4
Sebuah Pengantar Segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas berkah rahmat dan karunianya setiap manusia di Alam ini dapat terus hidup menikmati udara dan kenikmatanNya dalam melangsungkan aktifitas. Kajian ini kami susun sebagai bentuk perwujudan dari Tri-Dharma Perguruan tinggi yakni Pendidikan dan penelitian. Mahasiswa sebagai motor intelektual muda dapat memainkan perannya dalam memberikan pencerahan informasi atau isu untuk diangkat ke permukaan, memaparkan kepada khalayak terhadap realita yang ada dengan basis pendidikan yang telah dimiliki. Mahasiswa adalah aktor untuk mencerdaskan bangsa.
Tahun 2014 akan menjadi tahun yang amat bersejarah bagi perjalanan kebangsaan Republik Indonesia. Di tahun ini, ratusan juta rakyat Indonesia akan memutuskan siapakah yang akan menggantikan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi Presiden ke 7 Republik Indonesia. Pesta akbar demokrasi telah di depan mata, rakyat telah siap untuk bersuka cita menentukan masa depan bangsa, menyambut lahirnya pemimpin baru. Namun, tak bisa dipungkiri, perjalanan bangsa ke depan tidaklah mudah. Banyak sekali tantangan – tantangan yang akan menyambut Presiden baru pilihan rakyat untuk segera diatasi. Diantara berbagai tantangan itu, salah satu yang menjadi sangat krusial adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Indonesia mencatatkan diri sebagai Negara dengan pertumbuhan ekonomi fantastis dan mampu bertahan ditengah gempuran krisis perekonomian dunia. Akan tetapi, sayang sekali pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang. Hingga kemudian muncul suatu term inclusive growth, dimana pertumbuhan ekonomi haruslah bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam kajian ini, kami mencoba untuk mengelaborasi keterkaitan antara inclusive growth dengan 4 sektor yang memiliki pengaruh langsung terhadap perekonomian Indonesia, yaitu Pertanian, Pendidikan, Ketenagakerjaan, dan Konektivitas. Setiap sektor memiliki sumbangsih masing - masing terhadap upaya perwujudan inclusive
5
growth. Hanya saja, banyak sekali permasalahan yang terjadi di setiap sektor yang kemudian menjadi penghambat dalam mewujudkan inclusive growth. Maka sesungguhnya hambatan inilah yang akan menjadi tantangan terbesar bagi Presiden baru untuk segera diselesaikan. Dalam kajian ini, selain menjabarkan pokok – pokok permasalahan yang menjadi tantangan bagi Presiden baru Republik Indonesia, kami juga mencoba untuk memberikan rekomendasi – rekomendasi tindakan yang harus diambil di setiap sektor untuk mewujudkan inclusive growth. Kami menyadari bahwa sebagai mahasiswa, tugas kami bukan hanya untuk mengkritisi setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah, namun juga turut memberikan sumbangsih pemikiran secara langsung kepada Pemerintah. Karena masa depan bangsa ini, adalah tanggung jawab kami juga. Penutup, kami ingin ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Departemen kami dalam menyelesaikan kajian paruh pertama kami. Terima kasih pertama kami haturkan kepada Prof. Mayling atas saran dan masukannya terhadap persiapan pra-kajian kami, terima kasih kami haturkan kepada Pak Berly Martawardaya Ph.D dan Pak Teguh Dartanto Ph.D atas bimbingan untuk arah dan data kajian kami. terima kasih kepada Ketua BEM dan Kabid Sospol kami atas pendampingannya selama proses kajian, dan terakhir yang utama adalah terima kasih kepada semua anggota Departemen yang telah meluangkan waktu dalam proses penyusunan kajian. Setiap peran yang kami lakukan, didorong oleh kecintaan kami pada Negara, dan melalui peran itulah kami mencoba untuk mengangkat martabat bangsa.
Juni 2014 Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI
6
DAFTAR ISI DAFTAR ISI..................................................................................................................4 BAB I.............................................................................................................................5 BAB II............................................................................................................................8 A.
KAITAN INCLUSIVE GROWTH DENGAN PENDIDIKAN........................8
B.
KAITAN INCLUSIVE GROWTH DENGAN KETENAGAKERJAAN.......19
C.
KAITAN INCLUSIVE GROWTH DENGAN PERTANIAN.........................35
D.
KAITAN INCLUSIVE GROWTH DENGAN KONEKTIVITAS..................46
BAB III.........................................................................................................................68 A.
KESIMPULAN................................................................................................68
B.
SARAN............................................................................................................70
DAFTAR TABEL........................................................................................................75 DAFTAR GAMBAR...................................................................................................76 DAFTAR GRAFIK......................................................................................................77 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................78
7
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia pernah membuat prestasi yang terbilang baik dalam memerangi kemiskinan
selama
1976-2012.
Pertumbuhan
ekonomi
dan
kestabilan
makroekonomi menjadi faktor utama dalam menurunkan angka kemiskinan. Dalam tiga dekade terakhir, kondisi sosial-ekonomi Indonesia meningkat cepat. Dalam periode tersebut, GDP per kapita Indonesia meningkat tiga kali lipat. Menurut data World Bank, GDP per kapita (PPP, 2005 US$) Indonesia melonjak dari 1.323 (1983) menjadi 4.271 (2012). Dari 1980 sampai 2012, setidaknya ada tiga sektor vital yang berubah pembagiannya dalam GDP seiring dengan transformasi perekonomian Indonesia. Andil dari sektor pertanian terhadap GDP terus menurun sejak 1980, sedangkan sektor industri dan jasa terus meningkat secara signifikan. Rata-rata andil dari sektor industri terhadap GDP dalam periode 30 tahun tersebut meningkat hampir sebesar 9%. Kenaikan dalam pendapatan ini berefek pada perbaikan indikator-indikator sosial salah satunya seperti yang sudah disebutkan yaitu penurunan angka kemiskinan.
Namun, penurunan angka kemiskinan tersebut makin lama makin melambat sedangkan ketidakmerataan makin naik. Koefisien Gini yang diukur dari pengeluaran meningkat tajam dari 0,33 di tahun 2002 menjadi 0.41 di tahun 2012. Perubahan andil komposisi dari sektor pertanian menjadi industri dan jasa mendorong masyakat untuk ikut berubah padahal tidak semua dari mereka yang berubah tersebut memiliki kualitas untuk bekerja di sektor industri maupun jasa. Sebagaimana yang kita ketahui dan kita sadari bahwa dibutuhkan skill terdidik sekaligus terlatih yang harus dimiliki orang-orang yang terjun di sektor industri atau jasa dibandingkan pertanian. Akan lebih celaka lagi jika pemerintah langsung menyuburkan kedua sektor tersebut tanpa memperbaiki human resource terlebih dahulu. Jika hal itu terjadi maka kondisi ideal dimana demand dan supply dari tenaga kerja bertemu di titik keseimbangan tidak akan terpenuhi. Ketidakmerataan akan semakin besar dan sangat berpotensi menimbulkan ketegangan sosial yang malah bisa saja menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Maka dari itu
8
Indonesia harus mampu mempercepat penurunan angka kemiskinan sambil menghentikan kenaikan dari ketidakmerataan. Hal tersebut dapat tercapai dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat inklusif sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan juga oleh yang miskin. Beberapa sektor vital layak menjadi fokus utama pemerintah dalam upaya mewujudkannya.
Hingga kemudian muncul term inclusive growth yang merupakan suatu pertumbuhan ekonomi yang melibatkan baik yang miskin maupun tidak yang kemudian manfaat dari pertumbuhan tersebut juga dapat dirasakan secara adil bagi keduanya. Pertumbuhan ekonomi semacam ini tidak hanya menciptakan kesempatan ekonomi yang baru saja tetapi juga menjamin bahwa kesempatan tersebut dapat dimasuki merata oleh semua pihak.
Maka akan menjadi kajian yang menarik untuk memberikan gambaran bagaimana Indonesia saat ini yang dengan gigihnya memperjuangkan pertumbuhan ekonomi selalu diatas 5% tiap tahunnya untuk membuat suatu pertumbuhan ekonomi inklusif sehingga angka yang lebih dari 5% tersebut dapat dirasakan semua orang baik miskin atau tidak.
B. TUJUAN Tujuan kajian ini dibuat secara umum adalah sebagai bentuk perwujudan dari TriDharma Perguruan Tinggi. Secara khusus, tujuan kajian komprehensif adalah: 1. Mengetahui kaitan inclusive growth dengan:
Pendidikan
Ketenagakerjaan
Pertanian
Konektivitas
2. Memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diambil untuk mewujudkan inclusive growth.
C. RUMUSAN Rumusan yang dibahas dalam kajian komprehensif ini adalah:
9
1. Bagaimana kaitan dan peran pendidikan dalam upaya mencapai inclusive growth? 2. Bagaimana kaitan dan peran ketenagakerjaan dalam upaya mencapai inclusive growth? 3. Bagaimana kaitan dan peran pertanian dalam upaya mencapai inclusive growth? 4. Bagaimana kaitan dan peran konektivitas dalam upaya mencapai inclusive growth?
10
BAB II ISI A. KAITAN INCLUSIVE GROWTH DENGAN PENDIDIKAN Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan merupakan salah satu instrumen yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Indonesia, seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945, dengan gamblang menyebutkan bahwa salah satu tujuan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara Indonesia sendiri menjamin pendidikan bagi warga negaranya seperti yang tercantum dalam UUD 45 pasal 31 ayat (1) yang berbunyi ―Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan‖. Maka dengan demikian negara berkewajiban untuk memenuhi hak warga negaranya yang berwujud pendidikan. Kembali ke tujuan, pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Segala perkembangan dan perbaikan di dunia ini diawali oleh orang-orang cerdas yang mengaplikasikan ilmu yang ia miliki sehingga mampu dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Pendidikan menjadi senjata ampuh yang mampu memerdekakan suatu bangsa dari kebodohan. Dengan melihat betapa pentingnya pendidikan bagi bangsa dan negara, sudah sewajarnya pemerintah menjadi regulator serta koordinator bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia agar pendidikan dapat dirasakan oleh semua warga negara dan diharapkan akan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia.
Hampir semua negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki masalah berupa kualitas dan kuantitas sumber daya manusia untuk mengelola negara yang disebabkan oleh rendahnya mutu pendidikan. Beberapa indikator yang dapat dilihat untuk mengetahui mutu pendidikan di Indonesia antara lain angka melek huruf dan angka partisipasi pendidikan. Padahal pendidikan mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect terhadap pembangunan negara pada umumnya dan pertumbuhan ekonomi pada khususnya.
11
1. Tujuan Pendidikan Nasional Pendidikan, dengan segala buah manisnya, apakah tujuannya sudah sesuai dengan ideologi Pancasila dan juga sesuai dengan UUD 1945. Lebih mendalam lagi, apakah tujuan pendidikan sudah sesuai dengan tujuan hidup manusia itu sendiri?
Ada beberapa tujuan pendidikan yang pernah muncul dalam sejarah. Plato sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Ia mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran.
Aristoteles mempunyai tujuan pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi ia mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia).
Pada era Restorasi Meiji di Jepang, tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara; pendidikan dirancang untuk kepentingan negara. Baik Plato, Aristoteles, maupun pada Restorasi Meiji, ketiganya mengusung tujuan pendidikan yang diarahkan kepada negara. Lalu bagaimana dengan tujuan pendidikan di Indonesia? UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, ―Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.‖ Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, ―Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.‖
12
Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun
2003.
Pasal
3
menyebutkan,
―Pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ Pada pasal 4 ditulis, ―Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.‖ Pada Pasal 15, Undang-undang yang sama, tertulis, ―Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memiliki
kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.‖
Dengan rumusan tujuan pendidikan seperti ini, maka sebenarnya tujuan pendidikan nasional masih sesuai dengan substansi Pancasila dan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupa bangsa dan menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu pertanyaan besarnya adalah apakah tujuan mulia dari pendidikan ini sudah dijabarkan secara komprehensif dalam sistem pembelajaran?
2. Pendidikan, Belanja atau Investasi? Pemerintah Indonesia dengan berbagai kebijakan yang mengatur jalannya pendidikan di Indonesia cenderung memposisikan pendidikan sebagai belanja (expenditure). Mengapa demikian? Pemerintah menganggarkan 20% dari APBN 13
untuk sektor pendidikan yang mana jumlah tersebut sebenarnya relatif cukup besar, tetapi 20% anggaran tersebut tidak murni dialokasikan bagi perbaikan dan pengembangan sistem atau mutu pendidikan karena tenaga pendidik juga termasuk didalamnya. UU Sisdiknas, Pasal 1 angka 3, menentukan bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang berarti juga termasuk gaji pendidik. Ketentuan Pasal 49 ayat (1) yang memisahkan gaji guru dari anggaran pendidikan dinilai membuat tak konsistennya UU Sisdiknas. Masuknya gaji pendidik ke dalam anggaran pendidikan dikhawatirkan akan membuat pemerintah tak lagi terdesak untuk memikirkan pendidikan di Indonesia. Sebagai gambaran, saat ini, anggaran pendidikan di luar gaji pendidik masih berkisar 11,8%. Jika gaji pendidik atau guru dimasukkan berarti anggaran pendidikan sudah mencapai 18%. Pemerintah tinggal menambah 2% saja. Lalu bagaimana dengan sekolah yang rusak serta anak-anak yang putus sekolah? Dengan begini, kualitas pendidikan Indonesia akan tetap status quo. Anak yang tak sekolah akan tetap tak sekolah. Dan sekolah yang rusak akan tetap rusak.
Disini pemerintah mengesankan bahwa dunia pendidikan adalah suatu hal yang harus mereka penuhi atau bisa kita sebut kewajiban dengan memposisikan pendidikan sebagai expenditure. Dengan demikian pemerintah terkesan tidak mengharapkan timbal balik dari output pendidikan itu sendiri. Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan satu kali, yaitu pengawasan selama penggunaan anggaran pendidikan tersebut.
Lain halnya jika pemerintah memposisikan pendidikan sebagai investasi. Perbedaan paling mendasar antara expenditure dengan investasi adalah investasi ditujukan untuk pembentukan aset di masa depan yang diharapkan dapat menimbulkan multiplier effect dan lebih berkelanjutan, sedangkan expenditure ditujukan untuk membiayai operasional pemerintah yang sifatnya rutin dan habis pakai. Ini yang sebenarnya penting untuk dilakukan oleh negara. Sebagai investasi, pemerintah akan melakukan dua kali pengawasan, yaitu pengawasan selama penggunaan anggaran pendidikan dan pengawasan saat pemerintah akan memetik hasil investasi berupa perbaikan sumber daya manusia hasil dari proses pendidikan. Investasinya sendiri dapat berupa perbaikan sistem, pelatihan tenaga pendidik, dan atau infastruktur pendidikan terlepas dari belanja pegawai. 14
Kembali mengacu pada angka 20 persen dari APBN sebagai anggaran pendidikan. Tahun 2014, total belanja pemerintah mencapai Rp 1.842,495 triliun dimana anggaran pendidikan ditetapkan sebesar Rp 368,899 triliun atau 20,02 persen. Anggaran pendidikan tersebut terdiri atas alokasi melalui belanja pemerintah pusat sebesar Rp 130,2796 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 238,6195 triliun. Jumlah sebesar ini tentu diharapkan akan mampu memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia terutama peningkatan kualitas wajib belajar sembilan tahun yang merata. Hanya saja sejumlah anggaran tersebut juga meliputi pembiayaan tenaga pengajar dengan pertimbangan bahwa tenaga pengajar juga merupakan komponen pendidikan. Padahal jika pemerintah mengalokasikan seluruh anggaran pendidikan untuk perbaikan sistem dan infrastruktur pendidikan maka kualitas pendidikan itu sendiri akan cepat meningkat. Alokasi untuk tenaga pengajar bukan untuk pembayaran gaji, melainkan untuk pelatihan dan pembekalan tenaga pengajar demi proses belajar mengajar yang lebih baik. Tetapi anggaran sebesar ini juga memerlukan pengawasan ekstra karena sangat rawan dikorupsi. Kembali disini dibutuhkan peran pemerintah untuk selalu melakukan pengawasan khususnya dalam alokasi anggaran pendidikan.
3. Evaluasi Sistem Pendidikan Selama ini pemerintah memang terkesan lepas dari fungsi pengawasan kedua sebagaimana yang disebutkan di atas. Pemerintah, dengan segala wewenang yang telah diamanatkan kepadanya, tidak hanya mengawasi input (baca: pengeluaran anggaran), tetapi juga mengawasi proses (baca: sistem pendidikan) dan output (baca: SDM terdidik). Berbagai upaya yang ditujukan untuk memperbaiki sistem pendidikan seperti penggunaan kurikulum 2013 menggantikan kurikulum 2006 memang telah dilakukan, hanya sayangnya kurang berhasil diaplikasikan dalam pendidikan. Penerapannya sangat tergesa-gesa seolah pemerintah menganggap bahwa sistem dan infrastruktur pendidikan di seluruh wilayah di Indonesia sudah memenuhi dan siap dijejali kurikulum baru. Padahal kenyataannya tidak demikian. Kita ambil contoh dalam penyediaan buku teks. Buku merupakan kebutuhan vital bagi murid dan pegangan bagi guru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Persoalan buku teks tidak bisa dipecahkan seketika secepat penerapan kurikulumnya. Dimulai dari penulisan naskah, editing, pembuatan layout, proses 15
cetak, hingga distribusi semuanya memerlukan waktu yang tidak singkat. Ketidaksiapan semacam ini hanya akan mengorbankan peserta didik yang seharusnya mendapatkan ilmu melalui proses pendidikan sebaik mungkin. Ketidaksiapan juga terjadi di tenaga pendidik. Banyak guru yang menjalankan kurikulum baru tetapi belum mendapat penataran. Jika pun ada penataran, yang mengikuti hanya beberapa perwakilan yang diharapkan dapat menularkan ke tenaga pendidik lainnya. Padahal dalam prosesnya miskomunikasi sangat mungkin terjadi dan resiko terbesarnya kembali mengarah ke peserta didik. Teknologi Informasi dan Komunikasi yang diubah dari mata pelajaran menjadi sarana pembelajaran menuntut semua tenaga pendidik terkait untuk mampu menguasai TIK dalam pembelajaran. Konsep ini bagus hanya saja kita tidak dapat menggeneralisasi semua tenaga pendidik familiar dengan TIK apalagi jika tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memiliki sebuah portal khusus terkait penerapan kurikulum 2013 yaitu EPIK yang merupakan singkatan dari sistem Elektronik Pemantauan Implementasi Kurikulum 2013. Dalam portal dapat dilihat bahwa kurikulum 2013 baru diterapkan pada 6.973 sekolah (2.865 SD, 1.535 SMP, 1.431 SMA, dan 1.142 SMK) yang mana jika dilihat dari lokasi sekolahnya ada 3.598 sekolah yang berlokasi di Pulau Jawa (52%). Kita tidak bisa menyebut ini sebagai ‗implementasi‘ melihat jumlah sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah seluruh sekolah di Indonesia, apalagi terpusat pada satu lokasi. Jika jumlah sekolah di Indonesia lebih dari 200.000 sekolah, maka proporsi sekolah yang jadi sasaran implementasi kurikulum 2013 hanya sekitar 3,5 persen. Proporsi sesedikit ini tidak bisa disebut implementasi. Idealnya implementasi dilakukan paling tidak kepada 50 persen dari jumlah sekolah yang ada. Angka 3,5 persen itu idealnya hanya sebagai uji coba. Antara implementasi dan uji coba memiliki perbedaan fundamental. Term implementasi dilakukan untuk kurikulum yang ―sudah jadi‖ dan dalam perlakuannya sudah tidak ada lagi (jarang sekali) perbaikan. Sedangkan uji coba dilakukan untuk kurikulum yang ―belum jadi‖ dan dalam perlakuannya dimungkinkan terjadi banyak perbaikan, bahkan mungkin saja tidak dilanjutkan sampai ke tahap implementasi.
16
Implementasi kurikulum 2013 ibarat orang berlari sambil membetulkan tali sepatu. Artinya sudah langsung lari meskipun persiapannya belum selesai. Begitupun kurikulum 2013 ini, sudah langsung diimplementasikan meskipun persiapannya belum selesai.
Ketidaksiapan ini ditambah rumit dengan sistem ujian yang diterapkan. Di Indonesia, penentuan kelulusan siswa melalui Ujian Nasional dilaksanakan dengan menggunakan conjunctive model. Artinya, siswa harus memenuhi seluruh indikator kelulusan dengan cara lulus Ujian Nasional. Ketentuan bahwa Ujian Nasional miliki bobot 60% dalam menentukan kelulusan siswa perlu dikaji. Karena compensatory model penentu kelulusan seharusnya lebih mengutamakan hasil dari indikator lain yang jauh lebih penting dibandingkan dengan Ujian Nasional.
Bagi para siswa, Ujian Nasional selama ini telah menjadi high stake testing, sebab hasil Ujian Nasional berdampak besar bagi masa depan mereka. Penelitian menunjukan berbagai dampak negatif yang menyertai kebijakan high stake testing dalam melaksanakan Ujian Nasional, yaitu: a. Kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial siswa (Dee & Jacob, 2006; Willms, 2006) b. Peningkatan resiko putus sekolah, terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu (Cunningham & Sanzo, 2002; Dee & Jacob, 2006; Marchant & Paulson, 2005; National Research Council, 1997; Reardon, 1996; Warren, Jenkins, & Kulick, 2006);
Di sisi lain, Ujian Nasional merupakan standardized test. Ujian dirancang agar seluruh siswa dapat menjawab pertanyaan yang sama, dalam kondisi sama dan jawaban mereka pun dinilai dengan cara yang sama. Hal tersebut tak sesuai dengan kenyataan bahwa di Indonesia kesempatan pendidikan antarwilayah tidaklah merata.
Ketidakmerataan kesempatan untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik erat kaitannya dengan kondisi ekonomi orang tua siswa serta kondisi tempat belajar mengajar. Kondisi tersebut pun dapat mempengaruhi prestasi 17
akademik siswa. Maka, sistem standardized test dalam Ujian Nasional yang seragam di seluruh wilayah di Indonesia belum tepat dilakukan.
Alangkah baiknya pemerintah mempersiapkan segala instrumen terkait sistem pendidikan sebelum menerapkannya dalam pendidikan Indonesia. Tentu pemerintah menginginkan dan mengusahakan yang terbaik bagi seluruh stakeholders pendidikan di Indonesia agar cita-cita luhur bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai.
4. Infrastruktur Pendidikan Suatu barang dikatakan excludable ketika dimungkinkan untuk menghalanghalangi seseorang dalam menikmati manfaat dari barang tersebut. Contoh sederhana adalah ketika kita harus membayar biaya untuk menikmatinya. Suatu barang dikatakan rival ketika seseorang sudah menggunakan atau mengkonsumsi barang tersebut maka akan menurunkan jumlah yang tersedia bagi orang lain untuk menggunakannya. Contoh sederhana adalah ketika seseorang membeli ikan di pasar, maka akan mengurangi jumlah ikan yang tersedia di pasar tersebut yang mungkin akan dibeli oleh pembeli lain. Suatu barang yang memiliki sifat keduanya, baik excludable maupun rival, disebut juga private goods. (Parkin, 2012).
Melihat dua karakteristik jenis barang sebagaimana yang dijelaskan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan private goods. Ada hambatan bagi seseorang untuk memasuki dunia pendidikan dan ketika seseorang sudah menikmati pendidikan maka kesempatan bagi orang lain untuk menikmati pendidikan yang sama akan berkurang.
Tetapi, seorang yang telah terdidik akan membawa manfaat bagi orang lain. Dengan kecerdasan yang ia miliki, ia akan relatif lebih mampu untuk mengubah atau memperbaiki lingkungannya dibandingkan dengan orang yang tidak terdidik. Mereka juga merupakan warga negara yang baik dengan tingkat kriminalitas yang relatif lebih rendah juga dibandingkan dengan mereka yang tidak terdidik. Efek samping semacam ini menjadikan pendidikan memiliki eksternalitas positif yang
18
mana manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain.
Dalam ilmu ekonomi, barang-barang yang memiliki eksternalitas positif harus dikelola oleh pemerintah untuk mengefisienkan manfaat dari barang tersebut. Pemerintah menggunakan pajak sebagai sumber utama pembiayaan sektor pendidikan. Namun karena alokasi anggaran pendidikan masih belum fokus keapada infrastruktur pendidikan seperti pembangunan gedung sekolah, sarana laboratorium, serta fasilitas dan media pendidikan lainnya yang mana seiring diterapkannya kurikulum 2013 menuntut institusi pendidikan untuk mampu menyediakan berbagai infrastruktur tersebut.
Infrastruktur pendidikan memang harus diutamakan oleh pemerintah selain sistem pendidikan itu sendiri. Ketika pendidikan sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, pola pengembangan pendidikan dan pola pengalokasian anggaran juga harus sesuai. Maka akan dibutuhkan pengawasan menyeluruh, apalagi sebagian dananya berasal dari pajak yang dibayar oleh masyarakat.
Fokus ke pembangunan infrastruktur menjadi hal yang sangat penting karena tidak mungkin sistem pendidikan dapat diterapkan dengan baik jika tidak didukung oleh infrastruktur yang memenuhi syarat. Dalam pelaksanaannya, akan lebih sulit menyamaratakan
pembangunan
infrastruktur
pendidikan
dibandingkan
menerapkan suatu sistem pendidikan dalam skala nasional.
5. Tenaga Kependidikan Untuk mencapai inclusive growth, jelas diperlukan suatu sistem pendidikan yang berkualitas. Dalam penelitian yang dilakukan McKinsey, ia menarik kesimpulan bahwa, ―Kualitas suatu sistem pendidikan tidak bisa melampaui kualitas gurugurunya‖ (Barber dan Mourshed 2007, 16). Oleh karena itu, kualitas guru sebagai salah satu tenaga kependidikan harus diperhatikan dalam upaya menciptakan sistem pendidikan yang baik. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan dan efisiensi guru adalah Student Teacher Ratio (STR) atau rasio murid guru. STR yang tinggi menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan akibat jumlah guru yang tidak mencukupi. Sebaliknya, STR yang 19
rendah menunjukkan tingginya kualitas pendidikan karena jumlah guru yang mencukupi atau malah berlebih. Masalah cenderung muncul ketika STR menunjukkan angka yang rendah namun ternyata kualitas pendidikan juga tergolong rendah.
Indonesia yang memiliki kualitas pendidikan dibawah Singapura, Korea, Jepang, dan Amerika, ternyata memiliki STR yang lebih rendah dibanding negara-negara tersebut. Pada tingkat SD, STR Indonesia berada dibawah Singapura dan Korea, sementara di tingkat SMP, STR di Indonesia berada di bawah Jepang dan Amerika.
Rendahnya
rasio
murid
guru
di
Indonesia
ternyata
tidak
serta-merta
mengindikasikan kualitas pendidikan yang baik dikarenakan masalah penyebaran. Jumlah guru di Indonesia yang mencapai 2,9 juta pada tahun 2012 didukung dengan STR Indonesia yang tergolong rendah menunjukkan jumlah guru yang mencukupi untuk proses pembelajaran. Permasalahannya, persebaran guru terjadi tidak merata. Sebagian sekolah kekurangan guru dan sebagian sekolah kelebihan guru. Anggapan umum bahwa sekolah di pedesaan kekurangan guru ternyata terpatahkan karena Kalimantan dan Papua yang memiliki banyak pedesaan, ternyata memiliki STR yang rendah. Kenyataan yang terjadi adalah Propinsi dengan banyak pedesaan tersebut memiliki banyak sekolah-sekolah kecil dengan kualitas rendah dan sedikit murid. Peraturan yang mewajibkan adanya minimal 9 guru dalam 1 sekolah menjadikan STR rendah. Ternyata, permasalahan pada persebaran guru di Indonesia tidak terjadi pada aspek kuantitas, melainkan kualitas. Sekolah-sekolah kecil di pedesaan dengan jumlah murid yang sedikit memiliki kualitas rendah karena guru-guru yang bertugas juga memiliki kualitas yang rendah.
STR yang rendah dan kualitas pendidikan di Indonesia yang juga rendah, mengindikasikan adanya inefisiensi guru dan tenaga kependidikan. Hal ini dikarenakan banyaknya sekolah-sekolah kecil dengan jumlah murid yang sedikit. Sudah seharusnya peraturan pemerintah terhadap penentuan jumlah guru bukan hanya didasarkan terhadap jumlah kelas, melainkan jumlah murid. Bila memungkinkan, penggabungan sekolah-sekolah kecil perlu dilakukan agar sumber 20
daya guru menjadi efisien. Efisiensi dalam kuantitas tenaga kependidikan juga diharapkan dapat berkontribusi dalam penurunan jatah anggaran pendidikan untuk gaji guru sehingga dapat dimanfaatkan untuk sektor lain seperti perbaikan infrastruktur atau pengadaan buku-buku berkualitas.
6. Buah Pendidikan Pendidikan memiliki kaitan yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan yang baik akan menghasilkan human capital yang berkualitas. Ketika human capital suatu negara diisi oleh orang-orang yang berkualitas, maka akan meningkatkan produktivitas yang mana akan berbanding lurus dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ideal semacam ini tentu akan sangat tergantung dari kualitas pendidikan itu sendiri. Dan semua ini pada akhirnya akan kembali kepada pemerintah yang mengatur jalannya pendidikan dimulai dari penyusunan anggaran, penerapan sistem, pembangunan infrastruktur, dan pengawasan. Kemauan dan kemampuan pemerintah dalam mengelola pendidikan sebaik mungkin menjadi pintu gerbang Indonesia menuju bangsa yang lebih bermartabat.
Dan ketika kita ingin melihat kaitan antara pendidikan dengan inclusive growth, tidak akan banyak berbeda kaitannya seperti dengan pertumbuhan ekonomi pada umumnya, hanya saja inclusive growth menuntut pemerintah untuk lebih memperhatikan aspek sistem dan infrastruktur pendidikan di seluruh wilayah di Indonesia agar dapat menjalankan fungsi pendidikan sebaik mungkin. Sistem pendidikan tidak selalu harus disamaratakan. Masing-masing daerah memiliki kultur dan potensi yang berbeda sehingga alangkah baiknya output pendidikan mampu untuk mengelola daerahnya sendiri agar kondisi growth yang dirasakan oleh semua pihak di semua sektor di semua wilayah akan dapat terpenuhi. Tidak seperti dewasa ini dimana growth hanya dirasakan oleh segelintir orang yang ekonominya menengah keatas dan mayoritas tinggal di Pulau Jawa. Sekali lagi, dibutuhkan aksi nyata pemerintah untuk mampu memperbaiki pendidikan di seluruh wilayah di Indonesia demi tercapainya suatu pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
21
B. KAITAN INCLUSIVE GROWTH DENGAN KETENAGAKERJAAN Berbicara mengenai inclusive growth berarti berbicara mengenai pertumbuhan yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan setiap individu ataupun rumah tangga dalam suatu perekonomian. Kesejahteraan tersebut dapat dicapai dengan: 1. Membenahi pos-pos seperti pendidikan dan kesehatan yang mampu meningkatkan
kualitas
human
capital—dalam
artian
menciptakan
kesamarataan baik dalam kemudahan akses maupun kesetaraan kualitas—yang pada akhirnya mampu menaikkan produktivitas per individu sehingga dapat berkontribusi lebih untuk perekonomian. 2. Membenahi sektor lapangan kerja utama yang dapat secara langsung mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga melalui peningkatan pendapatan per rumah tangga. Dalam hal ini, poin kedua berkaitan erat dengan ketenagakerjaan. 1. Permasalahan dan Isu Ketenagakerjaan di Indonesia 1.1. Profil Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka Angkatan kerja merupakan orang – orang yang berusia lebih dari 15 tahun, dan sedang mencari pekerjaan ataupun bekerja. Angka angkatan kerja terdiri dari angka pengangguran dan jumlah penduduk yang bekerja. Penduduk yang berusia 15 tahun ke atas di Indonesia dari tahun ke tahun sebenarnya memiliki jumlah yang relatif meningkat, begitu pula dengan angkatan kerjanya. Sebagai contoh, pada tahun 2004, jumlah angkatan kerja di Indonesia hanya sebanyak 103.973.387 jiwa. Sedangkan pada paruh kedua tahun 2013, jumlah tersebut meningkat hingga mencapai angka 118.192.778 jiwa. Peningkatannya cukup banyak, yakni sekitar 15 juta jiwa. Dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tersedia, maka supply terhadap labor pun meningkat.
Berikut penyajian data mengenai angkatan kerja di Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2013:
22
Grafik 1. Jumlah Angkatan Kerja Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2013)
Dalam grafik tersebut, dapat terlihat bahwa jumlah dari baik penduduk yang berusia 15 tahun ke atas maupun angkatan kerja yang tersedia cenderung relatif meningkat dari setiap tahunnya. Selain itu, antara penduduk berusia 15 tahun ke atas dan angkatan kerja yang tersedia, terdapat jarak. Selisih ini merupakan penduduk yang berusia di atas 15 tahun tetapi bukan angkatan kerja, melainkan mereka yang melanjutkan pendidikan (bersekolah), menikah, ataupun memiliki kegiatan lainnya.
Dari segi jumlah penduduk dan angkatan kerja, Indonesia memiliki jumlah yang cukup untuk memenuhi demand terhadap labor force yang dibutuhkan. Namun demikian, tingkat pendidikan dari penduduknya yang masih cukup rendah menyebabkan penduduk tersebut tidak dapat memenuhi demand terhadap labor force pada pasar ketenagakerjaan. Surplus tenaga kerja inilah yang menimbulkan unemployment di Indonesia.
23
Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang memiliki status bekerja, dan memiliki status pengangguran terbuka. Berikut penyajian proporsi antara penduduk yang bekerja dan pengangguran terbuka: Tahun
Angkatan Kerja (Jiwa)
TPAK (%)
Bekerja (Jiwa)
2004 103 973 387 67,55 93 722 036 2005 105 857 653 66,79 93 958 387 2006 106 388 935 66,16 95 456 935 2007 109 941 359 66,99 99 930 217 2008 111 947 265 67,18 102 552 750 2009 113 833 280 67,23 104 870 663 2010 116 527 546 67,72 108 207 767 2011 117 370 485 68,34 109 670 399 2012 118 053 110 67,88 110 808 154 2013 118 192 778 66,90 110 804 041 Tabel 1. Jumlah Angkatan Kerja, TPAK, Jumlah
Pengangguran TPT Terbuka (%) (Jiwa) 10 251 351 9,86 11 899 266 11,24 10 932 000 10,28 10 011 142 9,11 9 394 515 8,39 8 962 617 7,87 8 319 779 7,14 7 700 086 6,56 7 244 956 6,14 7 388 737 6,25 Bekerja, Jumlah Pengangguran
Terbuka, dan TPT Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2013)
Grafik 2. Jumlah Angkatan Kerja, Jumlah Bekerja, Jumlah Pengangguran Terbuka Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2013)
Dari seluruh angkatan kerja yang tersedia, tidak seluruhnya terserap di dalam pasar tenaga kerja. Tenaga kerja yang tidak terserap inilah yang menimbulkan pengangguran. Sejak tahun 2004 hingga 2013 paruh kedua, pengangguran sempat
24
mengalami peningkatan dan kemudian menurun kembali sampai pada tahun 2013. Serta diikuti pula dengan persentase TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) yang menurun. Hal ini dapat disebabkan karena kualitas dari SDM tenaga kerja tersebut sendiri sudah meningkat, dan diikuti dengan peningkatan demand terhadap tenaga kerja.
Grafik 3. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2013) Data tersebut menunjukkan fakta-fakta menarik di mana kategori ―Tidak/belum pernah sekolah‖ memegang presentase paling sedikit dalam pengangguran terbuka. Sebaliknya, lulusan tingkat pendidikan yang lebih tinggi seperti universitas memiliki porsi yang lebih besar, bahkan lulusan SLTP dan SLTA Umum menjadi penyumbang penganggur terbuka yang paling tinggi. Fenomena ini erat kaitannya dengan tenaga kerja sektor informal yang dapat didefinisikan sebagai tenaga kerja yang bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak. Ciri-ciri kegiatan-kegiatan informal adalah mudah masuk—artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini, bersandar
pada sumber daya 25
lokal—biasanya usaha milik keluarga, operasi skala kecil dan padat karya, keterampilan yang digunakan diperoleh dari luar sistem formal sekolah, dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. Dalam keseharian, PKL, tukang becak, pedagang pasar, dan buruh tani menjadi contoh-contoh pekerja dalam sektor informal. Sementara itu, sektor lapangan kerja pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan merupakan sektor yang menjadi basis pekerja informal. Persentase jumlah pekerja dalam sektor formal dan informal tahun 2006-2008 disajikan dalam tabel berikut. Pekerja (%)
2006 Laki-
Perempuan
laki
2007 Laki-
Perempuan
laki
2008 Laki-
Perempuan
laki
Formal
32.92
25.80
33.15
25.80
34.08
26.46
Informal
67.08
74.20
66.85
74.20
65.92
73.54
Total
100
100
100
100
100
100
Tabel 2. Tabel Pekerja Formal dan Informal Menurut Jenis Kelamin Tahun 20062008 (Source: Sakernas, 2009)
Berdasarkan data di atas, ketenagakerjaan di Indonesia jelas masih didominasi oleh sektor informal. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sektor ini tidak membutuhkan keterampilan khusus sehingga pekerja sektor informal biasanya merupakan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Oleh karena itu, kategori-kategori seperti ―Tidak/belum pernah sekolah‖ maupun ―Belum/tidak tamat SD‖ menyumbang persentase yang relatif kecil dalam pengangguran terbuka. Mereka memang tidak tergolong menganggur, tetapi mereka berkerja di pekerjaan yang tidak memberikan penghasilan tetap dan tidak memiliki keamanan kerja (job security). Kemajuan perekonomian sebuah negara sendiri biasanya ditandai dengan adanya tranformasi pekerja, dari dominasi pekerja sektor informal (blue collar) ke pekerja sektor formal (white collar).
Peningkatan jumlah pekerja sektor informal di perkotaan utamanya disebabkan oleh urbanisasi. Pada awalnya, penduduk pedesaan pindah ke perkotaan karena terinsetif oleh tingginya tingkat upah relatif. Sesampainya di perkotaan, mereka menghadapi tingginya kualifikasi pendidikan dan keterampilan pada pekerjaan-
26
pekerjaan formal. Kondisi ini kemudian memaksa mereka untuk terjun ke sektor informal dan menghadapi ketidakstabilan penghasilan. Di sisi lain, sektor informal di pedesaan didominasi oleh kaum petani.
Sementara itu, lulusan SLTA Umum maupun universitas berkontribusi relatif lebih besar dalam angka penganggguran terbuka dibanding mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal karena menghadapi dilema dan kompetisi yang lebih ketat. Mereka merasa telah memiliki kualifikasi yang lebih tinggi untuk bekerja di sektor formal sehingga cenderung memilih untuk menganggur hingga mendapat panggilan kerja dibanding terjun ke sektor informal.
1.2. Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Indonesia memiliki beberapa macam sektor utama dalam ketenagakerjaan. Namun, yang pada umumnya selalu digunakan hanyalah sebanyak 9 sektor utama. Sektor–sektor tersebut antara lain: 1.) Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan 2.) Pertambangan dan Penggalian 3.) Industri 4.) Listrik, Gas, dan Air 5.) Konstruksi 6.) Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi; 7.) Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi; 8.) Lembaga Keuangan, Real Estate, Lembaga Persewaan, dan Jasa Perusahaan 9.) Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 10.) Sektor lainnya
27
Grafik 4. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Utama (Source: Sakernas, BPS 2014)
Berdasarkan grafik di atas, sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan merupakan salah satu sektor perekonomian yang menyerap tenaga kerja yang cukup besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal ini dikarenakan potensi Indonesia pada perspektif agraris memang cukup tinggi dan telah menjadi salah satu sektor paling utama dalam perekonomian Indonesia. Dapat dilihat, pada sektor ini jumlah tenaga kerjanya masih terbilang cukup banyak, yakni sekitar 40 juta orang. Namun demikian, semenjak tahun 2011 jumlah tenaga kerja pada sektor ini mulai mengalami penurunan yang berarti. Salah satu penyebab terjadinya penurunan tenaga kerja pada sektor ini adalah maraknya konversi lahan di daerah produksi, contohnya di Pulau Jawa. Dengan adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan industri, maka secara otomatis tenaga kerja di bidang pertanian juga mengalami penurunan yang cukup berarti. Di sisi lain, sektor ini juga merupakan sarang pekerja informal. Suatu hal yang
28
disayangkan ketika sektor yang menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia adalah sektor yang tidak stabil dan bahkan cenderung berupah rendah.
Sementara itu, sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi berada pada tingkat kedua tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja. Jika kita perhatikan, pergerakan grafiknya relatif terus meningkat dari tahun 2004 hingga tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa perdagangan Indonesia cenderung membaik dari tahun ke tahun dan oleh karena itu dapat menjadi salah satu sektor andalan pula dalam penyerapan tenaga kerja. Penyebab meningkatnya tenaga kerja yang bergerak di bidang ini adalah tidak diperlukannya prasyarat pendidikan yang tinggi, sehingga sesuai dengan kadar pendidikan masyarakat Indonesia yang masih relatif rendah.
Sektor lain yang penyerapan tenaga kerjanya juga relatif meningkat adalah jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan, serta sektor industri. Kedua sektor ini semenjak tahun 2004 hingga tahun 2013 mengalami kenaikan, tetapi kenaikan dari sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan lebih besar dibandingkan dengan kenaikan di sektor industri. Pada sektor–sektor selain yang tersebut di atas, tingkat tenaga kerjanya relatif sama dari tahun ke tahun. Tidak ada kenaikan ataupun penurunan yang begitu berarti.
Perlu dilakukan penelitian yang lebih jauh untuk menyimpulkan apakah pergeseran sektor utama ketenagakerjaan dari basis agraris ke basis industri dan perdagangan merupakan sinyal yang positif atau negatif. Apabila pergeseran ini disertai peningkatan pendapatan dan keamanan kerja, hal ini bisa jadi mengindikasikan adanya kemajuan perekonomian dan pendidikan, di mana jumlah pekerja white collar bertambah dan jumlah pekerja blue collar menurun.
29
Tabel 3. Distribusi Presentase Pekerja yang Pernah Pindah Pekerjaan Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Sebelumnya dan Lapangan Pekerjaan Utama Sekarang, 2012 (Source: BPS 2013)
Sementara itu, tabel di atas memperkuat fakta bahwa sektor pertanian menjadi sektor yang paling banyak ditinggalkan pada tahun 2012, yakni sebesar 28.37%. Selain konversi lahan, rendahnya upah tenaga kerja di sektor ini juga menjadi faktor utama semakin sedikitnya tenaga kerja yang tersisa. Sementara itu, sedikit tenaga kerja dari sektor listrik, gas, dan air bersih serta pertambangan dan penggalian yang keluar dari sektornya. Berarti, tenaga kerja dalam sektor tersebut sudah merasa nyaman dengan pekerjaan yang mereka miliki sehingga tidak berkeinginan untuk berpindah sektor. Lebih dalam lagi, diperlukan keterampilan khusus untuk bekerja di sektor pertambangan dan penggalian. Spesialisasi yang jelas ini menyebabkan tenaga kerja sektor tersebut merasa lebih diuntungkan apabila bertahan di sektornya. Selain itu, perpindahan kerja dalam satu sektor lebih banyak terjadi pada pertanian (13.15%) karena terbatasnya kemampuan untuk berpindah ke sektor lain dan industri pengolahan (8.14%).
30
Di sisi lain, perpindahan tenaga kerja masih mengarah ke tiga sektor utama, yakni pertanian (26.39%), perdagangan, hotel, dan restoran (21.78%), dan industri pengolahan (17.7%). Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga sektor di atas memiliki potensi dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini berbanding lurus dengan track record ketiga sektor bersangkutan sebagai penyumbang terbesar PDB Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
1.3. Lulusan SMA vs Lulusan SMK SMK sudah mulai menjadi salah satu tren yang menjamah pikiran rakyat Indonesia. Pola pikir rakyat Indonesia yang tidak seluruhnya ingin berlama–lama menuntut ilmu, lebih cenderung untuk memilih SMK sebagai kelanjutan jenjang pendidikannya dari tingkat SMP.
Berbeda dengan SMK, SMA mendidik lulusannya untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, lulusan SMA hanya diberikan ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang bersifat teoritis, tidak seperti SMK. Pada SMK, ilmu yang diberikan bersifat aplikatif dan langsung melibatkan praktik di bidang pekerjaannya masing–masing. SMK memang mempersiapkan luusannya untuk langsung bekerja, tidak seperti SMA. SMK membekali lulusannya mental untuk siap bekerja setelah mereka lulus nanti.
Beberapa tahun belakangan, pemerintah mulai menggencarkan peningkatan kuantitas dari SMK yang terdapat di Indonesia. Rencananya, pemerintah akan meningkatkan jumlah SMK yang terdapat diseluruh Indonesia dengan rasio 70:30 dengan SMA. Dan pada saat ini, jumlah SMK yang terdapat di Indonesia sudah memiliki rasio sebesar 51:49 dengan SMA. Penggencaran ini juga dapat dilakukan dengan maksud untuk menjawab kebutuhan perusahaan akan tenaga kerja murah bagi perusahaannya.
Tujuan utama dari pendirian SMK adalah untuk mengurangi angka pengangguran yang terdapat di Indonesia. Walaupun memang dengan pendirian SMK dapat mengurangi tingkat pengangguran yang terdapat di Indonesia, namun nyatanya hal
31
tersebut belum begitu efektif dirasakan oleh seluruh kalangan. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena adanya beberapa masalah yang dihadapi oleh SMK–SMK yang terdapat di Indonesia. Yang pertama adalah masalah peminatan dari publik terhadap SMK. Tidak sedikit publik yang menilai SMK kurang baik. Pandangan ini muncul dengan konotasi anak SMK sekarang sebagai ―Dalang Tawuran‖. Tidak hanya itu, banyak perilaku–perilaku negatif lainnya yang menyebabkan buruknya pandangan masyarakat teradap SMK dan menyebabkan kurangnya peminat dari SMK itu sendiri. Permasalahan yang kedua adalah rata–rata dari lulusan SMK di Indonesia yang belum terlalu bagus. Padahal, sudah cukup banyak perusahaan–perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja dengan upah yang tidak terlalu mahal, yakni dengan mempekerjakan lulusan SMK. Sayangnya, lulusan SMK justru kebanyakan belum terlalu kompeten di bidang pekerjaannya.
Permasalahan berikutnya adalah terkait dengan kualitas dari SMK itu sendiri. Pemerintah seharusnya tidak hanya meningkatkan jumlah dari kuantitas SMK-nya saja, tetapi juga meningkatkan kualitas dari SMK–SMK yang terdapat di seluruh Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui komponen–komponennya, seperti tenaga pengajar, kurikulum, infrastruktur, dan kebijakan–kebijakan yang terkait dengan pendidikan, khusunya pada tingkat SMK.
Hal terakhir yang menjadi tantangan pemerintah adalah untuk kembali membentuk opini publik mengenai SMK. Pemerintah harus dapat membentuk pola pikir dari masyarakat agar mau untuk mengikuti pendidikan pada jenjang SMK.
1.4. Bonus Demografi dan Ketenagakerjaan Bonus demografi kerap diinterpretasikan sebagai peluang bagi Indonesia di masa depan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Perlu diketahui, bonus demografi adalah keuntungan ekonomi yang disebabkan oleh menurunnya kelahiran jangka panjang (Endang Srihadi, 2013). Salah satu gejala yang terlihat adalah jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang akan melonjak sehingga melebihi jumlah penduduk usia nonproduktif (<15 tahun dan >64 tahun). Hal ini terkait dengan dependency ratio, atau rasio yang menyatakan jumlah
32
penduduk usia nonproduktif yang ditanggung oleh usia produktif. Di tahun 20202035 mendatang, Indonesia diperkirakan akan memiliki dependency ratio sebesar 0,4-0,5 yang berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif hanya menanggung 40-50 orang penduduk usia nonproduktif. Hal ini tentu jauh berbeda dengan kondisi di tahun 70-an, di mana dependency ratio Indonesia berkisar di angka 0,80,9.
Grafik 5. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2010-2035 (Source: Sakernas, BPS 2014)
Grafik 6. Dependency Ratio Indonesia Tahun 2010-2035 (Source: Sakernas, BPS 2014) Sedikitnya, ada 4 prasyarat utama agar bonus demografi dapat diraih (Sonny Harry B. Harmadi, 2013), di antaranya: 1.) Pasar tenaga kerja harus mampu
33
menyerap seluruh tenaga kerja dalam negeri. Jika tidak, gejolak sosial seperti peningkatan angka kriminalitas sangat mungkin muncul ke permukaan. Implikasi lain dari momentum ini tidak lain adalah kenaikan jumlah penduduk miskin yang merupakan hasil dari upah tidak layak yang didapat oleh tiap rumah tangga. Sebenarnya, hal ini dapat diatasi dengan memaksimalkan jumlah pekerja usia produktif yang dapat dikirim ke negara lain. Diperkirakan, di saat 50-60% penduduk Indonesia berada di tataran usia produktif sepuluh tahun mendatang, penduduk Amerika Utara, Eropa, Asia Timur, dan Australia justru harus menanggung 50-60% penduduk usia lanjut. Negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Korea Selatan sudah mengantisipasi hal tersebut dengan meminta pemerintah RI untuk mengirim sejumlah tenaga kerja pada dasawarsa mendatang. 2.) Kesadaran untuk menabung. Esensi utama dari bonus demografi sebenarnya adalah jumlah penghasilan yang dapat dihasilkan setiap kepala penduduk usia produktif dan dapat dialokasikan untuk saving. Seperti yang kita tahu, private saving adalah salah satu modal investasi yang memiliki kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi/GDP. Semakin besar jumlah saving yang dialokasikan penduduk, semakin besar investasi yang dapat diciptakan, dan semakin tumbuh perekonomian dalam negeri. Apabila jumlah rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rekening tabungan masih tetap bertengger di angka 49% seperti sekarang, bonus demografi bisa jadi hanya angan-angan semata. 3.) Human capital atau sumber daya manusia yang mumpuni, yang berarti kuantitas harus berbanding lurus dengan kualitas. Sesuatu yang patut disayangkan jika nantinya sebagian besar penduduk Indonesia yang seharusnya mampu berkontribusi lebih dalam perekonomian justru tidak mendapat pekerjaan yang layak dikarenakan taraf pendidikan yang rendah. Tanpa pendidikan yang mampu menunjang kualitas sumber daya manusia, jumlah pengangguran justru akan bertambah seiring dengan kualifikasi pekerja yang tidak terpenuhi. Kualitas tersebutlah yang menjadi titik berat perhatian negeri ini nantinya, bukan hanya kuantitas. Dan, 4.) Program Keluarga Berencana yang harus tetap berjalan.
Apabila keempat prasyarat tersebut tidak terpenuhi, momentum bonus demografi justru dapat berbalik menjadi ‗bencana demografi‘. Belum lagi dengan fakta bahwa di tahun 2050, dependency ratio Indonesia akan kembali naik menjadi 0,73. Jika saving tidak berhasil dilakukan di dasawarsa mendatang, 73 orang 34
tanggungan penduduk usia nonproduktif akan benar-benar menjadi beban 100 penduduk usia produktif ke depannya. Periode 2014-2019 berada pada masa transisi menuju puncak bonus demografi, di mana pemerintah periode tersebut bertanggung jawab untuk turut memenuhi empat prasyarat di atas agar Indonesia dapat benar-benar merasakan manfaat fenomena demografi yang langka tersebut. 1.5. Entrepreneurship Entrepreneurship dipandang sebagai salah satu solusi dalam mengurangi angka pengangguran. Sayangnya, jumlah entrepreneur di Indonesia hanya berjumlah 1,5% dari total penduduk, kalah cukup jauh dari Malaysia yang sudah mencapai 4%, Thailand 4,1%, dan Singapura 7,2 persen (World Bank, 2008).
Grafik 7. Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2014)
Dapat dilihat bahwa jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang termasuk ke dalam kategori berusaha sendiri di Indonesia terus mengalami fluktuasi. Lonjakan yang cukup signifikan terjadi di tahun 2006 dan terus mengalami tren meningkat hingga tahun 2010. Namun demikian, jumlahnya kembali menurun cukup drastis di tahun 2011. Sementara itu, kategori buruh/karyawan/pegawai masih mendominasi status pekerjaan utama di Indonesia dengan adanya kenaikan tajam
35
sejak tahun 2009. Hal ini dapat terjadi karena dua hal: (1) Masih kurangnya budaya entrepreneurship di Indonesia, dan (2) Lingkungan bisnis yang kurang mendukung sehingga tidak cukup untuk menginsentif masyarakat dalam memulai usaha baru. Seperti yang diperlihatkan tabel di bawah, Indonesia merupakan negara yang memiliki lingkungan bisnis paling buruk jika dibandingkan dengan tiga negara tetangga ASEAN lainnya. Indeks kemudahan berusaha di Indonesia berada di angka 128—sangat terbelakang apabila dibandingkan dengan Malaysia (12), Thailand (18), dan terlebih lagi Singapura (1). Indonesia juga membutuhkan waktu terlama secara keseluruhan untuk memulai sebuah usaha dibandingkan ketiga negara tersebut. Sementara itu, dari aspek ketersediaan informasi untuk melakukan kredit, Indonesia sudah tergolong cukup baik meskipun masih kalah dari Malaysia dan Thailand. Country Business Environment Indicators
Indonesia Malaysia Thailand Singapore
Ease of doing business index (1=most business-friendly regulations)
128
12
18
1
Time required to enforce a contract (days)
498
425
440
150
Time required to register property (days)
22
14
2
21
Time required to start a business (days)
47
6
29
3
Time to prepare and pay taxes (hours)
259
133
264
84
4
6
5
4
Credit depth of information index (0=low to 6=high)
Tabel 4. Business Environment Indicators, 2012 (Source: World Bank, 2014) Budaya entrepreneurship adalah budaya yang perlu dibangun sebagai salah satu bentuk solusi dalam mengatasi pengangguran di Indonesia. Hal ini terkait dengan penciptaan lapangan kerja (job creation) yang kemudian diharapkan mampu menambah kapasitas penyerapan tenaga kerja. Pemerintah dalam hal ini memegang peran penting dalam menciptakan regulasi dan birokrasi yang dapat menginsentif masyarakat untuk mulai berusaha sendiri.
2. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
36
Permasalahan utama ketenagakerjaan di Indonesia secara umum masih berputar di isu pengangguran dan bagaimana cara mengatasinya. Dalam hal ini, pemerintah dapat berperan dalam melakukan pelatihan dan pendidikan yang mengarah langsung pada kebutuhan industri masa kini sehingga mismatch antara permintaan dan penawaran tenaga kerja dapat diminimalisasi. SMK merupakan salah satu alat yang perlu dikembangkan secara khusus untuk memenuhi permintaan tenaga kerja berdasarkan masing-masing sektor, selain juga perlu adanya peningkatan dalam kualitas pelatihan tenaga kerja. Penanganan khusus dalam dua hal tersebut diharapkan mampu untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang bermuara pada naiknya tingkat upah yang didapat. Kenaikan upah tenaga kerja tersebut pada akhirnya
akan
menurunkan
ketimpangan
pendapatan
dan
menciptakan
petumbuhan inklusif.
Selain dari sisi produktivitas tenaga kerja, pemerintah juga disarankan untuk melakukan revitalisasi di sektor pertanian mengingat sektor tersebut masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja utama di Indonesia. Selain sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan juga perlu mendapat perhatian khusus sebagai sektor potensial penyerap tenaga kerja dan penyumbang terbesar GDP Indonesia. Penanganan langsung sektor-sektor terkait juga harus dijalankan beriringan dengan perbaikan kondisi lingkungan berusaha yang masih relatif belum mendukung. Reformasi regulasi dan birokrasi merupakan suatu urgensi yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menginsentif masyarakat untuk mulai menciptakan lapangan pekerjaan baru yang pada akhirnya akan mereduksi angka pengangguran.
Dominasi pekerja sektor informal menjadi isu lain dalam ketenagakerjaan Indonesia. Para pekerja di sektor ini tidak terekam dalam pengangguran terbuka, tetapi kesejahteraan mereka perlu mendapat perhatian khusus. Ketidakpastian penghasilan dan keamanan kerja menjadikan pekerja sektor informal yang ratarata tidak pernah mengenyam pendidikan formal menjadi begitu rentan. Oleh karena itu, pembangunan berbasis pedesaan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan untuk meredam adanya perpindahan penduduk desa ke kota. Apabila upah riil di pedesaan meningkat, pertumbuhan sektor informal di kota juga akan
37
melambat. Revitalisasi sektor pertanian kembali menjadi solusi untuk mengurangi jumlah pekerja sektor informal di desa.
Di sisi lain, kehadiran bonus demografi menjadi tantangan yang akan dihadapi Indonesia ke depannya. Pemerintah harus mampu mengakomodir fenomena kependudukan ini karena jika tidak, bukan tidak mungkin bonus demografi hanya akan berimplikasi pada meningkatnya jumlah pengangguran dan kriminalitas. Kembali lagi, pemerintah harus memastikan jumlah lapangan kerja yang tersedia cukup untuk menampung tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu, berbagai aspek mulai dari pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, koordinasi industri-industri terkait, revitalisasi sektor-sektor lapangan kerja utama, dan penciptaan lingkungan berusaha yang kondusif perlu segera dilakukan.
C. KAITAN INCLUSIVE GROWTH DENGAN PERTANIAN 1. Optimalisasi Pertanian dalam Mewujudkan Pertumbuhan yang Adil 1.1. Kondisi Pengelolaan Lahan Pertanian di Indonesia Indonesia adalah negara agraris dengan pertanian sebagai salah satu sektor utama dalam pembangunan bangsa. Hampir seluruh kegiatan perekonomian Indonesia berpusat pada sektor pertanian. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani sehingga hal ini menjadikan sektor pertanian sebagai sektor penting dalam roda struktural perekonomian Indonesia. Namun, sampai saat ini Indonesia masih mengimpor bahan pangan, terutama untuk jenis makanan-makanan pokok. Padahal Indonesia memiliki sumber daya manusia yang besar, terutama di sektor pertanian, dan memiliki lahan yang begitu luas pula. Produksi komoditi padi mengalami penurunan produksi. Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton tahun 2011 dan lebih rendah 1,07% dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99% lebih rendah dari tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08% lebih rendah dibandingkan 2010 (Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011).
Lahan sawah memiliki fungsi strategis sebagai penyedia bahan pangan utama bagi penduduk Indonesia. Data luas baku lahan sawah untuk seluruh Indonesia 38
menunjukan bahwa sekitar 41% terdapat di Jawa, dan sekitar 59% terdapat di luar Jawa (BPS, 2006). Data menunjukkan bahwa dengan kebutuhan pangan yang bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk berbagai sektor, konversi lahan sawah cenderung mengalami peningkatan, di lain pihak pencetakan lahan sawah baru (ekstensifikasi) mengalami perlambatan (Sudaryanto, 2003; Irawan, 2004; dan Agus et al., 2006). Hal ini terlihat dengan adanya ketidakseimbangan antara potensi pertanian Indonesia dengan produkivitas hasil pertanian.
Lahan sawah yang berbahan induk volkan seperti tanah-tanah sawah di Jawa secara alami lebih subur bila dibanding dengan tanah-tanah sawah daerah lain yang berbahan induk bahan tersier. Adanya kesuburan tanah alami yang relatif lebih baik dan ditunjang oleh adopsi teknologi budidaya yang lebih maju, mengakibatkan terjadinya kesenjangan produktivitas yang tinggi antara lahan sawah di Jawa dan di luar Jawa (Subagjo et al., 2000). Namun, sebagai dampak adanya konversi lahan sawah yang terjadi secara alamiah dan sulit untuk dihindari, pengembangan lahan sawah di luar Jawa harus lebih diintensifkan. Perlambatan ekstensifikasi ditambah dengan desakan terhadap konversi lahan sawah untuk pembangunan sektor lain menyebabkan luas baku lahan sawah mengalami penyusutan dari sekitar 8,3 juta ha pada tahun 1990 menjadi sekitar 7,8 juta ha pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 1990 dan 2005). Selain itu, terdapat pula penyusutan 5,04 juta keluarga tani dari 31,17 juta keluarga per tahun 2003, menjadi 26,13 juta keluarga pada tahun 2013 (Badan Pusat Statistik, Mei 2013) Artinya, jumlah keluarga petani mengalami penyusutan rata-rata 500 ribu rumah tangga per tahun.
Oleh karena itu, terdapat pengelolaan lahan pertanian abadi, sebagai salah satu sasaran program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden RI pada 11 Juni 2007. Agenda Pokok Revitalisasi Pertanian adalah membalik tren penurunan dan mengakselerasi peningkatan produksi serta nilai tambah usaha pertanian. Campur tangan pemerintah terhadap kepemilikan lahan pertanian masyarakat perlu dilakukan untuk terus menciptakan target lahan pertanian abadi. Campur tangan pemerintah dilakukan dengan membeli lahan potensial di kawasan pertanian apabila petani pemilik lahan berniat 39
menjual lahan yang dimilikinya. (Anton Apriyantono, 2007) Pasca pemerintah membeli lahan pertanian, maka kondisi atas lahan tersebut menjadi lahan hak guna pakai untuk dimanfaatkan masyarakat petani sehingga para petani mampu melanjutkan kembali produksi pertanian.
Penguasaan lahan pertanian oleh pertanian bertujuan untuk melindungi kawasan lahan pertanian pangan abadi (UU No. 26 Tahun 2007). Usaha pemerintah ini dilakukan untuk mengejar program peningkatan produksi beras nasional sehingga terjaminnya ketersediaan beras nasional yang mencapai 2 juta ton. Upaya perlindungan lahan pertanian produktif dan potensial wajib dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, hingga pemerintah kabupaten/ kota, antara lain, dengan cara memberikan insentif kepada petani yang meliputi insentif fiskal, pajak bumi dan bangunan, sarana prasarana pertanian, serta memberikan kemudahan pembuatan sertifikat pada bidang tanah yang bersangkutan, pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten/ kota harus melakukan penataan kawasan pedesaan menjadi kawasan pertanian abadi sebagai bagian dari perencanaan wilayahnya masing-masing. Oleh karena itu, tidak ada lagi benturan antara peraturan daerah secara otonom dengan peraturan pemerintah pusat setelah penerapan regulasi pertanian abadi.
Untuk mengoptimalisasi pengelolaan lahan pertanian di Indonesia, diperlukan adanya revitalisasi lahan. Revitalisasi lahan adalah salah satu perencanaan yang telah tercantum pada Rencana Strategis Pertanian Tahun 2010-2014 yang perlu ditingkatkan lagi penerapannya, yang terdiri dari: a. Audit Lahan b. Mengimplementasikan secara efektif UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dengan Peraturan Pemerintah yang merupakan perangkat hukum untuk melindungi lahan pangan produktif dan menekan laju konversi lahan. c. Melakukan upaya-upaya perlindungan, pelestarian, dan perluasan areal pertanian terutama di luar Jawa sebagai kompensasi alih fungsi lahan terutama di Jawa: 1) melakukan upaya pengendalian alih fungsi lahan melalui penyusunan dan penerapan perangkat peraturan perundangan. 40
2) melestarikan dan/atau mempertahakan kesuburan lahan-lahan produktif dan intensif. 3) melakukan upaya rehabilitasi dan konservasi lahan terutama pada lahan pertanian Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu. 4) melakukan upaya reklamasi dan optimasi lahan pada lahan-lahan marginal dan sementara tidak diusahakan atau bernilai Indeks Pertanaman (IP) rendah. d. Mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian terlantar yang meliputi lahan pertanian yang selama ini tidak dibudidayakan dan kawasan hutan yang telah dilepas untuk keperluan pertanian tetapi belum dimanfaatkan, atau lahan pertanian yang masih dalam kawasan hutan (wewenang sektor kehutanan). e. Membantu petani dalam sertifikasi lahan, mendorong pengelolaan dan konsolidasi lahan, advokasi petani dalam pengelolaan warisan agar tidak terbagi menjadi lahan sempit dalam upaya mengurangi segmentasi lahan. Upaya-upaya tersebut dimaksudkan untuk menekan laju alih fungsi lahan pertanian dan segmentasi lahan, serta mendorong pengembangan usaha tani berskala ekonomi. f. Mempertahankan kesuburan tanah dan memperbaiki kondisi lahan marjinal dengan upaya yang dilakukan: 1) Melakukan
perbaikan
dan
pencegahan
kerusakan
tanah
dengan
menerapkan teknologi konservasi tanah dan air untuk mengurangi erosi dan mencegah longsor serta meningkatkan produktivitas lahan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.47/Permentan/OT.140/10/2006, tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. 2) Melakukan penanaman tanaman pohon (buah-buahan) dan perkebunan) di daerah kawasan aliran sungai, dan turut serta dalam sistem komunikasi dan koordinasi lintas sektor dalam upaya mengurangi pembabatan dan kerusakan hutan dan rangka memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumberdaya lahan dan air serta lingkungan di kawasan hulu. 3) Mendorong petani untuk menggunakan sistem pemupukan berimbang yang diintegrasikan dengan pupuk organik, dan menerapan praktek budidaya pertanian yang tepat guna dan ramah lingkungan. g. Optimalisasi sumber daya air yang sudah ada dan pengembangan sumber air alternatif baik tanah maupun permukaan, melalui: 41
1) Rehabilitasi, optimalisasi, dan peningkatan/pengembangan jaringan irigasi baik tingkat utama maupun usahatani. 2) Upaya peningkatan efisiensi penyaluran dan pemanfaatan air. 3) Perbaikan struktur fisik tanah dan penambahan bahan organik, serta penerapan berbagai teknologi koservasi tanah dan air. 4) Pengembangan dan memantapkan kelembagaan petani pemakai air, serta meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, penyadaran, kepedulian dan partisipasi petani.
1.2. Komparasi Pengelolaan Lahan Pertanian di Indonesia dengan Pengelolaan Lahan di Negara Lain Lahan pertanian kawasan Amerika Serikat mencapai 47% dari luas wilayahnya dengan menggunakan sistem monokultur (satu kawasan satu jenis tanaman). Amerika Serikat adalah salah satu negara maju yang telah berpengalaman menerapkan pengolahan lahan pertanian dalam skala luas menggunakan mesin pertanian modern dan telah memproduksi mesin-mesin pertaniannya sendiri. Di Amerika, traktor dapat berfungsi sebagai penarik alat-alat lainnya, seperti mesin pencangkul, pemupuk, penanam benih, pemotong, dan pemanen. Bahkan, beberapa traktor dapat menjadi alat penggerak untuk mesin lainnya. Dengan adanya alat atau mesin-mesin modern ini, kegiatan pertanian menjadi lebih efektif dan efisien. Para petani di sana juga menggunakan pesawat terbang kecil untuk menyemprotkan antihama atau menyirami ladang-ladang mereka.
Komoditas makanan yang dulunya belum bisa diproduksi di Amerika, sekarang sudah dapat diproduksi. Salah satunya adalah kedelai, yang baru mulai diproduksi di Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Amerika Serikat kini menjadi salah satu pengekspor kedelai terbanyak dan salah satu importir kedelai Amerika adalah negara kita sendiri, Indonesia. Dengan adanya teknologi pertanian, tanpa membutuhkan sumber daya manusia yang banyak dan lahan yang luas pun Amerika dapat memproduksi pangan dengan skala besar.
Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini adalah kelemahan dalam sistem alih teknologi. Apabila Indonesia menerapkan teknologi pertanian dalam mengelola lahan pertaniannya, maka produktivitas pertanian dalam negeri akan melonjak 42
pesat dan dapat meningkatkan ketahanan serta kemandirian pangan yang selama ini menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian Indonesia, baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan, harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di kawasan ASEAN. Namun, tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Indonesia, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini, peran berbagai lembaga sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian.
Dengan adanya kemajuan teknologi di pertanian Indonesia, para petani akan lebih sejahtera dan pengelolaannya lebih mudah yang didukung pula dengan potensi pertanian dan kesuburan tanah di Indonesia. Akselerasi penerapan teknologi pertanian merupakan upaya yang paling aplikatif dan paling logis apabila bangsa ini masih ingin keluar dari zona keterpurukan di sektor pertaniannya.
Optimalisasi pengelolaan lahan pertanian dengan basis teknologi modern, menjadi kunci sukses dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Untuk dapat mencapai hasil yang optimal, penggunaan berbagai peralatan modern harus segera diterapkan. Petani mendapatkan nilai tambah yang besar dengan adanya modernisasi. Produktivitas menjadi tinggi, efisien, beban ongkos petani rendah, dan nilai tukar petani akan meningkat. Contohnya, untuk menemukan bibit unggul padi, harus ada penelitian dan penyilangan benih padi, sehingga dapat dihasilkan bibit padi yang cepat panen dengan hasil yang lebih banyak dan tahan hama. 43
Begitu juga dengan pengolahan lahan. Produksi pertanian tidak akan efektif jika hanya mengandalkan tenaga pengolah lahan. Selain itu, Indonesia dihadapi kenyataan dengan terbatasnya tenaga pengolah lahan. Dengan modernisasi pertanian, waktu yang dibutuhkan juga semakin singkat. Misalnya, pengolahan lahan/sawah dengan menggunakan hand tractor, yang bukan saja mempercepat pengolahan tanah, tapi juga lebih irit tenaga. Di sisi lain, populasi kerbau semakin berkurang karena disembelih untuk dikonsumsi manusia.
Untuk menanam padi dapat menggunakan transplanter, dengan waktu tanam yang terhitung cepat. Satu hektare lahan dapat ditanami paling lama satu jam. Jauh lebih cepat dibandingkan penggunaan tenaga manusia yang membutuhkan waktu tiga sampai empat hari untuk menanami satu hektare lahan. Modernisasi peralatan juga telah dilakukan untuk memanen padi, seperti penggunaan combine harvester , yang dapat memotong padi jauh lebih cepat dibandingkan dengan cara dibabat manual. Dengan mesin tersebut, satu hektare lahan bisa dipanen dalam waktu dua jam. Sementara, dengan cara manual (dibabat) butuh waktu hingga tiga hari. Penggunaan mesin itu juga dapat mencegah kerusakan padi menjadi lebih baik, yaitu hanya 0,97 %, dibanding menggunakan alat pemotongan manual, seperti ani-ani atau sabit.
Dalam mengimplementasikan modernisasi dalam pertanian, perlu adanya kebijakan khusus serta berbagai terobosan baru dari pemerintah dalam meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri.
1.3. Sumber Daya Manusia dalam Sektor Pertanian Indonesia sebagai negara yang mengutamakan sektor agraris, ternyata setalah sekian lama merdeka, tidak juga menunjukan kesuksesan dalam bidang tersebut. Terlebih lagi masyarakat yang bekerja di sektor pertanian belum mencapai kemakmuran. Mayoritas petani di Indonesia belum merasakan kesejahteraan. Jumlah masyarakat yang bekerja di sektor pertanian (pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan) pada tahun Agustus 2013 adalah 38.068.254. Secara umum jumlah tenaga kerja Indonesia mengalami meningkatan dari 93,7 juta menjadi 110,8 juta dari tahun 2004 sampai Agustus 2013, namun masyarakat yang 44
bekerja di sektor pertanian justru turun dari 40,6 juta menjadi 38 juta. Demikian juga data persentase penduduk pada tahun 2013 (BPS, 2013) menunjukkan prosentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah bekerja di sektor pertanian.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lapangan Pekerjaan Utama Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan Lainnya TOTAL
2013
2004
Februari
Agustus
40.608.019
39.959.073
38.068.254
1.034.716 11.070.498 228.297 4.540.102
1.555.564 14.784.843 254.528 6.885.341
1.420.767 14.883.817 250.945 6.276.723
19.119.156
24.804.705
23.737.236
5.480.527
5.231.775
5.040.849
1.125.056
3.012.770
2.912.418
10.515.665
17.532.590
18.213.032
-
-
-
93.722.036
114.021.189
110.804.041
Tabel 5. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004 - 2013 (Source: BPS, 2013) Pertanian adalah kegiatan usaha yang sama saja dengan usaha lainnya, seperti sektor industri, di dalamnya bekerja kaidah-kaidah bisnis seperti pengambilan keputusan, pengelolaan sumberdaya, dan tuntutan untuk menciptakan nilai tambah. Namun, kesan yang timbul dimasyarakat adalah pekerjaan petani merupakan profesi yang identik dengan sektor marginal. Bahkan, Profesi petani sering dijadikan sebagai Unemployment Buffer atau Tandem Pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang digunakan sebagai pelindung dari status pengangguran.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Mei 2013 dari Hasil Sensus Pertanian 2013 (Data Sementara) mencatat penurunan jumlah rumah tangga di sektor pertanian.
45
BPS mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 26,13 juta, menurun dibandingkan tahun 2012 sebanyak 31,17 juta atau turun 5,04 juta dengan rata-rata penurunan 1,75 persen pertahun. Hal ini menunjukan bahwa sektor pertanian bukan lagi menjadi sektor yang menjanjikan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Masyakarat lebih tertarik bekerja dalam sektor jasa dan perdagangan dibandikan sengan sektor pertanian. Salah satu masalahnya adalah kesulitan pembiayaan usahatani dan kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen, menyebabkan banyak petani terjebak sistem ijon dan atau hutang kepada para tengkulak. Selain itu, kebingungan dalam memasarkan hasil pertanian juga menjadi masalah. Minimnya pengetahuan petani dalam berbisnis dan menditribusikan hasil pertanian membuat orang-orang menjauhi sektor pertanian.
Merujuk World Development Report 2003, penduduk desa miskin yang umumnya petani berhadapan dengan beberapa tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan/perkembangannya, yaitu : a. terbatas bahkan rusaknya sumberdaya alam, b. terbatasnya kebijakan dalam pengembangan teknologi produksi dan proses ―secondary crops‖, c. jeleknya
infrastruktur
(transportasi,
komunikasi,
energi)
dan
tidak
memadainya perhatian dari institusi pembangunan (pendidikan, kesehatan, investasi), d. marjinalnya Social budaya (kekuasaan, suara, hak tanah, tenure) dan terbatasnya kesempatan ekonomi lokal (pertanian, off-farm, kesempatran kerja di kota).
Masalah lainya adalah kurangnya kelembagaan petani di lingkup desa. Dalam Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014, petani dengan skala usaha mikro (rumah tangga) dihadapkan kepada keterbatasan aksesibilitas terhadap sumber pembiayaan, teknologi, serta pasar dan informasi pasar. Kondisi ini membutuhkan penguatan kelembagaan usaha, pembinaaan dan pendampingan serta kemudahan fasilitasi pelayanan penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan dalam proses produksi. Kelembagaan bisa dilakukan dengan membentuk koperasi desa yang memfokuskan dalam bidang pertanian. Hal ini perlu bukan saja sebagai 46
penyedia modal fisik bagi petani, tetapi juga sebagai lembaga penyampai aspirasi petani yang membutuhkan infrastuktur penunjang kepada pemerintah
Kesejahteraan petani yang belum optimal juga dikerenakan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia yang bekerja dalam sektor pertanian. Tanpa pelaku yang handal dan berkompeten, maka pembangunan pertanian tidak dapat berjalan secara optimal. Indeks kualitas SDM pertanian tampaknya lebih rendah jika dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar petani yang memang rendah. Lebih dari 70 persen petani hanya mengenyam tingkat pendidikan dasar. Dalam Renstra Kementan 2010-2014, Ada komponen SDM pertanian yang perlu dikembangkan kapasitasnya: a.
Non-aparatur yang meliputi petani/tenaga kerja pertanian dan pelaku agribisnis lainnya
b. Aparatur pertanian, baik fungsional maupun struktural yang lebih berperan sebagai fasilitator, motivator dan dinamisator dalam proses pembangunan pertanian, c. Lembaga petani pedesaan seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani (gapoktan), Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S), koperasi, Lembaga Keuangan Mikro, Kios Sarana Produksi, dan Lembaga Pemasaran.
Dari tiga komponen tersebut, komponen yang terpenting adalah petani/tenaga kerja pertanian dan pelaku agribisnis. Namun, dengan rendahnya kualitas pendidikan, petani tidak mampu bekerja secara efisien dan menggunakan teknologi yang tepat guna.
1.4. Otonomi Pertanian Perkembangan dalam perekonomian di desa merupakan kunci dalam meraih Inclusive Growth. Terlebih lagi, Mayoritas daerah di Indonesia masih berbentuk pedesaan. Dengan memajukan perekonomian dari bawah, maka pertumbuhan yang lebih merata dapat dicapai. Mayoritas penduduk desa bekerja dalam sektor pertanian.
Maka,
pertanian
memiliki
peran
utama
dalam
membangun
perekonomian di desa.
47
Indonesia sebagai negara agraris memiliki berbagai potensi pangan yang berbeda tiap daerahnya. Kebijakan dalam sektor pertanian pun tidak dapat disamaratakan tiap daerah. Karena pangan adalah hak asasi paling dasar, maka pangan harus berada dalam kendali rakyat agar pemenuhannya
dapat terjamin dan
berkelanjutan. Agar kendali atau kedaulatan pangan berada di tangan rakyat maka pangan harus dilokalisasikan agar seluruh kebutuhan pangan diproduksi sendiri, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Hal tersebut menunjukan otonomi daerah dalam sektor pertanian pun mutlak diperlukan. Kebijakan otonomi daerah memberi kebebasan kepada daerah untuk mengambil inisiatif dalam mendesain dan mengembangkan kebijakan lokal secara spesifik. Kewenangan di bidang pertanian merupakan kewenangan yang dilimpahkan pada kabupaten atau kota.
Terkait dengan hal tersebut, Saragih (2005) berpendapat bahwa dengan adanya otonomi daerah, telah diberikan kebebasan kepada regional agricultural services untuk mengambil inisiatif dalam mendesain kebijakan spesifik lokal, sementara itu pemerintah pusat melalui Menteri Pertanian bertanggung jawab hanya pada penyusunan dan manajemen strategi, kebijakan nasional dan standar-standar.
Namun, implementasi otonomi daerah dalam sektor pertanian di setiap daerah di Indonesia masih tahap pengembangan. Seperti halnya dalam sektor lainnya, terdapat ketidak sesuaian dalam rencana kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Kecenderungan umum menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah kurang berpihak pada kegiatan yang terkait dengan pembangunan pertanian. Mawardi (2004) mengidentifikasi beberapa kendala penyuluhan pertanian era otonomi daerah: a. adanya perbedaan pandangan birokrasi dan DPRD terhadap peran penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian, b. kecilnya alokasi anggaran pemerintah daerah untuk kegiatan penyuluhan pertanian c. ketersediaan dan dukungan informasi pertanian sangat terbatas, d. makin merosotnya kemampuan manajerial penyuluh.
48
D. KAITAN INCLUSIVE GROWTH DENGAN KONEKTIVITAS Inclusive growth, pada dasarnya adalah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh setiap kalangan atau setiap konteks wilayah dalam suatu Negara. Konsep inclusive growth ini juga menekankan adanya pemerataan pembangunan, sehingga setiap peningkatan – peningkatan produksi berdampak baik bukan hanya pada lokasi proses produksi melainkan bisa tersebar secara merata.
Untuk mencapai inclusive growth yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia, telah dicanangkan yang namanya Masterplan Percepatan Pembangunan Nasional (MP3EI) periode 2011-2025. Masterplan ini ditetapkan pada tahun 2011 yang lalu dan telah diimplementasikan hingga tahun 2014 ini. pelaksanaan dari masterplan ini akan mendorong Indonesia masuk ke dalam jajaran negera dengan kekuatan ekonomi besar dunia, disamping mendorong terjadinya pemerataan kesejahteraan di seluruh wilayah Indonesia.
Strategi utama dalam penerapan MP3EI adalah sebagai berikut: a. Pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi b. Penguatan konektivitas nasional c. Penguatan kemampuan SDM dan IPTEK Ketiga strategi diatas tidak bisa berjalan sendiri – sendiri, diperlukan adanya sinergi sehingga implementasi bisa berjalan baik. Setiap pengembangan dari koridor – koridor ekonomi tidak bisa lepas dari penguatan konektivitas. Keterhubungan wilayah intra maupun antar koridor adalah sangat penting untuk distribusi hasil produksi barang dan jasa serta pemerataan kesejahteraan. Sehingga permasalahan – permasalahan konektivitas tidak bisa diabaikan begitu saja.
1. Koridor Ekonomi Dalam MP3EI, wilayah Indonesia dibagi menjadi 6 koridor ekonomi dengan kemampuan utama yang berbeda – beda dalam mendorong pembangunan ekonomi. Keenam koridor tersebut adalah: 1.1. Koridor Sumatera
49
Gambar 1. Koridor Sumatera (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian)
Koridor sumatera dicanangkan menjadi sentra produksi dan pengolahan hasil bumi, serta menjadi lumbung energy nasional. Koridor Sumatera memiliki 11 pusat ekonomi dengan 6 kegiatan ekonomi utama (kelapa sawit, karet, batu bara, perkapalan, besi baja, dan kawasan strategis selat sunda). Untuk menghubungkan antar pusat ekonomi dan memastikan kelancaran distribusi hasil produksi, diperlukan adanya infrastruktur konektivitas yang sepadan. Permasalahan selama ini adalah jauhnya lokasi produksi hasil bumi dari pelabuhan serta buruknya kondisi jalan penghubung membuat hasil produksi menjadi lama untuk diangkut ke wilayah lain.
1.2. Koridor Jawa
50
Gambar 2. Koridor Jawa (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian)
Koridor Jawa dicanangkan sebagai sentra industri dan jasa nasional, dengan 5 pusat ekonomi (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya). Kegiatan ekonomi utama meliputi industri makanan-minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, telematika, alutsista. Pusat – pusat ekonomi di pulau jawa terhubung melalui infrastruktur jalan raya lntas jawa serta jaringan rel kereta api. Namun permasalahan infrastruktur jalan hamper tidak pernah bisa terselesaikan. Kemacetan jalur pantai utara jawa ( pantura) dengan buruknya kualitas jalan, selalu menjadi penghambat geliat ekonomi.
1.3. Koridor Bali Nusa Tenggara
51
Gambar
3.
Koridor
Bali
Nusa
Tenggara
(Source:
MP3EI
Kemenko
Perekonomian)
Koridor ekonomi Bali Nusa Tenggara dicanangkan sebagai pintu gerbang pariwisata serta pendukung pangan nasional. Pusat ekonomi berada di Denpasar, Lombok, Kupang, dan Mataram. Sedangkan kegiatan ekonomi utamanya adalah Pariwisata, Perikanan, serta Peternakan. Selama ini wilayah Nusa Tenggara sangat identik dengan kemiskinan, bertolak belakang dengan teman satu koridornya, Bali yang ditopang oleh industry pariwisata untuk peningkatan kesejahteraan. Konektivitas antar wilayah intrakoridor di Bali Nusa Tenggara sangat dibutuhkan untuk pembukaan wilayah pariwisata, mengingat keeksotikan alam nusa tenggara tidak kalah oleh provinsi Bali.
1.4. Koridor Kalimantan
Gambar 4. Koridor Kalimantan (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian)
Koridor ekonomi Kalimantan dicanangkan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional. Pusat ekonomi berada di kota Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, dan Samarinda. Kegiatan ekonomi utama meliputi minyak dan gas bumi, batubara, kelapa sawit, besi baja, bauksit, dan perkayuan.
52
1.5.
Koridor Sulawesi
Gambar 5. Koridor Sulawesi (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian)
Koridor ekonomi Sulawesi adalah pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas, dan pertambangan nasional. Pusat – pusat ekonomi berada di kota Makassar, Kendari, Mamuju, Palu, Gorontalo,dan Manado. Kegiatan ekonomi utama di koridor ini meliputi Pertanian Pangan, Kakao, Perikanan, Nikel, Minyak dan Gas Bumi. Antar wilayah intra koridor telah dihubungkan dengan jalan trasn Sulawesi hanya saja belum dalam kondisi baik. Selain itu diperlukan peningkatan sarana perhubungan laut untuk efisiensi.
1.6. Koridor Papua Maluku
53
Gambar 6. Koridor Papua Maluku (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian)
Koridor Papua Maluku terdiri dari 7 pusat ekonomi (Sofifi, Ambon, Sorong, Manokwari, Timika, Jayapura, dan Merauke) dengan fokus utama menjadi pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional. Fokus ini akan ditunjang dengan kegiatan ekonomi utama yang meliputi pertanian pangan, tembaga, nikel, perikanan, minyak dan gas bumi. Konektivitas antar wilayah di Papua dan Maluku sangat ditopang oleh perhubungan laut dan udara, mengingat koridor ini merupakan wilayah kepulauan serta bentang alam di pulau Papua yang sangat tidak memungkinkan untuk penggunaan jalur darat. Oleh sebab itu infrastruktur perhubungan laut dan udara menjadi sangat krusial di koridor ini.
2. Konektivitas Nasional Konektivitas nasional menjadi hal yang sangat penting dalam kerangka MP3EI dan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Konektivitas tidak bisa dilepaskan dari pembahasan koridor ekonomi seperti yang telah dijelaskan diatas. Masing – masing koridor ekonomi memiliki cirri khas dan keunggulan masing – masing dalam menopang perekonomian Negara. Setiap koridor menyumbangkan hal – hal 54
utama yang tidak dimiliki oleh koridor lain. Oleh sebab itu, arus konektivitas harus berjalan dengan baik agar setiap hasil dari produksi barang dan jasa bisa dinikmati lintas koridor.
Unsur pengelolaan mobilitas dalam konektivitas nasional meliputi: a. Personel/penumpang b. Material (abiotik) c. Material (biotik) d. Jasa dan Keuangan e. Informasi
Kerangka strategis dan kebijakan penguatan konektivitas dalam MP3EI: a. Menghubungkan pusat – pusat pertumbuhan ekonomi utama b. Memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas dari pusat – pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya c. Menyebarkan manfaat pembangunan secara luas
Untuk mewujudkan apa yang tertuang dalam kerangka strategi konektivitas dalam MP3EI, maka dapat ditarik poin penting yang harus dilakukan, yaitu pembangunan jaringan infrastruktur dan jaringan transportasi nasional. Selain itu, konektivitas juga erat kaitannya dengan keterhubungan secara komunikasi, bukan hanya keterhubungan fisik. Oleh sebab peningkatan kuantitas dan kualitas jaringan komunikasi dan komunikasi juga termasuk unsur penting dalam pembangunan konektivitas nasional.
Dalam kerangka besar MP3EI telah dicanangkan berbagai macam proyek pembangunan
jaringan
infrastruktur,
jaringan
transportasi,
dan
jaringan
komunikasi. Proyek – proyek yang akan menunjang konektivitas intra maupun antar koridor ini meliputi pembangunan bandara beserta perbaikan dan penambahan kapasitas, pembangunan jalan raya maupun jalan tol, pembangunan pelabuhan beserta perbaikan infrastrukturnya, pembangunan jembatan, perbaikan jalan, peningkatan jaringan komunikasi, dll. Proyek – proyek ini akan dimulai secara bertahap sejak tahun 2011 hingga 2015. Berikut rekapitulasi jumlah proyek
55
– proyek yang akan dikerjakan di setiap koridor beserta tahun pengerjaan proyek tersebut harus dimulai.
Tahun mulai/
2011
2012
2013
2014
2015
Total
Sumetera
28
31
7
1
4
71
Jawa
29
5
2
1
3
40
Kalimantan
14
1
1
0
18
34
Sulawesi
18
8
1
0
0
27
11
1
0
0
0
12
42
6
0
0
0
48
142
52
11
2
25
232
Koridor
Bali
nusa
tenggara Papua Maluku Total
Tabel 6. Jumlah Proyek Konektivitas MP3EI (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian)
Koridor sumatera tercatat sebagai koridor dengan jumlah proyek infrastruktur konektivitas terbanyak, mayoritas didominasi oleh proyek pembangunan dan perbaikan jalan raya sebanyak 30 proyek dari total 63 proyek. Memang dapat dibenarkan bahwa proyek semacam ini yang banyak dilakukan di koridor Sumatera, mengingat kondisi jalan raya di pulau Sumatera masih banyak yang memprihatinkan. Bahkan jalan Trans Sumatera yang merupakan penghubung utama pulau Sumatera dari Utara hingga Selatan jauh dari kondisi baik.
Sedangkan untuk koridor Papua, didominasi oleh proyek pembangunan beserta perbaikan infrastruktur pelabuhan. Konektivitas di Papua dan Maluku memang tidak bisa mengandalkan jaringan transportasi darat karena bentang alam papua dan maluku yang merupakan daerah kepulauan. Sementara itu, kondisi alam pulau Papua juga didominasi oleh perbukitan yang sangat menyulitkan untuk menggunakan transportasi darat. Oleh sebab itu pembangunan infrastruktur transportasi laut sangat dibutuhkan.
56
Jika dilihat dari tahun dimulainya proyek,ada satu fenomena menarik yang terdapat di koridor Papua Maluku. Proyek infrastruktur di koridor Papua Maluku hampir seluruhnya harus dimulai dari tahun 2011, hanya 6 proyek yang harus dimulai pada 2012, dan tidak ada satupun proyek yang dimulai pada tahun setelahnya. Semua proyek infrastruktur MP3EI di koridor Papua Maluku harus dimulai secara cepat.
Koridor Bali Nusa Tenggara adalah koridor dengan jumlah proyek infrastruktrur paling sedikit, hanya terdapat 12 proyek dan didominasi oleh proyek pembangunan dan perbaikan jalan, yaitu sebanyak 7 proyek. Serta hanya terdapat 2 proyek yang berkaitan dengan infrastruktur transportasi laut. Padahal Bali dan Nusa Tenggara sebagai wilayah kepulauan seharusnya memiliki banyak infrastruktur yang berhubungan dengan transportasi laut.
3. Pelaksanaan Proyek Konektivitas Proyek konektivitas MP3EI telah dilaksanakan selama 3 tahun dan berikut ini rekapitulasi jumlah proyek – proyek yang telah dilaksanakan pada tahun 2011 dan 2012.
Koridor
Jumlah Proyek
Nilai
Investasi
(dalam
Miliar) Sumatera
15
26.856
Jawa
22
99.946
Kalimantan
6
11.433
Sulawesi
6
1.094
Bali Nusa Tenggara
11
10.534
Papua Maluku
13
8.166
Total
73
158.029
Tabel 7. Data Proyek yang telah Groundbreaking pada 2011 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian)
Koridor
Jumlah
Realisasi Jumlah Target
Selisih
Proyek
57
Sumatera
15
28
13
Jawa
22
29
7
Kalimantan
6
14
8
Sulawesi
6
18
12
Bali Nusa Tenggara
11
11
0
Papua Maluku
13
42
29
Total
73
142
69
Tabel 8. Perbandingan Target dan Realisasi 2011 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian)
Jika kita melihat perbandingan data jumlah target proyek yang harus dikerjakan dengan realisasi di lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa hanya 51,40% proyek yang direalisasikan tepat waktu pada tahun 2011. Angka ini dapat dikatakan sebagai kelambanan dalam realisasi proyek karena hanya mampu merealisasikan setengah dari jumlah seharusnya. Keterlambatan dalam realisasi pada tahun 2011 ini bisa memberikan multiplier effect. Ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama proyek – proyek yang belum dikerjakan tersebut tidak jadi direalisasikan. Kedua, proyek tersebut direalisasikan pada tahun berikutnya, akan tetapi hal ini bisa mengganggu upaya realisasi proyek yang memang seharusnya dimulai pada tahun berikutnya dan menambah beban pelaksanaan proyek. Memang benar bahwa dalam pelaksanaan MP3EI secara umum dan pembangunan konektivitas secara umum menemui banyak kendala. Misalkan saja dalam proyek pembangunan jalan raya, akan ada kendala berupa pembebasan lahan. Setidaknya hal ini bisa memakan waktu yang cukup lama diantaranya untuk proses negosiasi dengan pemilik tanah, negosiasi mengenai kompensasi ganti rugi, serta permasalahan pencairan dana, jika itu menggunakan APBN. Akan tetapi sangat disayangkan saja bila permasalahan ini tidak bisa diatasi dengan cepat mengingat urgensi dari proyek konektivitas itu sendiri.
Koridor
Jumlah Proyek
Nilai
Investasi
(dalam
Miliar) Sumatera
4
10.720
Jawa
17
61.934
58
Kalimantan
14
6.792
Sulawesi
7
11.353
Bali Nusa Tenggara
2
202
Papua Maluku
3
3.984
Total
47
94.985
Tabel 9. Jumlah proyek yang Groundbreaking 2012 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian)
Koridor
Jumlah
Realisasi Jumlah
Target Selisih
Proyek
2012
Sumatera
4
31
27
Jawa
17
5
+12
Kalimantan
14
1
+13
Sulawesi
7
8
1
Bali Nusa Tenggara
2
1
+1
Papua Maluku
3
6
3
Total
47
52
5
Tabel 10. Perbandingan Target dan Realisasi 2012 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian)
Pada tahun 2012, jumlah proyek konektivitas yang direalisasikan kembali lebih kecil dibandingkan dengan target penyelesaian proyek. Ada 52 proyek yang harus direalisasikan di tahun 2012, akan tetapi hanya terealisasi sebanyak 47 proyek. Padahal jika dilihat data pelaksanaan per koridor, terdapat koridor yang realisasinya tahun 2012 lebih besar dibandingkan target. Hal ini terjadi karena adanya penundaan pelaksanaan proyek yang seharusnya direalisasi pada 2011 akan tetapi baru bisa dilaksanakan pada 2012. Meskipun koridor Jawa, Kalimantan, dan Bali Nusa Tenggara merealisasikan lebih besar dari target tahun 2012, koridor sumatera mengalami kegagalan realisasi yang cukup besar juga di tahun 2012, yaitu sebanyak 27 proyek. Sehingga, secara akumulatif, target tahun 2012 kembali tidak terpenuhi.
Berikut total realisasi proyek hingga akhir 2012:
59
Koridor
Jumlah
realisasi Jumlah
realisasi Total realisasi
Target
2011
2012
Sumatera
15
4
19
59
Jawa
22
17
39
34
Kalimantan
6
14
20
15
Sulawesi
6
7
13
26
Bali Nusa Tenggara
11
2
13
12
Papua Maluku
13
3
16
48
Total
73
47
120
194
Tabel 11. Total Realisasi Proyek Hingga Akhir 2012 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian)
Dari tabel diatas terlihat bahwa jumlah proyek konektivitas yang berhasil direalisasikan dari tahun 2011 hingga akhir 2012 hanya sebanyak 120 proyek. Padahal seharusnya pemerintah bisa merealisasikan 194 proyek sesuai dengan target yang tercantum dalam MP3EI. Masih terdapat 64 proyek yang pengerjaannya belum direalisasikan. Persentase realisasi terendah berada pada koridor sumatera, hanya berada pada angka 32% dari seharusnya. Keterlambatan proses pengerjaan proyek – proyek konektivitas ini tentu memberikan dampak yang lebih luas. Konektivitas merupakan permasalahan penting yang harus segera diselesaikan untuk mengurangi kesenjangan dan daya saing dari Indonesia terhadap Negara lain.
Permasalahan konektivitas menimbulkan beban biaya yang lebih besar untuk distribusi barang, disamping itu juga memberikan inefektifitas waktu. Misalkan saja barang – barang hasil pertanian yang harus didistribusikan ke daerah lain mengalami gangguan karena permasalahan jalan. Selain menambah biaya dan memperpanjang waktu tempuh, barang hasil tani tersebut juga akan mengalami penurunan kualitas. Efek selanjutnya adalah penurunan daya saing dari produk pertanian itu sendiri. Dengan demikian, pelaksanaan proyek konektivitas harus benar – benar direalisasikan dengan baik dan cepat.
4. Pembiayaan Pembangunan Konektivitas
60
Pembiayaan Pembangunan Konektivitas berasal dari APBN dan APBD
Grafik 8. Perkembangan Anggaran Infrastruktur
Keikutsertaan swasta di dalam proyek infrastruktur Nasional MP3EI direspon baik melalui skema Public-Private Partnership (PPP). 4.1. Proyek dalam Transaksi Estimasi Nama Proyek
Nilai
proyek (Juta dollar Koridor Amerika)
Rencana Beroperasi
Pembangunan Umbulan
Water 204.20
Jawa Timur/Jawa
2014
Jawa Tengah/Jawa
2015
DKI Jakarta/Jawa
2013
Supply Pembangunan PLTU Jawa Tengah 700 Baru 2.000 MW Pengembangan Kereta Api Bandara 204.20 Soekarno-Hatta Pengembangan Kereta Batubara
Api Puruk
2,100.00
Kalimantan Tengah/Kalimantan
2014
Cahu Bangkuang
61
Tabel 12. Proyek Dalam Transaksi
4.2.
Proyek Siap untuk Ditawarkan
Merupakan proyek-proyek KPS yang telah memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Dokumen Lelang telah selesai b. Tim Lelang KPS telah dibentuk dan siap untuk beroperasi c. Jadwal Lelang telah ditetapkan d. Dukungan Pemerintah telah disetujui (jika diperlukan). Estimasi Nama Proyek
proyek
Nilai
Rencana
(dalam Koridor
beroperasi
Juta US$) Bandara
Banten
Selatan
213,61
Ekspansi Pelabuhan
1.170,61
Tanjung Priok Jalan Tol MedanKualanamu-
670.40
Tebing Tinggi Pembangunan Kawasan Strategis 25.000 Selat Sunda DKI
Kab.Pandeglang, Banten/Jawa Kec. Kalibaru, DKI Jakarta/Jawa Sumatera
2015
2015
Utara/Sumatera Banten
2015
dan
Lampung/Sumatera
2021
Jakarta-
Bekasi-Karawang (Jatiluhur) Water
189,30
DKI
Jakarta
dan
Jawa Barat/Jawa
2014
Supply Tabel 13. Proyek Siap untuk Ditawarkan
4.3. Proyek Prioritas Adalah proyek-proyek KPS yang telah memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Termasuk dalam Rencana Proyek PPP potensial atau yang diusulkan oleh kontraktor sebagai unsolicited project
62
b. Berdasarkan pra-kelayakan, proyek ini layak dari aspek hukum, teknis, dan keuangan c. Identifikasi risiko dan alokasi telah diidentifikasi d. Modus KPS telah ditetapkan e. Dukungan pemerintah telah diidentifikasi Nama Proyek
Estimasi
Nilai
proyek
(Juta Koridor
dollar AS)
Rencana Beroperasi
Jalan Tol MedanBinjai (15,8 km) Modalitas KPS: >
Biaya
Pembebasan lahan
dan
konstruksi
120,40
ditanggung
oleh
Sumatera Utara/ Sumatera
2015
pemerintah > Periode konsesi akan
diberikan
sampai dengan 35 tahun. Jalan
Tol
PalembangIndralaya (22 km) Modalitas KPS: >
BOT
(Build-
Operate-Transfer)
Sumatera 124,90
2015
Sumatera
> Periode konsesi akan
Selatan/
diberikan
sampai dengan 35 tahun Jalan Tegineneng-
Tol
318,20
Lampung Sumatera Selatan
2015
63
Babatan (50 km) Modalitas KPS: > BOT > Periode konsesi akan
diberikan
sampai dengan 35 tahun. Jalan
Tol
KemayoranKampung Melayu (9,65 km) Modalitas
695,40
DKI Jakarta/ Jawa
2014
KPS:
BOT Jalan Tol SunterRawa Buaya-Batu Ceper (22,92 km) Modalitas
976,10 J
KPS:
DKI Jakarta/ Jawa
2014
BOT Jalan Tol UlujamiTanah
Abang
(8,27 km)
425,50
Modalitas
KPS:
DKI Jakarta/ Jawa
2014
BOT Jalan Tol
Pasar
MingguCasablanca
(9,56
km) Modalitas
572
DKI Jakarta/ Jawa
2014
KPS:
BOT Jalan Tol SunterPulo
Gebang-
Tambelang (25,73
737,80
DKI Jakarta/ Jawa
2014
km)
64
Modalitas
KPS:
BOT Jalan
Tol
Duri
Pulo-Kampung Melayu (11,38 km) Modalitas
596
KPS:
DKI Jakarta/ Jawa
2014
BOT Akses Jalan Tol Tanjung
Priok
(16,67 km) Modalitas KPS: >
Desain
dan
pelaksanaan konstruksi dilaksanakan oleh 612,50 Pemerintah. >
DKI Jakarta/ Jawa
2012
Pengoperasian
dan pemeliharaan akan
ditawarkan
ke pihak Swasta lewat mekanisme tender Jalan
Tol
Pasirkoja-Soreang (15 km) Modalitas KPS: > BOT
143,50
> Periode konsesi akan
Jawa Barat/ Jawa
2015
diberikan
sampai dengan 35 tahun Jalan
Tol 1.015,80
Jawa Barat/Jawa
2015
65
CileunyiSumedangDawuan
(58,50
km) Modalitas KPS: > BOT > Periode konsesi akan
diberikan
sampai dengan 35 tahun Jalan Tol terusan Pasteur-Ujung Berung-CileunyiGedebage
(27,50
km) Modalitas KPS:
800
Jawa Barat/Jawa
2015
> BOT >
Pembebasan
lahan
dan
pelaksanaan konstruksi Tabel 14. Proyek Prioritas
4.4. Proyek Potensial Proyek-proyek KPS yang telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Kesesuaian
dengan
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional/Daerah (RPJMN/RPJMD) dan rencana strategis infrastruktur b.
Kesesuaian lokasi proyek dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
c.
Hubungan antara sektor infrastruktur dan wilayah regional
d. Pemulihan biaya potensial e. Studi pendahuluan. Nama Proyek
Estimasi
Nilai Koridor
Rencana
proyek
(Juta
Beroperasi
66
dollar USD) Bandara
800
Internasional
Majalengka,
Jawa 2015
Barat/Jawa
Kertajati Pembangunan
99,50
Airport
Kalimantan
2015
Timur/Kalimantan
Samarinda Baru Bandara
500
Internasional
DI
2016
Yogyakarta/Jawa
Kulonprogo Pembangunan
1.700
Pelabuhan
Kalimantan
2015
Timur/Kalimantan
Internasional Maloy (874 ha) Jalan
Tol 844,6
PekanbaruKandis-
Pekanbaru,
Riau/ 2016
Sumatera
Dumai
(135 km) Jalan
Tol 705
BalikpapanSamarinda
Kalimantan
2016
Timur/Kalimantan (84
km) Jalan
Tol 260,90
Manado-Bitung
Sulawesi
2016
Utara/Sulawesi
(46 km) West
Semarang 82,40
Water Supply Penyediaan SPAM
Kota
Semarang, 2015
Jawa Tengah/Jawa 375,66
Jawa Barat/Jawa
2014
Regional
Jatigede Tabel 15. Proyek Potensial
5. Permasalahan Pembiayaan
67
Dalam pembiayaan pembangunan konektivitas nasional masih terdapat berbagai hambatan, diantara nya adalah: a. Skema KPS Angka pembiayaan infrastruktur selama 2009 – 2014 mencapai sekitar Rp 1.400. Sementara kemampuan pendanaan pemerintah yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) selama lima tahun hanya mencapai sekitar Rp 400 triliun. Itu berarti ada kesenjangan finansial (finansial gap) yang cukup besar. Guna menutupi kesenjangan ini salah satu yang digagas pemerintah adalah mengundang lebih banyak peran dan inisiatif swasta dalam wujud kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) atau lebih dikenal dengan public-private partnership (PPP). Namun, skema KPS yang ada saat ini terhalang oleh birokrasi yang berbelit – belit sehingga menghambat sektor swasta ingin ikut terlibat dalam investasi pembangunan konektivitas. Sehingga hal yang sangat perlu untuk dilakukan adalah reformasi birokrasi. Birokrasi Negara ini terlalu sering mendahulukan hal – hal prosedural dibandingkan hal – hal yang sangat penting untuk dilakukan.
b. Kekurangan Anggaran Dalam APBN, Negara lebih mengutamakan belanja rutin dibandingkan pembangunan
ekonomi.
Sehingga
yang
terjadi
adalah
pembiayaan
infrastruktur bukan menjadi prioritas utama dalam APBN. Oleh karena itu, pembiayaan oleh pemerintah langsung sangatlah minim. Maka, yang harus dilakukan
adalah
meningkatkan
pendapatan
pemerintah
dengan
memaksimalkan sumber pendapatan pemerintah contohnya memaksimalkan profit dari perusahaan BUMN.
Pemerintah seharusnya juga melakukan efisiensi penggunaan anggaran. Hal ini agar penggunaan anggaran lebih kepada sector riil, tidak hanya pada yang bersifat konsumtif. Contohnya pemberian subsidi BBM yang nilainya sangat meningkat tajam sehingga membuat anggaran mampu mencapai defisit. Padahal pemberian subsidi BBM tidak tepat sasaran sesuai yang diharapkan pemerintah. Bahkan lebih parahnya lagi, dalam RAPBN tahun 2014, Pemerintah berencana mengurangi belanja infrastruktur untuk menutupi subsidi BBM sebesar 110 Triliun.
68
6. Permasalahan Politik dan IPTEK Dalam eksekusi dari sebuah kebijakan, maka harus ada setidaknya 3 aspek yang bersinergi agar kebijakan terlaksana. a. Akademis Akademis adalah mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebuah kebijakan harus menggunakan unsur Iptek yang canggih dan cerdas. Sehingga, kebijakan yang dijalankan secara teknis dapat berjalan sebagaimana mesti nya. Maka dari itu, pemerintah pusat harus menyediakan dan mengoptimalkan Research Center bagi para akademisi sehingga para akademisi memiliki wadah untuk mengembangkan Iptek tidak hanya dalam infrastruktur tapi dalam bidang lainnya juga.
b. Politik Politik adalah dukungan dari pemerintah itu sendiri. Kebijakan yang telah dirumuskan haruslah mendapat dukungan dari pihak pemerintah. Baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Maka dari itu, pemerintah pusat harus duduk bersama untuk mengkoordinasikan segala bentuk perencanaan pembangunan dengan pemerintah daerah agar visi kedepan dari pembangunan infrastruktur jadi semakin jelas dalam prakteknya. Pemerintah pusat harus menjamin tidak putusnya koordinasi dengan pemerintah daerah hanya dikarenakan perbedaan program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
c. Birokrasi Birokrasi merupakan tata aturan dalam pelaksanaan kebijakan. Birokrasi mencakup penganggaran, prosedur dan sebagainya. Birokrasi mengambil peran yang penting dalam eksekusi kebijakan, birokrasi yang cepat mampu menghasilkan kerja yang cepat dari kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus segera melaksanakan reformasi birokrasi sehingga birokrasi yang ada lebih sederhana dan tidak berbelit – belit
secara
administratif.
69
Permasalahan politik dan iptek diatas bukanlah permasalahan yang seharusnya ada jika pemerintah pusat dapat bekerja dengan sebaik – baiknya. Permasalahan itu timbul dikarenakan ketidakseriusan dan tidak adanya komitmen dari pemerintah pusat dalam pembangunan infrastruktur. Padahal pemerintah pusat memiliki hak dan kekuasaan untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan segera dan secepatnya namun ketidakadaan komitmen pemerintah pusat tadilah yang membuatnya tidak terselesaikan.
70
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian komprehensif ini adalah Indonesia bisa saja mencapai suatu pertumbuhan ekonomi yang inklusif bilamana berbagai sektor vital yang paling berperan dapat bersinergi dengan baik satu sama lain. Pendidikan, ketenagakerjaan, pertanian, dan konektivitas adalah sektor-sektor vital tersebut. Pendidikan merupakan tonggak awal dimulainya tujuan tersebut karena pendidikan diselenggarakan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, dalam hal ini berperan untuk perbaikan dan perkembangan ketenagakerjaan. Pertanian sendiri sudah sejak lama menjadi sumber mata pencaharian bagi mayoritas penduduk Indonesia dan sudah tidak bisa atau mungkin sangat sulit dilepaskan dari Indonesia. dan yang terakhir agar pertumbuhan dapat dirasakan merata oleh semua orang, diperlukan sarana konektivitas yang menunjang.
Pendidikan memiliki kaitan yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan yang baik akan menghasilkan human capital yang berkualitas. Ketika human capital suatu negara diisi oleh orang-orang yang berkualitas, maka akan meningkatkan produktivitas yang mana akan berbanding lurus dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Namun sistem pendidikan tidak selalu harus disamaratakan. Masing-masing daerah memiliki kultur dan potensi yang berbeda sehingga alangkah baiknya output pendidikan mampu untuk mengelola daerahnya sendiri agar kondisi growth yang dirasakan oleh semua pihak di semua sektor di semua wilayah akan dapat terpenuhi. Jika pendidikan sudah berjalan dengan baik, maka akan berefek baik juga ke ketenagakerjaan.
Permasalahan utama ketenagakerjaan di Indonesia sendiri secara umum masih berputar di isu pengangguran dan bagaimana cara mengatasinya. Maka dari itu diperlukan penanganan khusus sehingga diharapkan mampu untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang bermuara pada naiknya tingkat upah yang didapat.
71
Kenaikan upah tenaga kerja tersebut pada akhirnya akan menurunkan ketimpangan pendapatan dan menciptakan petumbuhan inklusif.
Penanganan langsung sektor-sektor penyumbang terbesar GDP juga harus dijalankan beriringan dengan perbaikan kondisi lingkungan berusaha yang masih relatif belum mendukung. Reformasi regulasi dan birokrasi merupakan suatu urgensi yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menginsentif masyarakat untuk mulai menciptakan lapangan pekerjaan baru yang pada akhirnya akan mereduksi angka pengangguran.
Di sisi lain, kehadiran bonus demografi menjadi tantangan yang akan dihadapi Indonesia ke depannya. Pemerintah harus mampu mengakomodir fenomena kependudukan ini karena jika tidak, bukan tidak mungkin bonus demografi hanya akan berimplikasi pada meningkatnya jumlah pengangguran dan kriminalitas.
Pertanian masih menjadi idola ditunjukkan dengan perannya yang masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja utama di Indonesia. Hal tersebut ditambah dengan Indonesia yang merupakan negara agraris dengan pertanian sebagai salah satu sektor utama dalam pembangunan bangsa. Hampir seluruh kegiatan perekonomian Indonesia berpusat pada sektor pertanian. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani sehingga hal ini menjadikan sektor pertanian sebagai sektor penting dalam roda struktural perekonomian Indonesia. Namun kenyataannya ada begitu banyak kekurangan pada kebijakan pertanian saat ini. Maka perlu adanya beberapa tuntutan yang harus diperjuangkan untuk meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri dengan penerapan berbagai teknologi pertanian.
Sekalipun pendidikan sudah berjalan dengan baik sehingga mampu menghasilkan human resource yang baik pula, tidak akan bisa dilepaskan dari peran konektivitas. Pun halnya terhadap sektor pertanian yang notabene mutlak memerlukan konektivitas yang mampu berjalan dengan baik. Namun pada dasarnya, pelaksanaan program – program yang menunjang terwujudnya konektivitas Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkan. Berbagai permasalahan terlalu banyak dan besar untuk diatasi. Permasalahan – permasalahan yang terdiri dari permasalahan teknis pengerjaan proyek, 72
permasalahan birokrasi, permasalahan pembiayaan, serta permasalahan iptek dan politik harus segera diatasi. Kesemua permasalahan diataslah yang menjadi penyebab urung suksesnya keterhubungan republik yang sangat luas ini. Butuh kemauan dan keinginan yang kuat dari Presiden terpilih untuk mewujudkan apa yang seharusnya menjadi hak rakyat Indonesia.
Permasalahan teknis pengerjaan proyek sebagian besar disebabkan oleh persoalan pembebesan lahan. Permsalahan pembiyaan disebabkan oleh tidak tersedianya dalan dari APBN untuk mentupi biaya – biaya pengerjaan proyek. Anggaran yang dialokasikan untuk pos infrastruktur teramat sedikit dari alokasi APBN, justru uang yang seharusnya produktif malah menjadi konsumtif untuk anggaran subsidi energi. Lain lagi permasalahan di bidang birokrasi, terlalu banyaknya prosedur – prosedur administratif yang dilalui serta memakan waktu yang lama membuat berbagai investor tidak mau untuk terlibat dalam proyek – proyek konektivitas. Kemudian, permasalahan di bidang iptek menjadi penghambat ketika ilmu pengetahuan yang dimiliki tertinggal jauh dibanding kebutuhan kita untuk mewujudkan konektivitas nasional. Permasalahan terakhir berupa permasalahan politik menjadi muncul ketika terjadi ketidaksinambungan antara program pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Ibarat berjalan sendiri – sendiri.
B. SARAN Saran bagi pemerintah selaku pemegang peranan penting dalam upaya untuk mencapai inclusive growth adalah dengan mengkoordinasikan pendidikan, ketenagakerjaan, pertanian, dan konektivitas agar dapat berfungsi optimal. Hal ini sangat penting karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi ternyata malah diikutsertai dengan meningkatnya kesenjangan.
Rekomendasi kebijakan yang dapat diambil pemerintah terhadap empat sektor vital tersebut antara lain: 1. Pendidikan a. Tidak menyertakan anggaran gaji tenaga pendidik ke dalam anggaran pendidikan agar anggaran pendidikan tersebut memang difokuskan untuk perbaikan dan pengembangan sistem dan infrastruktur pendidikan. 73
b. Memperlakukan
pendidikan
layaknya
sebuah
investasi
dimana
pengawasan tidak hanya dilakukan saat anggaran digunakan tetapi juga pengawasan output dari pendidikan sehingga negara mampu menciptakan human resource yang baik dan tepat guna. c. Mengevaluasi dan memperbaiki segala kekurangan dari kurikulum 2013, kemudian memastikan sistem dan infrastuktur pendidikan sudah memenuhi untuk penerapan kurikulum tersebut. d. Ujian Nasional tidak perlu dihapus, hanya sistemnya saja yang harus diperbaiki. e. Memperbaiki infrastruktur pendidikan agar akses pendidikan dapat diperoleh merata oleh semua pihak. f. Menyiapkan tenaga pendidik yang sudah berbekal kemampuan dalam menerapkan kurikulum 2013.
2. Ketenagakerjaan a. Melakukan pelatihan dan pendidikan yang mengarah langsung pada kebutuhan industri masa kini sehingga mismatch antara permintaan dan penawaran tenaga kerja dapat diminimalisasi. b. Meningkatkan kualitas pelatihan tenaga kerja. c. Mengembangkan SMK secara khusus untuk memenuhi permintaan tenaga kerja berdasarkan masing-masing sektor. d. Melakukan revitalisasi di sektor pertanian mengingat sektor tersebut masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja utama di Indonesia. e. Selain sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan juga perlu mendapat perhatian khusus sebagai sektor potensial penyerap tenaga kerja dan penyumbang terbesar GDP Indonesia. f. Mereformasi regulasi dan birokrasi dalam rangka menginsentif masyarakat untuk mulai menciptakan lapangan pekerjaan baru yang pada akhirnya akan mereduksi angka pengangguran. g. Melakukan pembangunan berbasis pedesaan untuk meredam adanya perpindahan penduduk desa ke kota. h. Mengakomodir fenomena bonus demografi.
3. Pertanian 74
a. Pengadaan proyek pertanian berbasis modern yang menggunakan alat-alat berteknologi modern di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di daerah luar jawa yang masih banyak lahan kosong yang kurang produktif, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Terobosan in dapat meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri tanpa mengandalkan jumlah SDM yang ada di sektor pertanian. b. Agroindustri pedesaan harus dibangun untuk merasionalisasi (mengurangi) jumlah petani yang memiliki lahan sempit. Seringkali petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah mendasarnya sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. c. Pemerintah harus mengkhususkan diri pada perlindungan lahan pertanian sebagai upaya Revitalisasi lahan pertanian yang telah mengalami penyusutan dari tahun ke tahun. d. Mengembangkan teknologi sumber daya genetik dengan membuka badan penelitian pertanian di setiap daerah, untuk mengetahui varietas unggul di setiap daerah yang kemudian diteliti dan dikembangkan, sehingga dapat menciptakan varietas unggul yang dapat menghasilkan produk pertanian dengan jumlah yang banyak dan memiliki kualitas yang baik e. Pengadaan alat-alat pertanian berbasis modern yang telah mendapatkan subsidi dari pemerintah, yaitu dengan memfokuskan anggaran pertanian pemerintah dalam hal akselerasi penerapan teknologi pertanian yang aplikatif dan terjangkau sehingga petani dapat membeli alat-alat pertanian modern dengan harga yang relatif terjangkau, dan akhirnya dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian para petani lokal. f. Pengadaan berbagai penyuluhan kepada petani lokal di setiap daerah tentang penerapan teknologi pertanian dan keuntungannya serta mengajak para petani lokal untuk beralih dari cara-cara konvensional menuju caracara yang lebih modern. g. Mendukung dan memfasilitasi berbagai penelitian dan penemuan alat-alat teknologi baru yang ditemukan, khususnya para mahasiswa yang sering mengadakan berbagai penelitian dan penemuan baru di bidang teknologi. h. Mengadakan sayembara dan pameran tahunan tentang teknologi pertanian untuk umum, sehingga para peneliti dan para penemu merasa dihargai dan diapresiasi serta terpacu untuk menemukan teknologi-teknologi baru. 75
Dengan diadakan sayembara dan pameran tentang teknologi pertanian setiap tahunnya, diharapakan semakin bertambah penemuan-penemuan baru dalam hal teknologi pertanian yang dapat diterapkan pada pertanian Indonesia. i. Penguatan kelembagaan pertanian dengan mendirikan koperasi unit desa yang berfokus pada pertanian atau dengan mengoptimalkan Poktan (Kelompok Tani). j. Pemerintah perlu melakukan penyuluhan dalam bentuk Sekolah Lapang Berbasis Teknologi Tepat Guna. Penyuluhan lainnya juga dapat dilakukan untuk meningkatkan keahlian petani dalam bidang manajemen dan teknis usaha pertanian dan keahlian dalam mencermati situasi pasar. Untuk itu, penyuluhan bukan saja dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidang pertanian, namun juga mereka yang ahli dalam manajemen pemasaran. k. Mensosialisasikan informasi potensi pertanian daerah dari bangku sekolah dengan menerapkan Sistem Pendidikan Rendah-menengah Berbasis Kompetensi Daerah. Dengan penerapan tersebut, peserta didik sudah mengetahui potensi daerahnya, khususnya bidang pertanian. l. Pemerintah
pusat
juga
perlu
melakukan
identifikasi
wilayah
pengembangan pertanian yang potensial berdasarkan pemahaman kondisi lokal dan memformulasikan kebijakan pengembangan pertanian yang sepenuhnya menggunakan potensi wilayah tersebut. m. Pemerintah pusat perlu konsisten dalam melaksanakan Undang-undang otonomi
dengan memberikan kesempatan yang cukup luas untuk
mendapatkan manfaat dari hasil pengelolaan kekayaan daerah, sehingga pemerintah daerah memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih banyak dari pengelolaan kekayaan daerahnya dengan menciptakan iklim usaha yang baik. n. Pemerintah daerah juga perlu memberikan insentif dalam implementasi produksi komoditas unggulan wilayah agar petani lokal terdorong untuk meningkatkan produktivitas. o. Sosialiasi kepada masyakarat lokal diperlukan agar masyarakat lokal memiliki kesadaran dalam mengonsumsi pangan lokal. Kesadaran warga komunitas dan konsumen terhadap produksi aneka pangan lokal, selain
76
menjamin terpenuhinya kebutuhan makanan sehat dan begizi, juga membantu petani mengembangkan usahatani dan kesejahteraan mereka.
4. Konektivitas a. Meningkatkan anggaran infrastruktur dengan mengurangi alokasi untuk subsidi BBM. b. mempercepat reformasi birokrasi dengan mempermudah surat – menyurat ataupun persyaratan untuk investasi. c. Mengoptimalkan Research Center yang telah dimiliki oleh Universitas – Universitas sehingga tidak hanya bermanfaat untuk pengembangan ilmu di internal Universitas namun juga dimanfaatkan secara aplikatif di proyek – proyek nasional. d. Mengsinergiskan program nasional dengan program daerah, sehingga kepentingan nasional harus didahulukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah Pusat harus memberikan tekanan yang kuat agar program nasional diutamakan, akan tetapi tetap dengan menghargai mekanisme otonomi daerah.
77
DAFTAR TABEL Tabel 1. Jumlah Angkatan Kerja, TPAK, Jumlah Bekerja, Jumlah Pengangguran Terbuka, dan TPT Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2013) .........................21 Tabel 2. Tabel Pekerja Formal dan Informal Menurut Jenis Kelamin Tahun 20062008 (Source: Sakernas, 2009) ....................................................................................23 Tabel 3. Distribusi Presentase Pekerja yang Pernah Pindah Pekerjaan Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Sebelumnya dan Lapangan Pekerjaan Utama Sekarang, 2012 (Source: BPS 2013) ............................................................................................27 Tabel 4. Business Environment Indicators, 2012 (Source: World Bank, 2014) .........33 Tabel 5. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004 - 2013 (Source: BPS, 2013) ....................................................................42 Tabel 6. Jumlah Proyek Konektivitas MP3EI (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian) .............................................................................................................53 Tabel 7. Data Proyek yang telah Groundbreaking pada 2011 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian) ............................................................................................54 Tabel 8. Perbandingan Target dan Realisasi 2011 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian) .............................................................................................................54 Tabel 9. Jumlah proyek yang Groundbreaking 2012 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian) ............................................................................................56 Tabel 10. Perbandingan Target dan Realisasi 2012 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian) ............................................................................................56 Tabel 11. Total Realisasi Proyek Hingga Akhir 2012 (Source: Evaluasi MP3EI Kemenko Perekonomian) ............................................................................................57 Tabel 12. Proyek Dalam Transaksi .............................................................................58 Tabel 13. Proyek Siap untuk Ditawarkan ....................................................................59 Tabel 14. Proyek Prioritas ...........................................................................................60 Tabel 15. Proyek Potensial ..........................................................................................63
78
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Koridor Sumatera (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian) .................47 Gambar 2. Koridor Jawa (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian) ........................48 Gambar 3. Koridor Bali Nusa Tenggara (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian) 48 Gambar 4. Koridor Kalimantan (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian) ..............49 Gambar 5. Koridor Sulawesi (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian) ..................50 Gambar 6. Koridor Papua Maluku (Source: MP3EI Kemenko Perekonomian) .........51
79
DAFTAR GRAFIK Grafik 1. Jumlah Angkatan Kerja Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2013).............................................................................................................................20 Grafik 2. Jumlah Angkatan Kerja, Jumlah Bekerja, Jumlah Pengangguran Terbuka Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2013) .......................................................21 Grafik 3. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2004-2013 (Source: Sakernas, BPS 2013) .......................................................22 Grafik 4. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Utama (Source: Sakernas, BPS 2014) ............................................................................................................................25 Grafik 5. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2010-2035 (Source: Sakernas, BPS 2014) ............................................................................................................................30 Grafik 6. Dependency Ratio Indonesia Tahun 2010-2035 (Source: Sakernas, BPS 2014) ............................................................................................................................30 Grafik 7. Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 20042013 (Source: Sakernas, BPS 2014) ............................................................................32 Grafik 8. Perkembangan Anggaran Infrastruktur ........................................................58
80
DAFTAR PUSTAKA Sumber Internet: Agtiknas,
Mengevaluasi
Kurikulum
2013
(Ki
Supriyoko),
dalam
http://
agtiknas.org/mengevaluasi-kurikulum-2013-ki-supriyoko/ (15 Mei 2014) Departemen Keuangan, Belanja Modal dan Pengeluaran Investasi Pemerintah, dalam http://anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=908 (15 Mei 2014) Hukum
Online,
Gaji
Guru
Masuk
Anggaran
Pendidikan,
dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18593/gaji-guru-masuk-anggaranpendidikan (17 Mei 2014) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013, dalam http:// kurikulum.kemdikbud.go.id/ (15 Mei 2014) Tujuan Pendidikan Nasional, dalam http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuanpendidikan-nasional.html (18 Mei 2014) Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Anggaran Pendidikan Wajib 20 Persen dari APBN dan APBD, dalam http://ykai.net/index.php?view=article&id=350 (15 Mei 2014)
Sumber Literatur: Dee, T. & Jacob, B A. (2006). Do high school exit axams influence educational attainment or labor market performance? Working paper 12199. Cambridge, MA: National Bureau of Economic Research ———. 2008b. ―Teacher Quality in Indonesia: Pre-service Teacher Education.‖ Makalah disusun untuk World Bank Office, Jakarta, Indonesia. Al-Samarrai
,
Samer
&
Syukriyah,
Daim
&
Setiawan,
Imam.
2013.
―Mendayagunakan Guru dengan Lebih Baik: Memperkuat Manajemen Guru untuk Meningkatkan Efisiensi dan Manfaat Belanja Publik‖. Makalah disusun untuk World Bank Office, Jakarta, Indonesia. ———. 2010. ―Panduan Analisis Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota.‖
81
Jacob, B. (2001). Getting tough? The Impact of high school graduation exams. Educational Evaluation and Policy Analysis, 23(2),99-121.
82