TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km2 yang terdiri atas lahan pasang surut (rawa) 5,5 juta ha dan lahan kering 7,7 juta ha, dengan ketersediaan pakan lokal yang melimpah. Luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan peternakan seluas 1.158.500 ha, belum termasuk daerah rawa. Kalimantan Tengah setiap tahun mendatangkan ternak sapi potong dari luar provinsi sekitar 3.000 ekor karena produksi lokal hanya mampu memenuhi sekitar 45%-50% dari total kebutuhan, di sisi lain pemerintah secara nasional menargetkan swasembada daging sapi dicapai pada tahun 2014. Kondisi ini memerlukan berbagai upaya dan kerja keras semua pihak dan yang paling penting adalah bagaimana potensi sumberdaya lokal di daerah dapat dimanfaatkan secara optimal, baik sumberdaya genetik ternak maupun sumberdaya lahan dan pakan lokal (Adrial, 2010). Potensi pakan untuk wilayah Kalimantan Tengah sebenarnya tidak menjadi masalah. Potensi rumput alam mampu menampung pengembangan ternak 2,5 juta ekor sapi, disertai limbah pertanian tanaman pangan, sayuran, hortikultura dan perkebunan. Selain itu, Kalimantan Tengah juga memiliki sapi lokal yang oleh masyarakat setempat (suku Dayak) dinamakan sebagai sapi lokal. Sapi lokal Kalimantan Tengah belum memiliki nama, namun beberapa orang menyebut sesuai dengan nama Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana sapi tersebut hidup (Adrial, 2010). Asal usul sapi lokal Kalimantan Tengah sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Keberadaan sapi sudah puluhan tahun dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang lahannya tergolong asam dan miskin mineral. Sapi tersebut dapat dijumpai di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas, diperkirakan juga terdapat di Kabupaten Seruyan. Dilaporkan populasi sapi lokal di Kabupaten Katingan sekitar 1.500 ekor (Adrial, 2010). Sapi lokal Kalimantan Tengah memiliki potensi besar sebagai ternak potong, karena sapi ini mampu beradaptasi dengan lingkungan di Kalimantan Tengah yang asam dan miskin mineral, mempunyai produktivitas yang cukup baik pada kondisi 2
pemeliharaan ekstensif tradisional, relatif tahan terhadap berbagai macam penyakit dan parasit serta mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Potensi ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal, bahkan banyak orang di Kalimantan Tengah yang tidak mengetahui bahwa Kalimantan Tengah mempunyai sapi lokal yang sangat potensial untuk dikembangkan (Adrial, 2010). Kabupaten Katingan merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Kalimantan Tengah. Kabupaten Katingan memiliki sapi lokal yang diberi nama sapi Katingan oleh masyarakat setempat (suku Dayak) dimana sapi tersebut banyak ditemukan di sepanjang daerah aliran sungai Katingan. Data mengenai sapi Katingan baik dari pemerintah daerah Kalimantan Tengah maupun nasional belum ada, tetapi terdapat beberapa data mengenai keragaman morfometrik dan fenotipik sapi Katingan yang merupakan hasil penelitian Utomo et al. (2010), salah satunya yaitu keragaman warna bulu sapi Katingan sebagaimana disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Sumber : Utomo et al. (2010)
Gambar 1. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Betina
4
Sumber : Utomo et al. (2010)
Gambar 2. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Jantan Ciri umum sapi Katingan adalah bergelambir, berpunuk, bertanduk dan mempunyai banyak variasi warna bulu. Adapun penciri sapi Katingan ditunjukkan pada sapi betinanya. Ada enam variasi pertumbuhan tanduk pada sapi betina, namun yang dominan pertumbuhan tanduknya melengkung ke depan. Pertumbuhan tanduk pada sapi jantan umumnya ke samping atas. Ditemukan tonjolan diantara tanduk hanya pada sapi betina. Ada sembilan kombinasi warna pada sapi Katingan jenis kelamin betina yaitu warna coklat kemerahan, coklat keputihan, coklat warna sapi Bali, hitam, coklat keruh/kusam, coklat merah bata, kehitaman, putih kecoklatan dan putih keabuan. Sapi Katingan jenis kelamin jantan ditemukan delapan kombinasi warna yaitu coklat keputihan, coklat keputihan dan kemerahan, coklat kemerahan, kehitaman, coklat keputihan punuk hitam, coklat merah bata dan coklat merah bata punuk hitam (Utomo et. al., 2011). Hasil pengukuran bobot badan sapi Katingan di Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan dan Simpangan Baku Bobot Badan Sapi Katingan Populasi
Betina
Jantan
...................... Kg....................... Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang
208.9 + 21.3 201.8 + 26.6 217.1 + 23.0
250.5 + 106.0 299.9 + 86.1 261.1 + 20.5
Sumber : Utomo et al. (2010)
5
Keragaman Genetik Keragaman genetik merupakan perbedaan antara individu dalam suatu populasi, antara individu dalam populasi yang berbeda dalam spesies yang sama atau dalam spesies yang berbeda (Hendrick, 2000). Keragaman genetik di dalam suatu populasi dapat dipengaruhi faktor-faktor yaitu seleksi, inbreeding, mutasi dan migrasi. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa variasi genetik terjadi jika terdapat dua alel atau lebih dalam suatu populasi (frekuensi lebih dari 1%). Keragaman genetik pada tingkat DNA dapat diketahui dengan melihat nilai frekuensi alel dan heterozigositas. Derajat heterozigositas merupakan rataan persentase lokus heterozigot pada setiap individu atau rataan persentase individu heterozigot di dalam populasi (Nei, 1987). Hartl dan Clark (2000) menyatakan bahwa polimorfisme genetik berguna untuk menentukan hubungan genetik dalam dan antara populasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies. Menurut Li et al. (2000), keragaman genetik di antara subpopulasi dapat diketahui dengan cara melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi tersebut. Beberapa teknik yang digunakan untuk melakukan analisis keanekaragaman genetik adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Restricted Fragment Length Polymorphism (RFLP), Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP) dan DNA Mikrosatelit. DNA Mikrosatelit DNA mikrosatelit adalah satu dari tipe DNA berulang yang paling umum digunakan sebagai penciri DNA dengan motif ulangan nukleotida sederhana dalam bentuk salinan berdampingan (tandem). DNA mikrosatelit merupakan salah satu penanda genetik yang efisien dibandingkan dengan penanda genetik yang lain, karena jumlahnya yang sangat besar dan menyebar hampir diseluruh genom (Georges et al., 1993). DNA mikrosatelit dapat memberikan penampakan polimorfisme atau proporsi gen atau alel yang berbeda pada masing-masing individu ternak (Ciampolini et al., 1995), sehingga akan memberikan kemudahan dalam analisis keragaman pada tingkat DNA. Penanda ini dapat dimanfaatkan dalam pemuliaan ternak terutama dalam mendeteksi keragaman genetik. Hoelzel (1998) menyatakan bahwa DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik yang ideal untuk analisis genom karena jumlah cukup banyak di dalam genom. DNA 6
mikrosatelit memiliki tingkat ulangan nukleotida 5-100 tiap lokus dan ditemukan pada sejumlah besar lokus spesifik dalam genom sehingga polimorfisme lokus tersebut dapat diketahui berdasarkan jumlah ulangan yang berbeda. DNA Mikrosatelit banyak digunakan sebagai penanda molekuler untuk mendukung pemuliaan ternak yang meliputi kegiatan dalam identifikasi ternak, penetapan asal-usul keturunan, penggalian sumber-sumber genetik dan menjadi penanda molekuler penting dalam analisis genetik pada beberapa sapi (Ciampolini et al., 1995). Selain itu, DNA mikrosatelit juga digunakan dalam pengenalan spesies antar mamalia, sidik jari DNA dan konservasi. Keragaman
mikrosatelit
ditunjukkan
dengan
variasi
dalam
jumlah
pengulangan sekuen nukleotida. Tingkat keragaman mikrosatelit secara positif berhubungan dengan panjang dari sekuen berulang (Weber, 1990). Perbedaan alel yang dihasilkan disebabkan oleh perbedaan jumlah pengulangan basa (Bennett, 2000). Tipe dan kemurnian pengulangan merupakan bentuk dari keragaman mikrosatelit. Menurut Weber (1990) bahwa DNA mikrosatelit berdasarkan kemurnian pengulangan dibagi berdasarkan tiga kategori, yaitu: 1) mikrosatelit berulang sederhana (perfect repeats) yang terdiri dari sekuen tanpa tersisipi oleh penyela sepanjang unit berulangnya, 2) mikrosatelit berulang komplek (imperfect repeats) terdiri dari sekuen dengan satu atau lebih penyela dalam unit berulangnya, 3) mikrosatelit berulang campuran terdiri dari rangkaian perfect atau imperfect repeats berdampingan dengan sebuah rangkaian sekuen ulangan sederhana yang lain. Keragaman mikrosatelit ini berkaitan dengan ketidakstabilan lokus. Keragaman yang tinggi dari lokus mikrosatelit dihasilkan dari kecepatan mutasi yang tinggi yaitu berkisar 10-3-10-5/lokus/generasi (Lehmann et al., 1996). Ketidakstabilan dan keragaman DNA mikrosatelit diduga disebabkan rekombinasi yang tidak seimbang dan DNA polimerase slippage (Maskur, 2001). Keragaman dalam DNA mikrosatelit dapat dideteksi dengan menggunakan teknologi PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan bantuan sekuen pengapit yang khas (primer) yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen target (lokus DNA mikrosatelit). Primer bersifat spesifik sehingga primer tersebut hanya mampu mengamplifikasi lokus tertentu. Fragmen DNA mikrosatelit yang diamplifikasi dapat divisualisasikan dengan melakukan proses elektroforesis yang dilanjutkan dengan proses pewarnaan perak (silver
57
staining). Penggunaan marka mikrosatelit sebelumnya juga sudah digunakan untuk meneliti sapi lokal Indonesia lainnya yaitu sapi Bali pada lokus INRA035 yang menemukan dua alel yaitu alel A dan B dan lokus HEL9 yang menemukan satu alel yaitu alel A (Noor et al., 2000).
8