Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH (The Estimation of Beef Cattle Output in Sukoharjo Central Java) SUMADI, N. NGADIYONO dan E. SULASTRI Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT The research was conducted to investigate an estimation of beed cattle output in Sukoharjo regency, Central Java.Data was obtained from 48 famers as respondences in sub districts namely: Polokarto, Bendosari and Mojolaban using survey method. Breeding theory was used to estimate every beef cattle output. The result showed the output as heifer was 3.613 heads (14.18%) from the population of 1.692 heads (6.64%) PO, 1,140 heads (4.47%) Simpo, 509 heads (2.0%) Limpo and 272 heads (1.07%) Brangus. The output as final stock was 7,902 heads (31.01%) from the population of 3,770 heads (14.79%) PO, 2,500 heads (9.81%) Simpo, 1,108 heads (4.35%) Limpo and 524 heads (2.06%) Brangus. Key Words: Output, Beef Cattle, Sukoharjo Regency ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui output sapi potong di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, berdasarkan bangsa sapinya. Penelitian dilakukan secara survei di Kecamatan Bendosari dan Mojolaban dengan total responden 48 peternak. Teori pemuliaan ternak digunakan untuk estimasi output setiap bangsa sapi potong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa output bibit betina 3.613 ekor (14,18%) dari populasi yang terdiri dari sapi PO 1.692 ekor (6,64%), Simpo 1.140 ekor (4,47%), Limpo 509 ekor (2,0%) dan Brangus 272 ekor (1,07%) serta output untuk dipotong 7.902 ekor (31,01%) dari populasi yang terdiri dari PO 3.770 ekor (14,79%), Simpo 2.500 ekor (9,81%), Limpo 1.108 ekor (4,35%) dan Brangus 524 ekor (2,06%). Kata Kunci: Output, Sapi Potong, Kabupaten Sukoharjo
PENDAHULUAN Sapi potong di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah merupakan salah satu aset daerah di bidang peternakan yang cukup besar potensinya sehingga perlu dikembangkan dan dilestarikan. Keberadaan sapi potong di wilayah ini dapat digali potensinya sebagai penghasil daging dan meningkatkan output wilayah ini. Disamping itu dengan meningkatnya output dan produksi sapi potong di wilayah ini, dapat meningkatkan lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan petani peternak serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Oleh sebab itu informasi tentang kemampuan berproduksi sangat diperlukan agar supaya output suatu wilayah sebagai sumber penghasil sapi potong atau daging khususnya dapat dilestarikan dan ditingkatkan (HARDJOSUBROTO, 1990).
324
Output suatu wilayah dapat dihitung berdasarkan produktivitas sapi potong yang ada. Persentase sapi betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) dapat digunakan untuk uji silang dengan kebutuhan ternak pengganti. Kemampuan berproduksi sapi potong dapat digambarkan dengan pertumbuhan, persentase karkas dan sifat-sifat reproduksinya. Produktivitas sapi potong merupakan gabungan sifat produksi dan reproduksi, serta dapat ditingkatkan melalui peningkatan mutu genetiknya dengan cara seleksi dan pemasangan perkawinan (HARDJOSUBROTO, 1994; WARWICK et al., 1983; LASLEY, 1978). Produktivitas sapi potong dari suatu wilayah dapat diketahui berdasarkan jumlah sapi yang dapat dikeluarkan atau output dari wilayah tersebut, yang dapat berupa sisa bibit betina dan bakalan untuk penggemukan serta sapi afkir siap potong dengan tanpa
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
mengganggu perkembangan populasi sapi potong di wilayah tersebut. Output atau kemampuan suatu wilayah menghasilkan sapi potong, merupakan jumlah sapi muda sisa pengganti ditambah sapi dewasa afkir. Sisa sapi muda merupakan selisih antara nilai natural increase (pertambahan alami) dengan kebutuhan ternak pengganti. Natural increase merupakan selisih antara kelahiran dengan kematian, maka dari itu teori pemuliaan ternak digunakan dalam estimasi output sapi potong dari suatu wilayah berdasarkan sifat produksi dan reproduksinya (SUMADI et al., 2004). Persentase karkas merupakan indikator yang dapat langsung menunjukkan berat daging yang dihasilkan seekor ternak. Oleh karena itu, setelah diketahui jumlah sapi yang dapat dipotong atau dikeluarkan dari suatu wilayah dan persentase karkas serta daging diketahui maka output suatu wilayah untuk menghasilkan daging dapat diketahui (SUMADI et al., 2001). MATERI DAN METODE Penelitian menggunakan peternak sapi potong sebagai responden beserta ternak yang dimiliki, sapi potong yang dipotong di tempat pemotongan hewan (TPH) dan karkasnya, data populasi sapi potong dari dinas terkait. Penelitian telah dilakukan pada bulan Mei 2007. Estimasi output dari suatu wilayah, pengumpulan data dengan survei meliputi tiga (3) kecamatan sampel (Bendosari, Polokarto dan Mojolaban), dengan 48 responden dan jumlah sapi 119 ekor, yang terdiri dari sapi Peranakan Ongole (PO), Simpo, Limpo dan Brangus. Wawancara dibantu dengan daftar pertanyaan yang meliputi identitas peternak, pengelolaan dan biologi reproduksi sapi, jumlah kepemilikan dan mutasi sapi. Data kualitatif dianalisis dengan menghitung persentase dan data kuantitatif dalam rata-rata dan standar deviasi kemudian dibuat tabel. Teori pemuliaan ternak digunakan untuk menghitung output sapi potong dari suatu wilayah berdasarkan koefisien teknis sifat produksi dan reproduksi. Ukuran tubuh dan bobot badan sapi dari 119 ekor sapi diambil yang memenuhi syarat
sebanyak 91 ekor yang terdiri dari 49 ekor PO, 19 ekor Simpo, 15 Limpo dan 8 ekor Brangus, diukur ukuran tubuh, berat badan dan estimasi umur lewat perubahan gigi seri, kemudian dihitung rata-ratanya pada setiap jenis kelamin. Persentase karkas, sapi sebelum dipotong ditimbang untuk mengetahui berat badannya dan diukur ukuran tubuhnya. Setelah dipotong ditimbang karkasnya dan dihitung persentase karkas serta estimasi umur berdasarkan perubahan gigi seri. Perkembangan populasi sapi potong, berdasarkan data lima tahun terakhir (2002 sampai 2006) dihitung rata-rata kenaikannya dan dengan analisis runtut waktu untuk estimasi populasi sapi potong lima tahun mendatang. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan pemilikan sapi Komposisi dan pemilikan sapi potong dari para peternak responden disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi sapi PO 41,27%; Simpo 37,30%; Limpo 15,87% dan Brangus 5,56%. Apabila jumlah sapi Simpo, Limpo dan Brangus digabung maka jumlahnya 58,73%, artinya populasi sapi persilangan sudah lebih banyak dari sapi PO. Kondisi ini apabila tidak segera dibuat kebijakan breeding pada sapi potong, maka secara pelan tapi pasti sapi PO akan habis. Rata-rata kepemilikan sapi potong per responden tanpa melihat bangsanya adalah sebesar 2,15 UT atau setara 2,63 ekor sapi, artinya rata-rata kepemilikan adalah 2 ekor sapi dewasa dan 1 ekor sapi muda. Mutasi sapi potong Mutasi sapi potong berdasarkan bangsa sapi di kabupaten SUKOHARJO tahun 2007, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan Kabupaten Sukoharjo tahun 2007 sapi yang keluar sebesar 27,78% dari populasi sampel sedang yang masuk hanya 6,35%. Hal ini berarti Kabupaten Sukoharjo juga termasuk wilayah penghasil sapi walaupun dalam jumlah terbatas.
325
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 1. Komposisi sapi potong berdasarkan bangsa di Kabupaten Sukoharjo tahun 2007 Bangsa sapi
Keterangan
Jumlah
I
II
III
IV
(ekor)
%
UT
3
7
3
1
14
11,01
3,50
Pedet (0 – 12 bulan) (ekor) Jantan Betina
8
4
1
-
13
10,32
3,25
Jumlah
11
11
4
1
27
21,32
6,75 0,60
Pedet (0 – 12 bulan) (ekor) Jantan
1
-
1
-
1
0,79
Betina
1
4
1
-
6
4,77
3,60
Jumlah
12
4
1
-
7
5,56
4,20
Jantan
2
4
4
1
11
8,73
11,00
Betina
37
28
11
5
81
64,29
81,00
Jumlah
39
32
15
6
92
73,02
92,00
Jantan
6
11
8
2
26
20,63
15,10
Betina
46
36
13
5
100
73,37
87,85
Jumlah
52
47
21
7
-
-
-
41,27
37,30
15,87
5,56
126
100
102,95
Pedet (0 – 12 bulan) (ekor)
Pedet (0 – 12 bulan) (ekor)
(%)
I = PO; II = Simpo; III = Limpo; IV = Brangus; Pedet = 0,25 UT; Muda = 0,6 UT; Dewasa = 1 UT
Tabel 2. Mutasi sapi potong berdasarkan bangsa di kabupaten Sukoharjo tahun 2007 Bangsa sapi
Keterangan
Jumlah
I
II
III
IV
Pedet (ekor)
-
-
-
-
Muda (ekor)
Masuk -
2 (25,00)
4 (50,00)
2 (25,00)
-
-
Dewasa (ekor)
-
-
-
-
-
Jumlah (ekor)
2 (25,00)
4 (50,00)
2 (25,00)
-
8 (100)
Pedet (ekor)
16 (45,72)
7 (20,00)
4 (11,43)
3 (8,57)
30 (85,72)
Muda (ekor)
1 (2,86)
1 (2,86)
2 (5,71)
-
4 (11,43)
-
1 (2,86)
-
-
1 (2,86)
17 (48,57)
9 (25,72)
6 (25,72)
3 (8,57)
35 (100)
Keluar
Dewasa (ekor) Total (ekor)
Angka di dalam kurung menunjukkan persentase terhadap jumlah akhir masuk/keluar.
326
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Pengelolaan reproduksi sapi potong
Jumlah kelahiran sapi potong
Pengelolaan reproduksi sapi potong berdasarkan bangsa di Kabupaten Sukoharjo tahun 2007 disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengelolaan reproduksi oleh peternak sapi setiap bangsa sapi bervariasi dan tergantung pada tingkat pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan peternak. Interval kelahiran pada sapi PO dan Brangus relatif lebih pendek dan pada sapi Simpo dan Limpo, tapi sifat lainnya relatif sama.
Jumlah kelahiran sapi potong berdasarkan bangsa di kabupaten Sukoharjo pada tahun 2007, disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa persen-tase kelahiran sapi PO dan Brangus relatif lebih baik dari pada Simpo dan Limpo. Hal ini diduga sapi PO dan Brangus mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih baik karena mengandung darah Bos indicus.
Tabel 3. Pengelolaan reproduksi sapi potong berdasarkan bangsa di Kabupaten Sukoharjo tahun 2007 Bangsa sapi
Keterangan I
II
III
IV
Jantan
20,00 ± 3,10
22,50 ± 3,40
22,20 ± 2,70
24,10 ± 2,50
Betina
20,05 ± 3,75
23,70 ± 4,55
25,09 ± 4,50
24,85 ± 4,14 100
Umur kawin I (bulan)
Cara perkawinan (%) IB
100
100
100
Alam
-
-
-
-
S/C (kali)
1,74 ± 0,85
1,77 ± 0,80
1,70 ± 0,67
2,50 ± 1,37
Jantan
2,46 ± 1,57
2,21 ± 1,75
1,66 ± 2,02
1,66 ± 2,02
Betina
Lama Breeding (tahun) 8,62 ± 1,61
9,00 ± 1,56
9,50 ± 0,83
9,00 ± 1,22
Umur sapih (bulan)
5,97 ± 8,04
5,62 ± 1,01
5,54 ± 0,82
5,83 ± 0,40
Umur melahirkan I (tahun)
2,92 ± 0,22
4,27 ± 2,03
3,40 ± 1,15
3,65 ± 0,61
Induk dikawinkan setelah melahirkan (bulan)
4,02 ± 1,76
3,00 ± 0,29
3,08 ± 0,20
3,12 ± 0,25
Interval kelahiran (bulan)
16,86 ± 4,52
18,67 ± 2,82
17,11 ± 2,88
16,16 ± 2,85
Tabel 4. Kelahiran sapi potong berdasarkan bangsa di kabupaten SUKOHARJO tahun 2007 Bangsa sapi
Keterangan I
II
Rata-rata
III
IV
Jumlah populasi sampel (ekor)
52
47
20
7
31,50 ± 1,55
Jumlah induk sampel (ekor)
37
28
11
5
20,25 ± 14,82
Jumlah pedet lahir setahun (ekor)
27
18
8
4
14,25 ± 0,34
Terhadap jumlah induk
72,99
64,29
72,73
80,00
72,50 ± 6,43
Terhadap populasi sampel
51,92
38,29
40,00
57,14
46,84 ± 9,16
Kelahiran dalam satu tahun (%)
327
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Perhitungan Natural Increase (NI)
Perhitungan Net Replacement Rate (NRR)
Perhitungan Natural Increase (NI) sapi potong berdasarkan bangsa di kabupaten Sukoharjo pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa Natuiral Increase (NI) pada sapi PO dan Brangus lebih baik dari pada Simpo dan Limpo. NI dihitung berdasarkan selisih antara kelahiran dengan kematian, dan NI sapi Simpo terendah yaitu 38,29%. Hal ini diduga karena permasalahan dengan reproduksinya.
Perhitungan Net Replacement Rate (NRR) sapi potong berdasarkan bangsa di kabupaten SUKOHARJO pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 6. Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa NRR pada sapi PO dan Brangus lebih baik dari pada sapi Simpo dan Limpo, bahkan sapi Simpo mempunyai NRR terendah yaitu 301,36%. Rata-rata NRR dari semua bangsa sapi sekitar 331,689 artinya di wilayah kabupaten SUKOHARJO tersedia sapi betina
Tabel 5. Perhitungan Natural Increase (NI) sapi potong berdasarkan bangsa di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2007 Bangsa sapi
Keterangan I Populasi sampel (ekor)
II
Rata-rata III
IV
52
47
20
7
31,50 ± 21,55
Kelahiran dari populasi(%)
72,99
64,29
72,73
80,00
72,50 ± 6,43
Kematian dari populasi(%)
0
0
0
0
0*)
51,92
38,29
40,0
57,14
46,68 ± 9,16
NI *) Sampelnya kelompok peternak
Tabel 6. Net Replacement Rate sapi potong di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2007 Bangsa sapi
Keterangan
Rata-rata
I
II
III
IV
71,15
9,57
5,00
71,43
Terhadap induk
72,99
64,29
72,73
80,00
72,50 ± 6,43
Terhadap populasi
51,92
38,29
40,00
57,14
46,84 ± 9,16
Kematian ternak (%)
0
0
0
0
0
Natural Increase (%)
51,92
38,29
40,00
57,14
46,84 ± 9,16
Ramalan anak betina hidup umur 2 tahun (%)
26,12
19,95
19,76
29,20
23,76 ± 4,68
Betina tua yang diafkir dari breeding per tahun
8,25
6,62
5,97
7,94
7,15 ± 1,15
8,25
6,62
5,79
7,94
7,15 ± 1,15
316,61
301,36
34,1
367,76
331,68 ± 29,07
Betina dewasa (%) Kelahiran (%)
Kebutuhan sapi betina Pengganti/tahun (umur 2 tahun)(%) Net Replacement Rate (NRR)(%)
328
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
bibit sebanyak 331,68%dari kebutuhan atau tersedia tiga (3) kali lipat dari kebutuhan. Kebutuhan bibit ini dapat digunakan untuk pengembangan populasi di wilayah sendiri atau tempat lain.
Estimasi output sapi potong Estimasi output atau pengeluaran sapi potong berdasarkan berda-sarkan bangsa di kabupaten SUKOHARJO pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 8. Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pada tahun 2007 kabupaten SUKOHARJO dapat mengeluarkan sisa sapi muda betina umur 2 tahun untuk bibit, yaitu PO 1.692 ekor (6,64%), Simpo 1.140 ekor (4,47%), Limpo 509 ekor (12,0%) dan Brangus 272 ekor (1,07%) dengan jumlah seluruh bangsa sebanyak 3.613 ekor (14,18%) dari populasi. Jumlah sapi yang dapat dikeluarkan untuk bakalan penggemukan atau dipotong, yaitu PO 3.770 ekor (14,79%), Simpo 2.500 ekor (9,81%), Limpo 1.108 ekor (4,35%) dan Brangus 524 ekor (2,06%) dengan jumlah seluruh bangsa sapi sebanyak 7.902 ekor (31,01%) dari populasi. Berdasarkan hasil ini Kabupaten
Komposisi output sapi potong Komposisi output sapi potong di kabupaten SUKOHARJO pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 7. Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah pengeluaran sapi potong di kabupaten SUKOHARJO 2007, pada sapi PO dan Brangus lebih baik dari pada sapi Simpo dan Limpo. Rata-rata pada tahun 2007 kabupaten SUKOHARJO dapat mengeluarkan sapi sebanyak 46,84% dari populasi, yang terdiri dari sisa sapi muda jantan 16,56% dan betina 16,61%, sapi tua afkir jantan 6,52% dan betina 7,15%.
Tabel 7. Komposisi output sapi potong di kabupaten Sukoharjo pada tahun 2007 No. 1
2
3
4
Rata-rata
I
II
III
IV
a. Jantan
25,80
18,34
20,24
27,94
23,08 ± 4,53
b. Betina
26,12
19,95
19,76
29,20
23,76 ± 4,68
c. Jumlah
51,92
38,29
40,00
57,14
46,84 ± 9,16
a. Jantan
1,56
3,86
12,05
8,60
6,52 ± 4,71
b. Betina
8,25
6,62
5,79
7,94
7,15 ± 1,15
c. Jumlah
9,81
10,48
17,84
16,54
13,67 ± 4,11
a. Jantan
24,24
14,48
8,19
19,34
16,56 ± 6,86
b. Betina
17,87
13,33
13,97
21,26
16,61 ± 3,69
c. Jumlah
42,11
27,81
22,16
40,50
33,17 ± 9,75
1,56
3,86
12,05
8,60
6,52 ± 4,71
Natural Increase umur 2 tahun (%)
Kebutuhan ternak peng- ganti (%)
Sisa sapi muda
Sapi dewasa/tua afkir a. Jantan
5
Bangsa sapi
Keterangan
b. Betina
8,25
6,62
5,79
7,94
7,15 ± 1,15
c. Jumlah
9,81
10,48
17,84
16,54
13,67 ± 4,11
51,92
38,29
40,00
57,14
46,84 ± 9,16
Jumlah pengeluaran sapi potong (%) (3c + 4c)
329
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 8. Estimasi output sapi potong berdasarkan bangsa di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2007*) Keterangan Jumlah (%) Jumlah (ekor) Output (ekor) a. Sapi dewasa afkir Jantan Betina Jumlah b. Sapi muda sisa Jantan Betina Jumlah c. Bibit betina **) d. Total (a + b + c)
Bangsa sapi II III 37,30 15,87 9.507 4,045
I 41,27 10.519
Jumlah
IV 5,56 1.418
100 25.489
164 868 1.032
367 629 96
487 234 721
122 82 204
1.140 1.813 2.953
2.550 1.880 4.430 1.692 3.770
1.377 1.267 2.644 1.140 2.500
331 565 896 509 1.108
274 302 572 272 524
4.532 4.014 8.542 3.613 7.902
*)Populasi sapi potong tahun 2007 = 25.489 ekor **)Bibit betina sebesar 90% dari sisa sapi muda betina = 3.613 ekor
Sukoharjo layak dikatakan sebagai sumber bibit dan sumber sapi potong walaupun jumlahnya terbatas.
Tabel 9. Jumlah pemotongan sapi di Kabupaten Sukoharjo tahun 2002 – 2006 Jumlah (ekor)
Tahun
Jumlah pemotongan sapi Jumlah pemotongan sapi dan rata-rata persentase karkas sapi yang dipotong di kabupaten Sukoharjo disajikan pada Tabel 9 dan 10. Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa pada tahun 2006 di Kabupaten Sukoharjo Jumlah pemotongan sapi sebanyak 1.215 ekor atau 4,84% dari populasi yang ada dan jumlah tersebut terdiri dari 2,71% di RPH dan 2,13% di TPH. Rata-rata kenaikan jumlah pemotongan selama 5 tahun terakhir adalah 20,45%.
Jumlah
Kenaikan (%)
RPH
TPH
2002
512
80
592
-
2003
533
260
793
33,95
2004
560
914
1474
85,88
2005
795
418
1213
38,06
2006
681
534
1215
0,02
Rata-rata = 20,45 TPH = Tempat Pemotongan Hewan di RPH RPH = Rumah Pemotongan Hewan
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa ratarata persentase karkas sapi persilangan dan
Tabel 10. Persentase karkas sapi potong di TPH kabupaten SUKOHARJO pada tahun 2007 Keterangan
PO
Persilangan jantan Jantan
Rata-rata/ jumlah Betina
Jumlah sapi (ekor)
7
5
3
24
Umur sapi (tahun)
2,79
2,6
2,0
3,46
Bobot hidup (kg)
644,14
404,40
233,0
433,85
Bobot karkas (kg)
356,71
220,00
123,0
233,24
Persentase karkas (kg)
53,74
54,63
52,58
53,65
Yang dipotong 14,29% betina dan 85,71% jantan; Persilangan terdiri dari Simpo, Limpo dan Brangus
330
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 11. Rata-rata bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sapi potong di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2007 Jumlah sampel (ekor)
Umur (tahun)
Bobot badan (kg)
Tinggi gumba (cm)
Tinggi Pinggul (cm)
Panjang badan (cm)
Lingkar dada (cm)
PO
5
2,10
334,20
135,40
140,20
138,30
166,40
Simpo
6
1,67
377,67
126,67
136,67
142,67
168,50
Limpo
5
1,40
326,60
131,80
136,60
138,20
166,60
Brangus
2
2,25
345,00
137,0
142,50
137,50
167,50
PO
44
3,68
310,59
129,52
135,95
135,86
161,61
Simpo
13
3,77
399,31
132,69
140,0
146,54
174,15
Limpo
10
4,35
358,10
131,0
137,3
145,30
169,30
Brangus
6
4,67
383,67
128,50
135,83
143,00
171,00
Bangsa Jantan
Betina
*) Berdasarkan estimasi gigi seri
PO relatif sama, tapi bobot hidup dan bobot karkas sapi persilangan lebih tinggi dari pada sapi PO. Namun demikian hasil ini belum dapat mewakili kondisi sebenarnya sebab jumlah sampel relatif sedikit. Bobot badan dan ukuran tubuh sapi potong Rata-rata bobot badan dan ukuranukuran tubuh sapi PO, Simpo, Limpo dan Brangus disajikan pada Tabel 11. Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa hasil pengamatan umur bangsa sapi relatif sama pada setiap jenis kelamin, tetapi berat badan dan ukuran-ukuran tubuh sapi bervariasi. Berdasarkan standar mutu bibit sapi Peranakan Ongole betina, tinggi gumba minimal 112 cm dan maksimal 118 cm (SPINAK/01/43/1988). Pada Tabel 11 rata-rata tinggi gumba sapi betina PO sudah melampaui standar mutu bibit sapi nasional. Perkembangan populasi sapi potong Tabel 12 menunjukkan bahwa populasi sapi potong di Kabupaten Sukoharjo tahun 2002 sampai 2006 mengalami kenaikan
dengan rata-rata 0,37% per tahun. Berdasarkan analisis time series diperoleh persamaan garis regresi perkembangan populasi sapi potong y = 25.088,6x + 152,1 dan dapat diduga pada tahun 2001 populasi sapi potong di kabupaten Sukoharjo sebesar 26.153 ekor, dengan asumsi kondisi pendukung tetap seperti tahun 2006. Hal ini pada tahun 2011 ada peternak baru sebanyak 210 orang dengan penambahan sapi sebanyak 664 ekor, sehingga potensi sapi potong di Kabupaten Sukoharjo makin kuat. Tabel 12. Populasi sapi potong di Kabupaten Sukoharjo tahun 2002 sampai 2006 Tahun
Populasi*) (ekor)
Kenaikan per tahun (%)
2002
25.119
-
2003
24.781
1,35
2004
24.983
0,82
2005
25.106
0,49
2006
25.489
1,53
Rata-rata = 0,37 *)Statistik Peternakan Kabupaten Sukoharjo, 2006
331
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Output bibit betina umur 2 tahun sebanyak 3.613 ekor (14,18%) dari populasi yang terdiri dari sapi PO 1.692 ekor (6,64%), Simpo 1.140 ekor (4,47%), Limpo 509 ekor (2,0%) dan Brangus 272 ekor (1,07%), yang dapat digunakan untuk pengembangan di wilayah kabupaten SUKOHARJO atau di wilayah lain. Output sapi untuk dipotong sebanyak 7.902 ekor ( 31,01%) dari populasi yang terdiri dari PO 3.770 ekor (14,79%), Simpo 2.500 ekor (9,81%), Limpo 1.108 ekor (4,35%) dan Brangus 524 ekor (2,06%), yang dapat dipotong di wilayah kabupaten SUKOHARJO atau untuk wilayah lain. Jumlah masing-masing bangsa sapi terhadap populasi yaitu PO 41,27%; Simpo 37,30%; Limpo 15,87% dan Brangus 5,56% atau persilangan sebanyak 58,73%. Jumlah sapi PO 41,27% dan persilangan 58,73% dari populasi maka perlu adanya kebijakan breeding untuk melestarikan sapi PO dan peningkatan produktivitas sapi potong di Kabupaten Sukoharjo.
ANONIMUS. 1991. Pedoman Standar Bibit Ternak di Indonesia. Ditjen Peternakan, Jakarta.
332
HARDJOSUBROTO, W. 1990. Penentuan Plafon Ekspor Sapi Potong. DPP, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ______________. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT GramediaWidiasarana Indonesia Jakarta. LASLEY, J.F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd Ed. Prentice Hall of India, Pvt., Ltd., New York. SUMADI, W. HARDJOSUBROTO, N. NGADIYONO dan S. PRIHADI. 2001. Potensi Sapi Potong di Kabupaten Sleman Analisis dari Segi Pemuliaan dan Produksi Daging. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. SUMADI, ADIARTO, W. HARDJOSUBROTO, N. NGADIYONO dan S. PRIHADI. 2004. Analisa Potensi Pembibitan Ternak daerah. Kerjasama Direktorat Perbibitan, Dirjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian Jakarta dengan Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. WARWICK, E.J., J.M. ASTUTI dan W. HARDJOSUBROTO. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press.