TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang dimulai pada awal abad ke-20 memegang peranan penting dalam pengembangan peternakan di Indonesia. Ongole murni pertama kali dibawa ke Pulau Sumbawa yang kemudian disebut sebagai Sumba Ongole (SO) dan selanjutnya dibawa ke tempattempat lain di Indonesia untuk disilangkan dengan sapi asli Jawa dan membentuk Peranakan Ongole (PO) dan sapi Madura (Utoyo, 2002). Proses perkembangan sapi di Indonesia telah menghasilkan sumber daya genetik ternak yang lebih beragam, yaitu mulai dari sapi asli seperti sapi Bali, juga sapi hasil silangan yang telah menjadi sapi lokal seperti sapi Pesisir, sapi Aceh, sapi Madura, sapi Sumba Ongole (SO) dan sapi Peranakan Ongole (PO) (Utoyo, 2002; Martojo, 2003). Sumber daya genetik ternak merupakan kerangka dasar acuan bagi pertanian dan pengembangan varietas dan bangsa ternak untuk masa yang akan datang. Keanekaragaman bangsa ternak asli maupun yang beradaptasi secara lokal berlimpah dan dapat menyelamatkan petani dalam menghadapi iklim yang sulit dan wilayah yang marjinal. Sumber daya genetik ternak lokal dapat dimanfaatkan dengan biaya (input) minimum dan memegang peranan penting dalam budaya masyarakat pedesaan (FAO, 2001). Keanekaragaman genetik ternak lokal memiliki beberapa manfaat, yaitu (1) untuk keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan, (2) untuk memaksimalkan produktivitas lahan dan sumber daya pertanian, (3) untuk pencapaian pertanian berkelanjutan dan (4) untuk pemenuhan keanekaragaman baik yang telah maupun yang akan diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat. Ketersediaan keanekaragaman genetik ternak khususnya ternak sapi akan memberikan keberhasilan dalam strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO-AAAS, 1994). Subandriyo dan Setiadi (2003) menyatakan bahwa keragaman genetik pada ternak penting dalam rangka pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berlanjut sampai masa yang akan datang. Punahnya keragaman plasma nutfah ternak
5
tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan bioteknologi hingga sampai saat ini, sehingga pelestarian sumber daya genetik ternak perlu dilakukan. Pelestarian sumber daya genetik ternak asli atau ternak lokal sangat penting karena merupakan bagian dari komponen keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan pangan, pertanian, dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan datang. Beberapa alasan pelestarian sumber daya genetik ternak Indonesia penting dilakukan, yaitu (1) lebih dari 60% bangsa ternak di dunia terdapat di negara berkembang, (2) konservasi ternak asli atau ternak lokal tidak menarik bagi petani, (3) secara umum tidak terdapat program pemantauan yang sistematis dan tidak tersedia informasi deskriptif dasar sebagian sumber daya genetik ternak yang ada dan (4) sedikit sekali bangsa-bangsa ternak asli maupun ternak lokal yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif (FAO, 2001). Sapi Lokal Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah harus mendatangkan ternak sapi potong dari luar provinsi sekitar 3.000 ekor setiap tahun sebab produksi lokal hanya mampu memenuhi sekitar 45%-50% dari total kebutuhan. Pemerintah menargetkan pencapaian swasembada daging sapi secara nasional pada tahun 2014 sehingga untuk Provinsi Kalimantan Tengah sapi potong ditargetkan mencapai 27.000 ekor pada tahun 2014. Saat ini prediksi populasi sapi potong di Kalimantan Tengah pada tahun 2010 baru mencapai 14.000 ekor. Kondisi ini membuat pesimis berbagai pihak sehingga perlu berbagai upaya dan kerja keras semua pihak untuk menggunakan potensi sumberdaya lokal yang ada di daerah dimanfaatkan secara optimal, baik sumberdaya genetik maupun sumberdaya lahan dan pakan lokal. Kalimantan Tengah memiliki sapi lokal yang oleh masyarakat setempat (suku Dayak) dinamakan juga sapi lokal, berbeda dengan sapi lokal lainnya disebut sesuai dengan nama asal dari sapi tersebut, misalnya sapi Bali. Sapi lokal Kalimantan Tengah belum memiliki nama, namun beberapa orang menyebut sesuai dengan nama daerah aliran sungai tempat sapi tersebut hidup. Sapisapi tersebut hanya dipelihara oleh masyarakat setempat (suku Dayak). Sapi-sapi lokal lainnya seperti sapi Bali (dominan), sapi Madura dan sapi PO kebanyakan dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigrasi) (Adrial, 2010). Asal-usul sapi lokal Kalimantan Tengah sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Sapi-sapi tersebut dipelihara secara ekstensif di padang 364
gembalaan yang relatif luas dalam bentuk ranch-ranch. Keberadaan sapi sudah puluhan tahun dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dengan lahan tergolong asam dan miskin mineral. Populasi sapi lokal di Kabupaten Katingan dilaporkan sekitar 1.500 ekor. Pengembangan sapi lokal mengalami beberapa hambatan, salah satunya adalah masih sedikitnya informasi terutama data dasar tentang sistem produksi dan reproduksi, keadaan lingkungan, daya tampung lahan dan keterampilan petani yang mengelola. Informasi-informasi tersebut sangat penting karena berkaitan dengan keberhasilan pelestarian dan pengembangannya di masa yang akan datang (Adrial, 2010). Sapi lokal Kalimantan Tengah memiliki potensi besar sebagai ternak potong, karena sapi ini mampu beradaptasi dengan lingkungan Kalimantan Tengah yang asam dan miskin mineral, mempunyai produktivitas yang cukup baik pada kondisi pemeliharaan ekstensif tradisional, relatif tahan terhadap berbagai macam penyakit dan parasit serta mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan banyak orang Kalimantan Tengah yang tidak mengetahui bahwa Kalimantan Tengah memiliki sapi lokal yang potensial untuk dikembangkan (Adrial, 2010). Ciri Spesifik Sapi Katingan Karakteristik yang menonjol pada sapi Katingan yang hidup di sepanjang daerah aliran sungai Katingan, Kalimantan Tengah yang membedakan dengan sapi lokal lainnya di Indonesia adalah bentuk tanduk yang sebagian besar melengkung ke depan pada sapi betina dewasa. Bentuk tanduk pada sapi Katingan jantan tumbuh normal seperti umumnya sapi lokal yang lain, yaitu ke samping atas serta tonjolan pada kepala bagian atas diantara dua tanduk. Tonjolan hanya ditemukan pada sapi betina (Utomo et al., 2010). Warna bulu mata bervariasi seperti berwarna hitam, coklat kemerahan, coklat keputihan, bahkan ditemukan warna putih. Teracak pada sapi Katingan ditemukan dua warna, yaitu warna hitam (dominan) dan warna coklat kemerahan (Utomo et al., 2010). .
57
Bentuk Tubuh Ukuran tubuh dewasa sapi Katingan jantan tidak selalu lebih besar dibandingkan dengan sapi betina. Sapi jantan maupun sapi betina mempunyai gumba yang cukup jelas terlihat. Karakteristik morfologik ini sama seperti pada sapi PO dan Madura (Utomo et al., 2010). Ukuran gumba pada sapi jantan jauh lebih tinggi ketika tumbuh dewasa. Gelambir ditemukan baik pada sapi jantan maupun sapi betina. Tampilan gelambir pada sapi jantan lebih tebal dan lebih berat dibandingkan dengan gelambir pada sapi betina. Gelambir dijumpai mulai dari bawah kerongkongan sampai bawah dada di antara dua kaki depan (Utomo et al., 2010). Karakteristik Kualitatif Warna bulu sapi hanya ditentukan berdasarkan warna utama atau warna dasar untuk memudahkan dalam pengelompokan warna, karena dari warna dasar tersebut ditemukan warna lain di bagian-bagian tertentu tubuh sapi (Utomo et al., 2010). Keragaman warna bulu sapi Katingan dapat dilihat pada Gambar 1.
a
d
Sumber : Utomo et al. (2010)
b
c
ee
f
Gambar 1. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Betina (a, b, c) dan Jantan (d, e, f) Variasi warna bulu sapi Katingan betina di daerah aliran sungai Katingan didominasi oleh warna coklat kemerahan, yaitu 27%, diikuti berturut-turut cokelat keputihan (14,1%), cokelat warna sapi Bali (13,8%), hitam (12,5%), cokelat keruh atau kusam (9,6%), cokelat merah bata (9,3%), kehitaman (7,1%), putih kecokelatan
86
(5,5%) dan putih keabuan (4,5%). Variasi warna bulu sapi Katingan jantan didominasi warna hitam sebesar 27%, diikuti berturut-turut cokelat keputihan (14,8%), cokelat keputihan dan kemerahan (14,8%), cokelat kemerahan (13,1%), kehitaman (12,3%), cokelat keputihan punuk hitam (10,7%), cokelat merah bata (9,8%), dan cokelat merah bata punuk hitam (7,8%). Menurut Fries dan Ruvinsky (1999), warna yang lebih gelap pada leher dan kepala pada sapi jantan merupakan warna tipe sapi liar (Utomo et al., 2010). Variasi bentuk tanduk sapi Katingan betina adalah bentuk tanduk melengkung ke depan, pendek dan kecil yang tidak melekat pada tulang kepala sehingga kalau dipegang akan goyang, melengkung menyamping ke depan, melengkung ke bawah, menyamping horizontal, tidak bertanduk (Utomo et al., 2010). Variasi pertumbuhan (bentuk) tanduk pada sapi jantan dewasa hanya dua, yaitu bentuk tanduk ke arah samping atas dan melengkung ke atas (Gambar 2). 4
5
6
Sumber : Utomo et al. (2010)
Gambar 2. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Jantan Tonjolan pada kepala sebagian besar ditemukan pada sapi betina (82,93%97,56%), sedangkan pada jantan tidak ditemukan. Tinggi rendah tonjolan bervariasi, dari tinggi hingga rendah (Gambar 3). Tonjolan di kepala tidak ditemukan pada sapi
79
PO, Bali dan Madura, sehingga tonjolan ini dapat dijadikan sebagai penciri pada sapi Katingan (Utomo et al., 2010).
Sumber : Utomo et al. (2010)
Gambar 3. Variasi Tonjolan (Tinggi Rendah) pada kepala Sapi Katingan Betina Karakteristik Kuantitatif Rata-rata bobot badan sapi betina di daerah aliran sungai Katingan asal Buntut Bali 201,8 kg, asal Pendahara 208,9 kg dan asal Tumbang Lahang 217,1 kg. Rata-rata bobot badan sapi jantan dari Buntut Bali sebesar 299,9 kg, Pendahara 250,5 kg dan dari Tumbang Lahang 261,1 kg (Utomo et al., 2010). DNA Mikrosatelit Mikrosatelit adalah rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. Mikrosatelit biasa digunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenik, lokus pengendali sifat kuantitatif dan forensik. Mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan beberapa pasang mikrosatelit. Hasil PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamid (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak (silver staining). Mikrosatelit atau sekuen berulang sederhana (Short Tandem Repeats / STRs) adalah sekuen DNA genom dengan unit ulangan 1-6 pb (pasang basa) dengan panjang ulangan 10-100 pb, namun ada yang ditemukan lebih panjang lagi (Bennet, 2000; Goldenstein et al., 1995) atau sekuen yang berulang secara berurutan yang disusun berbagai kombinasi dari empat basa DNA yaitu adenin (A), cytosine (C), guanin (G), dan thymin (T) (Tautz, 1993). Pola ulangan DNA mikrosatelit dapat berupa mono-, di-, tri- maupun tetra-nukleotida berulang (Tautz, 1993). Ulangan yang paling banyak adalah ulangan CA (atau GT pada untai lain) yang diduga ada 10 8
sekitar 35.000. Sekuen tersebut terdapat pada genom haploid manusia. Sekuen ini ditemukan di setiap 100 pb (Valdes et al., 1993). Ulangan nukleotida yang paling sering ditemukan pada mamalia adalah GT/AC (Hoelzel, 1998). Mikrosatelit merupakan indikator pusat gen ideal (Valdes et al., 1993). Jumlahnya berlimpah, bersifat kodominan, memiliki polimorfik tinggi dan tersebar hampir di seluruh genom serta mudah ditemukan (Lehmann et al., 1996). Karakteristik tersebut menjadikan mikrosatelit sebagai penanda yang ideal untuk mengukur tingkat keragaman populasi. Mikrosatelit terdapat melimpah dalam genom dan mudah ditemukan, sehingga sering digunakan dalam pemetaan genom (Weber, 1990), analisis keterpautan pada semua spesies serta dapat digunakan dalam rekonstruksi filogenik manusia (Goldenstein et al., 1995). Mikrosatelit juga digunakan sebagai penciri genetik (Lehmann et al., 1996) atau dapat digunakan sebagai penanda (marker) yang ideal untuk mengukur tingkat keragaman populasi (Valdes et al., 1993) karena memiliki jumlah alel yang tinggi serta ekspresi pola pitanya kodominan sehingga dengan mudah dapat membedakan individu homozigot dengan individu heterozigot. Marker ini juga bermanfaat dalam pemuliaan ternak seperti dalam mengidentifikasi ternak, asal usul, penentuan garis keturunan dan mengevaluasi sumberdaya genetik (Ciampolini et al.,1995). Keragaman DNA Mikrosatelit Keragaman mikrosatelit ditunjukan oleh variasi dalam jumlah pengulangan sekuen inti. Tingkat keragaman mikrosatelit secara positif berhubungan dengan panjang dari sekuen berulang (Weber, 1990). Perbedaan alel yang dihasilkan disebabkan perbedaan jumlah pengulangan basa nitrogen (Bennet, 2000). Mikrosatelit dengan panjang pengulangan kurang dari 20 pb, berpeluang kecil polimorfik. Keragaman mikrosatelit ini berkaitan dengan ketidakstabilan lokus. Keragaman yang tinggi dari lokus mikrosatelit dihasilkan dari kecepatan mutasi yang tinggi yaitu diperkirakan pada kisaran 10-3 – 10-5 lokus/gamet/generasi (Lehmann et al., 1996). Rekombinasi yang tidak seimbang dan DNA polimerase slippage diduga menjadi penyebab ketidakstabilan dan keragaman dari mikrosatelit (Maskur, 2001). Tipe dan kemurnian pengulangan merupakan bentuk dari keragaman mikrosatelit. Kategori mikrosatelit berdasarkan kemurnian pengulangan yaitu (1) 11 69
mikrosatelit berulang sederhana (perfect repeats) yang terdiri dari sekuen tanpa disisipi oleh penyela sepanjang unit berulangnya, (2) mikrosatelit berulang komplek (imperfect repeats) terdiri atas sekuen dengan satu atau lebih penyela dalam unit berulangnya dan (3) mikrosatelit berulang campuran (compound repeats) terdiri atas rangkaian perfect atau imperfect repeats berdampingan dengan sebuah rangkaian sekuen simple repeats yang lain (Weber, 1990). Keragaman dalam mikrosatelit dapat dideteksi dengan menggunakan teknologi PCR. Sekuen pengapit yang khas disebut sebagai primer digunakan untuk mengamplifikasi daerah mikrosatelit. Primer pada mikrosatelit bersifat khas sehingga primer tersebut hanya mengamplifikasi dan dapat divisualisasikan menggunakan pewarnaan perak yang lebih sensitif dibandingkan pewarnaan dengan Ethidium Bromida (Tegelstrom, 1992). Banyak mikrosatelit yang ditemukan bersifat polimorf karena terpaut dengan daerah penyandi gen yang memiliki runutan cenderung lestari (conserved) sehingga sangat ideal untuk analisis keterpautan (Muladno, 2000). Penanda Genetik Penanda genetik adalah sebuah sifat genetik yang mudah diamati dan mempunyai pola penurunan sederhana (Kerje, 2003). Penanda genetik dapat diidentifikasi dengan berbagai teknik RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphisms), RAPD (Random Amplyfied Polymorphism DNA), DNA minisatelit dan DNA mikrosatelit. Penanda genetik digunakan untuk mengukur respon genetik terhadap seleksi alam dan seleksi buatan (Gomez-Raya et al., 2002) dan untuk mengetahui keragaman genetik (Nei dan Kumar, 2000). Analisis sekuens DNA yang memilki akurasi tinggi dimulai pada tahun 1977 melalui metode Sanger atau metode Maxam dan Gilbert. Metode tersebut berkembang
menjadi
suatu
metode
dengan
dua
prosedur
yang
berbeda
(Brown, 1999), yaitu metode Sanger (Chain Termination Method) dan metode Maxam-Gilbert (Chemical Degradation Method) sehingga analisis genom menjadi lebih berkembang. Metode tersebut memiliki beda yaitu perkembangan. Metode Sanger lebih berkembang dibandingkan dengan metode Maxam-Gilbert karena lebih mudah, praktis dan efisien dilakukan (Muladno, 2002). Bersamaan dengan perkembangan teknik PCR dan teknik pendukung lain, maka proses perunutan atau sekuensing DNA secara keseluruhan dapat lebih cepat. 1210