Strategi penyediaan pakan hijauan untuk pengembangan sapi potong di Sulawesi Tengah Andi Lagaligo Amar Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah
Abstract Forage available for beef cattle in Central Sulawesi is dominantly obtained from natural grazing foilds with limited quality and quantity to support animal population . Beef cattle farming based on smallholder farming system in this are is in need of improvements in all animal supportive aspects . One of the important aspect is feed, especially its provision . A comprehensive approach is the one that is required to increase animal population and productivity . This includes attempts in extensification and intensification of grazing fields, forage production from backyards, and other forage resources, followed with supporting rules and regulation from government . For the last mentioned aspect, good willingness from both executive and ligislative components of government is the most imprtant and determining, and this will have to be accompanied by researcher community from university and other research and development institutions . Key words : forage, beef cattle, rules and regulation
Pendahuluan La tar belakang
Padang penggembalaan alam masih memegang peranan penting, dan merupakan modal dasar untuk mendukung produksi ternak ruminansia potong . Akan tetapi, produksi dan kualitas rumput tropik menjadi salah satu faktor pembatas utama produktivitas ternak potong di wilayah ini (Crowder dan Chheda, 1982 ; Preston and Leng, 1985; Winter et al., 1990; Clements, 1996), utamanya pada musim kering/kemarau . Kualitas hijauan yang rendah merupakan konsekuensi dari lahan tidak subur, karena biasanya penggembalaan ditempatkan pada posisi yang demikian dalam penggunaan lahan (land uses) . Atribut ini semakin tidak menguntungkan karena kurangnya jenis jenis legum (kacang-kacangan) produksi tinggi yang beradaptasi baik dan persisten (Burt and Williams, 1975; Clements, 1996), dalam proporsi yang tinggi pada kondisi lingkungan penggembalaan alam . Atribut produksi hijauan yang rendah (kuantitas dan kualitas) dari padang penggembalaan alam menyebabkan terbatasnya jumlah ternak yang dapat ditampung per-satuan luas lahan . Hal ini berarti setiap ternak membutuhkan lahan yang luas untuk mencukupi kebutuhan pakannya dengan konsekuensi :
172
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
1 . Semakin luas lahan yang dijelajahi untuk merumput, semakin tinggi pula energi dikeluarkan untuk gerak, sehingga efisiensi pakan yang dikonsumsi untuk produksi ternak menjadi rendah; dan 2 . Pemenuhan kuantitas pakan belum menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi ternak . Pada kondisi seperti ini, pengembangan populasi (jumlah dan mutu ternak) sulit dilakukan, termasuk di Sulawesi Tengah. Populasi ternak yang ada beberapa tahun lalu sulit dipertahankan, apalagi untuk dikembangkan, pada kondisi sekarang dengan penyusutan luas lahan seiring peningkatan jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak sebagai konsekuensi pertambahan penduduk atau permintaan pasar . Akan tetapi, pengembangan usaha ternak ruminansia, khususnya sapi potong merupakan suatu kebutuhan . Oleh karena itu, program pengembangan sapi potong semestinya dilakukan dengan pendekatan 'ekstensifikasi dan intensifikasi' secara bersamasama. Makalah ini membahas pendekatan tersebut dari aspek penyediaan hijauan pakan, secara khusus di Sulawesi Tengah, dalam rangka perbaikan usaha berbasis peternakan rakyat, dan mendukung Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) secara nasional . Batasan
Upaya pengembangan jenis ternak apa saja memerlukan perbaikan dari berbagai aspek yang berpengaruh (affecting factors), antara lain ; genetik, pakan (makanan ternak), tatalaksana (manajemen) usaha, lingkungan (termasuk lingkungan sosial), serta aturan dan kebijakankebijakan (rules and policies) . Cakupan makalah ini dibatasi pada aspek pakan, secara khusus hijauan . Demikian pula, pendekatan 'ekstensifikasi' dan 'intensifikasi' dengan pemaknaan : 1 . Ekstensifikasi lahan penggembalaan, dan produksi hijauan, meliputi ; perluasan, penganeka-ragaman penggunaan lahan pertanian untuk penggembalaan atau penghasil hijauan, dan penganeka-ragaman sumber hijauan . 2. Intensifikasi tatalaksana lahan penggembalaan dan produksi hijauan, meliputi ; intensitas perhatian, pemeliharaan dan penggunaan lahan penggembalaan, penggunaan lahan produktif lainnya untuk mendukung produksi hijauan, serta intensitas peran sumber-daya manusia, khususnya peternak, dalam penyediaan hijauan bagi ternaknya, termasuk pemanfaatan sumber-sumber pakan kasar (roughage) sebagai hijauan pakan lainnya .. Pembahasan akan dibatasi pula pada aspek penyediaan hijauan secara umum Sulawesi Tengah, tidak spesifik wilayah daerah kabupaten/kota, kecuali sebagai contoh-contoh bila diperlukan.. Pembahasan
Aspek penyediaan hijauan pakan' untuk pengembangan sapi potong di Sulawesi Tengah dibahas dalam 3 bagian, yaitu : lahan penggembalaan, produksi hijauan di luar penggembalaan, dan sumber-sumber lainnya . Dukungan aturan dan kebijakan dibahas pada bagian terpisah .
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
173
Potensi Lahan Penggembalaan
Total luas padang penggembalaan dan kebun hijauan di Sulawesi Tengah (Tabel 1) jauh dari cukup untuk mendukung populasi ternak sapi potong (saat ini sekitar 190.000 ekor) di wilayah ini . Luas lahan untuk penggembalaan tersebut semakin tidak mencukupi karena selain sapi potong terdapat pula ternak gembala lainnya, domba, kambing dan kerbau'. Selain aspek luas lahan, penggembalaan di wilayah ini masih berupa padang rumput alam dengan atribut produktivitas hijauan rendah (kuantitas dan kualitas) . Umumnya, padang penggembalaan alam dikenal dengan daya-tampung (carrying capacity) yang rendah . Di Lembah Palu, setiap ekor membutuhkan lahan penggembalaan sekitar 14,4 17,5 ha/tahun, dengan asumsi rata-rata berat sapi dewasa 400 kg (Amar, 2000 ; Amar, 2002). Sebagai pembanding, rata-rata daya-tampung padang penggembalaan alam di Queensland Utara - Australia antara 14,7 - 16,5 ha/AE/thun (Mclvor dkk .,1991 ; Partridge, 1999) . Satu (1) AE (animal equivalent) setara dengan seekor induk sapi tidak bunting (dry cow) berat badan 420 kg, atau sapi jantan muda (steer) dengan berat 455 kg . Dengan demikian, padang penggembalaan di Sulawesi Tengah saat ini (130.000 ha, jika benar) hanya menampung kurang dari 10.000 ekor sapi . Oleh karena itu, pengembangan sapi potong di wilayah ini sangat memerlukan peningkatan ; luas lahan (ekstensifikasi) dan daya-tampung (intensifikasi) padang penggembalaannya . Tabel 1
Data Luas Padang Penggembalan dan Kebun Hijauan Propinsi Sulawesi Tengah, Tahun 2006. Kabupaten/Kota
Padang Penggembalaan (Ha)
Morowali Donggala Banggai Poso Parimo Tojo Una-Una Toli-Toli Buol Banggai Kepulauan Palu Sulawesi Tengah
29 .601 20 .007 18 .486 16 .653 11 .908 10 .933 7 .800 7 .722 6 .136 754 130.000
Kebun Hijauan (Ha) 20 4 270 451 234 173 67 47 60 1 .326
Sumber: SUBDIN Peternakan Propinsi Sulawesi Tengah (2007)
Ekstensifikai
Upaya peningkatan populasi ternak melalui ekstensifikasi padang penggembalaan memang sangat sulit di saat kompetisi penggunaan lahan semakin ketat, tetapi tidak berarti tidak mungkin. Dua cara yang mungkin dilakukan adalah : 1 . Pembuatan peta potensi wilayah dan komoditi unggulan (prioritas), sehingga dapat mengidentifikasi peluang penetapan kawasan atau lokasi-lokasi baru sebagai pengembangan padang penggembalaan ; dan 2. Pemanfaatan lahan pertanian produktif sebagai penggembalaan, khususnya berupa lahanlahan perkebunan . Untuk lahan perkebunan, Sulawesi Tengah memiliki potensi yang cukup luas, sekitar 342.097 ha (Bantilan, 1996) . Lahan perkebunan yang paling memungkinkan (kelapa, kelapa hibrida, 1 74
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
kelapa sawit, cengkeh, karet, dan kapok) meliputi luas 266.272 ha (Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah, 2000), dengan variasi luas dan jenis tanaman di masing-masing kabupaten, antara lain : 1 . Khusus di wilayah kabupaten Donggala, luas total kebun kelapa 57.453 ha (BPS Kabupaten Donggala, 1997) yang umumnya telah dimanfaatkan pula sebagai penggembalaan ternak, terutama di Kecamatan Damsol yang memiliki total perkebunan kelapa paling luas (12.126 ha). 2. Di kabupaten Tojo Una-Una (Touna), luas lahan perkebunan kelapa meliputi 25.878 ha dan cengkeh 3 .180 ha (BPS - Kabupaten Tojo Una Una, 2005). Perkebunan, setelah coklat (8.625 ha) . Lahan tanaman cengkeh yang umumnya miring lebih cenderung untuk tanaman pakan dengan tujuan penggunaan hijauan potongan (cut and carry systems), 3 . Dihimpun dari berbagai sumber, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) memiliki lahan pekebunan, yang sangat memungkin integrasi ternak gembala, hampir 27.000 ha, terdiri atas lahan tanaman ; kelapa dalam 20 .987 ha, kelapa hibrida 3 .859 ha, dan cengkeh 2078 ha. Intensifikasi
Peningkatan intensitas penggunaan padang penggembalaan (jumlah ternak per-unit lahan) hanya mungkin dilakukan bila didahului dengan perbaikan produktivitas hijauan (kuantitas dan kualitas) padang penggembalaan melalui perbaikan agronomis dan manajemen pemanfaatannya . Cara perbaikan yang umum dilakukan adalah : 1 . Pemupukan, khususnya unsur-unsur makro seperti nitrogen (N) dan pospor (P), serta unsur lainnya sesuai kebutuhan minimum tanaman ; 2 . Introduksi tanaman baru, rumput dan/atau legum, yang lebih produktif, dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan sasaran, persisten, dan tahan tekanan (intensitas) penggembalaan; 3. Penanaman tumbuhan perdu/pohon multi-guna (multipurpose trees) sebagai sumber hijauan tambahan, khususnya pada waktu-waktu hijauan tersedia sangat terbatas, dan berfungsi pula dalam perbaikan gizi temak. Upaya perbaikan ini merupakan kebutuhan, dan dapat dilakukan pada padang penggembalaan, maupun pada lahan perkebunan yang diintensifkan penggunaannya sebagai penggembalaan ternak . Kebutuhan seperti ini sudah diakui dimana-mana sebagai akibat peningkatan permintaan produk-produk ternak, khususnya daging, sehingga meningkatkan kebutuhan lahan untuk produksi hijauan, dan kebutuhan yang urgen untuk meningkatkan produktivitas per-unit lahan (Blair, 1991 ; Dzowela and Kwesiga, 1994) . Introduksi tanaman, khususnya legum, merupakan satu di antara cara terbaik dan efektif untuk peningkatan produktivitas lahan penggembalaan . Potensi tanaman kacang-kacangan atau legum (leguminous species) dalam perbaikan kesuburan tanah meliputi peningkatan nitrogen tersedia dan bahan organik tanah diikuti perbaikan daya-ikat air. Stocker (1991) menunjukkan bahwa, di Queensland, padang penggembalaan alam yang diperbaiki dengan legum memberikan tambahan nilai A$ 300 juta/tahun dalam bentuk peningkatan produksi daging sapi ; dan legum dari jenis jenis Stylosanthes saja memberikan tambahan A$ 45 juta/tahun dari daging sapi di Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
1 75
wilayah yang sama (Edye, 1992) . Edye (1987) menyatakan bahwa legum jenis jenis Stylosanthes dapat meningkatkan produktivitas (dan mutu) hijauan padang rumput alam di wilayah iklim panas (tropical regions), sehingga daya-tampungnya meningkat pula . Bila disertai pemupukan P, penggunaan legum Stylosanthes pada padang rumput alam di bagian utara Queensland, Australia, telah meningkatkan produksi ternak setinggi 20 kali-lipat, berupa; 10 kali lipat peningkatan daya-tampung penggembalaan, dan 2 kali-lipat pertambahan berat-badan per-ekor temak (Edye and Gillard, 1985). Kebun Hijauan
Produksi hijauan, selain dari lahan penggembalaan, harus dapat ditingkatkan dalam arti jumlah dan mutu (quantity and quality), sehingga menjamin kontinuitas ketersediaannya dan pemenuhan kebutuhan ternak . Sumber hijauan tersebut, yang ada di Sulawesi Tengah, adalah kebun rumput (Tabel 1) dan tumbuhan alami yang ada di sekitar peternak . Potensi inipun akan memegang perananan penting dalam pengembangan sapi potong, bila mendapat perhatian untuk peningkatan produksi dan pemanfaatannya. Ekstensifikasi
Perluasan kebun rumput harus dilakukan, antara lain melalui : 1 . demplot-demplot (demonstration plots yang difasilitasi oleh pemerintah melalui instnasi tehnis terkait, dan 2. kebun-kebun hijauan milik perorangan dan/atau kelompok peternak, khususnya lahan yang belum dimanfaatkan, dan/atau pinggiran lahan pertanian dan pekarangan . Intensifikasi
Perbaikan produktivitas kebun rumput dapat dilakukan, antara lain melalui : 1 . Pemupukan, organik dan mineral, khususnya pupuk kandang 2. Introduksi jenis tanaman yang lebih produktif (dan gizi lebih baik) 3 . Pemanfaatan lahan-lahan pertanian, yang tidak memungkinkan untuk penggembalaan, dengan integrasi tanaman hijauan pakan potongan Sumber-sumber hijauan (roughage) tersedia lainnya Ekstensifikasi
Ekstensifikasi yang dimaksudkan di sini adalah penganeka-ragaman sumber hijauan, meliputi ; 1 . Pemanfaatan limbah pertanian setelah panen berupa jerami secara umum, khususnya jerami kacang-kacangan karena masih bernilai gizi tergolong tinggi, misalnya ; jerami kacang tanah (Susetyo dkk . 1969; Castillo, 1983 ; Amar dan Kadekoh 2003); 2 . Perubahan orientasi produksi, misalnya tanaman jagung panen muda (baby-corn, dan jagung muda) ;
1 76
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Patu, 24 November 2008
3 . Komponen tanaman pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan, tetapi tidak mengganggu tujuan produksi utama, misalnya defoloasi sebagian daun tanaman jagung untuk mengurangi naungan pada sistem tumpangsari, sekaligus dimanfaatkan sebagai hijauan pakan (Amar dan Kadekoh 2003). Intensifikasi
Sangat penting meningkatkan perhatian, usaha dan tatalaksana pemberian hijauan pada ternak, termasuk dengan perencanaan yang baik oleh peternaknya sebagai pelaku usaha . Intensifikasi perhatian petani/petemak meliputi segala aspek usahanya, tetapi dalam hal ini, secara khusus penyediaan hijauan pakan melalui ; 1 . Pengembangan teknik-teknik pengawetan kering (hay) dan segar (silase), serta pemanfaatan sumber hijauan lain untuk menjamin persediaan pakan utama pengganti hijauan segar (roughage) pada musim atau tujuan tertentu . 2. Selain teknik pengawetan, pengembangan teknologi pemanfaatan limbah seperti jerami padi dan jagung, serta hijauan lain yang mudah diperoleh tetapi kurang disukai ternak seperti daun johar (Cassea siamea Lamk.) dalam bentuk pakan komplit yang dikompakkan/dipress (compacted complete feed) . Aturan dan Kebijakan Secara umum pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh berbagai faktor independen, dan umumnya interdependen . Salah satu faktor itu adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules and policies) dari pihak pemerintah. Untuk hal ini, kemauan pemerintah (govermental will), eksekutif dan legislatif secara bersama, merupakan faktor paling menentukan, dengan melibatkan institusi ilmiah/peneliti, antara lain ; perguruan tinggi, serta lembaga/badan penelitan dan pengembangan . Keberhasilan pengembangan usaha sapi potong sangat ditentukan oleh salah satu dari 3 aspek produksi utama yaitu kecukupan pakan (jumlah dan mutunya), khususnya hijauan, sebagai komponen utama makanan temak tersebut melalui lahan penggembalaan dan produksi hijauan pakan dari berbagai sumber . Ketersediaan lahan dan selanjutnya hijauan pakan perlu pula ditunjang berbagai aturan dan kebijakan, antara lain : 1 . Pemetaan potensi pengembangan penggembalaan dan tanaman hijauan pakan di setiap daerah atau wilayah yang memungkinkan ; 2 . Penetapan lokasilkawasan pengembangan ; 3 . Perencanaan dan pelaksanaan program-program yang terintegrasi antar sektor (instansi tehnis), lebih dari sekedar saling mendukung ; 4 . Pemenuhan (jumlah dan kompetensi) tenaga penyuluh ; 5. Dukungan dan fasilitas terbentuknya sekolah-sekolah lapang bagi petani/peternak, dan pengadaan sumber informasi/unit layanan yang mudah dan dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat untuk menyampaikan masalah-masalahnya dan memperoleh bimbingan/jalan keluar ; 6. Perbaikan intensitas dan frekuensi pelatihan, khususnya dalam hal peningkatan penyediaan hijauan sesuai tuntutan peningkatan populasi ternak sapi yang pasti dinamis Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Patu, 24 November 2008
177
seiring meningkatnya permintaan dagingnya . Swasembada daging sapi akan dicapai dan dapat dipertahankan (sustained) bila perkembangan populasi (dan mutu) ternak sapi potong mendahului, atau minimal sama dinamisnya dengan peningkatan angka kebutuhan ; serta 7. Dukungan penelitian dan pengembangan .
Penutup Petambahan penduduk meningkatkan permintaan (demand) komoditi hasil pertanian, termasuk hasil temak berupa daging, sebaliknya menyebabkan penyusutan luas lahan produktif sebagai konsekuensi konversi penggunaan lahan . Oleh karena itu, selain upaya ekstensifikasi lahan penggembalaan yang memungkinkan dan intensifikasi agronomis dan pemanfaatannya, integrasi ternak pada lahan-lahan pertanian produktif (Integrated Farming Systems) merupakan pilihan yang paling memungkinkan di Sulawesi Tengah. Integrasi tersebut dapat berupa penggembalaan ternak pada lahan tersebut (on site), atau penanaman sumber hijauan pakan potongan untuk ternak di luar lahan (off site). Atternatif lainnya adalah intensifikasi pemanfaatan limbah pertanian, termasuk pemanfaatan tanaman pertanian sebagai sumber hijauan, tanpa mengganggu produktivitasnya . Semua alternatif tersebut di atas tidak akan ada artinya tanpa kemauan petani/peternak sebagai pelaku disertai pengetahuan dan keterampilan yang cukup . Oleh karena itu, aspek yang sama pentingnya adalah keterlibatan pemerintah sebagai fasilitator dan memberikan dukungan dalam berbagai bentuk kebutuhan petanilpeternak, berupa bantuan-bantuan pelatihan, tehnis, fasilitas, dan aturan/kebijakan .
Daftar Pustaka Amar, A.L ., 2000 . Komposisi botanis tumbuhan menerna dan daya-tampung penggembalaan umum di Kelurahan Kawatuna, Lembah Palu, Sulawesi Tengah . Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland, 7/4: 342 - 350 . Amar, A.L ., 2002 . Komponen tumbuhan menerna dan daya-tampung padang penggembalaan lahan kering di Kelurahan Poboya, Lembah Palu . Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland, 9/2 : 172 178 . Amar, A .L . dan Kadekoh, I., 2003 . Produksi hijauan pakan daun jagung yang didefoliasi dan jerami kacang tanah pada sistem tumpangsari usaha tani lahan kering . Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland, 10/2 : 177 - 184 . Bantilan, N .K ., 1996 . Potensi Perkebunan Sulawesi Tengah, 1995 . Dinas Perkebunan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah, Palu . Blair, G., 1991 . The ACIAR forage program. In Forages for Plantation Crops, (eds . H .M. Shelton and W.W.Stur), ACIAR. Proceedings, No . 32 : 1-4. Burt, R.L .and Williams, W .T ., 1975 . Review : 1 . Plant introduction and the Stylosanthes story . Australian Meat Research Committee, AMRC. Review, 25. BPS - Kabupaten Donggala, 1997 . Kabupaten Donggala dalam Angka, 1997. Kerjasama, Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala dengan BAPPEDA Tk . II Kabupaten Donggala . BPS - Kabupaten Tojo Una Una, 2005 . Kabupaten Tojo Una-Una dalam Angka 2005. Kerjasama : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tojo Una-Una.
1 78
Prosiding Seminar Nasionat Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
Clements, RJ., 1996. Pastures for prosperity . 3 . The future for new tropical pasture plants . Proceedings of the Fifth Tropical Pastures Conference held at Atherton, Queensland, June 1995 . Tropical Grasslands, 30: 31-46 . Crowder, L.V. and Chheda, HR ., 1982 . Tropical Grassland Husbandry. Logman, New York, US . Dzowela, B .H . and Kwesiga, F., 1994. The potentials and limitations of agroforestry for improving livestock production and soil fertility in southern Africa . In Soil Fertility and Climatic Constraints in Dryland Agriculture, pp. 19-25, (eds. E.T. Craswell and J . Simpson) . Proceedings of ACIAR/SACCAR Workshop held at Harare, Zimbabwe, 30 August-1 September 1993 . Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra . Edye, L.A., 1987. Potential of Stylosanthes for improving tropical grasslands . Outlook on Agriculture, 16 : 124-130 . Edye, L.A ., 1992 . The Division . CSIRO Division of Tropical Crops and Pastures . Annual Report 1992, p . 3.
Edye, L .A . and Gillard, P ., 1985 . Pasture improvement in semi-arid tropical savannas : a practical example in northern Queensland . In Ecology and Management of the World's Savannas, pp . 3 03-309, (eds . J.C . Tothill and J.J . Mott) . Australian Academy of Science, Camberra. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah, 2000 . Statistik Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah, Tahun 1998 . Proyek Pengembangan Sumberdaya, Sarana dan Prasarana Pertanian, Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah . Mclvor, J., Bishop, H ., McKeague, P . and Stockwell, T., 1991 . The place for sown pasture . In, Sown Pastures for the Seasonally Dry Tropics, pp . 18 - 21 . Eds . J.I . Partridge and C .P . Miller . Queensland Department of Primary Industries, Brisbane . Nitis, I.M., 2000 . Ketahanan Pakan Ternak di Kawasan Timur Indonesia - Pendekatan Holistik Melalui Agroforestry. Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur . Partridge, I ., 1999 . Managing Grazing in Northern Australia - a grazing guide. Department of Primary Industries, Queensland . Preston, T.R. and Leng, RA ., 1985. Matching Livestock Systems to Available Feed Resources in Developing Countries. ILCA, Addis Ababa, Ethioipia . Stocker, J.W., 1991 . The Australian beef industry : facing up to the future. CSIRO Occasional Paper 5 . CSIRO, Canberra, Australia . Winter, W.H., Coates, D.B ., Hendricksen, R.E ., Kerridge, P.C ., McLean, R .W . and Miller, C.P ., 1990 . Phosphorus and beef production in northern Australia. 4 . The response of cattle to fertilizer and supplementary phosphorus . Tropical Grasslands, 24 : 170-184
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong - Palu, 24 November 2008
1 79