BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
1.
Kerangka Teori
Tinjauan tentang Upaya Hukum Kasasi a.
Pengertian Kasasi Lembaga Kasasi sebenarnya berawal dari Prancis.Kata asalnya ialah casser yang artinya memecah.Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan.Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi.Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang berwenang untuk menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan antara yang menjadi perantara pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman. Kemudian lembaga kasasi tersebut diadopsi pula di negeri Belanda yang oleh Belanda dibawa pula ke Indonesia.Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melewati kekuasaan kehakimannya. Pengertian kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. D. Simonsmengartikan secara sempit mengenai kasasi yang mengatakan jika hakim memutus sesuatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman.Dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebaskan (Andi Hamzah, 2009: 297-298). Terhadap putusan hakim pada tingkat pertama, terdakwa mempunyai hak untuk menerima atau menolak putusan pengadilan tersebut. Namun terdakwa menolak putusan hakim tersebut maka penuntut umum dapat melakukan upaya hukum. Menurut Pasal 1 angka 12 KUHAP: “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Upaya hukum kasasi merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung guna membatalkan putusan
pengadilan tersebut, dengan alasan (secara alternatif/kumulatif) bahwa dalam putusan yang dimintakan kasasi tersebut, peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (Harun M. Husein, 1992: 47-48). b.
Tujuan dan Alasan Kasasi Tujuan Kasasi pada dasarnya ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undangundang atau keliru dalam menerapkan hukum (Andi Hamzah, 2009: 298).Kasasi mempunyai tujuan yang berkaitan erat dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi, dalam mengawasi pengadilan di bawahnya. Dalam hubungannya dengan fungsi dan wewenang Mahkamah Agung, tujuan kasasi antara lain: 1)
Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kesalahan penerapan hukum, melalui koreksi atas kesalahan putusan pengadilan dibawahnya agar hukum benar-benar dapat diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undangundang.
2)
Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum Mahkamah Agung melalui yurisprudensi berusaha mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang mencipta yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya (M. Yahya Harahap, 2012: 539-542).
3)
Menciptakan dan membentuk hukum baru Selain melakukan tindakan koreksi, Mahkamah Agung ada kalanya membuat hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making law, sering Mahkamah Agung mencipta hukum baru yang disebut “hukum kasus” atau “case law” guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka
menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan undang-undang sesuai dengan “elastisitas” pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat. Tidak semua hal dapat dimintakan pemeriksaan kasasi.Kasasi hanya dimungkinkan dalam persoalan-persoalan hukum (rechtsvragen). Adapun persoalan-persoalan hukum itu adalah: 1)
Kekeliruan memperlakukan satu aturan hukum atau
2)
Satu aturan hukum tidak diperlakukan oleh hakim atau
3)
Hakim melampaui batas kekuasaan. Apakah suatu hak itu mengenai persoalan hukum atau tidak diputus oleh
Mahkamah Agung sendiri (M. Karjadi & R. Soesilo, 1988: 209). Alasan Kasasi yang dibenarkan menurut Undang-Undang, menurut Pasal 253 ayat (1) KUHAP menentukan mengenai alasan kasasi yang dapat digunakan untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun alasan-alasan kasasi tersebut antara lain: 1)
Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
2)
Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
3)
Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Dalam hubungannya dengan alasan kasasi, “alasan kasasi terhadap putusan
bebas mempunyai corak tersendiri, yakni pemohon harus menguraikan secara rinci guna membuktikan bahwa putusan bebas yang dimintakan kasasinya mengandung pembebasan yang tidak murni sifatnya” (Harun M. Husein, 1992: 125-126). Alasan kasasi yang tidak dibenarkan Undang-undang, antara lain: 1)
Keberatan kasasi putusan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri Keberatan kasasi putusan Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi. Percuma pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri, hal itu:
a)
Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri, masih dalam batas yang ada padanya, karena berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat.
b)
Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang ada padanya;
2)
Keberatan atas penilaian pembuktian Keberatan atas penilaian pembuktian termasuk di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1). Untuk itu, Mahkamah Agung tidak berkewenangan menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi.Contoh, mengajukan alasan keberatan pemohon tidak bersalah sebab itu tidak boleh dihukum.
3)
Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta Pengulangan fakta ialah mengulang-ulang kembali hal-hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakan baik dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun dalam memori banding.Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali kejadian terdahulu.Keberatan kasasi yang seperti ini tidak dibenarkan undang-undang dan Mahkamah Agung menganggapnya
sebagai
pengulangan
fakta
yang
tidak
perlu
dipertimbangkan dalam tingkat kasasi. 4)
Alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara Alasan ini sering dikemukakan pemohon dalam memori kasasi, mengemukakan keberatan yang menyimpang dari apa yang telah menjadi pokok persoalan dalam putusan perkara yang bersangkutan. Keberatan kasasi yang seperti ini dianggap tidak sesuai, karena berada diluar jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan.
5)
Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda Keberatan semacam ini pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan undang-undang, sebab tentang berat ringannya hukuman pidana yang
dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi.Secara yuridis masih tetap diakui Pengadilan Tinggi berwenang menjatuhkan berat ringannya hukuman, asal kewenangan itu dibarengi dengan pertimbangan yang integral ditinjau dari segi berat ringannya kejahatan yang dilakukan sekaligus dikaitkan dengan jenis tindak pidana yang didakwakan. 6)
Keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti Alasan kasasi semacam ini tidak dapat dibenarkan.Pengembalian barang bukti dalam perkara pidana adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan kasasi.Pengadilan sepenuhnya berhak menentukan kepada siapa barang bukti dikembalikan.
7)
Keberatan kasasi mengenai novum Keberatan kasasi harus mengenai hal-hal yang telah pernah diperiksa sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat banding.Berarti suatu hal yang diajukan baik pada pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding, tidak dapat dibenarkan karena tidak takluk pada pemeriksaan kasasi.Pengajuan hal seperti ini dalam keberatan kasasi dianggap hal baru atau novum (M. Yahya Harahap, 2012: 567-573).
c.
Tata Cara Permohonan Kasasi Tata cara permohonan kasasi sesuai dengan Pasal 245 KUHAP yaitu: 1)
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.
2)
Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitia serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
3)
Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umum atas terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut
umum
dan
terdakwa
sekaligus,
maka
panitera
wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Pasal 245 ayat (1) tidak merinci cara pengajuan permohonan kasasi seperti yang terlihat pada permohonan banding. Pasal 245 ayat (1) hanya menentukan
satu cara saja yakni permohonan kasasi “disampaikan” oleh pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri. Malahan kalau disimak apa yang dimaksud dengan kata “disampaikan”, bisa mengandung pengertian kabur dan bermakna dua atau ambivalen: 1)
bisa diartikan, pemohon kasasi dapat langsung menghadap panitera; atau
2)
cukup disampaikan melalui lisan dengan perantaraan telepon maupun dengan perantaraan tulisan. Akan tetapi, apakah benar kedua cara itu dapat ditempuh oleh pemohon.
Pemohon dapat mengajukan permohonan secara langsung menghadap sendiri panitera Pengadilan Negeri atau dapat disampaikan baik secara lisan maupun dengan tulisan. Namun jika ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 245 ayat (2), terdapat suatu prinsip yang mengharuskan pemohon “mesti datang menghadap” panitera, sebab ayat (2) secara tegas menentukan “surat keterangan kasasi” atau “akta permohonan”, ditandatangani oleh panitera dan pemohon. Berarti sekalipun permohonan dapat disampaikan dengan lisan atau tulisan, namun untuk menyempurnakan absahnya permohonan, pemohon harus datang menghadap panitera untuk menandatangani akta permohonan kasasi (M. Yahya Harahap, 2012: 547). Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi yaitu 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan diberitahukan. Apabila melebihi batas waktu yang telah ditentukan maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur dan yang bersangkutan dianggap menerima putusan sehingga panitera akan membuat akta penerimaan putusan. Pemohon wajib mengajukan memori kasasi.Kewajiban mengajukan atau menyampaikan memori kasasi bersifat imperative.Sanksinya tegas.Tanpa memori kasasi, gugur haknya untuk mengajukan kasasi. Dengan kata lain, permohonan kasasi yang tidak dilengkapi dengan memori kasasi, permohonan kasasi dianggap tidak memenuhi syarat. Akibatnya, permohonan kasasi dianggap “tidak sah”, karena tidak memenuhi syarat formal.Syarat inilah salah satu yang membedakan antara permohonan banding dengan permohonan kasasi. Undang-undang meletakkan memori kasasi sebagai salah satu syarat menentukan sah atau tidaknya permohonan kasasi. Letak kewajiban itu didasarkan pada beberapa prinsip yang penting diantaranya:
1)
Pemeriksaan perkara pada peradilan kasasi, tidak bersifat pemeriksaan ulang perkara secara keseluruhan. Jadi, Mahkamah Agung sebagai peradilan
yang
memeriksa
perkara
pada
tingkat
kasasi
terbatas
kewenangannya; dan 2)
Kewenangan pemeriksaan kasasi semata-mata terbatas dan didasarkan sepanjang hal-hal tertentu seperti yang ditegaskan Pasal 253 ayat (1). Oleh karena itu, agar Mahkamah Agung dapat masuk ke dalam pemeriksaan perkara, pemohon kasasi harus menunjuk sendiri dalam memori kasasi tentang adanya kekeliruan dan kesalahan atau pelanggaran terhadap apa yang ditentukan dalam Pasal 253 ayat (1). Itulah tujuan memori kasasi.Sebagai sarana bagi pemohon mengutarakan
keberatan-keberatannya, berpedoman kepada alasan kasasi yang ditentukan “secara limitatif” oleh Pasal 253 ayat (1).Keluar dari alasan yang ditentukan pasal ini, keberatan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena lari dari jalur yang ditentukan undang-undang (M. Yahya Harahap, 2012: 553). Tata cara pemeriksaan kasasi secara garis besarnya diatur dalam Pasal 251 ayat (2) dan (3) KUHAP yaitu: 1)
Pemeriksaan dilakukan sekurang-kurangnya 3 orang hakim Majelis yang paling kecil pada lembaga Mahkamah Agung terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim Agung.Sedang majelis besar terdiri dari semua Hakim Agung yang disebut full chamber atau en banc.Namun, dalam melaksanakan tugas peradilan sehari-hari dalam memeriksa perkara kasasi, tidak selamanya dilakukan oleh majelis lengkap.Jika perkara kasasi sederhana, cukup diperiksa dan diputus oleh majelis kecil yang terdiri dari 3 orang hakim.Jika dianggap perlu, terutama untuk memeriksa dan memutus perkara tertentu yang dianggap memerlukan pemikiran dan pendapat yang matang, dapat dibentuk majelis yang terdiri dari 5 atau 7 orang hakim.
2)
Pemeriksaan berdasarkan berdasarkan perkara. Pemeriksaan pada tingkat kasasi dilakukan tanpa dihadiri oleh terdakwa, saksi dan penuntut umum. Dasar pemeriksaan kasasi menurut Pasal 253 ayat (2) bersumber dari berkas perkara yang diterima Mahkamah Agung dari pengadilan, yang terdiri dari: a)
berita acara pemeriksaan dari penyidik;
b)
berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan;
c)
semua surat-surat yang timbul di persidangan yang ada hubungannya dengan perkara;
3)
d)
putusan pengadilan tingkat pertama; dan
e)
atau putusan tingkat akhir (putusan tingkat banding).
Pemeriksaan tambahan Pemeriksaan tambahan bertujuan untuk menambah dan melengkapi pemeriksaan yang dianggap perlu.Mungkin sesuatu yang oleh pengadilan dianggap tidak penting dan diabaikan, dianggap penting oleh Mahkamah Agung.
4)
Tenggang waktu pemeriksaan perkara yang terdakwanya berada dalam tahanan Berdasar Pasal 253 ayat (5) huruf b, apabila Mahkamah Agung mengeluarkan penetapan perintah penahanan terhadap terdakwa, dalam waktu 14 hari sejak dikeluarkan penetapan, Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan ketentuan ini, undang-undang mewajibkan Mahkamah Agung untuk memeriksa dalam waktu 14 hari dari tanggal penetapan perintah penahanan dikeluarkan.Sedang pemeriksaan kasasi yang terdakwanya tidak ditahan, undang-undang tidak menentukan tenggang waktu pemeriksaan (M. Yahya Harahap, 2012: 573-577).
2.
Tinjauan Umum Tentang Jaksa Penuntut umum a.
Pengertian jaksa penuntut umum Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa ialah Pejabat Fungsional yang diberi wewenang oleh UndangUndang untuk bertindak sebagai Penuntut umum dan Pelaksana Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan danPasal 1 angka 6 KUHAP, Penuntut umum ialah jaksa yang diberi wewenang olehUndang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan penetapanHakim. Kejaksaan ialah lembaga penuntutan yang melaksanakankekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lainberdasarkan undang-undang. Hal ini berdasarkan pasal 2 ayat (1)UndangUndang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
b.
Dasar hukum jaksa penuntut umum
Dasar hukum jaksa penuntut umum terdapat dalam Undang-undangNomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Keppres Nomor 86 Tahun1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana (KUHAP), Undangundang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. c.
Tugas dan wewenang Jaksa Penuntut umum Menurut Pasal 14 KUHAP, tugas dan wewenang dari seorang JaksaPenuntut umum ialah: 1)
Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidikatau dari penyidik pembantu;
2)
Mengadakan prapenuntutan apabila terdapat kekurangan padapenyidikan dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaanpenyidikan dari penyidik;
3)
Status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4)
Membuat surat dakwaan;
5)
Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6)
Menyampaikan pemberitahuan atas ketentuan waktu sidang disertaisurat panggilan atas saksi dan terdakwa;
7)
Melakukan penuntutan;
8)
Menutup perkara demi kepentingan umum;
9)
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawabsebagai Penuntut umum;
10)
Melaksanakan penetapan Hakim. Berdasarkan
pasal
33
Undang-Undang
No.
16
Tahun
2004
tentangKejaksaan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksamembina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dankeadilan serta badan negara atau instansi lainnya.
3.
Tinjauan tentang Putusan a.
Pengertian Putusan Semua putusan pengadilan akan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila putusan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.Muara dari persidangan adalah dijatuhkan putusan.Dalam putusan tersebut
hakim menyatakan pendapatnya mengenai hal-hal yang dipertimbangkan oleh hakim dalam putusan tersebut. Putusan pengadilan sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya putusan hakim ini diharapkan para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum banding/kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan ditinjau dari optik hakim yang mengadili perkara pidana tersebut, putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai kebenaran, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara mapan dan fuktual serta visualisasi etika beserta moral dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007 : 201). Berdasarkan Pasal 1 butir 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pasal 182 ayat (6) KUHAP bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan pemufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara: 1)
Putusan diambil dengan suara terbanyak
2)
Jika yang tersebut pada huruf a) tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Ketentuan tersebut sangat menguntungkan bagi terdakwa, karena jika
seorang hakim memandang apa yang didakwakan telah terbukti dan oleh karena itu terdakwa harus dipidana, sedangkan seorang hakim lagi menyatakan bahwa hal itu tidak terbukti dan hakim ketiga abstain, maka terjadilah pembebasan (vrijspraak) terdakwa (Andi Hamzah, 2009: 283). b.
Jenis Putusan Pengadilan Ada dua jenis putusan dalam KUHAP yaitu putusan sela dan putusan akhir.Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan apabila suatu perkara diperiksa tapi belum memasuki materinya.Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah pelimpahan perkara
dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum. (Lilik Mulyadi, 2007:125). Sedangkan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan apabila pemeriksaan
suatu
perkara
telah
selesai
sampai
dengan
materi
perkaranya.Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil.Pada hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP). (Lilik Mulyadi, 2007: 124). Berdasarkan Pasal 191 KUHAP Putusan Pengadilan digolongkan menjadi tiga macam, yaitu: 1)
Putusan bebas dari segala tuduhan hukum (Pasal 191 ayat (1)) “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
2)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)) “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
3)
Putusan yang mengandung pemidanaan (Pasal 191 ayat (3)) “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan”. Jenis putusan ini adalah putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatannya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu yang kemudian Pengadilan menjatuhkan pidana. Menurut Pasal 10 KUHP pidana terdiri atas pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan denda) dan pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan Pengadilan).
c.
Putusan Bebas Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atau acquittal.Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan
dari pemidanaan.Tegasnya terdakwa “tidak dipidana” (M. Yahya Harahap, 2012: 347). Sementara itu, menurut Harun M. Husein yang dimaksud dengan putusan bebas, ialah putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Harun M. Husein, 1992: 108). Putusan bebas adalah putusan hakim yang mengandung pembebasan terdakwa, karena peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam surat dakwaan setelah diadakan perubahan atau penambahan selama persidangan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti (Djoko Prakoso, 1986: 270). Menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas”. Hal ini mempunyai hubungan dengan Pasal 184 KUHAP yang intinya adalah pada pemeriksaan sidang di pengadilan, dimana perbuatan terdakwa tidak terbukti berdasarkan alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP. Hakim menjatuhkan putusan yang berupa putusan bebas, apabila setelah melalui pemeriksaan di depan persidangan menemui hal-hal sebagai berikut: 1)
Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.
2)
Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut pasal 183, diperlukan minimal dua alat bukti yang sah agar dapat membuktikan kesalahan seorang terdakwa. Menurut Wirjono Prodjodikoro jika peristiwa dalam surat dakwaan
seluruhnya atau sebagian, oleh hakim dianggap tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari tuduhan. Ketiadaan terbukti ini ada dua macam:
1)
Ketiadaan bukti yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai minimum, yaitu hanya ada pengakuan terdakwa saja atau hanya ada satu saksi saja, atau hanya ada satu petunjuk saja, tidak dikuatkan oleh alat bukti lain.
2)
Minimum pembuktian yang ditetapkan oleh undang-undang telah dipenuhi, misalnya sudah ada dua orang saksi atau dua penunjukan atau lebih, akan tetapi hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa (Harun M. Husein, 1992: 108-109). Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam putusan pembebasan ialah
“perintah untuk membebaskan” terdakwa dari tahanan.Perintah pembebasan dari tahanan dikeluarkan hakim ketua sidang bersamaan dengan saat putusan diumumkan, jika seandainya terdakwa yang diputus bebas itu berada dalam tahanan.Kelalaian mengeluarkan perintah pembebasan terdakwa dari tahanan dalam putusan pembebasan, mengakibatkan putusan batal demi hukum (M. Yahya Harahap, 2012: 350). d.
Bentuk-Bentuk Putusan Bebas Menurut pandangan doktrina, hakikatnya bentuk-bentuk putusan bebas dikenal ada beberapa bentuk, yaitu: 1)
Pembebasan murni atau de “zuivere vrijspraak” dimana sama sekali tidak terbukti tindak pidananya,
2)
Pembebasan tidak murni atau de “onzuivere vrijspraak” dalam hal batalnya dakwaan secara terselubung atau pembebasan yang menurut kenyataannya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan,
3)
Pembebasan
berdasarkan
alasan
“vrijskpraak
op
vandoelmatigheid
grond
pertimbangan
kegunaan
overwegingen”
atau
de
bahwa
berdasarkan pertimbangan haruslah diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya, 4)
Pembebasan yang terselubung atau de “bedekte vrijskrpraak” dimana hakim telah mengambil putusan tentang “feiten” dan menjatuhkan putusan “pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal menurut putusan tersebut berisikan suatu “pembebasan secara murni” (Lilik Mulyadi, 2007: 158-159) Putusan bebas yang didasarkan pada tidak terbuktinya perbuatan yang
didakwakan, disebut sebagai pembebasan yang murni. Menurut Leden Marpaung mengutip dari M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa suatu putusan dianggap pembebasan tidak murni apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada
penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan; apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi absolut atau relatif maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila dalam putusan pembebasan itu telah turut dipertimbangkan dan dimasukkan unsur-unsur non yuridis (Leden Marpaung, 2010: 176-177).
4.
Tinjauan tentang Judex Facti Pengertian Judex Facti menurut Pasal 1 butir 8 KUHAP yang dimaksud dengan Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Istilah Judex Facti berasal dari bahasa Latin yang mempunyai arti hakimhakim yang memeriksa fakta-fakta. Umumnya, Pengadilan Negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota adalah pengadilan pertama yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara, dan bertindak sebagai Judex Facti. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan memeriksa perkara secara de novo. Artinya, Pengadilan Tinggi memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada.Dengan ini, Pengadilan Tinggi juga termasuk Judex Facti. Majelis hakim di Pengadilan Negeri wajib menentukan fakta mana, antara yang disampaikan oleh para pihak, yang dapat diterima, kemudian menentukan dan menerapkan ketentuan hukum terhadap fakta tersebut.Judex Facti mengacu pada peran hakim sebagai penentu fakta
yang
benar
(http://id.wikipedia.org/wiki/Judex_facti_dan_judex_juris
diakses pada tanggal 10 November 2015, pukul 14.51 WIB).
5.
Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penadahan a.
Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana atau perbuatan pidana menurut Moeljatno dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno juga mengemukakan bahwa menurut ujud atau sifatnya dalam arti bertentangan atau menghambat akan terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap benar dan adil. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana, bila perbuatan itu :
b.
1)
Melawan hukum;
2)
Merugikan masyarakat;
3)
Dilarang oleh aturan-aturan pidana;
4)
Pelakunya diancam dengan pidana (Moeljatno, 1993: 54).
Pengertian Tindak Pidana Penadahan Menurut Pasal 480 ayat (1) KUHP:
c.
“Barang siapa menjual, menawarkan, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”. Jenis-jenis Tindak Pidana Penadahan 1)
Tindak Pidana Penadahan sebagai Tindak Pidana Pemudahan. Menurut Prof. Satochid Kartanegara, tindak pidana penadahan disebut tindak pidana pemudahan, yakni karena perbuatan menadah telah mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan, yang mungkin saja tidak akan ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia menerima hasil kejahatannya (Lamintang, 2009: 362).
2)
Tindak Pidana Penadahan dalam Bentuk Pokok. Tindak pidana penadahan dalam bentuk pokok oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 480 KUHP, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dari rumusan aslinya dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah: (1) Karena bersalah telah melakukan penadahan, yakni barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima seabagai hadiah atau dengan harapan akan memperoleh keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang ia ketahui atau secara patut harus dapat ia duga bahwa benda tersebut telah diperoleh karena kejahatan, (2) Barangsiapa mengambil keuntungan dari hasil suatu benda yang ia ketahui atau secara patut harus dapat ia duga bahwa benda tersebut telah diperoleh karena kejahatan. Bahwa penerjemahan kedalam bahasa bahasa Indonesia dari rumusan asli mengenai tindak pidana penadahan serta ketentuan pidananya seperti
yang diatur dalam Pasal 480 angka 1 dan 2 KUHP diatas sebenarnya tidaklah sepenuhnya benar. Tindak pidana penadahan seperti yang dimaksud dalam Pasal 480 angka 1 KUHP terdiri atas (Lamintang, 2009: 364-365): Unsur-unsur Tindak Pidana Penadahan a)
Unsur-unsur subjektif: (1)
yang ia ketahui atau waarvan hij weet;
(2)
yang secara patut dapat ia duga atau waarvan hij redelijkerwijs moet vermoeden.
b)
Unsur-unsur objektif: (1)
kopen atau membeli;
(2)
buren atau menyewa;
(3)
inruilen atau menukar;
(4)
in pand nemen atau menggadai;
(5)
als geschenk aannemen atau menerima sebagai hadiah atau sebagai pemberian;
(6)
uit winstbejag atau didorong oleh maksud untuk memperoleh keuntungan;
(7)
verkopen atau menjual;
(8)
verhuren atau menyewakan;
(9)
in pand geven atau menggadaikan;
(10)
vervoeren atau mengangkut;
(11)
bewaren atau menyimpang dan
(12)
verbergen atau menyembunyikan.
Barang yang diperoleh dengan kejahatan. Ada dua jenis barang yang diperoleh dengan kejahatan, yaitu: a)
barang sebagai kejahatan terhadap kekayaan, yaitu pencurian, pemerasan, pengancaman, penggelapan, penipuan, dan penadahan.
b)
barang sebagai hasil kejahatan pemalsuan seperti uang palsu, cap palsu, atau surat palsu.
3)
Tindak Pidana Penadahan yang Dilakukan sebagai Kebiasaan. Tindak pidana penadahan yang dilakukan sebagai kebiasaan ataupun yang didalam doktrin sering disebut sebagai gewoonteheling oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 481 KUHP yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dari rumusan aslinya dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut (Lamintang, 2009: 389): (1) Barangsiapa membuat sebagai kebiasaan pekerjaan dengan sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan atau menyembunyikan benda-benda yang diperoleh karena kejahatan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. (2) Orang yang bersalah dapat dicabut hak-haknya seperti yang diatur dalam Pasal 35 Nomor 1-4 dan dapat dicabut pula haknya untuk melakukan pekerjaan, dalam pekerjaannya kejahatan itu telah dilakukan. Tindak pidana penadahan yang diatur dalam Pasal 481 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana yang lebih berat dari pelaku tindak pidana penadahan yang diatur dalam Pasal 480 angka (1) KUHP, kiranya sudah jelas yakni karena tindak pidana penadahan yang dimaksud dalam Pasal 481 ayat (1) KUHP telah dilakukan oleh pelaku sebagai kebiasaan. Dapat diketahui
bahwa
perbuatan
melakukan
sebagai
kebiasaan
itu
merupakanunsur yang memberatkan pidana dalam tindak pidana penadahan (Lamintang, 2009: 389-390). Tindak pidana penadahan yang diatur Pasal 481 ayat (1) KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a)
unsur subjektif: dengan sengaja.
b)
unsur-unsur objektif: (1)
barang siapa.
(2)
membuat sebagai kebiasaan.
(3)
membeli.
(4)
menukar.
(5)
menerima gadai.
(6)
menyimpan.
(7)
menyembunyikan.
(8)
benda-benda yang diperoleh karena kejahatan.
Dalam Pasal 481 ayat (2) KUHP, undang-undang telah menentukan bahwa bagi pelaku dari tindak pidana gewoonteheling yang diatur dalam Pasal 481 ayat (1) KUHP, disamping pidana pokok, hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu seperti yang dimaksud dalam Pasal 35 angka 1 sampai dengan angka 4 KUHP, masing-masing yakni dari haknya:
a)
untuk menduduki jabatan-jabatan atau jabatan tertentu;
b)
untuk bekerja pada Angkatan Bersenjata;
c)
untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan-pemilihan yang diselenggarakan berdasarkan peraturan-peraturan umum; dan
d)
untuk menjadi penasehat atau wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas dari orang lain kecuali dari anak-anaknya sendiri. Disamping salah satu dari pencabutan-pencabutan hak tersebut, hakim juga dapat mencabut hak terdakwa untuk melakukan pekerjaan yakni dalam pekerjaannya terdakwa telah melakukan tindak pidana
seperti
yang
dimaksud
dalam
Pasal
481
ayat
(1)
KUHP.(Lamintang, 1986: 84). 4)
Tindak Pidana Penadahan Ringan. Yang disebut tindak pidana penadahan ringan itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 482 KUHP yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dari rumusan aslinya dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut (Lamintang, 2009: 397-398): Perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam Pasal 480 itu dipidana sebagai penadahan ringan dengan pidana penjara selama-lamanya tiga bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah, jika kejahatan karena kejahatan tersebut benda itu diperoleh merupakan salah satu kejahatan dari kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 364, 373, dan Pasal 379. Pasal 364 di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 482 KUHP di atas ialah kejahatan pencurian ringan, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut: Perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Pasal 362 dan Pasal 364 Nomor 4, demikian juga jika yang diatur dalam Pasal 363 Nomor. 5 itu tidak dilakukan dalam suatu tempat kediaman atau diatas suatu pekarangan tertutup yang diatasnya terdapat sebuah tempat kediaman dan apabila nilai dari benda yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dipidana sebagai pencurian ringan dengan pidana penjara selama-lamanya tiga bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah (Lamintang, 2009: 398).
Pasal 373 di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 482 KUHP itu ialah kejahatan penggelapan ringan, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut: Kejahatan ysng diatur dalam Pasal 372 itu, jika benda yang digelapkan bukan berupa ternak dan nilainya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dipidana sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara selama-lamanya tiga bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah (Lamintang, 2009: 399). Pasal 379 di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 482 KUHP itu ialah kejahatan penipuan ringan, yang rumusannya berbunyi kejahatan yang diatur dalam Pasal 378 itu, jika benda yangdiserahkan bukan berupa ternak dan nilai benda, utang atau piutang tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dipidana sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara selama-lamanya tiga bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah (Lamintang, 2009: 399).
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Penadahan
Pemeriksaan Pengadilan Negeri
Judex Facti Salah Menerapkan Hukum
Putusan Bebas dari Segala Dakwaan
Kasasi Penuntut Umum
Putusan Mahkamah Agung
Keterangan: Kerangka
pemikiran
di
atas
menjelaskan
alur
pemikiran
penulis
dalam
menggambarkan, menjabarkan dan menemukan jawaban atas permasalahan hukum permohonan kasasi penuntut umum terhadap putusan bebas Pengadilan Negeri Tangerang atas dasarJudex Facti salah menerapkan hukum dalam perkara penadahan. Berawal dari terdakwa yang menjadi perantara penjualan barang hasil tindak penadahan.Terdakwa kemudian dilakukan pemeriksaan dan penahanan di Pengadilan Negeri Tangerang.Setelah itu terdakwa diputus bebas oleh hakim yang membuat penuntut umum mengajukan upaya hukum kasasi karena Hakim pengadilan negeri salah menerapkan Judex Facti.Alasan kasasi oleh penuntut umum tersebut selanjutnya menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus pengajuan upaya hukum kasasi oleh penuntut umum.