BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana, Sanksi Pidana, dan Pemidanaan a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan istilah stratbaar feit. Istilah strafbaar feit dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah yaitu tindak pidana, delik, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, dan perbuatan pidana. Dalam kepustakaan hukum pidana sering menggunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan dalam undangundang dengan menggunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Penulis akan memberikan berturut-turut pendapat para ahli mengenai tindak pidana (strafbaar feit) dan disebutkan mengenai unsur-unsurnya. Golongan pertama adalah mereka yang bisa dimaksudkan kedalam “aliran monoistik”. Menurut D. Simons dikutip dalam bukunnya (Sudarto, 2013 : 6770) mengungkapkan bahwa Strafbaar feit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige,
met
schuld
verband
staande
handeling
van
een
toerekeningsvatbaar person”. (Suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung-jawab). Kemudian Van Hamel juga mengungkapkan bahwa Strafbaar feit adalah “een wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechmatig, strafwaardig en aan schuld te wijten”. (Perbuatan manusia yang dirumuskan
11
12
dalam undang-undang yang melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan patut dipidana). Selanjutnya akan disebut beberapa ahli yang memiliki pandangan dualistik tentang syarat-syarat pemidanaan. Menurut W.P.J. Pompe dikutip dalam bukunya (Sudarto, 2013 : 67-70) berpendapat bahwa hukum positif, strafbaar feit adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. (Volgens ons positieve recht is het straf bare feit niets anders dat een feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in omschreven). Menurut teori strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan. Memisahkan tindak pidana dari orangnya yang dapat dipidana. Sedangkan menurut Moeljatno dalam bukunya (Sudarto, 2013 : 67-70) mengungkapkan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu di ingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Pandangan dualistis, membedakan pemisahan antara dilarangannya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya sipembuat (criminal responbility atau adanya mens tea). Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat diartikan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut melangggar apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang dan diberi sanksi berupa sanksi pidana. Kata kunci untuk membedakan suatu perbuatan suatu tindak pidana atau bukan adalah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau
13
tidak. Suatu perbuatan yang dilarang dan diancam mengenai perbuatan pidananya sendiri yaitu criminal act, dasar pokoknya yaitu asas legalitas (Principle of legality). Asas legalitas biasanya dikenal dengan bahasa latin sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali, yang terkadang disebut secara singkat yaitu Nulla Poena, Sine Lege. Asas ini merupakan asas yang penting dalam hukum pidana (Sudarto, 2013:36). Penjelasannya terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Tindak pidana merupakan dasar suatu kesalahan dalam suatu kejahatan. Untuk adanya kesalahan, hubungan antara keadaan dengan perbuatan yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan, sedangkan istilah dari pengertian kesalahan yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, sehingga perbuatan tersebut harus dipertanggung-jawabkan, dan pabila terbukti benar terjadi suatu tindak pidana maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya. b. Jenis-Jenis Pidana Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jenis-jenis pidana digolongkan menjadi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk satu kejahatan atau pelanggaran, hanya boleh dijatuhkan satu pidana pokok, namun dalam beberapa hal yang ditentukan dalam undang-undang, dapat pula ditambah dengan salah satu dari pidana tambahan. 1) Pidana Pokok Jenis-jenis pidana pokok yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP adalah sebagai berikut :
14
a) Pidana Mati Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar dengan ancaman hukuman mati, akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubung dengan inilah pada zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan di hadapan umum (Wirjono Prodjodikoro, 2003 : 175). b) Pidana Penjara Menurut P.A.F. Lamintang, menyatakan bahwa bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk dipilih dan memilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik dan lain-lain (Amir Ilyas, 2012 : 110). c) Pidana Kurungan Hal-hal yang diancamkan dengan pidana kurungan adalah delik yang dipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran. Menurut Niniek Suparni, bahwa pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang (Niniek Suparni, 2007 : 23). d) Pidana Denda Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda oleh hakim untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Pidana denda ini dapat ditanggung oleh orang lain selama pelaku delik terpidana. Oleh karena itu, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. Apabila terpidana tidak membayar uang denda yang telah diputuskan, maka konsekuensinya adalah harus
15
menjalani kurungan (jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan, Pasal 30 ayat (2) KUHP) sebagai pengganti dari pidana denda. e) Pidana Tutupan Pidana tutupan ini di tambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1946, yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat. Tempat dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Tutupan. Di dalam Peraturan ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu berlaku berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan rumah tutupan itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat kita baca dalam Pasal 55 ayat (2) dan (5), Pasal 36 ayat (1) dan (3), Pasal 37 ayat (2). Pasal 33 menyatakan bahwa makanan orang pidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut. Dari
ketentuan-ketentuan
yang diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah tersebut, dapat diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendaptkan fasilitas dari pada narapidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang di pidana tutupan itu tidak sama dengan
16
orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati. Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini, pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak pada orang yang dapat di pidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena di dorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang itu maupun peraturan pemerintah pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia pernah terjadi hanya satu kali yaitu hakim menjatuhkan pidana tutupan, putusan Mahkamah Tentara Agung Republik Indonesia pada tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946. 2) Pidana Tambahan Pidana tambahan menurut Andi Hamzah adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan di samping Pidana pokok penjatuhan Pidana tambahan sifatnya fakultatif namun menjatuhkan Pidana pokok, sehingga harus bersama-sama. Pidana tambahan menurut Marjane Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia disebut dengan bijkomende straf adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok (Andi Hamzah, 2008 : 121). Jenis pidana tambahan yaitu terdiri dari pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim (lihat ketentuan dalam Pasal 10 KUHP) : a) Pidana pencabutan hak-hak tertentu menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP adalah pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang
17
dapat mengakibatkan kematian perdata tidak diperkenankan. Hakhak yang dicabut menurut Adami Chazawi adalah sebagai berikut (Adami Chazawi, 2007 : 44-45) : (1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; (2) Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata / TNI; (3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; (4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas anak yang bukuan anak sendiri; (5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; dan (6) Hak menjalankan mata pencaharian. b) Pidana perampasan barang tertentu menurut Adami Chazawi adalah hukuman perampasan barang sebagai suatu Pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak untuk semua barang. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim Pidana, yaitu (Adami Chazawi, 2007 : 49-50) : (1) Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran), menurut Marjane Termorshuizen dalam kamus hukum Bahasa Belanda, dalam bahasa Belanda adalah corpora delictie yang berarti barang bukti, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, surat cek palsu dari kejahatan pemalsuan; dan (2) Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, menurut Marjane Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia, dalam bahasa Belanda adalah instrumenta delictie, yang berarti sarana dengan mana kejahatan dilakukan, sarana
18
terlaksankannya kejahatan, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam pencurian dan sebagainya. c) Pidana pengumuman putusan hakim menurut Adami Chazawi adalah pidana pengumuman putusan hakim yang hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam UndangUndang, misalnya terdapat dalam Pasal 128 ayat (3) KUHP, Pasal 206 ayat (2) KUHP, Pasal 361 KUHP, Pasal 377 ayat (1) KUHP, Pasal 395 ayat (1) KUHP, Pasal 405 ayat (2) KUHP (Adami Chazawi, 2007 : 53-54). Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Maksud dari pengumuman pitusan hakim yang demikian ini adalah sebagai usaha preventif mencegah bagi orang-orang tertentu, agar tidak melakukan tindakan Pidana yang sering dilakukan orang. Maksud lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orangorang yang dapat disangka tidak jujur, sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan. c. Pengertian Pidana dan Pemidanaan Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal dengan satu istilah umum untuk keduanya, yaitu straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana. Menurut Van Hamel, mengatakan bahwa pidana itu straf, menurut hukum positif adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah
19
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan yang harus ditegakkan oleh negara (P.AF. Lamintang, 1984 : 47). Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana mengandung unsurunsur atau ciri-ciri yaitu pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan, pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang), dan pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang (Amir Ilyas dan Yuyun Widaningsih, 2010 : 12). Masalah pemidanaan merupakan masalah yang selalu mengalami perubahan dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli hukum pidana. Perdebatan yang terjadi adalah seputar pertanyaan mengenai apa yang menjadi tujuan dan manfaat pemidanaan itu (hakikat pemidanaan). Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam perkembangannya masalah pemidanaan memiliki paradigma yang selalu berubah, mengikuti perubahan aliran pemikiran yang terjadi dalam beberapa fase penting, yakni aliran klasik lalu aliran modern dan aliran neoklasik. Aliran-aliran tersebutlah yang memunculkan pemikiranpemikiran baru mengenai hakikat pemidanaan, dan mendasari lahirnya ide dasar sistem sanksi double track system yang merupakan reorientasi dari sistem sanksi single track system. Secara umum double track system adalah sistem dua jalur mengenai pengenaan sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana disatu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Sanksi pidana (punishment) berorientasi kepada penderitaan dan pencelaan yang dikenakan terhadap pelaku. Sedangkan sanksi tindakan (maatregel, treatment) secara relatif lebih bermuatan pendidikan dan cenderung lebih antisipatif dan bersifat penanggulangan. Berbeda dengan single track system, double track system yang konsisten menghendaki adanya kesetaraan antara jenis sanksi pidana dengan jenis sanksi tindakan. Double track system tidak memakai satu sepenuhnya di antara keduanya (antara jenis sanksi pidana dengan jenis sanksi tindakan), tapi kedua-
20
duanya memiliki kedudukan yang setara dan seimbang dalam kebijakan pemidanan. Dengan demikian double track system menghendaki agar jenis sanksi pidana dan jenis sanksi tindakan diakomodir secara bersama-sama dalam setiap kebijakan pemidanaan. Inilah esensi yang paling mendasar dari sistem sanksi double track system. Bila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama undang-undang pidana khusus atau perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur (double track system) dalam stelsel sanksinya. Yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus. d. Teori dan Tujuan Pemidanaan Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif),teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan, teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence) (Dwidja Priyanto, 2009: 22). Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan (Leden Marpaung, 2009: 105). Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan (Dwidja Priyanto, 2009: 24). Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena
21
penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain (Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005: 90). Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan (Muladi dan Barda Nawawi, 1992: 12). Ciri-ciri pokok atau karateristik teori retributif yaitu (Dwidja Priyanto, 2009: 26) : a) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; b) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; d) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; dan e) Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori tersebut muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan (Leden Marpaung, 2009: 106). Menurut Leonard dikutip dalam (Teguh Prasetyo dan Abdul Halim, 2005: 96-97), teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan diberikan pidana adalah untuk menegakan tata tertib masyarakat.
22
Pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory) (Dwidja Priyanto, 2009: 26). Adapun ciri pokok atau karateristik teori relatif (utilitarian) yaitu : a) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); b) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; c) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; dan e) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat (Leden Marpaung, 2009: 107).
23
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar (Adami Chazawi, 2010: 162-163) yaitu teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat dan teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment (Teguh Prasetyo dan Abdul Halim, 2005: 96-97). Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya (Muladi dan Barda Nawawi, 1992: 12). Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku. Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib
24
sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya (Muladi dan Barda Nawawi, 1992: 12). Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
2. Tinjauan Umum Mengenai Narkotika a. Pengertian Narkotika Menurut National Dictionary of English Narcotics berarti obat bius, memiliki arti sama dengan kata Narcosis dalam bahasa yunani yang berarti menindurkan atau membiuskan. Namun pada dasarnya narkotika itu sendiri adalah senjenis tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat membius orang menjadi tidak sadar dalam arti terbius dan tidak merasakan apapun. Narkotika atau zat yang menyebabkan ketidaksadaran atau pembiusan, karena zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral atau saraf pusat dengan cara menghisap atau menyuntikan zat tersebut secara terus menerus ke dalam badan. Beberapa definisi mengenai narkotika : Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, disebutkan bahwa : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
25
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”. b. Jenis-Jenis Narkotika Seperti yang dijelaskan didalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika digolongkan menjadi : (a) Narkotika Golongan I huruf (a) : Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Yang termasuk narkotika golongan I yaitu opium mentah, opium masak, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, tanaman ganja dll. (b) Narkotika Golongan II huruf (b) : Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
tinggi
mengakibatkan
ketergantungan. Yang termasuk narkotika golongan II yaitu dipipanona, drotebanol, etonitazena, proheptasina dll. (c) Narkotika Golongan III huruf (c) : Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Narkotika golongan III yaitu polkodina, propiram, etilmorfina dll. c. Tindak Pidana Narkotika Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009
26
yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangksikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingankepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia (Rio Sungsang, 2012 : 38). Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepetingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka dan ganja (Rio Sungsang, 2012 : 39). Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika. Selain itu juga dapat dengan cara mengobati korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu narkotika atau rehabilitasi. d. Sanksi Pidana Tindak Pidana Narkotika Kebijakan sanksi pidana dan pemidaannya antara lain disebutkan sebagai berikut : 1) Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana tambahan (pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu);
27
2) Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk tindak pidana Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun, seumur hidup dan terdapat pidana mati; 3) Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda); 4) Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive). Perumusan delik dalam Undang-Undang Narkotika terfokus pada penyalahgunaan dari peredaran narkotikanya (mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya, termasuk pemakaian pribadi, bukan pada kekayaan (property/assets) yang diperoleh dari tindak pidana “narkotikanya itu sendiri.
3. Tinjauan Umum Mengenai Pegawai Negeri Sipil a. Pengertian Pegawai Negeri Sipil Menurut A.W. Widjaja berpendapat bahwa, Pegawai adalah merupakan tenaga kerja manusia jasmaniah maupun rohaniah (mental dan pikiran) yang senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok dalam usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi). Pegawai adalah orang-orang yang dikerjakan dalam suatu badan tertentu, baik di lembaga-lembaga pemerintah maupun badan-badan usaha (A.W. Widjaja, 2006 : 15). Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pegawai merupakan modal pokok dalam suatu organisasi, baik itu organisasi pemerintah maupun organisasi swasta. Dikatakan bahwa pegawai merupakan modal pokok dalam suatu organisasi karena berhasil tidaknya suatu organisasi dalam mencapai
28
tujuannya tergantung pada pegawai yang memimpin dalam melaksanakan tugas-tugas yang ada dalam organisasi tersebut. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, dijelaskan pada ketentuan umum bahwa aparatur sipil negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah kemudian pegawai negeri sipil yang kemudian disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Dijelaskan pula mengenai asas, prinsip, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku yang harus dilaksankan oleh pegawai negeri sipil yang dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, penyelenggaraan kebijakan dan manajemen aparatur sipil negara berdasarkan pada asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas, akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminatif, persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan serta kesejahteraan. Sedangkan prinsip ASN sebagai profesi dijelaskan pada Pasal 3 meliputi nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, dan profesionalitas jabatan. Mengenai kode etik dan kode perilaku pada Pasal 5 Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dijelaskan pada ayat (3) bahwa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
29
b. Pegaturan mengenai sanksi administratif bagi pegawai negeri sipil Pengelolaan aparatur sipil negara untuk menghasilkan pegawai aparatur sipil negara yang professional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dibutuhkan Manajemen Aparatur Sipil Negara yang kemudian disebut Manajemen Aparatur Sipil Negara yang terdiri atas Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang perlu diatur secara menyeluruh dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur. Adapun Manajemen PNS meliputi penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan, pengembangan karier, pola karier, promosi, mutasi, penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, disiplin, pemberhentian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, dan perlindungan. Sementara itu, untuk Manajemen PPPK meliputi penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan perlindungan. Pengaturan mengenai disiplin PNS diatur pada Pasal 86 Paragaf 11 yaitu untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi disiplin PNS. Instansi pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin terhadap PNS serta melaksanakan berbagai upaya peningkatan disiplin. PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin. Sedangkan dalam hal pemberhentian terhadap PNS terdapat beberapa kategori yang dijelaskan pada Pasal 87 mengenai pemberhentian yaitu : 1) PNS diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia, atas permintaan sendiri, mencapai batas usia pension, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pension diri, tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban;
30
2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana; 3) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat; 4) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum, menjadi anggota dan/atau pengurus partai, dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana. Sedangkan PNS yang diberhentikan sementara sesuai dengan Pasal 88 apabila diangkat menjadi pejabat negara, diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural, atau ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. Ketentuan lebih
lanjut
mengenai
tata cara
pemberhentian,
pemberhentian sementara, dan pengaktifan kembali PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan peraturan pemerintah.
4. Tinjauan Umum Mengenai Pertimbangan Hakim Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 53 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya lalu ayat (2) penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud
31
pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusan. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya (Rifai Ahmad, 2010 : 102). Proses hakim dalam mengidentifikasi ruang dalam suatu perkara atau yang disebut konsep aktivitas hukum (judicial activism), memberikan ruang dan kesempatan bagi seorang hakim untuk menggunakan pengetahuan personalnya sehingga menuntunnya memutuskan sebuah permasalahan. Pengetahuan personal yang dimasud dalam proses penyelesaian perkara hukum tentunya dalam konteks ilmu hukum. Dalam hal ini paradigma hukum yang dianut oleh hakim akan sangat berpengaruh, disamping pengetahuan hukum lainnya. Responden penelitian, Zainuddin, seorang Hakim Pengadilan Tinggi Makasar, mengungkapkan bahwa pada praktiknya, proses pengambilan dan pembuatan oleh putusan oleh hakim di pengadilan, baik dalam perkara perdata maupun pidana merupakan proses yang kompleks dan sulit dilakukan sehingga memerlukan pendidikan, pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Pertimbangan hakim sangat ditentukan oleh pengetahuan hukum hakim yang bersangkutan (Mustafa Bola, dkk, 2015 : 34). Tugas yustisial seorang hakim adalah memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan atas suatu perkara hukum. Soedikno Mertokusumo menguraikan bahwa dalam rangka melakukan penemuan hukum, umumnya dilakukan metode interpretasi dan kontruksi hukum. Metode interpretasi hukum dilakukan terhadap aturan yang sudah ada, namun mengandung norma yang kabur (vage normen), konflik antar norma hukum (antinomy normen), dan ketidakpastian suatu peraturan Perundang-undangan jika berhadapan dengan peristiwa hukum. Sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan apabila ditemukan adanya kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan Undang-Undang (wet vacuum) (Mustafa Bola, dkk, 2015 : 34). Pendekatan yang digunakan oleh hakim pada konteks ini tetap mengacu pada pendekatan filsufis untuk pendekatan nilai termasuk nilai moralitas, pendekatan normatif untuk pendekatan yurisprudensi (ilmu hukum normatif, dan pendekatan empiris untuk pendekatan sosiologis. Konteks pendekatan ini sama dengan pendekatan yang ada sebelumnya, yakni (Mustafa Bola, dkk, 2015 : 35) :
32
a. Pendekatan moralitas, yang focal concern-nya landasan moral hukum dan validitas hukumnya adalah konsistensi hukum dengan etika eksternal atau nilainilai moral; b. Pendekatan yurisprudensi (ilmu hukum normatif) yang focal concern-nya independensi hukum dan validitas hukumnya adalah konsistensi internal hukum dengan aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas yang dimiliki hukum sendiri; dan c. Pendekatan sosiologis, yang focal concern-nya hukum dan tindakan sosial, dimana validitas hukumnya adalah konsekuensi-konsekuensi hukum bagi masyarakat. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Pembicaraan mengenai pendekatan-pendekatan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Menurut Achmad Ali, pendekatan itu ialah sebagai berikut (Mustafa Bola,dkk, 2015 : 35) : a. Pendekatan Normatif Pendekatan normatif memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakup perangkat asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Asas hukum yang melahirkan norma hukum dan norma hukum yang melahirkan kaidah atau aturan hukum. Dari satu asas hukum dapat lahir lebih dari satu norma hukum dan dari satu norma hukum melahirkan lebih dari satu kaidah atau aturan hukum. Jadi melalui pendekatan normatif ini, hakim menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai senjata utama dalam memutus suatu perkara. b. Pendekatan Empiris atau legal impirical Pendekatan empiris fokus kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat realitas, seperangkat tindakan, dan seperangkat perilaku. Jadi hakim dalam memutus perkara tidak hanya menggunakan peraturan
33
Perundang-undangan menjadi pijakan utamanya, tetapi juga melihat dan mengkaji secara nalar realitas yang ada terhadap perkara yang dihadapinya. c. Pendekatan Filsufis Pendekatan filsufis memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat nilai-nilai moral serta ide-ide yang abstrak, diantaranya kajian tentang moral keadilan. Dari ketiga pendekatan yang dipaparkan diatas, pendekatan yang mendominasi para hakim dalam menerapkan hukum dan memutus perkara adalah pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif melihat hukum dalam wujud aturan norma atau asas, hakim menilai suatu perkara yang ditanganinya berdasarkan peraturan Perundang-undangan sehingga pada posisi inilah kemudian hakim dinilai memiliki paradigma positivistis dalam membuat suatu keputusan. Pendekatan empiris tidak melihat hukum hanya semata-mata berwujud aturan, norma, atau asas, tetapi melihat hukum sebagai seperangkat realitas, seperangkat tindakan, dan seperangkat perilaku yang mencakupi sosiologis, antropologis, psikologis, ekonomis, dan religius. Pendekatan filsufis hanya digunakan sebagai penunjang oleh hakim dalam memutus perkara sehingga tidak tercermin secara menyeluruh rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara (Mustafa Bola, dkk, 2015 : 35). Putusan yang akan ditetapkan oleh suatu persidangan perkara hukum diambil berdasarkan hasil musyawarah majelis hakim yang bersifat rahasia. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam praktiknya, hakim termuda golongan dan pangkatnya
dipersilahkan
untuk
terlebih
dahulu
untuk
menyampaikan
pertimbangan hukumnya, setelah itu hakim yang lebih senior dan diakhiri oleh Hakim Ketua Majelis. Jika terdapat perbedaan pendapat, maka diambil berdasarkan suara terbanyak, dan pendapat yang berbeda tersebut dapat dimuat dalam putusan
34
sebagai dissenting opinion dan Hakim yang berbeda pendapat tersebut wajib menandatangani putusan. Ketidaksepakatan umumnya muncul berdasarkan alasan atau berkorelasi dengan ideologi, atau karena latar belakang pribadi atau pengalaman, emosional, atau faktor lain kemungkinan untuk membangkitkan sebuah ketidaksepakatan yang sulit untuk diselesaikan dengan argumen beralasan. Dalam konteks ini, pengetahuan dan paradigma hukum berperan penting (Mustafa Bola, dkk, 2015 : 36). Rapat permusyawaratan majelis hakim, yang selalu menjadi pertimbangan adalah bahan referensi yang menjadi rujukan dari masing-masing anggota majelis. Jadi kembali kepada pengetahuan hukum dari hakim yang bersangkutan apabila masing-masing anggota majelis merasa argumentasi yang menjadi dasar pertimbangannya cukkup kuat, maka pada akhirnya pengambilan putusan dilakukan voting. Hakim sebagai figur sentral dalam penegakan hukum, maka hakim memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab profesional untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan teknis. Dengan adanya kecukupan pengetahuan dan keterampilan, maka hakim dalam memutus suatu perkara akan dapat memberikan pertimbangan hukum (legal reasoning) yang tepat dan benar (Mustafa Bola, dkk, 2015 : 36).
35
B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Narkotika Oleh Pegawai Negeri Sipil
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur sipil Negara
Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi.
Pertimbangan Hakim
Gambar 1. Bagian Kerangka Pemikiran Keterangan : Tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh pegawai negeri sipil akan dianalisis menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk mengidentifikasi bagaimana sanksi pidana tindak pidana narkotika dan untuk menjerat pelaku tindak pidana narkotika sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara digunakan untuk menjatuhkan sanksi administratif guna menjerat pegawai negeri sipil yang melakukan suatu tindak pidana. Dalam penelitian hukum ini peneliti memiliki kajian hukum terhadap
Putusan
Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi. untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pegawai negeri sipil sebagai terpidana kasus tindak pidana narkotika.