KERAGAAN INFEKSI PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI BALI MODEL KANDANG SIMANTRI I Nyoman Sugama dan I Nyoman Suyasa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali ABSTRAK Dari aspek manajemen, salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak sapi di kandang simantri adalah faktor kesehatan atau kontrol pengakit. Penyakit gastrointestinal merupakan salah satu penyakit yang menyerang sapi berbagai umur, dan menurunkan produksi ternak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat infestasi parasit gastrointestinal pada ternak sapi induk yang dipelihara di kandang model Simantri. Penelitian menggunakan 60 ekor sapi Bali yang tersebar di Kab. Bangli, Badung dan Singaraja Tahun 2011. Sampel tiap kabupaten diambil di 2 tempat yaitu di kandang simantri dan kandang luar simantri masing-masing 10 sampel. Sampel yang diambil berupa feses sapi dalam pengawet formalin 10 %. Pemeriksaan dilakukan di Balai Besar Veteriner Denpasar dengan menggunakan metode Apung (Whitlock) dan metoda Sedimentasi (whitlock). Pemeriksaan meliputi jumlah EPG dan OPG feses dan jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi sapi. Hasil yang diperoleh dianalisis secara Deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi di kandang simantri (23,33%), lebih rendah jika dibandingkan pada kandang luar simantri (66,67%). Jenis parasit gastrointestinal pada kandang simantri(5 jenis) lebih sedikit jika dibandingkan pada kandang luar simantri (9 jenis). Tingkat infeksi parasit gastrointestinal pada sapi di kandang simantri lebih ringan (OPG:87,50butir) jika dibandingkan kandang luar simantri (OPG: 115,50 butir), tetapi infeksinya semuanya masih tergolong ringan. Kata Kunci : sapi bali, simantri, parasit gastrointestinal PENDAHULUAN Dalam usaha meningkatkan pendapatan petani di sektor pertanian di Propinsi Bali maka pemerintah Propinsi Bali merancang suatu model pertanian terintegrasi antara ternak dengan tanaman. Kegiatan pengembangan usaha pertanian terintegrasi di Provinsi Bali Tahun 2009 dibiayai dari dana Perubahan APBD Provinsi Bali dalam bentuk bantun sosial (bansos) yang dialokasikan kepada 10 kelompok tani pelaksana kegiatan di 7 Kabupaten di Bali. Dari seluruh dana bansos tersebut 88,20 % dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan langsung dengan usaha peternakan seperti pengadaan ternak (sapi bibit betina dan kambing Ettawah pejantan), pembuatan kandang sapi dan kandang kambing, pembuatan tempat pengolahan pakan dan tempat pengolahan kompos serta pembuatan instalasi biogas dan instalasi bio urine. Bahkan dalam tahun 2010 kegiatan simantri di Propinsi Bali ditambah lagi 50 unit, dengan model yang sama dengan tahun 2009.
485
Dari sisi kesehatan hewan, konsep simantri ini sangat menguntungkan karena kebersihan kandang dan kesehatan ternak menjadi lebih baik, memudahkan dalam mengontrol/memantau kesehatan ternak serta diharapkan mampu mencegah/ menekan serangan penyakit pada ternak sapi, terutama infeksi karena parasit gastrointestinal. Perlakuan kotoran sapi untuk kompos maupun bio-gas diharapkan mampu memutus siklus hidup parasit gastrointestinal pada ternak sapi. Dalam konsep simantri itu maka setiap unit simantri itu akan terdapat ternak sapi yang dipelihara dalam kandang koloni secara permanen, yang dilengkapi instalasi pengolahan kompos, pengolahan urine, serta instalasi bio-gas. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak sapi akan dimanfaatkan untuk menghasilkan gas, dan sisanya akan gunakan untuk kompos. Sebaliknya kompos yang dihasilkan akan dikembalikan sebagai sumber pupuk untuk tanaman. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak sapi di tingkat petani dari aspek managemen adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Ternak sapi sangat mudah terinfeksi oleh penyakit, salah satunya adalah parasit gastrointestinal. Parasit gastrointestinal merupakan endoparasit di dalam tubuh akan merampas zat-zat makanan yang diperlukan bagi hospesnya, di mana cacing dalam jumlah banyak akan mengakibatkan kerusakan usus atau menyebabkan terjadinya berbagai reaksi tubuh yang antara lain oleh toksin yang dihasilkan oleh cacing-cacing tersebut (Tarmudji dkk.,1988). Menurut Imbang (2007) walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Lebih lanjut Wiryosuhanto dan Jacoeb (1994) menyatakan penyakit endoparasit terutama cacing menyerang hewan pada usia muda (kurang dari 1 tahun). Persentase yang sakit oleh endoparasit dapat mencapai 30% dan angka kematian yang bisa ditimbulkan sebanyak 30%. Gejala umum dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain badan lemah dan bulu kusam, gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama. Jika infeksi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare, dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian. Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan feses untuk mengetahui telur cacing. Perubahan populasi cacing dalam perut sapi dapat diketahui dengan menghitung total telur per gram feses (EPG) secara rutin. Tingkat prevalensi parasit cacing tergantung pada jumlah dan jenis cacing yang menginfeksinya (Subronto dan Tjhajati, 2001). Beberapa hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa tingkat prevalensi cacing Paramphistomum sp. pada sapi Bali di Bali cukup tinggi, bisa 100% (Beriajaya dkk, 1981), 61,36% (Suaryana dkk, 1984), atau 88% (Neker, 1997). Yasa, dkk. (2002) melaporkan bahwa jenis cacing yang paling banyak menginfeksi sapi Bali dalam berbagai tingkatan umur di antaranya adalah Ostertagia sp.; Oesophagustomum sp.; Paramphistomum sp.; Fasciola sp.; Cooperia sp.; dan Toxocara sp. Prevalensi cacing hati meningkat sejalan dengan meningkatnya umur sapi.
486
Pemeriksaan feses secara rutin sangat diperlukan untuk mengidentifikasi adanya parasit gastrointestinal pada ternak, terutama jenis dan derajat infeksinya. Dengan mengetahui jenis cacing yang menginfeksi maka segera dapat dilakukan pengobatan dengan jenis obat antiparasit yang tepat, sehingga pengobatannya menjadi lebih efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat infestasi parasit gastrointestinal pada ternak sapi induk yang dipelihara di kandang model Simantri. METODOLOGI Sampel diambil di 3 kabupaten yaitu Bangli, Badung dan Singaraja, pada tahun 2011. Pengambilan Sampel dilakukan di kandang model simantri dan luar simantri dari ternak sapi milik petani masing-masing 10 sampel. Total sampel yang diambil sebanyak 60 buah yang terdiri dari 30 ekor dari kandang simantri dan 30 ekor sapi dari luar kandang simantri. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil sampel berupa feses/kotoran sapi sebanyak 50-100 gram yang ditaruh dalam kantong plastik dalam pengawet formalin 10 %, selanjutnya diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasar, dengan menggunakan metoda Apung (Whitlock) dan metoda Sedimentasi (whitlock). Pemeriksaan dilakukan meliputi prevalensi, jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi, serta tingkat infeksinya. Untuk menghitung prevalensi dilakukan dengan membagi sampel yang positif terdapat telur maupun oosit parasit gastrointestinal dengan total jumlah sampel yang diperiksa dikalikan 100%. Sedangkan tingkat infeksi dihitung dengan melihat jumlah telur cacing tiap gram feses atau Egg Per Gram (EPG) maupun Oosit Per Gram feses (OPG) yang diperiksa. Hasil yang diperoleh dianalisis secara deskriptif (Gomez dan Gomez,1995). HASIL DAN PEMBAHASAN a. Prevalensi Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada kandang model simantri, prevalensinya 43,34%, nyata lebih rendah dibandingkan dengan di luar simantri (Gambar 1). Artinya ternak sapi yang dipelihara di kandang simantri lebih sedikit terinfeksi oleh parasit gastrointestinal. Hal itu disebabkan karena pada kandang model simantri, sistim pemeliharaannya lebih intensif sehingga lebih bersih daripada di kandang luar simantri. Di samping itu ternak sapi yang dipelihara di kandang simantri secara rutin dilakukan pengobatan anti parasit gastrointestinal serta dilakukan pengolahan terhadap kotoran ternak sapi menjadi kompos. Hal itu didukung oleh sistim pengawasan ternak yang dilakukan secara kolektif karena ternak dipelihara dalam satu kandang koloni sehingga akan mempermudah memantau terhadap kesehatannya. Sebaliknya sebagian besar ternak sapi yang dipelihara dalam kandang milik petani, walaupun pemeliharaannya secara intensif, perlakuan pada masing-masing ternak sapi berbeda-beda tergantung kebiasaan peternak. Di samping itu kontrol terhadap kesehatan ternak juga dilakukan
487
secara individu serta pengomposan kotoran ternak belum banyak dilakukan sehingga peluang penularan infeksi parasit gastrointestinal masih sangat besar. Menurut Anon (2007) pada kondisi kandang kotor (basah atau lembab) perlu diwaspadai adanya kontaminasi pakan hijauan dari larva cacing, karena pada kondisi yang basah dan lembab cacing akan tumbuh dan berkembang biak dengan baik. PREVALENSI INFEKSI PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI BALI INDUK
70 60 Prevalensi (%)
66.67 50 40 30 20
23.33
10 0 Simantri
Luar Simantri
Model Pem eliharaan
Gambar 1. Histogram prevalensi infeksi parasit Gastrointestinal pada sapi induk Bali di kandang Simantri dan luar Simantri b. Jenis Parasit Gastrointestinal Pada kandang model simantri terdapat 5 jenis parasit yang menginfeksi, semuanya tergolong dalam cacing gastrointestinal, yaitu Strongyloides sp, Paramphistomum sp, Cooperia sp, Chabertia sp, Oesophagostomum sp. Dari ke5 jenis cacing tersebut yang paling banyak menginfeksi adalah cacing Oesophagostomum sp dari klas nematoda (cacing gilig) dan Paramphistomum sp. dari klas tremadota (cacing daun) (Gambar 2). Sebaliknya pada kandang luar simantri terdapat 9 jenis parasit yang menginfeksi ternak sapi, terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok cacing gastrointestinal 8 jenis (Trychostrongylus sp, Paramphistomum sp, Faschiola sp, Ostertagia sp, Cooperia sp, Chabertia sp, Mecistocirrus sp, Oesophagostomum sp), dan kolompok protozoa gastrointestinal 1 jenis (Eimeria sp). Dari Sembilan jenis parasite gastrointestinal yang menginfeksi paling banyak adalah Paramphistomum sp dan Faschiola sp yang keduanya termasuk klas trematoda (cacing daun). Kejadian kedua jenis parasit cacing ini disebabkan oleh karena pengambilan sampling dilakukan pada daerah yang basah atau pakan yang diberikan berasal dari lahan persawahan, sehingga memungkinkan perkembangan cacing ini yang memerlukan inang perantara yaitu jenis siput air ( Suweta, 1982).
488
JENIS DAN JUMLAH SAMPEL YANG TERINFEKSI DARI MASING-MASING PARASIT GASTROINTESTINAL
Jumlah sampel Terinfeksi (buah)
9
Eimeria sp
8 7
Strongyloides sp
6 5
Trychostrongylus sp
4 3
Faschiola sp
Paramphistomum sp
Ostertagia sp
2 1 0
Cooperia Chabertia Simantri
Luar Simantri
Model Pem eliharaan
Mecistocirrus sp Oesophagos
Gambar 2. Histogram jenis dan sampel yang terinfeksi parasit Gastrointestinal dari kandang Simantri dan di luar Simantri Cacing Trichostrongylus sp. tergolong cacing gilig atau nematoda sehingga disebut nematoda gastrointestinal (Anon. 1990). Lebih spesifik lagi cacing ini digolongkan cacing rambut karena ukurannya yang kecil. Cacing ini berpredileksi pada usus halus dari hewan ruminansia termasuk sapi, kecuali Trichostongylus axei hidup di dalam abomasum ruminansia peliharaan dan liar dan di dalam lambung serta usus kecil kuda. Patogenitas pada hewan muda lebih hebat dari pada hewan dewasa. Gejala klinis dari hewan terinfeksi cacing Trichostrongylus sp. adalah terjadi penurunan nafsu makan, anemia, berat badan menurun, diare, pembengkakan dan perdarahan mukosa, bahkan sampai kematian (Noble dan Noble.1989). Cacing Cooperia sp. juga merupakan cacing gilig atau nematoda, bentuknya kecil yang warnanya kemerah-merahan, dapat ditemukan di dalam usus kecil berbagai ruminansia, terutama sapi. Menurut Anon (1990) daur hidupnya mirip dengan nematoda lainya, dimana cacing tersebut mengeluarkan telurnya dari tubuh hospes melalui feses dan di alam bebas berkembang dibawah pengaruh kelembaban, suhu dan oksigen yang cukup. Gejala infeksi pada ternak sapi antara lain: diare, lemah, anemia, dan pengurusan ternak (Noble dan Noble.1989). Cacing Oesophagostomum sp juga termasuk nematoda gastrointestinal dan lebih spesifik digolongkan ke cacing bungkul. Disebut cacing bungkul karena gejala yang nampak adalah timbul bungkul-bungkul di dalam kolon (Anon,1990). Gejala klinis akibat infeksi cacing ini tidak begitu jelas, namun hewan menjadi kurus, kotoran berwarna hitam, lunak bercampur lendir dan kadang-kadang terdapat darah segar. Dalam keadaan kronis sapi memperlihatkan diare dengan feses berwarna kehitaman, nafsu makan menurun, kurus, anemia, hipoalbuminemia, hipoproteinemia dan busung.
489
Cacing Faschiola sp atau cacing hati bentuknya pipih seperti daun dan digolongkan cacing trematoda. Penyakit ini bersifat kronis pada sapi (Anon,1990) dan di beberapa daerah persentase angka infeksi meningkat hingga 50-75%, tapi rata-rata untuk seluruh Indonesia adalah 30% pada sapi (Ressang, 1984). Menurut Darma dan Putra (1997), spesies yang paling penting di Indonesia adalah Faschiola gigantica. Cara penularan cacing ini melalui induk semang perantara yaitu siput air dari genus lymnea. Ternak akan terinfeksi cacing ini jika memakan rumput yang terinfeksi oleh larva. Gejala klinis infeksi cacing fasciola bisa bersifat akut maupun kronis. Bentuk akut umumnya terjadi pada kambing dan domba tapi kadang-kadang pada sapi, yang ditandai anemia, nafsu makan menurun, lemah, berat badan berangsur-angsur menurun sehingga penderita menjadi kurus, diare, rusaknya sel hati, menimbulkan perdarahan dan gangguan fungsi hati karena banyaknya migrasi cacing muda ke dalam jaringan hati. Bentuk kronis umumnya terjadi pada sapi yang ditandai oleh anemia berat, berat badan menurun, gangguan pertumbuhan pada anak sapi, nafsu makan turun, lemah, kurus, bulu kusam, dapat terjadi edema pada rahang bawah (”botle jaw”), kadang-kadang terjadi asites, selaput mata kekuningan serta sering terjadi konstipasi (Darma dan Putra. 1997). Cacing Paramphistomum merupakan jenis cacing cacing trematoda. Cacing ini predileksinya di lambung ruminansia. Siklus hidup cacing ini mirip cacing Fasciola, dengan induk semang siput genus: Bulinus, Lymnea, Planarbis . Hewan terinfeksi jika makan metaserkaria yang ada pada rumput atau tumbuhan (Noble dan Noble.1989). Eimeria sp merupakan parasit gastrointestinal dari kelompok protozoa penyebab penyakit Coccidiosis. Pada sapi disebabkan oleh E. bovis, E. zurnii, E.auburnensis dan E. ellipsoidalis, yang ditandai oleh gejala klinis yang khas yaitu diare berdarah (Darma dan Putra. 1997). Selanjutnya Anon.(1990) menyatakan bahwa penyakit ini menyerang selaput lendir usus, sehingga sebagian terlihat gejala penyakit gangguan pencernaan. Hewan terinfeksi karena menelan makanan terinfeksi ookiste. Gejala klinis yang yang muncul tergantung umur hewan, dimana pada hewan muda gejala klinis yang muncul akan lebih parah jika dibandingkan hewan yang sudah dewasa. Pada infeksi ringan ditandai oleh adanya diare ringan, berlangsung sekitar 5-7 hari, ternak akan depresi, nafsu makan turun sampai hilang, berat badan turun, dehidrasi. Pada infeksi berat feses sering terlihat bercampur lendir dan darah. Kematian mungkin terjadi karena dehidrasi yang berlebih atau karena infeksi sekunder seperti pneumonia (Darma dan Putra. 1997). Mecistocirrus sp. adalah cacing yang menginfeksi abomasum sapi, kerbau dan zebu. Spesies Mecistocirrus sp. yang sering menginfeksi sapi adalah Mecistocirrus digitatus. Pada ruminansia kecil Mecistocirrus sp jarang ditemukan tapi yang lebih sering ditemukan adalah Haemonchus sp. Genus Mecistocirrus dan Haemonchus mempunyai habitat yang sama yakni abomasum dan kemiripan morfologi, patogenesis, serta gejala klinis, sehingga relatif mempersulit diagnostik.
490
c. Tingkat infeksi masing-masing parasit gastrointestinal Indikator untuk menetukan tingkat infeksi parasit gastrointestinal dapat diketahui dengan menghitung jumlah telur (EPG) maupun jumlah Oosit (OPG) tiap gram feses. Dari Gambar 3 terlihat jumlah EPG/OPG parasit gastrointestinal yang terlihat pada feses ternak sapi di kandang model simantri rata-rata lebih rendah dibandingkan di kandang luar simantri. Artinya tingkat infeksi parasit gastrointestinal lebih ringan pada sapi induk yang dipelihara di kandang model simantri daripada di kandang sapi induk milik petani/ luar simantri. Hal itu disebabkan karena pada kandang model simantri feses/kotoran ter-nak ditampung pada bak penampung kotoran untuk selanjutnya dibuat menjadi kompos maupun bio-gas melalui proses fermentasi, sehingga menghambat perkembangan ca-cing. Fermnetasi kotoran sapi ini dapat memutus siklus hidup cacing pada ternak karena telur ataupun larva yang keluar lewat feses/kotoran akan membusuk karena proses pemanasan (34°C) saat dekomposisi kotoran sapi pada pembuatan kompos, sehingga mencegah/mengurangi penularan infeksi cacing pada ternak sapi lainnya (Anon, 2007).
Rataan jumlah EPG (butir)
RATAAN JUMLAH EPG/OPG PARASIT GASTROINTESTINAL DARI SELURUH SAMPEL TERINFEKSI
120.00 100.00
115.50
80.00 60.00
87.50
Simantri
40.00
Luar Simantri
20.00 0.00 Simantri
Luar Simantri
Model Pem eliharaan
Gambar 3. Histogram rataan jumlah EPG/OPG parasit Gastrointestinal seluruh sampel terinfeksi dari kandang Simantri dan di luar Simantri Analisa itu diperkuat oleh Gambar 4 terlihat 78% sampel yang positif terinfeksi, yang berasal dari kandang model simantri terinfeksi oleh 2 dan 3 jenis cacing tiap sampelnya. Sebaliknya pada kandang di luar simantri sebagian besar (90%) sampel terinfeksi oleh 2 dan 1 jenis cacing tiap sampelnya. Walaupun kandang di luar simantri jumlah jenis cacing yang menginfeksi lebih sedikit dari tiap sampelnya, tetapi jumlah EPG/OPG tiap sampel jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang dipelihara di kandang model simantri (Gambar 3). Hal itu berarti infeksi oleh masing-masing parasit cacing pada kandang luar simantri lebih tinggi jika dibandingkan kandang model simantri. Jika dilihat dari jumlah EPG telur cacing maupun jumlah oosit dari protozoa yang menginfeksi, maka tingkat infeksi parasit gastrointestinal baik
491
dikandang model simantri maupun luar simantri masih tergolong ringan, karena jumlah EPG masih dibawah 500 butir/gram feses (Gambar 5). Menurut Levine (1990) dan Soulsby (1982) pada infeksi ringan akan ditemukan telur cacing 1-499 butir/gram feses, pada infeksi sedang akan ditemukan jumlah telur cacing 5005000 butir/gram feses, sedangkan pada infeksi berat akan ditemukan jumlah telur cacing diatas 5000 butir/gram feses.
Persentase (%)
GRAFIK JUMLAH JENIS PARASIT GASTROINTESTINAL YANG MENGINFEKSI TIAP SAMPEL YANG POSITIF
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
1 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis
Simantri
Luar Simantri Model Kandang
Gambar 4. Histogram jumlah dan jenis parasit Gastrointestinal yang menginfeksi tiap sampel dari kandang Simantri dan di luar Simantri
Rataan Jumlah EPG (butir)
JUMLAH EPG/OPG MASING-MASING PARASIT GASTROINTESTINAL DARI SAMPEL YANG TERINFEKSI 700
Eimeria sp
600
Strongyloides sp
500
Trychostrongylus sp
400
Paramphistomum sp
300
Faschiola sp
200
Ostertagia sp
100
Cooperia
0 Simantri
Luar Simantri
Model Pem eliharaan
Chabertia Mecistocirrus sp Oesophagos
Gambar 5. Histogram jumlah EPG/OPG parasit Gastrointestinal dari sampel yang terinfeksi di kandang Simantri dan di luar Simantri Jika dilihat dari jenis dan tingkat infeksi parasit gastrointestinal yang menginfeksi, maka pada kandang model simantri, parasit yang menginfeksi paling parah adalah cacing Oesophastomum sp. Jenis cacing ini tidak hanya menginfeksi dalam jumlah yang banyak/kuantitas tetapi juga tingkat infeksinya paling tinggi jika dibandingkan parasit yang lain. Cacing Paramphistomum sp yang semula menginfeksi ternak sapi dalam jumlah yang banyak ternyata tingkat infeksinya sangat rendah, hal itu dibuktikan dengan rendahnya jumlah EPG
492
feses. Pada kandang di luar simantri ternyata infeksi cacing yang tertinggi disebabkan oleh Faschiola sp diikuti oleh Paramphistomum sp, Oesophastomum sp dan Cooperia sp. Keempat jenis cacing tersebut menginfeksi ternak sapi tidak saja dari jumlahnya tetapi tingkat infeksinya juga tinggi. KESIMPULAN 1. Prevalensi infeksi parasit baik pada kandang model simantri lebih kecil dibandingkan dengan di luar kandang simantri. 2. Jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi pada kandang simantri lebih sedikit dibandingkan pada kandang luar simantri.. 3. Tingkat infeksi parasit gastrointestinal pada kandang di luar simantri lebih parah dibandingkan dengan pada kandang model simantri, namun secara keseluruhan keduanya masih tergolong infeksi ringan. DAFTAR PUSTAKA Anon. 1990. Beberapa Penyakit Penting Pada ternak. Seri Peternakan .Proyek Pengembangan Penyuluhan Pertanian Pusat / NAEP. Balai Informasi Pertanian Daerah Istimewa Aceh. Departemen Pertanian. Anon. 2007. Daur Hidup Cacing Hati. http://www. Sumberhewan.com/id/penyakit cacing. Diakses tanggal 15 september 2010. Darma,DMN dan Putra, AAG. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan . Buku Pegangan. Penerbit CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar. 161-175 Gomez.K.A dan Gomez.A.A.1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Imbang, D.R. 2007. Penyakit Parasit Pada Ruminansia. Staf Pengajar Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian-Peternakan Universitas Muhammidiyah Malang. http://imbang.staff.umm.ac.id. Levine, L.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi. Gajah Mada University Press Noble,E.R dan Noble,G.A.1989. Parasitologi, Biologi Parasit Hewan. Edisi 5. Gajah Mada University Press. Neker I Made Alit. 1997. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan dan Umur Sapi Bali Terhadap Prevalensi Infeksi Cacing Paramphistomum spp. Skripsi Fak. Kedokteran Hewan, Univ. Udayana-Denpasar. Soulsby,E.J.L.1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated animals. 7th.Ed.Bailliere Tindall London Suaryana, KG., I.D.M. Muditha., S. Wiyoto dan I.G.P. Suweta. 1984. Prevalensi Infestasi Cacing Paramphistomum spp. dan Dampaknya Terhadap Berat Karkas Sapi Bali. Program Studi Kedokteran Hewan Univ. Udayana. Subronto dan I. Tjahajati.2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
493
Tarmudji, Deddy Djauhari Siswansyah dan Gatot Adiwinata. 1988. ParasitParasit Cacing gastrointestinal pada Sapi-Sapi di Kabupaten Tapin dan Tabalong Kalimantan Selatan, di dalam Penyakit Hewan. Balai Penelitian Veteriner, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian , Departemen Pertanian. Jakarta. Wiryosuhanto,S. D. Dan Jacoeb, T. N. 1994. Prospek BudidayaTernak sapi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Yasa I Made Rai, Suprio Guntoro, W. Soethama dan N.T.A. Wirantara. 2002. Prevalensi Infeksi Cacing Gastrointestinal Pada Sapi Bali di Daerah Irigasi (Kasus pada lokasi kegiatan Crop Livestock System di Desa Bakas, Klungkung-Bali). Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Potensi Sumber Daya Spesifik Lokasi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Kerjasama BPTP Bali- Univ. Warmadewa. Denpasar. 184 – 190.
494