TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini, 2004). MacHugh (1996) mengemukakan bahwa sapi yang terdapat di Asia khususnya di Indonesia merupakan sapi yang termasuk dalam spesies Bos bibos dan sapi persilangan (cross breed) yang berbeda dari sapi domestikasi yang terdapat di Afrika dan Eropa, meskipun diduga bahwa pola penyebarannya berasal dari wilayah India (Bos indicus) yang merupakan tipe sapi berpunuk (Zebu). Hasil domestikasi spesies liar Bos bibos banteng adalah sapi Bali (Bos sundaicus) atau (Bos javanicus) yang sekarang telah menjadi bangsa ternak asli Indonesia (Directorate Generale of Livestock Service, 2003; Martojo, 2003). Sumber daya genetik (ternak) yang merupakan wujud keanekaragaman hayati, ialah material genetik, yaitu bahan dari binatang/ternak yang mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat (hereditas). Kepentingan dan penggunaan sumber daya ini untuk kepentingan manusia, mencakup informasi yang berkenaan dengan ekspresi genetik untuk menambahkan nilai pemanfaatannya. Nilai pemanfaatan ini terkandung di dalam sifat-sifat yang terdapat pada dan proses-proses yang berlangsung di dalam makhluk hidup. Berdasarkan kandungan ini, sumber daya genetik mempunyai nilai manfaat, baik secara nyata maupun secara potensial (Setiadi et al., 2006). Sumber daya genetik ternak adalah semua yang termasuk dalam spesies, bangsa dan strain (galur) ternak yang secara ekonomi, ilmiah dan budaya penting bagi umat manusia baik dalam bentuk makanan maupun produksi (Food Agriculture Organization, 2011). Departemen Pertanian (2006) menyatakan bahwa sumber daya genetik ternak adalah substansi yang terdapat dalam bentuk individu suatu populasi rumpun ternak secara genetik unik, terbentuk dalam proses domestikasi dari masingmasing spesies yang memiliki potensial serta dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik untuk menciptakan rumpun atau galur unggul. Kergaman ternak sapi erat kaitannya dengan daya reproduksi ternak. Daya reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi oleh lama kehidupan, dimana lama kehidupan produktif sapi potong lebih lama bila dibandingkan dengan sapi perah
yaitu 10 sampai 12 tahun dengan produksi 6 sampai 8 anak. Faktor ini sangat penting bagi peternakan dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak, mempunyai dampak ekonomis yang sangat penting (Toelihere, 1985). Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ternak dipengaruhi oleh lima hal yaitu, angka kebuntingan (conception rate); jarak antar kelahiran (calving interval); jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service periode); angka kawin per kebuntingan (service per conception); angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).
Keragaman ternak sapi di Indonesia merupakan hasil keragaman karakteristik fenotipik yang terdapat pada masing-masing individu ternak. Berikut disajikan karakteristik fenotipik pada sapi lokal Indonesia, yaitu sapi lokal Indonesia Bali, Aceh, Pesisir, PO Katingan (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik Fenotipik Sapi Lokal Indonesia Ternak Karakteristik Literatur Sapi Bali Warna bulu merah bata, hitam, namun Hardjosubroto (1994). pada saat dewasa berubah menjadi hitam. Sapi berukuran sedang, berdada dalam Panjaitan et al. (2003). dengan warna bulu merah kecoklatan. Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam. Kakinya dari lutut ke bawah terdapat warna putih. Warna putih juga terdapat pada bagian bawah paha dan bagian pantatnya. Sapi jantan berwarna lebih coklat (gelap) dari pada sapi betina. Bila sapi jantan dikebiri maka akan berwarna merah kembali. Sapi Aceh
Warna tubuh dominan merah Keputusan Menteri kecoklatan, bagian kepala (mata, telinga Pertanian (2011). bagian dalam dan bibir bagian atas berwarna keputih-putihan), leher lebih gelap pada ternak jantan, garis punggung cokelat kehitaman, paha belakang berwarna merah bata, bagian pantat berwarna cokelat muda, kaki berwarna keputih-putihan, ujung ekor berwarna hitam, rambut berwarnamerah bata hingga cokelat, bentuk muka dan punggung umumnya cekung, bentuk tanduk mengarah ke samping dan melengkung ke atas, bentuk telinga 3
Sapi Pesisir
Sapi PO
Sapi Katingan
kecil dan mengarah ke samping tidak terkulai. Warna tubuh bervariasi, memiliki warna coklat yang lebih gelap pada bagian depan dibandingkan bagian belakang tubuhnya, pada ternak jantan gumba berukuran sedang. Memiliki bobot badan dan ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan sapi lokal lainnya, sapi pesisir jantan dewasa (umur 4-6 tahun) memiliki bobot badan 160 kg, jauh lebih rendah dibandingkan dengan bobot badan sapi lainnya. Warna bulu sapi pesisir memiliki pola tunggal. Warna bulu dikelompokkan menjadi lima warna utama, yaitu merah bata (34,35%), kuning (25,51%), coklat (19,96%), hitam (10,91%) dan putih (9,26%). Bersifat jinak sehingga mudah dikendalikan saat pemeliharaan. Sapi memiliki tanduk kecil, pendek dan mengarah ke luar seperti tanduk kambing. Sapi jantan memiliki kepala pendek dan membulat, sedangkan sapi betina mempunyai kepala agak panjang dan tipis, kemudi miring, pendek dan tipis. Punuk besar, terdapat lipatan kulit di leher dan perut, telinga panjang menggantung, kepala relatif pendek dengan profil melengkung, mata besar dan tenang, tanduk pendek, kadangkadang hanya berupa “bungkul” kecil saja, mulai dagu sampai bagian dada terdapat gelambir yang lebar dan panjang. Bulu sapi ini berwarna putih kehitaman dengan warna hitam di sekitar lubang mata selebar 1 cm. Sapi jantan memiliki ukuran tubuh yang tidak terlalu besar dibandingkan sapi betina, memiliki gumba yang cukup jelas, tonjolan pada kepala bagian atas pada betina, tanduk melengkung ke depan, warna bulu mata bervariasi, warna teracak didominasi warna hitam dan coklat kemerahan, warna bulu variasi putih sampai dengan hitam.
Namikawa. et al. (1982), Otsuka et al. (1980), Adrial (2010).
Parker dalam Adrial (2002).
Anwar (2004).
Saladin (1983).
Sosoroamidjojo (1975), Wiliamson et al. (1978).
Utomo et al. (2010).
4
Karakterisik fenotipik pada ternak digunakan sebagai penciri atau pembeda antara jenis ternak. Perbedaan karakteristik fenotipik dari bangsa sapi lokal Indonesia yaitu sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan dapat dilihat pada Gambar 1.
(a) Sapi Bali
(b) Sapi Aceh
(c) Sapi Pesisir
(d) Sapi PO
(e) Sapi Katingan
Gambar 1. Karakteristik Fenotipik Bangsa Sapi Lokal Indonesia. (a) Sapi Bali; (b) Sapi Aceh; (c) Sapi Pesisir; (d) Sapi PO; dan (e) Sapi Katingan. Sumber: (a) Saputra (2008); (b) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh (2011); (c) Sarbaini (2004); (d) Jakaria (2011); (e) Balai PengkajianTeknologi Pertanian Kalimantan Tengah (2011).
5
Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) Keberadaan hormon FSH sangat dipengaruhi oleh adanya gen FSH dan gen FSHR. Gen FSH terbagi atas dua subunit yaitu α-subunit dan β-subunit dengan struktur yang berbeda (Alfredo, 1998). Salah satu fungdi FSH adalah merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium dan menginisiasi serta meningkatkan kerja sel-sel sertoli pada proses spermatogenesis (Xing et al., 2001), fungsi tersebut didukung oleh aktivasi reseptor spesifik yang disebut FSH reseptor (Simoni et al., 1997) Gen FSHR diperlukan untuk membawa gen FSH ke target jaringan sehingga dapat diterjemahkan menjadi protein hingga menjadi hormon FSH. Gen FSHR terdapat pada kromosom 11 dan terdiri dari 10 exon dan 9 intron dengan panjang 2375 bp (Houde et al., 1994).
Keterangan: = Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5
= = = = =
251 bp 72 bp 75 bp 75 bp 72 bp
ekson
= intron
Ekson 6 = 78 bp Ekson 7 = 69 bp Ekson 8 = 75 bp Ekson 9 = 186 bp Ekson 10 = >1234 bp
Gambar 2. Struktur Gen FSHR Sumber: Leslie & Griswold, 2002
Sistem ekspresi gen reseptor FSH (FSHR) merupakan sel yang sangat spesifik yang berperan dalam siklus awal pada respon mutakhir sel Sertoli ke FSH. Respon sel yang sangat spesifik dan penting dari FSH ini terhadap proses spermatogenesis memperluas karakteristik pembawa dari gen FSHR (Heckert & Griswold, 2002). Tombasco et al. (2000); Vasconcellos et al. (2003); dan Allan et al. (2007) melaporkan bahwa terdapat keragaman gen FSHR pada sapi Nelore yang berhubungan dengan produktivitas dan reproduktifitas. Rahal et al. (2000) menemukan dua situs mutasi gen FSHR pada sapi yang berhubungan pada sifat reproduksi. FSHR hanya terekspresi pada sel-sel granulosa di ovarium dan sel-sel sertoli di testis (Leslie et al. 1998). 6
FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang dihasilkan di kelenjar hipofisis anterior akan memberikan pengaruh terhadap sel-sel sertoli yang terletak di dalam tubulus siminiferus. Pengaruh tersebut akan membantu untuk pemberian nutrien bagi sperma yang sedang berkembang dan mendukung spermatogenesis dalam penyediaan bahan makanan bagi sperma, serta melepaskan sel sperma yang telah matur di akhir proses spermatogenesis. Proses oogenesis, FSH akan merangsang perkembangan folikel (tempat berkembangnya ovum). Rangsangan perkembangan tersebut akan menghasilkan perkembangan hormon lainnya yang mendukung kerja oogenesis seperti dihasilkannya hormon estrogen dan progesteron (Yulianto, 2011). Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism (PCR-RFLP) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknologi untuk mengamplifikasi (memperbanyak) fragmen DNA spesifik secara in vitro (Mullis, 1986). Williams (2005), PCR merupakan suatu teknik yang dapat menggandakan jumlah molekul DNA pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase. Proses PCR terdiri atas tiga tahapan: (1) Denaturasi, yaitu perubahan struktur DNA utas ganda menjadi utas tunggal, (2) Annealing, yaitu penempelan primer pada sekuens DNA komplementer yang akan diperbanyak, dan (3) Ekstensi, yaitu pemanjangan primer oleh DNA polymerase (Muladno, 2002). PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang dilakukan secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase. Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan diperbanyak. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan dengan elektroforesis (Williams, 2005). PCR-RFLP merupakan salah satu metode dalam PCR yang dikembangkan untuk memvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan oleh penggunaan enzim pemotong (restriction enzyme). Enzim restriksi ini dapat memotong DNA pada sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera, 1998). Metode PCR memanfaatkan urutan nukleotida yang dikenali oleh enzim restriksi dan disebut
7
dengan situs restriksi. Jika situs restriksi mengalami mutasi maka enzim restriksi tidak mampu mengenalinya. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis (Sumantri et al., 2007).
8