BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Kebijakan (policy) umumnya dipahami sebagai keputusan untuk menangani hal-hal tertentu.Namun, kebijakan bukan sekedar keputusan yang ditetapkan.Rose (1969), dalam Hamdi (2014:36), mengartikan bahwa “kebijakan itu adalah suatu rangkaian panjang dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dan akibatnya bagi mereka yang berkepentingan”. Pendapat lainnya dikemukan oleh Crinson (2009), dalam Ayuningtyas (2014:8), yang memandang kebijakan sebagai sebuah konsep yang menjadi petunjuk untuk bertindak atau keputusan yang saling berhububungan satu sama lainnya”. Sejalan dengan pendapat para ahli diatas, Anderson (1994), dalam Hamdi (2014:36), mengartikan “kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja diambil oleh seorang aktor atau sekelompok aktor berkenaan dengan suatu masalah atau suatu hal yang menarik perhatian”. Versi formal yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (1975), agaknya lebih luas dan cukup rinci ketimbang pandangan diatas, karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (1975), dalam Wahab (2014:9), telah memberi makna pada kebijakan sebagai berikut: “Kebijakan ialah pedoman untuk bertindak.Pedoman itu bisa saja amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat.Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu, atau suatu rencana.Dewasa ini, istilah kebijakan memang lebih sering dipergunakan dalam konteks tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh 9
para aktor dan institusi-institusi pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya”. Kesimpulannya, kebijakan adalah serangkaian tindakan atau konsep yang telah dipersiapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor pengambil kebijakan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelum kebijakan itu dilaksanakan sehingga nantinya serangkaian tindakan atau konsep tersebut dapat diikuti oleh sejumlah aktor lainnya. Secara garis besar Amara dalam Lubis (2007:7) mengungkapkan bahwa ada 3 unsur didalam kebijakan yaitu: 1. Identifikasi tujuan yang akan dicapai 2. Strategi untuk mencapainya 3. Penyediaan berbagai input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaannya Selanjutnya, Lubis (2007:18) menyatakan didalam suatu kebijakan ada beberapa faktor-yang mempengaruhinya untuk pengambilan kebijakan yaitu: a) Tekanan dari luar Meskipun administrator secara rasional comprehensive mempertimbangkan berbagai alternative yang akan dipilih secara rasional, namun sering ia mendapatkan tekanan luar sehingga mempengaruhi keputusannya. Contoh: Joko Widodo mempertimbangkan dan memilih menaikkan harga BBM tapi ditekan oleh kelompok penekan (Para Pengamat/Akademisi, Aktifis Buruh dan Mahasiswa, dan LSM) dan dari DPR dengan alasan kebijakan menaikkan harga BBM menyengsarakan dan tidak ada dasar hukum.
b) Kebiasaan lama Menjadi kebiasaan atau kelaziman untuk meneruskan kebijakan-kebijakan yang pernah dilakukan meskipun kebijakan itu tidak intensif dan tidak ekonomis. c) Sifat-sifat pribadi Seorang atasan sangat dipengaruhi oleh karakter pribadi dalam pengangkatan staff sehingga terjadi like and dislike (suka dan tak suka), bukan dengan pertimbangan kapasitas d) Pengaruh dari kelompok luar Sering terjadi aspirasi dan saran dari kalangan orang dalam (insider) tidak dijadikan dasar pengambilan keputusan karena lebih kuat pengaruh kelompok dari luar (outsider group). e) Adanya pengaruh keadaan atau sistem masa lampau Pengalaman pada jabatan dimasa lampau (the past) mempengaruhi terhadap pembuatan keputusan si pembuat keputusan tidak lagi melimpahkan wewenang dan tanggung jawabnya karena pengalaman dimasa lampau sering pelimpahan wewenang itu disalahgunakan wewenangnya.
2.2. Kebijakan Publik Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, kita tidak dapat lepas dari apa yang disebut dengan Kebijakan Publik. Kebijakan-kebijakan tersebut kita temukan dalam bidang kesejahteraan sosial, di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pembangunan ekonomi pendidikan nasional dan lain sebagainya.Namun keberhasilan dari kebijakan-kebijakan tersebut boleh dikatakan seimbang dengan
kegagalan yang terjadi.Oleh karena luasnya dimensi yang dipengaruhi oleh kebijakan publik. Salah satu definisi yang diberikan Dye (1984), dalam Hamdi (2014:36) tentang kebijakan publik adalah “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai “ pilihan mengenai apa pun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. Selanjutnya, Lubis (2007:9) merumuskan
kebijakan publik
sebagai “serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat”. Secara lebih operasional, Anderson (1994), dalam Hamdi (2014:36) merumuskan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah. Dengan pengertian ini, Anderson juga mengingatkan bahwa kebijakan publik adalah unik, karena berkaitan dengan institusi pemerintah, yang oleh Easton (1969:212) dicirikan sebagai kekuatan pemaksa yang sah”. Lebih jauh, Anderson mencatat lima implikasi dari konsepnya mengenai kebijakan publik tersebut, yaitu: 1. Kebijakan publik adalah tindakan yang berorientasi tujuan 2. Kebijakan publik berisikan rangkaian tindakan yang diambil sepanjang waktu 3. Kebijakan publik merupakan suatu tanggapan dari kebutuhan akan adanya suatu kebijakan mengenai hal-hal tertentu 4. Kebijakan publik merupakan gambaran dari kegiatan pemerintah senyatanya, dan bukan sekedar keinginan yang akan dilaksanakan 5. Kebijakan pemerintah dapat merupakan kegiatan aktif atau pasif dalam menghadapi masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah setiap keputusan yang diambil oleh lembaga atau pejabat pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari lembaga atau pejabat pemerintah guna mencapai masyarakat yang dicita-citakan.
2.3. Jenis-jenis Kebijakan Publik dan Proses Kebijakan Publik 2.3.1. Jenis-jenis Kebijakan Publik Menurut Riant Nugroho (2013:8) secara generik terdapat empat jenis kebijakan publik, yaitu: 1. Kebijakan formal Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yan dikodifikasikan secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Kebijakan formal dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a) Perundang-undangan b) Hukum c) Regulasi 2. Kebiasaan umum lembaga publik yang telah diterima (konvensi) Kebijakan ini biasanya ditumbuhkan dari proses manajemen organisasi publik, contohnya upacara rutin, SOP-SOP tertulis atau tidak tertulis tetapi tidak diformalkan 3. Pernyataan pejabat publik dalam forum publik Pernyataan pejabat publik didepan publik.Pernyataan pejabat publik harus dan selalu mewakili lembaa publik yang diwakili atau dipimpinnya. Dengan demikian, setiap pejabat publik harus bijaksana dalam mengemukakan
pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan dari lembaga publik yang diwakilinya 4. Perilaku pejabat publik Hal ini dimulai dari gaya pimpinan. Gesture pemimpin ditirukan oleh seluruh bawahannya. 2.3.2. Proses Kebijakan Publik Menurut Dunn (2003:24) proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan yaitu sebagai berikut : a) Penyusunan agenda (agenda seting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah. b) Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni suatu proses perumusan pilihan-pilihan atau alternatif pemecahan masalah oleh pemerintah. c) Penentuan kebijakan (policy adoption), yakni suatu proses dimana pemerintah menetapkan alternatif kebijakan apakah sesuai dengan kriteria yang harus dipenuhi, menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan bagaimana proses atau strategi pelaksanaan kebijakan tersebut. d) Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu suatu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini perlu adanya dukungan sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. e) Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni suatu proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.
2.4. Implementasi Kebijakan Publik Daniel A. Mazmanian dan Paul A.Sebatier (1979), dalam Wahab (2014:135),
menjelaskan
makna
implementasi
dengan
mengatakan
bahwa.“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan dengan fokus perhatiannya ialah kejadiankejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedomanpedoman
kebijakan
publik
yang
mencakup
baik
usaha-usaha
untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata ada masyarakat atau kejadian-kejadian di lapangan. Menurut Djalil (2014:22) Implementasi kebijakan publik (publik policy implementation) merupakan suatu pelaksanaan keputusan yang telah diambil oleh pejabat politik (legislator) maupun pejabat publik (pemerintah). Dalam sistem demokrasi pelaksanaan suatu kebijakan publik senantiasa melibatkan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara. Edward III (1980), dalam Djalil (2014:23) merumuskan empat faktor yang merupakan syarat-syarat penting guna mengkaji dan meneliti berhasil tidaknya implementasi kebijakan. Keempat faktor itu adalah sebagai berikut: 1. Communication: komunikasi menyangkut penyampaian atau penyebaran informasi (transmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency) dari informasi yang disampaikan. Dalam hal ini dituntut pihak yang bertanggung jawab dalam pengimplementasian kebijakan untuk memahami apa yang mereka lakukan. Kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan disalurkan melalui orang-orang yang tepat, komunikasi itu harus dinyatakan dengan jelas.
2. Resources: Sumber daya menyangkut empat komponen yaitu staf (staff) yang cukup (jumlah dan mutu), informasi (information) yang dibutuhkan guna mengambil keputusan, kewenangan (authority) yang cukup guna untuk melaksanakan tugasnya serta fasilitas (facilities) yang dibutuhkan dalam implementasikan kebijakan. Kejelasan, konsistensi dan akurasi komunikasi tidak akan mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan, jika sumberdaya implementasi
kebijakan
tersebut
tidak
memadai.
Sumberdaya
implementasikan kebijakan tidak hanya mencakup sdm, tetapi juga sumberdaya material. Dalam hal ini dituntut bagi aktor atau sejumlah aktor pengambil kebijakan publik harus menyediakan sumberdaya yang memadai, tanpa sumberdaya yang memadai, maka pelaksanaan kebijakan tidak akan berjalan efektif. 3. Disposition : Disposisi atau sikap pelaksanaan (attitudes of implementers), menyangkut
dampak
(effects)
dari
kalangan
aktor-aktor
dalam
mengimplementasikan kebijakan secara efektif bagi para pelaksana kebijakan dan pemberian insentif (gaji, honor, dan sebagainya). Pelaksanaan kebijakan tidak hanya dipengaruhi oleh seberapa jauh pelaksana kebijakan mengenai isi kebijakan dan kemampuan melaksanakannya, tetapi juga ditentukan oleh keinginan atau tekad para pelaksana dalam menerapkan kebijakan. 4. Bureaucratic structure : Struktur birokrasi, menyangkut prosedur standar operasi dalam kebijakan (standar operating procedures) dan pengaturan tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Struktur birokrasi merupakan variabel terakhir yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan. Pelaksanaan/implementasi melibatkan banyak pihak, sehingga koordinasi dan
kerjasama dari masing-masing pihak menjadi penting. Dalam hubungan ini setiap pihak yan terkait dalam implementasi kebijakan perlu mengembangkan suatu prosedur standar pelaksanaan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik adalah suatu proses, serangkaian keputusan, dan tindakan yang dilakukan pemerintah yang bertujuan melaksanakan keputusan yang diambil untuk mengatur kepentingan publik melalui rencana atau program yang jelas dan menguntungkan publik.
2.5. Kebijakan Kesehatan Mengapa kebijakan kesehatan itu sangat penting? Hal itu disebabkan antara lain sektor kesehatan merupakan bagian dari ekonomi. Jelasnya sektor kesehatan ibarat suatu sponge yang mengabsorpsi banyak anggaran belanja negara untuk membayar sumber daya kesehatan.Ada yang mengatakan bahwa kebijakan kesehatan merupakan driver dari ekonomi, itu disebabkan karena adanya inovasi dan investasi dalam bidang teknologi kesehatan, baik itu bio-medical maupun produksi, termasuk usaha dagang yang ada pada bidang farmasi.Namun yang lebih penting lagi adalah keputusan kebijakan kesehatan melibatkan persoalan hidup dan mati manusia. Kebijakan kesehatan merupakan “pedoman yang menjadi acuan bagi semua pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan kerangka desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI, 2009)”.
Selanjutnya Walt (1994), dalam Ayuningtyas (2014:10) mengatakan kebijakan kesehatan merupakan “segala sesuatu untuk mempengaruhi faktor faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat; dan bagi seorang dokter kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan. Kebijakan kesehatan juga melingkupi berbagai upaya dan tindakan pengambilan keputusan yang meliputi aspek teknis medis dan pelayanan kesehatan, serta keterlibatan pelaku/aktor baik pada skala individu maupun organisasi atau institusi dari pemerintah, swasta, LSM dan reprensentasi masyarakat lainnya yang membawa dampak pada kesehatan. Ayuningtyas (2014:10) menjelaskan urgensi kebijakan kesehatan sebagai bagian dari kebijakan publik semakin menguat mengingat karakteristik unik yang ada pada sektor kesehatan sebagai berikut: 1. Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan menjadi hak dasar setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan setara. Artinya, setiap individu tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang layak apapun kondisi dan status finansialnya. 2. Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi “masyarakat-tenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola paternalistik. Artinya masyarakat, atau dalam hal ini pasien tidak memiliki posisi tawar yang baik, bahkan hamper tanpa daya tawar ataupun daya pilih. 3. Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi rakyat. Siapapun ia baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika
jatuh sakit tentu akan membutuhkan pelayanan kesehatan. Ditambah lagi, seseorang tidak akan pernah tau kapan dia sakit dan berapa biaya yang akan dia keluarkan. Disinilah pemerintah harus berperan untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan ketika membutuhkan, terutama bagi masyarakat miskin. Kewajiban ini tentu bukan hal yang ringan dengan mengingat ungkapan seorang ahli ekonomi sosial dan kesehatan Gunnar Myrdal: “People become sick because they are poor, and become poorer because they are sick, and become sicker because they are poorer” (orang menjadi sakit karena mereka miskin, dan mereka bertambah miskin karena mereka sakit serta menjadi lebih sakit karena mereka lebih miskin). 4. Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitas, yaitu keuntungan yang dinikmati atau kerugian yang diderita oleh sebagian masyarakat karena tindakan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas positif atau negatif. Sebagai contoh, jika disuatu lingkungan rukun warga sebagian besar masyarakat tidak menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang nyamuk aides aigepty, maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai sebagian masyarakat tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat lain yang telah menerapkan perilaku hidup bersih. Dengan karakteristik kesehatan tersebut, pemerintah wajib berperan membuat kebijakan mengenai sektor kesehatan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan bagi setiap warga negara. Secara lebih rinci WHO membedakan peran negara dan pemerintah sebagai pelaksana dibidang kesehatan, yaitu sebagai pengarah (stewardship atau oversight), regulator (yang melaksanakan kegiatan
regulas, ibaratnya fungsi sebagai wasit), dan yang dikenakan regulasi (pemain). Fungsi stewardship atau oversight ini terdiri dari tiga aspek utama: 1. Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam sistem kesehatan 2. Menjamin keseimbangan antara berbagai pelaku utama (key player) dalam sektor kesehatan (terutama pembayar, penyedia pelayanan, dan pasien) 3. Menetapkan perencanaan strategik bagi seluruh sistem kesehatan Karena begitu strategis dan pentingnya sektor kesehatan, World Health Organization (WHO), dalam Ayuningtyas (2014:12), menetapkan delapan elemen yang harus tercakup dan menentukan kualitas dari sebuah kebijakan kesehatan, yaitu: 1. Pendekatan Holistik, kesehatan sebaiknya didefinisikan sebagai sesuatu yang dinamis dan lengkap dari dimensi fisik, mental, sosial, dan spiritual. Artinya, pendekatan
dalam
mengandalkan
kebijakan
upaya
mempertimbangkan
kuratif
upaya
kesehatan
tidak
(pengobatan),
preventif
(upaya
dapat tetapi
semata-mata harus
pencegahan),
lebih
promotif
(peningkatan kesehatan), dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). 2. Partisipori, partisipasi masyarakat akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan, karena melalui partisipasi masyarakat dapat ibangun collective action (aksi bersama masyarakat) yang kana menjadi kekuatan pendorong dalam pengimplementasian kebijakan dan penyelesaian masalah. 3. Kebijakan publik yang sehat, yaitu setiap kebijakan yang harus diarahkan untuk mendukung terciptanya pembangunan kesehatan yang kondusif dan berorientasi kepada mayarakat.
4. Ekuitas, yaitu harus terdapat distribusi yang merata dari layanan kesehatan. Ini berarti negara wajib menjamin pelayanan kesehatan setiap warga negara tanpa memandang status ekonomi maupun statusnya sosialnya karena kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan peran negara yang paling minimal dalam melindungi warga negaranya. 5. Efisiensi, yaitu layanan kesehatan harus berorientasi pro aktif
dengan
mengoptimalkan biaya dan teknologi. 6. Kualitas, artinya pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh warga negara. Disamping itu, dalam menghadapi persaingan pasar bebas dan menekan pengaruh globalisasi dalam sector kesehatan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan setara dengan pelayanan kesehatan bertaraf internasional. 7. Pemberdayaan masyarakat, terutama pada daerah terpencil dan daerah perbatasan untuk mengoptimalkan sosial kapital. 8. Self-reliant, kebijakan kesehatan yang ditetapkan sebisa mungkin dapat memenuhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan kapasitas kesehatan diwilayah sendiri. Pengembangan teknologi dan riset bertujuan untuk membantu memberdayakan masyarakat dan otoritas nasional dalam mencapai standar kesehatan yang ditetapkan di masing-masing negara.
4.6.Kesehatan dan Derajat Kesehatan Menurut UU No.36/2009 tentang Kesehatan, Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.Sedangkan MUI (1983)
menyatakan bahwa kesehatan adalah sebagai ketahanan ‘jasmaniah, ruhaniyah, dan sosial’ yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan
mengamalkan
tuntunan-Nya,
dan
memelihara
serta
mengembangkannya.Selanjutnya WHO (1947) berpendapat bahwa kesehatan adalah suatu keadaan sempurna fisik, jiwa, dan sosial tanpa penyakit dan kelemahan apapun. Menurut Hanlon (1964), sehat mencakup keadaan pada diri seseorang secara menyeluruh untuk tetap mempunyai kemampuan melakukan tugas fisiologis secara penuh. Sedangkan Perkin (1938) berpendapat bahwa sehat adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dengan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Selanjutnya WHO (1957) menyatakan bahwa sehat adalah suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dipunyainya. Derajat Kesehatan Masyarakat menurut Standar Kesehatan Nasional adalah suatu keadaan kehidupan masyarakat dimana setiap warga negara mampu menjaga dan memelihara kesehatannya secara optimal, baik dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Menurut Blum (1974), Derajat Kesehatan ditentukan oleh empat faktor, yaitu: faktor keturunan (genetik), faktor pelayanan kesehatan, faktor perilaku manusia dan sosial budaya,
faktor
lingkungan,fisik, kimia, biologi, ergonomi. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan empat faktor menurut Bloom ini dapat menjadi faktor-faktor penentu karena sangat besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan masyarakat.
4.7. Sistem Kesehatan Nasional Menurut Perpres No. 72/2012 sistem kesehatan nasional adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Selanjutnya menurut Depkes (2009) sistem kesehatan nasional adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945. Menurut
Depkes
(2009)
tujuan
SKN
adalah
terselenggaranya
pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Perpres No.72/2012 menyatakan untuk mencapai tujuan SKN, perlu dilakukan (1) pengelolaan kesehatan yang mencakup kegiatan perencanaan, pengaturan, pembinaan, dan pengawasan serta evaluasi penyelengaraan upaya kesehatan dan sumber dayanya secara serasi dan seimbang dengan melibatkan masyarakat. (2) penyelenggaraan kesehatan yang prorakyat, inklusif,responsif, efektif, dan bersih. (3) penyelenggaraan kesehatan yang berkomitmen global. SKN sebagai suatu sistem yang utuh dari penyelenggaraan upaya kesehatan mencakup berbagai faktor yang perlu mendapat perhatian. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.
Kependudukan Jumlah kependudukan yang besar serta tingkat fertilitas yang tinggi menyebabkan struktur penduduk yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan upaya kesehatan.
2.
Perilaku penduduk terhadap kesehatan Faktor ini sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya masyarakat termasuk tingkat pendidikan dan berkaitan antara lain dengan pengertian sehat, sakit, pengobatan sendiri, penggunaan sumber daya kesehatan dan adat istiadat.
3.
Lingkungan Hubungan antara keadaan manusia dengan faktor lingkungan seperti sosial budaya, ekonomi, lingkungan fisik dan biologik, membentuk keseimbangan yang dapat berubah-ubah.
4.
Sumberdaya Suatu negara yang cukup memiliki sumber daya alam dapat dimanfaatkan jika terdapat cukup modal, cukup manusia pembangunan, serta teknologi yang memadai. Keberhasilan pembangunan dalam sektor ekonomi dapat mendukung upaya kesehatan, yaitu dengan tersedianya dana.
5.
Kesepakatan kebijaksanaan politik (Political Comittment) Perlunya dipahami dan disepakati oleh semua yang terlibat dalam menyelenggarakan upaya kesehatan berdasarkan SKN, bahwa keberhasilan pembangunan kesehatan akan tercapai apabila terdapat kesepakatan kebijakan pada semua tingkat, baik dilingkungan pemerintahan maupun masyarakat.
Menurut Azwar (1998:39), Sistem Kesehatan dibangun oleh 3 unsur pokok yaitu: a.
Organisasi Pelayanan (Organization of Services)
b.
Organisasi Pembiayaan (Organization of Finances)
c.
Jaminan mutu pelayanan dan pembiayaan (Quality of Service and Finances Assurance)
Ketiga unsur pokok tersebut dapat digambarkan :
Organisasi Pembiayaan
Organisasi Pelayanan Sistem Kesehatan
Jaminan Mutu Pelayanan Pembiayaan
Sumber : Azwar (1998:39) Gambar 2.1 Sistem Kesehatan
MenurutKementerian Kesehatan (2012) , sebagai sistem, SKN terdiri dari 6 sub sistem yaitu: 1.
Subsistem Upaya Kesehatan Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia.Upaya kesehatan diselenggarakan dengan upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan pemulihan.
2.
Subsistem Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan
kesehatan
bersumber
dari
berbagai
sumber,
yakni:
Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan berkesinambungan memegang peran yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan pembangunan
kesehatan.
Pembiayaan
pelayanan
kesehatan
masyarakat
merupakan public good yang menjadi tanggung-jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat private, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggung-jawab pemerintah. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang pada waktunya diharapkan akan mencapai universal coverage sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). 3.
Subsistem SDM Kesehatan Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumber daya manusia
kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tututan kebutuhan pembangunan kesehatan.Oleh karena itu, SKN juga memberikan fokus penting pada pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan guna menjamin ketersediaan dan pendistribusian sumber daya manusia kesehatan. Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan meliputi: 1) perencanaan kebutuhan sumber daya manusia yang diperlukan, 2) pengadaan yang meliputi pendidikan tenaga kesehatan dan
pelatihan SDM Kesehatan, 3) pendayagunaan SDM Kesehatan, termasuk peningkatan kesejahteraannya, dan 4) pembinaan serta pengawasan SDM Kesehatan. 4.
Subsistem Sediaan Farmasi, Alkes, dan Makanan Subsistem kesehatan ini meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin:
aspek keamanan, khasiat/ kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri. 5.
Subsistem Manajemen dan Informasi Kesehatan Subsistem ini meliputi: kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan,
hukum kesehatan, dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan manajemen kesehatan.
Peranan
manajemen
kesehatan
adalah
koordinasi,
integrasi,
sinkronisasi, serta penyerasian berbagai subsistem SKN dan efektif, efisien, serta transparansi dari penyelenggaraan SKN tersebut. Dalam kaitan ini peranan informasi kesehatan sangat penting. Dari segi pengadaan data dan informasi dapat dikelompokkan kegiatannya sebagai berikut: 1) Pengumpulan, validasi, analisa, dan diseminasi data dan informasi, 2) Manajemen sistem informasi, 3) Dukungan kegiatan dan sumber daya untuk unitunit yang memerlukan, dan 4) Pengembangan untuk peningkatan mutu sistem informasi kesehatan.
6.
Subsistem Pemberdayaan Masyarakat Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata-mata sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau penyelenggara
dan
pelaku
pembangunan
kesehatan.
Oleh
karenanya
pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan. Dalam pemberdayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan lingkungan sehat oleh masyarakat sendiri. Upaya pemberdayaan masyarakat akan berhasil pada hakekatnya bila kebutuhan dasar masyarakat sudah terpenuhi. Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada hakekatnya merupakan fokus dari pembangunan kesehatan. Menurut stiglitz (1986) dengan membandingkan negara Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa Barat, pemerintah
bertanggung jawab memberikan
pelayanan publik di bidang kesehatan, setidak-tidaknya untuk dua program yaitu Medicare (perawatan kesehatan) terutama pelayanan kesehatan manusia dan Medicaid (bantuan kesehatan) terutama untuk pelayanan kesehatan keluarga miskin, cacat, dan anak-anak. Peranan pemeliharaan kesehatan publik pemerintah mencapai 44,6 % dari seluruh pembiayaan kesehatan. Alasan yang menyebabkan pemerintah harus bertanggung jawab dalam kesehatan menurut Rexnord dan Stephen (1996) adalah adanya teori kepentingan publik Stigler, dimana pemerintah menyediakan kebutuhan umum seluruh masyarakat untuk efisiensi dan keadilan (equity), pemerataan (equaly) distribusi
pendapatan pemerintah yang berasal dari pajak eksternalitas dan pajak barang publik sebagai tanggung jawab sosial pemerintah (Medicare dan Medicaid). Dalam UUD’45 Pasal 34 ayat (3) “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.Hal ini berarti, pembiayaan pelayanan dan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan publik menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan adanya UU No.36/2009 tentang kesehatan sesuai Pasal 167 dan didukung oleh UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah serta PP No.38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota sesuai Pasal 7 Ayat 2 poin b maka jelaslah bahwa urusan kesehatan secara nasional telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab oleh pemerintah daerah baik itu perencanaan kesehatan, pelayanan dan pembiayaan kesehatan masyarakat.
4.8. Pemberdayaan Masyarakat dalam Kesehatan Promosi kesehatan adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya mengontrol berbagai faktor pada kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya (WHO, dalam Notoatmodjo (2010:254)). Krianto, dalam Notoatmodjo (2010:254) menjelaskan misi dari promosi kesehatan adalah sebagai berikut: 1. Advokasi Upaya meyakinkan para pengambil kebijakan agar memberikan dukungan berbentuk kebijakan terhadap suatu program.
2. Mediasi Adalah upaya mengembangkan jaringan kemitraan lintas program, lintas sektor, dan lintas institusi guna menggalang dukungan implementasi program. 3. Pemberdayaan Upaya meningkatkan kemampuan kelompok sasaran sehingga kelompok sasaran mampu mengambil tindakan yang tepat atas suatu permasalahan yang dialami. Konsep pemberdayaan mengemuka sejak dicanangkannya Strategi Global (WHO) tahun 1984, yang ditindak lanjuti dengan rencana aksi dalam Piagam Ottawa (1986). Dalam deklarasi tesebut dinyatakan tentang perlunya mendorong terciptanya: 1. Kebijakan berwawasan kesehatan, 2. Lingkungan yang mendukung, 3. Reorientasi dalam pelayanan kesehatan,4. Keterampilan individu, dan 5.Gerakan masyarakat. Tujuan pemberdayaan adalah membantu klien memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam mengambil tindakan. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan kemampuannya, diantaranya melalui pendayagunaan potensi lingkungan. Menurut Suyono, dalam Notoatmodjo (2014:255) paling tidak ada tiga syarat dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu: 1. Kesadaran, kejelasan serta pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan 2. Pemahaman yang baik tentang keinginan berbagai pihak (termasuk masyarakat) tentang hal-hal apa, dimana, dan siapa yang diberdayakan.
3. Adanya kemauan dan keterampilan kelompok sasaran untuk menempuh proses pemberdayaan. Nutbeam, dalam Notoatmodjo (2010:262) menjelaskan bahwa ada upayaupaya yang perlu dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat untuk promosi kesehatan, yaitu: 1. Self Efficacy (Kemampuan diri mengubah situasi), merupakan upaya yang dapat
dilakukan
untuk
memberikan
pendidikan
kesehatan
secara
berkesinambungan menggunakan metode yang cocok, kombinasi komunikasi massa, komunikasi kelompok, serta komunikasi interpersonal dengan cara memberikan pelatihan tentang tindakan yang diperlukan dalam kesehatan, meliputi upaya-upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya pengobatan (kuratif), maupun upaya pemulihan (rehabilitatif) sehingga masyarakat mempunyai kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengambil tindakan yang rasional. 2. Health Literacy (Melek Kesehatan atau Paham Jenis-jenis Penyakit), merupakan upaya pendidikan masyarakat tentang pengenalan tema-tema dan isu kesehatan tertentu dan terkini, serta memberikan pelatihan sehingga masyarakat yang sudah memahami tema-tema atau isu kesehatan tertentu dan terkini mampu dan mau mengkomunikasikannya kepada anggota masyarakat lainnya, contoh bahaya akibat merokok, bahaya pemakaian narkotika dan sebagainya.
4.9. AKI dan AKB Kematian atau mortalitas adalah salah satu komponen dari indikator derajat kesehatan.Tinggi rendahnya tingkat mortalitas masyarakat mempengaruhi tingkat
kesehatan disuatu daerah.Dengan memperhatikan trend dari mortalitas di masa lampau dan estimasi perkembangan di masa mendatang, maka dapatlah dibuat suatu proyeksi kesehatan diwilayah bersangkutan. Budi Utomo (1985), dalam Mantra (2009:91) menyatakan bahwa “mati ialah peristiwa hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Dari definisi ini terlihat bahwa keadaan “mati” hanya bisa terjadi kalau sudah terjadi kelahiran hidup.Dengan demikian keadaan mati selalu didahului oleh keadaan hidup. Dengan kata lain, mati tidak akan pernah ada kalu tidak ada kehidupan. Sedangkan hidup selalu dimulai dengan lahir hidup (live birth).”
4.9.1.
Kematian Ibu Kematian ibu (Maternal) menurut WHO, dalam Pujiati Cs (2011:19)
adalah “kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan.” Pujiati cs (2011:19) menjelaskan sebab-sebab kematian ibu dibagi menjadi 2 golongan yaitu: 1. Penyebab langsung yang disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas 2. Penyebab tidak langsung/penyebab lain seperti penyakit jantung, kanker, dan sebagainya (Associated cause) Angka kematian maternal (maternal mortality rate) ialah ukuran besarnya resiko yang dihadapi ibu-ibu selama masa hamil, bersalin, dan nifas yang
berkaitan dengan rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, kurangnya fasilitas kesehatan, dan tingkat sosial
ekonomi
yang rendah (Dinkes
Bengkalis,2011). Pujiati cs (2011:19) menjelaskan bahwa WHO (1996) menerapkan jumlah kematian maternal diperhitungkan 100.000 Kelahiran Hidup. Selanjutnya Wahyuningsih (2009:88) memberikan cara mengitung angka kematian ibu sebagai berikut: 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 ℎ 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡
MMR=
4.9.2.
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 ℎ 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑙𝑙𝑙𝑙ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
𝑥𝑥100%
Kematian Bayi Pujiati cs (2011:21) menyatakan bahwa kematian bayi adalah kematian
yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu: a. Kematian Endogen Kematian bayi endogen atau umum disebut kematian neonatal, adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, penyebabnya: faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, diwarisi orangtuanya saat konsepsi atau didapat dari ibunya selama ibunya hamil. b. Kematian Eksogen Kematian bayi eksogen atau kematian post neonatal, adalah kematian bayi yan terjdi setelah usia satu bulan sampai menjelang satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar. Faktor penyebab kematian bayi Eksogen:
a) Endogenous Causes : Perawatan kehamilan, budaya, kurang gizi selama kehamilan, pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga b) Exogenous Causes
: Perawatan bayi, budaya, fasilitas kesehatan ibu
dan anak, pendapatan keluarga. Angka kematian bayi merupakan ukuran ketersediaan dan tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan serta ukuran tingkat sosial ekonomi masyarakat (Dinkes Bengkalis,2011). Selanjutnya Wahyuningsih (2009:87) memberikan cara menghitung angka kematian Bayi sebagai berikut: IMR= 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 ℎ 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ℎ𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑡𝑡𝑡𝑡 ℎ𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 ℎ 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 ℎ 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑙𝑙𝑙𝑙ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤𝑤 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
𝑥𝑥 100 %
4.10. Tupoksi dan Visi-Misi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis Menurut Perda No.13 Tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja dinas daerah Kabupaten Bengkalis sesuai Pasal 5 dan 6 paragraf 1 dan 2, maka tupoksi dan susunan organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis adalah sebagai berikut: Tupoksi Dinas Kesehatan Bengkalis 1.
Tugas Dinas Kesehatan adalah membantu Bupati dalam melaksanakan urusan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang kesehatan
2.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana, dimaksud pada ayat (1), Dinas Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a) Perumusan kebijakan teknis di bidang penyelenggaraan kesehatan
b) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang kesehatan c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kesehatan d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya (Perda No.13/2008 Pasal 5 ayat 1 dan 2). Susunan Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis 1.
Organisasi Dinas Kesehatan, terdiri dari : a) Unsur Pimpinan adalah Kepala Dinas b) Unsur Pembantu Pimpinan adalah Sekretariat c) Unsur Pelaksana adalah Bidang
2.
Susunan Organisasi Dinas Kesehatan, terdiri dari: a) Kepala b) Sekretariat, terdiri dari : 1) Sub Bagian Perencanaan dan Program 2) Sub Bagian Keuangan 3) Sub Bagian Administrasi Umum c) Bidang Pelayanan Kesehatan, terdiri dari : 1) Seksi Kesehatan Dasar 2) Seksi Kesehatan Rujukan 3) Seksi Kesehatan Khusus d) Bidang Pengendalian Masalah Lingkungan, terdiri dari : 1) Seksi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit 2) Seksi Wabah dan Bencana 3) Seksi Kesehatan Lingkungan e) Bidang Pengembangan SDM, terdiri dari : 1) Seksi Pendayagunaan 2) Seksi Pendidikan dan Pelatihan
3) Seksi Registrasi dan Akreditasi f) Bidang Jaminan dan Sarana Kesehatan, terdiri dari: 1) Seksi Jaminan Kesehatan 2) Seksi Sarana dan Peralatan Kesehatan 3) Seksi Kefarmasian g) UPTD h) Kelompok Jabatan Fungsional (Perda No.13/2008 Pasal 6 ayat 1 dan 2). Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis tahun 2010 – 2015 ialah “Masyarakat Bengkalis Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan” Dalam Rencana Strategis Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis 2010-2015 dinyatakan bahwa untuk mencapai visi ditetapkan misi sebagai berikut: 1. Meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat,
melalui
pemberdayaan
masyarakat termasuk swasta dan seluruh lapisan masyarakat. 2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. 3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. 4. Menciptakan tata kelola administrasi dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang prima, akuntanbel, transparan, adil, dan berkualitas.
4.11. Kebijakan Dinas Kesehatan Penurunan AKI, dan AKB
Kabupaten
Bengkalis
Terhadap
Berdasarkan Perda Kabupaten Bengkalis No.9 Tahun 2011 tentang RPJMD Kabupaten Bengkalis 2010-2015 maka kebijakan dinas kesehatan Kabupaten Bengkalis dalam penurunan AKI, dan AKB dapat dilihat dari arah kebijakan, dan strategi yang dikeluarkan dan yang dilaksanakan oleh dinas Kabupaten Bengkalis sebagai berikut:
4.11.1. Arah Kebijakan Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan bidang sosial budaya yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ditandai dengan meningkatnya IPM.Kebijakan pembangunan kesehatan 2010-2015 diarahkan pada ketersediaannya akses kesehatan dasar yang murah dan terjangkau terutama pada kelompok menengah kebawah guna mencapai MDG’s 2015. Sesuai dengan RPJMD Kabupaten Bengkalis tahun 2010-2015 maka sasaran pembangunan kesehatan di Kabupaten Bengkalis adalah terwujudnya peningkatan kualitas dan dan aksesibilitas kesehatan bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Bengkalis Riau. 4.11.2. Sasaran Strategis Sasaran strategis oleh dinas kesehatan di Kabupaten Bengkalis dalam pembangunan kesehatan 2010-2015 di Kabupaten Bengkalis 2010-2015 ialah meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, dengan langkah secara umum sebagai berikut: 1. Meningkatkan umur harapan hidup dari 71,1 tahun menjadi 73 tahun 2. Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan dari 28 menjadi 24 per 100.000 kelahiran hidup 3. Menurunkan Angka Kematian Bayi dari 107 menjadi 104 per 1000 kelahiran hidup 4. Menurunkan Angka kematian Neonatal dari 19 menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup
5. Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (cakupan PN) sebesar 90 % 6. Peserntase puskesmas Rawat Inap yang mampu Poned sebesar 100 % 7. Persentase Rumah Sakit yang melaksanakan Ponek sebesar 100 % 8. Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN lengkap) sebesar 90 % 4.11.3. Strategi terhadap Penurunan AKI, dan AKB 1. Penggerakkan dan memberdayakan masyarakat terhadap aspek kesehatan Mendorong kerjasama antar masyarakat antar kelompok serta antar lembaga dalam rangka pembangunan berwawasan kesehatan; meningkatkan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat dan mensinergikan sistem kesehatan modern dan asli Indonesia; menerapkan promosi kesehatan yang efektif memanfaatkan agent of change setempat; memobilisasi sektor lain untuk pembangunan kesehatan. Strategi ini ditempuh dengan melaksanakan program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut: a) Tujuan
: Meningkatnya pelaksanaan pemberdayaan dan promosi kesehatan
kepada masyarakat b) Indikator : 1)
Persentase desa siaga aktif sebesar 40 %
2)
Persentase rumah tangga yang melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebesar 75 %
c) Kegiatan : 1)
Pembentukan dan pembinaan desa siaga
2)
Pengembangan dan pembinaan desa siaga
3)
Pengembangan media promosi dan informasi sadar hidup sehat
4)
Penyebarluasan informasi kesehatan melalui media cetak dan elektronik.
2. Program peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak a) Tujuan
: meningkatkan pelayanan kesehatan ibu, bayi, dan anak balita
b) Indikator : 1)
Persentase kunjungan Posyandu (D/S)
2)
Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (Cakupan PN)
3)
Persentase ibu hamil mendapat pelayanan AnteNatal Care (ANC) sebesar 100 %
4)
Cakupan kunjungan neonatal pertama (KN 1) sebesar 94 %
5)
Cakupan kunjungan neonatal (KN lengkap) sebesar 93 %
6)
Persentase ibu hamil, bersalin dan nifas yang mendapatkan penanganan komplikasi kebidanan sebesar 79 %
7)
Cakupan penanganan neonatal komplikasi sebesar 85 %
8)
Cakupan penanganan kesehatan anak balita sebesar 87%
c) Kegiatan : 1)
Optimalisasi peran dan fungsi posyandu
2)
Pertolongan persalinan bagi ibu hamil masyarakat kurang mampu
3)
Pendataan penjaringan dan rujukan ibu hamil dan bayi risiko tinggi
4)
Lomba Balita Sehat Tingkat Kecamatan dan Kabupaten
3. Program upaya kesehatan masyarakat
a) Tujuan
: Meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi
masyarakat b) Indiktor 1)
:
Persentase RS yang melaksanakan pelayanan keperawatan sesuai standard dan pedoman sebesar 100 %
2)
Persentase RS yang melaksanakan pelayanan gawat darurat standar dan pedoman sebesar 100 %
3)
Persentase RS yang melaksanakan pelayanan kebidanan sesuai standar dan pedoman sebesar 100 %
4)
Persentase RS yang melaksanakan PONEK sebesar 100 %
5)
Jumlah Posyandu Usila yang dibentuk sebanyak 50 buah
6)
Persentase RS dilaksanakannya Audit Audit Maternal Perinatal sebesar 100 %
7)
Persentase Puskesmas yang menerapkan standar pelayanan medik dasar sebesar 100
8)
Persentase Puskesmas Rawat Inap yang mampu PONED sebesar 100 %
9)
Persentase Puskesmas dan jaringannya yang mendapatkan biaya operasional sebesar 100 %
c) Kegiatan : 1)
Optimalisasi pelayanan medis di RSUD Bengkalis dan RSUD Mandau
2)
Peningkatan kesehatan Masyarakat
3)
Penyediaan biaya Operasional pelayanan kesehatan
4)
Peningkatan Sistem kewaspadaan DINI KLB dan Penyakit Menular lainnya
4. Program perbaikan gizi masyarakat a) Tujuan
: Meningkatkan kualitas penanganan masalah gii masyarakat
b) Indikator : 1)
Persentase kecamatan yang melaksanakan surveilans gizi sebesar 100 %
2)
Persentase balita ditimbang berat badannya (D/S) sebesar 90 %
3)
Persentase penyediaan bufferstock MP-ASI sebesar 100 %
4)
Persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan sebesar 100 %
5)
Persentase ibu hamil yang mendapat Fe 90 tablet sebesar 88 %
6)
Persentase balita 6-59 bulan dapat kapsul Vitamin A sebesar 88 %
7)
Cakupan rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium sebesar 93%
c) Kegiatan : 1)
Penyusunan peta informasi masyarakat kurang gizi
2)
Pemberian tambahan makanan dan vitamin
3)
Penanggulangan KEP, anemia gizi, kekurangan vitamin A dan zat gizi mikro lainnya.
5. Peningkatan pembiayaan kesehatan Lebih memantapkan penataan sub sistem pembiayaan kesehatan kearah kesiapan konsep, kelembagaan, dan dukungan terhadap penerapan jaminan kesehatan sosial menuju universal coverage, menghimpun sumber-sumber dana baik dari pemerintah pusat dan daerah, juga peningkatan peran masyarakat, termasuk swasta untuk menjamin tersedianya pembiayaan kesehatan dalam jumlah yang cukup, utamanya dalam menjalankan upaya preventif dan promotif dan terlaksananya program –program keunggulan/prioritas nasional; merancang
dan menetapkan kebijakan pembiayaan kesehatan bagi daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan. Strategi ini ditempuh dengan melaksanakan beberapa program sebagai berikut: a) Program pembinaan, pengembangan pembiayaan dan jaminan pemeliharaan kesehatan 1. Tujuan
:
Terumuskan kebijakan pembiayaan dan jaminan
pemeliharaan kesehatan 2. Indikator
:
a. Persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan sebesar 100 % b. Persentase Puskesmas dan jaringannya yang memberikan pelayanan kesehatan pada peserta Asuransi kesehatan PNS sebesar 100 % 3. Kegiatan
:
a. Penetapan pola dan bentuk jaminan kesehatan masyarakat bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Bengkalis b. Peningkatan cakupan jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Kabupaten Bengkalis c. Menyediakan dan Mengalokasikan dana jaminan kesehatan dari APBD bila pihak asuransi belum mentransfer dana untuk biaya obat masyarakat b) Program pelayanan kesehatan masyarakat miskin 1. Tujuan
: Meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
bagi penduduk miskin
2. Indikator
: Persentase Puskesmas dan Rumah Sakit yang memberikan
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi penduduk miskin sebesar 100% 3. Kegiatan
: Pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan
jaringannya serta di Rumah Sakit.
4.12. Ekonomi Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan 4.12.1. Ekonomi Kesehatan Mills dan Gillson (1999) mendefinisikan bahwa ekonomi kesehatan itu sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan 2. Jumlah sumber daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan 3. Pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan 4. Efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya 5. Dampak upaya pencegahan, pengobatan dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat (Mills & Gillson, 1999) Sedangkan Perhimpunan Peminat Ekonomi Kesehatan Indonesia (1989), menyatakan bahwa ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Perubahan mendasar terjadi pada sektor kesehatan, ketika sektor kesehatan telah menghadapi kenyataan bahwa sumberdaya yang tersedia (khususnya dana) semakin hari semakin jauh dari
mencukupi. Keterbatasan tersebut mendorong masuknya disiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan, manajemen dan evaluasi sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Pelayanan kesehatan apa yang perlu diproduksi 2. Berapa besar biaya produksinya? 3. Bagaimana mobilitas dana kesehatan (siapa yang mendanainya?) 4. Bagaimana utilisasi dana kesehatan (siapa penggunanya dan berapa banyak?) 5. Berapa besar manfaat (benefit) investasi pelayanan kesehatan tersebut? Selanjutnya Rexford dan Stephen (1996) berpendapat bahwa ekonomi kesehatan (health economy) adalah mempelajari penawaran dan permintaan (supply and demand) dari sumber-sumber pemeliharaan kesehatan (health care resources) dan pengaruh (impact) dari sumber-sumber pemeliharaan kesehatan terhadap masyarakat (population). Untuk memperjelas terminologi ekonomi kesehatan dan memperkuat pernyataan para ahli dan perhimpunan yang terkait dengan ekonomi kesehatan diatas maka pandangan diatas perlu didukung dengan pandangan Pengamat Kesehatan Universitas Indonesia yaitu Dr. Prijono Tjiptoherijanto. Menurut Tjiptoherijanto dalam Djojohadikusumo (1987) bahwa ekonomi kesehatan pada dasarnya berasal dari ilmu ekonomi yang di kombinasi dengan sektor kesehatan. Ilmu ekonomi pada dasarnya bersifat positif dan normatif. Ilmu ekonomi yang bersifat positif selalu dihadapkan dengan kenyataan, sedangkan ilmu ekonomi yang bersifat normatif dihadapkan dengan apa yang seharusnya terjadi. Dari sifatnya ilmu ekonomi tersebut juga memiliki perbedaan yaitu: 1. Ilmu ekonomi yang bersifat positif cenderung dihadapkan pada teori, konsep, dan ramalan.
2. Ilmu ekonomi yang bersifat normatif cenderung dihadapkan pada penilaian subjektifitas atas norma-norma atau ukuran-ukuran tertentu yang ditetapkan dan dalam hal ini apabila terjadi ketidaksesuaian atas norma-norma atau ukuran-ukuran tertentu maka pengalaman empiris tidak akan dapat membantu. Sementara itu ilmu ekonomi kesehatan secara umum dapat dianggap sebagai penerapan dari teori-teori, konsep-konsep, dan teknik-teknik didalam ilmu ekonomi pada
sektor kesehatan. Oleh karenanya, berhubungan erat dengan
masalah-masalah alokasi sumber daya untuk berbagai kegiatan yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan, banyaknya sumber daya yang digunakan dalam pelayanan kesehatan, organisasi dan pembiayaan lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan, efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan dan alokasi sumber daya untuk tujuan-tujuan yang bersifat kesehatan, serta pengaruh dari program-program pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi pelayanan kesehatan bagi perorangan serta masyarakat. Seperti diketahui diatas karena ekonomi
kesehatan
merupakan
ilmu
ekonomi
terapan
dikarenakan
mempergunakan teori ekonomi dan penerapan ilmu ekonomi dalam kenyataannya dengan maksud untuk menjelaskan masalah-masalah praktis dan menjajaki implikasi dari kegiatan tertentu, maka ekonomi kesehatan dapat digunakan oleh para ekonom, para dokter dan petugas kesehatan, serta para perencana kesehatan untuk pembangunan kesehatan selama mereka mendapat pengertian mengenai ekonomi kesehatan da mengerti dasar-dasar dari teori ekonomi pada khususnya. 4.12.2. Pembiayaan Kesehatan
Health Canada (1996) menyatakan bahwa pembiayaan kesehatan adalah Semua biaya yang secara eksplisit di alokasikan untuk meningkatkan atau mencegah penurunan status kesehatan masyarakat. Selanjutnya Gottret dan schieber (2006), pembiayaan kesehatan (health financing) adalah suatu sistem yang berfungsi untuk mengumpulkan (collecting), menata (pooling), dan membelanjakan (purchasing) dana/uang pemeliharaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan sangat rentan terhadap beberapa faktor determinant terutama nilai-nilai sosial (sosial values), struktur politik (politcal structure),
aktivitas
ekonomi
(economy
activity),
dinamika
lingkungan
(enviromental dynamics), profil demografi (demographic profiles), dan tekenan eksternal (eksternal pressure). Menurut NHA (2000) sumber utama pembiayaan kesehatan ialah pemerintah, swasta, NGO, dan masyarakat. Kemenkes (2011) menyatakan bahwa pembiayaan kesehatan bersumber dari pemerintah ialah sebagai berikut: 1. Dana Pemerintah Pusat dalam APBN a) Dana Kementrian b) Dana Dekonsentrasi c) Dana Tugas Pembantuan d) Dana Bantuan Operasional Kesehatan yang ditujukan kepada Puskesmas e) Pendanaan Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan seperti BPJS 2. Dana Pemerintah Daerah Provinsi dalam APBD a) Dana Alokasi Umum b) Dana Bantuan Gubernur 3. Dana Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam APBD
a) Dana APBD Kabupaten/Kota (PAD) : Pendanaan Kegiatan Rutin dan Operasional b) Dana Perimbangan: DAU Operasional Kesehatan dan DAK Fisik dan Infrastruktur c) Dana Bagi Hasil Operasional Khusus dan Bencana
4.13. Strategi Pembiayaan Kesehatan Menurut Munandar (2004), strategi adalah cara mencapai sasaran jangka panjang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, strategi diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Pembiayaan kesehatan menurut Gotret dan Schieber (2006) adalah suatu sistem yang berfungsi mengumpulkan (collecting), menata (pooling) dan membelanjakan (purchassing) dana pemiliharaan kesehatan. Strategi pembiayaan kesehatan yang dimaksud penulis dalam penelitian ini adalah merencanakan cara yang tepat dan cermat untuk menggerakkan suatu sistem yang mengatur tentang besarnya alokasi dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan masyarakat dengan tujuan tercapainya asumsi ideal indikator-indikator kesehatan masyarakat yang optimal sebagai upaya pendistribusian pendapat daerah secara adil (equity) dan merata (equally). Strategi pembiayaan kesehatan PEMDA Kabupaten Bengkalis sampai saat ini adalah menyediakan anggaran kesehatan dengan skala prioritas terhadap program rutin termasuk surveilens dan penanganan kejadian luar biasa (wabah), pelayanan kesehatan dasar gratis, pelayanan kesehatan komprehensif masyarakat
miskin gratis, gaji dan perbaikan insentif pegawai, pemberian bantuan transportasi kader kesehatan serta perbaikan dan pembangunan infrastruktur kesehatan.
4.14.
Konsep, Klasifikasi, dan Karakteristik Belanja Daerah
4.14.1. Konsep Belanja Daerah Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q) menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya. Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Abdul Halim (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus
kas keluar atau deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekiutas dana. Kemudian menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas keluar, atau konsumsi aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri. Dan menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu belanja daerah daerah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. 4.14.2. Klasifikasi Belanja Daerah Belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri 13/ 2006 terdiri atas: belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan
program
dan
kegiatan.Kelompok
belanja
langsung
merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial,
belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran uang dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu belanja atau pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Belanja rutin pada dasarnya berunsurkan pos-pos belanja untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari-hari meliputi belanja pegawai, belanja barang: berbagai macam subsidi, angsuran, dan lain-lain. Sedangkan belanja atau pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik. Sistem penganggaran Kep-mendagri nomor 29 tahun 2002 pada pasal 6 mengklasifikasi belanja daerah dalam dua klasifikasi utama yaitu pertama, Belanja daerah yang terdiri dari bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik. Kedua, masing-masing belanja dirinci menurut kelompok belanja yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Mardiasmo
(2002)
mengemukakan
bahwa
belanja
daerah
diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja Tidak Tersangka.
Sedangkan menurut Mardin Manurung (Abdul Halim, 2001) yang mengemukakan bahwa, belanja daerah dibagi menjadi Belanja Rutin, Belanja Investasi yang terdiri dari
Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur/
pegawai, Pengeluaran Transfer, serta Pengeluaran Tidak Tersangka. Menurut Halim (2004), belanja daerah digolongkan menjadi 4, yakni: belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan.Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Belanja aparatur daerah adalah belanja yang berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/ pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik) sedangkan belanja pelayanan publik adalah belanja yang berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/ pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). 4.14.3. Karakteristik Belanja Daerah Biaya adalah penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas, konsumsi aktiva atau terjadinya kewajiban yang ditimbulkan karena pengurangan dalam aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan distribusi enitas ekonomi itu sendiri.
Menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002), Biaya dapat dikategorikan sebagai belanja dan beban.Belanja adalah jenis biaya yang timbulnya berdampak langsung kepada berkurangnya saldo kas maupun uang enitas yang berada di bank.Beban dapat berarti pengakuan biaya-biaya non-kas baik karena penyusutan, amoritas, penyisihan atau cadangan.Penyisihan per persediaan itu sendiri.Berdasarkan manfaatnya, biaya yang telah terjadi pada suatu periode dapat diklasifikasikan sebagai opersi dan non-operasi. Dan dalam bukunya “ Sistem Akutansi Dalam Sektor Publik “ modul untuk Pelatihan Penyusunan Laporan Keuangan mengemukakan bahwa, Belanja atau biaya diklasifikasikan menurut penggunaan belanja/ biaya dirinci berdasarkan kelompok jenis belanja/ biaya, sedangkan pusat pertanggungjawaban dirinci berdasarkan bagian atau fungsi dan unit organisasi pemerintah daerah. (Indra Bastian, 2002) Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan mengenai karakteristik belanja daerah yaitu adanya penurunan manfaat ekonomis yang berdampak terhadap penurunan saldo kas maupun uang entitas yang ada di bank, berada dalam tahun anggaran tertentu, dan belanja daerah diklasifikasikan menurut penggunaan belanja/ biaya dan pusat pertanggungjawaban.
4.15. PDRB Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah atau provinsi dalam periode tertentu ditunjukan oleh data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Produk Domestik Regional Bruto didefinisikan sebagai
jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah seluruh nilai tambah yang timbul dari berbagai kegiatan ekonomi di suatu wilayah, tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksinya, apakah milik penduduk wilayah tersebut ataukah milik penduduk wilayah lain (Sadono Sukirno, 2006). Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Badan Pusat Statistik menjelaskan untuk lebih jelas dalam penghitungan angka-angka PDRB ada tiga pendekatan yang kerap digunakan dalam melakukan perhitungan, yaitu menurut pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Pengertian PDRB dapat pula dilihat dari tiga pendekatan tersebut, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Dilihat dari pendekatan Produksi, PDRB merupakan nilai produksi netto dari barang dan jasa yang dihasilkan daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi sembilan sektor lapangan usaha, yaitu sektor pertanian, pertambangan, perdagangan hotel dan restoran,
pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa. Dilihat dari pendekatan pendapatan, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi dalam suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa yang diterima adalah upah, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan dikurangi pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB, kecuali balas jasa faktor produksi di atas termasuk pula komponen penyusutan dan pajak tak langsung netto. Seluruh komponen pendapatan ini secara sektoral disebut sebagai nilai tambah bruto. Adapun dilihat dari pendekatan Pengeluaran, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah semua komponen permintaan akhir seperti: pengukuran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi, pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, dan ekspor netto.
4.16.
IPM Menurut BPS (2008) “IPM merupakan ukuran agregat dari dimensi dasar
pembangunan dengan melihat perkembangannya”. Selanjutnya Siregar (2003) menyatakan bahwa “IPM merupakan indikator keberhasilan dalam pembangunan sosial dan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Berdasarkan uraian diatas maka disimpulkan bahwa IPM merupakan sarana yang digunakan untuk
mengukur
dan
mengevaluasi
pencapaian
variabel-variabel
dari
pembangunan manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat disuatu negara atau wilayah.
Indeks Pembangunan Manusia mengukur tiga dimensi pembangunan manusia yang terdiri dari: 1. Umur panjang dan sehat yang diukur dengan Usia Harapan Hidup sejak lahir 2. Pengetahuan atau pendidikan yang diukur dengan Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah atau tingkat partisipasi sekolah. 3. Kemampuan untuk hidup layak yang diukur dengan daya bel (per capita adjusted purchasing power) atau tingkatan pengeluaran per kapita.
Tabel 2.1 Indikator IPM Faktor
Indikator
Kelangsungan
Angka Harapan Hidup
hidup
(thn)
Kondisi Ideal
Terburuk
85
25
100.0
0.0
15
0
737.720,-
360.000
Angka Melek Huruf (%) Pengetahuan
Rata-rata lama sekolah (thn) Pendapatan (Konsumsi)
Daya Beli
Riil Perkapita disesuaikan dalam Rupiah
Sumber data: UNDP, Human Development Report, 1993
Menurut UNDP (1990) status pencapaian IPM pada suatu negara dibagi tiga kelompok, yaitu:
1.
Tingkatan pencapaian rendah, jika suatu negara hanya mampu mencapai tingkat IPM < 50.
2.
Tingkatan pencapaian menengah, jika suatu negara hanya mampu mencapai tingkat 50 < IPM < 80.
3.
Tingkatan pencapaian tinggi, jika suatu negara hanya mampu mencapai tingkat IPM > 80. Namun untuk perbandingan antar daerah di Indonesia, yaitu perbandingan
antar kabupaten/kota, maka kriteria kedua, yaitu “Tingkatan menengah”, dipecah menjadi 2 (dua) golongan, sehingga gambaran status akan berubah menjadi sebagai berikut : 1.
Tingkatan pencapaian rendah, jika suatu daerah hanya mampu mencapai tingkat IPM < 50
2.
Tingkatan pencapaian menengah-bawah, jika suatu daerah hanya mampu mencapai tingkat 50 < IPM < 66
3.
Tingkatan pencapaian menengah-atas, jika suatu daerah hanya mampu mencapai tingkat 66 < IPM < 80
4.
Tingkatan pencapaian atas, jika suatu daerah hanya mampu mencapai tingkat IPM > 80 Adapun tahapan-tahapan menghitung IPM ialah sebagai berikut : Rumus :
1.
Indeks Harapan Hidup
2.
IHH = 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻
3.
IMHF = 𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 (𝑡𝑡𝑡𝑡 ℎ𝑢𝑢𝑢𝑢 )−𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻
Indeks Melek Huruf
−𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻
𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 (%)−𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
Indeks Lama Sekolah
−𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝑥𝑥 100
𝑥𝑥 100
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 ℎ(𝑡𝑡𝑡𝑡 ℎ𝑢𝑢𝑢𝑢 )−𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 ℎ𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
4.
ILS = 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟
5.
ITP = 3 𝑥𝑥(𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼) +
Indeks Tingkat Pendidikan 2
1 3
𝑥𝑥 100
𝑥𝑥 (𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼)
Indeks Pendapatan Riil Per kapita
IP = 6.
ℎ𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 –𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 ℎ𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃
IPM IPM =
−𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 −𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷
𝑥𝑥 100
𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼+𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼+𝐼𝐼𝐼𝐼 3
4.17. Kerangka Pemikiran Dalam menentukan biaya kesehatan perlu disepakati dahulu asumsi tentang kesehatan bahwa kesehatan adalah modal ekonomi (Rexford dan Stephen,1996), untuk proses produksi dalam pembangunan jika dipandang dari sudut manusia sehat menjadi sumber daya manusia yang selanjutnya bertindak sebagai modal ekonomi. Dengan demikian berapapun biaya yang dipelukan untuk pembiayaan kesehatan adalah suatu investasi yang ditanam untuk dapat diperhitungkan manfaat atau keuntungannya di masa depan. Pembiayaan kesehatan mempunyai keterkaitan langsung dengan tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat, dengan demikian biaya adalah fungsi derajat kesehatan masyarakat.Derajat kesehatan masyarakat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat yg diukur dengan IPM yang menjadi kontribusi pembangunan sosial ekonomi pemerintah pusat atau daerah. Indikator-indikator kesehatan yang menjadi yang menjadi komponen IPM adalah Usia Harapan Hidup dan Mortalitas, hal ini berarti bahwa indikatorindikator kesehatan memperlihatkan implikasi kebijakan pemerintah dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat.Pembiayaan kesehatan berpengaruh positif terhadap pencapaian indikator-indikator kesehatan, derajat kesehatan masyarakat dan akhirnya kesejahteraan masyarakat. Sedangkan indikator ekonomi yang menjadi komponen IPM adalah Faktor Pendapatan.Faktor pendapatan sangat erat hubungannya dengan kemampuan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Jika pendapatan per kapita (PDRB) meningkat maka akan mengurangi angka kematian, gizi buruk,sehingga usia harapan hidup akan meningkat. Tingkat pendapatan per kapita secara signifikan mempengaruhi kondisi kesehatan di beberapa Negara.Peningkatan pendapatan per kapita menurunkan angka kematian dan gizi buruk. Selanjutnya salah satu indikator sosial yang menjadi Komponen IPM adalah Rata-Rata Lama Sekolah. Tingkat Pendidikan Masyarakat adalah fakor-faktor yang secara langsung berpengaruh positif terhadap input yang mempengaruhi derajat kesehatan dan Program-program kesehatan dalam proses pencapaian derajat kesehatan optimum. 4.17.1. Skedul Estimasi dan Realisasi Indikator Derajat Kesehatan Masyarakat Tabel 2.2. Estimasi dan realisasi indikator-indikator kesehatan di Kabupaten Bengkalis No.
Indikator
1
AKI
2
AKB
Tahun 2010
2011
2012
2013
2014
Estimasi
15
11
10
10
24
Realisasi
17
13
19
15
28
Estimasi
62
50
90
102
104
Realisasi
56
41
79
85
107
Sumber: Renstra Dinkes Kab. Bengkalis 2010-2015 dan Profil Kesehatan Bengkalis 2010-2014
Indikator-indikator kesehatan pada tahun 2010-2014 tidak dapat mencapai skedul estimasi indikator derajat kesehatan dalam upaya pencapaian visi kabupaten bengkalis “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan.” Alasan penyebab tidak tercapainya skedul estimasi indikator dan strategi yang diperlukan untuk memenuhi skedul estimasi pencapaian indikator adalah hal yang sangat mendasar untuk diteliti dan dikaji dalam kajian ini. 4.17.2. Alokasi anggaran kesehatan dengan indikator kesehatan Secara umum derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh multi faktor termasuk alokasi anggaran bidang kesehatan. Hal ini dari indikatorindikator kesehatan di negara-negara Asean walaupun pada negara Asean tertentu seperti Vietnam terdapat fenomena yang berbeda dalam kaitan antara alokasi pendanaan bidang kesehatan dengan indikator-indikator kesehatan sebagaimana yang terlihat dalam table. Tabel 2.3.Profil Kesehatan Indonesia 2014 Anggaran Negara
Kesehatan Per
AKB
AKI
Gizi Buruk
Kapita USD Brunei
939,3
5,6
18
11
Singapore
2426,1
3,3
17
8
Malaysia
409,5
8,1
39
9
Thailand
215,1
6,5
44
15
Filipina
118.8
16,5
170
12
Indonesia
107,7
32
359
23
Vietnam
102,5
46
50
10
Gambaran umum tabel 6, semakin besar alokasi anggaran bidang kesehatan (anggaran kesehatan per kapita), semakin baik indikator-indikator
kesehatan masyarakat. Secara sederhana, dapat diduga kekuatan pengaruh alokasi dana kesehatan bersifat positif terhadap derajat kesehatan, semakin besar biaya kesehatan per kapita semakin baik pencapaian indikator-indikator kesehatan dan semakin baik derajat kesehatan masyarakat. Pada tabel 7 dibandingkan rata-rata anggaran kesehatan per kapita negaranegara asean pada tahun 2014 dengan anggaran per kapita Kabupaten Bengkalis periode 2010-2014.
Tabel 2.4.
Hubungan rata-rata anggaran per kapita dengan indikator derajat kesehatan
Wilayah
Rata-rata Anggaran Kesehatan per Kapita
AKI
AKB
Asean TA 617 USD 99,57 16,85 2014 Bengkalis TA 20,44 USD 162,66 5,66 2010-2014 Sumber: Profil Kesehatan Indonesia dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis Dengan rata-rata alokasi dana bidang kesehatan 3 tahun terakhir sebesar Rp 123.279.335.142 untuk rata-rata 530.000 penduduk, berarti alokasi perkapita rata-rata Rp 204.149 atau setara dengan 20,44 USD (Kurs: Rp 11.745), jauh lebih kecil dari rata-rata negara Asean sebesar 617 USD.
Masyarakat Bengkalis Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan
APBD Dinas Kesehatan
Realisasi Indikator Derajat Kesehatan
Strategi Percepatan Realisasi Indikator Derajat Kesehatan
Perancangan Program Strategis
Optimasi APBD Dinkes
Optimasi Derajat Kesehatan Masyarakat
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran