perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Hukum Perdata a. Pengertian Hukum dan Hukum Perdata Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol, hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap masyarakat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum, sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya (http://kadekarisupawan.wordpress.com, diakses pada tanggal 20 Mei 2014 pukul 07.00). Hukum berfungsi sebagai pedoman pengatur perilaku dan perbuatan orang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara umum, tujuan hukum adalah untuk : 1) Menciptakan keamanan, ketertiban, dan keteraturan; 2) Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat; 3) Menegakkan hukum secara konsisten dan tanpa diskriminasi; serta 4) Menghargai dan menghormati hak-hak asasi manusia (Abdulkadir Muhammad, 2010 : 1 ). Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno
sebagai
terjemahan
dari
burgerlijkrecht
pada
masa
pendudukan Jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht. Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut ini : Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke- 19 adalah suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
yang sangat essensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi ( Dunne, 1987:1). Definisi ini mengkaji definisi hukum perdata dari aspek pengaturannya. Fokus pengaturannya pada kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatannya. Definisi lain tentang pengertian hukum perdata dikemukakan H.F.A. Vollmar dan Sudikno Mertokusumo. Vollmar berpendapat bahwa hukum perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu linta (Vollmar, 1996 : 2 ). Pandangan Vollmar ini mempunyai kesamaan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo. Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum perdata sebagai hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak (Mertokusumo, 1986 : 108 ). Kedua definisi yang dikemukakan yang terakhir ini, yaitu definisi yang dikemukakan oleh Vollmar dan Sudikno, keduanya mengkaji definisi hukum perdata dari aspek perlindungan hukum dan ruang lingkupnya. Perlindungan perorangan yang satu dengan perorangan yang lain, sedangkan ruang lingkupnya mengatur hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamanya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Padahal dalam teori ilmu hukum bahwa subyek hukum itu tidak hanya orang, tetapi juga badan hukum, sehingga definisi di atas perlu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
disempurnakan. Oleh karena itu, hukum perdata dapat diartikan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan antara subjek satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan. Kaidah hukum perdata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi, sedangkan kaidah hukum perdata yang tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan). Subjek hukum dibedakan menjadi dua macam yaitu orang dan badan hukum. Orang sebagai subjek hukum mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum. Sedangkan badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban. Substansi yang diatur di dalam hukum perdata, yaitu : (1) dalam hubungan keluarga, dan (2) dalam pergaulan masyarakat. Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang ( badan pribadi ) dan hukum keluarga, sedangkan di dalam pergaulan masyarakat akan menimbulkan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris. Dari berbagai rumusan di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam definisi hukum perdata, yaitu : 1) Adanya kaidah hukum ( tertulis dan tidak tertulis) 2) Mengatur hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainya; 3) Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktian dan kadaluwarsa ( Salim, 2001: 6-7). Hukum perdata dapat dibagi menjadi dua yaitu :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
1) Hukum perdata materiil, yaitu hukum perdata yang berisi peraturan hukum yang mengatur hubungan antara hukum seseorang dengan orang lain. Misalnya : peraturan tentang sewa menyewa, utang piutang dan sebagainya. 2) Hukum perdata formil, yaitu hukum perdata yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum perdata materiil. Misalnya : peraturan tentang cara menyusun surat gugat, mengajukan banding, dan sebagainya ( Th. Kussunaryatun,dkk : 2010, 20). b. Sistematika Pembagian Hukum Perdata 1) Pembagian menurut isinya, Hukum Perdata dibagi menjadi dua, yaitu : a) Hukum Perdata dalam arti luas, yaitu hukum perdata, termasuk di dalamnya selain peraturan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga peraturan-peraturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang. b) Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu hukum perdata yang terdiri dari ketentuan-ketentuan yang hanya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata saja. 2) Pembagian menurut Ilmu Pengetahuan Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata dapat dibagi : a) Hukum Perorangan, berisi ; (1) Peraturan tentang manusia sebagai subyek hukum (2) Peraturan-peraturan tentang kecakapan memiliki hak-hak serta untuk bertindak melaksanakan hak-hak tersebut. (3) Domisili b) Hukum Keluarga, berisi : (1) Peraturan-peraturan tentang hubungan orang tua dengan anak (2) Peraturan tentang perwalian (3) Peraturan tentang pengampuan (4) Peraturan kekayaan perkawinan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
c) Hukum Harta Kekayaan Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum orang dalam lapangan harta kekayaan, berisi : (1) Hukum benda (2) Hukum perikatan. d) Hukum Waris, yaitu peraturan yang mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang, jika orang tersebut meninggal dunia. Hukum waris menurut KUHPdt, merupakan hukum yang mengatur salah satu cara untuk memperoleh kebendaan, oleh karena itu hukum waris diatur dalam buku ke dua yang mengatur tentang benda. Pembagian
menurut
ilmu
pengetahuan
tidak
menyinggung mengenai buku ke empat, sebab buku ke empat yang mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa, pada hakekatnya tidak termasuk di dalam hukum perdata materiil, melainkan termasuk dalam hukum perdata formil ( hukum acara perdata). Dapat dikatakan bahwa hukum perdata materiil mengatur seluruh segi kehidupan manusia, mulai sejak saat masih dalam kandungan sampai meninggal dunia. 3) Pembagian menurut Bukunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibagi menjadi empat buku, yaitu : a) Buku ke satu, mengatur tentang orang, memuat ketentuan mengenai : (1) Hukum Perorangan (2) Hukum Keluarga b) Buku ke dua, mengatur tentang benda, memuat ketentuan mengenai : (1) Hukum benda (2) Hukum waris
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
c) Buku ke tiga, mengatur tentang perikatan, memuat mengenai hukum harta kekayaan. d) Buku ke empat, mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa, memuat ketentuan mengenai : (1) Alat bukti (2) Akibat daluwarsa (Th. Kussunaryatun,dkk, 2010 : 23-25). c. Lingkup Materi Hukum Perdata Timbulnya hukum karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat serta mengatur cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan hidup bermasyarakat yang perdata yang mengatur cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan
lazim disebut hukum acara perdata. Dalam KUHPerdata, hukum materiil diatur dalam Buku I, II, dan III, sedangkan hukum perdata formal diatur di dalam Buku IV, selain dalam KUHPdt, hukum perdata formal juga diatur di dalam Herziene Inlandsch Reglemment ( HIR ) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB). HIR atau RIB digunakan untuk memeriksa perkara perdata di Pengadilan negeri Jawa dan Madura, serta diatur dalam Rechtreglement Buitengewesten (RBG), yang digunakan untuk memeriksa perkara perdata di Pengadilan Negeri luar Jawa dan Madura (Th. Kussunaryatun,dkk, 2010: 68). Hukum
perdata
materiil
memuat
dan
mengatur
segala
permasalahan mengenai : 1)
orang sebagai pendukung hak dan kewajiban ( personal law, personenrecht);
2)
Keluarga sebagai unit masyarakat
terkecil (
familierecht); 3)
Harta kekayaan ( property law, vermogensrecht); dan
4)
Pewarisan ( heritage law, erfrecht).
commit to user
family law,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Inilah lingkup materi hukum perdata materiil yang diatur dalam Buku I, II, dan
III
KUHPdt,
sedangkan
mengenai
cara
melaksanakan
dan
mempertahankan hak dan kewajiban perdata diatur dalam hukum acara perdata sebagai kajian hukum yang berdiri sendiri dan diatur dalam Buku IV KUHPdt, HIR, dan RBG (Abdulkadir Muhammad, 2010 : 4 ). d. Sumber Hukum Perdata Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil adalah tempat atau sumber dimana materi hukum itu diambil. Sumber
hukum
materiil
ini
merupakan
faktor
yang
membantu
pembentukan hukum, dan menentukan isi kaidah hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan geografis. Sumber hukum formal adalah tempat atau sumber untuk memperoleh hukum atau menemukan hukum yang berlaku. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku, yang terdiri dari Undang-undang, perjanjian antarnegara (traktat), yurisprudensi, doktrin, dan kebiasaan. Sumber hukum perdata dapat dibagi menjadi dua macam yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata tertulis adalah tempat diketemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber hukum tertulis. Umumnya, sumber hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis, seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
2. Tinjauan tentang Hukum Keluarga a. Pengertian hukum keluarga Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (belanda) atau law of familie (inggris) ( Salim, 2008 : 55). Istilah keluarga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat. Ali Affandi mengatakan bahwa hukum keluarga keseluruhan
ketentuan
yang
mengatur
dapat diartikan sebagai
hubungan
hukum
yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir) ( Ali Affandi, 1986 : 93). Keluarga sedarah, artinya suatu pertalian keluarga antara sanak saudara yang senenek moyang atau mempunyai nenek moyang yang sama. Keluarga sedarah ini ada yang ditarik menurut garis bapak yang disebut matrinial dan ada yang ditarik menurut garis ibu dan bapak yang disebut parental atau bilateral. Pertalian keluarga karena perkawinan disebut keluarga semenda, artinya suatu pertalian keluarga yang di akibatkan karena adanya ikatan perkawinan, yang terdiri dari sanak saudara suami dan sanak saudara istri (J. Satrio, 2000 : 7). b. Sumber Hukum Keluarga Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan sumber hukum tak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat ( kebiasaan). Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini 1) Kaidah-kaidah
hukum
yang
bersumber
dari
undang-undang,
yurisprudensi dan traktat 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 3) UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam) 4) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
5) PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 6) PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Selain itu yang 7 ini yang menjadi sumber hukum keluarga tertulis adalah Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam saja (Salim, 2001: 56-57). c. Asas-asas Hukum Keluarga Berdasarkan hasil analisis terhadap KUHPdt dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditemukan 5 ( lima ) asas yang paling prinsip dalam Hukum Keluarga, yaitu : 1) Asas Monogami ( Pasal 27 KUHPdt , Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Asas monogami mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2) Asas Konsensual ( Pasal 28 KUHPdt, Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ), merupakan suatu asas bahwa perkawinan atau perwalian dikatakan sah apabila terdapat persetujuan atau konsensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan atau keluarga harus dimintai persetujuannya tentang perwalian. 3) Asas Persatuan Bulat ( Pasal 119 KUHPdt), yaitu suatu asas antara suami-istri terjadi persatuan harta benda yang dimilikinya. 4) Asas Proposional ( Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974), yaitu suatu asas
yang hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 5) Asas Tak Dapat dibagi-bagi, suatu asas bahwa tiap-tiap perwalian hanya terdapat satu wali ( Pasal 331 KUHPdt). Pengecualian dari asas ini adalah :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
a) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama maka kalau ibu kawin lagi, suaminya menjadi wali serta / wali peserta ( Pasal 351 KUHPdt), dan b) Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak di bawah umur di luar Indonesia (Pasal 361 KUHPdt ). Asas-asas di atas dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan penegakkan hukum keluarga, khususnya tentang perkawinan, hal ini bertujuan agar dapat meminimalisirkan angka perceraian yang terjadi di masyarakat ( Salim, 2001 : 57-58). d. Ruang Lingkup Hukum Keluarga Setelah mengetahui apa pengertian hukum keluarga maka dapat diketahui bahwa apa-apa saja ruang lingkup dalam hukum keluarga. Ruang lingkup dalam hukum keluarga itu meliputi: perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian. Namun di dalam bagian hukum keluarga hanya difokuskan pada : 1) Perkawinan Ialah eksistensi institusi atau melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan perempuan. Tujuannya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. 2) Perceraian Ialah berakhirnya perkawinan yang dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh kematian, perceraian, atas putusan pengadilan. Menurut BW juga disebabkan tidak hadirnya suami istri selama 10 tahun, dan diikuti dengan perkawinan baru (http://pandidi kan.blogspot.com/2010/10/hukum-keluarga-familierecht.html, diakses pada tanggal 30 April 2014 pukul 06.22). 3) Harta benda dalam perkawinan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Harta benda dalam perkawinan, diatur di dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu : a)
Harta Bersama, merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan menjadi harta bersama.
b)
Harta bawaan masing-masing, merupakan harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan, dan
c)
Harta perolehan, merupakan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah perkawinan dan harta tersebut
berada
dibawah
penguasaan
masing-masing,
sepanjang tidak ditentukan lain. Apabila dalam perkawinan terjadi perceraian atau perkawinan putus maka pembagian harta benda berdasarkan hukum masing-masing (Abdulkadir Muhammad: 2010, 103).
3. Tinjauan tentang Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Di dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membetnuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut perundangan, perkawinan ialah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita, itu berarti perkawinan sama dengan perikatan (Hilman Hadikusuma, 2003 : 7). Perumusan yang diberikan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bukan saja
memuat
pengertian
atau
arti
perkawinan,
melainkan
juga
mencantumkan tujuan dan dasar perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri, sedangkan tujuannya untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
Maha Esa atau jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didasarkan pada hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing. Di dalam hukum perdata barat dalam Pasal 26 KUHPdt menganggap perkawinan hanya sebagai perjanjian lahiriah/keperdataan belaka sama seperti perjanjian keperdataan yang lainnya, yang tidak mengandung nilai atau ikatan batiniah/agama. Dalam Pasal 26 KUHPdt d
Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-
Pasal 26
KUHPdt ini, perkawinan hanya sah dan dianggap mempunyai kekuatan hukum bila dapat dibuktikan dengan adanya suatu akta perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Pencatatan Sipil. Namun, pada dasarnya perkawinan juga dapat dipandang selain mempunyai nilai lahiriah/keperdataan juga mempunyai nilai batiniah/ agama dan ini merupakan unsur yang penting untuk membentuk keluarga yang bahagia dan rapat hubungan dengan keturunan, sehingga Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa perkawinan itu bukan saja ikatan lahir belaka atau batiniah belaka, melainkan sekaligus ikatan lahir batin kedua-duanya, yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita. Dengan ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan batin saja, tetapi harus kedua-duanya. Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, dengan kata lain dapat disebut sebagai hubungan formal. Hubungan formal ini nyata, baik bagi yang mengingatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak dapat dilihat tetapi ikatan yang hanya bisa dirasakan atau bisa dikatakan bersifat abstrak. Ikatan lahir batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal, dan juga ikatan lahir batin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk menjadi suami istri, selaku kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga yang bersamasama membina keluarga dan memelihara, merawat, dan mendidik anakanak keturunannya. b. Syarat dan Tata Cara Perkawinan Ada dua macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan disebut juga syaratsyarat subjektif. Adapun syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undangundang, disebut juga syarat-syarat objektif. Persyaratan perkawinan diatur secara limitative di dalam Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang meliputi persyaratan materiil maupun persyaratan formal, perlu diingat selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing, termasuk ketentuan dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu. Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu: 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
3) Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. 4) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 yaitu Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pasal 4 yaitu dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 5) Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya. 6) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan waktu tunggu itu adalah sebagai berikut: 1) Apabila
perkawinan
putus
karena
kematian,
waktu
tunggu
ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami. 2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap. 3) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 4) Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda
dan
bekas
suaminya
kelamin tidak ada waktu tunggu.
belum
commit to user
pernah
terjadi
hubungan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974 direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Setiap
orang
yang
harus memberitahukan
akan
melangsungkan
kehendaknya
kepada
perkawinan
Pegawai
Pencatat
Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan
dilangsungkan.
Pemberitahuan
dapat
dilakukan
lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5) 2) Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7). 3) Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain: a) Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin. b) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8-9) 4) Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
masing
diberikan
kutipan
akta
perkawinan
(Pasal
10-13)
(http://pkbh.uad.ac.id, diakses pada tanggal 4 Juni 2014 pukul 07.02). Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkaw
-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undang penjelasan Umum Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan antara lain menyatakan Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Dengan demikian berdasarkan ketentuan di atas, maksud dari pencatatan perkawinan di sini untuk membuktikan telah dilangsungkannya suatu perkawinan, masing-masing pihak menjadi lebih terang dan jelas kedudukannya sebagai suami istri di dalam perkawinan. Walaupun pencatatan perkawinan ini tidak menentukan keabsahan suatu perkawinan, akan tetapi demi tertib administrasi dan kependudukan serta menjamin kepastian hukum, maka pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan yang diadakan. Tata cara perkawinan sesuai dengan Pasal di atas adalah perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Selanjutnya tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya dan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian pelaksanaan perkawinan sepenuhnya dilakukan oleh para pihak, sedangkan Pegawai Pencatat Perkawinan hanya bertugas melakukan pencatatan perkawinan saja (Rachmadi Usman, 2005 ; 268).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
c. Akibat Perkawinan Di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, disebutkan tiga akibat perkawinan, yaitu : 1) adanya hubungan suami istri. Sejak terjadi perkawinan, timbullah hubungan hukum antara suami istri. Hubungan hukum adalah timbulmya hak dan kewajiban antara suami istri. Hak dan kewajiban suami istri diatur di dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Salim, 2001 : 73). 2) hubungan orang tua dengan anak, Mengenai hubungan orang tua dengan anak juga diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Bab IX, Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Selain itu, juga terdapat hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anakanak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45), anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik, dan anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46) (http://kuliahade.wordpress.com, diakses pada tanggal 16 Mei 2014 pukul 06.53). 3) masalah harta kekayaan. Terkait dengan masalah harta kekayaan diatur di dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
yang
mengatakan
bahwa
setelah
terjadi
perkawinan, maka akan menimbulkan adanya harta bawaan dan harta bersama, suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun, dan suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
4.
Tinjauan tentang Anak a. Pengertian Anak Anak merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang dititipkan kepada suatu keluarga untuk dapat dirawat dengan kasih sayang sehingga tumbuh menjadi manusia yang beriman dan berbakti. Anak juga merupakan buah kasih sayang dari kedua orang tuanya. Karena anak adalah rahmat dari Tuhan, maka sudah seharusnyalah orang tua merawat dan membesarkan anak-anaknya dengan cinta kasihnya. Selain itu anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-undang. Menurut
Undang-undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan tidak memberikan pengaturan yang mendetail mengenai pengertian anak. Dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Sementara menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur dua puluh satu (21) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, memberikan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas (18) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. b. Kedudukan Anak dalam Perundangan Kedudukan anak sangat penting dalam bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga, karena merupakan tumpuan harapan masa depan. Oleh karena kondisinya sebagai anak, maka perlu perlakuan khusus agar dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
tumbuh dan berkembang secara wajar, baik fisik, mental dan rohaninya. Dengan adanya ikatan perkawinan, suami dan istri berkedudukan sebagai orang tua, baik terhadap anak kandung maupun bukan anak kandung. Namun demikian, terkadang sebelum terjadinya perkawinan suami istri telah mempunyai anak bawaan, antara lain anak tiri, anak angkat, anak pungut atau mungkin anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah. Mengenai kedudukan anak terdapat berbagai ketentuan yang mengatur, yaitu menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan pengaturan yang mendetail mengenai kedudukan anak. Pengaturan mengenai kedudukan anak dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya terdiri dari 3 Pasal, yaitu Pasal 4244. Undang-undang Perkawinan membagi kedudukan anak ke dalam dua kelompok, yaitu : 1) Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah (Pasal 42). 2) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Pasal 43 ayat (1) menentukan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal itu berarti anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa yang diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai konsekuensi sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUHPdt. Bagi seorang anak yang tidak sah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa anak itu hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1). Dengan demikian anak hanya dapat mewaris harta atas peninggalan ibunya. Namun setelah adanya putusan MK No. 46/PUU-VII/2010, dalam ketentuan yuridis Pasal 43 ayat (1)
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya, artinya bahwa anak yang lahir di luar perkawinan juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah atau keluarganya (Dirga Insanu Lamaluta, 2013:92).
Pasal 44 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan hak kepada suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya apabila si suami dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak tersebut merupakan akibat perzinahan itu. Atas penyangkalan ini pengadilan akan memberikan keputusan mengenai sah atau tidaknya anak tersebut. Mengenai kedudukan anak Kitab Undang-undang Hukum Perdata, memiliki pengaturan yang lebih rinci. KUHPdt membagi kedudukan anak menjadi : 1) Anak sah adalah anak-anak yang tumbuh atau dilahirkan sepanjang perkawinan ayah ibunya. 2) Anak tidak sah atau anak luar kawin atau anak alami, dibedakan menjadi : a)
Anak luar kawin yang bukan hasil perselingkuhan atau sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).
b)
Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang. Anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan anak tersebut lahir.
c)
Anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
keduanya berdasarkan ketentuan Undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata). Selain itu juga dikenal dengan : 1)
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan ( Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002)
2)
Anak tiri adalah anak kandung yang dibawa oleh suami atau isteri dari perkawinan sebelumnya ke dalam perkawinan berikutnya, sehingga salah seorang dari mereka menyebut anak itu sebagai anak tiri. Berpegang pada pengertian di atas dapat dijabarkan adanya 2 (dua) kategori Anak tiri yaitu : a)
Anak bawaan isteri dan/ atau suami akibat perkawinan sah, dan
b)
Anak bawaan isteri yang lahir di luar perkawinan sah.
Anak tiri pada kategori kedua telah jelas ketentuannya bahwa dia hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya tersebut (Pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 186 KHI) Hubungan antara anak tiri dengan orangtua tirinya tidak ada bedanya dengan hubungan antara anak kandung dengan orangtua kandungnya. Orangtua tiri berkewajiban untuk merawat, mendidik dan memenuhi semua kebutuhan anak tirinya sampai dewasa, begitupun sebaliknya, anak
tiri
mempunyai
kewajiban
untuk
menghormati
dan
merawat orangtua tirinya sesuai dengan kemampuannya (http://www. jurnalhukum.com/kedudukan anak / diakses pada 10 Februari 2014 pu kul 19.00).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
5. Tinjauan tentang Pencabutan Kuasa Asuh (Kekuasaan) Orang Tua terhadap Anak a.
Pengertian Kekuasaan (Kuasa Asuh) Orang Tua terhadap Anak Pengertian kekuasaan asuh orang tua terhadap anak tidak dijelaskan di dalam KUHPerdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun pengertian kekuasaan asuh orang tua dijelaskan di dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam Pasal 1 tersebut dijelaskan mengenai pengertian kuasa asuh yaitu kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. Menurut KUHPdt (BW) selama perkawinan bapak dan ibu, setiap anak sampai mereka dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sejauh mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu (Pasal 299). Setiap pemangku kekuasaan orang tua terhadap anak yang belum dewasa harus mengurus barang-barang anak itu ( Pasal 307). Dia tidak boleh memindahtangankan barang-barang anak-anaknya yang belum dewasa melainkan dengan mengindahkan aturan tentang pemindahan tangan barang-barang kepunyaan anak-anak yang belum dewasa ( Buku I bab XV (Pasal 309)) (Hilman Hadikusuma, 2003 : 147). Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terutama dalam Pasal 47,48, dan 49 mengatakan bahwa kekuasaan orang tua terhadap anak secara umum dikonstruksikan sebagai kewajiban orang tua untuk mendidik dan memelihara anak. Kekuasaan orang tua terhadap anak pada dasarnya ketika anak belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan. Kekuasaan orang tua ini meliputi juga mewakili anak yang belum dewasa dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kekuasaan orang tua juga diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
dikatakan bahwa dalam Pasal 26, Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi
anak,
menumbuhkembangkan
anak
sesuai
dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya, dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. b.
Pencabutan Kekuasaan ( Kuasa Asuh ) Orang Tua Pencabutan kuasa asuh orang tua adalah hilangnya atau lepasnya kekuasaan orang tua terhadap anaknya untuk sementara waktu. Kekuasaan salah satu atau salah seorang orang tua dapat dicabut apabila melalaikan kewajiban atau berperilaku buruk berdasarkan putusan pengadilan, terkecuali kekuasaan sebagai wali nikah. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun1974, salah seorang atau kedua orang tuanya dapat dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal : ia sangat melalaikan kewajibaannya terhadap anak dan ia berkelakuan buruk. Meskipun
orang
tua
dicabut
kekuasaanya
mereka
masih
tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut (Hilam Hadikusumo, 2003 : 148). Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor
23
Tahun
2002
dikatakan
Dalam
hal
orang
tua
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam hal di atas dilakukan melalui penetapan pengadilan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
B. Kerangka Pemikiran Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan
Laki-laki
Akibat hukum perkawinan yang sah
Menikah Perempuan
Hubungan suami- istri
Hubungan orang tua dengan anak
Harta kekayaan
Hak dan Kewajiban
Kelalaian
Indikator
Berkelakuan buruk
Akibat hukum
PencabutanKekuasaan Asuh orang tua terhadap anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undangundang Nomor 23 Tahun 2002
Akibat hukum pencabutan menurut Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Keterangan : Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis yaitu diawali dengan adanya suatu perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam Undang-undang tersebut diatur mengenai syarat perkawinan, tata cara perkawinan, tata cara pencatatan perkawinan, dan akibat hukum perkawinan. Setelah terjadinya perkawinan yang sah, maka akan menimbulkan akibat hukum terhadap perkawinan tersebut. Akibat hukum dalam perkawinan dapat dibagi menjadi 3 yaitu hubungan suami-istri, hubungan orang tua dengan anak, dan masalah harta kekayaan. Di sini akan lebih diperjelas mengenai akibat hukum mengenai hubungan orang tua dengan anak. Hubungan orang tua dengan anak akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak atau sebaliknya anak dengan orang tua. Dalam melaksanakan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, kadang-kadang orang tua sering mengabaikan kepentingan anak, sehingga hal tersebut menimbulkan adanya kelalaian orang tua terhadap anak, bahkan biasanya orang tua dalam melakukan kewajibannya, terkadang cenderung dengan melakukan perbuatan yang tidak semestinya, misalnya dengan kekerasan. Hal tersebut merupakan contoh perbuatan yang tidak baik, karena tindakan atau sikap orang tua yang demikian akan memberikan dampak yang buruk terhadap anak. Dengan seiring waktu anak akan meniru apa yang dilakukan orang tua tersebut, karena mereka menganggap perbuatan itu sesuatu yang wajar karena anak sering melihat hal tersebut. Perbuatan orang tua yang demikian tadi akan menimbulkan adanya akibat hukum,
yaitu orang tua yang selalu melalaikan
kewajibannya terhadap anak atau melakukan perbuatan yang buruk terhadap anak, kekuasaan asuhnya dapat dicabut, hal ini diatur di dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam hal kekuasaan asuh orang tua dicabut, juga akan menimbulkan akibat hukum terhadap orang tua yang kekuasaannya dicabut tersebut yaitu adanya pengalihan kekuasaan asuh yang dimiliki oleh orang tua kepada pihak lain atau wali yang ditunjuk melalui penetapan pengadilan, yang berperan sebagai pengganti orang tua sementara, selama kekuasaan asuh orang tua kandung anak dicabut.
commit to user