keingkaran.Akan tatapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang menimbulkan kerugian terjadi karena overmacht; debitor dibebaskan menanggung kerugian yang terjadi. Ini berarti, apabila debitor tidak melaksanan pemenuhan perjanjian yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi pihak kreditor, akan tetapi hal itu bukan oleh karena kesalahan perbuatan debitor. Kerugian terjadi semata-mata oleh keadaan atau peristiwa di luar kemampuan perhitungan debitor, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi dasar hukum yang melepaskan debitor dari kewajiban mengganti kerugian (schadevergeoding). Dengan kata laindebitor bebas atau lepas dari kewajiban membayar ganti rugi, apabila dia berada dalam keadaan overmacht, dan overmacht itu menghalangi atau merintangi debitor melaksanakan pemenuhan prestasi. Keadaan atau peristiwa yang dapat merintangi atau menghalangi diri pribadi krditor melaksanakan pemenuhan prestasiyaitu : 1) Jatuh miskin Jatuh miskin adalah rintangan yang menimpa diri pribadi debitor, akan tetapi bukan sebab luar yang mengenai langsung terhadap prestasi. Oleh karena itu sesuai dengan ketentuan undang-undang jatuh miskin tidak dapat dipergunakan menjadi alasan overmacht. 2) Jatuh sakit Jatuh sakit adalah keadaan yang menyangkut diri pribadi debitor.Dengan sakitnya sebitor bisa saja hal itu menjadi penghalang yang sangat tidak memungkinkan dia melakukan prestasi perjanjian.Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1244 KUHPerdata dan 1245 KUHPerdata; secara umum keadaan sakit tidak dapat dianggap alasan yang menghalangi pemenuhan perjanjian.Bahwa dalam keadaan sakit seseorang masih mampu dan berwenang mengangkat kuasa yang mewakili dia melaksanakan urusan hak, kewajiban dan tanggungjawab. 3) Keadaan yang membahayakan keselamatan jiwa, kesehatan, kemerdekaan dan kehormatan martabat. Semua keadaan-keadaan ini jelas merupakan keadaan yang berada dan menyangkut diri pribadi, bukan keadaan yang menyangkut langsung terhadap prestasi. Pada dasarnya ditinjau dari segi ketentuan undang-undang keadaan yang 38
mengancam keselamatan jiwa, kebebasan dan kehormatan diri, hampir sama dengan keadaan jatuh sakit dan jatuh miskin. Akan tetapi beralasan sekali untuk membedakan keadaan keselamatan jiwa dengan keadaan jatuh sakit dan jatuh miskin. Karena pada keadaan yang mengancam keselamatan jiwa misalnya, dapat kita lihat kerugian yang lebih besar dari manfaat yang akan dicapai.Artinya prestasi dapat dilaksanakan dengan imbalan pengorbanan jiwa debitor atau tidak.Oleh karena itu, keadaan-keadaan ini pada umumnya dapat dipergunakan dasar alasan overmacht, tanpa menghilangkan kemungkinan melihatnya dalam kenyataan secara kasus per kasus. Ada dua hal yang menjadi akibat overmacht, yaitu : 1) Pembebasan debitor membayar ganti rugi atau schadevergoeding 2) Membebaskan debitor dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi. Tetapi, perbedaan yang tersimpul pada kedua akbat overmacht tersebut adalah : 1) Pada akibat pembebasan membayar ganti rugi, hak kreditor untuk menuntut gugur untuk selama-lamanya. Jadi pembebasan ganti rugi sebagai akibat overmacht adalah pembebasan mutlak. 2) Sedangkan
pembebasan
pemenuhan
atau
nakoming
sifatnya
relatif.
Pembebasan itu pada umumnya hanya bersifat menunda saja, selama keadaan overmacht masih menghalangi atau merintangi debitor melakukan pemenuhan prestasi. Bila overmacht hilang, kreditor kembali dapat menuntut pemenuhan pretasi. Pemenuhan prestasi tidak gugur untuk selama-lamanya. Hanya tertunda, sementara overmacht masih ada. Dalam overmacht risiko dapat juga menjadi beban debitor, pada kejadian overmacht umumnya dan lazimnya debitor bebas dari risiko membayar ganti kerugian.Namun demikian dalam hal-hal tertentu terdapat beberapa pengecualian. Yakni sekalipun terjadi overmacht, risiko overmacht menjadi beban yang harus dipikul oleh debitor : 1) Oleh karena ketentuan undang-undang antara lain seperti yang tersebut dalam: Pasal 1613 KUHPerdata menyatakan bahwa pemborong atau debitor bertanggungjawab
atas
segala perbuatan
para pekerja dalam
suatu
pemborongan.Demikian juga Pasal 1803 KUHPerdata, menyatakan bahwa kuasa bertanggungjawab sepenuhnya atas perbuatan kuasa substitusi tidak setahu dan atas persetujuan pemberian kuasa.
39
2) Atas kekuatan persetujuan yang disebutkan secara tegas dalam perjanjian. Dibenarkan para pihak menentukan dalam perjanjian bahwa debitor akan memikul risiko perjanjian sekalipun terjadi overmacht. 3) Atas kekuatan kelaziman, jika menurut kebiasaan risiko dalam hal-hal perjanjian seperti itu selalu dibebankan kepada debitor sekalipun terjadi overmacht. 4) Risiko tetap berada pada pihak debitor, jika pada saat perjanjian diperbuat oleh debitor sendiri sudah memperkirakan akan terjadinya. hal ini sesuai dengan rasio
yang
terkandung
pada
Pasal
1244
KUHPerdata
dan
Pasal
1245KUHPerdata, yang menetapkan, bahwa overmacht ialah suatu keadaan tiba-tiba atau sesuatu keadaan yang tak dapat diperkirakan atau diramalkan. Kalau demikian, maka sebaliknya jika debitor telah mengetahui dan menyadari atau telah memperhitungkan akan terjadi overmachtpada saat membuat perjanjian, sekalipun dia telah menyadari hal itu, dia tetap bersedia mengikat diri dalam perjanjian yang demikian, berarti sejak semula debitor sudah rela hati memikul risiko kerugian yang diakibatkan overmacht tersebut (Yahya Harahap,1986: 90-91). j. Berakhirnya atau Hapusnya Perjanjian Menurut ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu : 1) Pembayaran Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. 2) Penawaran pembayaran tunai yang diikuti penitipan (konsignasi) Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantara-perantara notaris atau juru sita, kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan pembayaran itu kepada penitera pengadilan negeri untuk disimpan, dengan demikian perikatan menjadi hapus (Pasal 1404 KUHPerdata). 3) Pembaruan hutang (novasi) Pembaruan hutang terjadi dengan cara mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitor lama dan debitor baru, dan kreditor lama dengan kreditor baru.
40
4) Perjumpaan hutang (kompensasi) Dikatakan perjumpaan hutang apabila hutang piutang debitor dan kreditor secara timbal balik dilakukan perhitungan.Dengan perhitungan itu hutang piutang lama lenyap. 5) Percampuran hutang Menurut ketentuan Pasal 1436 KUHPerdata, percampuran hutang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan.Percampuran hutang tersebut terjadi demi hukum.Pada percampuran hutang ini hutang piutang menjadi lenyap. 6) Pembebasan hutang Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan.Dengan pembebasan ini perikatan menjadi hapus. 7) Musnahnya benda yang terhutang Menurut Pasal 1444 KUHPerdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang bukan karena kesalahan debitor dan sebelum dia lalai menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatannya menjadi hapus (lenyap). 8) Karena pembatalan Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif, artinya salah satu pihak belum dewasa atau tidak wewenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi dapat dibatalkan. Perikatan yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan negeri. 9) Berlaku syarat batal Syarat batal yang dimaksud di sini adalah ketentuan isi perikatan yang disetuji oleh kedua belah pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal sehingga perikatan menjadi hapus.Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat.Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. 10) Lampau waktu (daluwarsa) Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, lampau waktu adalah alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu 41
dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Atas dasar ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau waktu, yaitu : a) Lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu benda disebut acquisyieve verjaring. b) Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan disebut extinctieve verjaring. 2. Tinjauan tentang Jaminan Fidusia a. Pengertian Jaminan Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheudesstelling atau security of law. Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Lembaga Hipotik dan Jaminan lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan, meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan (Salim H.S, 2011 : 5). Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, mengemukakan bahwa hukum jaminan ialah mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan bendabenda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit karena dengan jumlah besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah (dalam Salim H.S, 2011: 5-6) J. Satrio mengartikan hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap debitor (dalam Salim H.S, 2011: 6).Hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkaan fasilitas kredit (Salim H.S, 2011 : 6). Jaminan dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku di luar negeri. Terdapat dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan ditentukan bahwa bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan. Menurut Salim H.S (2011 : 23) jaminan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Jaminan material (kebendaan) Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan
42
mengikuti benda yang bersangkutan. Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi lima macam yaitu : a) Gadai (pand), yang diatur di dalam bab 20 Buku II KUHPerdata; b) Hipotik, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUHPerdata; c) Creditverband, yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb 1937 Nomor 190; d) Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996; e) Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur dalamUndang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. 2) Jaminan immaterial (perorangan) Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Yang termasuk dalam jaminan perorangan adalah 1) Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih; 2) Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; 3) Perjanjian garansi. b. Pengertian dan sifat Jaminan Fidusia Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan.Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan (hukum) antara debitor (pemberi fidusia) dan kreditor (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan.Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya
penerima
fidusia
percaya
bahwa
pemberi
fidusia
tidak
akan
menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. Pasal 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan batasan dan pengertian sebagai berikut (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001 : 122-123) : 1) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemiliknya benda; 2) Jaminan fidusia adalah jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususunya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang43
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya; 3) Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran; 4) Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar, maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik; 5) Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia; 6) Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia; 7) Hutang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontijen; 8) Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang; 9) Debitor adalah pihak yang mempunyai hutang karena perjanjian atau undangundang; 10) Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Definisi yang diberikan tersebut jelas bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia, fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan fidusia diatur dalam UUJF adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam fiducia cum creditore contracta yaitu janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditor sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikannya tersebut kepada debitor apabila hutangnya sudah dibayar lunas. Fidusiaharus tegas dilembagakan, berdasarkan hukum atau dengan kehendak para pihak, tidak seperti di umum sistem hukum, di mana kepercayaan dapat dibentuk oleh hakim (Luminita Gheorghe, Perspectives of Business Law Journal Volume 3, Issue 1, November 2014).
44
Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik, atau hak tanggungan, maka perjanjian fidusia juga merupakan suatu perjanjian accessoir (perjanjian tambahan atau ikutan).Maksudnya adalah suatu perjanjian accessoir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengukiti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok.Dalam hal ini, yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang. Konsekuensi dari perjanjian accessoir ini adalah bahwa jika perjanjian pokok tidak sah, atau karena sebab apapun hilang berlakunya atau dinyatakan tidak berlaku, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian accessoir juga ikut menjadi batal. Menurut hukum, semua perjanjian jaminan hutang merupakan perjanjian accessoir (Munir Fuady, 2003: 19) sebagai berikut : 1) Perjanjian fidusia; 2) Perjanjian gadai; 3) Perjanjian hipotik; 4) Perjanjian hak tanggungan; 5) Perjanjian jaminan pribadi; 6) Perjanjian jaminan perusahaan; 7) Perjanjian cessie piutang. c. Dasar Hukum Jaminan Fidusia Perkembangan yurisprudensi dan peraturan perundang-undangan, yang menjadi dasar hukum jaminan fidusia adalah sebagai berikut : 1) Arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 tentang Bierbrouwrij Arrest (Negeri Belanda) 2) Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 tentang BPM-Clynet Arrest (Indonesia) 3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 terdiri atas 8 bab dan 41 pasal. Halhal yang di atur dalam undang-undang ini meliputi hal berikut ini : a) Ketentuan umum (Pasal 1) Pasal
ini
diatur
tentang
pengertian
fidusia,
jaminan
fidusia,
piutang,benda,pemberi fidusia, penerima fidusia, hutang kreditor, debitor; b) Ruang lingkup (Pasal 2 sampai Pasal 3) c) Pembebanan, pendaftaran,pengalihan dan hapusnya jaminan fidusia (Pasal 4 sampai Pasal 26); 45
d) Hak mendahului (Pasal 27 sampai Pasal 28); e) Eksekusi jaminan fidusia (Pasal 29 sampai Pasal 34); f) Ketentuan pidana (Pasal 35 sampai Pasal 36); g) Ketentuan peralihan (Pasal 37 sampai Pasal 38); h) Ketentuan penutup (Pasal 39 sampai Pasal 41). d. Asas-asas hukum jaminan fidusia Asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menurut H.Tan Kamelo (2004 : 159-170) adalah 1) Asas bahwa kreditor penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditor yang diutamakan dari kreditor-kreditor lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 UUJF. Dalam UUJF tidak dijelaskan, namun di bagian lain yakni Pasal 27 UUJF dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap kreditorkreditor lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambilpelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Asas tersebut dalam ilmu hukum disebut dengan driot de preference. 2) Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti bendanya yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Dalam ilmu hukum, asas ini disebut dengan droit de suit atau zaaksgevolg. Pengakuan asas ini dalam Undang-UndangJaminan Fidusia menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan (zakelijkreht) dan bukan hak perorangan (persoonlijkreht). Dengan demikian, hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan berhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. 3) Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut accessoir. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian prinsipal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah perjanjian hutangpiutang yang melahirkan hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia. Dalam Pasal 4 UUJF, asas tersebut secara tegas dinyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan suatu perjanjian pokok. 4) Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada (kontinjen). Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia Pasal 7 ditentukan bahwa objek jaminan fidusia dapat dibebankan kepada hutang yang telah ada dan yang akan ada. Jaminan atashutang yang akan ada mengandung arti bahwa pada saat 46
dibuatnya akta jaminan fidusia, hutang tersebut belum ada tetapi sedang diperjanjikan sebelumnya dalam jumlah tertentu. 5) Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Asas tersebut telah tertampung atau telah diakui setelah keluarnya UndangUndang Jaminan Fidusia pada Pasal 9 yang intinya adalah jaminan fidusia dapat dibebankan atas benda yang akan ada. 6) Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan atau rumah yang terdapat diatas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horizontal yang diatur dalam penjelasan Pasal 3 huruf a UUJF. 7) Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek jaminan fidusia yang dimaksudkan adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan yang dimaksud adalah data perjanjian pokok yang dijaminkan fidusia, uraian mengenai benda jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek jaminan. Dalam ilmu hukum disebut asas spesialitas yang diatur pada Pasal 6 UUJF. 8) Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. 9) Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas publikasi yang diatur pada Pasal 12 UUJF. 10) Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dimiliki oleh kreditor penerima jaminan fidusia sekalipun itu diperjanjikan. Dalam ilmu hukum disebut asas pendakuan diatur pada Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUJF. 11) Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditor penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor fidusia daripada kreditor yang mendaftarkan kemudian, asas ini terdapat dalam Pasal 28 UUJF. 12) Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai iktikad baik (te goeder trouw, in good faith) 13) Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi terdapat dalam Pasal 15 UndangUndang Jaminan Fidusia. Kemudahan pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan fidusia. Dengan title eksekutorial ini menimbulkan
47
konsekuensi yuridis bahwa jaminan fiduisa mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. e. Pendaftaran Fidusia Pasal 11 UUJF mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan jaminan fidusia berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia. Pada 6 April 2015, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2105 tentang Tata Cara Pendaftaran Fidusia, Peraturan Pemerintah yang baru ini menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Fidusia. Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik berada di dalam maupun di luar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia(Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,2001: 139). Kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam hal kantor Pendaftaran fidusia belum didirikan di tiap daerah Tingkat II maka wilayah kerja kantor Pendaftaran fidusia di ibukota propinsi meliputi daerah Tingkat II yang berada di lingkungan wilayahnya. Pendirian kantor fidusia di daerah Tingkat II, dapat disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Keberadaan kantor pendaftaran fidusia ini berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan bukan institusi yang mandiri atau unit pelaksana teknis. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Selanjutnya kantor pendaftaran fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Ketentuan ini dimaksudkan agar kantor pendaftaran fidusia tidak melakukan penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran fidusia, akan tetapi hanya melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia ini dianggap saat lahirnya jaminan fidusia.Dengan demikian pendaftaran fidusia dalam buku daftar fidusia merupakan perbuatan konstitutif yang melahirkan jaminan fidusia.
48
f. Pembebanan Jaminan Fidusia Pembebanan kebendaan dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta jaminan fidusia. (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia).Dalam akta jaminan fidusia tersebut selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut. Pasal 1870 KUHPerdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya diantara para pihak beserta ahli warisnya atau para pengganti haknya. Mengingat objek jaminan fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah sewajarnya bentuk akta otentiklah yang dianggap paling dapat menjaminkan kepastian hukum berkenaan dengan objek jaminan fidusia. g. Pengalihan dan hapusnya Jaminan Fidusia Pasal 19 Undang-Undang Jaminan Fidusia menetapkan bahwa pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan jaminan fidusia mengakibatkan peralihan hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditor baru. Peralihan itu didaftarkan oleh kreditor baru kepada kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum pengalihan hak atas piutang seperti yang diatur dalam Pasal 19 UUJF tersebut dikenal dengan istilah cessie yaitu pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik atau akta dibawah tangan.Dengan adanya cessie terhadap perjanjian dasar yang menerbitkan hutangpiutang tersebut, maka jaminan fidusia sebagai perjanjian accesoir, demi hukum juga beralih kepada penerima hak cessie dalam pengalihan perjanjian dasar. Ini berarti pula, segala hak dan kewajiban kreditor (sebagai penerima fidusia) lama beralih kepada kreditor (sebagai penerima fidusia) Sebagai suatu perjanjian accesoir, jaminan fidusia ini, demi hukum hapus, bila hutang pada perjanjian pokok yang menjadi sumber lahirnya perjanjian jaminan fidusia atau hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia hapus. Disamping itu Pasal 25 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan secara tegas jaminan fidusia hapus karena: 1) Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia; 2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; 3) Atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hapusnya fidusia karena musnahnya hutang yang dijamin oleh fidusia adalah sebagai konsekuensi logis dari karakter perjanjian jaminan fidusia yang merupakan perjanjian ikutan atau tambahan (Accessoir).Yakni ikutan atau tambahan terhadap 49
perjanjian
pokoknya
berupa
perjanjian
hutangpiutang.Jadi,
jika
perjanjian
hutangpiutang.Atau piutangnya lenyap karena alasan apapun maka jaminan fidusia sebagai perjanjian tambahannya juga ikut menjadi lenyap. Sementara itu, hapusnya fidusia karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia juga wajar, mengingat pihak penerima fidusia sebagai yang memiliki hak atas fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya itu. Hapusnya fidusia akibat musnahnya barang jaminan fidusia tentunya juga wajar, mengingat tidak mungkin ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan jika barang objek jaminan fidusia tersebut tidak ada. Hanya saja dalam hal ini, jika pembayaran asuransi atas musnahnya barang tersebut maka pembayaran asuransi tersebut menjadi haknya pihak penerima fidusia (Pasal 25 ayat (2) UUJF) Ada prosedur tertentu yang harus ditempuh manakala suatu jaminan fidusia hapus. Yakni harus dicoret pencatatan jaminan fidusia di kantor pendaftaran fidusia. Selanjutnya kantor pendaftaran fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini, jaminan fidusia tersebut dicoret dari buku daftar fidusia yang ada pada kantor pendaftaran fidusia. 3) Tinjauan tentang Perjanjian Sewa Menyewa a. Pengertian sewa menyewa Definisi yang diberikan oleh Pasal 1548 KUHPerdata tentang sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensuil. Artinya sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokok, yaitu harga dan barang. Kewajiban pihak yang satu menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini membayar harga sewa. Jadi barang itu diserahkan tidak untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai, dan dinikmati kegunaannya atau manfaatnya (Subekti, 1996: 90). Uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa 1) Adanya konsensus antara kedua belah pihak; 50
2) Adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak; 3) Adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda dan; 4) Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran kepada pihak yang menyewakan (Salim HS, 2014 : 59). b. Hak dan Kewajiban pihak penyewa dan yang menyewakan Hak dari pihak penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam keadaan yang baik. Penyewa ada dua kewajiban utama (Subekti, 1995 :42-43) yaitu : 1) Memakai barang yang disewakan sebagai bapak rumah yang baik (artinya ialah merawatnya seakan-akan itu barang kepunyannya sendiri) sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya. 2) Membayar harga sewa pada waktu-waktu tertentu yang telah ditentukan menurut perjanjian. Sedangkan hak dari yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah ditentukan. Kewajiban yang menyewakan adalah : 1) Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa (Pasal 1550 ayat (1) KUHPerdata); 2) Memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550 ayat (2) KUHPerdata); 3) Memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan (Pasal 1550 ayat (3) KUHPerdata); 4) Melakukan pembetulan pada waktu yang sama (Pasal 1551 KUHPerdata); 5) Menanggung cacat dari barang yang disewakan (Pasal 1552 KUHPerdata). Jika penyewa memakai barang yang disewakan itu untuk keperluan lain daripada yang menjadi tujuannya atau untuk suatu keperluan sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak ini, menurut keadaan dapat memintakan pembatalan sewanya (Pasal 1561 KUHPerdata). c. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa KUHPerdata tidak menentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewamenyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu sewa-menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan (Salim HS, 2014 :59). Jika sewa-menyewa diadakan seacara tertulis maka-sewa menyewa itu berakhir demi hukum dan apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa diperlukannya 51
sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu.Sebaliknya, kalau sewa menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa menyewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada penyewa bahwa pihak tersebut hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan tersebut harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama (Pasal 1570-1572 KUHPerdata) (Subekti, 1996 : 94) d. Perihal Risiko dalam Sewa Menyewa Risiko adalah suatu ajaran yang mewajibkan seseorang untuk memikul suatu kerugian, jikalau ada suatu kejadian di luar kemampuan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.Dalam perjanjian sewa menyewa ini, barang berada pada pihak penyewa (Salim HS, 2014: 62). Risiko merupakan kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian ( Subekti, 2014 : 44). Menurut Pasal 1553 KUHPerdata dalam sewa-menyewa itu risiko mengenai barang yang disewakan dipikul oleh pemilik barang yaitu pihak yang menyewakan. Musnah atas barang objek sewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu musnah secara total dan musnah sebagian dari objek sewa. 1) Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan di luar hukum dan yang menanggung risiko atas musnahnya barang tersebut adalah pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUHPerdata). Artinya pihak yang menyewakan yang akan memperbaikinya dan menanggungnya atas segala kerugiannya. 2) Jika barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa atau akan meminta pembatalan perjanjian sewa menyewa (Pasal 1553 KUHPerdata). Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia tidak dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUHPerdata). e. Berakhirnya Sewa Menyewa Perjanjian sewa menyewa dapat berakhir secara normal ataupun tidak normal, menurut Abdulkadir Muhammad (2010: 365) yakni : 52
1) Berakhir secara normal artinya perjanjian sewa menyewa telah dipenuhi sebagaimana mestinya sesuai dengan waktu yang disepakati dan kedua belah pihak telah mencapa tujuannya. 2) Berakhir secara tidak normal artinya perjanjian sewa menyewa tidak terpenuhi sebagaimana mestinya karena ada beberapa faktor yang memengaruhinya sehingga sebelum jangka waktu sewa habis sewa menyewa dihentikan. Menurut Abdulkadir Muhammad (2010: 366), ada tiga alasan perjanjian sewa menyewa berakhir, yaitu 1) Jangka waku sewa berakhir Pasal 1570 KUHPerdata ditentukan, jika dibuat secara tertulis sewamenyewa berakhir demi hukum setelah habis waktu yang ditentukan tanpa diperlukan pemberitahuan penghentiannya. Akan tetapi, jika dibuat secara tidak tertulis, menurut Pasal 1571 KUHPerdata, sewa menyewa baru berakhir setelah ada
pemberitahuan
penghentiannya
kepada
pihak
penyewa
dengan
mengindahkan jangka waktu menurut kebiasaan setempat. Pasal 1578 KUHPerdata menentukan bahwa, setelah berakhir perjanjian sewa menyewa tertulis, penyewa tetap menguasai benda sewaan, sedangkan pihak yang menyewakan membiarkan atau tidak memperingatkan, maka terjadilah sewa menyewa baru secara lisan dengan syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan menurut kebiasaan ditempat. Penyewaan tidak dapat meninggalkan benda sewaan ataupun dikeluarkan dari tempat itu sebelum ada pemberitahuan mengenai penghentian sewa-menyewa menurut kebiasaan setempat. 2) Benda Sewaan Musnah Apabila dalam waktu sewa menyewa benda sewaan musnah sama sekali karena peristiwa yang bukan kesalahan salah satu pihak, perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum (Pasal 1553 KUHPerdata). Kata-kata gugur demi hukum berarti perjanjian sewa menyawa itu berakhir disini bukan karena kehendak para pihak, melainkan karena keadaan memaksa (force majeure).Akan tetapi menurut Pasal 1575 KUHPerdata, jika salah satu pihak dalam perjanjian sewa menyewa meninggal dunia, perjanjian sewa menyewa tidak berakhir, ahli waris almarhum meneruskan sewa menyewa. Dalam praktek perjanjian sewa menyewa, tidak terdapat rumusan ketentuan dalam kontrak mengenai berakhirnya sewa menyewa karena benda sewaaan 53
musnah. Hal semacam ini dapat ditafsirkan bahwa kedua belah pihak mengikuti sepenuhnya ketentuan undang-undang yang tercantum dalam Pasal 1553 KUHPerdata, yaitu kontrak sewa menyewa gugur demi hukum jika benda sewaan musnah karena peristiwa yang bukan kesalahan salah satu pihak. 3) Pembatalan Sewa Menyewa Perjanjian sewa menyewa dapat berakhir karena pembatalan, baik berdasar pada persetujuan antara pihak yang menyewakan dan penyewa maupun karena wanprestasi dengan atau tanpa putusan pengadilan. Pembatalan berdasar pada persetujuan, misalnya : a) Karena benda sewaan musnah sebagian, pihak penyewa memilih alternatif pembatalan sewa menyewa (Pasal 1553 ayat (2) KUHPerdata); b) Karena benda perbaikan benda sewaan sedemikian rupa sehingga tidak dapat didiami, pihak penyewa meminta supaya perjanjian sewa menyewa dibatalkan saja (Pasal 1555 ayat (3) KUHPerdata); c) Karena benda sewaan dijual, perjanjian sewa menyewa dibatalkan berdasarkan pada syarat perjanjian (Pasal 1576 KUHPerdata); d) Karena benda sewaan akan dipakai sendiri, perjanjian sewa menyewa dibatalkan beradasar pada syarat perjanjian (Pasal 1579 KUHPerdata). Pembatalan juga dapat dilakukan berdasar pada wanprestasi, yaitu tidak memenuhi perjanjian sama sekali atau memenuhi, tetapi tidak sebagaimana mestinya atau melanggar syarat perjanjian yang telah ditentukan. Pembatalan berdasar wanprestasi, misalnya : a) Tidak menggunakan atau memakai benda sewaan dalam jangka waktu yang telah ditentukan sejak penandatanganan, perjanjian sewa menyewa dibatalkan; b) Memakai benda sewaan untuk keperluan lain dari tujuan pemakaiannya atau untuk keperluan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang menyewakan (Pasal 1561 KUHPerdata); c) Mengulangsewakan atau mengalihsewakan benda sewaan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pemilik (Pasal 1559 KUHPerdata). 4) Penjualan Tidak Memutuskan Sewa Menyewa Penjualan benda sewaan tidak memutuskan sewa menyewa yang telah dibuat sebelumnya, kecuali jika telah diperjanjikan pada waktu mengadakan sewa menyewa benda itu.Jika ada perjanjian yang demikian, pihak penyewa 54
tidak berhak menuntut ganti kerugian apabila tidak ada janji yang tegas. Akan tetapi, jika ada janji yang tegas, pihak penyewa tidak diwajibkan mengosongkan benda sewaan selama ganti kerugian yang terhutang belum dilunasi (Pasal 1576 KUHPerdata) Memahami makna pasal tersebut, dapat diikuti uraian dari Prof. Subekti.Menurut beliau, ketentuan ini bertujuan untuk melindungi pihak penyewa terhadap pemilik baru apabila benda yang sedang disewa itu dipindahkan ke lain tangan.Atas dasar tujuan pasal tersebut, kata penjualan dalam pasal tersebut sudah lazim ditafsirkan secara luas (analogis) sehingga tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi meliputi juga lain-lain perpindahan hak milik, termasuk tukar menukar, penghibahan, dan pewarisan. Singkatnya, kata dijual ditafsirkan, menjadi dipindahkan miliknya,
55
B.Kerangka Pemikiran DEBITOR
KREDITOR PERJANJIAN HUTANG PIUTANG (PERJANJIAN POKOK ATAU UTAMA
+ PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA (PERJANJIAN ACCESOIR/TAMBAHAN)
PASAL 23 ayat (2) UU NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA “Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan,kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.”
PENYEWAAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA TANPA PERSETUJUAN DARI KREDITOR (STUDI KASUS PUTUSAN Nomor 05/Pdt.G/2014/PN Kis)
UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 130/PMK.010/2012
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 21 TAHUN 2015
IUS CONSTITUENDUM
Keterangan : Alur sebagaimana pada kerangka pemikiran di atas akan
menjadi
langkah-
langkah bagi penulis guna menjawab perumusan masalah yang telah dipaparkan di muka. Pemaparan akan dimulai dari bahasan umum tentang perjanjian tambahan, pada umumnya untuk memperoleh fasilitas kredit, kreditor mensyaratkan adanya suatu jaminan 56
dari debitor sebagai salah satu sumber pemberian kredit dalam rangka pendistribusian dana nasabah yang terkumpul olehnya, serta untuk menggerakkan perekonomian. Perjanjian tambahan (accessoir) yang penulis soroti adalah perjanjian jaminan fidusia yang mengikuti perjanjian pokoknya atau hutangpiutang. Jaminan fidusia ini memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya, khusunya bagi pemberi jaminan fidusia dengan memungkinkan kepada para pemberi jaminan fidusia untuk tetap menguasai benda yang dijaminkan, guna menjalankan kegiatan usaha-usaha yang dibiayai dari pinjaman yang diperoleh dengan menggunakan jaminan tersebut.Oleh sebab itu dalam menjamin objek jaminan fidusia untuk pelunasan hutang diperlukan perjanjian jaminan fidusia. Perjanjian tersebut dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia sesuai ketentuan yang ada pada Pasal 5 ayat (1) UUJF. Perjanjian jaminan fidusia atau disebut akta jaminan fidusia merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya diantara para pihak beserta ahli waris atau para pengganti haknya. Namun dibuatnya akta tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi khususnya pada Pasal 23 ayat (2) UUJFtentang Jaminan Fidusia yang berbunyi “pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia“ bahwa jelas dalam akta jaminan fidusia debitor tidak bisa mengalihan, menggandakan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan.Penulisan hukum (Skripsi) ini akan mengkaji secara yuridis perjanjian penyewaan objek jaminan fidusia oleh debitor kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari kreditor (studi putusan pengadilan negeri Kisaran nomor 05/Pdt.G/2014/PN Kis) ditinjau dari Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Sehingga dengan mengkaji masalah tersebut dapat menemukanius constituendum yaitu peraturan hukum yang berlaku pada masa mendatang dan memberikan solusi hukum yang dapat menjadi intermediary antara kreditor dan debitor dalam perjanjian jaminan fidusia
57