BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang Kajian Dalam kamus Ilimiah kata kajian, berarti telaah, pelajari, analisa, dan selidiki. 1 Adapun pengartian lain yang memiliki makna sama tentang kajian, yaitu berarti hasil mengkaji, kata kajian adalah merupakan : -
Kata yang perlu ditelaah lebih jauh lagi maknanya karena jenis kata ini tidak bisa langsung dipahami oleh semua orang.
-
Kata yang dipakai untuk suatu kepentingan keilmuan.
-
Kata yang dipakai oleh para ahli ilmuan dalam bidangnya.
-
Kata yang dikenal dan dipakai oleh ilmuan atau kaum pelajar dalam dalam karya-karya ilmiah.2
2.2 Tinjauan Tentang Yuridis Yuridis atau yang lebih dikenal dengan hukum pada dasarnya adalah kumpulan peraturan-peraturan yang didalamnya mengatur tingkah laku manusia, yang dibuat oleh lembaga-lembaga Negara yang berwenang, yang bersifat memaksa, dan berakibat sanksi tegas bagi pelanggarnya.
1 2
Pius A. partanto, 2001, Kamus Ilimiah, Arkola, Surabaya.. Halm. 295 www. Slidershare.net/edhos/katakajian. Diakses pada tanggal 24 juni 2013
Para ahli hukum juga mempunyai pendapat masing-masing perihal hukum itu sendiri. Antara lain penjabaran artian hukum menurut para ahli adalah; Mochtar Kusumaatmadja, mengartikan hukum sebagai suatu aturan yang mengatur tindakan manusia dalam masyarakat dan lembaga-lembaga yang berwenang menegakkan hukum secara adil menurut hukum itu sendiri. Van Apeldoorn beranggapan bahwa hukum telah ada dalam diri manusia, artinya bahwa hukum telah lahir dari perasaan moral seseorang sejak ia dilahirkan. Aristoteles Hukum adalah sesuatu yang berbeda dari pada sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di Pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar. Van Kant mengartikan hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan individu ataupun masyarakat dari tindakan absolut oleh seseorang atau sekelompok orang. 3
Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur tata tertip dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.
3
Http://www. Pengertian-hukum.com di asks pada tanggal 23 juni 2013
Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata meteril, sedangkan dalam arti kata formal, hukum adalah kehendak ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat tempat hukum diciptakan. 2.3
4
Tinjauan tentang Harta Bersama Harta bersama dalam kamus Hukum berarti syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung
dan
selanjutnya
disebut
harta
bersama,
tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. 5 Harta bersama disebut juga dengan harta kekayaan bersama. Harta bersama adalah harta pencaharian bersama. Harta pencaharian merupakan istilah untuk harta bersama yang suami istri peroleh selama perkawinan. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 35 ayat 1 tentang Perkawinan bahwa: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Adapun pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai kesamaan satu sama lain. Menurut H. Ismuha mengatakan, tidaklah semua harta 4 5
ibid Kamus hukum, 2008 Citra Kumbara, Bandung halm. 139
kekayaan ssuami istri merupakan kesatuan harta kekayaan, hanya harta kekayaan yang di peroleh bersama dalam masa perkawinan saja yang merupakan harta suami istri.6
Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi suami isteri tersebut. 7
Menurut Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya.8
Senada dengan ketiga tokoh di atas, Iman Sudiyat juga memberikan definisi harta bersama, yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan, baik suami maupun isteri bekerja untuk kepentingan kehidupan keluarga. Syarat terakhir ini sering juga ditiadakan, sehingga harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan itu selalu menjadi harta bersama keluarga.
9
Dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 1 huruf (f) juga mengartikan bahwa: “Harta kekayaan dalam perkawinan
6
Drs. H. M. Anshary. 2010. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 132 htmlhttp://pengertianpengertian.blogspot.com/2011/12/pengertian-harta-bersama.html di akses tanggal 10 desember 2012 8 ibid 9 ibid 7
atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun”.10 Harta bersama yang dimaksud itu yakni semua harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan tanpa mempersoalkan ke dalam atas nama siapa harta itu diperoleh. “Harta bersama yakni semua harta pencaharian selama terjadinya ikatan perkawinan, tidak termasuk harta bawaan”. Akan tetapi j ika ada perjanjian terdahulu harta bawaan bisa termasuk harta bersama, seperti yang di uraikan pada pasal 29 UUP dan pasal 45-47 KHI Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 35 ayat 2 ditegaskan bahwa: “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. 11 Harta bawaan yakni harta benda yang masing-masing suami atau istri bawa masuk dalam perkawinan, biasa diperoleh dari warisan, hibah, hadiah dan lain sebagainya.12 Sedangkan harta bersama yaitu benar-benar murni dari hasil pencaharian suami istri selama perkawinan berlangsung, baik harta suami peroleh dari hasil pekerjaannya maupun dari hasil pekerjaan sang istri yang disebut sebagai harta bersama. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban
10
Undang-Undang Peradilan Agama. Yogyakarta: Graha Pustaka, hal. 139 UU. Perkawinan ibid hal 24 12 J. andy Hartanto. 2012. Hukum Harta Kekayaan. Surabaya : Laksbag Grafika. Halm. 63 11
yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. 2.4 Ruang Lingkup Harta Bersama Pada bagian ini akan diuraikan tentang ruang lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan serta objek-objek yang termasuk di dalamnya. Dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan, maka segala harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun penerapannya di dalam kenyataan tidak demikian sederhana karena berbagai unsur terkait yang menyebabkan menjadi demikian rumit. Hal ini membutuhkan analisis dan keterampilan yang memadai pada proses penyelesaiannya dengan tidak lupa melalui pendekatan yurisprudensi. Berikut ini adalah luas cakupan harta bersama: a) Harta yang dibeli selama ikatan perkawinan Semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan, maka harta tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan: 1) Apakah isteri atau suami yang membeli 2) Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami 3) Apakah harta itu terletak dimana Jadi apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama.13
13
H. M. Anshary ibid hal 134
b) Harta yang dibeli dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama Semua barang termasuk objek harta bersama, ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau sesudah terjadi perceraian. Misalnya harta bersama yang belum diadakan pembagiannya sejak perceraian dan kemudian digunankan oleh salah satu pihak yang menguasainya untuk membeli suatu barang atau membangun suatu bangunan maka pada barang atau bangunan tersebut tetap melekat secara mutlak wujud harta bersama. Asas kemutlakan harta bersama ini harus secara teguh penerapannya guna menghindari itikad buruk dari salah satu pihak yang pada akhirnya bertentangan dengan hukum kepatutan. c) Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan Dalam suatu sengketa perkara harta bersama, terkadang salah satu pihak mengajukan gugatan bantahan bahwa harta yang digugat tidak termasuk harta bersama, melainkan harta pribadi dan hak kepemilikan itu dialihkan berdasarkan atas hak pembelian, warisan ataupun hibah. Jika pihak lain dalam hal ini penggugat dapat membutikan bahwa harta yang menjadi sengketa itu benar diperoleh selama perkawinan, maka harta itu termasuk objek harta bersama itu sudah dialihkan dengan memakai nama orang lain. d) Penghasilan harta bersama atau harta bawaan
Harta bersama dan penghasilan yang tumbuh karenanya sudah semestinya turut manjadi objek harta bersama namun disamping itu penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami isteri akan jatuh juga menjadi objek harta bersama meskipun barang pokok atau harta pribadi itu tetap berstatus sebagai milik pribadi yang tidak dapat digugat. Tetapi hasil yang tumbuh daripadanya itulah yang menjadi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain didalam perkawinan. Berbeda dengan hasil harta pribadi tidak termasuk harta bersama melainkan secara mutlak tetap menjadi harta pribadi. Jadi jelas adanya bahwa harta pribadi dalam hal perkawinan turut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.14 e) Segala penghasilan suami isteri Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh perdagangan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri. Hal ini merujuk pada putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454K/SIP/1970. Pengabungan penghasilan pribadi ke dalam harta bersama dengan sendirinya tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. f)
14
Harta bersama dari perkawinan poligami
Ibid halm.136
Dalam hal suami hidup berpoligami atau mempunyai isteri lebih dari seorang. Maka dalam penentuan dan batas harta bersama berlaku beberapa asas yang antara lain sebagai berikut: 1) Dalam perkawinan poligami terbentuk beberapa harta bersama sebanyak isteri yang dikawini oleh suami. 2) Untuk menentukan saat terbentuknya masing-masing harta bersama antara
suami
dengan
setiap
isteri,
terhitung sejak
tanggal
berlangsungnya pernikahan suami dengan masing-masing isteri. 3) Dalam perkawinan poligami masing-masing harta bersama antara suami dengan isteri-isterinya terpisah dan berdiri sendiri.15 Asas ini sesuai dengan penegasan Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:16 “Isteri yang kedua dan seterusnya mempunyai hak atas harta yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua dan berikutnya itu terjadi“. Uraian diatas adalah bagian kecil dari ruang lingkup harta bersama dengan batas-batasnya, baik pada perkawinan tunggal maupun pada perkawinan poligami yang penerapannya diupayakan di dalam praktek pada sengketa harta bersama yang ada dimasyarakat.
15
Drs. H. M. Anshary ibid hal 149 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 65 ayat 1 huruf b (Yogyakarta:new merah putih:2009) hal 35 16
2.5
Dasar Hukum Harta Bersama Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan KUHPerdata dan UU No. 1
tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam,. Jadi secara yuridis formal eksistensi harta bersama sebagai suatu fenomena hukum yang sudah melembaga dan, telah memperoleh pengakuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan hukum perkawinan.17 Harta bersama sebagai lembaga hukum yang terdapat dalam hukum positif diatur, yakni dalam KUHPerdata mulai pasal 119-138, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni dalam Pasal 35-37 dan dalam intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pada pasal 85- 97. Mengenai harta bersama bagi mereka yang beragama Islam, proses penyelsaiannya dilaksanakan di Pengadilan Agama setempat serta tunduk pada azasazas hukum Islam tanpa mengenyampingkan hukum adat-istiadat setempat dan hukum nasional. 2.6 Wujud Harta Bersama Selanjutnya mengenai wujud harta bersama dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Benda berwujud, meliputi: a. Benda yang tidak bergerak (benda tetap) b. Benda bergerak c. Surat-surat berharga18
17 18
J. Andy Hartanto. 2012. Hukum Harta Kekayaan. Surabaya: Laksbag Grafika, hal 59 M. Anshary.2010. hokum Perkawinan DiIndonsia. Yogyakarta. Halm. 137
2. Benda tidak terwujud, meliputi: a. Hak-hak b. Kewajiban-kewajiban19 Adapun benda tetap (tidak bergerak) misalnya tanah, rumah dan bangunan, sedangkan benda bergerak seperti mobil dan motor maupun prabot rumah tangga, sedangkan surat-surat berharga misalnya piutang, saham dan lain sebagainya.20 Sedangkan hak-hak dan kewajiban ada pula yang dapat digolongkan sebagai objek harta bersama, seperti hak diatas sesuatu usaha yang didirikan selama ikatan perkawinan berlangsung, demikian pula sebaiknya segala kewajiban dari usaha bersama tersebut menjadi kewajiban suami istri. Kaitannya dengan hal tersebut, maka apabila harta bersama dijadikan sebagai kredit maka menurut ketentuan dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan haruslah atas persetujuan kedua belah pihak (suamiisteri).21 Hal itu penting, karena terhadap harta benda yang dijadikan agunan dimaksud melekat dan kewajiban masing-masing pihak (suami-isteri). 2.7 Kewenangan Dan Kepemilikan
19
Ibid halm. 138 Ibid 21 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 36 ayat 1(Yogyakarta:new merah putih:2009) hal 25 20
Wewenang suami-istri atas harta bersama dalam perkawinan ditentukan oleh jenis harta dan kekayaan yang terdapat dalam sebuah rumah tangga. 22 Menurut ketentuan pasal 35 UU. Perkawinan dapat diketahui bahwa terdapat beberapa kelompok harta benda dalam suatu perkawinan, pertama harta bersama dan yang kedua harta pribadi. Yang dimaksud harta bersama menurut UU. No. 1 tahun 1974 adalah harta benda yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan berlansung. Artinya harta bersama tersebut diperoleh sejak peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik karena perceraian maupun karena kematian. Dengan melihat rentang waktu perolehan harta bersama tersebut, maka harta yang diperoleh suami-istri sebelum melangsungkan perkawinan dan dibawa masuk kedalam perkawinan tidak termasuk harta bersama, tapi merupakan harta pribadi suami-istri yang bersangkutan. Sedangkan harta pribadi adaalah harta yang sudah dimiliki oleh suami istri pada saat perkawinan dilangsungkan, atau harta yang diperoleh suami-istri sebelum melangsungkan perkawinan. Harta pribadi tersebut tidak masuk dalam golongan harta bersama kecuali suami-istri yang bersangkutan memperjanjikan lain.23 Seperti yang telah diuraikan diatas, harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Terhadap harta bersama pasal 36 ayat 1 Undang Undang no. 1 tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pada ketentuan selanjutnya yakni pada pasal 36 ayat 2 telah ditegaskan bahwa suami-istri berhak melakukan suatu perbuatan
22 23
J. Andy Hartanto.2010. Hukum Harta Kekayaan. Surabaya: Laksbag Grafika. Halm. 61 Ibid halm. 63
hukum. Dari kedua ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa suami dan istri, keduanya berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama. dalam pasal 36 ayat 2 UU. No1 tahun 1974 disebutkan bahwa tindakan hukum harus dilakukan dengan persetujuan, yang maknanya harus ditafsirkan secara praktis dengan berbagai pengertian. Artinya persetujuan yang dimaksud tidak harus diberikan untuk tiap-tiap tindakan atas harta bersama guna memenuhi kebutuhan hidup dan rumah tangga. Apabila kata “persetujuan” yang dimaksud dalam pasal 36 ayat 2 diartikan secara umum khusus maka justru akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan tindakan hukum. Misalnya untuk belanja kebutuhan sehari-hari akan sangat menyulitkan jika istri harus meminta persetujuan suami. Lain halnya untuk transaksi yang sifatnya penting, maka persetujuan atas tindakan suami/istri harus diberikan secara tegas.24 Lain halnya dengan seorang suami mempunyai isteri lebih dari seorang, misalnya dua, tiga ataupun empat. kewenangan harta bersama dapat dilakukan dengan cara pengusutan asal usul, waktu pengadaan dan sumber yang dipergunakan membeli barang yang dimaksud. Kepemilikan harta bersama bagi suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, adalah terpisah dan berdiri sendiri dihitung sejak saat berlangsungnya perkawinan yang kedua, ketiga dan keempat. Semua barang yang diperoleh dengan isteri pertama menjadi harta bersama terhadapnya, sedangkan untuk istri kedua, dan ketiga, serta keempat akan 24
Ibid halm. 64
memperoleh harta bersama terhitung dari akad pernikahannya. Penentuan suatu benda menjadi harta bersama bagi masing-masing isteri dapat di teliti dari waktu pengadaan ataupun pembelinya. Berkenaan dengan hal diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa segala tindakan yang berhungan dengan harta bersama harusah dilakukan dengan perstujuan dari suami maupun istri. harta bersama juga tidak hanya untuk istri pertama, akan tetapi dapat pula terjadi untuk isteri kedua, ketiga, dan keempat. Yang tentunya berdiri terpisah dari istri pertama sehingganya kepastian dan perlindungan hukum terhadap harta bersama menjadi jelas. 2.8 Penyelesaian Perselisihan Selama ikatan perkawinan masih berlangsung dengan baik dan dapat dipertahankan keutuhannya, maka selama itu pula tidak ada permasalahan berkenan dengan harta bersama. Pengaturan harta bersama dan dilaksanakan apabila perkawinan menjadi bubar, atau terjadi perceraian. Pada saat inilah sering timbul perselisihan diantara para pihak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 37 dengan tegas menyebutkan bahwa: “Bila Perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Lingkungan Hukum yang akan diberlakukan berkenaan dengan pengaturan harta bersama yakni Hukum Agama, Hukum Adat dan Hukum-hukum yang lainnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan resminya Pasal 35 dan 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Bagi suami-isteri yang beragama Islam dan bermaksud mengatur pembagian harta bersama, haruslah melalui Kantor Pengadilan Agama setempat yang tata cara dan prosedurnya telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang sekarang sudah diganti dengan Undang-Undang no 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama. Berkaitan dengan hal tersebut dalam al-qur’an Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 35. 25
Yang artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua Orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Disamping itu varia peradilan memberikan ulusan, bahwa terjadinya perselisihan mengenai harta bersama dapat dikarenakan oleh: 1. Kurang pengetahuan mengenai harta bersama 2. Tidak tahu membagi harta bersama 3. Sulit membagi harta bersama 4. Ada sifat serakah 25
Al-qu’ran dan terjemahan. CV. Kathoda. Jakarta: 2005
5. Tidak mau membagi harta bersama.26 Pengetahuan hukum bagi masyarakat memang masih digolongkan terlalu minim sehingga tidak dapat membedakan mana harta bersama dan yang mana harta bawaan. Disamping itu, ada pula pasangan yang tidak tahu tata cara dan prosedur membagi harta bersama, serta berapa bagian dari masing-masing pihak yang berhak atas harta bersama dimaksud. Kesulitan dalam hal membagi harta bersama masih menjadi fenomena hukum yang perlu dibantu oleh lembaga yang berwenangan. Akan tetapi ada pula pihak tertentu yang mempunyai sifat-sifat serakah, ingin mengusai keseluruhan harta bersama sebagai miliknya sendiri tanpa memperhatikan hak dan kewajiban pihak lain. Sehubungan dengan hal di atas, maka upaya dapat ditempuh berkenaan dengan pembagian harta bersama bagi pemutusan perkawinan karena perceraian dapat ditempuh dua cara, yaitu: 1. Mengajukan gugatan/permohonan cerai disertai dengan langsung meminta pembagian atas harta bersama. 2. Gugatan harta bersama secara mandiri. Pengajuan gugatan pembagian harta bersama secara sendiri, umumnya dilakukan jika salah satu pihak (suami isteri) meninggal dunia. Sedangkan pengajuan gugatan/permohonan cerai bersama pembagian harta warisan karena keutuhan perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
26
Ikahi, Varia Peradilan,Tahun ke-2 Nomor 18 Maret 1999, Tahun ke-3 Nomor 16 26 Nopember 1999 (Jakarta, 1999), halm. 56
Kedua cara tersebut, dapat ditempuh baik secara langsung dan pribadi maupun melalui bantuan orang lain, seperti penasehat hukum pengacara dan advokat. Namun tidak ada keharusan dalam menggunakan jasa-jasa praktisi hukum seperti yang dimaksud diatas. 2.9 Tinjauan tentang Perceraian Kata cerai dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai pisah, putus hubungan antar sumi istri.27 Perceraian juga merupakan berakhirnya suatu pernikahan, saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Perceraian juga merupakan terputusnya kehidupan rumah tangga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.28 Menurut H.A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.29 Dalam kasus perceraian kadang kala terjadi karena persoalan yang tidak diinginkan oleh pasangan suami istri dimana persoalan tersebut mungkin merupakan persoalan yang tidak dapat diatasi lagi oleh keduanya sehingga penyelesaiannyapun 27
Trisno Yuwono, Kamus Bahasa Indinesia, Arkola, Surabaya. Halm. 98 Prosedur gugatan cerai+pembagian harta gono-gini+hak asu anak, hal 12 29 Abdul Manan. 2001. Problematika Perceraian Karena Zina Dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, Dalam Jurnal Mimbar Hukum , Al-Hikmah dan DITBINBAPERA. Jakarta: halm. 7 28
harus ditempuh dengan cara perceraian. Antara lain terdapat berbagai persoalan yang mendasari pasangan suami-istri untuk bercerai, tentu saja alasan-alasan ini diajukan sebagai dasar pada saat istri mengajukan gugatan cerai atau suami mengajukan permohonan talaq di Pengadilan Agama. Berdasarkan pengertian perceraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak maka, dapat terjadinya perceraian, dimana harus disertai dengan alasanalasan tertentu dan dilakukan di depan sidang pengadilan. Seperti yang tercantum dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 1.10 Alasan perceraian Untuk dapat menyelesaikan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 39 ayat 2 bahwa: “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri “. Selanjutnya, dipertegas pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan alasan perceraian sebagai berikut: a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/ istri; f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dengan melihat ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian seperti yang diatur dalam pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada pasal 19 tersebut di atas, disamping itu adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Maka dengan demikian, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya walaupun melakukan perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun orang yang sudah terikat oleh perkawinan tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan atau melakukan perceraian tanpa didasari alasan yang kuat.