Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
PENERAPAN SISTEM PEMBIBITAN KERBAU PADA KELOMPOK PETERNAK (Applied Buffalo Breeding Program in Smallholder) CHALID TALIB Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151
ABSTRACT In Indonesia, there are two breed of buffalo called swamp buffalo and river buffalo, but because many buffalo that live in the river/mud/swamp/pond then the public's understanding can be ambiguous to make different between swamp buffalo and river buffalo. Therefore, the grouping of buffalo should be based on the type of production is beef buffalo for swamp buffalo and dairy buffalo for river buffalo. Buffalo population totaled 1,305,013 head almost 100% is beef buffalo and locally known as aceh buffalo, murrah, pampangan, rawa/kalang, sumbawa. sumba, moa, belang (spotted), anoa and wild buffalo. Each of the local buffalo has advantages and disadvantages that if combined with good will to build the superior beef buffalo or dairy buffalo for Indonesia. For the current condition of Indonesia, the buffalo genetic improvement program may be built at the level of farmer groups gradually with the direction and supervision of the relevant agencies to be monitored and evaluated. If done correctly it will eventually form the breeder in the level of farmers goups that grew into the “buffalo breeding area” with produced buffalo breeding stocks that consist of three classes based on its genetic quality. Key Words: Buffalo, BufGR (Buffalo Genetic Resources), Breeding, Farmer Groups ABSTRAK Di Indonesia dikenal kerbau lumpur (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo), tapi karena banyak kerbau lumpur yang hidup di sungai/rawa/telaga maka pemahaman masyarakat dapat menjadi rancu. Oleh karena itu sebaiknya pengelompokan didasarkan pada tipe produksi yaitu kerbau potong (beef buffalo) dan kerbau perah (dairy buffalo). Populasi kerbau berjumlah 1.305.013 ekor hampir 100% adalah swamp buffalo/kerbau potong dan di daerah setempat dikenal sebagai kerbau aceh, murrah, pampangan, kalang atau rawa, lebak, sumbawa. sumba, moa, belang, anoa dan kerbau liar. Masing-masing kerbau lokal tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan yang jika dipadukan dengan baik akan dapat membangun kerbau potong ataupun kerbau perah yang unggul Indonesia. Untuk kondisi Indonesia saat ini maka pembibitan dapat dibangun pada tingkat kelompok peternak dengan arahan dan pengawasan dari instansi terkait yang dilakukan secara bertahap. Jika dilakukan dengan benar maka pada akhirnya akan terbentuk kelompok peternak penangkar bibit yang kemudian berkembang menjadi kawasan pembibitan kerbau dengan produk bibit yang diproduksi terdiri dari tiga kelas berdasarkan mutu genetik yang dimilikinya. Kata Kunci: Kerbau, SDGKr (Sumber Daya Genetik Kerbau), Breeding, Kelompok Peternak
PENDAHULUAN Berdasarkan tempat hidupnya maka kerbau di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau lumpur (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Namun pengelompokan ini menjadi rancu dengan ditemukannya kerbau lumpur yang berdiam di sungai, rawa dan danau/telaga. Maka sebaiknya pengelompokan disamakan seperti sapi berdasarkan tipe produksinya yaitu kerbau
potong (beef buffalo) dan kerbau perah (dairy buffalo). Beef buffalo didominasi oleh kerbau lumpur (swamp buffalo) dan kerbau perah terdiri dari banyak bangsa antara lain yang terkenal adalah Nili Ravi dan Kundi di Pakistan (PASHA, 2011), murrah dan jaffarabadi (India), mediterranian breeds (Italia) (BHORGHESE, 2008) dan persilangan antara 3 bangsa yaitu kerbau potong lokal x Murrah x Nili Ravi di Filipina (CRUZ, 2009).
31
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
Perbedaan jumlah kromosom kerbau potong sebesar 48 buah dan kerbau perah sejumlah 50 buah. Persilangan antara kedua bangsa ini baik melalui crossbreeding maupun backcrossing menghasilkan jumlah kromosom yang bervariasi antara 48 – 50 buah. Pertumbuhan kerbau persilangan maupun hasil backcrossing antara kerbau potong dan kerbau perah mempunyai pertumbuhan dan produksi susu yang lebih baik dari kerbau potong dengan variasi kesuburan dari sedikit menurun sampai normal (HARISAH et al.,1991; BARKER et al., 1989; DAI et al., 1994; HUANG, 2006). Di Indonesia hampir 100% kerbau yang berjumlah 1.3 juta ekor adalah kerbau potong (Bubalus bubalis). Kerbau perah dan persilangannya hanya terdapat dalam jumlah yang sangat terbatas di Sumatera Utara (Sumut). Dari sekitar 12 galur kerbau potong, kerbau perah dan kerbau liar yang ada di Indonesia (lihat Gambar 1), baru 2 galur yang ditetapkan sebagai plasma nutfah Indonesia yaitu kerbau sumbawa dan moa (TALIB, 2010; DITJEN PKH, 2011). Seharusnya dari kerbau-kerbau yang ada ini dapat dimanfaatkan untuk membangun kerbau
32
potong unggul nasional dengan memanfaatkan keunggulan-keunggulan komparatif dari masing-masing galur dan disatukan secara kumulatif dalam membentuk bangsa baru kerbau potong nasional. Hal tersebut baru dapat diwujudkan jika perbibitan dapat dilakukan secara baik dan berkelanjutan. Peran BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul Kerbau dan Babi) dapat dimanfaatkan secara optimal untuk tujuan tersebut melalui kerjasama dengan Puslitbangnak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan) maupun perguruan tinggi lainnya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perbibitan pada tingkat peternak rakyat yang menguasai hampir 100% kerbau di Indonesia perlu diberdayakan. Pemberdayaan ini dapat dimulai dengan sosialisasi perbibitan kerbau, perbaikan organisasi peternak kecil untuk penerapan program perbibitan, respon partisipatif dari peternak dan mempersiapkan regulasi untuk penetapan harga yang layak bagi kerbau kualitas bibit. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengembangkan perbibitan kerbau di Indonesia pada tataran kelompok peternak.
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
DISTRIBUSI DAN KEKAYAAN PLASMA NUTFAH KERBAU DI INDONESIA Sejak tahun 2007 populasi kerbau di dunia terjadi penurunan dalam jumlah, kecuali pada beberapa negara yang terjadi peningkatan yaitu Pakistan, Italy dan beberapa negara eropa lainnya. Indonesia termasuk yang terjadi penurunan jumlah populasinya jika dibandingkan antara laporan statistik ternak pada 2011 dengan hasil sensus yang direalis sementara bulan Juni Tahun 2011. Dari populasi sejumlah 1.305.013 ekor pulau Sumatera merupakan tempat terbanyak jumlah kerbau yaitu sebesar 39,3%; diikuti Jawa 27,8%; Nusa Tenggara 19,7%; Sulawesi 8,5%; Kalimantan 3,2% dan Maluku/Papua 1,5%. Detail jumlah kerbau di Indonesia berdasarkan provinsi dapat di lihat pada Tabel 1 (PSPK2011, 2011). Sumatera juga mencatat sebagai sumber empat galur/bangsa kerbau walaupun belum ditetapkan yaitu kerbau aceh, murrah, pampangan dan sumbar. Di Jawa yang tercatat adalah kerbau lebak dan kerbau liar yang terdapat di Taman Nasional Baluran, di Nusa Tenggara terdapat 2 galur yaitu kerbau sumbawa dan kerbau sumba, Maluku mencatat adanya kerbau moa sebagai kerbau yang tahan terhadap kekeringan. Sulawesi memiliki kerbau belang dan anoa (kerbau terkecil di dunia) serta Kalimantan yang memiliki kerbau kalang atau rawa yang tingkah lakunya seperti kerbau pampangan di Sumatera Selatan, hanya bedanya di Pampangan kerbau tersebut diperah susunya untuk diproses menjadi pangan olahan. Untuk Indonesia, Sumatera adalah yang paling kaya dengan produk pangan olahan asal kerbau, baik dari daging maupun susu kerbau dan umum dikonsumsi masyarakat pada acaraacara tertentu dan ada juga sebagai kecil yang dijadikan pangan harian. Pangan spesifik asal kerbau ini juga terdapat di Nusa Tenggara dan Sulawesi dengan jenis pangan olahan yang lebih sedikit. Sumatera Barat, Aceh, Sumba (NTT) dan Tana Toraja (Sulsel) tercatat sebagai tempat-tempat bibit kerbau yang baik dan masyarakat sudah memanfaatkannya untuk keperluan ritual sejak jaman dahulu dan sekarang ditambah dengan atraksi wisata khas kerbau. Kegiatan-kegiatan tersebut ternyata secara langsung maupun tidak langsung telah
mempertahankan keberadaan kerbau dari berbagai tantangan di sekitarnya dan sekaligus juga memunculkan keunggulan spesifikmelalui Tabel 1. Populasi kerbau berdasarkan sensus di Indonesia tahun 2011 (ekor) Propinsi
Total
Nusa Tenggara Timur
150.015
Aceh
131.494
Jawa Barat
130.089
Banten
123.143
Sumatera Utara
114.289
Nusa Tenggara Barat
105.391
Sumatera Barat
100.310
Sulawesi Selatan
96.505
Jawa Tengah
75.674
Jambi
46.535
Riau
37.716
Lampung
33.124
Jawa Timur
32.697
Sumatera Selatan
29.143
Kalimantan Selatan
23.843
Bengkulu
19.969
Maluku
17.568
Sulawesi Barat
8.112
Kalimantan Timur
8.034
Kalimantan Tengah
6.491
Sulawesi Tengah
3.271
Kalimantan Barat
3.173
Sulawesi Tenggara
2.492
Bali
2.181
Papua
1.239
DI Yogyakarta
1.210
Maluku Utara
863
Kepulauan Bangka Belitung
222
DKI Jakarta
192
Kepulauan Riau
14
Gorontalo
13
Papua Barat Sulawesi Utara Indonesia
1 0 1.305.013
Sumber: PS8K2011 (2011)
33
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
peningkatan daya adaptasi pada lingkungan setempat. Keunggulan-keunggulan inilah yang kemudian perlu dimanfaatkan sesuai dengan tujuan perbibitan kerbau apakah mau diarahlan untuk membentuk tipe potong atau tipe perah ataukah tipe dwiguna yaitu sebagai ternak potong dan perah sekaligus. Tetapi jika belajar dari perkembangan pada ternak sapi yang dahulunya populer dengan tipe dwiguna, tetapi ternyata pada akhirnya menjurus ke satu tipe saja yaitu ternak potong atau perah, maka sebaiknya perbibitan kerbau juga diarahkan untuk menghasilkan tipe tunggal saja sebagai ternak potong atau ternak perah. PERBIBITAN KERBAU Tujuan Dalam membangun perbibitan, pasti membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, maka tujuan perbibitan adalah hal utama yang harus ditetapkan sejak awal. Tujuan utama perbibitan pada kerbau yang relatif lebih mudah adalah menghasilkan kerbau dengan pertumbuhan yang cepat atau membentuk kerbau potong dengan daya adaptasi yang baik. Pembentukan kerbau potong Kerbau potong yang dibentuk dapat dibangun melalui pemanfaatan plasma nutfah/sumber daya genetik (SDG) kerbau lokal yang banyak tersedia seperti pada Gambar 1 di atas. Pada tahap awal, kerbau potong yang dibentuk berbasis pada sumber daya kerbau setempat atau berbasis kawasan. Misalnya pada kawasan kerbau Moa di Maluku, maka darah kerbau Moa minimal 60% dari kerbau potong yang akan dibangun di Pulau Moa dan kawasan sekitarnya. Demikian juga untuk kerbau potong pada kawasan rawa/kalang di Kalimantan, pampangan di Sumatera Selatan, sumba di Pulau Sumba NTT, Sumbawa di Pulau Sumbawa NTB, belang di Toraja Sulawesi Selatan dan lainlainnya. Darah kerbau setempat minimal 60% dalam kerbau potong yang akan dikembangkan berbasis kawasan tersebut. Untuk mengatasi tingginya inbreeding maka dapat diterapkan outbreeding yaitu
34
mengawinkan kerbau yang tidak berasal dari kelompok ternak yang sama. Untuk mencapai hal tersebut maka pemilihan pejantan minimal 10 pejantan terbaik dari setiap kelompok ternak, (satu kelompok memiliki paling sedikit 500 ekor kerbau betina produktif), perlu dijalankan secara baik. Pergiliran pejantan antara kelompok dapat diterapkan dengan kesepakatan antar peternak. Sebaiknya pergiliran diatur melalui perpindahan penggunaan pejantan setiap 2 tahun, maka dalam 5 kelompok yang bekerja sama maka dapat dipilih pejantan terbaik setiap 10 tahun sekali atau 2 generasi kerbau. Jika sistem ini dapat diterapkan secara konsisten maka tingkat inbreeding akan dapat dikontrol pada level yang tetap rendah. Diharapkan jika sistem tersebut dapat diterapkan secara berkesinambungan, maka dalam 5 – 7 generasi kedepan sudah akan terbentuk kerbau unggul yang spesifik lokasi. Keunggulan-keunggulan tersebut nantinya dapat dimanfaatkan untuk membentuk kerbau yang lebih unggul lagi yang dapat beradaptasi dengan baik pada hampir seluruh kondisi lingkungan di Indonesia. Pembentukan kerbau perah Walaupun pembentukan kerbau potong akan berjalan dengan baik, namun perlu diakui bahwa pada kawasan-kawasan tertentu yang fanatik pada produk pangan asal susu kerbau, maka dapat diterapkan program persilangan (crossbreeding) yang diikuti oleh backcrossing untuk mengarahkan kerbau lokal menjadi kerbau perah dengan kandungan darah kerbau lokal minimal 25% dan maksimal 40%. Dari hasil yang telah diterapkan di Filipina dan Australia, maka kelihatan bahwa walaupun jumlah kromosom pada kerbau persilangan antara kerbau perah x kerbau potong menghasilkan jumlah kromosom yang berbedabeda tetapi semuanya menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dari kerbau potong (CRUZ, 2009; LEMCKE, 2010) pada lingkungan pemeliharaan yang hampir maksimal dalam stasiun percobaan dan stasiun pembibitan kerbau. Dalam pemeliharaan pada kondisi peternak kecil di Filipina, walaupun sudah dijalankan tetapi laporan ilmiah mengenai perkembangan performan kerbau-
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
kerbau persilangan dipublikasikan.
tersebut
belum
EVALUASI EXISTING PEMBIBITAN
siap potong. Data populasi kerbau Tahun 2010 dibandingkan dengan hasil sensus pada bulan Juni 2011 ternyata terjadi penurunan populasi kerbau sejumlah hampir satu juta ekor (DITJENNAK, 2011; PSPK2011, 2011).
Kelemahan Keunggulan Pembibitan ternak kerbau yang mengikuti prinsip pemuliaan belum dilakukan di Indonesia, kecuali yang dilakukan di BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Kerbau dan Babi di Siborong-borong, Sumatera Utara yang dilakukan secara terbatas. Kesulitan untuk menerapkan pada tingkat peternak kecil atau kelompok peternak adalah karena keterbatasan dalam jumlah ternak yang dipelihara per peternak dan hasilnya tidak akan terlihat secara kasat mata dalam waktu singkat seperti halnya pada kegiatan penggemukan. Dampak dari tidak diterapkannya prinsip pemuliaan pada ternak kerbau menyebabkan ketersediaan bibit pejantan unggul sulit diperoleh, tidak adanya jaminan kualitas bibit kerbau yang baik, meningkatnya tingkat inbreeding pada kelompok ternak yang jumlahnya lebih kecil dari 50 ekor. Peningkatan inbreeding ini mengakibatkan penurunan pertumbuhan, body condition score dan daya reproduksi serta meningkatnya jumlah ternak albino dan pembawa genetic defects lainnya. Hal tersebut masih diperburuk lagi dengan menurunnya jumlah dan kualitas pakan yang disebabkan karena selama ini ternak kerbau sangat mengandalkan padang penggembalaan sebagai sumber pakan utama. Padahal padang penggembalaan yang diandalkan tersebut banyak yang beralih fungsi tataguna lahannya menjadi penggunaan di luar bidang peternakan. Tentu saja perubahan ini seharusnya direspon oleh peternak dengan merubah manajemen penyediaan/pemberian pakan pakan dengan sistem cut and carry. Teknik tersebut belum bisa diterapkan oleh peternak secara langsung karena butuh berbagai masukan dan sosialisasi dari para pihak terkait (baca: penyuluh) kepada para peternak. Tekanan kekurangan pakan dan peningkatan inbreeding serta perubahan manajemen yang seharusnya diterapkan tetapi tidak dilakukan mengakibatkan penurunan populasi kerbau dan penurunan kualitas kerbau
Walaupun banyak kelemahannya dari pengabaian prinsip pemuliaan dan penyediaan/pemberian pakan yang tepat, ternyata perkawinan yang dilakukan secara random tidak disengaja dalam kelompok ternak sendiri berdampak pada peningkatan daya adaptasi spesifik lokasi. Kerbau di Indonesia mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat luas mulai dari daerah pantai sampai pada kawasan perbukitan, mampu hidup dan berkembang biak pada kondisi yang sangat kering dan panas sampai ke hutan hujan tropis, mulai dari kawasan tanpa sumber air sampai pada kawasan rawa, sungai dan danau. Mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap parasit, sangat efisien dalam penggunaan pakan berserat kasar tinggi dengan kualitas rendah, dan menghasilkan daging dengan serat daging yang tinggi dan rendah kolesterol. Kandungan lemak susu dapat mencapai 12%. Kelemahan yang ada perlu diperbaiki tetapi keunggulan perlu dimanfaatkan untuk mengoptimalkan perbaikan genetik melalui pembentukan kerbau potong yang spesifik lokasi maupun nasional dan pengembangan kerbau perah pada kawasan spesifik yang sudah terbiasa mengkonsumsi prduk susu kerbau. PENERAPAN PEMBIBITAN PADA KELOMPOK PETERNAK Prinsip pemuliaan Dalam menerapkan prinsip-prinsip pemuliaan, maka selain keunggulan dan kelemahan ternak kerbau yang akan digunakan dipahami dengan baik, juga perlu memperhitungkan dengan cermat tingkat sosial, ekonomi, agroekosistem dan lingkungan. Penerapan pembibitan kerbau dapat dilaksanakan secara bertahap pada kelompok ternak yang dikelola oleh kelompok peternak.
35
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
Tahap kesatu, mengidentifikasi ternak yang dimiliki peternak, dan membuat silsilahnya serta dicatat oleh kelompok secara organisasi. Silsilah ini penting untuk diketahui guna menghindari terjadinya perkawinan dalam keluarga dekat. Jika dapat diidentifikasi dengan baik maka lakukanlah seleksi pejantan umur kawin yang terbaik dalam kelompok ternak yang dimiliki. Sebaliknya jika tidak dapat mengidentifikasi ternak secara individual dengan baik, maka disarankan untuk Tahap kesatu ini, pejantan yang akan digunakan dapat dibeli/diseleksi dari luar kelompok ternaknya dengan performan terbaik. Tahap kesatu ini bergerak dalam basic population (populasi dasar) (Gambar 2).
Gambar2. Gambar pembentukan bibit kerbau unggul
Tahap kedua, melakukan perkawinan dengan memanfaatkan pejantan terseleksi tersebut. Pedet-pedet yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dibuat identitasnya dan silsilahnya, terutama pedet-pedet terbaik, baik jantan maupun betina. Untuk ternak betina dipilih 95% dan diafkir 5%. Dari 95% tersebut dicatat 25% betina terbaik sebagai calon bibit unggul generasi berikut dan 70% lainnya untuk untuk peningkatan populasi sebagai ternak bibit komersial (Tahap ini masuk dalam commercial breeding herd Gambar 2). Sedangkan untuk ternak jantan dipilih 10 % terbaik untuk mengikuti uji performans bersama dengan 25% betina terbaik dari
36
commercial breeding herd untuk menghasilkan perbanyakan pejantan dan betina unggul untuk membentuk multiplication breeding herd Gambar 2). Tahap ketiga, untuk ternak bibit pada multiplication breeding herd akan diseleksi untuk membentuk elite herd. Ternak-ternak bibit tersebut wajib memiliki status reproduksi yang normal, bebas penyakit Brucelosis, serta vaksinasi IBR dan BVD, memiliki bobot umur 205 hari, 365 hari dan 540 hari di atas rata-rata kelompok. Pertambahan bobot badan harian antara umur 1 – 1,5 tahun juga di atas rata-rata kelompok. Dalam tahapan ketiga ini juga dilakukan perkawinan antara ternak-ternak bibit elite herd yang selanjutnya akan terus diseleksi berdasarkan seleksi inti terbuka (open nucleaus breeding scheme) untuk terus meningkatkan perbaikan genetik ternak. Dari Gambar 2, terlihat bahwa pada awal pembentukan ternak dalam segitiga pembentukan bibit, maka ternak terseleksi diperoleh dari basic population untuk membentuk commercial breeding herd yaitu hanya ternak yang teridentifikasi dan tercatat silsilahnya yang dapat diseleksi. Kemudian ternak pada commercial breeding herd diseleksi untuk perbanyakan pada multiplication breeding herd. Selanjutnya ternak-ternak terbaik pada multiplication breeding herd diseleksi guna membentuk ternak pada elite herd. Arah panah pada tahap awal pembentukan bergerak keatas kearah pembentukan elite herd. Tetapi setelah tahap kesatu, kedua dan ketiga terbentuk, maka perkembangan selanjutnya untuk perbaikan genetik pada kelompok ternak bibit selalu didasarkan pada performan terbaik ternak yang memiliki identitas dan tercatat silsilahnya. Arah panah dapat bergerak secara dinamis keatas dan kebawah pada setiap kelompok, baik pada basic population, commercial breeding herd, multiplication breeding herd maupun elite herd. Prinsip yang wajib dipegang teguh adalah setiap kelompok ternak yang berada kedudukannya pada tingkat yang lebih tinggi dalam segitiga perbibitan harus memiliki performan yang lebih baik dari kelompok ternak yang berada dibawahnya. Atau ternak yang berada pada kelompok jika memiliki performan yang lebih baik dari yang diatasnya dinaikkan statusnya keatas dan sebaliknya
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
ternak yang lebih jelek performannya pada kelompok di atas harus diturunkan statusnya untuk masuk kekelompok ternak di bawahnya. Jika prindip tersebut dipegang teguh dengan meminimalkan subyektifitas maka kemajuan genetik akan terus terbangun untuk membentuk ternak yang selalu lebih baik dalam generasi berikutnya. Prinsip tersebut dapat diterapkan baik dalam membentuk kerbau potong maupun kerbau perah untuk Indonesia pada kelompok peternak. Kelompok peternak pembibit Organisasi kelompok peternak minimal terdiri dari sejumlah anggota kelompok (dengan total ternak yang dapat mencapai jumlah minimal 100 ekor kerbau betina produktif), seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan seorang kepala seksi pembibitan. Tugas ketua, sekretaris dan bendahara seperti umumnya sebuah organisasi yaitu sebagai pimpinan sentral yang mengatur manajemen dan dinamika kelompok serta pembiayaan yang dibutuhkan dalam setiap kegiatan. Tugas kepala seksi pembibitan adalah membuat pencatatan tidak hanya hal-hal yang terkait dengan administrasi kepemilikan ternak tetapi juga meliputi minimal identitas ternak dan silsilah ternak secara individual, performan produksi dan reproduksi serta kasus-kasus penyakit, status kesehatan, kematian dan mutasi ternak yang semuanya dilakukan secara individual. Pencatatan selain yang dimiliki oleh peternak, kepala seksi pemuliaan harus memiliki catatan lengkap dalam buku besar yang dinamakan buku registrasi ternak secara individual. Jika organisasi kelompok ini sudah dapat berjalan maka kelompok peternak kerbau ini dapat berkembang dari sekesadar kelompok budidaya, kemudian meningkat menjadi kelompok penangkar bibit kerbau, dan meningkat lagi menjadi kelompok peternak pembibit yang bersertifikat. Selanjutnya kelompok dapat berkembang untuk membangun kawasan pembibit pedesaan yang dapat disebut sebagai village breeding center yang selanjutnya dengan bimbingan dari instansi pemerintah atau pihak lain yang profesional dalam pembibitan kerbau dapat
terus berkembang untuk menjadi pusat-pusat bibit kerbau nasional. KESIMPULAN Indonesia mempunyai 1,3 juta ekor kerbau yang potensial digunakan bagi pembentukan kerbau unggul baik kerbau potong maupun kerbau perah, setelah terlebih dahulu menetapkan tujuan akhir breeding yang akan dilakukan. Kerbau potong unggul dapat dibentuk terlebih dahulu karena Indonesia mempunyai program swasembada daging kerbau dan sapi pada Tahun 2014. Pembentukan kerbau potong nasional dapat dibentuk secara bertahap melalui pengembangan kawasan perbibitan kerbau. Basis dalam pengembangan kawasan perbibitan adalah kelompok peternak, sehingga pengembangan kelompok peternak menjadi kelompok peternak penangkar bibit kerbau menjadi prioritas utama. Pengembangan kelompok pembibit atau penangkar bibit kerbau hanya dapat dilakukan secara bertahap dengan target akhir adalah terbentuknya kerbau potong unggul nasional. DAFTAR PUSTAKA BARKER, J. S. F., T.K. MUKHERJEE, M. HILMI, S.G. TAN and O.S. SELVARAJ. 1991. Genetic identification of strains and genotypes of swamp buffalo and of goats in Southeast Asia: rationale for their study. Buffalo and goats in Asia: genetic diversity and its application. Proc. of a seminar, Kuala Lumpur, Malaysia, 10 – 14 February, 1991. BORGHESE. 2008. The main factors influencing buffalo development. Paper dipresentasikan dalam Semiloka Kerbau di Tana Toraja. (Unpublished). Cruz, L.C. 2009. Transforming Swamp buffaloes to producers of milk and meat through crossbreeding and backcrossing. Wartazoa 19(3): 103 – 116. DAI, K., C.B. GILLIES, A.E. DOLLIN and M. HILMI. 1994. Synaptonemal complex analysis of hybrid and prubred water buffaloes (Bubalus bubalis). Hereditas 121: 171 – 184.
37
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
DITJEN PKH. 2011. Penetapan Rumpun/Galur Ternak Indonesia Tahun 2010 – 2011. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta.
HUANG, Y. 2006. The Chromosome Polymorphism in Crosses from Riverine x Swamp Buffalo. Proc. 5th Asian Buffalo Congress, Nanning, China. pp. 70 – 75.
DITJEN PKH. 2011. Statistik Peternakan Tahun 2010. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta.
PASHA, T.N. 2011. Contribution on buffalo in milk and meat production in Pakistan. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau, Lebak, 2 – 4 Nov. 2010. Disnak Prov. Banten, Disnak Kabupaten Lebak, Dirbit–Ditjennak dan Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 246 – 251.
HARISAH, M., T.I. AZMI, M. HILMI, M.K. VIDYADARAN, T.A. BONGSO and Z.M. NAVA. 1989. Identification of crossbred buffalo genotypes and their chromosome segregation patterns. Genome 32(6): 999 – 1002.
38
PSPK2011. 2011. Hasil rilis sensus peternakan di Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.