Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
POTENSI, PEMANFAATAN DAN KENDALA PENGEMBANGAN SAPI POTONG LOKAL SEBAGAI KEKAYAAN PLASMA NUTFAH INDONESIA ARYOGI dan ENDANG ROMJALI Loka Penelitian Sapi Potong Jl. Pahlawan, Grati – Pasuruan, Jawa Timur 67184
ABSTRAK Wilayah Indonesia, khususnya di Jawa dan NTB, mempunyai banyak plasma nutfah sapi potong lokal, seperti sapi: Jabres di Brebes; Mandras di Kebumen; Rambon di Situbondo dan Bondowoso; PO Situbondo di Situbondo; Galekan di Trenggalek; Karapan di Sumenep; Sonok di Pamekasan dan Hissar di Sumbawa Besar. Sapi-sapi potong lokal tersebut sebagian besar: merupakan hasil inter-se dari sapi persilangan antara sapi lokal Jawa (PO) dengan sapi Madura atau sapi Bali; mempunyai ukuran tubuh yang cenderung kecil; mempunyai produktivitas yang relatif bagus walaupun dibudidayakan secara ekstensif; mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan merupakan bagian dari usaha pertanian, sosial dan budaya petani. Pemanfaatan potensinya meliputi pelestarian dan pengembangan SDG nya, melalui cara in situ dan ex situ. Pengelolaan yang baik berarti memperlakukan pemeliharaan dan mengharapkan produksinya sesuai dengan potensi genetik dan fisiologisnya. Pengelolaan yang benar berarti lebih memprioritaskan arah pemanfaatan dan pengembangannya sebagai bangsa sapi yang berasal dari daaerah tropis. Pengelolaan yang baik dan benar akan menghasilkan banyak keuntungan, sebaliknya pengelolaan yang salah akan menyebabkan banyak kerugian. Masih banyak kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong lokal; rekomendasi pengaturan pengelolaannya mencakup pembuatan dan penerapan peraturan pemerintah, perbaikan persepsi peternak terhadap produktivitas sapi dan sentuhan teknologi aplikatif ekonomis. Kesimpulannya, potensi dan kekayaan plasma nutfah sapi potong lokal sebagai SDG belum terkelola secara baik sehingga belum banyak keuntungan yang diperoleh, bahkan menyebabkan kerugian dan kendala pengembangannya, sehingga diperlukan rekomendasi pengaturan pengelolaannya. Kata kunci: Sapi potong lokal, potensi dan kendala pengembangan, plasma nutfah
PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai sumberdaya genetik (SDG) yang beranekaragam (SIHOMBING, 2000; THOHARI, 2000). Salah satu SDG yang mempunyai nilai ekonomis dan sosial budaya yang tinggi adalah sapi potong lokal (ANONIMUS, 2005). Kekayaan keanekaragaman plasma nutfah sapi potong lokal yang dimiliki Indonesia tersebut mempunyai arti yang sangat penting dalam pembangunan peternakan, karena merupakan bahan dasar genetik yang keragamannya sangat dibutuhkan dalam perakitan untuk membentuk rumpun unggul guna meningkatkan produktivitas (DIWYANTO, 2005). Sapi potong lokal adalah sapi potong asli Indonesia (sejak dahulu sudah ada di Indonesia) dan sapi yang berasal dari luar
Indonesia, tetapi sudah berkembang biak dan dibudidayakan lama sekali di Indonesia sehingga telah mempunyai ciri khas tertentu (HARDJOSUBROTO, 1994). Keberadaan sapi potong lokal di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai salah satu komoditas usaha khas lingkungan pedesaan, tetapi juga sebagai bagian integral dari usaha pertanian masyarakat pedesaan, khususnya sebagai sumber tenaga kerja pengolah lahan pertanian dan sebagai sumber pupuk organik serta sebagai hewan yang mempunyai nilai ekonomis dalam memanfaatkan biomas limbah pertanian. Sebagai pengaruh dari variasi geografis antar wilayah (iklim dan kondisi tanah) di Indonesia, akhirnya terbentuk populasi sapi potong lokal yang berbeda-beda karakteristiknya (THOHARI, 2000). Pemanfaatan dan pengembangan sapi potong yang kurang proporsional di beberapa
151
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
daerah menyebabkan terancamnya kelestarian dan pengembangan sapi potong lokal. Semaraknya keberhasilan program inseminasi buatan (IB) pada sapi potong, di beberapa wilayah menyebabkan terjadinya penurunan populasi dan luasan penyebaran sapi potong lokal. Sebagai plasma nutfah yang secara fisiologis morfologis telah lama mengalami penyesuaian dengan kondisi iklim, tanah dan sosial budaya daerah setempat, sebenarnya sapi potong lokal mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan sapi potong silangan antara Bos taurus dengan Bos indicus/Bos sondaicus. Sapi potong lokal, secara fisiologis sangat tahan terhadap cekaman udara panas dan kelembaban tinggi, serta tatalaksana pemeliharaan yang ekstensif/tradisional (ROBERTSHAW, 1984), secara morfologis sangat tepat untuk kondisi konsumsi nutrien yang terbatas jumlah dan kualitasnya (FALCONER dan MACKAY, 1996); efisiensi reproduksi (calving interval-nya) sekitar 12 bulan (ARYOGI, 2005); B/C ratio pemeliharaan diatas umur setahunnya setara dengan sapi silangan (HARTATI et al., 2005); di banyak daerah mempunyai kaitan dengan nilai-nilai sosial, budaya dan ritual masyarakatnya. Walaupun belum ada data secara resmi tentang dinamika dan populasi sapi potong lokal di masing-masing wilayah di Indonesia, namun informasi dan kondisi di lapangan menunjukkan telah terjadinya penyempitan wilayah penyebaran dan penurunan populasi sapi potong lokal. Keberadaan (lokasi dan populasi) beberapa sapi potong lokal di beberapa kabupaten yang dahulunya dikenal sebagai kantong sapi potong lokal, saat ini mulai sulit ditemukan karena telah berubah menjadi daerah pengembangan/kantong sapi potong silangan. Di dalam makalah ini akan disampaikan hasil penelitian tentang performans eksterior sapi potong lokal khas daerah di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta NTB, potensi keuntungan pemanfaatan sapi bila dilakukan pengelolaan secara baik dan benar, kerugian dan kemungkinan resikonya bila tidak dilakukan pengaturan pengelolaannya sebagai SDG, serta kendala pengembangan dan rekomendasi pengaturan pengelolaannya.
152
SAPI POTONG LOKAL KHAS DAERAH DI JATENG, JATIM DAN NTB Sapi potong lokal yang merupakan plasma nutfah ciri khas daerah, di Jawa Tengah adalah sapi Jabres di Kabupaten Brebes dan sapi Mandras di Kabupaten Kebumen, di Jawa Timur adalah sapi Rambon di Kabupaten Bondowoso dan Situbondo, sapi PO Situbondo di Kabupaten Situbondo, sapi Galekan di Kabupaten Trenggalek, sapi Karapan di Kabupaten Sumenep dan sapi Sonok di Kabupaten Pamekasan, di Nusa Tenggara Barat adalah sapi Hissar di Kabupaten Sumbawa Besar. Sapi Jabres Sapi Jabres banyak ditemukan di Desa Cipuya, Malahayu dan Kertasari Kecamatan Banjarharjo (daerah datar dataran rendah sampai sedang lahan kering) serta Desa Cikeusal Kidul Kecamatan Ketanggungan (daerah pegunungan dataran sedang lahan basah) Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Performans eksterior sapi Jabres cukup beragam, secara umum ada 3 tipe, antara lain: a. Tubuhnya berwarna coklat putih kekuningan; pantatnya berwarna coklat muda belang putih; kaki bawah berwarna putih dengan warna hitam di atas kuku; bentuk dan arah tumbuh tanduk menyerupai sapi Madura (kecil pendek, awalnya keluar miring arah samping kemudian masuk kearah belakang) b. Tubuhnya berwarna coklat sampai merah bata dan ada garis hitam sepanjang punggungnya; pantat berwarna coklat tua belang putih; kaki bawah berwarna coklat dan putih dengan batas yang tidak tegas serta warna hitam di atas kukunya; bentuk dan arah tumbuh tanduknya menyerupai sapi Bali (besar pendek, sejak awal tumbuh keluar arah samping atas) c. Seluruh tubuh dan kaki berwarna hitam, kecuali bagian perut sampai dadanya berwarna merah tua; bentuk dan arah tumbuh tanduknya menyerupai sapi Bali.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Berdasarkan morfologinya tersebut dan didukung informasi dari pihak terkait tentang sejarah asal usulnya, diperkirakan genotip sapi Jabres adalah hasil inter-se (yang sudah berlangsung lama) dari sapi silangan antara sapi Jawa dengan sapi Madura atau sapi Bali, sehingga diperkirakan klasifikasinya sebagai berikut: Kingdom: Phylum: Sub Phylum: Animalia Chordata Vertebrata Class: Sub Class: Ordo: Mammalia Ungulata Artiodactyla Genus: Bos Family: Sub Famili: Bovidae Bovinae Spesies: Jabres Madura: Bos indicus vs (Bos sondaicus vs Bos indicus) Jabres Bali: Bos indicus vs Bos sondaicus
Sapi Jabres yang berada di pinggiran kawasan hutan (dataran sedang), selama musim kemarau dipelihara dengan cara dilepas/ digembalakan ke kawasan hutan di pegunungan mulai pagi (mulai sekitar jam 7) sampai sore hari (sekitar jam 17) dan malamnya dikandangkan. Selama musim hujan selalu berada di dalam kandang. Sementara yang berada tidak di sekitar kawasan hutan adalah selalu berada di dalam kandang. Ransum yang dikonsumsi sapi Jabres selama digembalakan di areal hutan adalah rumput liar dan dedaunan semak yang tumbuh secara alami di areal Perhutani. Pakan sapi yang dipelihara di kandang adalah berupa rumput lapangan, rumput gajah dan jerami padi. Pakan tambahan yang umumnya berupa dedak jagung/dedak padi, sangat jarang diberikan dan jumlahnya
sangat kecil. Air minum diberikan dalam frekuensi dan jumlah terbatas. Hampir semua sapi Jabres tidak mempunyai gumba. Ukuran tubuh pada sapi muda (umur sekitar 6 bulan) sampai dewasa (induk atau pejantan), adalah sbb: panjang badan 91 – 132 cm; berat badan 40 – 482 kg; tinggi gumba 93 – 129 cm dan lingkar dada 110 – 186 cm. Performans reproduksinya adalah anoestrus post partus 3 – 5 bulan; service/conception 1,3 kali dan calving interval 11 – 14 bulan. Pada awal Agustus 2006, informasi tentang harga sapi Jabres adalah Rp. 1,0 – Rp. 6,0 juta dan jumlah populasinya hanya sekitar 1200 ekor (komunikasi pribadi). Sapi Jabres diminati peternak karena mampu bertahan hidup dan tetap ber reproduksi (beranak hampir setiap tahun dan mampu sampai 9 kali beranak) walaupun dipelihara secara ekstensif (digembalakan di hutan), perdagingannya padat dan harga per kg berat badannya lebih tinggi dibanding sapi potong lainnya (ANONIMUS, 2005). Sapi Mandras Sapi Mandras banyak ditemukan di Desa Gondang Legi Kecamatan Ambal, Desa Setrojenar Kecamatan Bulus dan Desa Tambak Progaten Kecamatan Kelirong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Dua desa pertama adalah daerah landai dataran rendah, sedang desa yang ketiga merupakan daerah pegunungan dataran sedang.
a. Sapi Jabres Madura warna putih kekuningan sampai coklat muda
153
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
b. Sapi Jabres Madura atau Bali warna coklat tua sampai merah bata
c. Sapi Jabres Bali warna hitam
Berdasarkan performans eksterior sapi (warna tubuhnya, lipatan-lipatan dan warna dari gelambir, bentuk gumba, warna kulit di sekitar mata dan moncong, warna bulu di ujung ekor, bentuk kepala serta bentuk dan arah tumbuhnya tanduk), informasi bahwa program IB dan mobilitas masuk dari sapi di daerah tersebut yang sangat kecil, serta informasi dari pihak terkait tentang sejarah asal usulnya, maka diperkirakan genotip sapi Mandras adalah sapi Peranakan Ongole yang relatif masih terjaga kemurnian genetiknya, sehingga diperkirakan klasifikasi sapi Mandras adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia Class: Mammalia Family: Bovidae
Phylum: Sub Phylum: Chordata Vertebrata Sub Class: Ordo: Ungulata Artiodactyla Genus: Bos Sub Famili: Bovinae Spesies : Bos indicus
Sapi Mandras dipelihara dengan cara: pagi hari setelah diberi pakan (berupa rumput lapangan, rumput gajah dan dedaunan tanaman
154
tahunan (terutama daun nangka dan pisang) serta secara insidentil pada induk yang sedang menyusui pedetnya ditambah dedak padi dalam jumlah antara 0,5 – 1,0 kg/hari), langsung dibawa ke halaman/tanah kosong/areal tanaman tahunan dan diikat di bawah pepohonan sampai sore hari. Selama di dalam kandang, yaitu mulai sore sampai pagi hari, sapi diberi pakan jerami padi dalam jumlah terbatas. Air minum diberikan dalam frekuensi dan jumlah yang terbatas. Hampir semua sapi Mandras yang telah dewasa mempunyai tubuh yang cukup tinggi dan panjang. Ukuran tubuh sapi Mandras muda (umur sekitar 7 bulan) sampai dewasa (induk atau jantan), adalah sebagai berikut: panjang badan 97 – 136 cm; berat badan 51 – 594 kg; tinggi gumba 114 – 143 cm dan lingkar dada 125 – 194 cm. Performans reproduksinya adalah anoestrus post partus 3 – 4 bulan; service/conception 1,5 kali dan calving interval 12 – 15 bulan. Harga pada awal Agustus 2006 adalah Rp. 2,1 – Rp. 8,5 juta dan jumlah populasinya sekitar 3000 – 4000 ekor (Komunikasi pribadi).
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Sapi Mandras sangat diminati peternak karena ukuran tubuh dan berat badannya yang besar sehingga mempunyai harga jual yang cukup tinggi, tetap dapat berproduksi dan ber reproduksi pada pemeliharaan yang ekstensif, serta mothering ability-nya cukup baik (ditandai produksi susunya yang cukup tinggi dan persistensinya yang sampai 6-7 bulan).
Sapi Rambon Sapi Rambon banyak ditemukan di Desa Petung Kecamatan Pakem dan Desa Wringin Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso yang merupakan daerah pegunungan dataran sedang, serta di Desa Tekok Kecamatan Banyuputih dan Desa Kokap Kecamatan Tegal Ampel Kabupaten Situbondo yang merupakan
155
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
daerah pinggiran kawasan hutan Baluran dengan ketinggian sedang. Berdasarkan performans eksteriornya, ada dua kelompok sapi Rambon: a. Tubuhnya berwarna putih kekuningan sampai coklat muda; pantat dan kaki bagian bawah ada yang belang putih dan ada yang mengikuti warna tubuhnya; bentuk dan arah tumbuh tanduknya menyerupai sapi Madura b. Tubuhnya berwarna coklat sampai merah bata dan hitam, sepanjang punggungnya terdapat garis hitam; pantat dan kaki bawah tidak ada belang (sama dengan warna tubuhnya); bentuk dan arah tumbuh tanduknya menyerupai sapi Bali Sapi Rambon yang di Bondowoso dipelihara dengan cara selalu berada di dalam kandang, pakan yang diberikan hanya berupa rumput lapangan dan dalam proporsi/frekuensi yang kecil ditambah dedaunan tanaman tahunan, serta hampir tidak pernah mendapat pakan penguat. Sapi Rambon yang di Situbondo sebagian kecil di lepas ke hutan mulai pagi sampai sore hari dan malamnya dimasukkan ke dalam kandang tetapi tanpa diberi pakan dan air minum, sebagian besar dipelihara dengan cara pada pagi sampai sore hari di keluarkan dari kandang dan diikat di bawah pohon sedang malamnya dimasukkan ke dalam kandang dengan diberi pakan rumput lapangan dan air minum. Berdasarkan morfologinya tersebut dan didukung informasi dari pihak terkait tentang sejarah asal usulnya, diperkirakan genotip sapi Rambon adalah hasil inter-se (yang sudah
156
berlangsung lama) dari silangan antara sapi Jawa dengan sapi Madura atau sapi Bali, sehingga diperkirakan klasifikasinya sebagai berikut: Kingdom: Phylum: Sub Phylum: Animalia Chordata Vertebrata Class: Sub Class: Ordo: Mammalia Ungulata Artiodactyla Genus: Bos Family: Sub Famili: Bovidae Bovinae Spesies: Rambon Madura : Bos indicus vs (Bos sondaicus vs Bos indicus) Rambon Bali: Bos indicus vs Bos sondaicus
Hampir semua sapi Rambon tidak mempunyai gumba. Ukuran tubuh pada sapi muda (umur sekitar 7 bulan) sampai dewasa (induk atau jantan), adalah sebagai berikut: panjang badan 84 – 137 cm; berat badan 98 – 374 kg; tinggi gumba 96 – 124 cm dan lingkar dada 110 – 164 cm. Performans reproduksinya adalah anoes-trus post partus 4 – 5 bulan; service/conception 1,2 kali dan calving interval 12 – 14 bulan. Pada akhir Mei 2006, informasi tentang harga sapi Jabres adalah Rp. 1,6 – Rp. 6,5 juta dan jumlah populasinya di Bondowoso hanya sekitar 400 – 600 ekor dan di Situbondo hanya sekitar 750 – 800 ekor (komunikasi pribadi). Sapi Rambon diminati peternak karena mampu bertahan hidup dan tetap ber reproduksi pada kondisi pakan yang terbatas kualitas dan kuantitasnya, serta berat potong dan perdagingannya sesuai permintaan pasar (ANONIMUS, 2005).
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
a. Sapi Rambon Bali (warna coklat/b. Sapi Rambon Madura (warna putih coklat/merah bata/hitam kekuningan/coklat muda)
Sapi Peranakan Ongole (PO) Situbondo Sapi Peranakan Ongole (PO) Situbondo banyak ditemukan di Desa Tekok Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo yang merupakan daerah pinggiran kawasan hutan Baluran dengan ketinggian sedang. Berdasarkan performans eksterior diperkirakan genotip sapi PO Situbondo adalah sapi Peranakan Ongole yang relatif masih terjaga kemurnian genetiknya tetapi telah mengalami adaptasi dengan pola pemeliharaannya, sehingga diperkirakan klasifikasi sapi PO Situbondo adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia Class: Mammalia Family: Bovidae
Phylum: Chordata Sub Class: Ungulata Sub Famili: Bovinae Spesies: Bos indicus
Sub Phylum: Vertebrata Ordo: Artiodactyla Genus: Bos
Sapi PO Situbondo dipelihara dengan cara dilepas sendiri (tanpa dikawal orang) ke kawasan hutan Baluran mulai pagi sampai sore/malam hari. Pada waktu-waktu tertentu (musim hujan), sapi yang sedang laktasi beserta pedetnya tidak pulang/tetap di hutan
157
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
sampai beberapa hari. Ransum yang dikonsumsi ternak belum dapat diketahui (karena aktifitas makannya selama di dalam hutan), tetapi diperkirakan berupa rumput alang-alang, akasia (albisia falkataria) dan tanaman lain yang ada di kawasan hutan Baluran. Sapi mengkonsumsi air minum di sungai yang berada di pinggiran desa, hanya pada pagi hari saat akan berangkat ke hutan dan pada sore hari setelah pulang dari hutan menuju kekandangnya. Ukuran tubuh sapi PO Situbondo muda ( 4 – 5 bulan) sampai dewasa (induk atau jantan), adalah sebagai berikut: panjang badan 86 – 140 cm; berat badan 71 – 336 kg; tinggi gumba 99 – 129 cm dan lingkar dada 108 – 166 cm. Performans reproduksinya adalah anoestrus post partus dan service/conception tidak dapat diketahui karena sapi berada di hutan dan calving interval 12 – 13 bulan. Pada akhir Mei 2006, informasi tentang harga sapi PO Situbondo adalah Rp. 2,2 – Rp. 5,9 juta dan jumlah populasinya sekitar 2500 – 3000 ekor (komunikasi pribadi). Sapi PO Situbondo sangat diminati peternak karena pemeliharaannya hampir tanpa biaya pakan dan tenaga, hanya membutuhkan modal kandang; perkembangbiakannya cukup cepat dan harga jual yang cukup tinggi. Sapi Galekan Sapi Galekan banyak ditemukan di Kecamatan Dongko, yaitu di Desa Panggul yang merupakan daerah landai dataran rendah (sekitar pantai) berlahan kering dan Desa Pringapus yang merupakan daerah pegunungan dataran sedang berlahan kering Kabupaten Trenggalek. Berdasarkan performans eksteriornya, ada dua kelompok sapi Galekan : a. Tubuhnya berwarna coklat muda; pantat dan gelambir bagian pinggir berwarna coklat muda belang putih; kaki bawah berwarna putih dengan batas yang tidak jelas ; bentuk tanduk kecil panjang, arah tumbuhnya, pada awalnya keluar arah samping kemudian keluar ke atas arah depan. b. Tubuhnya berwarna coklat tua sampai merah bata kehitaman, ada garis hitam sepanjang punggungnya; pantatnya
158
berwarna coklat tua belang putih; kaki bawah berwarna coklat dan putih dengan batas yang tidak tegas serta warna hitam di atas kukunya; bentuk dan arah tumbuh tanduknya sama dengan kelompok pertama tetapi lebih pendek. Berdasarkan morfologinya tersebut dan didukung informasi dari pihak terkait tentang sejarah asal usulnya, diperkirakan genotip sapi Galekan adalah hasil inter-se (yang sudah berlangsung lama) dari sapi silangan antara sapi Jawa dengan sapi Madura atau sapi Bali, sehingga diperkirakan klasifikasinya sebagai berikut: Kingdom: Phylum: Sub Phylum: Animalia Chordata Vertebrata Class: Sub Class: Ordo: Mammalia Ungulata Artiodactyla Genus: Bos Family: Sub Famili: Bovidae Bovinae Spesies: Rambon Madura: Bos indicus vs (Bos sondaicus vs Bos indicus); Rambon Bali: Bos indicus vs Bos sondaicus
Sapi Galekan yang berada di daerah sekitar pantai, mulai pagi sampai sore hari dikeluarkan dari kandang dan diangon di lapangan sekitar pantai atau di ikat di bawah pohon di areal tegalan, kemudian sore sampai pagi hari dipelihara di dalam kandang. Sedangkan yang berada di daerah pegunungan, selalu dipelihara di dalam kandang tanpa diikat sehingga sapi dapat melakukan exercise di tanah kosong yang terdapat di bagian belakang kandangnya. Ransum yang diberikan ke ternak, utamanya adalah rumput lapangan dan ditambah dengan hijauan lainnya berupa jerami limbah pertanian yang jenis dan jumlahnya tergantung musim panen pertaniannya. Tambahan pakan penguat jarang diberikan dan jumlahnya sangat kecil. Air minum diberikan ad libitum tapi hanya di siang dan malam hari. Ukuran tubuh sapi Galekan muda (7 bulan) sampai dewasa (induk atau jantan), adalah sebagai berikut: panjang badan 77 – 128 cm; berat badan 66 – 322 kg; tinggi gumba 98 – 130 cm dan lingkar dada 113 – 155 cm. Performans reproduksinya adalah anoestrus post partus nya 3 – 5 bulan; service/conception nya 1,3 kali dan calving interval 14 – 18 bulan. Pada akhir Mei 2006, informasi tentang harga
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
sapi PO Situbondo adalah Rp. 2,0 – Rp. 6,0 juta dan jumlah populasinya hanya sekitar 500 ekor (komunikasi pribadi). Sapi Galekan diminati peternak karena mampu bertahan hidup dan berkembang biak
dalam kondisi pemeliharaan yang sangat tradisional. Cara pemeliharaan yang ekstensif ini mampu menekan biaya pemeliharaan sehingga peternak sangat merasakan keuntungan dari penjualan sapi Galekan ini.
Sapi Karapan
Desa Mortajeh Kecamatan Adem Awu Kabupaten Pamekasan yang merupakan daerah pegunungan dataran sedang lahan kering. Sapi Karapan adalah sapi Madura jantan yang genotipnya masih relatif murni, tetapi dipelihara secara khusus (ransum dan latihan) untuk membentuk badan dan perilaku sebagai sapi balap.
Sapi Karapan ada di semua kabupaten yang berada di Pulau Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep), namun pusatnya berada di Desa Manding Daya Kecamatan Manding Kabupaten Sumenep yang merupakan daerah landai dataran rendah lahan kering dan
159
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Sapi Karapan tidak selalu berasal dari turunan sapi Karapan juga, tetapi calonnya sudah tampak sejak sapi masih muda. Performans sapi Karapan, secara umum adalah sama dengan sapi Madura jantan, tetapi tubuhnya lebih tinggi, tegap dan panjang serta perototannya berkembang sangat baik, sehingga mampu mencapai berat badan di atas 500 kg. Harga sepasang sapi Karapan yang telah mampu menjuarai suatu perlombaan adu kecepatan lari di tingkat kabupaten dapat mencapai 100 juta, sedang yang lomba tingkat nasional mampu mencapai 200 juta. Klasifikasi sapi Karapan yang merupakan bangsa sapi Madura, menurut SUSILAWATI et al. (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom: Phylum: Sub Phylum: Animalia Chordata Vertebrata Class: Sub Class: Ordo: Mammalia Ungulata Artiodactyla Genus: Bos Family: Sub Famili: Bovidae Bovinae Spesies: persilangan antara Bos sondaicus dengan Bos indicus)
Sapi Karapan dibentuk menjadi sapi adu lari melalui tiga perlakuan pemeliharaan, yaitu: a. Pembentukan tubuh. Sapi Karapan harus mempunyai bentuk tubuh yang tegap dan perototan yang berkembang sangat bagus. Perlakuannya adalah setiap hari dari pagi sampai sore, kedua tali di kanan kiri kepala sapi diikatkan kearah atas pada tiang (sehingga kepala sapi selalu menengadah keatas) serta kedua kaki depan menginjak sebuah kayu/batu setinggi sekitar 10 – 20 cm dari permukaan tanah. Seluruh badan
160
sapi di urut/dipijat menggunakan ramuan khusus untuk merangsang pembentukan otot, menghaluskan dan mengkilatkan bulu dan melemaskan kulit sapi. b. Pemberian ransum dan jamu-jamuan khusus. Disamping sapi diberi pakan hijau an pilihan dan pakan penguat khusus ramuan peternak sendiri, sapi Karapan juga secara berkala diberi jamu-jamuan khusus sebagai sumber tenaga untuk lari cepat dan membantu pembentukan perototan tubuhnya c. Latihan lari. Secara berkala sapi dilatih untuk membentuk perilaku agresif dan peka terhadap rangsangan sakit karena dilukai, sehingga mampu lari cepat. Tubuh sapi jauh lebih besar, tinggi dan panjang dibanding sapi Madura biasa. Ukuran tubuh sapi pada berbagai tahapan menjadi Karapan, adalah sebagai berikut: panjang badan 138 – 155 cm; berat badan 246 – 533 kg; tinggi gumba 137 – 149 cm dan lingkar dada 168 – 193 cm. Performans reproduksinya tidak diketahui karena bukan sebagai sapi pejantan. Pada pertengahan Juli 2006, informasi tentang harga sapi Karapan adalah Rp. 10 – Rp. 75 juta dan jumlah populasinya di Kabupaten Sumenep hanya sekitar 800 – 1000 ekor, di Kabupaten Pamekasan hanya sekitar 1000 – 1500 ekor (komunikasi pribadi). Sapi Karapan sangat disenangi oleh hampir semua penduduk pedesaan di Pulau Madura, karena disamping merupakan bagian integral dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat Madura, juga membawa prestise bagi pemiliknya. Mahalnya harga sapi dan biaya perawatan, menyebabkan tidak semua orang Madura mampu memelihara sapi Karapan ini.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Sapi Sonok Sapi Sonok dapat ditemukan di semua kabupaten yang berada di Pulau Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep), tetapi pusatnya berada di Desa Jambu dan Desa Lenteng Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep yang merupakan daerah landai dataran rendah lahan kering serta di Desa Waru Barat dan Pasian Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan yang merupakan daerah pegunungan dataran sedang lahan kering. Sapi Sonok adalah sapi Madura betina yang genotipnya masih relatif murni, tetapi dipelihara secara khusus (ransum dan latihan) untuk membentuk badan dan perilaku sebagai sapi keindahan gerak dan penampilan badannya. Sapi Sonok tidak selalu berasal dari turunan sapi Sonok juga, tetapi calonnya sudah tampak sejak sapi masih muda. Performans sapi Sonok, secara umum adalah sama dengan sapi Madura betina, tetapi tubuhnya lebih tinggi, tegap dan panjang serta perototannya berkembang sangat baik, sehingga mampu mencapai berat badan di atas 700 kg. Harga sepasang sapi Sonok yang telah mampu menjuarai suatu perlombaan adu
keindahan gerak dan penampilan tubuh di tingkat kabupaten dapat mencapai 50 juta, sedang yang lomba tingkat nasional mampu mencapai 100 juta. Klasifikasi sapi Sonok yang merupakan bangsa sapi Madura, menurut SUSILAWATI et al. (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom: Phylum: Sub Phylum: Animalia Chordata Vertebrata Class: Sub Class: Ordo: Mammalia Ungulata Artiodactyla Family: Sub Famili: Genus: Bos Bovidae Bovinae Spesies: Persilangan antara Bos sondaicus dengan Bos indicus)
Sapi Sonok dibentuk menjadi sapi dengan gerakan dan bentuk tubuh yang indah, melalui tiga perlakuan pemeliharaan, yaitu: a. Pembentukan tubuh. Sapi Sonok harus mempunyai bentuk tubuh yang proporsional antara tinggi, panjang dan perkembangan perototannya. Perlakuannya adalah setiap hari dari pagi sampai sore, kedua tali di kanan kiri kepala sapi diikatkan agak kearah atas pada tiang (sehingga kepala sapi sedikit
161
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
menengadah keatas) serta kedua kaki depan menginjak sebuah kayu/batu setinggi sekitar 10 – 15 cm dari permukaan tanah. Seluruh badan sapi di urut/dipijat menggunakan ramuan khusus untuk merangsang pembentukan otot, menghaluskan dan mengkilatkan bulu dan melemaskan kulit sapi. b. Pemberian ransum dan jamu-jamuan khusus. Disamping sapi diberi pakan hijauan pilihan dan pakan penguat khusus ramuan peternak sendiri, secara berkala sapi diberi jamu-jamuan khusus sebagai sumber protein untuk membantu pembentukan perototan tubuhnya c. Latihan keindahan jalan. Secara berkala sapi Sonok dilatih untuk membentuk perilaku jinak, mampu berjalan dan bertingkah laku (jalan, berhenti, bergoyang, menaiki menuruni suatu benda) mengikuti irama musik gamelan. Ukuran tubuh sapi pada berbagai
162
tahapan menjadi sonok, adalah sebagai berikut: panjang badan 111 – 161 cm; berat badan 140 – 710 kg; tinggi gumba 117 – 143 cm dan lingkar dada 136 – 182 cm. Performans reproduksinya tidak banyak diketahui karena bukan sebagai sapi indukan dan dalam hidupnya hanya akan beranak 2 – 3 kali dengan calving interval 18 – 20 bulan. Pada pertengahan Juli 2006, informasi tentang harga sapi Sonok adalah Rp. 10 – Rp. 80 juta dan jumlah populasinya di Kabupaten Sumenep hanya sekitar 1500 ekor, di Kabupaten Pamekasan hanya sekitar 600 ekor (komunikasi pribadi). Sapi Sonok sangat disenangi oleh hampir semua penduduk pedesaan di Pulau Madura, karena disamping merupakan bagian integral dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat Madura, juga membawa prestise bagi pemiliknya. Mahalnya harga sapi dan biaya perawatan, menyebabkan tidak semua orang madura mampu memelihara sapi Sonok ini.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Sapi Hissar di Nusa Tenggara Barat Sapi Hissar di NTB hanya dapat ditemukan Kecamatan Moyohilir, utamanya di Desa Penyaring, Kabupaten Sumbawa Besar yang merupakan daerah landai dataran rendah lahan kering. Berdasarkan informasi bahwa program IB dan mobilitas masuk dari sapi di daerah tersebut yang sangat kecil, serta informasi dari pihak terkait tentang sejarah asal usulnya, maka diperkirakan genotip sapi Hissar di Sumbawa adalah sapi Hissar dari negara India yang relatif masih terjaga kemurnian genetiknya tetapi telah mengalami adaptasi dengan geografis dan pola pemeliharaannya (DILAGA dan ARMAN, 2002). Morfologi sapi Hissar adalah hampir sama dengan sapi Ongole, sehingga diduga klasifikasinya adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia Class: Mammalia Family: Bovidae
Phylum: Sub Phylum: Chordata Vertebrata Sub Class: Ordo: Ungulata Artiodactyla Sub Famili: Genus: Bos Bovinae Spesies: Bos indicus
Sapi Hissar dipelihara dengan cara sepanjang hari dilepas berkeliaran (tanpa dikawal orang) di areal penggembalaan/ persawahan tadah hujan saat bero atau kawasan hutan. Sapi Hissar akan medatangi ke suatu tempat yang telah dihapalnya, hanya pada sore hari untuk minum. Pada waktu-waktu tertentu
(musim hujan) pada beberapa sapi (sapi laktasi beserta pedetnya) tidak pulang/tetap di areal terbuka sampai beberapa hari. Ransum yang dikonsumsi sapi diperkirakan berupa rumput lapangan/alang-alang yang tumbuh di areal umum, Gliricidea maculata/sepium dan akasia (albisia falkataria) yang banyak ditanam di areal hutan dan sebagai pembatas antar lahan pertanian. Ukuran tubuh sapi Hissar adalah sebagai berikut: panjang badan 98 – 138 cm; berat badan 158 – 384 kg; tinggi gumba 124 – 138 cm dan lingkar dada 123 – 169 cm. Performans reproduksinya: anoestrus post partus 2 – 4 bulan; service/concet-tion 1,5 dan calving interval 11 – 13 bulan. Pada akhir November 2006, informasi harga sapi Hissar adalah Rp. 2,2 – Rp. 7,0 juta dan jumlah populasinya tidak lebih 1000 ekor (komunikasi pribadi). PEMANFAATAN SAPI POTONG LOKAL SEBAGAI SDG Bagi masyarakat (peternak) setempat, plasma nutfah sapi potong lokal sudah sangat dikenal ciri dan sifat biologisnya, dan merupakan bagian dari usaha pertanian, usaha sampingan/perdagangannya, serta kehidupan sosial dan budaya (FAO, 1998). Bagi ternaknya sendiri, sudah mengalami adaptasi fisiologis dan morfologis terhadap kondisi geografis dan tatalaksana pemeliharaannya.
163
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Pemanfaatan sapi potong lokal sebagai SDG Indonesia, dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ (THOHARI, 2000). Program in-situ lebih diarahkan untuk menjaga kemurnian genetik sapi potong lokal; fungsinya adalah sebagai sumber penyedia sapi potong lokal murni dan penyedia indukan lokal dalam
164
program persilangan. Langkah yang dapat dilakukan adalah membentuk suatu kawasan yang bebas dari masuknya semua jenis sumber bibit bangsa-bangsa sapi lain. Program pelestarian ex-situ lebih bersifat terbuka, yaitu disamping fungsi utamanya adalah seperti pada pelestarian in-situ, tetapi di lokasi tersebut
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
terbuka peluang kemungkinan dilakukannya pengembangan melalui program persilangan terbatas. Keuntungan bila dikelola secara baik dan benar Pengelolaan yang baik terhadap plasma nutfah sapi potong lokal, berarti memperlakukan pemeliharaan dan mengharapkan produksinya sesuai dengan potensi genetik dan fisiologisnya, yaitu sebagai sapi tropis yang berasal dari bangsa Bos indicus atau Bos sondaicus. Pengelolaan yang benar berarti lebih memprioritaskan arah pemanfaatan dan pengembangannya sebagai bangsa sapi yang berasal dari daerah tropis. Pengelolaan yang baik dan benar terhadap sapi potong lokal sebagai plasma nutfah, akan mendatangkan keuntungan sebagai berikut: a. Terjaganya kelestarian dan pengembangan salah satu kekayaan SDG Indonesia b. Terciptanya sumber pendapatan masyarakat c. Tersedianya sumber genetik yang adaptif untuk pengembangan pemanfaatannya. d. Tersedianya salah satu komponen usaha pertanian yang bersifat alami (natural), kecil dampak polusinya, berkelanjutan, berinteraksi mutualisme dengan komponen usaha lainnya dan dapat berkembang biak. e. Tersedianya sapi yang mempunyai berat potong sesuai permintaan pasar Kerugian dan kemungkinan resikonya bila tidak dilakukan pengaturan pengelolaan sapi potong lokal sebagai SDG a. Musnahnya salah salah satu kekayaan SDG yang adaptif. Musnahnya sapi potong lokal akan menyebabkan hilangnya salah satu SDG yang potensial secara biologis (telah beradaptasi dengan lingkungan dan tatalaksana pemeliharaan) dan ekonomis (walaupun produktivitasnya relatif rendah, tetapi cukup efisien/ekonomis pada pemeliharaan pola peternak rakyat) untuk pengembangan produktivitas sapi.
b. Terganggunya salah satu sumber penghasilan petani. Proses budidaya serta penanganan dan pemanfaatan produksi seekor sapi potong lokal menjadi sumber penghasilan yang cukup besar bagi puluhan orang (peternak, makelar desa, makelar pasar, jagal, pedagang daging, penjual berbagai makanan, dsb); fungsi sapi sebagai sumber tabungan yang dapat diandalkan bagi petani dan sulit digantikan perannya oleh komoditas lainnya akan terganggu. c. Terganggunya ketersediaan SDG untuk pengembangan sapi potong. Upaya meningkatkan produktivitas sapi potong melalui program persilangan dengan sapi Bos Taurus, belum sepenuhnya menunjukkan produktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan sapi lokal. Terganggunya ketersediaan SDG sapi potong lokal sebagai sumber indukan akan mengganggu upaya pengembangannya. d. Terganggunya rantai sirkulasi biologis di areal pertanian. Sapi potong lokal merupakan komponen dalam siklus usaha pertanian yang bersifat sangat alami/ natural, berperan setiap hari, sangat terkait dengan komponen lainnya dan mempunyai nilai ekonomis yang terus meningkat. Terjadinya lahan pertanian yang sakit karena kekurangan unsur-unsur hara organik serta tertimbunnya berbagai limbah pertanian yang menyebabkan pencemaran lingkungan, adalah bukti nyata bahwa hilangnya keberadaan sapi potong lokal di suatu pedesaan juga berdampak pada keseimbangan rantai biologis pertanian. e. Tidak tersedianya sapi dengan berat potong yang sesuai permintaan pasar. Saat ini semakin banyak para jagal di berbagai daerah mulai menolak memotong sapi silangan dan memilih sapi lokal. Alasannya adalah berat potong sapi potong silangan terlalu besar sehingga melebihi omzet penjualan dagingnya. KENDALA PENGEMBANGAN Terdapat beberapa kendala yang akan dihadapi saat dilakukan upaya pengembangan sapi potong lokal, yaitu antara lain:
165
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
a. Masih kuatnya anggapan para peternak rakyat bahwa sapi potong lokal mempunyai produktivitas yang rendah atau secara ekonomis kalah jauh dibandingkan dengan sapi potong silangan. Akibatnya minat peternak memelihara sapi potong lokal semakin menurun diganti dengan pemeliharaan sapi silangan b. Belum adanya aplikasi praktis peraturan formal guna melindungi dan mengembangkan jumlah populasi dan luasan areal penyebaran sapi potong lokal. c. Lokasi budidaya yang terpencil dengan skala pemilikan yang sangat rendah. d. Belum adanya data tentang peta penyebaran dan jumlah populasi, serta produktivitas sapi. e. Belum adanya data hasil penelitian tentang potensi genetik produktivitas sapi potong lokal. REKOMENDASI PENGATURAN PENGELOLAAN Rekomendasi pengaturan pengelolaan plasma nutfah sapi potong lokal, minimal harus mencakup tiga pihak, satu pihak akan mendukung pihak lainnya. a. Pembuatan peraturan oleh pemerintah. Sangat diperlukan adanya peraturan pemerintah yang mengatur tentang undang-undang perlindungan populasi dan perlindungan penyebaran melalui penetapan pembentukan wilayah pembibitan dan wilayah pengembangan sapi potong lokal. Di daerah yang telah dijadikan wilayah perlindungan populasi dan pengembangan sapi potong lokal, dilarang/sangat dibatasi adanya program persilangan dengan sapi bangsa lainnya dan diawasi mobiltas ternaknya terutama yang mempunyai phenotip/genotip bagus. b. Perlu adanya percontohan langsung oleh instansi terkait di lokasi peternak tentang produktivitas yang sebenarnya dari sapi potong lokal. Hal ini sangat diperlukan untuk menghilangkan penilaian yang kurang tepat selama ini dan memberikan bukti baru yang benar bahwa secara biologis, fisiologis dan
166
ekonomis, sapi potong lokal sebenarnya adalah yang lebih tepat untuk dikembangkan dalam kondisi peternakan rakyat; sapi potong silangan akan lebih cocok dikembangkan hanya pada peternak dengan dukungan kondisi tertentu. c. Perlu adanya penelitian untuk mendapatkan teknologi budidaya yang adaptif dan ekonomis guna meningkatkan produktivitas sesuai dengan potensi genetik sapi potong lokal. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dan uraian diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan: Wilayah Indonesia, khususnya di Jateng dan di Jatim serta di NTB, kaya dengan plasma nutfah sapi potong lokal yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai SDG. Potensi keunggulan sapi potong lokal belum terkelola dengan baik sehingga terancam kelestariannya. Upaya pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan yang baik dan benar adalah mengarahkan pemeliharaan dan mengharapkan produksinya tetap sebagai sapi daerah tropis. Kendala pengembangannya berupa anggapan yang kurang benar terhadap potensi produktivitas sapi potong lokal, belum adanya penerapan aturan formal yang melindungi populasi dan areal penyebaran, serta lokasi yang terpencil dan menyebar, serta belum adanya data populasi, peta penyebaran dan produktivitas sapi potong lokal yang lengkap perlu mendapat perhatian. Saran yang disampaikan: segera dibutuhkan tindakan cepat, benar dan nyata untuk mengatur pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan potensi sapi potong lokal. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2005. Sumberdaya Hayati Ternak Lokal Jawa Tengah. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Semarang. ARYOGI. 2005. Kemungkinan Timbulnya Interaksi Genetik dan Ketinggian Lokasi Terhadap Performan Sapi Potong Silangan Peranakan Ongole Di Jawa Timur. Tesis S-2. Program Pascasarjana Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
DILAGA, S.H. dan C. ARMAN. 2002. Sapi Hissar Sumbawa, Potensi dan Peluang Peningkatan Produksinya. Makalah Ekspose Sapi Hissar dengan Anggota DPRD Kabupaten Sumbawa dan Instansi Terkait. Sumbawa Besar, 11 Maret 2002. DIWYANTO, K. 2005. Pokok-Pokok Pemikiran Pengelolaan berkelanjutan Plasma Nutfah Peternakan. Makalah dalam Lokakarya Plasma Nutfah Peternakan. Puslitbangnak dan Balitnak. Bogor, 29 Desember 2005. FALCONER and MACKAY. 1996. Introduction to Quantitative Genetics 4th Ed. Longman Group Ltd. Malaysia. FAO. 1998. Secondary Guidelines for Development of National Farm Animal Genetic Resources Management Plants: Measurement of Domestic Animal Diversity (MoDAD): Original Working Group Report. New York. HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. HARTATI, MARIYONO dan D.B. WIJONO. 2005 Respon Pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole dan Silangan pada Kondisi Pakan berbasis
Low External Input. Makalah Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor ROBERTSHAW, D. 1984. Heat Loss of Cattle. In: Stress Physiology in Live-stock. Vol. I Basic Principles. YOUSEF, M.K. (ed). CRS Press Inc. Boca Raton Florida. SIHOMBING, D.T.H. 2000. Teknologi Peternakan dan Kelestarian Lingkungan. Bahan Ajar Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani. Bogor dan Surakarta, 20 Februari – 8 Maret 2000. Puslitbang Peternakan. Bogor. SUSILOWATI, T., I. SUBAGIYO, KUSWATI, A. BUDIARTO, MUHARLIEN dan M.Y. AFRONI. 2004. Inventarisasi Ternak Lokal Jawa Timur. Kerjasama Fak. Peternakan Univ. Brawijaya Malang dengan Dinas Peternakan Propinsi Tk. I Jawa Timur. THOHARI, M. 2000. Pemanfaatan Plasma Nutfah Ternak Lokal dalam Sistem Usaha Tani Terintegrasi. Bahan Ajar Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani. Bogor dan Surakarta, 20 Februari – 8 Maret 2000. Puslitbang Peternakan. Bogor.
167