BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sistem Pendukung Keputusan
Sistem pendukung keputusan adalah sebuah sistem yang efektif dalam membantu mengambil suatu keputusan yang kompleks, sistem ini menggunakan aturan – aturan pengambilan keputusan,
model analisis,
database
yang komprehensif,
dan
pengetahuan dari pengambil keputusan itu sendiri (Janakiraman, V.S. & Sarukesi, K., 1999) Suatu pengambilan keputusan adalah proses pemecahan masalah dengan menentukan pilihan dari beberapa alternatif untuk menetapkan suatu tindakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan . Definisi ini mengandung substansi pokok di dalamnya, yaitu ada kebutuhan memcahkan masalah, ada proses, ada beberapa alternative yang dipilih, ada ketetapan hati memilih satu pilihan, dan ada tujuan pengambilan keputusan (Anzizhan, 2004). Dewasa ini, pengambilan keputusan dirasa menjadi lebih sulit, Masalah yang semakin kompleks, kebutuhan akan pengambilan keputusan yang tepat dan cepat terus meningkat, sehingga dibutuhkan suatu sistem pendukung keputusan untuk membantu si pembuat keputusan dalam mengambil sebuah keputusan (Power, 2002). 2.1.1. Syarat Sistem Pendukung Keputusan Menurut Bidgoli (1989), syarat dari sebuah sistem keputusan adalah : 1. Memerlukan perangkat keras; 2. Memerlukan perangkat lunak; 3. Memerlukan manusia (perancang dan pengguna); 4. Dirancang untuk mendukung sebuah pengambilan keputusan; 5. Harus dapat membantu pengambil keputusan pada setiap level keputusan; dan 6. Menekankan masalah tidak terstruktur dan semi terstruktur. 2.1.2. Arsitektur Sistem Pendukung Keputusan Arsitektur Sistem Pendukung Keputusan (SPK) terdiri dari beberapa subsistem yang menentukan kapabilitas teknis Sistem Pendukung Keputusan Tersebut (Suryadi dan Ramdhani, 2002), yaitu : 1. Subsistem Manajemen basis data Suatu sub-sistem yang memegan peranan untuk memanajemen data pada sistem . 2. Susbsistem Manajemen Model
Subsistem yang mengatur interasi antara data dan model keputusan yang ada pada sistem . 3. Subsistem Manajemen Dialog Subsistem ini mengatur integrasi hubungan antara sistem dan pengguna . Ketiga subsistem ini menjadi suatu Arsitektur SPK yang terdapat pada Gambar 2.1 sebagai berikut (Turban & Aronson, 2005) :
Gambar 2.1. Arsitektur Sistem Pendukung Keputusan Arsitektur Sistem Pendukung Keputusan (SPK) sendiri terdiri dari fungsifungsi yang diperlukan pada sebuah SPK yaitu Dialog, Manajemen Database, dan Pemodelan.
2.1.3. Karakteristik Sistem Pendukung Keputusan Menurut Marimin (2004), Sistem Pendukung Keputusan mempunyai empat karakteristik utama, yaitu : 1. SPK menggabungkan data dan model menjadi satu bagian 2. SPK dirancang untuk membantu para pengambil keputusan dalam proses pengambilan masalah yang bersifat semi structural 3. SPK lebih cenderung dipandang sebagai penunjang penilaian manajer dan sama sekali bukan untuk menggantikannya
4. Teknik SPK dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas dari pengambil keputusan .
2.1.4. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan Langkah – langkah yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan (Basyaib, 2006) adalah : 1. Intelijen a. Pembentukan persepsi terhadap situasi yang dihadapi Ialah mengenali situasi keputusan dan pendefenisian karakteristik utama yang ada pada situasi tersebut b. Membangun model yang mewakili situasi Sebuah model merupakan kendaraan yang membantu dalam mengestimasi hasil yang mungkin terjadi dari sebuah situasi keputusan c. Penentuan ukuran kuantitatif terhadap biaya (disbenefits) dan manfaat yang paling tepat untuk situasi yang dihadapi Sistem ukuran seragam yang akan digunakan dalam membandingkan alternatif langkah keputusan 2. Desain Penentuan dengan spesifik alternatif yang dimiliki dengan mengenali dan merumuskan dengan jelas langkah – langkah yang mungkin dilakukan. 3. Pilihan a. Evaluasi manfaat dan biaya (disbenefits) dari semua langkah alternatif. Ialah penilaian akibat penerapan setiap langkah alternatif dengan menggunakan ukuran biaya dan manfaat. b. Menetapkan kriteria dalam memilih langkah terbaik Adalah penetapan peraturan dengan mengaitkan hasil dengan tujuan pembuatan keputusan. c. Penyelesaian situasi keputusan Ialah mengambil sebuah langkah dengan dasar kriteria yang dapat diterima. 2.2.
Analytical Hierarchy Process (AHP)
AHP dikembangkan oleh Thomas Saaty sekitar tahun 1970an. AHP merupakan sistem pembuat keputusan dengan menggunakan model matematis. AHP membantu dalam menentukan prioritas dari beberapa kriteria dengan melakukan analisis perbandigan berpasangan dari masing-masing kriteria (Triantaphyllou, 2000). AHP merupakan suatu pendekatan praktis unutk memecahkan masalah keputusan kompleks yang meliputi perbandingan alternative.AHP juga memungkinkan pengambilan keputusan dengan menyajikan hubungan hierarki antara aktor, atribut, karakteristik dan alternatif dalam lingkungan pengambilan keputusan. Dengan begitu masalah kompleks yang tidak terstruktur dipecahkan dalam kelompoknya (Marimin, 2004).
2.2.1. Prinsip AHP Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan suatu variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lainnya, seperti pada Gambar 2.2 berikut (Kusumadewi dkk, 2005).
Gambar 2.2 Struktur Hirarki AHP Adapun langkah-langkah dari metode AHP adalah sebagai berikut (Suryadi dan Ramdhani, 2002) : 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan 2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontibusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan . 5. Menghitung nilai Eigen dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten makan pengambilan data diulangi. 6. Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuuk seluruh tingkat hierarki. 7. Menghitung vektor Eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan, yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen elemen pada tingkat hierarki terendah sampai mencapai tujuan. 8. Memeriksa konsistensi hierarki, yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat indeks konsistensi. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen-elemen dan kriteria-kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif, kita harus melakukan perbandingan berpasangan yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hierarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk mengkuantifikasi pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Untuk berbagai permasalahan, skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty pada Tabel 2.1 berikut (Saaty, 1993):
Tabel 2.1. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Saaty: Intensitas
Keterangan
Kepentingan 1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya
9
Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertibangan pertimbangan yang berdekatan
Nilai-nilai perbandingan kriteria kemudian diolah untuk menentukan peringkat kriteria dari seluruh kriteria yang ada. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Adapun kelebihan AHP dibandingkan dengan metode lainnya adalah (Marimin, 2004): 1. Struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam. 2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambil keputusan.
2.2.2 Perhitungan Metode AHP Pada dasarnya formulasi matematis pada model AHP dilakukan dengan menggunakan suatu matriks, misalkan dalam suatu subsistem operasi terdapat n elemen operasi, yaitu elemen-elemen
,
, …,
, maka hasil perbandingan secara berpasangan
elemen-elemen operasi tersebut akan membentuk matriks perbandingan seperti pada Tabel 2.2. Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hierarki paling tinggi, dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Tabel 2.2 Matriks Perbandingan Berpasangan …
… … …
…
…
…
…
…
Setelah matriks diisi dengan nilai perbandingan selanjutnya dilakukan suatu pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap kriteria, berikut merupakan langkah-langkah dalam mencari bobot elemen dengan metode AHP : 1. Normalisasi matriks Proses pembobotan dilakukan berdasarkan matriks perbandingan berpasangan yang merupakan perbandingan kriteria i terhadap kriteria j, berikut merupakan proses normalisasi matriks perbandingan berpasangan: a) Bobot setiap kolom j dijumlahkan menjadi total kolom, total dari setiap kolom itu dilambangkan dengan
. ……………….(1)
Dimana : Nilai total penjumlahan bobot per kolom Nilai bobot sub faktor baris ke i kolom ke j
b) Bagi setiap kriteria dalam matriks dengan jumlah nilai total di kolom kriteria tersebut. Hasil dari pembagian tersebut dilambangkan dengan
………………..(2) Dimana :
.
Hasil pembagian bobot baris ke-i kolom ke-j dengan jumlah tiap kolom ke-j Nilai total penjumlahan bobot per kolom Nilai bobot sub faktor baris ke i kolom ke j
2. Perhitungan Nilai Eigen Nilai Eigen adalah nilai yang menunjukkan bobot kepentingan suatu kriteria atau alternatif terhadap kriteria atau alternatif lainnya dalam suatu struktur hirarki. Menentukan prioritas relative dari setiap faktor dengan merata-ratakan bobot yang sudah dinormalisasikan dari setiap baris, dengan lambing
.
……………….(3) Dimana : Nilai total penjumlahan bobot per kolom Hasil pembagian bobot baris ke-i kolom ke- j dengan jumlah tiap kolom ke-j Jumlah Sub factor 3. Perhitungan rasio konsistensi Rasio konsistensi (CR) adalah perbandingan Indeks Konsistensi (CI) dengan nilai acak Saaty (RI), nilai CR dihitung untuk mengukur tingkat kekonsistenan dari sebuah matrik perbandingan berpasangan. Perhitungan rasio konsistensi dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut (Suryadi dan Ramdhani, 2002): a) mengalikan matriks dengan prioritas bersesuaian b) menjumlahkan hasil perkalian per baris c) hasil langkah b dibagi jumlah elemen, akan di dapat d) menghitung indeks konsistensi (CI) dengan rumus : ……………….(4) Dimana : CI
: Indeks Konsistensi : Nilai Eigen Maksimum
n
: Jumlah Kriteria/Alternatif
e) maka rasio konsistensi (CR) dapat dihitung dengan rumus : ……………….(5) Dimana : CR : Rasio Konsistensi CI : Indeks Konsistensi RI : Indeks Acak Saaty Nilai RI didasarkan pada nilai indeks acak Saaty pada Tabel 2.3, dan matriks perbandingan berpasangan dapat diterima jika nilai rasio konsistensi (CR)
:
Tabel 2.3 Skala Indeks Acak(RI) Saaty Jumlah Elemen RI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.00
0.00
0.58
0.90
1.12
1.24
1.32
1.41
1.45
1.49
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut. Johnny ingin membeli sebuah Sepeda MTB, dan ia telah mempunyai 3 pilihan sepeda yang akan ia pilih yaitu, MTB A, MTB B, MTB C, dan ia juga telah mengidentifikasikan 3 kriteria utama sebagai perbandingan pemilihan sepeda tersebut yaitu, Harga, Model dan Merek. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuat matriks perbandingan berpasangan terhadap masing-masing kriteria tersebut berdasarkan indeks skala perbandingan berpasangan Saaty, yaitu berikut pada Tabel 2.4 :
Tabel 2.4. Perbandingan Berpasangan Kriteria KRITERIA
HARGA
MODEL
MEREK
HARGA
1
5
4
MODEL
1/5
1
½
MEREK
1/4
2
1
29/20
8
11/2
Setelah membuat perbandingan berpasangan dari krteria maka Johnny melakukan normalisasi terhadap matriks perbandingan berpasangan yang ada pada Tabel 2.5 sebagai berikut: Tabel 2.5. Normalisasi Matriks KRITERIA
HARGA
MODEL
MEREK
HARGA
20/29
5/8
8/11
MODEL
4/29
1/8
1/11
MEREK
5/29
2/8
2/11
Selanjutnya
dengan persamaan rumus
(2) tiap-tiap
elemen
matriks
perbandingan berpasangan dibagi dengan total nilai masing-masing kolom yang dihasilkan pada rumus(1) kemudian dijumlahkan dan dirata-ratakan dengan menggunakan rumus(3) yang dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut. Tabel 2.6. Nilai Eigen Vector (Bobot) KRITERIA
HARGA
MODEL
MEREK
Bobot
HARGA
0.6896
0.5556
0.7272
0.6574
MODEL
0.1379
0.1111
0.0909
0.1133
MEREK
0.1724
0.2500
0.1818
0.2014
1.4500
8.0000
5.5000
1.000
Selanjutnya menghitung rasio konsistensi daripada bobot( (5), (6) dan (7) :
maka kemudian hitung CI dengan rumus (6),
maka rasio konsistensi (CR) dapat dihitung dengan rumus(7) :
dengan rumus
Nilai CR < 0.1, maka matrik perbandingan untuk kriteria dapat diterima. Selanjutnya berdasarkan kriteria-kriteria tadi, maka akan ditentukan mana alternatif terbaik dari sepeda-sepeda tersebut, berdasarkan kriteria harga, johnny membuat
perbandingan harga sepeda tersebut
berdasarkan skala
penilaian
perbandingan Saaty, yaitu sebagai berikut: Tabel 2.7. Perbandingan Berpasangan Alternatif Kriteria Harga HARGA
MTB A
MTB B
MTB C
MTB A
1
1/2
1
MTB B
2
1
2
MTB C
1
1/2
1
4
2
4
Setelah membuat perbandingan berpasangan, selanjutnya matriks pada Tabel 2.7 dinormalisasi seperti pada Tabel 2.8 berikut : Tabel 2.8. Normalisasi matriks perbandingan berpasangan HARGA
MTB A
MTB B
MTB C
MTB A
¼
¼
1/4
MTB B
2/4
½
2/4
MTB C
¼
¼
1/4
Selanjutnya
dengan persamaan rumus (2) tiap-tiap elemen matriks
perbandingan berpasangan dibagi dengan total nilai masing-masing kolom yang dihasilkan pada rumus(1) kemudian dijumlahkan dan dirata-ratakan dengan menggunakan rumus(3) untuk mendapatkan nilai bobotnya(nilai eigen( pada Tabel 2.9 berikut:
), seperti
Tabel 2.9. Nilai Eigen Vector (Bobot) alternatif dengan kriteria harga HARGA
MTB A
MTB B
MTB C
Bobot
MTB A
0.25
0.25
0.25
0.25
MTB B
0.50
0.50
0.50
0.50
MTB C
0.25
0.25
0.25
0.25
4
2
4
1.00
Selanjutnya menghitung rasio konsistensi daripada bobot(
dengan rumus (5)
, (6) dan (7) :
maka kemudian hitung CI dengan rumus (6),
maka rasio konsistensi (CR) dapat dihitung dengan rumus(7) :
Jika nilai rasio konsistensi (CR) = 0 , maka bobot tersebut sangatlah konsisten . Selanjutnya dilakukan perbandingan berpasangan lagi untuk kriteria model, maka berdasarkan kriteria model perbandingan untuk alternatif seperti pada Tabel 2.10 berikut:
Tabel 2.10. Matriks perbandingan berpasangan alternatif kriteria model MODEL
MTB A
MTB B
MTB C
MTB A
1
1
1/2
MTB B
1
1
1/3
MTB C
2
3
1
4
5
11/6
Setelah membuat perbandingan berpasangan, selanjutnya matriks pada tabel 2.10 dinormalisasi seperti pada Tabel 2.11 berikut : Tabel 2.11. Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan MODEL
MTB A
MTB B
MTB C
MTB A
1/4
1/5
3/11
MTB B
1/4
1/5
2/11
MTB C
2/4
3/5
6/11
Selanjutnya
dengan persamaan rumus
(2) tiap-tiap
elemen
matriks
perbandingan berpasangan dibagi dengan total nilai masing-masing kolom yang dihasilkan pada rumus (1) kemudian dijumlahkan dan dirata-ratakan dengan menggunakan rumus (3) seperti pada Tabel 2.12 berikut : Tabel 2.12. Nilai Eigen Vector (Bobot) alternatif dengan Kriteria Model Model
MTB A
MTB B
MTB C
Bobot
MTB A
0.25
0.20
0.27
0.24
MTB B
0.25
0.20
0.18
0.21
MTB C
0.50
0.60
0.54
0.55
4
5
1.83
1.00
Selanjutnya menghitung rasio konsistensi daripada bobot(
dengan rumus (5)
, (6) dan (7) :
maka kemudian hitung CI dengan rumus (6),
maka rasio konsistensi (CR) dapat dihitung dengan rumus(7) :
Selanjutnya dilakukan perbandingan berpasangan lagi untuk kriteria merek, maka berdasarkan kriteria merek perbandingan untuk alternatif adalah seperti pada Tabel 2.13 berikut: Tabel 2.13. Berpasangan Kriteria Merek Perbandingan
MEREK
MTB A
MTB B
MTB C
MTB A
1
2
2
MTB B
½
1
1
MTB C
½
1
1
2
4
4
Setelah membuat perbandingan berpasangan, selanjutnya matriks pada tabel 2.13 dinormalisasi seperti pada Tabel 2.14 berikut : Tabel 2.14. Normalisasi Matriks Perbandingan Berpasangan MEREK
MTB A
MTB B
MTB C
MTB A
½
1/2
½
MTB B
¼
1/4
¼
MTB C
¼
1/4
¼
Selanjutnya
dengan persamaan rumus (2) tiap-tiap elemen matriks
perbandingan berpasangan dibagi dengan total nilai masing-masing kolom yang dihasilkan pada rumus(1) kemudian dijumlahkan dan dirata-ratakan dengan menggunakan rumus(3) seperti terdapat pada Tabel 2.15 berikut : Tabel 2.15. Perhitungan Perbandingan Berpasangan dengan Kriteria Merek MEREK
MTB A
MTB B
MTB C
MTB A
0.50
0.50
0.50
0.50
MTB B
0.25
0.25
0.25
0.25
MTB C
0.25
0.25
0.25
0.25
2
4
4
1.00
Selanjutnya menghitung rasio konsistensi daripada bobot( , (6) dan (7) :
Maka kemudian hitung CI dengan rumus (6),
Maka rasio konsistensi (CR) dapat dihitung dengan rumus(7) :
dengan rumus (5)
=0 Kemudian satukan semua bobot untuk masing-masing kriteria terhadap alternative dalam satu tabel sehingga dapat diperoleh bobot akhir dari alternatif tersebut, seperti pada Tabel 2.16 berikut. Tabel 2.16. Nilai Akhir dari Masing-masing Alternatif BOBOT KRITERIA
MTB A
MTB B
HARGA
0.66
0.25
0.24
MODEL
0.11
0.50
0.21
MEREK
0.20
0.25
0.55
0.27
0.29
Final Score
MTB C 0.50 0.25 0.25
0.42
Maka berdasarkan Tabel 2.16 dapat disimpulkan bahwa Sepeda MTB C menempati posisi teratas dengan bobot 0.42, kemudian MTB B dengan bobot 0.29 dan terakhir MTB A dengan bobot 0.27. 2.3. Weighted Sum Model (WSM) Weighted sum model adalah salah satu model yang paling umum dan banyak digunakan untuk memodelkan permasalahan MADM. WSM mengurutkan semua kandidat berdasarkan atribut yang telah ternormalisasi (Triantaphyllou, 2000). Normalisasi atribut dilakukan guna menjamin perbandingan antar atribut yang akan digunakan. Jika tidak demikian, maka atribut - atribut yang memiliki nilai yang tinggi akan membuat ketidakseimbangan pada nilai keseluruhan yang akan diperoleh. Bentuk umum dari nilai alternatif pada Weighted Sum Model untuk permasalahan satu dimensi dapat dinyatakan sebagai berikut :
Dimana : w = nilai bobot krieria u = nilai bobot alternatif
n = jumlah data p = nilai akhir alternatif
Langkah langkah untuk memperoleh nilai WSM dari alternatif yang ada adalah : 1. Masukkan data seluruh alternatif 2. Masukkan nilai bobot dari setiap kriteria 3. Hitung dengan rumus (5). 4. Nilai WSM dari setiap alternatif akan diketahui. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut. Terdapat sebuah permasalahan dalam memilih alternatif yang terbaik antara A1, A2, dan A3. Sedangkan kriteria yang menentukan proses pemilihan adalah C1, C2, C3 dan C4. Nilai bobot kriteria dan nilai kriteria dari masing-masing alternatif disajikan dalam Tabel 2.17 berikut. Tabel 2.17.Tabel Contoh Nilai WSM C1
C2
C3
C4
Alternatif
0.1
0.3
0.4
0.2
A1
20
15
10
10
A2
15
20
10
15
A3
10
20
15
20
Berdasarkan tabel tersebut dapat kita ketahui nilai bobot yang diberikan pada kriteria C1 adalah 0.1 atau 10 %, nilai bobot pada kriteria C2 adalah 0.3 atau 30 %, nilai bobot pada kriteria C3 adalah 0.4 atau 40 % dan nilai bobot pada kriteria C4 adalah 0.2 atau setara dengan 20 %.Selanjutnya untuk menghitung nilai WSM dari setiap alternatif digunakan rumus (5) sehingga: Untuk alternatif A1, maka nilai WSM yang diperoleh adalah :
Untuk alternatif A2, maka nilai WSM yang diperoleh adalah :
Untuk alternatif A3, maka nilai WSM yang diperoleh adalah :
Berdasarkan perhitungan diatas, maka alternatif A3 lah
yang paling baik,
dikarenakan nilai WSM dari alternatif A3 merupakan nilai yang tertinggi dari semua alternatif yang ada.
2.4.Pengujian Akurasi Pengujian dilakukan dengan membandingkan hasil rekomendasi dari Sistem dengan hasil pilihan dari pengguna (Decision Maker). Nilai akurasi dihitung dengan menggunakan rumus akurasi (Powers,2011), yaitu : Akurasi = ( TN + TP) / N Dimana : N = TN + FP + FN + TP Keterangan: True Negative (TN)
: jumlah prediksi negatif yang benar
False Positive (FP)
: jumlah prediksi positif yang benar
False Negative (FN)
: jumlah prediksi negatif yang salah
True Positive
: jumlah prediksi positif yang salah
(TP)
2.5.Penelitian yang Relevan Adapun penelitian-penelitian yang relevan terhadap penelitian ini adalah: 1. Johanes Sinaga (2010), membuat penelitian yang berjudul Penerapan Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam Pemilihan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sebagai Tempat Kerja Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU). Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebuah sistem pendukung keputusan untuk menentukan prioritas perusahaan BUMN yang diminati mahasiswa USU sebagai tempat bekerja. 2. Sunarto (2011), membuat penelitian yang berjudul Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Handphone Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) berbasis PHP. Hasil penelitian yang diperoleh adalah aplikasi pemilihan handphone dengan menggunakan PHP berbasis web untuk mengatasi permasalahan dalam memilih sebuah handphone.
3. S Sutikno (2010), membuat penelitian yang berjudul Sistem Pendukung Keputusan Metode AHP Untuk Pemilihan Siswa Dalam Mengikuti Olimpiade Sains di Sekolah Menengah Atas. Hasil penelitian yang diperoleh adalah aplikasi sistem pendukung keputusan untuk pemilihan siswa dalam mengikuti olimpiade sains. 4. Dita Monita (2013), membuat penelitian yang berjudul Sistem Pendukung Keputusan Penerima Langsung Tunai dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process. Hasil Penelitian yang diperoleh adalah aplikasi sistem pendukung keputusan untuk pemilihann penerima langsung tunai. 5. Dalu Nuzul Kirom (2012), membuat penelitian yang berjudul Sistem Informasi Manajemen
Beasiswa
ITS
Berbasis
Sistem
Pendukung
Keputusan
Menggunakan Analytical Hierarchy Process. Hasil penelitian yang diperoleh adalah aplikasi sistem informasi berbasis sistem pendukung keputusan manajemen beasiswa ITS. 6. M Fajrul Falah (2014), membuat penelitian Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Siswa Berprestasi dengan Metode Simple Additive Weighting dan Weighted Sum Model (Studi Kasus : MIN Tanjung Sari Medan Selayang). Hasil penelitian yang diperoleh adalah aplikasi sistem pendukung keputusan pemilihan siswa berprestasi dengan menggunakan metode Simple Additive Weighting dan Weighted Sum Model. 7. Karina Auliasari (2012), membuat penelitian yang berjudul Pemfilteran dan Perangkingan Informasi Menggunakan Pendekatan Multi Criteria Decision Making Untuk Sistem Rekomendasi Objek Wisata. Hasil penelitian yang diperoleh adalah aplikasi sistem rekomendasi objek wisata.