BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam proses
peradilan.
Pembuktian
merupakan
proses
untuk
membuktikan benar tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan yang telah didakwakan. Yang dimaksud dengan membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014: 231). Pembuktian
adalah
ketentuan-ketentuan
yang
berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan terdakwa dan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang dipergunakan hakim membuktikan kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2000: 252). Apabila dalam pembuktiannya telah memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP dan sah menurut Pasal 184 KUHAP. Maka, Terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana. Namun sebaliknya, apabila tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti yang cukup dan sah, maka terdakwa dapat dinyatakan tidak bersalah dan terbebas dari pemidanaan. Andi Sofyan dan Abd. Asis (2014: 232) menjelaskan tugas hakim dalam proses pembuktian guna membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa adalah: “Hakim didalam memeriksa suatu perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha membuktikan Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi?; Apakah 13
14
betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana?; Apakah sebab-sebab peristiwa itu terjadi?; Siapakah orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu?”. Pembuktian merupakan proses penting dalam mencari kebenaran materiil dalam proses persidangan guna menentukan kesalahan pelaku. Dalam pembuktian di persidangan peran Hakim sangat penting dalam mencari fakta-fakta hukum atas suatu peristiwa tindak pidana yang terjadi. Hakim dalam meletakkan kebenaran yang ditemukan pada pemeriksaan sidang di pengadilan, maka kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP (Ronaldo Ipakit, 2015: 90). Sehingga Hakim harus berhati-hati dan cermat dalam menjatuhkan putusannya dengan memperhatikan hasil pembuktian itu sendiri. b. Asas-asas Pembuktian Adapun asas-asas pembuktian menurut KUHAP: 1) Asas Pembuktian Harus Dilaksanakan dalam Persidangan Asas yang menjelaskan bahwa pembuktian adalah proses membuktikan kesalahan terdakwa yang dilakukan di persidangan, dan pembuktian sendiri hadir karena persidangan. Hal ini juga didasari oleh tujuan pembuktiaan yang ditujukan untuk
meyakinkan
majelis
Hakim
guna
membuktikan
kebenaran materiil atau kebenaran yang sebenar-benarnya. 2) Asas Minimum Pembuktian Asas yang menentukan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku harus memenuhi jumlah minimal alat bukti yang sah. KUHAP telah menyatakan secara tegas dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
15
3) Asas Notoire Feiten Asas yang menyatakan bahwa hal yang diketahui oleh publik tidak perlu dibuktikan lagi. Diatur pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah notoire feiten. 4) Asas Keterangan Saksi adalah Keterangan yang Diucapkan Dalam Persidangan Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP jelas mengatur bahwa, “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Jadi keterangan saksi adalah keterangan yang ia berikan di persidangan. 5) Asas Saksi dan Saksi Ahi Harus Disumpah Terlebih Dahulu Sebelum Memberikan Keterangan Pasal 160 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa “Sebelum memberi keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari apa yang sebenarnya”. Selanjutnya ketentuan Pasal 161 ayat (2) KUHAP juga mengatur bahwa, “Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim”. 6) Asas Unus Testis Nullus Testis Asas ini menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Bunyi Pasal 185 ayat (2) KUHAP menunjukkan bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal tersebut adalah:
16
a) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; b) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka kesaksian tunggal tersebut harus didukung dengan alat bukti lain (dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 185 ayat (3) KUHAP). 7) Asas Testimonium de Auditu Testimonium de auditu adalah sebuah keterangan saksi yang diperoleh dari hasil pendengaran keterangan orang lain. Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, saksi dalam memberi suatu kesaksian harus berdasarkan kepada suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh Hakim, walaupun tidak memiliki nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan Hakim yang bersumber pada dua alat bukti yang lain (Andi Hamzah, 2012: 265). 8) Asas Kesesuaian Antar Keterangan Saksi yang Berdiri Sendirisendiri atas Suatu Peristiwa Tertentu Diatur dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang berbunyi, “Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendirisendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”. Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendirisendiri dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila keterangan
17
tersebut saling berhubungan, sehingga dapat membuat terang suatu kejadian atau peristiwa tersebut. Namun keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri diperlukan kebijaksanaan hakim dalam menilai setiap kesaksian yang berdiri sendiri tersebut. 9) Asas Pengakuan Terdakwa Tidak Menghapuskan Kewajiban Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa, “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”. Meskipun terdakwa telah mengakui perbuatannya, hal tersebut tidak menghapuskan kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tujuan hukum acara pidana di Indonesia adalah untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sebenar-benarnya. (10) Asas Keterangan Terdakwa Hanya Mengikat Dirinya Saja Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan, “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Hal ini menyatakan bahwa keterangan seorang terdakwa hanya berlaku untuk dirinya sendiri. (11) Asas Keyakinan Hakim terhadap Alat Bukti Sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim harus
memiliki
keyakinan
bahwa
terdakwalah
yang
melakukannya. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selain itu asas minimum pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP,
menentukan
bahwa
dalam
jumlah
minimum
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Selain itu, harus pula didasari pada keyakinan Hakim terhadap alat bukti tersebut untuk memutuskan bahwa tindak pidana yang didakwakan
18
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. c. Teori-teori Pembuktian Dikenal adanya 4 teori. Teori-teori pembuktian tersebut adalah: 1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie) Teori
ini
hanya
mendasarkan
kepada
peraturan
perundang-undangan saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh Undang-Undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan sama sekali (Andi Hamzah, 2012: 251). Teori ini mengabaikan keyakinan Hakim dan tidak mempertimbangkan keyakinan Hakim. Suatu keyakinan akan kesalahan terdakwa terhadap suatu perkara tindak pidana dalam teori ini akan sia-sia apabila tidak didukung dengan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Sistem ini benar-benar menuntut Hakim untuk wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2001: 257). Kebaikan teori ini adalah menuntut hakim untuk berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga Hakim dapat obyektif dalam membuat keputusan berdasar ketentuan Undang-Undang. 2) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) Bersalah tidaknya seorang terdakwa menurut teori ini sepenuhnya
tergantung
pada
keyakinan
hakim
semata.
Meskipun dengan alat-alat bukti yang sah dapat membuktikan kesalahan terdakwa, namun apabila Hakim tidak memiliki
19
keyakinan, Hakim tidak bisa menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya meskipun tanpa adanya alat bukti apabila Hakim yakin bahwa terdakwa yang melakukannya maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Teori ini dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan Hakim. Dari mana Hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini (M. Yahya Harahap, 2001: 256). Sistem ini memberi kebebasan pada Hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasehat hukum sulit untuk melakukan pembelaan (Andi Hamzah, 2012: 252). 3) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction Raisonee) Teori ini tetap mendasarkan pada keyakinan Hakim. Namun, keyakinan dalam teori ini dibatasi oleh sebuah alasanalasan yang logis dan nyata. Keyakinan Hakim tidak perlu didukung oleh alat bukti yang sah asalkan keyakinan tersebut dapat dijelaskan dengan akal yang logis. Disini Hakim tidak lagi diberikan kebebasan secara penuh dalam menjatuhkan pidana. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasanalasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan Hakim dalam sistem harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan dan reasoning tersebut harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima (M. Yahya Harahap, 2001: 256). Setiap pertimbangan Hakim sebelum akhirnya Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa alasan-alasannya harus nyata dan logis serta dapat diterima oleh akal pikiran yang sehat. Oleh karenanya, teori ini sering juga disebut dengan teori
20
pembuktian bebas karena Hakim bebas untuk menyebut alasanalasan keyakinannya (Andi Hamzah, 2012: 253). 4) Sistem atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negative Wettelijk Stelsel) Teori ini merupakan teori antara teori pembuktian menurut
Undang-Undang
secara
positif
dengan
sistem
pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time (M. Yahya Harahap, 2000: 257). Hal ini berarti bahwa terdakwa dapat
dinyatakan
keyakinan
bahwa
bersalah terdakwa
apabila yang
Hakim
memperoleh
melakukannya
yang
didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut UndangUndang. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa yakni dengan: Pertama, alat-alat bukti yang sah
yang
ditetapkan
Undang-Undang.
Kedua,
adanya
keyakinan dari Hakim berdasarkan bukti-bukti tersebut. Apabila dalam suatu pembuktian alat bukti yang diajukan sah menurut Undang-Undang, tetapi Hakim tidak mendapat keyakinan terhadapnya. Maka terhadap terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya terdakwa baru dapat dikatakan bersalah ketika terjadi keseimbangan antara alat bukti yang diatur menurut Undang-Undang dengan keyakinan Hakim atas kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti tersebut. Jadi harus ada hubungan sebab akibat antara alat-alat bukti dengan keyakinan Hakim. 2. Tinjauan tentang Alat Bukti a. Jenis-jenis Alat Bukti Alat bukti diatur secara jelas dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang dimaksud adalah: 1) Keterangan Saksi Pasal 1 butir 27 KUHAP memberikan pengertian keterangan saksi bahwa, “Keterangan saksi adalah salah satu
21
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu”. Jelas bahwa seorang saksi dalam memberikan kesaksian terhadap suatu peristiwa disyaratkan harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri. Perkembangan keterangan Saksi kemudian diperluas oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menganggap arti penting Saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang
sedang
diproses.
Mahkamah
Konstitusi
melalui
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUVIII/ 2010 berpendapat bahwa Saksi termasuk pula “Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Selain itu, keterangan saksi harus memenuhi beberapa ketentuan agar keterangannya dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, adapun ketentuan tersebut adalah: a) Harus mengucap sumpah atau janji, bahwa keterangan saksi hanya dianggap sah apabila diberikan dibawah sumpah (Pasal 160 ayat (3) KUHAP); b) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, bahwa kesaksian tunggal dari seorang saksi tidak dapat dinilai sebagai kesaksian guna membuktikan suatu peristiwa “unus testis nullus testis” (Pasal 185 ayat (2) KUHAP); c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti adalah kesaksian yang dinyatakan
di
sidang
pengadilan,
keterangan
yang
diyatakan diluar sidang pengadilan bukan merupakan alat
22
bukti dan tidak bisa digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 185 ayat (1) KUHAP); d) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri, meskipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan sudah memenuhi minimal saksi (asas unus testis nullus testis), namun dari keterangan-keterangan saksi tersebut haruslah saling berhubungan. Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri-sendiri dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut saling berhubungan, sehingga dapat membuat terang suatu kejadian atau peristiwa tersebut (Pasal 185 ayat (4) KUHAP). Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP menjelaskan bahwa saksi yang pertama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Saksi korban adalah saksi yang menjadi korban suatu tindak pidana, yang mana secara langsung mengalami kejadian atau peristiwa tindak pidana tersebut. Sehingga dapat mempermudah hakim dalam mengetahui kronologis kejadian tindak pidana tersebut dengan sebenarbenarnya.
Keterangan
saksi
sebagai
alat
bukti
yang
berkekuatan pembuktian bebas, dapat dibantah oleh keterangan terdakwa di persidangan serta dengan keterangan saksi a de charge (saksi yang menguntungkan terdakwa) yang biasanya keterangan tersebut tidak mendukung atau berbanding terbalik dengan isi surat dakwaan atau alat bukti lain. Setiap orang pada dasarnya dapat dipanggil untuk menjadi saksi. Akan teteapi terdapat pengecualian terhadap siapa saja yang dapat didengar kesaksiannya di persidangan. Ketentuan pengecualian tersebut telah dijelaskan dalam KUHAP, dimana seseorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara atau bisa menjadi saksi namun tanpa disumpah
23
terlebih dahulu. Pasal 171 KUHAP menerangkan bahwa ada pihak-pihak yang berwenang memberikan kesaksian tanpa sumpah, yaitu: (a) Anak yang berumur belum 15 tahun dan/atau belum menikah; (b) Orang sakit ingatan atau jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali; Menurut Ignatius (2000: 175) berkenaan dengan alat bukti keterangan saksi bahwa: “Hakim pun boleh memeriksa untuk mendapatkan keterangan tanpa sumpah dari anak dibawah umur yaitu belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin dan orang sakit ingatan atau sakit jiwa yang kadangkadang ingatannya baik kembali karena keterangan mereka tersebut dipakai tambahan hanya sebagai petunjuk saja”. Hanya keterangan dengan sumpahlah yang memiliki kekuatan pembuktian. Keterangan tanpa sumpah tersebut hanya dapat digunakan sebagai tambahan untuk menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, yakni sebagai petunjuk (Pasal 171 KUHAP) dan sebagai penguat keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP). Saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, Hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya (M. Yahya Harahap: 2000: 274). Penilaian Hakim sangat mempengaruhi kekuatan pembuktian saksi. Hakim bebas, menilai, menggunakan atau mengenyampingkan namun tetap bertanggung jawab untuk mewujudkan kebenaran yang sebenar-benarnya. 2) Keterangan Ahli Pengertian keterangan ahli dijelaskan dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
24
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Ahli merupakan seseorang yang dihadirkan untuk mempermudah dan memperjelas suatu proses mulai dari pemeriksaan hingga proses pembuktian di dalam persidangan. Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP, dinyatakan bahwa, bahkan sejak tahapan penyidikan, seorang penyidik sudah dapat mendatangkan seorang ahli dalam hal pemeriksaan perkara. Adapun ahli yang dimaksud dalam Pasal ini, misalnya ahli kedokteran kehakiman, ahli balistik, ahli kimia, ahli fisika, ahli farmasi, ahli toxin dan lain-lain (Darwan Prinst, 1998:141). Jadi, seorang ahli tidak hanya memberikan keterangan dalam sidang saja. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli wajib memberikan keterangan demi keadilan. Kekuatan pembuktian untuk keterangan ahli itu sendiri adalah bebas. Pada prinsipnya, kekuatan alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi (M. Yahya Harahap, 2000:283). 3) Alat Bukti Surat Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang berbunyi, “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
25
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.” Sebagai contoh dalam alat bukti surat ini antara lain, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi, BAP pengadilan,
Berita
Acara
Penyitaan,
Surat
Perintah
Penangkapan, Surat Perintah Penyitaan, Surat Perintah Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin Penyitaan, dan lain-lainnya (Darwan Prinst, 1998: 144). Surat dapat dikatakan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Namun
demikian,
nilai
kekuatan
yang
melekat
pada
kesempurnaannya tetap bersifat kekuatan pembuktian bebas. Hakim bebas menilai kekuatan dan kebenarannya (M. Yahya Harahap, 2000:291). 4) Alat Bukti Petunjuk Alat bukti petunjuk terdapat dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
26
Memperoleh bukti petunjuk dijelaskan dalam Pasal 188 ayat (2) adalah dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian, atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan (Andy Hamzah, 2012: 277). Pasal 188 ayat (3) menyebutkan bahwa, “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijakasana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa alat bukti petunjuk penggunaanya dikembalikan lagi kepada Hakim dimana Hakim dituntut untuk berlaku bijaksana dalam penggunaan bukti petunjuk. Mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk, Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu, Hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian (M. Yahya harahap, 2000: 296). 5) Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa terdapat pada Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”. Jadi keterangan terdakwa merupakan keterangan yang harus dinyatakan di depan muka persidangan. Keterangan terdakwa diluar sidang hanya digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, dan harus didukung dengan alat bukti yang sah lainya (Pasal 189 ayat (2) KUHAP). Keterangan seorang terdakwa juga hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa, “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
27
sendiri”. Hal ini juga berarti bahwa keterangan terdakwa hanya mengikat dirinya saja. Apapun yang diterangkan oleh terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti untuk dirinya sendiri tidak bisa digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa yang lain. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa, “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Keterangan terdakwa untuk menjadi bukti yang sempurna apabila disertai dengan keterangan yang jelas tentang kejadian peristiwa pidana yang diperbuat yang diperkuat dengan bukti lain. Menurut M. Yahya Harahap (2000: 311-312), kekuatan pembuktian keterangan terdakwa adalah bebas. Namun demikian, dalam kebebasan tersebut haruslah memenuhi asas minimum pembuktian sesuai dengan Pasal 189 ayat (4) dan Pasal 183 KUHAP. Kebebasan tersebut juga harus tetap mendasarkan keyakinan Hakim sesuai dengan Pasal 183 KUHAP. 3. Tinjauan tentang Dakwaan a. Pengertian Dakwaan Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2012 : 386-387). Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, Hakim akan memeriksa perkara itu (Andi Hamzah, 2012:167).
28
A. Karim Nasution mendefinisikan surat dakwaan sebagai “Suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan (didakwakan), yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan, yang merupakan dasar bagi Hakim untuk melakukan pemriksaan, yang bila ternyata cukup bukti terdakwa dapat dijatuhi hukuman” (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014:172). Tujuan dan guna surat dakwaan adalah sebagai dasar atau landasan pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan. Hakim didalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan (Yahya Harahap, 2012 : 390). Maka, surat dakwaan merupakan batasan bagi Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara pidana. Putusan Hakim yang diambil atau dijatuhkan kepada terdakwa tersebut haruslah didasarkan pada fakta-fakta peristiwa yang terjadi, yang diperoleh dari pembuktian di persidangan sesuai dengan apa yang didakwakan dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum. b. Syarat Dakwaan Syarat surat dakwaan ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa: “Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”
29
Pasal 143 KUHAP menyebutkan mengenai syarat-syarat surat dakwaan seperti tersebut di atas. Syarat yang mutlak ialah dicantumkannya waktu dan tempat terjadinya delik dan delik yang didakwakan (Andi Hamzah, 2011: 168). Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP menyebutkan syarat formal meliputi: 1) Surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan dari penuntut umum pembuat surat dakwaan. 2) Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umumr/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan. Ketentuan syarat formal dalam suatu surat dakwaan diperlukan untuk meneliti apakah benar Terdakwa yang sedang diadili du depan persidangan pengadilan negeri adalah sesuai dengan identitas Terdakwa dalam surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum (Lilik Mulyadi, 2007: 73). Syarat materiil sendiri tercantum pada Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP menyebutkan syarat materiil sebagai berikut: 1) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. 2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tempus delictie dan locus delictie dari tindak pidana yang dilakukan. Mengenai uraian cermat, jelas, dan lengkap Bambang Waluyo (2000: 66) memberikan penjelasan sebagai berikut: “Uraian secara cermat adalah ketelitian jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan. Jelas yaitu penuntut umum harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materiil (fakta) yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan. Lengkap diartikan bahwa surat dakwaan itu
30
memuat semua unsur atau elemen dari tindak pidana yang didakwakan. Unsur-unsur itu dilukiskan dan diuraikan di dalam uraian fakta/kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan (delik omschrijving).” c. Jenis-jenis Dakwaan Perumusan surat dakwaan berkaitan erat dengan jenis surat dakwaan apa yang akan digunakan oleh jaksa penuntut umum untuk mendakwa seseorang dengan ketentuan pidana, berikut ini adalah jenis-jenis dakwaan: 1) Surat Dakwaan Biasa Bentuk surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan ”tunggal” (M. Yahya Harahap, 2012 : 398). Dalam surat dakwaan ini, hanya berisi satu dakwaan yang pada umumnya
tidak
mengandung unsur
”penyertaan”
(mededaderschap) atau unsur concursus maupun unsur alternatif atau subsidair. Tindak pidana yang didakwakan pada pelaku merupakan tindak pidana yang sederhana, sehingga cukup dirumuskan dalam dakwaan tunggal yang sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. 2) Surat Dakwaan Alternatif Surat dakwaan alternatif merupakan surat dakwaan yang
didalamnya
memuat
dakwaan
yang
saling
”mengecualikan”. Ciri utama dari dakwaan alternatif adalah adanya kata hubung ”atau” antara dakwaan satu dan yang lainnya sehingga dakwaan jenis ini sifatnya adalah alternative accusation atau alternative tenlastelegging (Lilik Mulyadi, 2007: 87). M. Yahya Harahap (2012: 400-401) berpendapat bahwa tujuan dari pembuatan surat dakwaan secara alternatif adalah: “a) Untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari pertanggungjawaban hukum pidana (crime liability) Hal ini didasari pertimbangan apabila sekiranya dalam sidang pengadilan salah satu tindak pidana yang didakwakan tidak mampu dibuktikan
31
atau tidak mampu membuktikan kesalahan terdakwa atas suatu tindak pidana, masih ada kesempatan dan pilihan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan tindak pidana lainnya yang ada dalam surat dakwaan. b) Memberi pilihan kepada Hakim menerapkan hukum yang lebih tepat Surat dakwaan alternatif tidak mengikat Hakim secara mutlak pada satu dakwaan saja. Hakim masih bisa beralih memeriksa dan mempertimbangkan dakwaan berikutnya apabila terdakwa terlepas dari dakwaan yang satunya. Pada lazimnya surat dakwaan yang berbentuk alternatif, baru dapat diterapkan apabila tindak pidana yang dilakukan terdakwa berada dalam “persintuhan“ dua atau beberapa pasal tindak pidana yang ”saling berdekatan“ corak dan ciri kejahatannya. Akan tetapi peristiwa pidana itu sendiri tidak sampai menimbulkan titik sintuh “perbarengan“ atau concursus idealis maupun concursus realis“. 3) Surat Dakwaan Subsidair Surat dakwaan subsidair terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun secara berurutan, yakni dari dakwaan yang terberat hingga dakwaan yang teringan (M. Yahya Harahap, 2002: 402). Menurut M. Yahya Harahap (2002 : 403) dalam surat dakwaan ini, dakwaan subsidair menggantikan dakwaan primair apabila penuntut umum tidak mampu membuktikan dakwaan primair dengan ketentuan: ”a) pemeriksaan dialihkan pada dakwaan berikutnya berdasar prioritas mulai dari dakwaan subsidair, b) apabila dakwaan subsidair telah terbukti, pemeriksaan dapat dinyatakan ditutup tanpa pemeriksaan dakwaan berikutnya, dan c) hukuman yang dijatuhkan berdasar ancaman pada dakwaan subsidair”. Maksud dari surat dakwaan secara subsidair, yaitu hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair, dan jika dakwaan primair tidak terbukti, maka barulah diperiksa dakwaan subsidair dan apabila masih tidak terbukti, maka diperiksalah yang lebih subsidair (Andi Sofyan dan Abd. Asis,
32
2014: 177). Jadi dalam surat dakwaan ini tetap mengacu pada dakwaan primer terlebih dahulu, apabila tidak terbukti barulah masuk pada dakwaan subsidair. 4) Surat Dakwaan Kumulatif Dakwaan kumulatif dibuat oleh jaksa/penuntut umum apabila seorang atau lebih Terdakwa melakukan lebih dari satu perbuatan pidana, yakni perbuatan tersebut harus dianggap berdiri sendiri atau juga dapat dikatakan tidak ada kaitan satu dengan lainnya (Lilik Mulyadi, 2007: 89). Dapat diartikan juga sebagai gabungan dari beberapa dakwaan sekaligus. Disusun berupa rangkaian beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran. Pengajuan surat dakwaan kumulasi dimungkinkan berdasar ketentuan Pasal 141 KUHAP, yang disebut ”penggabungan perkara” dalam ”satu surat dakwaan” (M. Yahya Harahap, 2012 : 404). 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Sengaja Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Tindak pidana bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kepada siapa saja. Hal ini menuntut kita untuk bersikap waspada terhadap setiap jenis tindak pidana. Hal tersebut berlaku bagi setiap orang
tak
terkecuali
bagi
anak-anak.
Pelaku
tindak
pidana
persetubuhan terhadap anak biasanya merupakan orang-orang terdekat korban. On the other hand, child sexual abuse by an adult often takes a more subtle form. More often than not the perpetrator is someone the child knows: a friend of the family, an uncle, an older brother, even a father or stepfather (Robert Osadan dan Elizabeth Reid, 2015: 33) (Di sisi lain, pelecehan seksual anak oleh orang dewasa sering dilakukan secara lebih halus. Lebih sering pelakunya adalah seseorang yang anak itu tahu: seorang teman keluarga, paman, kakak, bahkan ayah atau ayah tiri). Menurut Moeljatno yang dikutip oleh Adami Chazawi dalam bukunya (2011:71), Tindak Pidana atau yang disebut sebagai perbuatan pidana adalah, “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
33
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. Pengertian
tindak
pidana
menurut
Faried
(1983:33)
mengatakan bahwa: “Delik sebagai suatu perbuatan atau pengabaian yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan”. Dari penjelasan tindak pidana menurut pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum dimana atas perbuatannya tersebut dikenakan sanksi. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) yang memberikan pengertian “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Anak-anak yang masih lugu membuat dirinya rentan terhadap kejahatan atau tindak pidana. Salah satunya terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Engaging a child in any unlawful sexual activitymay includes, but not limited to, (1) the exploitative use of a child in prostitution or other unlawful sexual practices, (2) involving the child in pornographic performances and materials, and (3) employing different strategies such as deception, rewared (or economic circumstances), cultural expectations, coercion –– acts of forcing another individual through violence, threats, and weapons, to influence the child to comply with the abuse (Berhanu Nigussie, 2014: 89) (Melibatkan anak dalam aktifitas seksual yang melanggar hukum termasuk, namun tidak terbatas pada, (1) eksploitatif anak dalam pelacuran atau praktekpraktek seksual yang melanggar hukum lainnya, (2) melibatkan anak dalam pertunjukan-pertunjukan porno dan pornografi, dan (3) menggunakan strategi berbeda seperti penipuan, hadiah, harapan budaya, pemaksaan - tindakan memaksa individu lain melalui kekerasan, ancaman, dan senjata, untuk mempengaruhi anak untuk mematuhinya). Rumusan persetubuhan terhadap anak diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, yang diketahui atau
34
sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau jika umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Dari rumusan Pasal tersebut adapun unsur-unsurnya: 1) Bersetubuh dengan perempuan diluar perkawinan. 2) Dilakukan kepada yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin. Secara lebih khusus tindak pidana persetubuhan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungn Anak. Dalam Undang-Undang tersebut, pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur pada Pasal 81, yang menyatakan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Unsur-unsur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak antara lain: 1) Setiap orang Setiap orang dalam hal ini adalah orang atau manusia sebagai pelaku tindak pidana. 2) Dengan sengaja Unsur dengan sengaja disini dimaksudkan bahwa pelaku mengetahui dan sadar atas apa yang telah diperbuatnya, sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, oleh karena itu pengertian sengaja yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindakan tertentu cukuplah jika ia menghendaki tindakannya
35
itu, artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaanya (batin) dengan tindakannya. 3) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Adanya perbuatan untuk mempengaruhi oranglain dengan kebohongan yang menyesatkan agar sesuai dengan kehendaknya. Menurut Adami Chazawi (2007: 86) membujuk adalah perbuatan mempengaruhi kehandak orang lain agar kehendak orang itu sama dengan kehendaknya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh dari orang lain terhadap seorang anak untuk mengikuti keinginannya. Menurut R. Soesilo (1993: 167) persetubuhan diartikan sebagai “Perpaduan antara kelamin laki-laki dan perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani”. Pengertian persetubuhan menurut rumusan KUHP adalah sesuai arrest hoge read sebagaimana dikutip Andi Zainal Abidin Farid (2007:339) dalam bukunya disebutkan bahwa: “Tindakan memasukan kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu mengeluarkan air mani didalam kemaluan perempuan. Oleh karena itu, apabila dalam peristiwa perkosaan walaupun kemaluan laki-laki telah agak lama masuknya kedalam kemaluan perempuan, air mani laki-laki belum keluar hal itu belum merupakan perkosaan, akan tetapi percobaan pemerkosaan”.
36
B. Kerangka Pemikiran
Perkara Persetubuhan Terhadap Anak Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor: 78/Pid.B/2013/PN.Unh
Penuntutan oleh Penuntut Umum
Pembuktian di Persidangan
Dakwaan alternatif Pasal 81 atau Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Alat Bukti Pasal 184 KUHAP
Tidak Terbukti
Terbukti Putusan Hakim
37
Penjelasan Kerangka Pikir: Kerangka pemikiran tersebut di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian hukum ini mengenai, alat bukti yang digunakan dalam pembuktian dakwaan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya berimplikasi tuntutan pidana dipenuhi (studi putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor: 78/Pid.B/2013/PN.Unh). Penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa dilakukan oleh Penuntut Umum, malalui surat dakwaan yand telah dibuat berdasarkan hasil penyidikan. Dalam pembuktian di persidangan Penuntut Umum harus membuktian dakwaannya dengan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Sehingga membantu Hakim dalam pemeriksaan di persidangan guna mencari kebenaran materiil dari suatu peristiwa tindak pidana dengan mengacu pada surat dakwaan, serta membantu Hakim memperoleh keyakinan mengenai kesalahan terdakwa yang berujung pada putusan Hakim. Keyakinan
Hakim
dalam
menjatuhkan
putusan
harus
didasarkan pada fakta-fakta dan alat bukti yang cukup dan sah menurut Undang-Undang.
Muara
dari
kerangka
pemikiran
ini
adalah
penggunaan alat bukti yang sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dalam pembuktian perkara tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya di persidangan kaitannya dengan pertimbangan hakim sehingga terdakwa dijatuhi putusan pemidanaan yang akan ditelaah lebih mendalam lagi dalam penulisan hukum ini.