DEPARTEMEN KAJIAN Dan AKSI STRATEGIS
BBM
Kenaikan
Harga
Ditinjau dari Aspek Kewenangan Pengambilan Kebijakan
buka dari sini
P
embahasan wacana kenaikan harga BBM kembali menguak dan menjadi sorotan utama berbagai pihak.Bahkan, tak jarang muncul perdebatan sengit antara kubu pro dan kontra terhadap topik bahasan ini. Kenaikan harga BBM, sebuah isu yang dalam waktu dekat tak akan menjadi isu lagi. Semenjak tahun 2012, pemerintah telah mengambil ancang-ancang untuk mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM sebagai respon terhadap naiknya harga minyak dunia.Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak seimbangnya besaran subsidi dengan tingkat konsumsi masyarakat yang kian melonjak dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, dalam agenda pembahasan APBN-Perubahan Tahun 2012, DPR menyelipkan klausula pada pasal 7 ayat 6a yang mengatakan bahwa: “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.” Pasal tersebut secara eksplisit menyatakan adanya kewenangan dalam tubuh pemerintah untuk menentukan kenaikan harga BBM secara kondisional, yaitu apabila terjadi fluktuasi perubahan harga minyak mentah Indonesia. Dalam konteks ini, kewenangan yang dimiliki pemerintah sebagaimana dinyatakan di atas adalah jenis kewenangan atribusi, yaitu kewenangan yang dimiliki berdasarkan perintah Undang-Undang. Kewenangan ini memberikan kebebasan bagi penerimanya untuk menyeleng-
1
garakan tugas yang dilimpahkan kepadanya.Kebebasan ini kerap dikenal dengan istilah asas diskresi atau freies ermessen, yang penggunaannya bertujuan untuk mengisi kekurangan atau melengkapi asas legalitas karena asas ini memberikan keleluasaan bertindak kepada pemerintah untuk melaksanakan tugasnya tanpa terikat kepada undang-undang.
Tanpa terikat dengan undangundang di dalam hal ini memiliki makna bahwa pemerintah diperbolehkan mengambil tindakan yang belum diatur dalam undangundang, bahkan dalam keadaan darurat, pemerintah diperbolehkan untuk menyimpangi ketentuan dalam undang-undang, selama hal ini ditujukan semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep Negara kesejahteraan yang dianut di Indonesia, dimana pemerintah pemegang kekuasaan eksekutif diberi kebebasan untuk mengambil keputusan karena mereka lah pelayan public yang berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Kondisi ini men-
jadikan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui keadaan di lapangan.
Jika dikembalikan lagi kepada penentuan kenaikan harga BBM, maka isu ini merupakan isu nasional yang sangat sensitif dan rentan mengguncang kehidupan ekonomi, sosial, dan politik negara. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu legitimasi yang kuat untuk menentukan kebijakan yang akan sangat berpengaruh bagi kehidupan warga masyarakat itu sendiri. Hal ini bersesuaian dengan konsep demokrasi Pancasila yang diterapkan di Indonesia, dimana masyarakat adalah penentu utama jalannya pemerintahan dalam kerangka Pancasila yang mengutamakan nilai-nilai dalam kelima silanya. Pentingnya suara rakyat terwujud dari pameo vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara
Tuhan, dan suara rakyat lah yang di nomorsatukan. Fungsi rakyat yang demikian diwujudkan dalam bentuk kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berkedudukan sebagai representasi rakyat.Suara DPR harus dapat menggambarkan kehendak umum masyarakat atau volonte generale. Dengan teori tersebut, maka dapat diproyeksikan bahwa penentuan kebijakan, idealnya, tetap harus mengikutsertakan DPR dalam proses pembahasannya, karena keadaan akan berubah dan mungkin perkembangan di tengah masyarakat, paradigma atas kebutuhan masyarakat, serta faktor-faktor sosial-politis lainnya juga akan berubah. Presiden tidak dapat berperan secara tunggal dalam hal ini.
Dilihat dari teori perundang-undangan, maka pelimpahan wewenang dengan carayang demikian adalah sah-sah saja. Namun,hal yang menjadi pertanyaan, apakah materi muatan pelimpahan wewenang menentukan kenaikan harga BBM dapat dilaksanakan melalui wewenang atribusi.Selain itu, apakah hal tersebut dapat dimuat dalam peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang APBN-P yang notabene tidak memiliki sifat regeling.
2
Pada faktanya, banyak media yang memberitakan bahwa pihakpihak dalam DPR tidak menyetujui adanya kenaikan harga BBM. Padahal kewenangan tersebut telah didistribusikan oleh UU APBN-P 2012 kepada Presiden.Hal inilah yang sangat dilematis, karena komitmen terhadap keputusan pemberian kewenangan kepada presiden dihadapkan fakta bahwa suara rakyat tidak mendukungnya. Di samping itu, UU APBN pun tidak kompatibel sebagai UU pemberi wewenang atribusi karena UU APBN sendiri memiliki sifat yang khusus. UU APBN memiliki norma hukum yang bersifat beschikking, konkret, dan sekali selesai. Berbeda dengan UU lain yang cenderung bersifat regeling, umum, abstrak, dan terus menerus. Hal ini disbebakan karena materi muatan berupa penentuan
keuangan negara lah yang mengharuskannya diatur dalam bentuk UU. Oleh karenanya, pembuatannya pun tunduk pada rezim pembuatan UU sebagaimana diatur dalma Pasal 20 jo. Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945, bahwa pembuatannya melibatkan Presiden bersama-sama dengan DPR. Yang menjadi masalah, pembahasan tentang pemberian kewenangan menentukan kebijakan ini dibahas pada rapat pembentukan UU APBN-P, yang mana pada tahun 2013 akan dibuat lagi UU APBN baru berdasarkan UU APBN-P tahun 2012 tadi. Oleh karenanya, mau tidak mau, pasti pembahasan tentang kenaikan harga BBM akan melalui proses diskusi anatar DPR dan Presiden lagi, karena pembentukan produk hukumnya yang mengharuskan demikian.
Selanjutnya, ketentuan dalam UU APBN-P tersebut dituangakn dalam Pasal 8 UU No. 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2013, dinyatakan bahwa: (1) “Subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas/LPG tabung 3 (tiga) kilogram dan liquefied gas for vehicle/LGV) Tahun Anggaran 2013 direncanakan sebesar Rp193.805.213.000.000,00 (seratus sembilan puluh tiga triliun delapan ratus lima miliar dua ratus tiga belas juta rupiah).”
Fungsi Anggaran DPR dikaitkan dengan APBN-P 2012 Berdasarkan rumusan pasal 23 UUD 19454 dalam Bab VIII tentang Hal Keuangan: “(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.” Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 mengatur tentang fungsi anggaran DPR yang memiliki hak budget.Pasal ini menyebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RUU APBN) diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Pewakilan Daerah (DPD).DPR sesuai dengan hak budgetnya dapat menyetujui ataupun tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh pemerintah dan mengadakan pembahasan5.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 1 butir 7 merumuskan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.” Hal ini telah sesuai dengan amanat Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur hak budget DPR seperti yang telah ditulis diatas.
(2) Belanja Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan untuk mengantisipasi deviasi realisasi asumsi ekonomi makro, dan/atau perubahan parameter subsidi, berdasarkan kemampuan keuangan negara. Dalam UU tersebut hanya dinyatakan ‘disesuaikan’ tanpa disertakan siapa pihak yang berhak melakukan penyesuaian.Hal ini yang menyebabkan kebingungan. Apabila ingin berpegang teuh dengan UU APBN-P yang lalu, amka harus disebut secara tegas bahwa yang memiliki wewenang adalah Presiden.
3
4
Berdasarkan uraian di dalam tulisan ini terkait dengan kewenangan menaikan Harga BBM yang erat kaitannya dengan perundang-undangan yang ada di Negeri ini, maka BEM FH UI 2013 menolak kenaikan harga BBM karena dilihat dari dua aspek penting di dalam wacana kenaikan Harga BBM tahun ini, yaitu: 1. Wacana kewenangan menaikan harga BBM tahun ini ditinjau dari pengambilan keputusan kebijakannya ternyata masih melanggar prinsip fundamental Negara dan teori perundang-undangan di mana dalam hal ini kekuasaan eksekutif dapat dikatakan menuju absolutism di dalam penentuan apakah naik atau tidaknya Harga BBM. Pengaturan mengenai fungsi anggaran DPR yang memiliki hak budget dan hal mengenai APBN yang diatur dalam UU Keuangan Negara, lalu dihubungkan dengan UU APBN-Perubahan 2012. Fokus tulisan ini adalah menyoroti tentang kebijakan penaikan harga jual eceran BBM bersubsidi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (6) dan (6a) , yaitu : “Pasal 7 ayat (6) : Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Pasal 7 ayat (6a) : Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.” Namun, menjadi keliru apabila membandingkan rumusan Pasal 7 ayat (6a) UU APBNP 2012 ini dengan Pasal 23 UUD 1945 dan Pasal 1 butir 7 UU Keuangan Negara. Kedua dasar hukum ini menetapkan bahwa DPR memiliki fungsi anggaran untuk membahas RUU APBN/ APBN bersama Presiden dan APBN itu adalah RUU APBN yang disetujui oleh DPR .Disini, dapat kita temukan keganjilan bahwa dalam rumusan Pasal 7 ayat (6a) UU APBNP 2012, bahwa “…Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan
5
2. Rumusan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN tentulah tidak tepat apabila dikaitkan dengan Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur bahwa RUU APBN dibahas bersama oleh Presiden dan DPR dan Pasal 1 butir 7 UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, proses pengambilan kebijakan kenaikan Harga BBM tentulah bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945 dan Pasal 1 butir 7 UU Keuangan Negara.
pendukungnya”. Definisi mengenai apa yang dimaksud dengan Pemerintah tidak ditemukan dalam UU APBNP 2012 begitupun dengan UU APBN 2012. Namun, dengan menggunakan interpretasi komparatif, definisi mengenai Pemerintah dapat kita temukan dalam Pasal 1 butir 2 UU Keuangan Negara “Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.” Pendefinisian mengenai apa yang dimaksud dengan DPR dan DPD juga diatur berbeda dalam UU Keuangan Negara ini, masing-masing dalam Pasal 1 butir 3 dan 4 UU Keuangan Negara .
6
DEPARTEMEN KAJIAN Dan AKSI STRATEGIS
BBM
Kenaikan
Harga
Ditinjau dari Aspek Kewenangan Pengambilan Kebijakan
copyright BEM FHUI 2013