Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
IDENTIFIKASI PENYEBAB KEMATIAN SAPI POTONG DALAM PROGRAM PSDS-K DI JAWA TENGAH (The Etiological Identification of Neonatal Mortality of Beef Cattle in Central Java) Indraningsih, Sani Y Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT The purpose of this study was to identify the etiologies of mortality in beef cattle and calves in beef self sufficiency program in Central Java including regencies of Semarang, Kebumen, Klaten and Sragen.The results show that mortality rate of beef cattle in Central Java was between 0-50% (average rate = 11.7%) in adult cattle and 0-66.7% (average rate = 17.6%) in calves.The common problems faced in beef cattle development were: (1) Mortalities of adult cattle and calves; (2) Silent heat; (3) Repeat breeding; (4) Diarrhoea; (5) Stunting syndrome; and (6) Metabolic diseases. Haematology analysis showed that most samples contain neutrophyls and eosinophyls above the maximum level. Adult cattle showed an average value of PCV at 31.9% (22-45%); neutrophyls = 27.6% (14-71%); lymphocytes = 52.9% (35-85%); and eosinophyls = 20.8% (3-41%). While calves were PCV = 27.3% (14-39%); neutrophyls = 25,3% (15-45%); lymphocytes = 64.1% (44-85%); and neutrophyls = 11.5% (2-31%). Cattle were suspected being infected by hyperchromatosia. In calves, the average level of Fe was 580 mg/l and Mg was 400 mg/l higher than the normal level and Ca was 232.1 mg/l lower than the normal level. Colibacillosis was identified from faecal samples of beef cattle with the incidence rate at 92.6% from 27 samples analysed. Eschericia coli K99 was a common serotype identified from the samples. Apart from this, 2 samples was infected by E. coli H7. The incidence rate of colibacillosis in calves was 87.5% from 8 faecal samples. Based on the isolation and identification, diarrhoea in beef cattle in Central Java was due to Eschericia coli. Key Words: Animal Health, Beef Catle, Selfsufficiency, Central Java ABSTRAK Tujuan penelitian mengidentifikasi penyebab kematian sapi potong dalam program PSDS-K di 4 kabupaten Provinsi Jawa Tengah. Hasil kunjungan lapang, tingkat mortalitas sapi potong di Jawa Tengah pada Kelompok Tani Ternak cukup tinggi yakni 0-50% (rataan 11,7%) sapi dewasa dan 0-66,7% (17,6%) pada anak sapi. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong: 1) Kematian induk dan anak sapi potong; 2) Tidak memperlihatkan gejala birahi; 3) Kawin berulang; 4) Diare; 5) Pertumbuhan lamban; 6) Gangguan metabolisme. Gambaran hematologi menunjukkan sebagian besar sampel memiliki nilai neutrofil dan eosinofil melebihi batas maksimum. Sapi diduga terinfeksi penyakit bakterial atau parasiter. Pada sapi dewasa, nilai rata-rata PCV adalah 31,9% (22-45%); neutrophil = 27,6% (14-71%); limfosit = 52,9% (3585%); dan eosinofil=20,8% (3-41%). Pada anak sapi, nilai rata-rata PCV adalah 27,3% (14-39%); neutrophil = 25,3% (15-45%); limfosit = 64,1% (44-85%); dan neutrophil = 11,5% (2-31%). Analisis mikromineral darah terlihat nilai rata-rata Fe sebesar 685,6 mg/l dan Mg mencapai 638,8 mg/l lebih tinggi daripada batas normalnya. Sebaliknya dengan nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran normal, serta kalsium mencapai 232,1 mg/l (kalsium) lebih rendah dari kisaran normal. Kolibasilosis terdeteksi pada feses sapi potong dewasa dengan tingkat kejadian mencapai 92,6% dari 27 sampel yang dianalisis. Eschericia coli K99 merupakan serotipe yang sering teridentifikasi pada sampel. Terdapat 2 sampel yang terinfeksi oleh E. coli H7. Tingkat kejadian kolibasilosis pada anak sapi mencapai 87,5% dari 8 sampel feses. Hasil isolasi dan identifikasi penyebab diare pada sapi potong di Jawa Tengah adalah E. coli. Kata Kunci: Kesehatan, Sapi Potong, PSDS-K, Jawa Tengah
187
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PENDAHULUAN Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 (PSDS-K 2014) merupakan salah satu program utama pada Kementerian Pertanian yang terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya lokal. Produksi daging untuk konsumsi diperoleh dari daging sapi/kerbau, kambing/domba dan ayam. Sedangkan kontribusi daging sapi saat ini mencapai 23% yang diperkirakan terus meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk dan perbaikan ekonomi nasional serta kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, produktivitas sapi lokal nasional masih rendah yang disebabkan karena tingkat kematian pedet (neonatal mortality) masih tinggi berkisar antara 20-40% dan tingkat kematian sapi dewasa mencapai lebih dari 10-20%. Populasi sapi potong di Indonesia tumbuh sebesar 1,22% atau sebanyak 10,8 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Pertambahan populasi sapi sebesar ini ternyata belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri yang mengalami defisit sebesar 1,6 juta ekor (14,5%) dari populasi ideal sebanyak 12,4 juta ekor. Kendala utama dalam peningkatan produksi sapi potong adalah status kesehatan hewan baik pada induk sapi maupun pedet. Kasus kematian pedet (neonatal mortality) sampai umur 6 bulan dapat mencapai 20-30% (Wudu et al. 2008). Kejadian neonatal mortality bervariasi tergantung umur anak sapi, dimana angka kematian pedet mencapai 75% pada umur 3 hari hingga 1 bulan (Roy, 1980); 10% pada umur 1-3 bulan (Radostits dan Blood 1985) dan 5-6% terjadi pada umur 6 bulan (Roy 1980; Radostits dan Blood 1985). Sementara itu, hasil survei lapangan yang dilakukan oleh BBlitvet pada tahun 2009 di Kabupaten Semarang (Jawa Tengah) dan Kabupaten Sumedang (Jawa Barat) disampaikan bahwa kematian anak sapi mencapai 33,3 - 36,4% (Kabupaten Semarang) dan 8,3 -45,5% (Kabupaten Sumedang) (Sani et al. 2009). Kematian anak sapi umumnya terjadi pada umur 1-7 hari pertama setelah lahir, meskipun terdapat beberapa ekor terjadi pada umur diatas 14 hari. Gejala klinis yang sering dijumpai sebelum kematian adalah lemah, tidak mampu berdiri, kekurangan air
188
susu dari induk, gangguan proses kelahiran dan traumatis. Namun demikian, penyebab kematian anak sapi belum diketahui dan perlu dipelajari lebih lanjut. Neonatal mortality dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan antara lain gangguan metabolik (Payne 1989), diare infeksius dan non-infeksius (Mebuis 1975; Acres et al. 1977; Athanassious et al. 1994; Ralston et al. 2003), gangguan nutrisional (Payne 1989); penyakit infeksius dan noninfeksius serta gangguan reproduksi pada induk. Resiko kematian anak sapi tertinggi umumnya terjadi antara umur 1-3 bulan setelah lahir. Selama periode kritis tersebut perlu mendapat perhatian khusus dengan melakukan perawatan, pengobatan dan pencegahan penyakit secara baik sehingga anak sapi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Meskipun kasus kematian anak sapi cukup tinggi, penanggulangannya belum maksimal, sehingga mempengaruhi produktivitas ternak tersebut. Saat ini penanggulangan kematian anak sapi masih bersifat simptomatis yang hanya menanggulangi gejala klinis, walaupun beberapa teknologi penanggulangannya seperti vaksin, obat-obatan dan antibiotika telah tersedia secara komersial. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada Kelompok Peternak dalam lingkup program PSDS-K di Jawa Tengah yang terdiri dari Kabupaten Semarang, Sragen, Klaten dan Kebumen. Kegiatan lapang dilakukan melalui pengumpulan data informasi mengenai kesehatan sapi potong, wawancara langsung dan koleksi sampel analisis. Sampel analisis terdiri dari darah/serum dan feses. Gambaran hematologi dilakukan terhadap sampel darah merah sapi potong yang dikoleksi dari lapang menggunakan peralatan hematology analyser dan haemoglobinometer. Gambaran haematologi dilakukan terhadap kandungan eritrosit, neutrofil, eosinofil, limfosit dan packed cells volume (PCV). Kandungan mineral esensial seperti Ca, P, Fe dan Mg dianalisis dari sampel serum menggunakan UV/Vis spectrophotometer. Sementara itu, isolasi dan identifikasi agen penyakit penyebab diare khususnya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
colibacillosis dan salmonellosis dilakukan pada sampel feses menggunakan metoda baku secara kultur dan mikroskopis. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi kesehatan sapi potong pada kelompok tani ternak Penelitian ini telah melakukan pengamatan pada 14 Kelompok Tani Ternak yang tersebar di Jawa Tengah, yakni: 1) Kabupaten Semarang (4 Kelompok Tani Ternak); 2) Kabupaten Kebumen (5 Kelompok Tani Ternak); 3) Kabupaten Klaten (3 Kelompok Tani Ternak); dan 4) Kabupaten Sragen (2 Kelompok Tani
Ternak) dengan total populasi sapi sebanyak 722 ekor yang terdiri dari 471 ekor sapi dewasa dan 251 ekor anak sapi (Tabel 1). Pada Tabel 2 terlihat bahwa rataan tingkat mortalitas sapi dewasa pada 14 Kelompok Tani Ternak di Jawa Tengah mencapai 11,7% dengan kisaran antara 0-50%. Rataan tingkat mortalitas sapi potong dewasa tertinggi terjadi di Kabupaten Sragen (36,5%) yang kemudian diikuti oleh Kabupaten Semarang (11,7%), Kabupaten Kebumen (6,8%) dan Kabupaten Klaten (3,1%). Sementara itu, rataan tingkat kematian anak sapi potong di Jawa Tengah mencapai 17,6% dengan kisaran antara 066,7%. Rataan tingkat mortalitas anak sapi potong yang tertinggi dijumpai di Kabupaten Semarang (36,5%) dan diikuti secara berurutan
Tabel 1. Populasi sapi potong pada kelompok tani ternak yang dikunjungi selama penelitian di Kabupaten Semarang, Kebumen, Klaten dan Sragen-Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/kelompok tani ternak
Jumlah awal (ekor)
Jumlah sekarang (ekor)
Total
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
KT. Ngudi Hasil (SMD)
12
11b
8
4
12
KT. Rahayu II (SMD)
12
11
12
7
19
KT. Sido Rukun (Pembibitan)
44
7
44a
4
48
KT. Ponpes Al Itihad (LM3)
20
0
20
14
34
KT. Bina Usaha (Binaan Dinas)
50
50
44a
43
87
KT. Sido Ayem (Pembibitan)
50
46
46
48a
94
KT. Sumber Makmur (Binaan Dinas)
50
0
50
0
50
KT. Suka Maju (Dinas)
60
58
61a
46bc
107
KT. Gelora Tani (Pemurnian)
44
NA
44
NA
44
KT. Sedyo Rahayu (Binaan Dinas)
81
77
81
66bc
147
KT. Sido Mukti (Binaan Dinas)
30
30
28
NA
28
KT. Nugraha (Binaan BPTP)
17
0
17
1
18
KT. Salamah wa Barokah (LM3)
13
10
10
8
18
KT. Maju Makmur (SMD)
12
11
Kabupaten Semarang
Kabupaten Kebumen
Kabupaten Klaten
Kabupaten Sragen
Total NA X+ Xa Xb Xc
6
10
16
471
251
722
: Tidak ada data : Melahirkan : Penambahan/penggantian : Abortus (melahirkan tetapi mati)/mati : Dijual
189
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 2. Tingkat mortalitas sapi potong pada kelompok tani ternak di Kabupaten Semarang, Kebumen, Klaten dan Sragen-Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten/kelompok tani ternak
Jumlah awal (ekor)
Jumlah sekarang (ekor)
Mortalitas (ekor/%)
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa 11,7
36,5
KT. Ngudi Hasil (SMD)
12
11b
8
4
4 (33,3%)
8 (66,7%)
KT. Rahayu II (SMD)
12
11
12
7
0 (0%)
4 (36,4%)
KT. Sido Rukun (Pembibitan)
44
7
44a
4
6 (13,6%)
3 (42,9%)
KT. Ponpes Al Itihad (LM3)
20
0
20
14
0 (0%)
0+ (0%)
6,8
8,8
KT. Bina Usaha (Binaan Dinas)
50
50
44a
43
13 (26%)
7 (14%)
KT. Sido Ayem (Pembibitan)
50
46
46
48a
4 (8%)
9 (19,7%)
KT. Sumber Makmur (Binaan Dinas)
50
0
50
0
0 (0%)
0 (0%)
KT. Suka Maju (Dinas)
60
58
61a
46bc
0a (0%)
6 (10,4%)
KT. Gelora Tan (Pemurnian)
44
NA
44
NA
0 (0%)
0 (0%)
3,1
4,6
KT. Sedyo Rahayu (Binaan Dinas)
81
77
81a
66bc
2 (2,5%)
7 (9,1%)
KT. Sido Mukti (Binaan Dinas)
30
30
28
NA
2 (6,7%)
NA
KT. Nugraha (Binaan BPTP)
17
0
17
1
0 (0%)
0+ (0%)
36,5
14,6
Kabupaten Semarang
Kabupaten Kebumen
Kabupaten Klaten
Kabupaten Sragen
Anak
KT. Salamah wa Barokah (LM3)
13
10
10
8
3 (23,1%)
2 (20%)
KT. Maju Makmur (SMD)
12
11
6
10
6 (50%)
1 (9,1%)
11,7%
17,6%
Rata–rata mortalitas (%) NA X+ Xa Xb Xc
: Tidak ada data : Melahirkan : Penambahan/penggantian : Abortus (melahirkan tetapi mati)/mati. : Dijual
oleh Kabupaten Sragen (14,6%), Kabupaten Kebumen (8,8%) dan Kabupaten Klaten (4,6%) Penyebab kematian sapi potong dewasa dan anak sapi tidak diketahui secara pasti, namun berdasarkan wawancara langsung dengan peternak setempat dilaporkan bahwa gejala klinis yang terlihat sebelum kematian ternak meliputi Tabel 3: lemah, paralysis, gejala hypocalcemia, prolapsus serta mati mendadak tanpa memperlihatkan gejala klinis. Hasil pengamatan langsung menunjukkan bahwa sapi potong dewasa mengalami diare, kurus, anaemia, kawin berulang dan silent heat. Sementara gejala klinis sebelum kematian anak sapi dilaporkan oleh peternak terdiri dari
190
abortus, paralysis dan traumatis karena tertendang oleh sapi dewasa maupun induknya. Kejadian kematian anak sapi berlansung umumnya 1-7 hari setelah lahir. Terdapat beberapa ekor anak sapi yang mati pada umur ≥1 bulan (2 ekor di Kabupaten Kebumen), ≥2 bulan (1 ekor di Kabupaten Sragen), dan ≥3 bulan (1 ekor di Klaten). Hasil pengamatan lapang, terlihat bahwa anak sapi mengalami kekurusan, diare, bulu kusam dan berdiri, pertumbuhan lamban atau kerdil. Untuk melakukan diagnosa konfirmasi penyebab kematian sapi dewasa dan anak sapi tersebut maka dikoleksi sampel terkait seperti darah, feses dan susu.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 3. Kondisi kesehatan ternak pada kelompok tani ternak di Kabupaten Semarang, Kebumen, Klaten dan Sragen-Provinsi Jawa Tengah berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara Kabupaten/kelompok tani ternak Kabupaten Semarang KT. Ngudi Hasil (SMD)
KT. Rahayu II (SMD) KT. Sido Rukun (Pembibitan)
KT. Ponpes Al Itihad (LM3) Kabupaten Kebumen KT. Bina Usaha (Binaan Dinas)
KT. Sido Ayem (Pembibitan)
KT. Sumber Makmur (Binaan Dinas) KT. Suka Maju (Dinas)
KT. Gelora Tani (Pemurnian) Kabupaten Klaten KT. Sedyo Rahayu (Binaan Dinas)
KT. Sido Mukti (Binaan Dinas)
KT. Nugraha (Binaan BPTP)
Kabupaten Sragen KT. Salamah Wa Barokah (LM3)
KT. Maju Makmur (SMD)
Dewasa
Kondisi kesehatan ternak Anak
Kurus, Diare Abortus (1 ekor) Kawin berulang. Mati karena sakit (4 ekor) Sehat Majir (1 ekor), Kawin berulang Sehat, Dermatitis, Abortus (1 ekor) Hypocalcemia Mati (6 ekor): prolapsus (2 ekor) Potong paksa (4 ekor) Karena lumpuh, lemah dan Ambruk (hypocalcemia) Kurus, Diare Dermatitis
Kurus Diare Kerdil (1 ekor) Mati (7 ekor): umur 1-7 hari Sehat Mati (4 ekor): umur 1-7 hari Sehat Mati (3 ekor): umur 1-7 hari
Sehat, Abortus (3 ekor) Mati (13 ekor): hypocalcemia, Kembung, prolapsus, lemah Umum dan mati mendadak Kurus, Dermatitis, Diare Mati (4 ekor): traumatis, hyperektasi, dan tympani Sehat, Endometritis (3 ekor)
Lemah Kembung. Abortus. Mati (7 ekor): umur 1-7 hari Mati (9 ekor): traumatis dan lemah
Sehat
Kurus, Diare, Tympani
Diare Pertumbuhan lambat
Belum ada anak sapi yang lahir Mati (6 ekor): umur 1-3 hari (4 ekor) dan >1 bulan (2 ekor) dan paralysis NA
Sehat, Kembung Pneumonia, Paralysis Kelainan anatomis pada saluran reproduksi Endometritis, Birahi panjang Silent heat Abortus (2 ekor) Sehat Potong paksa (2 ekor) karena sakit: paralysis dan lemah Kurus Diare Dermatitis (ektoparasit)
Pertumbuhan anak lamban Abortus Mati (7 ekor): Umur 1-7 hari (6 ekor) ≥3 bulan (1 ekor) Abortus
Lumpuh Paralysis
Pertumbuhan lamban (kerdil) Mati (2 ekor): umur 1-7 hari Mati (1 ekor): umur ≥2 bulan
Silent heat, Sulit bunting Mati (6 ekor): lumpuh dan mati mendadak
NA
Sehat
NA: tidak ada data
191
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Gambaran haematologi sapi potong pada kelompok tani ternak Pada Tabel 4 dan 5 berikut ini terlihat bahwa gambaran haematologi (PCV, neutrofil, limfosit dan eosinofil) pada sapi dewasa dan anak sapi potong di Jawa Tengah masih dalam kisaran normal. Pada sapi dewasa terlihat bahwa nilai rata-rata PCV adalah 31,9% (22-45%); neutrofil = 27,6% (14-71%); limfosit = 52,9% (35-85%); dan eosinofil = 20,8% (3-41%). Sementara itu, pada anak sapi, nilai rata-rata PCV adalah 27,3% (14-39%); neutrofil = 25,3% (15-45%); limfosit = 64,1% (44-85%); dan neutrofil = 11,5% (2-31%). Nilai PCV dan neutrofil pada anak sapi lebih rendah dibandingkan dengan sapi dewasa dan sebaliknya untuk nilai limfosit dan eosinofil. Namun demikian pada kedua kelompok umur sapi ini terdapat beberapa sampel analisis yang memiliki nilai neutrofil dan eosinofil lebih besar daripada kisaran maksimum normal. Hal
ini menunjukkan terdapat infeksi penyakit bakterial dan parasiter seperti kolibasilosis maupun parasit intestinal yang digambarkan dengan gejala diare pada ternak. Analisis mineral esensial darah pada sapi potong di Jawa Tengah Tabel 6 dan 7 memperlihatkan gambaran mineral esensial darah untuk mempelajari kemungkinan adanya gangguan metabolisme pada sapi potong. Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai rata-rata zat besi (685,6 mg/l) dan magnesium (638,8 mg/l) lebih tinggi daripada batas normalnya, sebaliknya dengan nilai ratarata kalsium dalam darah sapi (369,8 mg/l) lebih rendah dari batas normal. Sedangkan posfor masih berada dalam batas normal. Rendahnya nilai kalsium dalam darah sering disebut hypokalsemia yang sering dialami oleh induk sapi dan sapi perah akibat adanya
Tabel 4. Status hematologi pada sapi potong dewasa di Jawa Tengah Kabupaten
Jenis
Rataan PCV (%)
Rataan diferensial leukosit (%) Neu. Lim. Eos.
Keterangan
Semarang (n = 5)
Bx
31,6 (27-39)
22 (14-29)
67,4 (46-85)
13,3 (3-25)
Sehat (5)
Kebumen (n = 11)
Bx/PO
29,4 (22-36)
24,5 (11-41)
51,3 (31-81)
24,3 (3-40)
Sehat (5) dan diare (6)
Klaten (n = 11)
Bx/PO
33,0 (23-43)
30,5 (16-71)
51,4 (36-80)
19,9 (4-40)
Sehat (8) dan diare (3)
Sragen (n = 6)
Bx
30,2 (27-34)
33,6 (23-39)
45,4 (36-60)
21,0 (7-41)
Sehat (3) dan Diare (3)
Rata-rata
31,9
27,6
52,9
20,8
Batas normal: PCV = 24-46%; Limfosit = 45-75%; Neutrofil = 15-45%; Eosinofil = 2-20% Tabel 5. Status hematologi pada anak sapi potong di Jawa Tengah Kabupaten Semarang (n = 4) Kebumen (n = 3) Klaten (n = 0) Sragen (n = 0) Rata-rata
Jenis Bx Bx -
Rataan PCV (%) 31,5 (24-39) 21,7 (14-29) -
Rataan diferensial leukosit (%) Neu. Lim. Eos. 22,8 73,3 3,7 (15-33) (64-85) (2-6) 28,7 52,0 19,3 (19-45) 44-65) 11-31) -
-
-
-
-
31,9
27,6
52,9
20,8
- = Tidak dapat dianalisis Batas normal: PCV = 24-46%; Limfosit = 45-75%; Neutrofil
192
Keterangan Kerdil dan diare (4) Sehat (3) Tidak ada sampel Tidak ada sampel
= 15-45%Eosinofil = 2-20%
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
gangguan keseimbangan mineral esensial dalam darah. Hypokalsemia dapat menimbulkan diare, paralisis dan kematian maupun abortus pada ternak sapi. Sementara itu, tingginya kadar zat besi dalam darah dapat menimbulkan keracunan dan mengakibat hyperkromatosia yang ditandai dengan lisisnya sel darah merah Demikian pula halnya dengan magnesium, bila terjadi gangguan keseimbangan magnesium dalam darah akan diikuti dengan rendahnya kadar kobalt yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Ketiga mineral esensial tersebut (Fe, Mg dan Ca) dapat menimbulkan gangguan reproduksi pada ternak bila terjadi ketidak seimbangannya di dalam tubuh. Gangguan keseimbangan mikromineral ini terlihat pula pada anak sapi (Tabel 7) dimana nilai rata–rata zat besi mencapai 580,0 mg/l dan 400,0 mg/l (Mg) lebih tinggi dibandingkan
dengan kisaran normal, dan 232,1 mg/l (kalsium) lebih rendah dari kisaran normal. Identifikasi mikrobiologis penyebab gangguan kesehatan pada sapi potong di Jawa Tengah Diare merupakan gejala klinis yang sering dijumpai pada peternakan sapi potong baik pada induk, jantan maupun pedet. Gejala klinis dapat mengakibatkan turunnya produktivitas ternak dan bahkan menimbulkan kematian khususnya pada anak sapi karena usia muda merupakan tingkat umur yang paling sensitif pada ternak. Oleh karena itu, agen penyebab diare dipelajari dalam penelitian ini. Isolasi dan identifikasi agen penyebab diare dilakukan pada penelitian ini khususnya untuk penyakit
Tabel 6. Gambaran mineral esensial darah pada sapi potong dewasa di Jawa Tengah Konsentrasi mineral esensial (mg/l) Lokasi
Jenis
Ket Fe+2
Semarang (n = 5) Kebumen (n = 11) Klaten (n = 11) Sragen (n = 6) Rata-rata
Bx Bx/PO Bx/PO Bx
641,2 (60-2000) 601,8 (60-1000) 606,0 (500-1000) 1000 685,6
Ca 225,0 (166,7-250) 279,2 (166,7-333,3) 397,7 (291,7-583,3) 590,3 (375-750) 369,8
Mg
P
408,0 (240-720) 552,0 (120-1000) 643,6 (280-1120) 966,7 (400-1440) 638,8
390 (350-450) 509,1 (450-600) 436,4 (250-500) 566,7 (550-600) 468,3
Sehat (5) Sehat (5) diare (6) Sehat (8) diare (3) Sehat (3) diare (3)
Batas normal: Fe+2 = 10-21 mg/l; Mg = 200-350 mg/l; Ca = 800-1100 mg/l; P= 400-700 mg/l Tabel 7. Status mineral esensial darah pada anak sapi potong di Jawa Tengah Lokasi
Jenis
Semarang (n = 5) Kebumen (n = 11) Klaten (n = 0) Sragen (n = 0) Rata-rata
Bx Bx/PO Bx/PO Bx
Fe+2 750,0 (500-1000) 353,3 (60-500) -
Konsentrasi mineral esensial (mg/l) Ca Mg 170,7 420 (166,7-333,3) (40-640) 236,1 373,3 (166.7-333,3) (160-480) -
P 487,5 (450-500) 450,0 (400-500) -
-
-
-
-
580,0
232,1
400,0
475
Ket. Sehat (5) Sehat (5) diare (6) -
- = Tidak dapat dianalisis Batas normal: Fe+2 = 10-21 mg/l; Mg = 200-350 mg/l; Ca = 800-1100 mg/l; P = 400-700 mg/l
193
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
diare infeksius yang disebabkan oleh penyakit bakterial (kolibasilosis dan salmonellosis). Pada Tabel 8 dan 9 diatas terlihat bahwa kolibasilosis dapat terdeteksi dari sapi potong dewasa (induk) dengan tingkat kejadian. mencapai 92,6% dari 27 sampel yang dianalisis. Eschericia coli K99 merupakan mayoritas serotipe yang dapat diidentifikasi dari sampel tersebut. Selain itu terdapat 2 sampel yang terinfeksi oleh E. coli H7. Sementara itu, hanya 1 dari 27 sampel (3,7%) yang terdeteksi mengalami infeksi oleh Salmonella sp. Begitupula pada anak sapi, 87,5% dari 8 sampel anak sapi terinfeksi oleh kolibasilosis dan tidak ditemukan salmonellosis. Berdasarkan data isolasi dan identifikasi penyebab diare pada sapi potong di Jawa Tengah disimpulkan dapat disebabkan oleh Eschericia coli. Diare akut sering berakibat kematian pada anak sapi yang dapat mencapai 75% pada anak sapi umur kurang dari 3 minggu. Penyebab utama diare pada anak sapi adalah enterotoksigenik Escherichia coli yang menyerang anak sapi umur 3-5 hari (Acres 1985; Mason dan Caldow, 2005; Supar dan Hirst 1985; Supar et al. 1998), rotavirus pada umur
7-10 hari, coronavirus pada umur 7-15 hari (Mason dan Caldow 2005; Saepulloh dan Sendow 2006) dan Salmonella spp pada umur beberapa minggu (Lance et al. 1992; Berge et al. 2006). Sedangkan diare kronik disebabkan karena rendahnya mutu susu pengganti (replacer) sehingga dapat menimbulkan emasiasi dan kematian pada anak sapi. Pada penelitian ini dilaporkan bahwa hasil E. coli dapat diisolasi dari sampel feses yang dikoleksi dari sapi potong pada kelompok peternak SMD di Kabupaten Semarang (Jawa Tengah). Dari 21 sampel feses yang dikoleksi dari Kabupaten Semarang (Jawa Tengah), telah diisolasi sebanyak 14 isolat E. coli yang mencapai 66,7% positip E. coli. Oleh karena itu, diare yang terjadi di empat kabupaten di Provinsi Jawa Tengah tersebut kemungkinan disebabkan karena infeksi E. coli, meskipun beberapa jenis parasit intestinal terdeteksi pula dalam penelitian ini seperti Strongylus sp dan Fasciola sp tetapi belum menimbulkan gejala klinis infeksi parasit. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan (Kabupaten Semarang), bahwa gejala klinis yang dilaporkan seperti lumpuh dan lemas setelah melahirkan, diare pada induk dan
Tabel 8. Isolasi dan identifikasi mikrobiologi penyebab diare pada sapi potong dewasa di Jawa Tengah Lokasi
Jenis
Isolasi E. coli
Salmonella sp.
Serotipe
Keterangan
Semarang (n = 5)
Bx
4/5 (80%)
0/5 (0%)
E.coli K99 (3)
Sehat
Kebumen (n = 10)
Bx/PO
9/10 (90%)
1/10 (10%)
E.coli H7 (2)
Sehat (4), diare (6)
Klaten (n = 9)
Bx
9/9 (100%)
0/9 (0%)
E.coli K99 (5)
Sehat (8), diare (1)
Sragen (n = 3)
Bx
3/3 (100%)
0/3 (0%)
E.coli K99 (2)
Diare (3)
25/27 (92,6%)
1/27 (3,7%)
Rata-rata
Tabel 9. Isolasi dan identifikasi mikrobiologi penyebab diare pada anak sapi potong di Jawa Tengah Lokasi
Jenis
Isolasi E. coli
Salmonella sp.
Serotipe
Bx
2/2 (100%)
0/2 (0%)
E.coli K99 (1); E.coli H7 (1) E.coli H7 (2)
Klaten (n = 0)
-
-
-
-
Sragen (n = 4)
Bx
3/4 (75%)
0/4 (0%)
E.coli K99 (1)
7/8 (87,5%)
0/8 (0%)
Semarang (n = 2)
Bx
2/2 (100%)
0/2 (0%)
Kebumen (n = 2)
Rata-rata
194
Keterangan Sehat Sehat (4), diare (6) Diare (3)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
anak serta kematian anak sapi mengindikasikan bahwa gangguan metabolisme dan defisiensi mungkin saja terjadi pada induk dan anak sapi. Gangguan metabolisme ini juga diindikasikan pada penelitian ini dimana sebagian besar sampel darah yang dianalisis mengandung kadar kalsium yang lebih rendah dibandingkan dengan batas normalnya setelah melahirkan maupun pada anak sapi potong. Meskipun kasus kematian anak sapi cukup tinggi di Jawa Tengah, penanggulangannya belum optimal. Penanggulangan kematian anak sapi umumnya bersifat simptomatis yang hanya menanggulangi gejala klinis saja, walaupun bebeberapa teknologi penanggulangannya seperti vaksin, obat-obatan dan antibiotika telah tersedia secara komersial.
Pada anak sapi, nilai rata-rata zat besi mencapai 580,0 mg/l dan 400,0 mg/l (Mg) lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran normal, dan 232,1 mg/l (kalsium) lebih rendah dari kisaran normal. Kolibasilosis dapat terdeteksi dari feses sapi potong dewasa (induk) dengan tingkat kejadian mencapai 92,6% dari 27 sampel yang dianalisis. Eschericia coli K99 merupakan mayoritas serotipe yang dapat diidentifikasi dari sampel tersebut. Selain itu, terdapat 2 sampel yang terinfeksi oleh E. coli H7. Begitupula pada anak sapi, 87,5% dari 8 sampel anak sapi terinfeksi oleh kolibasilosis. Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi penyebab diare pada sapi potong di Jawa Tengah adalah Eschericia coli.
KESIMPULAN
UCAPAN TERIMA KASIH
Berdasarkan studi lapang diketahui mortalitas sapi potong di Jawa Tengah khususnya pada Kelompok Tani Ternak penerima bantuan program PSDS 2014 diketahui masih tinggi yakni 0-50% (rataan 11,7%) pada sapi dewasa dan 0-66,7% (17,6%) pada anak sapi. Kendala yang sering dihadapi dalam pengembangan sapi potong tersebut terdiri dari: kematian induk sapi, kematian anak sapi (neonatal mortality), induk tidak memperlihatan gejala birahi, induk tidak bisa bunting; kawin berulang; diare; pertumbuhan lamban (kekerdilan); gangguan metabolisme (mikromineral). Gambaran hematologi sapi potong di Jawa Tengah menunjukkan terdapat sebagian besar sapi memiliki nilai neutrofil dan eosinofil yang melebihi batas maksimum kondisi normal. Kondisi ini menunjukkan bahwa sapi terinfeksi oleh penyakit bakterial dan/atau parasiter. Analisis mineral esensial darah terlihat nilai rata-rata zat besi (685,6 mg/l) dan magnesium (638,8 mg/l) lebih tinggi daripada batas normalnya, sebaliknya dengan nilai rata-rata kalsium dalam darah sapi (369,8 mg/l) lebih rendah dari batas normal. Hypokalsemia dapat menimbulkan diare, paralisis dan kematian maupun abortus pada ternak sapi. Sementara itu tingginya kadar zat besi dalam darah dapat menimbulkan keracunan dan mengakibat hyperkromatosia yang ditandai dengan lisisnya sel darah merah.
Penulis menyampaikam terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Balai Besar Penelitian Veteriner atas pendanaan penelitian ini melalui Anggaran APBN T.A. 2010 dan 2011 sehingga terlaksanaya penelitian ini. Kepada BPTP-Jawa Tengah dan Dinas Peternakan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah dalam koordinasi kegiatan lapang serta Seluruh Ketua Kelompok Tani Ternak yang tercantum dalam penelitian ini atas diizinkannya penggunaan ternaknya sebagai obyek pengamatan. DAFTAR PUSTAKA Acres SD. 1985. Enterotoxigenic Escherichia coli infections in newborn calves: a review. J Dairy Sci. 68:229-256. Acres SD, Saundersand JR, Radostits OM. 1977. Acute undifferentiated neonatal diarrhea in beef calves: the prevalence of enterotoxigenic E. coli, reo-like (rota) virus and other enteropathogens in cow-calf herd. Can Vet J. 18: 274-280. Athanassious R., Marsollais G, Assaf R, Dea S, Descoteaus IP, Dulude S, Monpetit C. 1994. Detection of bovine corona virus and type A rotavirus in neonatal calf diarrhea and winter dysentery of cattle in Quebec: Evaluation of three diagnostic methods. Can Vet J. 35:163169.
195
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Berge, AC, Moore DA, Sischo WM. 2006. Prevalence and antimicrobial resistance patterns of Salmonella enteritica calves from dairies and calf ranches. Am J Vet Res. 67(9): 1580-1588.
Ralston BJ, Mcallister TA, Olson. 2003. Prevalence and infections pattern of naturally acquired giardiasis and cryptosporidiosis in range beef calves and their dams. Vet Parasitol. 114: 113122.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jenderal Peternakan-Departemen Pertanian.
Roy JHB. 1980. The calf: studies in agriculture and food science. 4th Edition. Butterworth. pp. 369-372.
Lance SE, Miller GJ, Hancock DD, Bartlett PC, Heider LE. 1992. Salmonella infections in neonatal dairy calves. JAVMA. 201(6): 864868.
Sani Y, Indraningsih, Setiadji R, Ariyanti T. 2009. Teknologi veteriner mendukung penanganan penyakit hewan. Laporan Akhir Tahun Anggaran 2009. Balai Besar Penelitian Veteriner.
Mason C, Caldow G. 2005. The control and management of calf diarrhea in beef herds. Technical Note (TN) 576. Supporting the land-based industries for over a century (SAC). West Mains Road, Edinburgh EH9 3JG. SAC resaves support from the Scottish Executive Environment and Rural Affairs Department. Mebuis CA. 1975. Viral calf enteritis. Journal Series. Nebraska Agricultural Experiment Station. Payne JM. 1989. Metabolic and nutritional diseases of cattle. Blackwell Scientific Publications. p. 1-40. Radostits OM, Blood DC, 1985. Herd health: a textbook of health and production management of agricultural animals. W.B. Saunder Company. p. 116-132.
196
Supar, Hirst R. 1985. Detection of enteropathogenic Escherichia coli in calves and pigs. In: Proceedings of the fourth national congress of Indonesian Society for Mycrobiology and the first meeting of Asean Microbiology, 2-4 December 1985, Jakarta Indonesia. Supar, Kusmiyati, Poerwadikarta MB. 1998. Aplikasi vaksin enterotoksigenik Echerichia coli (ETEC) K-99, F41 polivalen pada induk sapi perah bunting dalam upaya pengendalian kolibasilosis dan kematian pedet neonatal. Wudu T, Kelay B, Mekonnen HM, Tesfu K. 2008. Calf Morbidity and mortality in smallholder dairy farm in Ada`a Liben district of Oromia, Ethiophia. Trop Anim Health Prod. 40(5): 369-376.