UU DIKTI
&
Keuangan Negara
DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS
Keuangan Negara Sejatinya, di Indonesia tidak ada satu definisi yang pasti mengenai keuangan Negara. Hal ini dikarenakan di dalam peraturan perundang-undangan terdapat definisi yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya di mana hal ini disebabkan belum adanya pemahaman yang sama yang diakibatkan berbagai penafsiran dalam hal mengartikan definisi dan batasan
keuangan Negara. Secara legal formiil, terdapat berbagai peraturan peundang-undangan yang mengatur tentang definisi keuangan Negara, di antaranya adalah UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pem-
Di dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 perumusan tentang keuangan Negara adalah: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” berantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dimaksud dengan keuangan Negara adalah: “Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban badan usaha milik negara/ badan usaha miliki daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.”
Sedangkan, dalam perkembangan berikutnya, UndangUndan Nomor 17 Tahun 2003 mendefinisikan keuangan Negara sebagai: “Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang , serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
1
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Dari berbagai definisi di atas yang beragam pada peraturan perundang-undangan Indonesia, timbul lah berbagai kritik dari para ahli yang mengarahkan pada dasarnya konsepsi keuangan Negara
harus dikembalikan kepada konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, di mana keuangan Negara harus didasarkan kepada Pasal 23 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional keuangan Negara.
Dari bunyi pasal 23 Ayat (1) tersebut dapat dilihat bahwa pengertian keuangan Negara diartikan secara sempit, oleh karena itu dapat disebut sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu sistem keuangan negara dalam arti sempit. Hal ini
semakin mempertegas bahwa keuangan Negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan deskripsi keuangan Negara, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan Negara.
Hal ini pun semakin diperkuat oleh pendapat berbagai ahli, diantaranya, Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengkritisi definisi keuangan Negara yang diatur di dalam peraturang perundang-undangan lain seperti yang terjadi di dalam UU Nomor 17 Tahun 2003. Arifin P. Soeria Atmadja menyatakan:
“UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dapat diartikan sebagai undang-undang organik dari Pasal 23 UUD 1945. Namun, ternyata substansi yang diatur mencampurkan antara keuangan Negara, keuangan Daerah, keuangan Perusahaan Negara maupun perusahaan daerha. Bahkan, keuangan swasta pun diatur dalam undang-undang Keuangan Negara ini. Hal ini dikarenakan bahwa keuangan Negara sejatinya adalah APBN.” Terdapat juga seorang ahli yang memperkuat tentang konsep keuangan Negara secara sempit, yaitu Jusuf Indradewa. Beliau menyatakan:
“Keuangan Negara adalah keuangan yang sepenuhnya menjadi hak atau kekayaan Negara. Di mana daerah memiliki keuangannya sendiri dengan adanya otonomi. Demikian pula halnya dengan BUMN Persero sebagai Badan Hukum yang mempunyai status kemandirian, memiliki keuangan atau kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara sebagai pemegang saham.” Dari, uraian di atas, terdapat beberapa hal yang dapat dilihat untuk mengerti apa itu keuangan Negara. Bahwa, di Indonesia, banyak ahli yang mengemukakan bahwa sejatinya keuangan Negara adalah sama dengan APBN sesuai dengan landasan konstitusional keuangan Negara, yaitu Pasal 23 UUD 1945. Secara garis besar, terdapat beberapa alasan mengapa
keuangan Negara sama dengan APBN. Poin-poin tersebut adalah: 1. Untuk menjamin kepastian hukum, yaitu kepastian bahwa keuangan Negara adalah sama dengan APBN. 2. Untuk mempermudah fungsi kontrol negara di mana keuangan Negara dibatasi hanya pada APBN. Hal ini dikarenakan di dalam prak-
tiknya, pemerintah harus menjalankan berbagai fungsi kenegaraan. 3. Untuk membatasi ruang lingkup keuangan Negara, di mana keuangan Negara hanya mencakup APBN saja.
2
Aspek Keuangan Negara di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) merumuskan :
“Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma”. Pasal 64 UU Dikti lebih lanjut mengatur tentang bidang-bidang yang tercakup dalam otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi tersebut. Lalu, dalam pasal 65 ayat (1) dirumuskan :
“Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.” . Dari rumusan pasal 65 ayat (1) ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi tersebut dapat diberikan secara selektif dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum, berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri
kepada PTN. UU Dikti hadir sebagai pengganti UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam UU BHP, dirumuskan bahwa pada PTN diterapkan Pola Pengelolaan Keuangan berupa Badan Hukum Milik Negara. Sebelumnya, telah dike-
Dari sisi obyek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksan-
aan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Definisi Keuangan Negara
dari empat sisi ini adalah pendekatan yang ditemukan dalam UU Keuangan Negara. Pengaturan terhadap Keuangan Negara tidak terlepas dari Perbendaharaan Negara yang mengatur pengelolaan negara, pengaturan perbendaharaan negara yang menjadi dasar bagi pengelo-
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut diatas yang dimiliki negara, dan/ atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
luarkan Peraturan Pemerintah No. 152 tahun 2000. tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai badan Hukum Milik Negara . Mizamil dalam tesisnya, Status Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara Ditinjau dari Hukum Keuangan Publik , menulis :
“Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara memiliki suatu konsep agar Perguruan Tinggi Negeri tersebut dapat melaksanakan fungsinya dengan lebih optimal. Konsep yang dirancang agar pelaksanaan fungsi dari Perguruan Tinggi Negeri tersebut adalah dengan memberikan bentuk sebagai suatu Badan Hukum. Dengan bentuk sebagai suatu Badan Hukum maka diharapkan Perguruan Tinggi Negeri tersebut dapat mengelola dirinya sebagaimana layaknya suatu badan hukum akan tetapi tetap tidak melupakan fungsi dan tugas yang diembannya dari pemerintah yaitu menyelenggarakan suatu pendidikan tinggi dalam rangka menghadapi persaingan dalam era globalisasi ini.” Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum pada bagian pembukaan dalam konsiderans menimbang : “…bahwa sebagian Perguruan Tinggi Negeri telah memiliki kemampuan pengelolaan yang mencukupi untuk dapat memperoleh kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab yang lebih besar…” Pengelolaan secara professional itu hanya dapat diterapkan apabila Perguruan Tinggi
3
Negeri memperolah kemandirian yaitu dengan tidak menjadi unit dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan lagi . Pada saat UU BHP dinyatakan inkonsitusional oleh Mahkamah Konstitusi, status UI mengalami status quo, lalu dengan disahkannya UU Dikti maka status UI menjadi PTN badan hukum. Bahasan tulisan ini adalah aspek keuangan negara yang dipisahkan pada PTN BH. Keuangan negara menurut
UU No. 17 tahun 2003 didefinisikan sebagai “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Mizamil menguraikan dalam tesisnya, ada empat pendekatan untuk mengetahui definisi Keuangan Negara tersebut .
laan keuangan publik terdapat dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pendefinisian mengenai PTN badan hukum (PTN BH) sendiri tidak diketemukan dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara.
4
Pengaturan mengenai PTN BH terdapat dalam Pasal 65 ayat (3) UU Dikti : “PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki : a. Kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b. Tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; c. Unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d. Hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; e. Wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan; f. Wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; g. Wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.” Mengenai prinsip pelaksanaan otonomi Perguruan Tinggi, Pasal 63 UU Dikti merumuskan : “Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip : a. Akuntabilitas; b. Transparansi; c. Nirlaba; d. Penjaminan mutu; e. Efektivitas dan efisiensi.” Kemudian, diatur juga bidang-bidang yang tercakup dalam pelaksanaan otonomi Perguruan Tinggi, dalam Pasal 64 UU Dikti dirumuskan : “(1) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik. (2) Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma. (3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan e. sarana dan prasarana.” Dari rumusan pasal 63 UU Dikti dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan Perguruan Tinggi didasarkan pada prinsip akuntabilitas dan transparansi, harus bersifat nirlaba, tidak bersifat mencari profit. Dan dengan otonomi tersebut diperlukan prinsip penjaminan mutu serta efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya. Dari rumusan pasal 64 UU Dikti, dapat kita simpulkan bahwa otonomi Perguruan Tinggi meliputi bidang akademik dan nonakademik secara total dan menyeluruh, dimana
5
di dalam bidang nonakademik tercakup di dalamnya tentang penetapan norma dan kebijakan operasional sertta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Otonomi dalam pengelolaan keuangan inilah yang akan dibahas disandingkan dengan Hukum Keuangan Negara. Pasal 65 ayat (3) huruf a merumuskan bahwa kekayaan awal PTN BH adalah kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa dalam pola pengelolaan keuangan
berbentuk PTN BH ada pemisahan antara kekayaan negara dan kekayaan perguruan tinggi. Bentuk UI terdahulu sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tidak memungkinkan adanya otonomi, karena dengan bentuknya sebagai unit dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam hal impelementasi prinsip-prinsip otonomi perguruan tinggi yang tercantum dalam Pasal 63 UU Dikti maka untuk mengakomodasi halhal tersebut diperlukan pola pengelolaan keuangan berupa PTN BH.
Dalam konteks otonomi, sesuai dengan Pasal 64 UU Dikti, fungsi otonomi ini meliputi bidang akademik dan nonakademik secara total. Konsekuensi nya adalah, bukan saja mengurusi bidang akademik, namun bidang-bidang seperti organisasi, kemahasiswaan dan keuangan juga diurus di dalamnya. Hal itu diperjelas dalam pengaturan Pasal 64 UU Dikti yang merumuskan bahwa Perguruan Tinggi memiliki tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri serta memiliki hak pengelolaan dana secara mandiri pula. Pemberian otonomi dipandang dapat memberikan iklim
yang kondusif untuk menunjang kebebasan akademik. Otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pendanaan tersebut diproyeksikan agar perguruan tinggi yang bersangkutan dapat menentukan visi, misi dan perencanaan strategik dengan lebih efektif dan efisien, karena dengan bentuknya yang otonom maka tidak terpengaruh dengan kerumitan birokrasi pemerintahan. Pasal 65 ayat (3) huruf f UU Dikti merumuskan bahwa PTN BH memiliki wewenang untuk mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi. Patut digaris
bawahi, wewenang ini harus sejalan dengan konsepsi prinsip-prinsip otonomi perguruan tinggi yang tercantum dalam Pasal 63 UU Dikti. Pendirian badan usaha dan pengembangan dana abadi tersebut harus akuntabel dan transparan pengelolaannya. Lebih krusial lagi, harus bersifat nirlaba, tidak berorientasi mencari profit. Pengelolaannya juga harus berorientasi pada penjaminan mutu dan bersifat efektif dan efisien. Di kedepankannya prinsip akuntabilitas dan transparansi menuntut manajemen perguruan tinggi yang profesional dan kuat.
Dalam Pasal 83 UU Dikti dirumuskan: “(1) Pemerintah menyediakan dana Perguruan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.”
6
Dari rumusan pasal 83 ini dapat kita simpulkan bahwa meski dengan prinsip otonomi keuangan yang terdapat dalam PTN BH, ternyata masih ditemukan ketentuan pembiayaan dengan menggunakan dana APBN dari pemerintah. Pasal 89 ayat (1) huruf a UU Dikti merumuskan: “Dana Perguruan Tinggi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan untuk: a. PTN, sebagai biaya operasional, Dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan; b. PTS, sebagai bantuan tunjangan profesi Dosen, tunjangan kehormatan professor, serta investasi dan pengembangan; dan c. Mahasiswa, sebagai dukungan biaya untuk mengikuti Perguruan Tinggi.” Dari rumusan pasal 89 ayat (1) ini menerangkan bahwa dana Perguruan Tinggi yang berasal APBN digunakan sebagai biaya operasional, Dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan. Di Universitas Indonesia, sistem ini bersifat blockfunding dimana pemerintah mengalokasikan dana secara langsung dan pengelolaannya diserahkan pada Universitas Indonesia, sehingga terdapat fleksibilitas dalam penggunaan dana . Disini dapat disimpulkan bahwa otonomi keuangan Perguruan Tinggi terdapat pada kemandirian
7
dalam pengelolaan dana yang dialokasikan oleh pemerintah. Status sebagai PTN BH ini kemudian membawa konsekuensi yang penting substansinya. Dengan berubahnya status dari PTN menjadi PTN BH maka dengan begitu PTN sebagai instansi pemerintah menjadi suatu badan hukum privat tersendiri. Kekayaan milik negara yang dipisahkan menjadi kekayaan awal PTN BH, menyebabkan ketika UU DIkti yang mengatur tentang PTN BH ini disahkan, maka dengan begitu sudah tidak terdapat lagi hubungan publik kepemilikan antara negara dengan kekayaan negara yang dipisahkan dan status hukum kekayaan negara dan status hukum kekayaan negara tersebut tidak tunduk pada ketentuan publik . Lalu muncul permasalahan lain dalam bidang pengawasan. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara , Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpedoman bahwa ruang lingkup pemeriksaannya adalah seluruh unsur keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU Keuangan Negara. Berdasarkan ketentuan ini BPK berwenang untuk memeriksa, terutama berdasarkan pada huruf g. Bahwa kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai uang, termasuk ke-
kayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah, karena dalam PTN BH kekayaan negara nya telah dipisahkan, maka sifat imunitas publiknya pun hilang. Dengan begitu BPK tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengaudit PTN BH tersebut. Yang memiliki wewenang untuk mengaudit adalah akuntan publik . Hal ini secara implisit menyiratkan bahwa kontrol audit keuangan oleh negara kepada PTN BH tidak ada sama sekali. Disinilah prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi yang tercantum dalam 63 UU Dikti harus diterapkan sebaik-baiknya. Tanpa manajemen yang professional, bentuk PTN BH dengan segala kebebasan dan otonominya, juga dengan pemisahan kekayaannya dari kekayaan negara, tidak akan membawa kemajuan berarti dalam pengelolaannya. Malah, apabila pengelolaannya tidak professional, dikhawatirkan akan menimbulkan penyelewengan-penyelewengan mengingat kekuasaan dan otoritas PTN BH yang begitu luas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan adanya prinsip pemisahan keuangan dalam PTN BH, maka keuangan yang diatur di dalam bentuk perguruan tinggi tersebut bukan termasuk dalam ranah keuangan Negara karena terpisah dari APBN.
UU DIKTI
&
Keuangan Negara
DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS copyright KOMINFO BEM FHUI 2013