BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Izin a. Pengertian Izin Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu menyebutkan bahwa, izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Menurut Utrecht, izin atau vergunning adalah bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka perbutan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning) (dalam Adrian Sutedi, 2011:167). Menurut W.F. Prins, izin hampir sama dengan dispensasi. Pada izin, memuat uraian yang limitatif tentang alasan-alasan penolakannya, sedangkan bebas syarat atau dispensasi memuat uraian yang limitatif tentang hal-hal yang untuknya dapat diberikan dispensasi itu, tetapi perbedaan ini tidak selamanya jelas (W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, 1983:73). W.F. Prins mendefinisikan vergunning sebagai (dalam Adrian Sutedi, 2011:172) : Keputusan Administrasi Negara berupa aturan, tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang konkrit, maka perbuatan Administrasi Negara yang diperkenankan tersebut bersifat suatu izin. Sjachran Basah memberikan definisi tentang izin yaitu “Perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkrit berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana
10
11
ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan” (dalam Adrian Sutedi, 2011:170). Menurut Van der Wel (dalam E. Utrecht, 1986:94) mengatakan bahwa, “perbuatan hukum publik yang bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa) disebut dengan beschikking”. Sedangkan menurut Bagir Manan, “Izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundangundangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang” (dalam Adrian Sutedi, 2011:170). N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit, yaitu (dalam Adrian Sutedi, 2011:170-171).: Dalam arti luas yaitu izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Dengan memberi izin penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Sedangkan dalam arti sempit N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge mendefinisikan izin sebagai pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekedarnya. Hal yang pokok dalam izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakantindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan). b. Elemen Pokok Perizinan Dari beberapa definisi tentang izin di atas, terdapat beberapa unsur dalam perizinan, yaitu instrument yuridis, peraturan perundang-undangan,
12
organ pemerintah, peristiwa konkrit, prosedur dan persyaratan. Penjelasan dari masing-masing unsur adalah sebagai berikut (Ridwan HR, 2013:201207) : 1) Instrumen yuridis Pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan dalam rangka melaksanakan tugas menjaga ketertiban dan keamanan serta mengupayakan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Dari fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi peristiwa individual dan konkrit yaitu dalam bentuk keputusan. Salah satu bentuk dari keputusan adalah izin. Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk keputusan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi dan menetapkan peristiwa konkrit. 2) Peraturan perundang-undangan Wetmatigheid
van
bestuur
(pemerintahan
berdasarkan
peraturan perundang-undangan) merupakan salah satu prinsip dari negara hukum. Prinsip tersebut menjadi dasar bahwa setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun funsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berdasarkan asas legalitas. Begitu pula dalam hal membuat dan menerbitkan izin pemerintah bertindak sesuai wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena jika tidak didasari atas wewenang tersebut maka keputusan berupa izin menjadi tidak sah. 3) Organ pemerintah Organ pemerintah merupakan organ yang menjalankan urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Menurut Sjachran Basah (dalam Ridwan HR, 2013:204) mengatakan bahwa: Dari penelusuran pelbagai ketentuan pemerintah dapat diketahui, bahwa mulai dari administrasi negara tertinggi (presiden) sampai dengan administrasi negara terendah (lurah) berwenang memberikan izin. Ini berarti terdapat aneka ragam
13
administrasi negara (termasuk instansinya) pemberi izin, yang didasarkan pada jabatan yang dijabatnya baik di tingkat pusat maupun daerah. 4) Peristiwa konkrit Peristiwa konkrit merupakan peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Peristiwa konkrit yang beragam menyebabkan izin juga beragam. Izin kemudian dibuat dalam proses yang prosedurnya diatur sesuai kewenangan pemberi izin, macam izin dan struktur organisasi yang menerbitkannya. Tetapi jenis izin dan instansi pemberi izin dapat berubah seiring dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan izin tersebut. 5) Prosedur dan persyaratan Permohonan izin harus mengikuti prosedur yang telah dibuat oleh pemerintah, selain itu juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Prosedur dan persyaratan izin berbeda-beda tergantung pada jenis izin, tujuan izin, dan instansi yang menerbitkan izin. Penentuan prosedur dan persyaratan ini dilakukan sepihak oleh pemerintah. Meskipun demikian pemerintah tidak boleh membuat prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secara arbitrer (sewenang-wenang) tetapi harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar izin tersebut. c. Sifat Izin Izin merupakan upaya untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan gangguan pada kepentingan umum. Oleh karena itu izin dikeluarkan dengan salah satu pertimbangannya adalah berguna untuk kepentingan umum. Izin dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Pada dasarnya izin memiliki sifat sebagai berikut : 1) Izin yang bersifat bebas Merupakan
izin
sebagai
keputusan
tata
usaha
negara
yang
penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertulis serta organ yang berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar
14
dalam memutuskan pemberian izin. Kebebasan tersebut memiliki makna kebebasan kebijaksanaan, bukan kebebasan bertindak (Philipus M. Hadjon dkk, 1994:145) 2) Izin yang bersifat terikat Penerbitan izin ini terikat pada aturan dan hukum tertulis serta organ yang berwenang dalam izin. Kadar kebebasannya tergantung sejauh mana peraturan perundang-undangan mengatur. 3) Izin yang bersifat menguntungkan Merupakan izin yang menguntungkan bagi yang bersangkutan, dalam hal ini yang bersangkutan diberikan hak-hak atau pemenuhan tuntutan yang tidak akan ada tanpa keputusan berupa izin tersebut. Sebagai contohnya adalah Surat Izin Mengemudi (SIM). 4) Izin yang bersifat memberatkan Merupakan izin yang memberatkan atau memberi beban bagi yang bersangkutan, bahkan orang lain atau masyarakat sekitar. Sebagai contoh adalah adanya izin pada perusahaan tertentu, bagi masyarakat sekitar akan merasa ada terbebani karena adanya izin bagi perusahaan tersebut. 5) Izin yang segera berakhir Merupakan izin yang masa berlakunya relatif pendek dan segera berakhir. Misalnya izin mendirikan bangunan yang hanya berlaku untuk mendirikan bangunan dan berakhir saat bangunan sudah selesai didirikan. 6) Izin yang berlangsung lama Merupakan izin yang menyangkut tindakan dengan jangka waktu berakhir relatif lama. Misalnya izin yang berkaitan dengan lingkungan. 7) Izin yang bersifat pribadi Merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat atau kualitas pribadi dari pemohon izin. Misalnya surat izin mengemudi (SIM).
15
8) Izin yang bersifat kebendaan merupakan izin yang sifatnya tergantung pada sifat dan objek izin. Contohnya adalah izin gangguan (Hinder Ordonantie). d. Fungsi Izin Perizinan mempunyai fungsi yaitu sebagai fungsi penertib dan fungsi pengatur. Sebagai fungsi penertib dimaksudkan agar izin tidak bertentangan satu sama lain sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud. Sedangkan sebagai fungsi pengatur adalah perizinan yang ada dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya (Adrian Sutedi, 2013:193). Izin memiliki fungsi sebagai ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur. Persyaratan yang terkandung dalam suatu izin merupakan pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri. Menurut Prajudi Atmosudirdjo (dalam Ridwan HR, 2013:208), “bahwa berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum modern, izin dapat diletakkan dalam fungsi menertibkan masyarakat”. e. Tujuan Pemberian Izin Tujuan perizinan tergantung pada kenyataan konkrit yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkrit menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin itu sendiri. Tujuan dari perizinan secara umum adalah sebagai berikut (Ridwan HR, 2013:209) : 1) Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan); 2) Mencegah bahaya bagi lingkungan (terkait izin lingkungan); 3) Keinginan melindungi objek-objek tertentu; 4) Hendak membagi benda-benda yang sedikit; 5) Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).
16
Perizinan merupakan salah satu mekanisme regulasi mutu pelayanan untuk menjamin bahwa lembaga pelayanan tersebut dapat memenuhi standar kompetensi minimal untuk melindungi publik (Ardita Yuliana Atmaja, 2010:21). 2. Tinjauan Umum Tentang Izin Gangguan (Hinder Ordonantie) Izin gangguan atau Hinder Ordonantie (HO) berasal dari bahasa Belanda, Hinder berarti gangguan dan Ordonantie artinya peraturan. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah menyebutkan bahwa izin gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Gangguan merupakan segala perbuatan dan/atau kondisi yang tidak menyenangkan atau mengganggu kesehatan, keselamatan, ketenteraman dan/atau kesejahteraan terhadap kepentingan umum secara terus-menerus. Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan menyebutkan bahwa, “izin gangguan adalah izin yang diberikan oleh Bupati terhadap suatu usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan gangguan”. Untuk memberikan perlindungan dan rasa aman serta nyaman bagi masyarakat maupun lingkungan alam serta tempat-tempat umum dari bahaya, gangguan dan kerugian yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat, perlu pengendalian dan pengawasan secara normatif. Salah satunya adalah dengan izin gangguan. Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonantie) Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 menyebutkan bahwa izin gangguan diperlukan dalam mendirikan bangunan : a. yang di dalamnya terdapat alat yang dijalankan dengan tenaga uap atau dengan tenaga gas, demikian juga yang dijalankan dengan motor listrik
17
dan bangunan-bangunan tempat bekerja lain yang padanya dipergunakan tenaga uap atau gas yang bertekanan tinggi; b. yang disediakan untuk pembuatan dan penyimpanan mesiu dan bahanbahan lain yang mudah meletus, di antaranya termasuk juga pabrikpabrik dan tempat-tempat penyimpanan kembang api (petasan atau mercon); c. yang digunakan untuk pembuatan bahan-bahan kimia, di antaranya termasuk juga pabrik-pabrik geretan; d. yang digunakan untuk memperoleh, mengolah dan menyimpan hasil pengolahan yang mudah habis (menguap); e. yang digunakan untuk penyulingan tanpa memakai air, bahan-bahan yang berasal dari tanaman-tanaman
atau binatang-binatang dan untuk
pengolahan hasil yang diperoleh dari perbuatan itu, termasukjuga di dalamnya pabrik-pabrik gas; f. yang digunakan untuk membuat lemak dan damar; g. yang digunakan untuk menyimpan dan mengolah ampas (bungkil atau sampah); h. tempat-tempat membikin mout (kecambah-kecambah dari pelbagai jenis jelai dan kacang), tempat-tempat membuat bit, pembakaran, penyulingan, pablik spiritus dan cuka, dan penyaringan, pabrik tepung dan pembuatan roti, demikian pula pabrik setrup buah-buahan; i. tempat-tempat pemotongan hewan, perkulitan, tempat pengolahan isi perut hewan, penjemuran, pengasapan (penyalaian) dan pengasinan benda-benda yang berasal dari binatang, deinikian pula penyamakan kulit; j. pabrik-pabrik porselin dan tembikar (keramik), pembakaran-pembakaran batu, genteng, ubin dan tegel, tempat membuat barang-barang kaca, pembakaran kapur karang dan kapur batu dan tempat menghancurkan kapur; k. peleburan logam, penuangan, pertukangan besi, penukulan logam, tempat mencanai logam, pertukangan tembaga dan kaleng dan pembuatan ketel; l. penggilingan batu, tempat penggergajian kayu dan pengilangan minyak;
18
m. galangan kapal, pemahatan batu dan penggergajian kayu, pembuatan penggilingan, dan pembuatan kereta, pembuatan tahang dan tempat tukang kayu; n. penyewaan kereta dan pemerahan susu; o. tempat latihan menembak; p. ruang tempat menggantungkan daun-daun tembakau; q. pabrik singkong; r. pabrik guna mengerjakan rubber, karet, getah perca atau benda-benda yang mengandung karet; s. ruang kapuk, pembatikan; dan t. warung-warung dalam bangunan yang tetap, demikian pula segala pendirian-pendirian yang lain, yang dapat mengakibatkan bahaya, kerugian atau gangguan. Sedangkan tempat-tempat yang tidak memerlukan izin gangguan adalah sebagai berikut : a. tempat-tempat untuk memelihara dan mengusahakan jalan-jalan kereta api dan trem serta pekerjaan-pekerjaan umum, b. perusahaan yang tersebut pada Pasal 1 Ordonansi Pabrik (Fabrieken Ordonnantie Staatsblad Tahun 1899 Nomor 263) dan perusahaanperusahaan yang dinyatakan tunduk kepada Ordonansi Pabrik tersebut, dan c. tempat usaha yang terkena Petroleum Opslag Ordonnantie (ordonansi tempat penyimpanan minyak bumi) Staatsblad Tahun 1927 Nomor 199, jelasnya tempat menyimpan minyak bumi dan cairan lainnya yang mudah menyala. Izin gangguan diperlukan karena usaha di bidang perindustrian terus berkembang, baik kecil, menengah, maupun besar. Kondisi tersebut akan mempengaruhi jumlah penduduk yang berada di kota, kepadatan lalu lintas, serta hal lain yang perlu menjadi perhatian. Oleh karena itu izin gangguan diperlukan agar setiap usaha di bidang perindustrian keberadaannya dapat dikontrol, sebab sesuai dengan tujuan dari izin adalah untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa konkrit yang sedang terjadi (Reyzha Sabani, 2013).
19
Menurut John Salindeho (1993:23) izin yang diperlukan oleh pemilik tempat usaha adalah sebagai berikut : a. Izin gangguan berdasarkan Undang-Undang Gangguan jika tempat usaha dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan atau gangguan bagi masyarakat sekitarnya dari pemerintah daerah kabupaten, b. Izin berdasarkan Peraturan Daerah tentang bangunan (Izin Mendirikan Bangunan, bentuk bangunan, luas bangunan, kekuatan bangunan, letak bangunan, keindahan bangunan, dan sebagainya) dari pemerintah daerah kabupaten, c. Izin berdasarkan Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyangkut keamanan umum yang diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, d. Izin usaha industri dari Depatemen Perindustrian, e. Izin dan atau rekomendasi lainnya (berkaitan dengan tempat parkir, kepadatan lalu lintas atau kemacetan lalu lintas, sempitnya jalan raya, kondisi dan suasana lingkungan tempat usaha, dan sebagainya), f. Izin tempat usaha dari Departemen Perindustrian (sebelum melakukan permohonan penerbitan izin lainnya termasuk izin gangguan, SITU tidak ditentukan menurut tempat tinggal pemohonnya melainkan menurut alamat dari tempat usaha itu sendiri), dan g. Rekomendasi Amdal (Analisis Megenai Dampak Lingkungan) dari Komisi Amdal Daerah/Pusat. Permohonan izin gangguan dilengkapi dengan keterangan yang seksama, seperti gambar tempat yang akan dibangun secara rinci, mesin yang akan dipakai, perkakas penolong, serta apa yang akan dikerjakan, dibuat, dikumpulkan, maupun disimpan dalam bangunan tersebut. Pasal 8 UndangUndang Gangguan terdapat ketentuan mengenai angka waktu dari izin gangguan, yaitu : a. Izin itu ditulis atas nama orang yang meminta dan orang-orang yang memperoleh hak.
20
b. Dalam izin itu ditentukan suatu jangka waktu berapa lama pembangunan selesai dan tanggal berapa mulai dijalankan. c. Jika pekerjaan itu tidak selesai atau tidak dijalankan dalam waktu yang ditentukan, maka izin itu dicabut oleh pejabat yang memberikannya, kecuali jika ia memandang ada alasan untuk memperpanjang jangka waktu tersebut dengan jangka waktu yang baru. d. Hal memperpanjang jangka waktu itu hanya boleh terjadi sekali saja. 3. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum Administrasi negara merupakan alat perlengkapan negara baik di tingkat pusat maupun daerah karena Indonesia menganut sistem desentralisasi. Desentralisasi merupakan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah yang masing- masing mempunyai wewenang dalam suatu daerah tertentu dari suatu negara. Alat perlengkapan negara (pejabat maupun badan pemerintahan) dilengkapi dengan wewenang untuk menjalankan fungsi pemerintahan dengan mengambil kebijakan-kebijakan terkait pelayanan pada masyarakat yang berguna untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum. Penegakan hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan law enforcement dan dalam bahasa Belanda disebut rechts toe passing hand having, merupakan pelaksanaan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya tingkat perkembangan masyarakat dimana hukum berlaku. Menurut Satjipto Rahardjo (dalam Wisnu Baroto, et al, 2015:230) penegakan hukum adalah : “…law enforcement with moral values born from the concept of Rule of Moral. The essence of the Rule of Moral are the basic values of Pancasila which has been living in Indonesian society that communalism, as musyawarah, the principle of kinship, harmony, and balance”. Maksudnya adalah : “… penegakan hukum dengan nilai-nilai moral lahir dari konsep kaidah moral. Inti dari kaidah moral adalah nilai-nilai dasar Pancasila yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia yang komunal, sebagai musyawarah, asas kekeluargaan, harmoni, dan keseimbangan”.
21
Penegakan hukum secara teoritis efektif apabila lima pilar hukum berjalan dengan baik, yaitu (Sanyoto, 2008:199) : a. instrumen hukum; b. aparat penegak hukum; c. faktor warga masyarakatnya yang terkena lingkup peraturan hukum; d. faktor kebudayaan dan e. fasilitas yang dapat mendukung pelaksanaan hukum. Menurut Indriyanto Seno Adjie (dalam Jan S. Maringka, 2015:1066) menyebutkan bahwa: “The existence of the Rule of Law as noted in the change III Article 1 Paragraph 3 of the 1945 Constitution, it is not enough merely grammatical meaning without any explanation or additional implementation of the meaning, but must be followed by an affirmation of the law enforcement system”. Maksudnya adalah : “Keberadaan aturan hukum seperti yang tercantum dalam perubahan ketiga Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak cukup hanya makna gramatikal tanpa penjelasan atau tambahan implementasi makna, tetapi harus diikuti dengan penegasan dari penegakan sistem hukum”. Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Jika penegakan hukum lemah, masyarakat akan memiliki persepsi bahwa hukum itu tidak ada. Sebaliknya, jika penegakan hukum dilakukan secara konsisten barulah masyarakat mempersepsikan hukum itu ada dan akan tunduk (Imron Rosyadi, 2007:78). Penegakan hukum administrasi negara memiliki beberapa jenis sanksi. Jenis sanksi administrasi negara dilihat dari sasarannya yaitu (Ivan Fauzani Raharja, 2014:125) : a. Paksaan pemerintah (bestuursdwang) Paksaan pemerintah merupakan tindakan nyata yang dilakukan organ pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, meghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah atau sedang dilakukan
22
yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan peraturan perundang-undangan. b. Penarikan kembali ketetapan yang menguntungkan Dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. c. Pengenaan uang paksa (dwangsom) Uang paksa sebagai hukuman jumlahnya ditentukan dalam syarat perjanjian yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan. Uang paksa berbeda dengan ganti kerugian dan pembayaran bunga. d. Denda administratif Berbeda dengan pengenaan uang paksa yang ditujukan untuk situasi konkrit yang sesuai dengan norma, denda administratif ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti.
23
B. Kerangka Pemikiran Rencana Pembangunan PLTU di Ujungnegoro, Kabupaten Batang
Permohonan Penerbitan Izin Gangguan
Syarat-syarat dan Prosedur Permohonan Penerbitan Izin Gangguan
Pemeriksaan lokasi oleh Tim Pemeriksa Izin Gangguan
Kendala yang muncul
Solusi yang dipakai Keputusan Bupati
Ditolak
Disetujui, maka izin gangguan akan diterbitkan
Pembangunan PLTU dimulai
Kegiatan dihentikan
Gambar 1. Kerangka pemikiran
24
Penjelasan Kerangka Pemikiran : Setiap orang atau badan yang mendirikan atau memperluas tempat usaha di wilayah Kabupaten Batang wajib memiliki izin. Salah satu izin yang harus dipenuhi adalah izin gangguan seperti pada rencana pembangunan PLTU di desa Ujungnegoro, Kabupaten Batang yang akan menjadi PLTU dengan kapasitas 2x1000 Megawatt. Izin gangguan diperlukan sebagai upaya pengendalian dampak dan gangguan yang timbul dari pembangunan PLTU. Permohonan penertbitan izin gangguan diajukan secara tertulis kepada BPMPT Kabupaten Batang. Pihak PLTU sebagai pemohon harus memenuhi syarat-syarat permohonan penerbitan izin gangguan sesuai yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan. Sering bermunculan kendala dalam tahap ini, baik dari syarat-syarat maupun prosedur yang harus dipenuhi. Setelah syarat-syarat yang harus dipenuhi lengkap maka dilanjutkan dengan pemeriksaan lokasi yang dijadikan tempat usaha yang terletak di desa Ujungnegoro oleh Tim Pemeriksa Izin Gangguan. Setelah pemeriksaan selesai, Bupati dapat menerima ataupun menolak permohonan penerbitan izin gangguan dengan pertimbangan tertulis dari Tim Pemeriksa Izin Gangguan dan perangkat daerah yang membidangi sesuai tugas pokok dan fungsinya. Setelah izin gangguan diterbitkan maka pembangunan PLTU di desa Ujungnegoro, Kabupaten Batang dapat dimulai dengan memperhatikan dan melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam izin gangguan.