PEMENUHAN NUTRIEN UNTUK SAPI BALIINDUK PADA KELOMPOK TERNAK PROGRAM “SIMANTRI”DI BALI The Fulfillment of Nutrient for Bali Cows in “Simantri” Group of Bali I Dewa Nyoman Sudita Fakultas Pertanian-Universitas Warmadewa, Denpasar ABSTRACT One of the goals Simantri program among them are accelerate the increase in population and productivity of bali cattle in Bali. Increased productivity is strongly influenced by the rationing and the fulfillment of nutrients in the diet, because the system of raising cattle in Bali still farm people. This study aims to determine fulfillment of nutrients for bali cows in Simantri group program in Bali at a different altitude. Retrieving data using the survey method with observation in 3 districts in Bali, namely: Tabanan, Buleleng and Karangasem. At each district was taken 3 groups of cattle are "purposive sampling" at each different altitude are: the lowlands, plains and plateaus, so that the number of groups of as many as 27 groups of cattle. Observations made to the amount of feed that is given, the diversity and composition of forage. For purposes of analysis feed quality and fulfiment of nutrienttake ration samples. The results showed there were no differences in the diversity of forage and the amount of feed given to cattle at all altitudes. The composition of the higher forage in the ration composition where natural grass is getting a little, while the real elephant grass growing. There is no difference in the physical quality of feed, protein and crude fiber rations, but DM contents, energy and digestibility of dry matter the highest real ration in the lowlands. Total protein consumtion 706,53 g and energy 13.141,85 kkal ME meet acceptable standards above basic living needs. From this study we can conclude there is no difference rationing at a different altitude, while meeting nutrient protein and energy consumtion for bali cows group Simantri program in Bali have fulfilled the above requirement basic living standard Keywords: Rationing, Nutrition fulfillment, Bali cows, and Altitude. ABSTRAK Salah satu sasaran program Simantri diantaranya adalah untuk mempercepat peningkatan populasi dan produktivitas sapi bali di Bali. Peningkatan produktivitas sangat dipengaruhi oleh pemberian ransum dan pemenuhan nutrien dalam ransum, karena sistim pemeliharaan sapi di Bali masih bersifat peternakan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemenuhan nutrien untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali pada ketinggian tempat yang berbeda. Pengambilan data menggunakan metode survei melalui observasi di 3 kabupaten di Bali yaitu : Tabanan, Buleleng, dan Karangasem. Pada setiap kabupaten diambil 3 kelompok ternak secara “purposive sampling” pada masing ketinggian tempat berbeda yaitu : dataran rendah, dataran sedang, dan dataran tinggi, sehingga jumlah kelompok sebanyak 27 kelompok ternak. Observasi dilakukan terhadap jumlah ransum yang diberi, keragaman dan komposisi hijauan. Untuk keperluan analisa kualitas pakan, dan pemenuhan nutriennya diambil sampel pakan.Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan keragaman hijauan dan jumlah ransum yang diberikan untuk ternak pada semua ketinggian tempat. Komposisi hijauan dalam ransum, semakin tinggi tempat komposisi rumput alam semakin sedikit, sedangkan rumput gajah nyata semakin banyak. Tidak ada 57
I Dewa Nyoman Sudita
perbedaan kualitas fisik ransum, kandungan protein, dan serat kasar ransum, akan tetapi kanndungan DM ,energy ransum, dan kecernaan bahan kering (KcBK) nyata paling tinggi ransum pada dataran rendah. Total konsumsi protein 706,53g dan energi 13.141,85 kkal ME telah memenuhi standard diatas kebutuhan hidup pokok. Dari penelitian ini dapat disimpulkan pemenuhan nutrien khususnya konsumsi protein dan energi sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali telah terpenuhi standar diatas kebutuhan hidup pokok. Kata kunci : Pemberian ransum, Pemenuhan nutrien, Sapi Bali induk, Ketinggian Tempat. PENDAHULUAN Pemerintah Provinsi Bali mengembangkan program Sistem Manajemen Pertanian Terintegrasi (Simantri) dengan kegiatan utama mengintegrasikan budidaya pertanian dengan peternakan,salah satu tujuannya adalah percepatan peningkatan populasi ternak sapi bali di Bali. Program Simantri ini sebagai unggulan pemerintah daerah di sektor pertanian dalam meningkatkan pendapatan petani dan upaya pemerintah Provinsi Bali merealisasikan program Bali Organik dan Bali Mandara.Program Simantri telah dimulai tahun anggaran 2009/2010, dan sampai akhir tahun 2015 telah terbentuk 550kelompok program Simantri yang tersebar di seluruh Bali (data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2015 ). Dalam satu paket program Simantri terdiri atas 20 orang anggota Kelompok Tani (Poktan) dengan bantuan dari pemerintah berupa; kandang koloni, bibit induk sapi bali, sarana pengolahan pupuk organik (padat dan cair), pembuatan bio-gas serta pendampingan. Sedangkan penyediaan pakan ternak selama proses pemeliharaan menjadi tanggung jawab masing-masing anggota kelompok. Secara konseptual program Simantri ini sangat baik, disamping memacu peningkatan populasi ternak, juga akan dapat mendorong perkembangan kelompok-kelompok peternak sapi bali. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan pengetahuan dan keterampilan para peternak dalam manajemen pemeliharaan ternak sapi terutama dalam penyediaan dan pemberian pakan. Penyediaan pakan untuk ternak sapi induk di Bali masih dilakukan dalam pola peternakan rakyat dalam sistem budidaya tradisional. Nitis et al., (1997) menyatakan bahwa ternak sapi pada umumnya selalu diintegrasikan dengan pertanian tradisional (sistem agroforestri),tidak ada lahan khusus yang disediakan untuk menanam hijauan. Suharto (2004) juga mengemukakan bahwa pemeliharaan ternak sapi di Indonesia sebagian besar masih dilakukan dengan pola peternakan rakyat bersifat tradisional, nilai efektifitas dan efisiensi rendah serta serapan inovasi dan teknologi yang lambat. Kondisi yang sama juga terjadi pada kelompok program Simantri, dimana pemeliharaan ternak sapi induk masih dilakukan dengan pola peternakan rakyat karena penyediaan dan pemberian pakannya bersifat tradisional. Sistem pemberian pakan untuk ternak sapi di Bali pada umumnya mengutamakan ketersediaan bahan pakan setiap hari sesuai dengan jumlah ternak yang dipeliharanya.Pemberian pakan tanpa memperhitungkan berapa jumlah pakan yang dibutuhkan ternak, bagaimana kualitasnya, dan cukup atau tidaknya pakan yang diberikan sesuai dengan status fisiologis ternaknya.Adanya perbedaan dalam sistim dan tata guna lahan serta perbedaan suhu dan kelembaban pada ketinggian tempat berbeda yang berpengaruh terhadap kualitas pakan. Semakin tinggi tempat, suhu semakin menurun yang menyebabkan lebih lambatnya pendewasaan dinding sel tanaman sehingga kandungan protein semakin tinggi. Penelitian Nitis et al., (1985) mendapatkan bahwa pada dataran tinggi didapatkan protein kasar (PK) bahan pakan lebih tinggi dibandingkan dataran rendah, sedangkan serat kasar (SK) pada dataran tinggi lebih rendah dibandingkan dataran rendah pada pastura alami di Bali. 58
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Data performans reproduksi sapi bali di Bali ditingkat peternak (termasuk pada kelompok Simantri) masih menunjukkan angka yang beragam (Dwiyanto dan Mahendri, 2013). Dijelaskan pula bahwa disamping pengaruh faktor genetik, juga sangat ditentukan oleh faktor lingkungan seperti; (i) kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, (ii) pencegahan dan pemberantasan penyakit, dan (iii) perbaikan manajemen pemeliharaan. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian pemenuhan nutrien untuk sapi bali induk pada kelompok ternak program Simantri di Bali. Penelitian ini untuk mengetahui pemenuhan nutrient ransum yang diberikan pada sapi bali induk pada kelompok ternak program Simantri di Bali sesuaistandard kebutuhan nutrien ternak/ ekor/ hari pada ketinggian tempat berbeda. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode survey melalui observasi lapangan pada kelompok ternak sebagai sampel. Penentuan kelompok ditentukan secara stratifikasi dari 9 kabupaten/ kota dipilih 3 kabupaten yaitu : Tabanan, Buleleng, dan Karangasem, sedangkan pada masing kabupaten diambil 3 ketinggian tempat. Pada masing ketinggian ditentukan 3 kelompok ternak secara purposive sampling, sehingga jumlah kelompok sebanyak 27 kelompok ternak, dan pada setiap kelompok diambil secara acak 3 peternak sebagai sampel. Pengambilan data lapangan meliputi jumlah pakan yang diberikan, komposisi botani pakan, dan masing-masing diambil sampel pakan untuk keperluan analisis proksimat.Berdasarkan komposisi botani pakan, maka dapat dihitung kandungan nutrient ransum yang diberi serta dilakukan uji kecernaan. Untuk analisis data kualitas ransum, kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organic (KcBO) dengan analisis Ragam (ANOVA) dengan mengikuti pola Rancangan Acak Kelompok, dimana ketinggian tempat sebagai perlakuan dan kabupaten sebagai ulangan.Sedangkan pemenuhan nutrient ransum yang dikonsumsi per hari dihitungberdasarkan komposisi ransum, jumlah pemberian ransum dan kandungan nutrien nutrien dalam ransum, kemudian dibandingkan dengan standard kebutuhan induk sapi berdasarkan standard Kearl (1982). HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Hijauan, Komposisi Hijauan dan Pemberian Ransum Keragaman hijauan diukur dari Indeks Diversitas (keanekaragaman) yaitu kekayaan spesies dalam suatu nilai tunggal (Irwanto, 2015). Hasil analisis statistik terhadap indeks keragaman hijauan, komposisi hijauan dalam ransum pada masing ketinggian tempat seperti pada Tabel 1. Dilihat dari indeks keragaman hijauan dalam ransum tidak terdapat perbedaan secara statistik (P>0,05) pada ketinggian tempat berbeda, akan tetapi pada dataran tinggi menunjukkan rataan paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada dataran tinggi jumlah spesies efektif yang ada dalam sampel paling rendah.Dengan suhu lingkungan yang lebih rendah, spesies tanaman yang tumbuh lebih sedikit, maka jenis hijauan yang diberikan untuk ternaknya keragamannya kurang dibandingkan dataran sedang dan rendah. Dilihat dari imbangan rumput alam dan rumput gajah dalam ransum, semakin tinggi tempat prosentase rumput alam semakin sedikit (P>0,05) sedangkan prosentase rumput gajah semakin banyak (P<0,05). Hal ini erat kaitannya dengan tataguna lahan dalam sistim pertanian di Bali, dan kepemilikan lahan khusus untuk penanaman hijauan.Sedangkan jumlah ransum yang diberikan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua ketinggian tempat walaupun pada dataran tinggi rataannya paling tinggi. Dengan jumlah 59
I Dewa Nyoman Sudita
komposisi rumput gajah paling banyak dalam ransum (42,38%) dan prosentase kaliandra paling banyak (5,12%) menyebabkan berat ransum rataannya paling tinggi. Tabel 1. Rataan keragaman hijauan, komposisi hijauan dan jumlah pemberian ransum pada ketinggian tempat berbeda Variabel Indeks keragaman hijauan pakan Komposisi Hijauan : - Rumput Alam (%) - Rumput Gajah (%) - Broadleaf (%) Jumlah Pemberian Ransum (kg)
Ketinggian Tempat Dataran Rendah Dataran Sedang 9,40a*) 8,89a
53,63a 5,27a 11,78a 32,42a
Dataran Tinggi 6,86a
43,15a 24,59b 16,66a 31,93a
34,71a 42,38c 10,46a 35,16a
Ket. : *) Huruf yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05)
Kualitas Ransum Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak ditentukan oleh bahan kering ransum (Dry Matter Intake/DMI). Sutardi (1997) menyebutkan bahwa kualitas berhubungan dengan jumlah pakan yang diberikan yang ditentukan oleh bahan kering (DM) pakan atau bahan kering yang dikonsumsi (DMI)dan sifat kimia sifat kimia hijauan ditentukan oleh kelengkapan komposisi sel yang menyusun bahan pakan tersebut seperti kandungan DM, bahan organik (BO) dan bahan an-organik (Abu). Tabel 2. Kualitas fisik ransum sapi bali induk pada ketinggian tempat berbeda
Variabel
Ketinggian Tempat Dataran Rendah
Dataran Sedang
Dataran Tinggi
Berat Segar Ransum (kg)
32,42a
31,93a
35,16a
Bahan Kering (DM) Ransum (%BS)
23,55a*)
18,94b
17,55b
Bahan Organik Ransum (%DM)
79,94a
82,84a
82,84a
Kadar Abu Ransum (%DM)
19,96a
17,16a
17,16a
Ket. : *) Huruf yang berbeda dibelakang angka pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Rataan dalam jumlah berat segar ransum yang diberikan untuk sapi bali induk pada kelompok Simantri jumlahnya sama pada ketinggian tempat berbeda, akan tetapi bahan kering ransum (DM) pada dataran rendah nyata paling tinggi yaitu 23,55 % BS (P<0,05). Dengan komposisi ransum lebih banyak rumput alam pada ransum sapi induk dataran rendah, menyebabkan bahan kering (DM) ransum nyata paling tinggi dibandingkan ransum pada dataran sedang dan dataran tinggi.Komposisi bahan pakan dalam ransum berpengaruh terhadap %DM dan %BO, yang ditentukan oleh jenis dan keragaman bahan pakannya, dimana rumput rata-rata memiliki kandungan lignin (82%) yang terlarut dalam serat kasar lebih tinggi dibandingkan dengan leguminosa, serta memperlihatkan adanya variasi yang lebar kandungan selulosa dan lignin pada beberapa jenis tanaman semak dan 60
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
pohon (Lowry at al.,1992).Adanya variasi dalam kandungan selulosa dan lignin dalam bahan pakan terutama rumput dan legum berpengaruh terhadap %BO ransum (Minson, 1990). Berdasarkan rataan jumlah ransum yang diberikan dan keragaman hijauan dalam ransum, maka dapat ditentukan jumlah DM ransum dan kandungan nutrient dalam ransum (Tabel 3). Tabel 3. Kandungan nutrien ransum sapi bali induk pada ketinggian tempat berbeda Variabel
Dataran Rendah
Ketinggian Tempat Dataran Sedang
Dataran Tinggi
Jumlah DM Ransum (kg)
7,25a*)
6,21a
6,35a
Kandungan Serat Kasar (%) Kandungan Protein (%)
22,65a 10,32a
22,46a 10,39a
28,83a 10,41a
Kandungan Energi (kkal/kg)
3610,69a
3635,43a
3372,82b
Ket. : *) Huruf yang berbeda dibelakang angka pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05)
Dengan jumlah DM yang lebih tinggi, prosentase serat kasar (SK) relatif lebih tinggi pada dataran rendah maka kandungan protein (%) cendrung paling rendah (P>0,05), disatu sisi kandungan energi ( kkal) ransum paling tinggi secara statistik berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan ransum dataran tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada komposisi DM yang lebih tinggi dan SK yang lebih tinggi menyebabkan kandungan energi lebih tinggi pula.Serat kasar merupakan komponen penyusun karbohidrat sebagai sumber energi pada bahan pakan. Karbohidrat (serat kasar) dirombak menjadi VFA sebagai sumber energi utama bagi induk semangnya, sedangkan protein pada bahan makanan dirombak menjadi NH3 untuk pertumbuhan mikroba rumen sebagai sumber asam amino esensial (Sutardi, 1980). Pemenuhan Nutrient Konsumsi nutrient ransum dihitung berdasarkan kandungan nutrien ransum pada Tabel 3 yaitu jumlah DM ransum (kg), kandungan protein ransum (%) dan energi ransum (kkal) maka total nutrien dalam ransum yang dikonsumsi seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nutrien dalam ransum yang dikonsumsi sapi Bali induk pada ketinggian tempat berbeda Variabel Konsumsi DM Ransum (kg)
Ketinggian Tempat Dataran Dataran Rendah Sedang
Dataran Tinggi
7,11
6,09
6,22
768,76
670,65
680,17
Konsumsi Energi Ransum (kkal GE)
25.567,98
21.941,62
21.181,66
Konsumsi Energi Ransum (kkal DE)
16.619,19
14.262,06
13.768,07
Konsumsi Energi Ransum (kkal ME
14.128,31
12.122,75
11.702,87
Konsumsi Protein Ransum (g)
Konsumsi protein ransum dihitung dengan mengalikan jumlah DM ransum (kg) X protein ransum (%),sedangkan konsumsi energi ransum dapat dihitung dengan beberapa pendekatan yaitu : Konsumsi GE ransum = jumlah DM (kg) X energi ransum (kkal/kg) Konsumsi DE ransum = GE ransum – energi yang hilang dalam faeses. 61
I Dewa Nyoman Sudita
Menurut Parakkasi, (1999) bahwa energi yang hilang dalam faeses pada sapi yang diberi ransum bahan pakan pastora yang baik berkisar 30-35%, maka DE ransum dapat juga dihitung yaitu 65% X GE ransum. Konsumsi ME ransum = DE ransum – energi yang hilang dalam urine dan gas metan.Energi yang hilang dalam urine dan gas metan dalam proses metabolisme diperkirakan berkisar 10-20% atau rataan 15% (Parakkasi, 1999), maka konsumsi ransum (ME) dapat juga dihitung yaitu 85% X DE ransum. Berdasarkan perhitungan tersebut diatas, maka konsumsi protein dalam ransum pada dataran rendah paling tinggi (768,76 g) dibandingkan ransum pada dataran sedang dan tinggi (670,65 g dan 680,17 g). Hal ini disebabkan oleh konsumsiDM ransum dataran rendah paling banyak, sehingga konsumsi DM dalam ransum juga paling tinggi, maka konsumsi protein ransum juga paling tinggi. Hal ini juga mengakibatkan konsumsi energi dalam ransum pada dataran rendah juga paling tinggi, dan yang paling kecil rataan total energinya pada dataran tinggi. Konsumsi bahan kering setiap hari sapi induk bunting (3 bulan sebelum melahirkan) berat 300 kg kebutuhan DMI sebesar 7,4 kg (Kearl,1982). Sedangkan ransum yang diberikan oleh peternak untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali secara kuantitatif dibawah standard kebutuhan yaitu antara 6,09 – 7,11 kg (dengan rataan 6,47 kg DM). Akan tetapi karena adanya perbedaan dalam berat badan sapi pada kelompok program Simantri dibandingkan standard Kearl, (1982) dengan rataan berat badan sapi pada kelompok program Simantri 248,72 kg ( 2,70% berat badan), maka jumlah konsumsi DM sudah mencukupi. Konsumsi DM ransum yang diberi untuk sapi bali induk pada kelompok Simantri ini masih lebih tinggi kalau merujuk penelitian Mariani, (2013) yang mendapatkan bahwa konsumsi BK sapi bali sedang tumbuh sebesar 5,40 kg/ekor/hari. Leng, (1993) menyatakan bahwa kebutuhan bahan kering ternak sapi dewasa yang memiliki bobot badan 350 kg untuk kebutuhan dasar hidup (tanpa pertumbuhan) per hari sebesar 5,7 kg DM. Oleh karena itu dapat diasumsikan pemenuhan bahan kering (DM) dalam ransum untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali sudah mencukupi kebutuhannya (2 – 3% dari berat badan berdasarkan bahan kering (DM)). Konsumsi protein untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali didapatkan antara 10,32% – 10,41% (rataan 10,38%), sedangkan jumlah DM ransum dengan rataan 6,47 kg maka konsumsi protein ransum sebesar 10,38% X 6,47 kg = 0,6716 kg/hari (= 671,6 g/hari). Kalau mengacu pada standard Kearl, (1982) dengan berat badan sapi 300 kg masa kebuntingan 3 bulan sebelum melahirkan kebutuhan proteinnya sebesar 614 g, maka konsumsi protein mencukupi. Hasil penelitian Mariani, (2013) untuk sapi bali jantan sedang tumbuh (tambahan bobot badan 0,25 kg) berat badan 300 kg total kebutuhan protein harian sebesar 679,57 g (untuk hidup pokok 593,25 g dan pertumbuhan 86,31 g), maka konsumsi protein ransum untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali telah terpenuhi baik pada dataran rendah, dataran sedang dan dataran tinggi.Asumsi ini juga diperkuat dari pernyataan Leng (1993) bahwaternak sapi dewasa yang memiliki bobot badan 350 kg kebutuhan protein untuk hidup pokok adalah 432 g PK/hari. Untuk konsumsi energi ransum dihitung dengan pendekatan dari rataan DM ransum 6,47 kg dan rataan energi ransum 3.539,64 kkal/kg, maka rataan total energi ransum yang diperoleh sapi bali induk pada Kelompok program Simantri di Bali sebesar 22.897,09 kkal/hari. Apabila diperhitungkan energi yang hilang melalui faeses sebesar 35%, maka energy tercerna (DE) yang diperoleh sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali sebanyak 65% x 22.897,09 kkal = 14.883,11 kkal/hari. Sedangkan perkiraan energi yang hilang melelui urine dan gas methan berkisar 10-20 % (rata-rata 15%) dari DE, maka ME yang diperoleh sapi bali induk dapat dihitung yaitu :ME = DE – (energi yang hilang melalui urine+gas methan) 62
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
= 14.883,19 kkal – ( 15% x 14.883,19 kkal) = 14.883,19 kkal – 2.232,49 kkal = 12.650,7 kkal ME Berdasarkan hasil penelitian Mariani, (2013) didapatkan kebutuhan ME untuk hidup pokok pada sapi bali penggemukan dengan berat badan 300 kg adalah 9.936,83 kkal/hari, energi termetabolis (ME) yang diperoleh untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali telah melebihi kebutuhan hidup pokok. Apabila mengacu pada standard Kearl, (1982) kebutuhan energi termetabolis (ME) pada sapi induk dewasa 3 bulan sebelum melahirkan sebanyak 12.400 kkal/hari (3,4 kgTDN), maka ME yang diperoleh sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali telah terpenuhi. Kalau dibandingkan dengan pernyataan Leng, (1993) bahwaternak sapi dewasa yang memiliki bobot badan 350 kg kebutuhan energi hidup pokok (tanpa pertumbuhan) per hari sebesar 2,6 kg TDN ( 0,45 TDN = 2.000 kkal DE) maka DE = 11.555,56 kkal, dikurangi dengan energi yang hilang melalui urine + gas methan (asumsinya 15 % = 1.733,34 kkal) maka ME yang dibutuhkan untuk hidup pokok sebesar 9.822,22 kkal/hari, hampir sama dengan hasil penelitian Mariani, (2013). Dari perhitungan yang diuraikan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ME yang diperoleh untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali telah melebihi untuk kebutuhan hidup pokok, dan memenuhi standard kebutuhan untuk sapi induk pada semua ketinggian tempat yang berbeda. Dari perhitungan konsumsi energi ransum pada ketinggian tempat berbeda, maka konsumsi energi pada dataran rendah paling tinggi karena kandungan bahan kering (DM) dan energi lebih tinggi, sedangkan proteinnya lebih rendah. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Minson, (1990) bahwa keragaman bahan pakan pada ransum dan komposisi botani sangat menentukan kualitasnya. Lebih jauh dijelaskan bahwa CP pada legum lebih tinggi dibandingkan rumput (129 dibanding 115 g/kg DM).Berdasarkan Tabel 5.10 diatas dapat menggambarkan total nutrien dalam ransum baik protein maupun energinya untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali telah terpenuhi. Faktor ketinggian tempat juga mempengaruhi kualitas hijauan pakan yang disebabkan oleh adanya perbedaan temperatur, kelembaban dan curah hujan. Berdasarkan data rataan temperatur pada saat pengambilan data lapangan, semakin tinggi tempat temperaturnya semakin rendah yaitu: 30,89oC (dataran rendah),28,78oC (dataran sedang), dan 26,78oC (dataran tinggi). Meningkatnya temperatur mempercepat tanaman menjadi tua pada kebanyakan tanaman rumput dan legum (Miller, 1984). Pada temperatur yang lebih tinggi akan berpengaruh terhadap nilai cerna dan prosentase karbohidrat dinding sel, sehingga akan mempengaruhi kandungan nutriennya. Penelitian Nitis et al., (1985) mendapatkan bahwa pada dataran tinggi didapatkan protein kasar (PK) bahan pakan lebih tinggi dibandingkan dataran rendah (9,11%DM dibanding 8,46 %DM), sedangkan serat kasar (SK) pada dataran tinggi lebih rendah dibandingkan dataran rendah (26,99%DM dibanding 27,78%DM) pada pastura alami di Bali. Oleh karena itu, nutrien ransum disamping faktor keragaman serta komposisi hijauan pakan juga dipengaruhi ketinggian tempat. Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Bahan Organik (KcBO) Ransum Berdasarkan uji in vitro dari ransum (Tabel 5.12) didapatkan kecernaan bahan kering(KcBK) pada dataran rendah rataannya relatif paling tinggi (45,31%) secara statistik berbeda nyata (P<0,05) dibanding dataran sedang (42,28%) dan terendah pada dataran tinggi (42,49%). Demikian juga pada uji kecernaan bahan organic (KcBO) ransum pada dataran rendah rataannya paling tinggi namun berbeda tidak nyata (P>0,05) dibandingkan dataran sedang dan dataran tinggi. Dilihat dari komposisi hijauan dalam ransum, pada dataran rendah komposisi rumput alam dan jerami dalam ransum paling tinggi serta kandungan serat kasar tertinggi, namun KcBK dan KcBO relatif paling tinggi. NRC, (2000) menyebutkan terdapat hubungan antara 63
I Dewa Nyoman Sudita
kandungan energi pakan dengan DMI, apabila pakan yang diberikan tinggi serat sehingga kecernaannya rendah dan energi yang dikandungnya juga rendah, dan sebaliknya apabila bahan pakan kandungan seratnya rendah maka kecernaan dan kandungan energinya tinggi. Tabel 5. Rataan KcBK dan KcBO ransum sapi bali induk pada ketinggian tempat berbeda Variabel Kecernaan Bahan Kering (KcBK) : - Fermentatif (%) - Hidrolitik (%) - Total Kecernaan F + H (%) Kecernaan Bahan Organik (KcBO): - Fermentatif (%) - Hidrolitik (%) - Total Kecernaan F + H (%)
Ketinggian Tempat Dataran Rendah Dataran Sedang Dataran Tinggi 21,58a 23,80a 45,31a*)
20,09a 22,52a 42,28b
20,77a 21,72a 42,49b
27,48a 12,12a 39,99a
28,05a 10,62a 38,88a
27,61a 9,41a 37,51a
Ket. : *) Huruf yang berbeda dibelakang angka pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05)
Lebih tingginya KcBK dan KcBO ransum pada dataran rendah nampaknya dipengaruhi oleh adanya komposisi daun gamal dalam ransum pada dataran rendah prosentasenya paling banyak dalam ransum. Hal ini membuktikan pernyataan Sutardi, (1997)bahwa gamal disamping tergolong sebagai pakan serat sumber protein dan lebih fermentabel sehingga mudah terdegradasi oleh mikroba rumen (Rumen Degradable Protein /RDP) sehingga mampu memenuhi kebutuhanN-NH3 mikroba rumen. Oleh karena itu menyebabkan pertumbuhan mikroba rumen semakin banyak, maka kecernaan fermentatif disertai dengan pencernaan hidrolitik pakan juga semakin tinggi. Penelitian Suryani, (2012) mendapatkan semakin banyak porsi gamal dalam ransum menyebabkan semakin banyak konsumsi nitrogen, dan penambahan 25% gamal pada ransum berbasis 20% jerami padi memberikan KcBK dan KcBO paling tinggi. Apabila dilihat KcBK dan KcBO pada ransum dataran sedang relatif rataannya lebih tinggi dibandingkan pada ransum dataran tinggi secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05), yang disebabkan proporsi gamal dalam ransum juga rataannya lebih banyak. Maka hal ini membuktikan bahwa pemanfaatan daun gamal dalam ransum berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering, oleh karena itu sangat penting diperhatikan oleh para peternak. Disatu sisi pada daerah dengan ketinggian tampat yang lebih tingg potensi produksi legum pohon terutama gamal lebih banyak, akan tetapi para peternak kurang memanfaatkannya sebagai bahan pakan dalam ransumnya. Daun tanaman polong dan kacang-kacangan tropis sebagai pakan alternatif dapat meningkatkan kinerja produksi dan metabolik sekunder seperti tanin dan saponin untuk mengurangi gas metan dalam rumen dan secara nyata (P<0,05) dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (DM)( Briceno-Poot,dkk., 2012). Legum semak dan pohon disamping sebagai pakan serat sumber protein, dapat dipakai sebagai pengganti konsentrat dalam ransum ruminansia (Sutardi, 1997), dan ternyata dapat meningkatkan prestasi produksi dan reproduksi sapi bali pada introduksi legum pohon pada pertanaman pakan sistim tiga strata (Lana et.al.,1996). Ketersediaan energi pada hijauan diukur dari kecernaan bahan keringnya (Dry matter digestibility/DMD) dengan mengukur energi dari kecernaan bahan organik, total digestable nutrien (TDN), digestable energy (DE) dan Metabolozable energy (ME) (Minson, 1990).
64
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tidak terdapat perbedaan keragaman hijauan dalam ransum yang diberikan untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali pada dataran rendah, dataran sedang, dan dataran tinggi 2. Semakin tinggi tempat komposisi rumput alami dalam ransum sapi bali induk semakin sedikit, sedangkan komposisi rumput gajah semakin banyak. 3. Jumlah ransum yang diberikan untuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali pada semua ketinggian tempat sesuai dengan kebutuhan berdasarkan berat badan dengan kisaran 6,21-7,25 kg DM (2-3 %BB). 4. Kecernaan bahan kering (KcBK) ransum untuk sapi bali induk pada dataran rendah nyata lebih tinggi dibandingkan dataran sedang dan tinggi, 5. Pemenuhan nutrien (protein) dalam ransum dengan rataan 750,2gdan energi dalam ransum dengan rataan 13.141,85kkal ME telah memenuhi diatas standard kebutuhan hidup pokokuntuk sapi bali induk pada kelompok program Simantri di Bali. DAFTAR PUSTAKA Briceno-Poot, E. G., A. Ruiz-Gonzales, A. J. Chay-Canul, A. J. Ayala-Burgos. 2012. Voluntary intake, apparent digestibility and prediction of methane production by rumen stoichiometry in sheep fed pods of tropical legume. J.Animal Feed Science and Technology. Elsevier Vol.176. Available from : http://dx.doi.org/10.1016/j.anifeedsci. 2012.07.014 Diwyanto,K. dan IGAP Mahendri. 2013. Peran Sapi Bali dalam Mewujudkan Swasembada Daging Nasional yang Berkelanjutan. Naskah Lengkap Seminar Nasional Sapi Bali. Pusat Kajian Saoi Bali Universitas Udayana 24 September 2013. Kearl, M. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Institute. Agricultural Experiment Station Utah State University Logan, Utah USA. Lana, K., I. B. Djagra dan K. Sulandra. 1979. Bobot Lahir Sapi Bali. Proseding Seminar Nasional Penelitian dan Penunjang Peternakan. Universitas Udayana. Denpasar. Leng, R. A., 1993. Quantitatif Ruminant Nutrition-A Green Science. Australian Journal of Agricultural Research 44: 363-80 Lowry, J. B., R. J. Petheram dan B. Tangendjaya. 1992. Plant Fed to Village Ruminant in Indonesia. Notes on 136 species their composition andsignificantion in village farming system.Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. Mariani, N. P. 2013. Penentuan Kebutuhan Protein dan Energi Sapi Bali Sedang Tumbuh Berdasarkan Percobaan Pakan dan Komposisi Tubuh. (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Udayana. Minson,D.J. 1990. Forage in Ruminant Nutrition. Academic Press, Inc. Sandiago, California. Miller, D.A. 1984. Forage Crops. Mc.Graw-Hill, Inc. United States of America. Nitis, I. M., K. Lana, A.W. Puger.1997. Pengalaman Pengembangan Tanaman Makanan Ternak Berwawasan lingkungan di Bali.Proceding Seminar Nasional. Sistim Integrasi Tanaman Ternak. Nitis, I. M., K. Lana, T.G.O. Susila, W. Sukanten dan S. Uchida. 1985. Chemical Composition of The Grass, Shcrub and Tree Leaves in Bali. Faculty of Animal Husbandry. Udayana University. 65
I Dewa Nyoman Sudita
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press. Suharto, M. 2004. Dukungan Teknologi Pakan Dalam Usaha Sapi Potong Berbasis Sumber Daya Lokal. Makalah Lokakarya Nasional Sapi Potong, Surakarta. Suryani, N. N. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Bali Yang Diberi Pakan Hijauan Dengan Jenis dan Komposisi Berbeda. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fapet- IPB Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-ilmu Nutrisi Ternak.Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak.Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
66