BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perjanjian Kredit a. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer), perjanjian yaitu: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum (Soedikno Mertokusumo, 1992: 15). Pengertian perjanjian mengandung unsur: 1) Perbuatan, 2) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, 3) Mengikatkan dirinya, Isi dari perjanjian adalah mengenai kaidah tentang apa yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak yang harus dilaksanakan. Jadi perjanjian hanyalah mengikat dan berlaku bagi pihak-pihak tertentu saja (Soedikno Mertokusumo, 1999: 112). b. Syarat Sah Perjanjian Mengenai syarat sahnya perjanjian terdapat pengaturan dalam Pasal 1320 KUHPer, antara lain : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat mengenai halhal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu secara bertimbal balik (H. Setiono, 2012: 70).
18
19
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikiran adalah cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1330 KUHPer, orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, antara lain : a) Orang-orang yang belum dewasa; b) Mereka yang berada dibawah pengampuan; c) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undangundang dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 3) Mengenai suatu hal tertentu; Suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah barang yang menjadi obyek perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPer suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. 4) Suatu sebab yang halal. Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1337 KUHPer menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dapat diketahui pengertian sebab yang halal, yaitu sebab yang tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai orangorangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu (Subekti, 2005: 17-20).
20
Alasan pembatalan perjanjian, menurut Pasal 1321 KUHPer, antara lain: 1) Paksaan (dwang); Paksaan terjadi apabila seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. 2) Kekhilafan (dwaling); Kekhilafan atau kekeliruan dapat terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian ataupun mengenai dengan siapa perjanjian itu diadakan. 3) Penipuan (bedrog). Penipuan terjadi apabila satu pihak sengaja memberikan keterangan palsu atau tidak benar disertai tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu bertindak aktif menjerumuskan lawannya (Subekti, 1995: 135). c. Pengertian Kredit Kata “Kredit” berasal dari bahasa Latin yaitu Credere yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan yang diberikan seseorang (kreditor) kepada orang lain dan percaya bahwa si penerima kredit tersebut (debitur) akan melunasi segala sesuatu yang telah disepakati bersama. Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, yang dimaksud kredit adalah: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk lebih melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberi bunga. Definisi serupa mengenai kredit juga diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan. Syarat-syarat terjadinya kredit perbankan adalah adanya debitur, adanya kreditur, dan tersedianya dana (Jamal Wiwoho, 2011: 87). Dari segi ekonomi kredit diartikan penundaan pembayaran atas penerimaan
21
uang dan atas suatu barang tidak dilakukan bersamaan pada saat menerimanya, melainkan pengembaliannya dilakukan pada masa tertentu yang akan datang (Adrian Sutedi, 2006: 17). d. Unsur-unsur Kredit Kredit yang diberikan oleh lembaga kredit mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1) Kepercayaan; Kepercayaan merupakan keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannnya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya juga dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah bank secara interen maupun eksteren. 2) Jangka Waktu; Waktu merupakan suatu masa yang memsiahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang. Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. 3) Tingkat risiko (degree of risk); Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya. Adanya suatu tenggan waktu pengmebalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagih/ macetnya pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar risikonya, begitu sebaliknya. 4) Prestasi atau obyek kredit. Obyek kredit tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat dalam bentuk barang atau jasa. Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga (Jamal Wiwoho, 2011: 89-90).
22
e. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit Kriteria penilaian umum dan harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar layak untuk diberikan, dilakukan dengan analisis prinsip 5C dan 7P. Penilaian dengan analisis 5C yaitu: 1) Character; Merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari orangorang yang akan diberikan kredit benar-benar harus dapat dipercaya. Untuk membaca watak dari calon debitur dapat dilihat dari latar belakang si nasabah baik dari pekerjaan maupun yang bersifat pribadi. 2) Capacity; Capacity adalah analisis untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam membayar kredit. Dari penilaian ini terlihat kemampuan nasabah dalam mengelola bisnis. Kemampuan ini dihubungkan dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman selama ia mengelola usahanya. 3) Capital; Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, dapat dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) yang disajikan dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas dan solvabilitas, rentabilitas dan ukuran lainnya. Analisis kapital juga harus menganalisis dari sumber mana saja modal yang digunakan untuk membiayai proyek yang dijalankan, beberapa modal sendiri dan modal pinjaman. 4) Condition of Economy; Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang ada sekarang dan prediksi yang akan datang. Penilaian kondisi atau prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benarbenar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil. 5) Collateral. Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit
23
yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang akan dititipkan akan dipergunakan secepat mungkin (Jamal Wiwoho, 2011: 96-97). Penilaian suatu kredit dapat pula dilakukan dengan analisis 7P, dengan unsur penilaian sebagai berikut: 1) Personality, yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya, sikap, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah. 2) Party, yaitu mengklarifikasikan nasabah dalam klarifikasi tertentu atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya, sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari bank. 3) Purpose, yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah baik kredit mikro ataupun lainnya. Tujuan pengambilan kredit bermacam-macam sesuai kebutuhan. Sebagai contoh apakah untuk modal kerja, investasi, konsumtif, produktif, dan lain-lain (Jamal Wiwoho, 2011: 97). 4) Prospect, untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek bukan hanya bank yang rugi tetapi juga nasabah. 5) Payment, merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dan untuk pengembalian kredit. 6) Profitability, untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mecari laba. Profitability diukur dari periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya. 7) Protection, tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa
24
jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi (Kasmir, 2012: 138139). f. Jenis-Jenis Kredit Secara umum, jenis kredit yang disalurkan oleh pihak bank dapat dilihat dari berbagai segi: 1) Dilihat dari segi kegunaan, kredit dapat dibedakan menjadi: a) Kredit Investasi Yaitu kredit yang biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau proyek membangun/ pabrik baru di mana masa pemakaiannya untuk suatu periode yang relatif lebih lama dan biasanya kegunaan kredit ini adalah untuk kegiatan utama suatu perusahaan. b) Kredit Modal Kerja Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya. 2) Dilihat dari segi tujuan kredit, kredit dapat dibedakan menjadi: a) Kredit Produktif Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau investasi. Artinya kredit ini digunakan untuk diusahakan sehingga menghasilkan sesuatu baik berupa barang maupun jasa. b) Kredit Konsumtif Merupakan kredit yang digunakan untuk dikonsumsi atau dipakai secara pribadi. Dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. c) Kredit Perdagangan Kredit perdagangan merupakan kredit yang digunakan untuk kegiatan perdagangan dan biasanya untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut.
25
3) Dilihat dari segi jangka waktu, kredit dapat dibedakan menjadi: a) Kredit Jangka Pendek Kredit ini merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari satu tahun atau paling lama satu tahun. b) Kredit Jangka Menengah Jangka waktunya berkisar antara 1 sampai dengan 3 tahun. c) Kredit Jangka Panjang Merupakan kredit yang pengembaliannya paling panjang yaitu di atas 3 tahun atau 5 tahun. 4) Dilihat dari segi jaminan, kredit dapat dibedakan menjadi: a) Kredit dengan Jaminan Merupakan kredit yang diberikan dengan suatu jaminan tertentu. Jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud. b) Kredit tanpa Jaminan Yaitu kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit ini diberikan dengan melihat prospek usaha, karakter serta loyalitas calon debitur selama berhubungan dengan bank yang bersangkutan. 5) Dilihat dari segi sektor usaha, kredit dapat dibedakan menjadi beberapa jenis kredit sesuai dengan sektor usaha, antara lain: a) Kredit Pertanian
e) Kredit Pendidikan
b) Kredit Peternakan
f) Kredit Profesi
c) Kredit Industri
g) Kredit Perumahan
d) Kredit Pertambangan
h) Sektor usaha lainnya
g. Penggolongan Kredit Perbankan Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se09/Pj.42/1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 68/Kmk.04/1999 Tanggal 16 Februari 1999, pengertian kredit yang digolongkan
“Lancar”,
“Perhatian
Khusus”,
“Kurang
Lancar”,
“Diragukan”, dan “Macet”, disesuaikan dengan pengertian yang telah
26
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pengertian tersebut adalah sebagai berikut: 1) Kredit digolongkan sebagai kredit lancar apabila memenuhi kriteria: a) Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat waktu; b) Memiliki mutasi rekening yang aktif; c) Bagian dari kredit yang dijamin dengan aguan tunai (cash, collateral). 2) Kredit digolongkan sebagai kredit dalam perhatian khusus, apabila memenuhi kriteria: a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari; b) Kadang-kadang terjadi cerukan; c) Mutasi rekening relatif aktif; d) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; e) Didukung oleh pinjaman baru. 3) Kredit digolongkan sebagai kredit kurang lancar, apabila memenuhi kriteria: a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari; b) Sering terjadi cerukan; c) Mutasi rekening terlalu rendah; d) Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 (sembilan puluh) hari; e) Terdapat likuidasi masalah keuangan yang dihadapi debitur; f) Dokumentasi pinjaman lemah. 4) Kredit digolongkan kriteria diragukan, apabila memenuhi kriteria: a) Terhadap tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari); b) Terjadi cerukan yang bersifat permanen; c) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari; d) Terjadi kapitalisasi bunga;
27
e) Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun peningkatan jaminan. 5) Kredit digolongkan kriteria kredit macet, apabila memenuhi kriteria: a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 (dua ratus tujuh puluh hari); b) Kerugian operasional ditutup dengan jaminan pinjaman baru; c) Dari segi hukum maupun pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. h. Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUHPer (dalam Pasal 1754- 1769 KUHPer). Pasal 1754 KUHper berbunyi: “Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Oleh karena itu perjanjian kredit dianggap seperti perjanjian pinjammeminjam dalam ini adalah pinjam meminjam uang maka sifat hukum dari perjanjian kredit adalaha bersifat riil artinya perjanjian yang baru tercipta dengan diserahkannya barang (uang) yang menjadi obyek perjanjian. Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek penting dalam kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak serta kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit (Sutarno, 2004: 98). Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian jaminan, maka perjanjian kredit adalah pokok atau prinsip, sedangkan jaminan adalah perjanjian ikutan atau accessoir (Sutarno, 2004: 98).
28
i. Fungsi Perjanjian Kredit Perjanjian kredit memiliki fungsi sebagai berikut: 1) Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditur dan debitur yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditur dan debitur. 2) Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit. 3) Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya yaitu pengikatan jaminan. 4) Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang debitur (Sutarno, 2004: 129-130). 2. Tinjauan tentang Jaminan a. Pengertian Jaminan dan Penjaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum caracara
kreditur
menjamin
dipenuhinya
tagihannya,
di
samping
pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat di lihat di dalam Pasal 1 angka 23 UU Perbankan, agunan adalah: “Jaminan tambahan diserahkan debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkann prinsip syariah”. Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan (M. Bahsan. 2004:50). Kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
29
disebut Penjaminan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan). Terbitnya
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2016
Tentang
Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan) memberikan alternatif penjaminan. Salah satu kendala pelaku usaha pada sektor mikro, kecil, dan menengah (UMKMK) terkait permodalan meliputi ketersediaan lembaga pembiayaan
(availability),
akses
terhadap
lembaga
pembiayaan
(accesibility), dan kemampuan mengakses lembaga pembiayaan (ability). Keterbatasan UMKMK dalam mengakses sumber pembiayaan disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menyediakan agunan dan ketiadaan administrasi yang baik terkait dengan kegiatan usahanya sehingga dinilai tidak bankable. Dengan adanya Usaha Penjaminan, pelaku usaha dapat melakukan penjaminan. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, usaha Penjaminan meliputi: 1) penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan; 2) penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan 3) penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: 1) penjaminan atas surat utang; 2) penjaminan pembelian barang secara angsuran; 3) penjaminan transaksi dagang; 4) penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); 5) penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); 6) penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; 7) penjaminan letter of credit;
30
8) penjaminan kepabeanan (customs bond); 9) penjaminan cukai; 10) pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan 11) kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. b. Macam-macam Jaminan Pada dasarnya, jenis jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 1) Jaminan materiil (kebendaan/ zakelijkezekerheids); Jaminan materiil (kebendaan) adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan obyek jaminan untuk suatu ketika dapat diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitur melakukan cidera janji atau ingkar janji (Alfitri Setyaningrum, 2015: 25). Jaminan kebendaan termasuk dalam hak kebendaan dimana hak mutlak atas suatu benda yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu dan dapat dipertahankan kepada setiap orang. Maka sifat jaminan kebendaan termasuk ke dalam sifat-sifat dari hak kebendaan yang meliputi: a) bersifat absolute, dapat dipertahankan kepada siapa saja; b) Droit de Suit, selalu mengikuti bendanya, dimana hak tersebut terus mengikuti bendanya dimanapun benda tersebut berada, hak tersebut terus mengikuti orang yang memilikinya; c) Asas Publisitas, bahwa pendafaran benda merupakan bukti dari kepemilikan; d) Dapat dipindahtangankan atau dialihkan secara penuh (Djuhaendah Hasan, 1996: 62-63). Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan: a) Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPer; b) Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUHPer;
31
c) Creditverband,
yang
diatur
dalam
Stb.1908
Nomor
542
sebagaimana telah diubah dengan Stb.1937 Nomor 190; d) Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996; e) Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur di dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 (Salim HS, 2005: 25). Jaminan kebendaan dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu a) Jaminan Benda Tetap atau tidak bergerak Yang termasuk ke dalam jaminan benda tidak bergerak yaitu tanah dan bukan tanah. Jaminan berupa tanah diikat dengan Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Jaminan bukan tanah diikat dengan Hipotik yang diatur dalam Pasal 1162 KUHPer. b) Jaminan Benda Bergerak Jaminan berupa benda bergerak dapat diikat dengan cara gadai atau Fidusia. Pengaturan mengenai Gadai diatur dalam Pasal 1152-1158 KUHPer. Pengaturan mengenai Fidusia dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 2) Jaminan immateriil (perorangan/ persoonlijkezekerheids) Jaminan immateriil (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap harta kekayaan debitur pada umumnya, misalkan borgtocht (Personal Guarantee/ jaminan perseorangan) (Djuhaendah Hasan, 1996: 234-238). Yang termasuk jaminan perorangan adalah: a) Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih; b) Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; c) Perjanjian garansi (Salim HS, 2005: 25). Dari kedelapan jenis jaminan tersebut diatas yang masih berlaku adalah: Gadai, Hak Tanggungan, Jaminan Fidusia, Borg, Tanggungmenanggung, Perjanjian garansi. Sedangkan hipotek dan creditverband
32
sudah tidak berlaku lagi, karena telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta BendaBenda yang Berkaitan dengan Tanah (Salim HS, 2005: 25). c. Syarat-syarat Jaminan Suatu jaminan hutang yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: 1) Mudah dan cepat dalam proses pengikatan jaminan; 2) Jaminan utang tidak menempatkan krediturnya untuk bersengketa; 3) Harga jaminan tersebut dapat meningkat atau setidak-tidaknya stabil; 4) Jaminan utang tidak memebebankan kewajiban-kewajiban tertentu bagi krediur misalnya kewajiban untuk merawat dan memperbaiki barang, membayar pajak dan sebagainya; 5) Ketika pinjaman macet maka jaminan utang mudah dieksekusi dengan model pengekekusian yang mudah, biaya yang rendah dan tidak memerlukan bantuan debitur, artinya suatu jaminan utang harus selalu berada dalam keadaan mendekati tunai (near to cash) (Munir Fuady, 2013: 4). d. Fungsi Jaminan Kredit Perbankan Fungsi jaminan kredit ditinjau dari sisi bank maupun dari sisi debitur antara lain: 1) Jaminan kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit. Bila dikemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, maka akan dilakukan pencairan (penjualan) atas obyek jaminan kredit yang bersangkutan. 2) Jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur. Pengikatan jaminan kredit yang berupa harta milik debitur yang dilakukan oleh pihak bank, membuat debitur yang bersangkutan takut kehilangan hartanya tersebut. Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunkan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan
33
usaha secara baik, mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat segera melunasi kreditnya. 3) Fungsi yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan. Keterkaitan jaminan kredit dengan ketentuan perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia menunjukkan adanya fungsi dari jaminan kredit yang dikaitkan dengan kualitas kreditnya. Sehingga mendukung keharusan penilaian jaminan kredit secara lengkap oleh bank sehingga akan merupakan jaminan yang layak dan berharga (M. Bahsan, 2010: 103-106). 3. Tinjauan tentang Jaminan Fidusia a. Pengertian Jaminan Fidusia Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Di dalam berbagai literatur, fidusia lazim disebut dengan istilah eigendom overdract, yaitu penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pengertian fidusia adalah “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”. Pengalihan hak kepemilikan diartikan sebagai pemindahan hak kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi obyeknya tetap berada di tangan pemberi fidusia. Fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya (Salim HS, 2004: 55). Dari pengertian Jaminan Fidusia tersebut maka dapat ditarik unsur-unsur Jaminan Fidusia adalah (Salim HS, 2004: 57): 1) Adanya hak jaminan;
34
2) Adanya obyek, benda bergerak baik yang berwujud dan tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan; 3) Benda yang menjadi obyek jaminan tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia; 4) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur. b. Obyek Jaminan Fidusia Pasal 1 angka 4 UU Fidusia, disebutkan bahwa benda yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah : 1) Benda bergerak, antara lain : benda berwujud maupun tidak berwujud dan benda terdaftar maupun yang tidak terdaftar. 2) Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Selanjutnya ketentuan mengenai obyek jaminan fidusia antara lain terdapat di dalam UU Fidusia, menyebutkan bahwa obyek jaminan fidusia antara lain : 1) Benda tersebut harus dapat memiliki dan dialihkan secara hukum; 2) Dapat atas benda berwujud; 3) Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang; 4) Benda bergerak; 5) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan; 6) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotek; 7) Baik atas benda yang sudah ada maupun benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri; 8) Dapat atas satuan atau jenis berbeda; 9) Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda; 10) Hasil dari benda yang telah menjadi obyek jaminan fidusia; 11) Hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; 12) Benda persediaan (inventory, stok perdagangan).
35
c. Pendaftaran Jaminan Fidusia Pasal 6 UU Fidusia, Akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat: a) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; b) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; c) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia; d) Nilai penjaminan dan; e) Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut PP No. 21 Tahun 2015), selain 5 (lima) hal diatas, pendaftaran jaminan fidusia juga harus memuat tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia. Pendaftaran Jaminan Fidusia secara online dapat dilakukan di website https://fidusia.ahu.go.id/. Proses registrasi online fidusia dimulai dengan mengisi informasi dalam urutan berikut: a) Pemohon untuk mengisi identitas debitur dan kreditur fidusia tersebut. Debitur dan kreditur dapat berupa perusahaan atau individu; b) Pemohon mengisi akta notaris jaminan fidusia, termasuk nomor sertifikat, tanggal, nama dan alamat notaris yang membuat akta Fidusia; c) Pemohon mengisi data pada kesepakatan prinsip dijamin fidusia; d) pemohon mengisi deskripsi dari obyek yang merupakan obyek fidusia; e) pemohon mengisi nilai jaminan/ agunan; f) Nilai obyek telah dinyatakan dalam akta fidusia (Yuli Prasetyo, 2014: 57). Asas Publisitas dimaksudkan dalam UU Fidusia untuk memberikan kepastian hukum, seperti termuat dalam Pasal 11 UU Fidusia yang
36
mewajibkan benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia, kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah Republik Indonesia. Pendaftaran
benda
yang
dibebani
dengan
Jaminan
Fidusia
dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia, dan pendaftarannya mencangkup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia. Sistem pendaftaran Jaminan Fidusia dilaksanakan secara elektronik (Pasal 3 PP No. 21 Tahun 2015). Pada pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik, Notary must keep away from things that contain fraud, subterfuge, concealment of fact, breach of trust, deception or circumvention of the rules, as well as other illegal thongs that lead to white collar crime or corporate crime (Yuli Prasetyo, 2014: 58). d. Penghapusan Jaminan Fidusia Pasal 3 PP No. 21 Tahun 2015, Jaminan Fidusia hapus karena: a) Hapusnya utang yang dijamin dengan Fidusia; b) Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; c) Musnahnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. e. Eksekusi Jaminan Fidusia Pasal 29 UU Fidusia menyatakan apabila debitur atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara: a) Pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima Fidusia; b) Penjualan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c) Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat
37
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000: 153). 4. Tinjauan Umum tentang Waris a.
Pengertian Pewarisan Pengertian Hukum Waris menurut Pitlo: Hukum waris adalah kumpulan peraturan yangmengatur hukum mengenai kekayaan karena matinya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga (Hilman Hadikusumah, 1996: 18). Proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara yang digunakan
pewaris untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris masih hidup, baik mengenai penerusan penguasaan, pemakaian, maupun cara melak sanakan pembagian warisan tersebut kepada ahli warisnya setelah pewaris wafat (Hilman Hadikusumah, 1996: 23). Pasal 874 KUHPer menyatakan bahwa segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut Undang-undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya suatu ketetapan yang sah. Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal (si pewaris) dalam hubungan-hubungan hukum harta kekayaannya (R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2000: 3). b. Cara- cara Pewarisan Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan disebut pewaris, sedangkan harta yang ditinggalkan disebut harta warisan dan orang yang menerima waris disebut ahli waris. Ada dua cara untuk untuk pembagian warisan, yaitu 1) Ahli waris yang mewaris berdasarkan ketentuan Undang-undang (abintestato), yaitu orang yang karena ketentuan Undang-undang dengan sendirinya menjadi ahli waris, yakni para anggota keluarga si pewaris, mulai dari yang terdekat (hubungan darahnya) sampai yang terjauh asalkan ada ikatan keluarga/hubungan darah dengan si pewaris. Orang-orang ini
38
dikatakan mewaris tanpa mewasiat atau mewaris secara abintestato (Pasal 832 KUHPer); Golongan ahli waris abintestato menurut Pasal 832 ayat (1) KUHPer ada 4 (empat), yaitu: a) Golongan I : suami atau istri yang hidup terlama serta anak-anak dan keturunannya (Pasal 852 KUHPer). b) Golongan II : orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan saudara-saudaranya (Pasal 854 ayat 1 KUHPer). Dari ketentuan Pasal 854 KUHPer dapat kita lihat bahwa ayah, ibu dan saudara mewaris kepala demi kepala. Sehingga menurut aturan Pasal 854 KUHPer apabila Ahli Waris meninggalkan ayah dan ibu maka mereka masing-masing mendapat 1/4 bagian sedangkan untuk saudaranya apabila meninggalkan tiga orang saudara maka dua perempat sisa warisan akan dibagi menjadi tiga bagian yang sama besar. c) Golongan III : keluarga dalam garis lurus keatas sesudah bapak dan ibu (Pasal 853 KUHPer. Secara singkat dapat dikatakan kakek nenek dari pihak ibu. d) Golongan IV : keluarga garis ke samping sampai derajat keenam. Pasal 858 menentukan: jika tidak ada saudara laki-laki dan perempuan, dan tidak ada pula keluarga sedarah dalam salah satu garis ke atas, maka setengah bagian dari warisan menjadi bagian sekalian keluarga dalam garis ke atas yang masih hidup. Setengah bagian lainnya, kecuali dalam Pasal 859 menjadi bagian saudara dalam garis yang lain. Keluarga sedarah dalam garis menyimpang yang sama dan dalam derajat yang sama mendapat bagian kepala demi kepala (Pasal 858 Ayat 3). 2) Orang-orang yang menerima bagian warisan berdasarkan pesan terakhir atau wasiat (testament) dari pewaris. Jadi mungkin kalau dalam hal ini orang tersebut tidak mempunyai hubungan darah/ikatan keluarga apapun dengan si pewaris (Pasal 899 KUHPer).
39
c.
Syarat-syarat Mewaris Menurut Pasal 830 KUHPer, suatu pewarisan baru dapat dilaksanakan
kalau si pewaris (orang yang meninggalkan warisan) telah meninggal dunia. Adapun syarat-syarat agar seseorang dapat menerima bagian warisan adalah : 1) Pewaris telah meninggal dunia; 2) Pewaris memiliki sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan; 3) Orang tesebut haruslah termasuk sebagai ahli waris dan orang yang ditunjuk berdasarkan wasiat si pewaris untuk menerima bagian warisan; 4) Orang-orang yang disebutkan dalam point C di atas itu tidak atau bukanlah orang yang dinyatakan sebagai orang yang tidak patut menerima warisan menurut putusan pengadilan Seseorang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan dikecualikan dari pewarisan (Pasal 912 KUHPer), adalah : 1) Apabila ia dihukum oleh hakim karena membunuh si peninggal warisan, jadi ada keputusan hakim yang menghukumnya; 2) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena memfitnah si pewaris, dimana diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih; 3) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal itu.
40
B. Kerangka Pemikiran Perjanjian Kredit
Kreditur/BNI SKC Solo
Debitur
Jaminan
Benda Bergerak
Benda Tidak Bergerak
Jaminan Fidusia
Pemberi Jaminan
Penerima Jaminan
Fidusia
Fidusia/ BNI SKC Solo
Langkah Hukum BNI
Meninggal Dunia
SKC Solo
Ahli Waris UU Fidusia Tanggung Jawab Hukum Waris KUHPer
Bagan 2. Bagan Skema Kerangka Pemikiran
41
Keterangan: Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur berfikir, pengangkatan, penggambaran,
penelaahan,
penjabaran,
dan
penemuan
jawaban
atas
permasalahan hukum penulisan skripsi berjudul Pertanggungjawaban Ahli Waris Debitur Dalam Penyelesaian Kredit Dengan Jaminan Fidusia (Studi di Perseroan Terbatas Bank Negara Indonesia Sentra Kredit Kecil Solo). Perjanjian kredit dibuat antara debitur atau nasabah dan kreditur yang merupakan Bank BNI SKC Solo. Bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada calon nasabahnya didasarkan pada prinsip kehati-hatian. Prinsip diimplikasikan dalam penilaian pemberian kredit yang berdasarkan 5C. Collateral atau jaminan adalah jaminan yang diminta oleh bank untuk menjamin bahwa suatu hari kredit tersebut akan dikembalikan. Dan apabila kredit tersebut bermasalah, jaminan dapat dieksekusi untuk membayar pelunasan kredit. Jaminan secara umum dibedakan menjadi jaminan benda bergerak dan jaminan benda tidak bergerak. Yang termasuk jaminan benda bergerak adalah Jaminan Fidusia. Dalam Perjanjian Jaminan Fidusia terdapat 2 (dua) pihak yaitu pemberi Jaminan Fidusia dan penerima Jaminan Fidusia. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana penyelesaian kredit pada perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia apabila pemberi Jaminan Fidusia meninggal
dunia.
Penulisan
skripsi
ini
ingin
menjelaskan
mengenai
tanggungjawab ahli waris Pemberi Jaminan Fidusia di BNI SKC Solo terhadap penyelesaian kredit dikaji berdasarkan UU Fidusia dan Hukum Waris Nasional yang diatur dalam KUHPer serta langkah hukum yang dimiliki Bank BNI SKC Solo mendapatkan penyelesaian kredit Fidusia debitur meninggal dunia.