KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK BIOLOGI MOLEKULER H. Sofjan Sudardjad D. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Jl.Harsono RM. No. 3 Gedung C Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12550
PENDAHULUAN Salah satu misi penting Pembangunan Peternakan adalah penyediaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu Pembangunan Peternakan merupakan bagian dari upaya perwujudan Ketahanan Pangan Nasional. Di dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1996, Ketahanan Pangan didefinisikan selain sebagai kondisi terpenuhinya pangan (pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya), tetapi juga harus aman, murah dan terjangkau. Pangan produk hewani rekayasa genetik selama ini telah banyak kita manfaatkan sejauh produk rekayasa genetik tersebut telah terbukti aman untuk manusia dan lingkungan. Rekayasa genetik pangan produk hewani dapat berupa daging, telur dan susu serta produk-produk ikutannya. Rekayasa genetik pada dasarnya adalah bagian dari bioteknologi atau teknologi maju yang dijadikan wahana peningkatan kualitas SDM suatu bangsa yang akan menentukan masa depan bangsa dan negeri itu. Dengan bioteknologi modern, kita dapat mentransformasikan informasi genetik dari satu jenis makhluk hidup lainnya yang fungsinya agar bisa meningkatkan kualitas hidup umat manusia. Rekayasa genetik pangan produk hewani paling tidak akan memiliki 2 dampak penting, pertama, meningkatnya efisiensi dan produksi untuk pemenuhan konsumsi manusia, dan kedua adalah penyediaan pangan hewani akan bermanfaat untuk faktor kualitas SDM, karena pada dasarnya pangan hewani mengandung asam amino essensial yang sifatnya “irreversible”. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002 konsumsi daging penduduk Indonesia adalah 5,25 kg/kap/tahun, telur 5,55 kg/kap/ tahun dan susu 1,28 kg/kap/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi protein hewani asal ternak di Indonesia terendah di Asia, dan baru sekitar 4,61 gram/kap/hari atau sekitar 77 persen dari yang dianjurkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (LIPI) sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yaitu ratarata sebesar 6 gram/kap/hari. Dengan demikian peluang peningkatan pangan produksi hewani tersebut masih cukup besar. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan tidak harus mengorbankan pendapatan petani, karena pada dasarnya Kebijakan Pembangunan Peternakan Ditinjau dari Aspek Biologi Molekuler H. Sofjan Sudardjad D.
187
peningkatan produksi sebagai bagian dari sistem agribisnis berbasis peternakan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Sehingga rekayasa genetik pangan produk hewani dipetik manfaat yang sebesar-besarnya oleh para peternak, bukan semata-mata oleh swasta besar atau hanya untuk kepentingan konsumen. PERKEMBANGAN BIOLOGI MOLEKULER (BIOTEKNOLOGI) Pada dasarnya secara selektif bioteknologi terdiri dari bioteknologi konvensional dan bioteknologi mutakhir. Bioteknologi konvensional merupakan proses rekayasa teknologi yang masih terbatas pada mikroba sel yang menyentuh bagian luarnya saja, seperti proses fermentasi dan produksi vaksin. Sedangkan bioteknologi mutakhir, proses rekayasanya telah menyentuh struktur sel bagian dalam (merupakan rekayasa genetik), seperti manipulasi struktur sel, antibodi monoklonal dan kultur sel, atau kultur jaringan. Beberapa pengertian tentang bioteknologi peternakan sudah dirumuskan, antara lain didefinisikan bahwa bioteknologi peternakan adalah pemanfaatan proses biologis melalui rekayasa genetik dan rekayasa proses untuk menghasilkan ternak dan produk peternakan yang berkualitas. Sedang menurut Soehadji (1995), bioteknologi adalah suatu penerapan biosains dan teknologi, yang menyangkut aplikasi organisme hidup atau komponen subselulernya untuk menghasilkan produk dan jasa serta pengelolaan lingkungan. Bioteknologi di dunia pada saat ini perkembangannya sangat pesat. Bioteknologi telah diaplikasikan di berbagai bidang antara lain : bidang kedokteran, pertanian, peternakan dan bidang-bidang lainnya, bahkan pada bidang pertahanan keamanan (persenjataan). Di Indonesia dan negara yang sedang berkembang lainnya, aplikasi bioteknologi masih terbatas dan masih harus digali dan dikembangkan terutama bioteknologi generasi baru yang didasarkan pada prinsip-prinsip bioteknologi molekuler dan rekayasa genetik. Agar tidak terlalu jauh ketinggalan dengan negara lain mengenai pengembangan dan aplikasi bioteknologi ini, maka di bidang peternakan sedang dilakukan pengendalian dan rintisan aplikasi yang perlu mendapat dukungan penelitian. Aplikasi bioteknologi di bidang peternakan yang sedang digarap meliputi tiga bidang utama, yaitu: 1. Bioteknologi reproduksi yang terdiri dari inseminasi buatan, embryo transfer, dan rekayasa genetik yang meliputi 19 jenis hewan/ternak yang perlu dikembangkan. 2. Bioteknologi pakan ternak yang terdiri dari bioteknologi pakan hijauan dan konsentrat. 3. Bioteknologi/biologi molekuler di bidang kesehatan hewan dan produksi ternak yaitu bahan vaksin dan bahan obat (antibiotik, probiotik, immunoregulator hormon dan lainnya). Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 187-191
188
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN BIOLOGI MOLEKULER Bioteknologi Reproduksi Dalam hal bioteknologi reproduksi akan dikembangkan inseminasi buatan (IB), Embrio Transfer (ET) dan bibit ternak. Untuk IB akan lebih dikembangkan ke arah sexing sperma untuk memenuhi permintaan lahirnya jenis kelamin tertentu, misalnya untuk sapi perah jenis kelamin betina lebih diminati daripada anak jantan, dan untuk sapi potong kelahiran anak jantan lebih diharapkan. Selain itu IB akan dikembangkan kemungkinannya pada ternak-ternak lainnya selain sapi. Seiring dengan itu akan dimanfaatkan monoclonal antibody untuk teknik diagnosa dini kebuntingan. Untuk ET yang merupakan generasi II bioteknologi reproduksi diarahkan pada pengembangan generasi berikutnya yang meliputi embryo splitting dan cloning, embryo sexing dan transgenic. Untuk itu perlu dikembangkan teknik-teknik superovulasi, sinkronisasi birahi, koleksi ova dari Rumah Potong Hewan, invitrofertilizzation dan lain sebagainya. Untuk bibit ternak (breeding) akan dikombinasikan metoda dan program konvensional dengan bioteknologi genetika molekuler, seperti teknik DNA rekombinan, sehingga perbaikan mutu genetik dapat dipercepat. Generasi selanjutnya dari teknologi ini adalah pemindahan gene (gene transfer). Bioteknologi Pakan Ternak Bioteknologi pakan ternak mencakup hijauan makanan ternak (HMT) dan pakan konsentrat. Untuk HMT sasarannya adalah pemanfaatan limbah pertanian, antara lain manipulasi mikroba rumen dengan memanfaatkan gene selulosa dalam mikroba untuk menghasilkan enzim selulase, pemecah selulosa menjadi gula dan lignin. Dengan demikian kualitas pakan akan lebih meningkat kadar proteinnya dan menurunkan serat kasar. Sedangkan pakan konsentrat diantaranya adalah penggunaan Bovine Somato Tropin (BST) sebagai pemacu tumbuh (growth promotor) dan pemakaian zat bela agonis buatan. Walaupun demikian perlu dipikirkan pelarangan akibat dampak penggunaan BST dan bela agonis. Bioteknologi Molekuler di Bidang Kesehatan Hewan Pada ruang lingkup ini adalah bahan vaksin, bahan diagnostik dan obatobatan. Bahan vaksin pemikirannya akan diarahkan pembuatannya tidak dari agen penyakit, tetapi dengan bioteknologi molekuler melalui berbagai metoda dan teknik, yaitu rekombinan DNA, antibody monoclonal dan peptida sintetik. Untuk bahan diagnostik akan dikembangkan suatu upaya diagnosa penyakit infeksi dengan antibody monoclonal dan hibridisasi asam inti. Demikian juga untuk diagnosa kebuntingan. Untuk bahan obat-obatan terkait dengan bioteknologi sistem kekebalan melalui immunomodulator dengan teknik cloning rekombinan
Kebijakan Pembangunan Peternakan Ditinjau dari Aspek Biologi Molekuler H. Sofjan Sudardjad D.
189
DNA. Hormon reproduksi dan pertumbuhan dengan antara lain teknologi syntesa peptida, dan teknologi murine hybridoma monoclonal antibodies. BIOSAFETY Produk-produk biologik ini beragam bentuk dan asalnya, seperti berupa molekul-molekul makhluk hidup, antibodies yang berasal dari mencit, dan ada yang dalam bentuk polypeptida dengan berat molekul kecil (seperti glucagons dengan 29 asam amino) atau bermolekul besar (erythropoeitin dengan asam amino lebih dari 500 buah) dihasilkan dengan teknologi rekombinan DNA yang mengandalkan peran Echerichia coli, Sacharomyces cervicae, menggunakan biakan sel dan cairan asites dari mencit. Oleh karena itu, produk-produk bioteknologi baru tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan efek-efek sampingan yang merugikan. Untuk menjamin keselamatan penggunaan maka produk-produk bioteknologi baru harus dievaluasi dengan seksama. Pengawasan kualitas (quality control) biasanya dilakukan terhadap kemungkinan terbentuknya antigen baru (neoantigen), kontaminasi dengan mikroorganisme, fragmen-fragmen DNA, pyrogen dan sel-sel yang bersifat oncogenik (karena penggunaan sel-sel mamalia untuk produksi memerlukan sel-sel tumor dan vektor virus). Bahaya yang mungkin timbul tidak saja terdapat pada produk yang dihasilkan, tetapi juga harus diperhatikan bahaya yang ditimbulkan oleh organisme yang digunakan dan dari organisme setelah dilakukan manipulasi genetik sebelum dilakukan pemeriksaan produknya sendiri. Pemantauan atau pengecekan terhadap bahaya yang mungkin timbul dari organisme dan prosesnya biasa disebut “penentuan bahaya” yang dikandung (hazard assessment) sedangkan pengecekan produknya sendiri biasa disebut “penentuan keamanan produk” (safety assessment). BIOETIKA Dalam bioteknologi, isu mengenai bioetika memerlukan perhatian penting, karena dapat menjadi isu politis. Hal ini dimungkinkan karena rekayasa DNA dapat saja memberikan alternatif yang tak terbatas terhadap kemungkinan dibuatnya makhluk hidup dengan karakter baru. Dengan demikain kemungkinan timbulnya individu-individu baru dan dampaknya memerlukan pertimbanganpertimbangan etika dalam suatu rumusan bioetika yang disepakati bersama. Namun karena keterbatasan kita dalam pemecahan masalah dan dampak dari bioteknologi tersebut, diperlukan kompromi-kompromi. Dengan demikian aplikasi bioetika di masyarakat mau tidak mau harus mempertimbangkan keuntungan yang mungkin diperoleh untuk kesejahteraan umat. Dan akhirnya kita menerima produk bioteknologi tersebut. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 3, September 2003 : 187-191
190
Namun demikian di tingkat nasional hendaknya ada Komisi Bioetika yang dapat memberikan fatwa yang obyektif tentang manfaat atau dampak pemanfaatan bioteknologi tersebut untuk kesejahteraan manusia. Komisi Etika Nasional ini mempunyai networking yang harus kredibel dengan pakar, Lembaga Penelitian dan Masyarakat.
Kebijakan Pembangunan Peternakan Ditinjau dari Aspek Biologi Molekuler H. Sofjan Sudardjad D.
191