SISTEM PEMBIBITAN SAPI POTONG DENGAN KANDANG KELOMPOK “MODEL LITBANGTAN”
SISTEM PEMBIBITAN SAPI POTONG DENGAN KANDANG KELOMPOK “MODEL LITBANGTAN”
Penyusun: Ainur Rasyid Jauhari Efendi Mariyono
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2012
Cetakan 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang IAARD Press, 2012 Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari IAARD Press.
Hak cipta pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012 Katalog dalam terbitan BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok “Model Litbangtan”/Penyusun, Ainur Rasyid, Jauhari Efendi, dan Mariyono.-- Jakarta: IAARD Press, 2012 x, 51 hlm.: ill.; 21 cm 636.39 1. Pembibitan Sapi Potong 2. Kandang Kelompok I. Judul II. Rasyid, Ainur ISBN 978-602-8475-65-5
Tata letak: Eko Kelonowati Linda Yunia Rancangan sampul: Ahmadi Riyanto
IAARD Press Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jalan Ragunan No. 29, Pasarminggu, Jakarta 12540 Telp: +62 21 7806202, Faks.: +62 21 7800644 Alamat Redaksi: Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122 Telp.: +62 251 8321746, Faks.: +62 251 8326561 e-mail:
[email protected]
KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala hidayah dan inayah-Nya sehingga dapat diselesaikan buku Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok ”Model
Litbangtan”,
untuk
mendukung
kegiatan
Program
Swasembada Daging sapi dan Kerbau (PSDSK) tahun 2014. Tujuan pembuatan buku ini, adalah: (1) memberikan informasi kepada petani, tentang usaha perbibitan sapi potong lokal rakyat; (2) menambah keterampilan petugas dan tingkat pengetahuan peternak tentang teknik usaha perbibitan; (3) memperpendek jarak beranak (calving interval) melalui sistem perkandangan “Model Litbangtan”; dan (4) cara pembuatan dan kebutuhan pakan, perbibitan dan perkandangan pada sapi potong. Apresiasi di sampaikan kepada peneliti Loka Penelitian Sapi Potong yang telah menyusun dan menyiapkan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pengguna yang membutuhkannya sebagai bahan informasi dan pedoman dalam usaha perbibitan sapi potong lokal.
Jakarta, Desember 2012 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dr. Ir. Haryono, MSc.
v
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ……………………………………….
v
DAFTAR ISI ....................................................................
vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………
ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………...
x
1. PENDAHULUAN ………………………………….........
1
2. PEMBIBITAN SAPI POTONG ………………………...
4
2.1. Pemilihan bibit sapi
4
2.1.1.
Bangsa sapi ……………………………..
4
2.1.2.
Seleksi calon tetua …………………......
5
2.1.3.
Sapi induk .............................................
6
2.1.4. Calon pejantan ……………………….....
7
2.1.5. Calon induk ……………………………...
7
2.2. Sistem perkandangan ………………………......
8
2.2.1. Persyaratan umum ...............................
8
2.2.2. Beberapa bagian dan bahan kandang
10
2.3. Kandang pembibitan “Model Litbangtan” .........
15
2.3.1. Kandang kelompok kawin .....................
15
2.3.2. Kandang kelompok bunting ..................
19
2.3.3. Kandang beranak .................................
20
2.3.4. Kandang kelompok pembesaran ..........
20
2.4. Bank pakan ......................................................
21
2.4.1. Pengelolaan Reproduksi ......................
22 vii
2.4.2. Manajemen pemberian pakan ..............
24
3. PENGELOLAAN LIMBAH (KOTORAN) SAPI MENJADI KOMPOS DAN BIOGAS
31
………………….. 3.1. Pembuatan kompos ……………………….........
31
3.2. Pemanfaatan kotoran sapi sebagai biogas
36
4. SKOR KONDISI TUBUH PADA SAPI POTONG ......
43
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………
50
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Tinggi badan minimal beberapa bangsa sapi potong
2.
Kandungan N, P dan K dalam kotoran sapi potong
3.
Analisis usaha penggemukan sapi potong silangan
6 32
basis konsentrat kuantitas rendah lama penggemukan 180 hari
42
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Sapi pejantan PO …………………………………………........
7
2. Sapi induk PO …………………………………………….........
8
3. Kemiringan lantai kandang ……………………………..........
12
4. Macam-macam model atap kandang …………………….....
13
5. Kandang kelompok beratap seluruhnya ………………….....
17
6. Kandang kelompok kawin beratap sebagian yang
x
dilengkapi bank pakan …………………………………….......
18
7. Skema model kandang kelompok pebibitan sapi potong ....
19
8. Kandang beranak beserta tempat pelumbarannya ………...
19
9. Kandang kelompok pembesaran ………………………….....
21
10. Bank pakan …………………………………………………......
22
11. Kandang sapi sistem kelompok sebagai sumber kompos
33
12. Proses pembuatan kompos Hi-Grade …………………….....
35
13. Reaktor biogas di Loka Penelitian Sapi Potong …………....
39
14. Pengisian limbah (kotoran) sapi kedalam reaktor biogas ....
41
15. Skor Kondisi Tubuh 1 ..........................................................
45
16. Skor Kondisi Tubuh 2 ..........................................................
46
17. Skor Kondisi Tubuh 3 ..........................................................
47
18. Skor Kondisi Tubuh 4 ..........................................................
48
19. Skor Kondisi Tubuh 5 ..........................................................
49
Pendahuluan
1. PENDAHULUAN Pemasok utama bibit sapi potong bakalan dalam negeri sebagian besar merupakan usaha peternakan rakyat dengan skala pemeliharaan rendah (1 – 4 ekor), sehingga belum mampu memberikan peningkatan pendapatan yang signifikan kepada petani peternak. Usaha peternakan sapi potong rakyat secara umum masih bersifat sampingan dengan menerapkan teknologi secara ekstensif (tradisional) dan dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Beberapa masalah krusial dalam peningkatan produksi dan populasi sapi potong nasional adalah : (i) terlambatnya beranak pertama; (ii) jarak beranak yang panjang; dan (iii) tingkat kematian pedet yang cukup tinggi. Data performans reproduksi sapi potong rakyat yang dilaporkan Affandhy et al. (2006) meningkatkan terjadinya kawin berulang (service per conception > 2), rendahnya angka kebuntingan (conception rate < 60%) dan, jarak beranak yang cukup panjang (calving interval > 18 bulan). Untuk meningkatkan efisiensi biaya pemeliharaan dan kinerja reproduksi usaha pembibitan sapi potong (cow-calf operation), dapat dilakukan beberapa upaya diantaranya: (i) penerapan teknologi peningkatan efisiensi reproduksi sapi induk; dan (ii) pengembangan ternak pola integrasi dengan komoditas pertanian. Beberapa permasalahan utama dalam pembibitan sapi potong di peternakan rakyat, adalah: Biaya pakan untuk menghasilkan seekor pedet masih relatif mahal. Didasarkan asumsi perhitungan rata-rata jarak beranak 1
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
sekitar 500 hari (± 17 bulan) dan biaya pakan seekor induk sekitar Rp. 4.000/hari, maka biaya untuk menghasilkan pedet sedikitnya Rp. 2 juta (Diwyanto, 2002). (1) Skala
usaha
pemeliharaan
masih
rendah,
karena
menyesuaikan kemampuan modal dan tenaga kerja terutama dalam mencari rumput, aloksi waktu pengelolaan per ekor ternak menjadi tidak efisien. (2) Terbatasnya kegiatan harian peternak untuk mengelola ternak seperti mencari rumput, membersihkan kandang dan memandikan, karena kegiatan di luar rumah yang lebih besar. (3) Pengetahuan peternak yang belum cukup untuk dapat mendeteksi birahi dan menentukan jadwal perkawinan induk secara tepat. Guna meningkatkan efisiensi pola pemeliharaan sapi potong rakyat mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau
(PSDSK)
2014,
diperlukan
peningkatan
skala
pemeliharaan dan produktvitas sapi potong rakyat. Inovasi teknologi pembibitan sapi potong ”Model Litbangtan”, diharapkan dapat mendukung program tersebut. Pembibitan sapi potong ”Model Litbangtan” adalah sistem pemeliharaan sapi potong secara dilepas di kandang kelompok untuk meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja dan pengelolaan reproduksi sapi. Penggunaan tenaga kerja pada pembibitan sapi potong ”Model Litbangtan” utama untuk menyiapkan pakan hijauan dan 2
Pendahuluan
pakan
penguat
atau
konsentrat.
Karakteristik
dari
sistem
pembibitan ini adalah adanya bank pakan sumber serat (seperti jerami padi) sehingga peternak dapat menyediakan pakan secara ad-libitum (tersedia sepanjang waktu), keunggulan lain dari pembibitan ”Model Litbangtan” adalah jarak beranak (calving interval) kurang dari 14 bulan, karena di dalam kandang kelompok dimasukkan
seekor
pejantan
terpilih
(unggul)
yang
siap
mengawini sejumlah sapi induk/calon induk supaya terjadi kebuntingan. Melalui sistem perkandangan kelompok ”Model Litbangtan” dengan pengelolaan ternak menjadi lebih efisien, karena skala pemeliharaan yang lebih besar dan waktu yang di perlukan lebih singkat, jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit, sehingga cocok diterapkan dan peternak, dan dapat mendorong peternak untuk meningkatkan skala usaha pemeliharaan atau mengembangkan usaha ternaknya. Pengembangan pembibitan sapi potong “Model Litbangtan” dapat diterapkan pada daerah dataran rendah sampai tinggi serta pada wilayah beriklim kering sampai basah, sehingga cocok untuk semua agroekosistem di Indonesia.
3
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
2. PEMBIBITAN SAPI POTONG 2.1.
Pemilihan bibit sapi
Sapi bibit yang akan digunakan sebagai tetua (indukan dan pejantan) pada pembibitan sapi potong, harus mempunyai penampilan luar (performans eksterior), kemampuan produksi dan reproduksi di atas rata-rata sapi yang ada di lingkungan/ populasinya. Dalam
pembibitan
sapi
potong,
ternak
yang
akan
dikembangbiakkan (jantan maupun betina) disebut sapi bibit atau bibit sumber (foundation stock). Guna memperoleh sapi bibit yang baik, harus dilakukan seleksi terhadap sumber bibit sapi tersebut. Seleksi bibit adalah proses pemilihan bibit secara sistematis dan terencana terhadap ternak-ternak di suatu populasi untuk dijadikan tetua pada generasi berikutnya. Seleksi dilakukan terhadap sifat atau karakteristik yang dikehendaki dan membuang sapi dengan sifat yang tidak dikehendaki. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan sapi bibit yang akan digunakan sebagai induk dan pejantan dalam pembibitan, adalah sebagai berikut: 2.1.1
Bangsa sapi
Pemilihan atau penentuan bangsa sapi bergantung pada selera peternak dan tujuan pemeliharaan. Bangsa sapi yang dipilih untuk dikembangbiakkan adalah bangsa sapi yang memiliki 4
Pembibitan Sapi Potong
keunggulan, dan dapat dikembangkan di wilayah setempat, yaitu yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan setempat termasuk pakan yang tersedia. Beberapa jenis sapi asli/lokal lainnya seperti: sapi Brahman, PO, Aceh, dan Madura
telah
terbukti
memiliki
potensi
yang
baik
untuk
dikembangkan sebagai sumber-sumber perbibitan. Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa keunggulan yang dimiliki sapi-sapi asli/lokal Indonesia adalah: a. Mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan setempat terutama iklim dan pakan; b. Kinerja reproduksinya baik; c. Efisien dalam penggunaan pakan berkualitas rendah; d. Lemak daging lebih rendah. 2.1.2. Seleksi calon tetua sapi bibit yang baik, secara umum mempunyai penampilan eksterior (bagian luar) sebagai berikut: a. Sehat, ditunjukkan dengan mata bersinar, gerakan lincah tetapi tidak liar, nafsu makan tinggi, dan bebas dari penyakit menular; b. sesuai antara warna tubuh dengan bangsanya; c. memenuhi kriteria serasi antara bentuk dan ukuran tubuh; d. Ukuran minimal tinggi badan (mengacu pada standar bibit populasi setempat, regional atau nasional); e. Tidak ada kelainan/cacat tubuh yang bersifat menurun.
5
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Tabel 1. Tinggi badan minimal beberapa bangsa sapi potong Tinggi badan minimal (cm) Rumpun Sapi Bali
Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Madura
Klasifikasi
Betina (18 – 24 bulan)
Jantan (24 – 36 bulan)
I
105
119
II
97
111
III
94
108
I
116
127
II
113
125
III
111
124
I
108
121
II
105
110
III
102
105
Sumber: SK Mentan No. 54/Permentan/OT/140/10/2006; Deptan (2006)
2.1.3. Sapi induk Induk atau calon induk yang akan digunakan dalam pembibitan, harus dipilih yang mempunyai performans reproduksi baik, dengan ciri sebagai berikut: a. Dapat beranak secara teratur setiap tahun (< 14 bulan). b. Kondisi tubuh cukup/sedang, yaitu tidak terlalu gemuk atau kurus (SKT < 7); c. Mempunyai aktivitas reproduksi yang baik (misalnya estrus secara tertatur); d. Mempunyai kemampuan mengasuh anak (mothering ability) yang baik.
6
Pembibitan Sapi Potong
2.1.4 Calon pejantan a. Mempunyai bobot sapih (205 hari), bobot badan umur 12 bulan dan 24 bulan di atas rata-rata kelompok; b. Mempunyai pertambahan bobot badan harian umur 1 – 1,5 tahun di atas rata-rata; c. Mempunyai libido dan kualias sperma yang baik; d. Testis simetris, menggantung dan mempunyai ukuran lingkar skrotum tertentu (untuk sapi PO lebih dari 32 cm). 2.1.5 Calon induk a. Mempunyai bobot sapih (205 hari), bobot pada umur 12 bulan dan 18 bulan diatas rata-rata; b. Umur diatas 12 bulan; c. Estrus pertama umur 14 bulan, sehingga kawin pertama pada umur 18 bulan pada bobot badan sekitar 225 – 230 kg.
Gambar 1. Sapi pejantan PO
7
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Gambar 2. Sapi induk PO
2.2. Sistem perkandangan 2.2.1. Persyaratan umum Secara umum kandang berfungsi sebagai tempat untuk melindungi ternak dari perubahan cuaca atau iklim yang ekstrim (panas, hujan, dan angin); menjaga keamanan ternak dari tindakan pencurian, dan melindungi ternak dari penyakit. Namun fungsi kandang pada sistem pembibitan ”Model Litbangtan” mempunyai nilai lebih, yaitu: (i) memudahkan pengelolaan ternak dalam proses produksi seperti pemberian pakan, minum, pengelolaaan kompos dan perkawinan dan (ii) meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Beberapa persyaratan yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kandang sapi potong, secara teknis antara lain mudah dilakukan, ekonomis, tidak berdampak negatif terhadap kesehatan ternak dan lingkungan sekitarnya serta dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan. 8
Pembibitan Sapi Potong
Pemilihan lokasi a. Tersedianya sumber air, terutama untuk minum; b. Dekat dengan sumber pakan; c. Tersedia sarana transportasi yang memadai, hal ini terutama untuk pengangkutan bahan pakan dan pemasaran; d. Areal yang tersedia dapat diperluas. Letak bangunan a. Mempunyai permukaan yang lebih tinggi dari pada kondisi di sekelilingnya, sehingga terhindar dari genangan air dan mempermudah pembuangan kotoran; b. Tidak berdekatan dengan bangunan umum atau perumahan penduduk; c. Tidak mengganggu kesehatan lingkungan; d. Agak jauh dengan jalan umum; e. Air limbah tersalur dengan baik. Konstruksi Konstruksi
kandang
harus
kuat,
mudah
dibersihkan,
mempunyai sirkulasi udara yang baik, tidak lembap, mempunyai tempat
penampungan
kotoran
serta
saluran
drainasenya
baik/lancar. bangunan kandang harus mampu menahan beban benturan dan dorongan yang kuat dari ternak serta dapat menjaga keamanan ternak dari tindakan pencurian. Penataan kandang perlengkapan hendaknya dapat memberikan kenyamanan pada 9
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
ternak serta memudahkan pekerjaan petugas (peternak) dalam memberi
pakan
dan
minum,
pembuangan
kotoran,
dan
penanganan kesehatan ternak. Dalam
mendesain
konstruksi
kandang
hendaknya
memperhatikan tiga aspek, yaitu: (i) agroekosistem wilayah setempat; (ii) tujuan pemeliharaan; dan (iii) status fisiologis ternak. Model kandang sapi potong di dataran tinggi, diupayakan lebih tertutup untuk melindungi ternak dari cuaca yang dingin, sedangkan di dataran rendah, bentuk kandang lebih terbuka agar sirkulasi udara lebih lancar sehingga kondisi di dalam kandang tidak panas. Pemilihan bahan dan bagian-bagian kandang Pemilihan bahan kandang hendaknya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan tujuan usaha (jangka panjang, menengah atau pendek). Pemilihan bahan kandang dipersyaratkan minimal memiliki daya tahan 5 – 10 tahun dan disarankan lebih mengutamakan pemanfaatan bahan-bahan lokal yang tersedia. 2.2.2. Beberapa bagian dan bahan kandang Lantai kandang Lantai kandang harus kuat, tahan lama, tidak licin dan tidak terlalu kasar, mudah dibersihkan, dan mampu menopang beban yang ada di atasnya. Lantai kandang dapat berupa beton atau plesteran berbahan pasir, semen (PC) dan batu. Kondisi alas 10
Pembibitan Sapi Potong
lantai, dibedakan antara lantai kandang sistem litter dan nonlitter. Lantai kandang sistem litter merupakan lantai kandang yang alasnya diberi lapisan serbuk gergaji atau sekam yang berfungsi menjaga lantai tidak basah atau becek. Pemberian bahan alas dilakukan sebelum ternak dimasukkan ke dalam kandang. Kandang
kelompok
yang
beratap
seluruhnya
sebaiknya
menggunakan sistem alas litter dan dibuat datar, sedangkan kandang kelompok yang beratap sebagian, menggunakan alas non-litter. Namun untuk menjaga drainase terutama pada musim penghujan, lantai kandang sebaiknya dibuat berpori (model paving) dan miring ke belakang untuk memudahkan pembuangan kotoran dan menjaga kondisi lantai tetap kering. Kemiringan lantai berkisar antara 2 – 3%, artinya setiap panjang lantai 1 meter maka ketinggian lantai bagian belakang menurun 1,5 – 3 cm (Gambar 3). Alas lantai kandang sistem non-litter merupakan lantai kandang tanpa mendapat tambahan apapun, banyak digunakan untuk ternak yang dipelihara pada kandang tunggal atau individu. Kandang
sistem
non-litter
beserta ternaknya
lebih
bersih
dibanding sistem litter, karena secara rutin dilakukan kegiatan memandikan sapi dan pembuangan kotoran (feses).
11
1,5 – 3 cm
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Dalam 5 – 10 cm Lebar selokan: 30 – 40 cm 100 cm Gambar 3. Kemiringan lantai kandang
Kerangka dan atap Kerangka kandang dapat terbuat dari bahan besi, beton, kayu dan bambu disesuaikan dengan bahan yang tersedia di lokasi peternakan dan pertimbangan ekonomi tanpa mengabaikan daya tahan bahan-bahan tersebut. Atap kandang dapat menggunakan bahan seperti genteng, asbes, dan seng. Bentuk dan model atap kandang hendaknya didesain untuk menghasilkan sirkulasi udara yang baik di dalam kandang, sehingga kondisi lingkungan di dalam kandang memberikan kenyamanan bagi ternak. Model atap kandang (Gambar 4) perlu disesuaikan dengan pemeliharaan dan kondisi agroekosistem setempat, yaitu untuk daerah dataran tinggi hendaknya menggunakan shade atau gable, sedangkan untuk dataran rendah adalah monitor atau semimonitor. Kandang kelompok beratap keseluruhan hendaknya menggunakan atap yang mempunyai bentuk dua bidang (monitor, semimonitor atau gable), sedangkan untuk kandang kelompok beratap sebagian hendaknya menggunakan atap satu bidang (shade). Model atap monitor dan semimonitor lebih tinggi daripada model atap gable.
12
Pembibitan Sapi Potong
Atap kandang terbuat dari bahan genteng, seng, rumbia, asbes dan lain-lain disesuaikan dengan agroekosistem setempat. Untuk daerah panas (dataran rendah) sebaiknya menggunakan bahan genteng, rumbia, dan asbes, sedangkan untuk daerah dingin bisa menggunakan bahan seng. Namun perlu diperhatikan bahwa atap seng akan menimbulkan suara berisik ketika hujan sehingga penggunaanya perlu di pertimbangkan. Kemiringan atap untuk bahan
genteng
adalah
30
–
45%,
asbes
atau
seng
15 – 20%, dan rumbia atau alang-alang 25 – 30%. ketinggian atap untuk dataran rendah barisan antara 3,5 – 4,5 m dan dataran tinggi 2,5 – 3,5 m.
Model atap monitor
Model atap shade
Model atap semimonitor
Model atap gable
Gambar 4. Macam-macam model atap kandang
13
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Dinding dan sekat kandang Dinding dan sekat kandang dapat dibuat dari tembok, kayu, bambu, pipa besi atau bahan lainnya dan dibangun lebih tinggi dari dada sapi waktu berdiri. Untuk daerah dataran rendah, yang suhu udaranya lebih panas dan tidak ada angin kencang, bentuk dinding kandang terbuka, atau cukup menggunakan kayu, bambu atau pipa besi yang berfungsi sebagai pagar kandang agar sapi tidak mudah keluar. Dinding atau sekat kandang dari kayu, bambu atau pipa besi hendaknya mempunyai jarak antar sekat 40 – 50 cm. Untuk daerah dataran tinggi yang temperatur udaranya relatif dingin atau daerah pinggir pantai yang anginnya cukup kencang, disarankan agar dinding kandang lebih tertutup. Sarana dan perlengkapan kandang Beberapa
perlengkapan
kandang
sapi
potong
meliputi
palungan (tempat pakan dan tempat minum), saluran drainase, tempat penampungan kotoran, serta gudang pakan dan peralatan kandang. Sarana dan perlengkapan kandang lain adalah tempat penampungan air yang terletak di atas (tangki air) yang dihubungkan dengan pipa ke seluruh kandang. Palungan merupakan tempat pakan dan tempat minum yang berada di depan ternak. Tempat pakan dapat terbuat dari kayu atau tembok dengan ukuran mengikuti lebar kandang, sedangkan tempat minum sebaiknya terbuat dari tembok atau semen cor.
14
Pembibitan Sapi Potong
Ukuran palungan untuk kandang individu yang mempunyai lebar 150 cm adalah panjang tempat pakan 100 cm dan tempat minum berkisar 50 cm, lebar palungan 50 cm, tinggi bagian luar 60 cm dan bagian dalam 40 cm. Ukuran palungan kandang kelompok mengikuti panjang kandang dengan proporsi ukuran tempat minum lebih kecil tempat pakan. 2.3.
Kandang pembibitan ”Model Litbangtan”
Berdasarkan bentuk dan fungsinya, kandang yang digunakan dalam pembibitan sapi potong ”Model Litbangtan” dibedakan menjadi kandang kelompok dan kandang individu. Kandang kelompok adalah bentuk kandang dalam satu ruangan ditempati oleh beberapa ekor ternak secara bebas tanpa diikat. Kandang kelompok
berfungsi untuk kandang kawin, pembesaran, dan
induk bunting. Sementara kandang individu, dalam satu ruangan ditempati seekor ternak dalam kondisi diikat dan digunakan sebagai kandang beranak/laktasi. Berdasarkan kondisi atap kandang, kandang kelompok dibedakan menjadi dua, yaitu kandang beratap keseluruhan dan beratap sebagian. 2.3.1. Kandang kelompok kawin Kandang kelompok kawin digunakan untuk pemeliharaan induk atau calon induk yang siap untuk dikawinkan dengan pejantan yang diinginkan sampai bunting. Dalam kandang kelompok kawin ditempatkan sapi induk kering, induk laktasi > 40 15
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
hari dan sapi dara siap kawin dengan rasio jantan : betina adalah 1 : (20 – 30) ekor untuk setiap periode kawin selama 4 bulan (sesuai daya tampung kandang). Tujuan utama kandang ini adalah mempercepat kawin dan bunting serta berfungsi sebagai tempat untuk pembesaran pedet prasapih (umur t 40 hari) sampai sapih (7 bulan). Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan 3 – 4 bulan setelah induk dikumpulkan dengan pejantan melalui palpasi rectal. Sapi induk yang telah positif bunting ditempatkan pada kandang kelompok bunting untuk selanjutnya diganti dengan induk-induk lain yang telah memasuki masa kawin. a. Kandang kelompok kawin beratap seluruhnya Kandang kelompok kawin beratap seluruhnya merupakan kandang kelompok yang atapnya memayungi seluruh bagian kandang sehingga terhindar dari air hujan dan sinar matahari langsung (Gambar 5). Tipe lantai yang digunakan kandang ini adalah alas litter. Feses dan urine ternak dibiarkan terinjak oleh ternak dan apabila biomass adalah kotoran mencapai ketebalan 30 cm atau sekitar 3 bulan, dilakukan pembongkaran dan kotoran dikeluarkan dari kandang untuk kemudian diolah (dianginanginkan) menjadi kompos. Sepanjang bagian sisi kandang dilengkapi dengan palungan, yaitu pada sisi depan untuk tempat pakan hijauan dan konsentrat, sedangkan pada sisi belakang kandang untuk bank pakan dan tempat minum. Kapasitas tampung ternak dalam satu kandang 16
Pembibitan Sapi Potong
kelompok untuk satu ekor sapi dewasa adalah 3 m2, (semakin padat ternak maka kondisi litter akan mudah becek/basah).
Gambar 5. Kandang kelompok beratap seluruhnya
b. Kandang kelompok kawin beratap sebagian Kandang kelompok kawin beratap sebagian merupakan kandang yang atapnya hanya memayungi bagian depan kandang, terutama palungan (tempat pakan dan minum). Kandang kelompok model ini identik dengan kandang pelumbaran terbatas (Gambar 6). Palungan berada di bagian depan kandang, terbuat dari tembok dengan ukuran lebar 50 cm, tinggi bagian luar 60 cm dan bagian dalam 40 cm. Panjang palungan untuk kandang kelompok mengikuti atau disesuaikan dengan panjang kandang dengan proporsi ukuran tempat minum lebih kecil dari tempat pakan (Gambar 6).
17
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Gambar 6. Kandang kelompok kawin beratap sebagian yang dilengkapi bank pakan
Lantai kandang model ini menggunakan lantai semen atau beton berpori (model, paving) bagian lantai yang tidak beratap. Pada bagian belakang kandang dilengkapi seloka terutama untuk menjaga kebersihan lantai kandang pada musim hujan. Kelebihan sistem kandang ini adalah ternak lebih bebas bergerak karena tersedia tempat pelumbaran terbatas. Kondisi kandang kelompok di musim hujan relatif tampak lebih kotor dibandingkan dengan kandang individu, terutama yang beratap sebagian, tetapi penggunaan tenaga kerja lebih efisien karena tidak perlu memandikan ternak dan membuang feses setiap hari. Namun demikian, apabila kondisi lantai kandang becek dapat dilakukan penambahan serbuk gergaji dan/atau dicampur dengan kapur (dolomite). Selain membuat alas kandang tetap kering, penambahan kapur dapat berfungsi sebagai bahan untuk produksi kompos dan menciptakan rasa empuk kepada ternak saat tiduran.
18
Pembibitan Sapi Potong
2.3.2. Kandang kelompok bunting Kandang kelompok bunting digunakan untuk sapi yang telah bunting t 5 bulan sampai 9 bulan. Selanjutnya dari kandang kelompok bunting, sapi dipindahkan ke kandang beranak (kandang individu) sampai laktasi t 40 hari, kemudian dari kandang beranak dipindah kembali ke kandang kelompok kawin. Apabila tidak tersedia kandang kelompok bunting, maka sapi yang telah buting 9 bulan langsung dipindahkan ke kandang beranak (Gambar 7 dan 8).
Kandang kelompok kawin
Induk tidak bunting s/d bunting 5 bulan
Kandang kelompok bunting
Induk bunting > 5 bulan s/d 9 bulan
Kandang beranak (individu)
Induk bunting 9 bulan s/d laktasi > 40 hari
Gambar 7. Skema model kandang kelompok pembibitan sapi potong
Gambar 8. Kandang beranak beserta tempat pelumbarannya 19
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
2.3.3. Kandang beranak Kandang beranak atau kandang menyusui adalah kandang untuk pemeliharaan khusus induk atau calon induk yang telah bunting tua (8 – 9 bulan) sampai menyapih pedetnya dengan tujuan menjaga keselamatan dan keberlangsungan hidup pedet. Konstruksi kandang beranak harus memberi kenyamanan dan keleluasaan bagi induk dan pedetnya selama menyusui. Kandang beranak termasuk tipe individu yang dilengkapi dengan palungan pada bagian depan dan selokan pada bagian belakang serta halaman pelumbaran (Gambar 8). Ukuran palungan untuk kandang beranak yaitu paling 150 cm yang dibagi untuk tempat pakan panjangnya 100 cm dan tempat minum 50 cm, 50 cm, tinggi bagian luar 60 cm dan bagian dalam 40 cm. Lantai kandang selalu bersih, kering, dan tidak licin. Konstruksi pagar pelumbaran dibuat lebih rapat agar pedet tidak mudah keluar areal kandang. Luas kandang beranak mempunyai ukuran 3 m u 3 m, termasuk palungan di dalamnya. 2.3.4. Kandang kelompok pembesaran Kandang
kelompok
pembesaran
merupakan
kandang
kelompok yang digunakan untuk pembesaran pedet lepas sapih (umur 7 bulan) sampai menjelang dewasa kelamin berumur 12 bulan (Gambar 9). Pedet lepas sapih jantan dan betina dikumpulkan jadi satu dalam kandang kelompok pembesaran dan setelah umur 12 bulan sapi jantan dan betina muda dipisahkan 20
Pembibitan Sapi Potong
pada kandang yang berbeda. Betina muda dipelihara dalam kandang kelompok betina untuk dijadikan sebagai calon induk (replacement stock), sedangkan sapi jantan muda dipelihara dalam kandang individu atau kandang kelompok pembesaran pejantan.
Gambar 9. Kandang kelompok pembesaran
2.4. Bank pakan Pada sistem pembibitan “Model Litbangtan”, pakan diberikan di dalam kandang atau di palungan. Selain itu, induk dilengkapi dengan bank pakan yang biasanya berisi bahan pakan sumber serat seperti jerami padi kering atau bahan lain yang tersedia di lokasi setempat (Gambar 10). Bank pakan berfungsi untuk menyediakan kebutuhan hijauan kering yang disimpan dalam rak pakan yang berukuran p u l u t = (4 u 1 u 3) m yang pemberiannya ad-libitum sehingga dapat dikonsumsi setiap saat dengan penyediaan secara sistem stok. Dengan adanya bank pakan, peternak
dapat
menyediakan
rumput
segar
sesuai 21
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
kemampuannya yaitu t 5 kg/ekor/hari (berdasarkan jumlah tenaga kerja yang tersedia) tanpa melihat kebutuhan ternak yang dipelihara dalam kandang kelompok sehingga menghemat curahan waktu dan tenaga kerja.
Gambar 10. Bank pakan
2.4.1. Pengelolaan reproduksi Pengelolaan reproduksi pada pembibitan sapi potong “Model Litbangtan” bertujuan untuk meningkatkan efisiensi tenaga kerja dan reproduksi, karena salah satu penyebab rendahnya produksi dan perkembangan populasi sapi potong adalah pengelolaan reproduksi yang kurang baik, sehingga menyebabkan kegagalan dan rendahnya efisiensi reproduksi induk. Kegagalan dan rendahnya efisiensi reproduksi sapi induk dapat disebabkan oleh faktor internal dari ternak itu sendiri (seperti penyakit dan kelainan alat kelamin) dan faktor eksternal yaitu kurang pakan, defisiensi mineral dan kurang tepat dalam penanganan perkawinan termasuk aplikasi teknologi IB. 22
Pembibitan Sapi Potong
Selain pengelolaan perkawinan, pakan merupakan aspek yang penting dalam menentukan kinerja reproduksi. Sapi induk yang kurang gizi (pakan) dapat mengakibatkan kondisi tubuhnya menjadi kurus yang selanjutnya akan diikuti oleh in-aktivasi ovarium. Sebaliknya, apabila bobot badan tidak terkontrol (terlalu gemuk) induk sapi akan mengalami gangguan reproduksi seperti kegagalan kebuntingan dan kemajiran. Untuk memperoleh kinerja reproduksi induk yang optimal diperlukan jadwal dan patokan waktu yang tepat yaitu: a. Diupayakan perkawinan yang tepat, maksimal dua kali kawin induk sudah bunting; b. Kejadian berahi kembali setelah melahirkan (40 – 60 hari), sehingga induk dapat dikawinkan setelah bulan kedua (60 hari) atau pada berahi yang kedua; c. Penyapihan pedet dapat dilakukan mulai umur 7 bulan, dan diupayakan pakan induk selama laktasi cukup baik sehingga aktivitas reproduksi dan kecukupan gizi induk, maupun ketersediaan air susu untuk pedetnya tidak terganggu. Penyapihan
yang
terlalu
singkat
(<
5
bulan)
akan
mengakibatkan pertumbuhan pedet setelah lepas sapih akan tertekan. Demikian juga sebaliknya, penyapihan yang terlalu panjang (> 7 bulan) akan menganggu reproduksi induk yaitu terlambatnya birahi atau kawin kembali setelah beranak sehingga jarak beranak menjadi panjang. Pembibitan sapi potong “Model Litbangtan” merupakan upaya untuk memperbaiki kinerja reproduksi induk (jarak beranak < 14 23
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
bulan) dan produksi pedet lepas sapih yang lebih baik. Penyapihan pedet pada umur 7 bulan diharapkan pedet tersebut sudah lebih siap mandiri. 2.4.2. Manajemen pemberian pakan Dalam usaha pemeliharaan sapi potong, pakan merupakan input terbesar (mencapai 60 – 70%) dari seluruh komponen biaya produksi. Manajemen dan strategi pemberian pakan yang efektif dan efisien perlu diterapkan dalam usaha pembibitan sapi potong, sehingga dapat pendapatan dan kesejahteraan peternak. Pakan utama ternak ruminansia (termasuk sapi potong) adalah hijauan yang identik dengan sumber serat. Namun demikian, pakan sapi potong tidak harus dalam bentuk rumput (rumput gajah atau rumput dilapang), tetapi dapat berupa dedaunan (seperti daun nangka, pisang, kelapa sawit,), limbah pertanian (seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, dan lain-lain), dan limbah industri pertanian (seperti dedak padi, bekatul, onggok, jagung, bungkil kedelai, dibungkil kelapa). Usaha pembibitan relatif tidak membutuhkan banyak pakan (kandungan nutrisi tinggi) dibanding usaha penggemukan, karena tujuan utamanya untuk menghasilkan pedet, bukan daging. Namun demikian, untuk usaha pembibitan, selama masa kebuntingan terutama pada minggu ketiga terakhir dan selama masa laktasi, ternak (induk sapi) memerlukan pakan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai agar pertumbuhan janin dan pedet selama masa prasapih tetap normal (Hadi dan Ilham, 2002). 24
Pembibitan Sapi Potong
3.4.3 Beberapa jenis bahan pakan sapi potong Secara umum pakan ternak sapi potong dibedakan menjadi dua, yaitu pakan hijauan dan pakan penguat. Pakan hijauan Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman rerumputan (Gramineae), legum, dan tumbuh-tumbuhan yang berupa daun-daunan, baik dalam bentuk segar maupun kering.
Hijauan segar dapat berbentuk segar ataupun silase,
sedangkan hijauan kering bisa berupa hay (hijauan yang sengaja dikeringkan) ataupun jerami kering (sisa hasil ikutan pertanian yang dikeringkan). Pakan sumber serat (hijauan dan limbah pertanian) yang potensial dan murah dapat diberikan 1 – 10% dari bobot badan. Semakin rendah kualitas hijauan, maka pemberiannya dianjurkan untuk dikurangi. Kualitas hijauan antara lain ditentukan oleh jenis, umur, dan bagian tanaman yang dikonsumsi. Semakin tua umur tanaman, kualitas hijauan (terutama kandungan protein) semakin rendah. Apabila ketersediaan hijauan yang berkualitas (sedang sampai baik) cukup banyak dan harganya murah, maka jumlah pemberian dapat ditingkatkan dan pakan tambahan (penguat) bisa dikurangi bahkan ditiadakan (hijauan 100%). Namun, penyediaan hijauan segar di daerah lahan kering terutama pada musim kemarau terkadang lebih sulit dibandingkan dengan pakan 25
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
konsentrat atau pakan penguat, sehingga harga per kg hijauan (pada gizi setara) lebih mahal dibandingkan dengan pakan penguat. Penggunaan pakan penguat (yang murah) dapat diberikan dalam jumlah lebih banyak pada wilayah yang pakan hijauannya sulit diperoleh (mahal). Pakan penguat Pakan penguat merupakan bahan pakan alternatif pengganti untuk mengurangi penyediaan rumput segar apabila rumput segar lebih mahal dibandingkan dengan pakan penguat. Pada umumnya pakan penguat mempunyai kandungan protein yang tinggi dan kandungan serat kasar (SK) yang relatif rendah sehingga mudah dicerna. Bahan pakan penguat meliputi bahan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, dan bulgur.Pakan penguat juga
dapat
diperoleh dengan cara
memanfaatkan
limbah
pertanian yang banyak terdapat di lokasi peternakan, seperti tumpi jagung, dedak padi, bekatul, kulit kopi, dan ampas singkong. 3.4.4
Formulasi ransum
Pakan harus mampu menyediakan hampir semua nutrien yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam perbandingan yang serasi sesuai dengan status faali. Pakan tidak perlu berlebihan, bahkan harus efisien sehingga dapat memberikan keuntungan.
26
Pembibitan Sapi Potong
Usaha pembibitan sapi potong yang efisien dan ekonomis akan dapat dicapai apabila peternak mampu menggali dan meramu berbagai bahan pakan strategis menjadi produk pakan yang handal, aman, dan berkualitas sehingga produtivitas ternak menjadi optimal. Ransum seimbang merupakan campuran beberapa bahan pakan yang diberikan pada ternak sapi untuk memenuhi kebutuhannya selama 24 jam dan mengandung semua zat nutrien yang dibutuhkan ternak dalam jumlah dan proporsi yang seimbang. Penyusunan ransum sapi potong yang dilakukan di Loka Penelitian Sapi Potong mengacu pada pola (Low External Input Sustainable Agriculture(LEISA); yaitu memanfaatkan bahan pakan lokal potensial secara optimal dan meminimalkan penggunaan bahan pakan dari luar yang harganya (mahal). Melalui penerapan manajemen pakan pola LEISA, efisiensi usaha pembibitan sapi potong dapat dicapai melalui penggunaan bahan pakan yang harganya murah dan mudah diperoleh di lokasi peternakan, tetapi memiliki kandungan nutrien yang cukup tinggi. Pakan seimbang selain harus dapat memenuhi kebutuhan zat nutrien ternak, juga harus murah; oleh sebab itu sebaiknya menggunakan bahan pakan yang tersedia di lokasi setempat secara optimal. Hindari atau minimalkan bahan pakan yang berasal dari luar daerah yang pada umumnya mahal karena ada tambahan biaya transport; namun bisa digunakan jika harganya murah. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah dengan penggunaan tambahan adalah bahan pakan utama yang berasal 27
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
dari impor, seperti jagung, bungkil kedelai, tepung ikan maupun tepung tulang. Hal ini mengingat beberapa pabrik pakan ternak masih menggunakan bahan impor seperti jagung, tepung ikan, dan bungkil kedelai sebagai campuran pakan ternak. Selain rumput lapangan dan legum, sumber pakan yang cukup potensial juga adalah hasil sisa (limbah) pertanian tanaman pangan
maupun
perkebunan.
Pola
LEISA
menekankan
pemanfaatan bahan pakan yang berasal dari limbah tanaman dan hasil samping (by-product); seperti limbah singkong, limbah sawit, limbah kacang-kacangan, dan limbah jagung. Limbah singkong dapat berupa kulit, singkong afkir, onggok, gamblong, dan gaplek afkir. Bahan pakan tersebut tergolong sebagai bahan pakan sumber karbohidrat yang mudah dicerna dan berdasarkan hasil penelitian
mempunyai
manfaat
biologis
yang
lebih
baik
dibandingkan dengan dedak padi kualitas rendah sampai sedang. Mariyono et al. (2008) menyatakan bahwa singkong perlu dikembangkan sebagai pakan sumber energi strategis. Namun demikian limbah singkong memiliki faktor pembatas, yaitu nilai protein dan kalsiumnya (Ca) rendah serta dapat menyebabkan mabuk pada ternak yang belum terbiasa mengonsumsi sehingga dalam pemberiannya perlu ditambahkan kapur dan dikombinasikan dengan bahan lain. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kebutuhan zat nutrien pada sapi potong; yaitu jenis kelamin, berat badan, taraf pertumbuhan/status fisiologis (pedet, sapihan, bunting dan lain-lain) serta tingkat produksi. Tabel kebutuhan zat nutrien 28
Pembibitan Sapi Potong
yang banyak dipakai adalah yang diterbitkan oleh National Academics of Science yang disebut dengan National Research Council (NRC). Namun demikian, patokan yang mudah untuk menghitung kebutuhan pakan, yaitu kebutuhan bahan kering (BK) pakan/ekor/hari diperkirakan sebanyak 2,8 – 3% BB (Kearl, 1982). 3.4.5
Strategi penyusunan ransum seimbang yang efisien
Penggunaan bahan pakan asal limbah pertanian, perkebunan maupun agroindustri diharapkan selain menurunkan biaya ransum juga mampu membangkitkan produktivitas secara optimal. Limbah pertanian di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber
pakan,
yaitu
produksinya
diperkirakan
mencapai
51.546.297,3 ton/tahun. Produksi terbesar adalah jerami padi (85,81%), kemudian berturut-turut adalah jerami jagung (5,84%), jerami kacang tanah (2,84%), jerami kedelai (2,54%), pucuk ubi kayu (2,29%), dan jerami ubi jalar (0,68%). Limbah pertanian ini mempunyai kandungan selulosa (karbohidrat terstruktur) yang tinggi, namun kandungan nitrogen (N) dan mineral, terutama kalsium (Ca), fosfor (P), kobalt (Co), tembaga (Cu), sulfur (S), dan natrium
(Na) rendah. Karakteristik
tersebut
mengakibatkan
kecernaan rendah serta dapat membatasi konsumsi pakan. Dengan demikian, suplementasi multinutrien perlu dilakukan untuk membentuk
keseimbangan
kondisi
rumen
dan
memenuhi
kebutuhan zat nutrien. Keseimbangan kondisi rumen dibutuhkan untuk meningkatkan kecernaan sehingga dapat memperbaiki efisiensi pakan. 29
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Penting untuk diperhatikan bahwa bahan pakan harus dapat menyediakan
nutrien
yang
diperlukan
sebagai
komponen
pembangun tubuh, pengganti sel-sel tubuh yang rusak, serta untuk produksi. Kebutuhan nutrien dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pertumbuhan, ukuran tubuh ternak, lingkungan,
keturunan,
penyakit,
parasit,
jenis
ternak,
ketidakserasian pakan dan kekurangan nutrien. Kebutuhan zat nutrien ini dinyatakan dengan kandungan energi, protein, vitamin, dan mineral (Tillman et al., 1998).
30
Pengelolaan Limbah (Kotoran) Sapi Menjadi Kompos dan Biogas
3. PENGELOLAAN LIMBAH (KOTORAN) SAPI MENJADI KOMPOS DAN BIOGAS 3.1. Pembuatan kompos Kompos merupakan hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat dengan berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap dan aerobik atau anaerobik. Kompos yang baik adalah yang sudah cukup mengalami pelapukan dan dicirikan oleh
warna
yang
sudah
berbeda
dengan
warna
bahan
pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah, dan sesuai suhu ruang. Beberapa alasan bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman antara lain adalah: (1) bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman; (2) penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara ke dalam tanah; (3) struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air kecil, sehingga bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah menjadi sangat remah; dan (4) kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga pembuatan kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum digunakan sebagai pupuk.
31
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
3.1.1
Manfaat kompos
Manfaat kompos di antaranya adalah: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan; (2) memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai; (3) menambah daya ikat tanah terhadap air dan unsur-unsur hara tanah; (4) memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah; (5) mengandung unsur hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit (jumlah hara ini bergantung pada bahan pembuat pupuk organik); (6) membantu proses pelapukan bahan mineral; (7) memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikro serta 8) menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan (Yovita, 2001). Dengan tingginya kandungan unsur-unsur N, P, dan K yang terdapat dalam kotoran sapi, maka kompos yang dihasilkan dapat menyuplai unsur hara yang dibutuhkan tanah dan memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik. Tabel 2 memperlihatkan besarnya sumbangan unsur hara yang terdapat dalam feses sapi potong yang dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk N, P dan K (Santosa, 2002). Tabel 2. Kandungan N, P dan K dalam kotoran sapi potong Bobot badan sapi potong (kg)
N (%)
P (%)
K (%)
277
28,1
9,1
20,0
340
42,2
13,6
30,0
454
56,2
18,2
39,9
567
70,3
22,7
49,9
Sumber: D.H. Vanderholm (1979) dalam Santosa (2002)
32
Pengelolaan Limbah (Kotoran) Sapi Menjadi Kompos dan Biogas
3.1.2
Kompos Hi-Grade
Istilah kompos Hi-Grade Loka Penelitian Sapi Potong telah menghasilkan teknologi pengolahan feses dan urine sapi menjadi kompos Hi-Grade. Dinamakan kompos Hi-Grade karena mengandung unsur kimia yang komplit dari campuran kotoran sapi (feses dan urine) yang diaduk secara merata oleh ternak sendiri dengan cara diinjak-injak sehingga telah mengalami proses dekomposisi dengan baik. Cara pembuatan kompos Hi-Grade Pembuatan kompos diawali dengan pengumpulan kotoran sapi dengan cara memanen dari kandang kelompok, dilanjutkan dengan proses pengolahan menjadi kompos (Gambar II).
Gambar 11. Kandang sapi sistem kelompok sebagai sumber kompos
33
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Pemanenan kompos Kotoran sapi sebagai bahan kompos Hi-Grade berasal dari kandang kelompok kawin, baik beratap seluruhnya maupun beratap sebagian. Pemanenan dilakukan setelah ketebalan kotoran sapi dan urine di dalam kandang kelompok mencapai 30 cm atau kira-kira 3 bulan berada dalam kandang. Setelah dilakukan pemanenan, kotoran tersebut diolah lebih lanjut menjadi kompos dengan jenis/bentuk sesuai dengan yang diinginkan; seperti kompos curah, granula, dan blok. Bahan dan peralatan 1. Kotoran sapi yang bercampur urine, berasal dari kandang kelompok (Gambar 12) 2. Sekam atau limbah gergajian kayu 3. Kapur bubuk 4. Skop dan saringan 5. Karung plastik 6. Timbangan Proses pembuatan kompos Hi-Grade Kotoran yang dipanen dari kandang kelompok dianginanginkan di tempat teduh selama r 2 bulan pada musim hujan atau 1 bulan di musim kemarau. Kotoran lalu dihancurkan dan diayak dengan ukuran lubang 0,5 u 0,5 cm; kemudian dikemas dalam karung untuk selanjutnya siap digunakan (Gambar 12). 34
Pengelolaan Limbah (Kotoran) Sapi Menjadi Kompos dan Biogas
Gambar 12. Proses pembuatan kompos Hi-Grade
Cara pemakaian kompos (Hi-Grade) Hi-Grade adalah nama dagang kompos organik
yang
dihasilkan oleh mitra kerja pengguna teknologi inovatif yang dihasilkan oleh Loka Penelitian Sapi Potong. Kompos hi-grade dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, dan hortikultura. Cara pemberiannya, kompas ditebarkan merata di permukaan tanah dengan dosis sesuai jenis tanaman. Untuk pemupukan individ tanaman dalam pot (jeruk, mangga, bunga, dsb.), kompos 35
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
disebarkan di bawah kanopi terluar dari daun. Untuk hamparan tanaman padi dan tanaman palawija, kompas diberikan 10 ton/ha setiap 6 bulan, sedangkan untuk tanaman bawang merah 20 ton/ha dan tanaman semangka 2 kg/bedengan. Marsono (2001) menyatakan bahwa pemakaian pupuk kompos berdasarkan umur tanaman adalah 500 g/tanaman pada umur 1 – 3 bulan, dan 1000 g/tanaman pada umur tanaman 4 – 9 bulan. Pada tanah yang baik/sehat, kelarutan unsur-unsur anorganik akan meningkat, serta ketersediaan asam amino, zat gula, vitamin dan zat-zat bioaktif hasil dari aktivitas mikroorganisme dalam tanah akan bertambah, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi semakin optimal. 3.2. Pemanfaatan kotoran sapi sebagai biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik, termasuk kotoran manusia dan hewan, limbah rumah tangga, dan sampah organik. Haryati (2006) mengemukakan bahwa biogas merupakan sumber (renewal energy) yang mampu menyumbangkan andil dalam usaha memenuhi kebutuhan bahan bakar. Biogas merupakan bahan bakar yang tidak menghasilkan asap sehingga dapat menjadi pengganti bahan bakar minyak atau gas alam. Biogas dihasilkan melalui proses yang disebut proses pencernaan anaerobik yang terdiri atas campuran gas metan adalah (CH4), karbon dioksida (CO2), dan sejumlah kecil nitrogen, amonia, sulfur dioksida, hidrogen, dan hidrogen sulfida. 36
Pengelolaan Limbah (Kotoran) Sapi Menjadi Kompos dan Biogas
Pertama-tama sebelum membuat unit biogas, yang perlu dilakukan adalah merencanakan dan memerhatikan prosedur pelaksanaannya. Untuk mempercepat pelaksanaan pembuatan, yang harus direncanakan adalah: (i) penentuan lokasi, secara praktis dan ekonomis lokasi biogas sebaiknya ditempatkan di dekat kandang ternak sehingga tidak memerlukan banyak tenaga kerja untuk mengangkut kotoran ke lubang pengisian tangki pencerna; (ii) bahan/material, bahan yang digunakan sebaiknya memerhatikan aspek ekonomis dan daya tahan dari bahan-bahan tersebut; (iii) prosedur pembuatan, perlu diperhatikan kebutuhan gas
yang
akan
dipertimbangkan
dipakai
volume
selanjutnya
tangki
sehingga
pencerna
sesuai
perlu dengan
kebutuhan pengguna (Junus, 1987). 3.2.1 Manfaat dan proses pembuatan biogas Manfaat biogas antara lain: (i) memanfaatkan limbah sapi (feses, urine, dan sisa pakan) sebagai bahan bakar dan memaksimalkan daur ulang; (ii) sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah, LPG, batu bara, generator/listrik, dan lain-lain; (iii) limbah biogas dapat menghasilkan pupuk organik; (iv)
menurunkan emisi gas metana dan CO2;
serta
(v)
menghilangkan bau kotoran dan bakteri colliform sehingga menurunkan kontaminasi sumber air. Komposisi biogas terdiri atas metana (CH4) 55 – 75%; karbon dioksida (CO2) 25 – 45%; nitrogen (N2) 0 – 0,3%; hidrogen (H2) 1 – 1,5%; hidrogen sulfida (H2S) 0 – 3% dan oksigen (O2) 0,1 – 0,5%. 37
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Satu ekor sapi atau kerbau dapat menghasilkan ± 2 m3 biogas per hari, sehingga 2 – 3 ekor sapi atau kerbau dapat menghasilkan 4 m3 per hari (yang setara dengan 2,5 liter minyak tanah atau solar; 1,84 kg elpiji; 3,2 liter premium; 1,4 kg kayu bakar; penerangan lampu 60 – 100 watt selama 24 jam, dan menjalankan motor 4 PK selama 2 jam). Proses pembuatan biogas meliputi tiga tahap; yaitu: (1) hidrolisis, yaitu proses penguraian bahan-bahan organik menjadi sederhana (selulose menjadi glukose); (2) pengasaman, yaitu proses perubahan gula sederhana (glukose) yang terbentuk dari proses hidrolisis menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam (seperti asam asetat, asam propionat, asam format, asam laktat, alkohol, butirat, gas karbon dioksida, hidrogen dan ammonia); dan (3) metanogenik, pada proses ini telah terjadi pembentukan gas metana. Faktor-faktor
yang
memengaruhi
keberhasilan
proses
terbentuknya biogas adalah desain dan pengaturan digester. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah pengoperasian, yang meliputi: (i) pengadukan (perbandingan feses dan air = 1 : 1); (ii) temperatur digester (35ºC), untuk daerah panas penca di gunakan atap; (iii) koleksi gas dalam penampungan (gunakan valve searah/kontrol tekanan); di (iv) posisi digester (tutup lapisan hitam berfungsi
menangkap
sinar
matahari
dan
waktu
retensi
(temperatur tinggi akan mempercepat fermentasi dan waktu normal fermentasi kotoran 2 – 4 minggu).
38
Pengelolaan Limbah (Kotoran) Sapi Menjadi Kompos dan Biogas
3.2.2 Pembuatan dan operasionalisasi biogas Unit biogas sudah banyak diperkenalkan kepada masyarakat di pedesaan. Dengan demikian, tidak jarang petani-ternak sudah menguasai dan mengetahui dengan pasti teknik pembuatan biogas. Dalam pembuatan biogas, yang perlu diperhatikan adalah penentuan model atau bentuk digester (reaktor biogas), tahapan pembuatan, uji kebocoran, teknik operasional, dan hambatan yang mungkin terjadi (Junus, 1987). Terdapat berbagai macam cara pembuatan dan bentuk reaktor biogas (digester) dari kotoran sapi, bergantung pada lokasi, kondisi dan biaya. Loka Penelitian Sapi Potong telah mengaplikasikan teknologi pembuatan biogas dengan reaktor biogas berbentuk bola menggunakan bahan dari semen, bata, dan besi (Gambar 13).
Gambar 13. Reaktor biogas di Loka Penelitian Sapi Potong
Tatacara pembuatan reaktor biogas adalah sebagai berikut: (1) menggali lubang seperti sumur berbentuk bola dengan jari-jari 75 cm dengan kedalaman 200 cm; (2) memasang pondasi; (3) memplester pondasi; (4) membuat dinding tangki pencerna; (5) 39
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
membuat unit pencampur (in) dan bagian pengeluaran (outlet); (6) memasang kran gas; (7) membuat tutup tangki pencerna; (8) membuat kolam oksidasi; (9) melakukan/menguji kebocoran; (10) memperbaiki kebocoran jika ada; (11) melakukan / pengisian awal; (12) membuat / memasang dengan kompor gas berikut selang gas, dan (13) melakukan uji coba dengan menyalakan kompor. Setelah
reaktor
biogas
selesai
dibangun,
dilakukan
operasionalisasi pemanfaatan biogas dengan cara sebagai berikut: 1. Campurkan kotoran sapi yang masih baru dengan air (perbandingan 1 : 1). 2. Campuran
tersebut
(point
1)
masukkan
ke
dalam
reaktor/digester. Di dalam reaktor tersebut akan terjadi reaksi selama 3 – 4 minggu. 3. Isi reaktor tersebut dengan campuran kotoran (point 1) setiap hari sampai penuh; hentikan pengisian reaktor apabila sudah penuh. Reaktor yang sudah penuh ditandai dengan limbah yang mengalir dari dalam reaktor, dan setelah gasnya dibuang maka volume limbah di outlet berkurang dan hal ini menunjukkan bahwa prosesnya sudah benar. 4. Gas yang dihasilkan pada pembentukan awal dibuang (sebelum digunakan) selama 12 jam, kemudian tutup selama 8 jam.
40
Pengelolaan Limbah (Kotoran) Sapi Menjadi Kompos dan Biogas
5. Periksa apakah limbah atau lumpur terlalu encer di outlet, tambahkan feses yang baru atau isi rumen dari ternak sapi tersebut. 6. Gas yang dihasilkan akan tertampung dengan sendirinya melalui saluran pipa yang telah disambungkan ke tempat penampungan gas. 7. Gas yang dihasilkan dapat dibakar dan menjadi api sehingga bisa digunakan untuk memasak.
Gambar 14. Pengisian limbah (kotoran) sapi dalam reaktor biogas
41
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Tabel 3. Analisis usaha penggemukan sapi potong silangan basis konsentrat kualitas rendah lama penggemukan 180 hari Jumlah Lama penggemukan (hari) Bobot badan awal bakalan (kg) Harga bakalan (Rp/kg)
180 300 33.000
PBBH (kg/hari)
0,9
BB saat jual (kg/ekor)
462
Harga jual (Rp/kg)
32.000
Keuntungan kotor
9.900.000
14.784.000 4.884.000
Biaya-biaya Konsentrat 3,50% BB (kg/hari) Biaya konsentrat per periode (dimodifikasi Rp1250/kg)
13,335 3.000.375
Sumber serat per periode (4 kg/hari; Rp 400/kg)
288.000
Tenaga kerja per periode (Rp 1500/ekor/hari)
270.000
Penyusutan kandang (Rp/periode) Jumlah biaya
66.667 3.625.042
Keuntungan bersih (per ekor/periode)
1.258.958
Keuntungan bersih (per ekor/bulan)
209.826
Kebutuhan modal lancar (Rp/ekor)
13.458.375
% keuntungan terhadap modal lancar
1,56
Sumber: Mariyono (2013)
42
Skor Kondisi Tubuh pada Sapi Potong
4. SKOR KONDISI TUBUH PADA SAPI POTONG Kondisi tubuh ternak berhubungan dengan kondisi reproduksi (Funston, 2002). Kondisi tubuh induk sapi oleh para peneliti diberi skoring/penilaian yang disebut dengan Skor Kondisi Tubuh/SKT (Body Condition Score), yang berkisar dari kondisi sangat kurus (skor 1) sampai sangat gemuk (skor 5) (Baliarti, 1998). SKT induk sapi potong dapat memberikan petunjuk status nutrisi dibandingkan dengan bobot badan. Winugroho dan Teleni (1993) menyatakan bahwa SKT yang paling kritis untuk sapi PO adalah < 4, artinya untuk menunjang reproduksi yang normal SKT yang ideal adalah > 4 sampai dengan < 8. Kondisi/tubuhnya yang kurus dicirikan oleh penonjolan tulang punggung, pinggul, rusuk dan pangkal ekor cekung dan dalam. Sapi kondisi sedang apabila tulang punggung dan rusuk tidak tampak, tulang pinggul tampak sedikit, dan pangkal ekor sedikit cekung. Sementara kondisi gemuk apabila tidak terdapat penonjolan tulang punggung, rusuk, pinggul serta pangkal ekor tidak cekung. Pendugaan SKT dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu perabaan tulang belakang dan cara pengamatan tulang rusuk. Cara yang pertama dilakukan melalui perabaan dan penekanan daerah pinggang di bagian tulang belakang setelah rusuk terakhir. Caranya, ibu jari menekan bagian transversus processus untuk merasakan keruncingan ujungnya, sementara itu keempat jari lainnya menekan bagian daging mata rusuk untuk merasakan ketebalan lemak di bawah kulitnya. Semakin tebal perlemakan 43
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
dan semakin tidak teraba ujung transversus processus, kondisi tubuh sapi tersebut dinilai baik. Dengan metode ini, SKT sapi dibagi menjadi lima kelas, yaitu sangat kurus, kurus, sedang, gemuk dan sangat gemuk (Santosa, 2001). Selain dengan metode perabaan/pengamatan tulang belakang, pengamatan tulang rusuk juga menjadi salah satu cara untuk mengetahui SKT sapi. Pendugaan SKT dengan metode ini didasarkan pada pengamatan banyaknya tulang rusuk yang tampak membayang di balik kulit sapi. Semakin tidak tampak tulang rusuk yang membayang di balik kulit, maka kondisi tubuh sapi dinilai semakin baik. Dengan cara ini SKT sapi dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu: (i) kurus, jika tulang rusuk yang membayang di bawah kulit > 8; (ii) sedang, jika tulang rusuk yang membayang di bawah kulit antara 4 – 5; dan (iii) gemuk, jika seluruh tulang rusuk tidak tampak (Santosa, 2001). Skor kondisi tubuh sangat berpengaruh terhadap performans reproduksi. Menurut Fahey dan Crosby (2002), sapi yang mempunyai SKT 4,5 – 5,5 (pada skala 1 – 10) atau 2,5 – 3,0 (skala 1 – 5) mempunyai performans reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan sapi yang memiliki SKT di bawahnya atau di atasnya. Penelitian Hardin (1990) menyebutkan bahwa jumlah sapi kembali estrus setelah beranak pada hari ke-50 untuk SKT 1 sampai dengan kurang dari 2 sebanyak 28%, SKT 2 – 3 sebanyak 37%, dan SKT 4 – 5 sebanyak 35%. O’Callaghan dan Boland (1999) menambahkan bahwa kondisi tubuh, pemasukan makanan, dan fase laktasi atau kebuntingan dapat memengaruhi efisiensi 44
Skor Kondisi Tubuh pada Sapi Potong
reproduksi.
Nutrisi
dapat
memengaruhi
reproduksi
karena
pengaruhnya pada bagian hupotalamus, kelenjar pituitari, ovarium atau uterus (Listiani, 2005).
Gambar 15. Skor kondisi tubuh 1 Sapi terlihat sangat kurus. Ujung tulang rusuk kelihatan tajam atau menonjol dengan sangat jelas. Demikian juga tulang punggung terlihat menonjol. Daerah paha cekung dan anus kelihatan turun serta vulva menonjol.
45
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Gambar 16. Skor kondisi tubuh 2 Sapi terlihat tipis/kurus. Ujung tulang rusuk terlihat kurang menonjol. Tulang punggung terlihat agak berisi daging. Sudah mulai terlihat sedikit timbunan daging pada pangkal tulang ekor. Daerah di sekitar anus kurang cekung dan vulva kurang menonjol.
46
Skor Kondisi Tubuh pada Sapi Potong
Gambar 17. Skor kondisi tubuh 3 Sapi dalam kondisi tubuh rata-rata atau sedang. Tonjolan tulang rusuk sedikit terlihat, ketajaman tulang dapat dirasakan dengan cara sedikit menekan. Punggung sudah terlihat sedikit membulat dan halus serta terdapat sedikit timbunan lemak. Daerah anal terlihat berisi daging tetapi belum terdapat timbunan lemak.
47
Sistem Pembibitan Sapi Potong dengan Kandang Kelompok
Gambar 18. Skor kondisi tubuh 4 Sapi dalam kondisi baik. Tulang rusuk tidak terlihat, ketajaman rusuk dapat dirasakan hanya ketika memberikan tekanan yang kuat. Tulang punggung merata di daerah pinggang dan pantat terlihat bulat. Pada bagian paha dan pinggul terlihat timbunan yang cukup tebal.
48
tulang cukup sudah lemak
Skor Kondisi Tubuh pada Sapi Potong
Skor kondisi tubuh 5
Gambar 19. Skor kondisi tubuh 5 Sapi dalam kondisi gemuk. Struktur tulang pada bagian rusuk dan tulang punggung bagian atas sudah tidak terlihat dan penuh dengan timbunan lemak dan daging. Demikian juga pada bagian tulang pangkal ekor dan di atas tulang rusuk sudah terlihat bulat oleh timbunan daging dan lemak. Sumber: Loka Penelitian Sapi Potong (2012); Rodenburg (2004)
49
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA Affandhy, L., W.C. Pratiwi, D. Pamungkas, D.B. Wijono, P.W. Prihandini dan P. Situmorang. 2006. Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Efisiensi Reproduksi. Laporan Akhir Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati. Baliarti, E. 1998. Penggunaan Daun Lamtoro dan Vitamin A pada Ransum Basal Jerami Padi Pengaruhnya terhadap Kinerja Induk dan Anak Sapi Peranakan Ongole (PO). Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (Disertasi). Deptan. 2006. Permentan Nomor 54/OT.140/10/2006. Tentang pedoman pembibitan sapi potong yang baik (Good Breeding Practise). http://www.disnak.jabar.go.id. Diwyanto, K. 2002. Model Perencanaan Terpadu: Proyek Pengembangan Sapi Melalui Pola Integrasi Tanaman Ternak (Crops-Livestock System). Bahan Diskusi Rapat Kordinasi Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Fahey, J. and J. Crosby. 2002. Body Condition Score and Fertility. Diambil dari http://www.incalf.com.au/body condition score and fertility.html. Funston, R. 2002. Characteristic of The Estrus Cycle. Diambil darihttp://www.das.psu.edu/reproduction/detect/402/cycle.html. Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. J. Litbang Pertanian 21(4). Hardin, R. 1990. Using Body Condition Scoring in Beef Cattle Management. Diambil dari http://www.caes.uga.edu/pubcd/c762.html. Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif. Wartazoa 16(3): 160 – 169. Junus, M. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gas Bio. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kearl, L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. Utah Agricultural Experimental Station. Utah State University. International Feedstuffs Institute. Logan, USA.
50
Daftar Pustaka
Listiani, D. 2005. Pemberian PGF2α pada Sapi Peranakan Ongole (PO) yang Mengalami Gangguan Corpus Luteum Persisten. Thesis Program Studi Magister Ilmu Ternak, Program Pascasarjana Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. Mariyono., Y.N. Anggraeny dan L. Kiagege. 2008. Teknologi alternatif pemberian pakan sapi potong untuk wilayah industri Indonesia bagian timur. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong untuk Mendukung Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2008 – 2010. Universitas Tadulako - Sub Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Sulawesi Tengah. Marsono. 2001. Pupuk Akar (Jenis dan Aplikasi). Penebar Swadaya, Jakarta. O’Callaghan, D. and M.P. Boland. 1999. Nutritional Effects on Ovulation, Embryo Development and The Establishment of Pregnancy in Ruminant. British Society of Anim. Sci. 68: 299 – 314. Rodenburg, J. 2004. Body Condition Scoring of Dairy Cattle – Dairy Cattle Production Systems Program. Order No. 92 – 122. Repalces of Omafra Factsheet. Santosa, U. 2001. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Cetakan ke-3. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Santosa, U. 2002. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Cetakan V. Penebar Swadaya, Jakarta. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksodiprodjo, S. Prawirokusumo, S. dan Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Winugroho, M. dan E. Teleni. 1993. Feeding and Breeding Strategies. In Draught Animal System and Management: An Indonesian Studies. E Teleni, R.S.F. Campbell and D. Hoffmann (Eds.). Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), Canberra, Australia. Yovita. 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta.
51