20
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pencernaan dan Penyerapan Nutrien pada Ternak Ruminansia Proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikrob di rumen, dan hidrolitis oleh enzim pencernaan di abomasum dan duodenum hewan induk semang. Sistem fermentasi dalam perut ruminansia terjadi pada sepertiga
dari alat pencernaannya.
Hal tersebut
memberikan beberapa keuntungan yaitu produk fermentasi dapat disajikan ke usus dalam bentuk yang lebih mudah diserap, makan cepat, menampung makanan dalam jumlah banyak, mencerna serat kasar, dan menggunakan nitrogen nonprotein. Di samping keuntungan tersebut, terdapat kerugian karena banyak energi yang terbuang sebagai CH4 (6 sampai 8%) dan sebagai panas fermentasi (4 sampai 6%), protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi menjadi NH3, dan mudah menderita ketosis (Sutardi 1977). Perut ruminansia terdiri atas empat bagian yaitu retikulum, rumen, omasum, dan abomasum. Retikulum mempunyai tiga katub penghubung, pertama menuju rumen, kedua menghubungkan dengan oesofagus, dan retikuloomasal. Fungsi utama retikulum adalah mengontrol perintah aliran pakan dan membentuk jalan pakan kembali ke oesofagus selama proses ruminasi. Rumen merupakan bagian terbesar
perut ruminansia yang merupakan tempat terjadinya proses
fermentasi. Omasum berperan dalam penyerapan air dan beberapa asam lemak. Omasum memiliki penghubung bagian depan dengan retikulum dan bagian belakang dengan abomasum.
Digesta dipompa dari omasum langsung ke
abomasum. Abomasum merupakan perut sederhana seperti pada nonruminansia. Bagian depan abomasum berhubungan dengan omasum dan usus halus bagian belakang.
Abomasum memproduksi asam dan merupakan bagian saluran
pencernaan tempat awal proteolisis. Hasil pencernaan tersebut akhirnya masuk ke dalam sistem peredaran darah (Collier 1985). Pencernaan dan penyerapan karbohidrat Karbohidrat
merupakan
sumber
energi
mikroorganisme rumen dan induk semangnya.
utama
dalam
kehidupan
Jaringan tanaman merupakan
21
bahan makanan utama ruminan yang rata-rata mengandung 75% karbohidrat. Karbohidrat
terutama
dalam
bentuk
karbohidrat
kompleks
(selulosa,
hemiselulosa), di samping yang mudah larut (pati, gula dan yang sejenis) (Parakkasi 1999). Karbohidrat didefinisikan sebagai polihidroksi aldehida dan keton serta turunannya. Karbohidrat diklasifikasikan dalam tiga kelompok utama yaitu monosakarida (gula sederhana), oligosakarida (yang paling banyak terdapat di alam adalah disakarida), dan polisakarida (bentuk karbohidrat yang paling kompleks) (Pike dan Brown 1984). Monosakarida, sesuai dengan namanya adalah bentuk karbohidrat yang paling sederhana. Monosakarida diklasifikasikan dalam bentuk aldehid dan keton, dan dikelompokkan berdasarkan jumlah atom karbon. Monosakarida dalam bentuk aldehid, berdasarkan jumlah atam karbon adalah triosa (gliseradehid); tetrosa (eritrosa, triosa); pentosa (xilosa, ribosa, arabinosa); heksosa (glukosa, galaktosa dan mannosa); dan heptosa. Glukosa dan fruktosa terdapat dalam bentuk bebas pada buah-buahan dan madu. Pentosa dan heksosa mempunyai peranan yang sangat penting dalam metabolisme sel.
Pentosa siap disintesis
dalam sel. Ribosa adalah pentosa yang sangat penting dalam sistem biologi dan dikonversi menjadi deoksiribosa dan ribitol.
Ribosa dan deoksiribosa adalah
komponen asam nukleat (RNA dan DNA).
Ribosa juga adalah komponen
nukleotida (ATP, ADP, dan AMP) (Pike dan Brown 1984). Oligosakarida yang meliputi disakarida (sukrosa, maltosa, laktosa) dan trisakarida. Secara umum oligosakarida adalah gula-gula yang mengandung 2 sampai 10 unit monosakarida.
Setiap gula diikat oleh hidroksil dengan
melepaskan satu molekul air. Sukrosa dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. Laktosa ditemukan dalam susu dan dibentuk dari glukosa dan galaktosa. Maltosa mengandung dua molekul glukosa dan dibentuk dari hidrolisis pati (Pike dan Brown 1984). Polisakarida adalah polimer kompleks monosakarida.
Bentuk umum
polisakarida yang dapat dicerna dalam tanaman adalah pati (polimer glukosa). Selulosa adalah komponen dinding sel tanaman. Hemiselulosa juga terdapat pada
22
dinding sel tanaman, bersama dengan lignin memberikan kekuatan pada dinding sel.
Selulosa, hemiselulosa, pektin, gum juga disebut sebagai serat.
Serat
merupakan komponen tanaman yang tahan enzim pencernaan manusia (Pike dan Brown 1984). Selulosa dapat dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh mikrob rumen (Frandson 1996). Karbohidrat yang memasuki rumen seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan karbohidrat yang larut air seperti fruktosa akan dipecah menjadi gula sederhana (Gambar1). Selulosa pertama dirombak menjadi selobiosa oleh enzim β-1,4 glukosidase, selanjutnya dikonversi menjadi glukosa.
Hemiselulosa
dikonversi menjadi pentosa juga oleh enzim β-1,4-glukosidase, selanjutnya menjadi fruktosa-6-fosfat.
Pati dikonversi menjadi maltosa dan selanjutnya
menjadi glukosa atau glukosa-1-fosfat.
Hasil pencernaan tersebut memasuki
siklus glikolisis Embden-Meyerhoff dan menghasilkan piruvat sebagai produk akhirnya. Piruvat oleh bakteri rumen difermentasi menghasilkan asetat, butirat dan propionat (Collier 1985). Biasanya proporsi asam asetat, propionat, dan butirat secara berturut-turut adalah 60 sampai 70%, 15 sampai 20%, dan 10 sampai 5%. Di samping asam lemak tersebut juga terdapat asam lemak berantai cabang yaitu isobutirat dan isovalerat. Kadar asam lemak ini biasanya rendah tetapi pada pemberian protein tinggi, kadarnya akan naik (Sutardi 1977). Konsentrasi propionat terbesar dalam rumen ditemukan ketika pakan mengandung gula yang mudah larut atau pati tinggi.
Biasanya asam laktat juga akan ditemukan dalam rumen jika ternak
mengkonsumsi gula yang mudah larut atau pati tinggi. Asam laktat tidak stabil dalam rumen. Hampir semua produksi VFA diserap dalam rumen, retikulum, dan omasum dan sangat sedikit sampai ke abomasum.
Reaksi awal dalam
metabolisme asetat adalah konversi menjadi asetil-CoA dalam sitoplasma melalui asetil-CoA sintetase (enzim yang tersebar dalam jaringan ternak). Hampir 80% asetat yang sampai di hati mengalami proses oksidasi dan masuk ke dalam sirkulasi perifer. Sekali diserap dari darah, kebanyakan asetat dioksidasi melalui siklus TCA (tricarboxylic acid)
atau digunakan untuk sintesis asam lemak.
Selama penyerapan melalui epitelium rumen, 2 sampai 5% propionat dikonversi menjadi asam laktat, yang selanjutnya masuk ke dalam darah portal sebagai
23
propionat. Kebanyakan propionat yang sampai di hati selanjutnya dioksidasi atau dikonversi menjadi glukosa. Asam butirat kebanyakan dikonversi menjadi keton selama penyerapan di epitelium rumen, sehingga kadar butirat sangat rendah dalam darah portal. Pencernaan dan penyerapan protein Protein adalah bahan organik esensial untuk semua sel dan menyusun hampir 18% berat tubuh ternak. Protein adalah polimer kompleks dengan berat molekul antara 5000 sampai 1 juta. Berat molekul yang besar terjadi karena terdiri atas asam-asam amino yang mengalami polimerisasi menjadi suatu rantai polipeptida.
Penggabungan asam-asam amino tersebut terbentuk dari ikatan
antara gugus amino (NH2) dari suatu asam amino dengan gugus karboksil dari asam amino yang lain dengan membebaskan satu molekul air (H2O) (Frandson 1996). Ternak ruminansia mempunyai kemampuan unik untuk bertahan dan berproduksi tanpa sumber protein pakan karena adanya sintesis protein mikrob dalam rumen. Mikrob rumen dimanfaatkan oleh ternak bersama protein pakan yang bebas dari degradasi dalam rumen, memasok protein ke usus halus untuk dicerna dan diserap (Zinn dan Owens 1988). Mikrob
rumen menggunakan sumber N untuk sintesis protein yang
berasal dari protein pakan dan N nonprotein (NPN).
Sapi dapat tumbuh,
bereproduksi, dan laktasi walau pakan hanya mengandung NPN sebagai sumber N. Secara umum mikrob rumen mengandung antara 20 dan 60% protein kasar dari bahan keringnya. Protein kasar bakteri rumen cenderung bervariasi dengan rataan 50% (±5%), di lain pihak protein kasar protozoa lebih bervariasi lagi dengan rataan 40% dengan kisaran 20 sampai 60% (Zinn dan Owen 1988). Di dalam rumen, protein mengalami hidrolisis menjadi oligopeptida oleh enzim proteolisis yang dihasilkan mikrob. Sebagian mikrob dapat memanfaatkan oligopeptida untuk membuat protein tubuhnya.
Sebagian lagi oligopeptida
tersebut dihidrolisis lebih lanjut menjadi asam amino (AA). Kebanyakan mikrob rumen tidak dapat memanfaatkan AA secara langsung. Diduga mikrob rumen terutama bakteri tidak punya sistem transpor untuk mengangkut AA dalam
24
tubuhnya. Lebih kurang mikrob rumen dapat menggunakan N amonia, karena itu mikrob lebih suka merombak AA tersebut menjadi amonia (Sutardi 1997). Kebanyakan bakteri rumen dapat menggunakan N-NH3 sebagai sumber N walaupun beberapa spesies membutuhkan tambahan senyawa N (protein atau karbon dari asam amino tertentu) untuk pertumbuhan paling cepat atau efisien. Bakteri aktif menyerap N-NH3 sementara protozoa tidak. Penyerapan amonia meningkat jika konsentrasi amonia rumen meningkat. Keracunan amonia sering terjadi jika konsentrasi amonia melebihi 100 mg dl-1 (Zinn dan Owen 1988). Amonia merupakan sumber N utama untuk sintesis de novo asam amino mikrob rumen. Konsentrasi N-NH3 5 mg% atau 3.57 mM dalam rumen sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan N mikrob (Sutardi 1977). Sementara Agustin et al. 1992; dan Erwanto et al. 1993 menyatakan bahwa kadar NH3 optimal untuk pertumbuhan mikrob rumen yang relevan dengan produksi ternak adalah 8 mM. Dengan demikian batasan 5 mg% (± 4 mM) adalah batas minimal dan 200 mg l-1 (± 14 mM) merupakan batas maksimal (Sutardi 1997). Sintesis MCP (microbial crude protein) sekitar 20 g 100g-1 total bahan organik, yang dicerna dalam rumen sekitar 9.6 sampai 33.2 g 100g-1 atau 14.5 g 100g-1 bahan organik, yang benarbenar difermentasi dalam rumen 7.6 sampai 20.3 g 100g-1 bahan organik (Zinn dan Owen 1988). Meskipun dapat menggunakan NPN sebagai sumber N untuk sintesis asam amino mikrob, ternak ruminansia tetap membutuhkan asam amino karena pada dasarnya ternak tidak dapat mensintesis asam amino. Alasan yang mendasar bahwa ternak tidak dapat mensintesis asam amino adalah kurangnya asam α-keto untuk transaminase. Asam-asam amino esensial bagi ternak ruminansia adalah metionina (Met), leusina (Leu), isoleusina (Ile), valina (Val), lisina (Lys) dan treonina (Thr). Esensialnya asam-asam amino tersebut didasarkan pada transfer Met dan asam amino bercabang (Leu, Ile, Val) ke dalam protein mikrob rumen cukup besar mencapai sepertiga bagian.
Asam amino lisina mengalami
perombakan di rumen, sedangkan asam α-ketotreonina tidak ditemukan dalam rumen maupun sampel digesta (Sutardi 1977). Di samping enam asam amino tersebut, ternak ruminansia juga membutuhkan asam amino aromatik yaitu
25
fenilalanina (Phe) dan triptofan (Trp), dan sejumlah asam amino yang bersifat semiesensial atau koesensial (Merchen dan Titgemeyer 1992). Peptida atau asam amino bercabang sebagai sumber asam lemak rantai bercabang (branched chain fatty acid=BCFA) penting bagi pertumbuhan bakteri selulolitik. Pencernaan serat bergantung pada pasokan BCFA dari pakan atau mikrob lain dalam rumen.
Defisiensi BCFA, amonia dan nutrien lain dapat
menyebabkan energi (ATP) tidak seimbang. Proses fermentasi berlanjut tapi ATP yang diproduksi tidak digunakan mikrob untuk pertumbuhan. Sebagian bakteri dapat tumbuh tanpa sumber karbohidrat untuk energi. Strain bakteri tertentu membutuhkan struktur karbon dari asam amino esensial dan asam amino tersebut dapat diinkorporasikan ke dalam protein mikrob. Bakteri tertentu lebih menyukai peptida sebagai sumber N. Kemampuan untuk menggunakan asam amino atau peptida dapat mengurangi kebutuhan energi (Zinn dan Owen 1988). Sebagian besar pencernaan dan penyerapan protein pascarumen, prosesnya sama dengan ternak nonruminansia.
Ruminansia memiliki pH lambung dan
duodenum yang lebih rendah sehingga dapat meningkatkan pencernaan protein. Semua protein larut oleh pepsin dan HCl dalam lambung, kemudian dicerna dalam usus halus. Pencernaan dan penyerapan lemak Lemak adalah semua bahan yang dapat diekstrak dengan pelarut lemak seperti ether, kloroform, benzene, karbon tetrakloroid, dan aseton.
Sebagian
lemak merupakan sumber energi bagi sel, sebagian lain adalah komponen struktural bagi komponen sel dan membran, serta sebagai prekursor hormon. Lemak dapat diklasifikasikan sebagai lemak sederhana, lemak kompleks dan turunan lemak. Lemak sederhana meliputi asam lemak, lemak netral (mono, di dan triasil gliserol), dan wax (ester dari asam lemak dengan alkohol tinggi; yang terdiri atas sterol ester seperti ester kolesterol dengan asam lemak dan ester nonsterol seperti ester vitmin A). Lemak kompleks terdiri atas asam fosfolipid (lesitin dan sefalin), plasmalogen, spingomielin; glikolipid (mengandung karbohidrat); lipoprotein (lemak dengan kombinasi dengan protein). Turunan lemak, alkohol-alkohol seperti sterol dan hidrokarbon (Pike dan Brown, 1984).
26
Rumen memodifikasi lemak dalam beberapa cara. Asam lemak ditemukan dalam bentuk yang sudah diesterifikasi dalam pakan konvensional, dan mikrob rumen menghidrolisis triasil gliserol ke dalam bentuk asam lemak bebas dan gliserol atau komponen lain, bergantung pada bentuk lemak pakan. Setelah proses lipolisis terjadi proses biohidrogenasi.
Karena proses biohidrogenasi
bergantung pada kehadiran karboksil bebas, lipolisis adalah obligator pertama dalam modifikasi lemak yang diesterifikasi dalam pakan. Tidak semua bakteri mampu melakukan lipolisis,
dan protozoa tidak memiliki aktivitas lipolitik.
Fraksi pakan yang mengalami lipolisis dan biohidrogenasi lebih rendah pada pakan biji-bijian, dengan demikian
lebih banyak yang lewat ke lambung.
Meskipun terjadi dengan cepat, lipolisis tetap dibatasi untuk mencegah kelebihan asam-asam lemak polyunsaturated bebas yang mengganggu pencernaan serat dan menghambat proses biohidrogenasi. Proses hidrolisis bergantung pada bentuk alami lemak pakan. Minyak tumbuhan seperti linseed oil dihidrolisis lebih sempurna (lebih 90%), sementara minyak ikan kurang dari 50% (Byers dan Schelling 1988). Proses biohidrogenasi terjadi dalam rumen dan dilakukan oleh mikrob. Proses ini menghasilkan penambahan H+ pada asam-asam lemak ikatan rangkap. Biohidrogenasi asam lemak tidak jenuh terjadi melalui mekanisme penting, yaitu pemindahan atom H+ oleh mikrob. Jika proses tersebut sempurna maka semua ikatan rangkap dikonversi menjadi ikatan satu dan asam lemak menjadi jenuh (saturated).
Hampir semua asam lemak tidak jenuh tanaman terdapat dalam
bentuk konfigurasi cis sehingga depot lemak pada ternak nonruminansia semuanya dalam bentuk cis. Mikrob rumen menghasilkan isomer-isomer trans, perubahan panjang rantai, perubahan posisi ikatan rangkap, dan asam lemak rantai bercabang. Semua proses ini menghasilkan depot
lemak yang unik
pada
ruminansia yang berbeda dari lemak pakan (Byers dan Schelling 1988). Penelitian dengan kultur murni menunjukkan bahwa individu spesies bakteri
biasanya tidak menjenuhkan banyak ikatan rangkap tetapi akan
menghidrogenasi satu ikatan rangkap seperti: C18:3 menjadi C18:2; C18:2 menjadi C18:1 atau C18:1 menjadi C18:0. Penelitian dengan kultur campuran biasanya menghasilkan penjenuhan yang sempurna (Byers dan Schelling 1988). Asam
27
lemak tidak jenuh C18 dihidrolisis melalui proses lipolisis kemudian dihidrogenasi oleh bakteri yang berbeda. Produk akhir dari asam lemak ikatan rangkap ganda C18 adalah asam stearat.
Meskipun banyak posisi dan isomer-isomer dari
monoenoik dan dieonoik, asam lemak berakumulasi dalam rumen khususnya jika rumen kelebihan lemak. Di antara itu jumlah trans-vaccenic acid (C18:1 n=7) sangat penting. Hidrogenasi PUFA C20-22 masih kontroversial. Menurut Ashes et al. (1992) dan Palmquist dan Kinsey (1994) tidak terjadi biohidrogenasi pada rumen yang ditambahkan minyak ikan dengan konsentrasi 5 mg ml-1 in vitro, namun Van Nevel dan Demeyer et al. (1995) melaporkan proses hidrogenasi in vitro maupun in vivo dan Gulati et al. (1999)
menunjukkan
adanya
biohidrogenasi saat level minyak ikan < 2 mg ml-1 cairan rumen. Penambahan lemak menurunkan konsentrasi protozoa. Penurunan ini bergantung pada sumber lemak. Linseed oil sangat kuat menurunkan protozoa (Ikwuegbu dan Sutton 1982). Lemak lain yang kaya PUFA seperti minyak kedelai mengurangi protozoa lebih sedikit (Doreau et al. 1997). Asam linolenat memiliki daya toksisitas tinggi (Doreau et al. 1997). Lemak yang masuk ke dalam usus halus kebanyakan dalam bentuk asam lemak bebas, asam lemak jenuh dan ikatan tidak berion sebagai kompleks yang tidak larut. Asam lemak rantai pendek (
Mono dan diasil
gliserol masuk ke dalam sel epitel dari brush border usus halus. Selanjutnya membentuk triasil gliserol kembali. Untuk masuk ke dalam aliran darah maka triasil gliserol bersama dengan fosfolipid, protein dan asam-asam lemak membentuk kilomikron. Kilomikron diangkut melalui sirkulasi limfatik menuju aliran vena portal.
Kilomikron plasma selanjutnya dibawa ke hati, jaringan
adiopose atau target jaringan lain seperti kelenjar ambing (Collier 1985).
28
Kebutuhan dan Peranan Mineral pada Ternak Zink (Zn) Lebih dari 100 tahun yang lalu, Zn telah diketahui penting untuk pertumbuhan jamur Aspergillus niger. Selanjutnya pada tahun 1934, Zn pertama kali diketahui sebagai nutrien esensial pada tikus. Pada tahun 1940 Keilin dan Mann mengisolasi dan memurnikan enzim karbonik anhidrase yang mengandung 0.33% Zn (McDowell 1992). Konsentrasi Zn pada kebanyakan jaringan mamalia adalah sekitar 10-100µg g-1 bobot basah (30 sampai 250µg g-1 berat kering), dengan variasi kecil untuk setiap spesies. Konsentrasi tertinggi ditemukan dalam jaringan seperti kulit, rambut, bulu, dan wool (McDowell 1992), sedangkan menurut Georgievskii (1982) konsentrasi tertinggi terdapat dalam tulang, hati, kulit, dan rambut. Di samping itu, Zn juga terdapat dalam pankreas, ginjal, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal, testes, kelenjar asesoris kelamin jantan, dan mukosa dengan konsentrasi relatif lebih tinggi. Serapan utama Zn adalah tulang (15%), otot (45%), dan wool (27%).
Penyerapan kembali dari tulang
kemungkinan terjadi selama masa laktasi pada ternak (Lee et al. 1999). Kandungan total Zn pada jaringan dan organ sapi berada di bawah kontrol mekanisme homeostasis. Kadarnya berkurang sedikit jika ransum defisien Zn. Kandungan Zn hati, pankreas, dan tulang berkurang 30 sampai 60% ketika gejala defisiensi klinis sudah mulai tampak.
Konsumsi Zn melebihi 600 ppm
meningkatkan kandungan Zn jaringan, yang mengindikasikan kegagalan mekanisme kontrol homeostasis pada level tinggi (Miller et al. 1988). Secara umum Zn dalam tubuh berikatan dengan protein dan jaringan tulang rangka, dan hanya sedikit yang berikatan dengan lemak (Georgievskii 1982). Darah ruminansia mengandung kira-kira 2 mg l-1 yang setengahnya berada dalam serum atau plasma.
Suplementasi Zn memiliki pengaruh yang kecil
walaupun level konsumsi sangat ekstrim tinggi (300 mg kg-1 atau lebih).
Dari
total Zn dalam plasma domba, 66% berikatan dengan albumin, 22% berikatan dengan α-2 makroglobulin, 12% tidak terikat dan diasumsikan Zn tersebut tersedia untuk aktivitas fisiologi. Selama defisien, ikatan Zn mungkin berkurang 50% dalam albumin dan 83% dalam α2 makroglobulin (Miller et al. 1988). Kadar Zn susu adalah 4 mg l-1 susu. Zink kolostrum mengandung 3 sampai 4 kali lebih
29
tinggi dibandingkan Zn susu. Konsentrasi Zn susu meningkat dengan tingginya Zn pakan dan menurun jika konsumsi Zn rendah. Kebanyakan dari Zn dalam susu sapi berikatan dengan fraksi protein dengan berat molekul tinggi (Miller et al. 1988). Kadar Zn normal susu adalah 3 sampai 5 mg l-1. Kadar Zn kolostrum mencapai 14 mg l-1 (Underwood dan Suttle 2001). Lebih dari 200 enzim merupakan metaloenzim Zn. Peranan utama Zn dalam tubuh ternak berhubungan dengan fungsi enzim. Enzim-enzim tersebut antara
lain
adalah
karbonat
anhidrase,
alkohol
dehidrogenase,
dehidrogenase, glutamat dehidrogenase, dan alkaline fosfatase.
laktat
Superoksida
dismutase mengandung Cu-Zn, Zn berperan dalam perlindungan jaringan melawan peroksidase lemak.
Peranan Zn juga dikaitkan dengan sintesis DNA,
RNA, protein, ekspresi potensi gen, pembelahan, pertumbuhan, dan perbaikan sel. Di samping itu Zn juga berperan dalam stabilisasi membran, sistem kekebalan sel, kerja insulin, glukagon, kortikotropin, dan hormon lainnya.
Kerja follicle
stimulating dan lutenizing hormones meningkat oleh Zn dan berperan dalam keratinisasi dan kalsifikasi (Miller et al. 1988). Little (1986) melaporkan bahwa kandungan Zn pada pakan ruminansia berkisar antara 20 dan 38 mg kg-1 bahan kering. Padahal kebutuhan Zn bagi ternak ruminansia adalah 40 ppm untuk sapi perah, 20 sampai 30 ppm untuk pertumbuhan dan finishing sapi, dan 35 sampai 50 untuk domba (NRC 1980). Pada sapi laktasi produksi tinggi (35 kg) membutuhkan 73 mg kg-1 Zn (NRC 2001). Kandungan Zn bakteri rumen 130 sampai 220 ppm, merupakan kebutuhan Zn mikrob rumen (Hungate 1966). Efektivitas Zn dalam meningkatkan kinerja produksi terlihat dalam percobaan pada sapi Bali (Putra 1999). Suplementasi ransum dengan 50 mg kg-1 Zn-asetat (35.6% Zn) mampu meningkatkan laju sintesis protein mikrob rumen pada sapi bunting (17.6 vs 20.8 mg l-1jam-1), meningkatkan bobot lahir pedet (17.8 vs 19.5 kg), dan produksi susu (4% FCM) selama 25 minggu pertama laktasi (1126 vs 1676 g hr-1). Suplementasi mineral Zn (ZnSO4.7H2O) 60 ppm dapat meningkatkan total produksi susu pada kambing Peranakan Etawah selama lima
30
bulan (90.1 kg) (Adriani 2003). Suplementasi Zn(Lys)2 pada sapi dara dengan ransum limbah industri dapat memacu pertumbuhannya yaitu 1.24 kg hr-1 (Tanuwiria 2004). Gejala awal defisiensi Zn pada sapi adalah penurunan konsumsi pakan, pertumbuhan bobot badan rendah, dan kelebihan salivasi. Efek lainnya adalah penggunaan nutrien setelah pencernaan rendah, di antaranya keseimbangan nitrogen dan sulfur rendah. Peningkatan ekskresi Zn dalam urin yang mengindikasikan penurunan penggunaan protein dan
parakeratosis kulit
(McDowell 1992). Penyerapan Zn pada ternak ruminansia merupakan proses dinamis yang dipengaruhi oleh faktor pakan dan fisiologi. Persentase penyerapan meningkat apabila konsumsi Zn menurun dan akan berkurang jika konsumsi tinggi. Persentase penyerapan Zn lebih tinggi pada sapi muda dari pada yang tua, hal ini mungkin menunjukkan deposisi Zn dalam jumlah besar pada jaringan tubuh. Kemampuan penyerapan akan berkurang dengan meningkatnya umur (Miller et al. 1988). Sifat antagonis mineral Ca dan fitat serta EDTA (ethylenediamine tetraacetic acid) terhadap penggunaan Zn pada babi dan unggas, tidak menjadi masalah pada ruminansia. Kandungan Zn serum darah, rib, hati, otak, dan wool domba tidak dipengaruhi oleh level Ca pakan 1 sampai 4% bahan kering. Penyerapan Zn menurun jika Cu, Cd pakan tinggi karena Cu atau Cd dapat menggantikan ikatan Zn pada metalotionin (Church 1988). Sementara itu kasein, ekstrak hati, minyak jagung, tepung darah, EDTA, vitamin D, sitrat, pikolinat, dan asam amino (histidina, glutamina, sisteina) meningkatkan penyerapan Zn (McDowell 1992). Usus halus merupakan tempat utama penyerapan dan ekskresi Zn pada ruminansia.
Penyerapan Zn
membutuhkan kondisi aerob.
Pankreas
menyekresikan suatu ligand (asam pikolinat) masuk ke dalam duodenum mengikat Zn. Ligand-Zn kompleks diangkut ke dalam sel epitel (Miller et al. 1988). Setelah masuk ke dalam enterosit Zn diikat oleh CRIP (cysteine-rich intestinal protein) kemudian ditransfer kembali ke metalotionin ke ujung serosa atau enterosit untuk diikat oleh albumin untuk digunakan (Gambar 1).
31
Zink dalam plasma terdiri atas 77% terikat longgar dengan albumin, 20% terikat kuat dengan α-2 makroglobulin, dan 2 sampai 8% bebas yang akan dikeluarkan melalui urin (0.5 sampai 0.8 mg hr-1) atau feses (Berdanier 1998). Penyerapan Zn dipengaruhi oleh kolekalsiferol, leukosit endogenus, prostaglandin E2. Metalotionin dalam mukosa sel berperan dalam mengontrol ketersediaan jumlah Zn untuk diangkut ke dalam sistem sirkulasi (Miller et al. 1988) Suplementasi mineral organik terutama mineral kompleks atau khelate dengan asam amino atau peptida dapat meningkatkan penyerapan dan penggunaan Zn (Lee et al. 1999). Mineral diikat oleh karboksil dan kelompok amino dari asam amino tersebut. Mineral tersebut dipercaya dapat melindungi asam amino dari perombakan dalam rumen dan juga menyediakan mineral pada ternak dalam bentuk organik (Lee at al. 1999). Beberapa penelitian menunjukkan ketersediaan biologis Zn organik dibandingkan bentuk anorganik, termasuk ZnO dan ZnSO4 (Spears 1989; Wedekind et al. 1992). Mineral proteinat dimanfaatkan oleh ternak mengikuti jalur penyerapan peptida atau asam amino (Close 2000).
Usus
Serosa
Mukosa
Plasma
NSBP CRIP Zn++
Zn++ - albumin
Zn++ albumin
CRIP - Zn
MTI - Zn
Zn++
MTI - Zn
Zn++ CRIP
NSBP = MTI = CRIP =
Non Specific Binding Protein Metallothionin CrysteineCrysteine-Rich Intestinal Protein
Gambar 1. Penyerapan Zn di usus (Berdainier 1998).
32
Tembaga (Cu) Pada Tahun 1928 Cu pertama kali ditemukan sebagai mineral esensial bagi pembentukan hemoglobin tikus. Penemuan tersebut diikuti dengan kejadian bahwa Cu esensial bagi pertumbuhan dan pencegahan gangguan fisiologi dan klinis pada semua tipe ternak yang digembalakan. Pada tahun 1931, pertama kali ditemukan Cu sebagai mineral esensial bagi ternak ruminansia. Pada saat itu, ternak memperlihatkan gejala defisiensi Cu seperti anemia, diare, dan hilangnya nafsu makan, dan keadaan ternak kembali membaik setelah terapi Cu (McDowell 1992). Konsentrasi Cu dalam jaringan hati, otak, ginjal, jantung, rambut atau wool pada hampir semua spesies adalah tinggi. Pankreas, otot kulit, dan tulang memiliki konsentrasi yang lebih rendah. Kandungan terendah terdapat dalam tiroid, pituitari, prostat dan timus. Jaringan ternak ruminansia yang dianalisis menunjukkan hati memiliki konsentrasi Cu terbesar sekitar 100 sampai 600 ppm bahan kering pada ternak dewasa normal. Kadar tersebut bisa menurun hingga di bawah 10 ppm jika defisiensi Cu, dan lebih 600 ppm jika kelebihan (Miller et al. 1988). Tembaga dalam plasma atau darah utuh domba mendekati 100 µg dl-1 tetapi dapat meningkat sampai 165 µg dl-1 jika Cu, Mo dan S pakan tinggi (Miller et al. 1988).
Konsentrasi Cu susu sapi dan kambing adalah 0.15 mg l-1
(Underwood dan Suttle 2001). Tembaga merupakan bagian dari beberapa enzim. Tembaga esensial bagi reproduksi, perkembangan tulang, pertumbuhan, perkembangan jaringan organ, dan pigmentasi kulit (Underwood dan Suttle 2001). Tembaga penting dalam fungsi biokimia dalam tubuh ternak. Beberapa enzim yang terkait dengan Cu adalah (1) seruloplasmin yang berfungsi untuk meningkatkan penyerapan dan transpor Fe (membantu inkorporasi Fe ke dalam protein, ferritin)
untuk
pembentukan hemoglobin (Saenko et al. 1994), (2) sitokrom oksidase untuk transfer elektron selama proses respirasi, (3) dopamin-β- monooksigenase untuk metabolisme katekolamin, (4) lisil oksidase berfungsi dalam pembentukan ikatan silang desmosin sebagai penghubung antara jaringan, (5) peptidiglisin amidating monooksigenase yang berperan dalam elaborasi beberapa molekul biogenik
33
seperti gastrin, (6) Cu-Zn superoksida dismutase (Cu-ZnSOD) berperan dalam dismutasi O2 dan H2O2, dan (7) tirosinase untuk mengubah tiroksin menjadi melanin. Fungsi lain mineral Cu adalah sebagai komponen ikatan nukleotida adenin pada membran mitokondria, erythrocuprein yang berfungsi melindungi sel dari radikal bebas yang sangat reaktif akibat metabolisme sel, dan cerobrocuprein yaitu protein larut air (0.33% Cu) juga sebagai superoksida dismutase (Church 1988). Tembaga esensial bagi sistem kekebalan normal ternak ruminansia (Suttle dan Jones 1986). Mineral-mineral Fe, Mo, S, Zn, Pb dan Cd mempengaruhi kebutuhan mineral Cu, demikian pula dengan protein (McDowell 1992).
Perkiraan
kebutuhan Cu bergantung pada level minimum mineral antagonisnya. Level Zn dan Fe yang tinggi akan menurunkan penyerapan mineral Cu dan cenderung meningkatkan kebutuhan Cu (Underwood 1977).
Kebutuhan Cu pada ternak
ruminansia berkisar mulai dari 8 sampai 10 ppm (Underwood 1977). Kebutuhan Cu pada sapi perah adalah 10 ppm (NRC 1989).
Kandungan
Cu
hijauan
kurang dari 3 ppm bahan kering, sehingga sering terjadi defisiensi Cu pada ternak yang digembalakan, oleh karena itu suplementasi Cu harus dilakukan (Miller et al. 1988).
Defisiensi Cu pada ternak ruminansia menghasilkan gejala yang
bergantung pada spesies, umur, dan jenis kelamin serta kualitas dan lama defisiensinya. Penyerapan Cu terjadi di usus halus.
Status Cu mempengaruhi
penyerapan, jika kebutuhan besar maka penyerapan tinggi. Jumlah yang diserap juga bergantung pada pakan yang dikonsumsi dan mineral-mineral divalen. Efisiensi penyerapan Cu rendah, dengan rataan 12% dari konsumsi dan tidak dipengaruhi oleh fitat. Mineral Cu yang tidak diserap dikeluarkan dalam feses, urin, dan juga pada kulit dan rambut. Persentase yang hilang melalui urin, feses, kulit dan rambut antara 12 dan 43% dari konsumsi (Berdanier 1998). Pada ternak ruminansia eksresi Cu dalam feses mencapai 80 sampai 92% dan urin 1 sampai 3%. Ketersediaan Cu diperkirakan hanya mencapai 4 sampai 11% (Miller et al. 1988).
34
Mineral Cu dapat diserap dalam semua segmen saluran pencernaan, walaupun tempat penyerapan utama berada di usus halus. Tembaga diserap oleh enterosit, Cu diikat baik oleh albumin atau transkuprein serta asam amino tertentu khususnya histidina. Transkuprein berkompetisi dengan albumin mengikat Cu dalam usus halus. Waktu paruh ikatan albumin dan Cu adalah 10 menit. Tembaga dikirim ke hati dan berinkorporasi ke dalam protein transpor α-globulin disebut seruloplasmin.
Seruloplasmin membawa enam atom Cu dan diperkirakan 60
sampai 95% Cu plasma diangkut oleh protein ini. Namun seruloplasmin tidak hanya berguna untuk mengangkut Cu ke semua bagian tubuh tapi juga memiliki aktivitas enzim seperti ferroksidase, amida oksidase, dan superoksida dismutase (Berdanier 1998). Ikatan metalotionin dalam mukosa usus mempunyai arti penting dalam menghambat translokasi Cu (Cousins 1985). Pengangkutan Cu dalam darah sebagian besar melalui pengikatan dengan albumin.
Suplemen Cu dapat
disediakan dalam bentuk Cu-sulfat, Cu-oksit, Cu-karbonat, Cu-klorit, Cu-khelat, dan Cu-proteinat. Cu-sulfat dan Cu-oksit adalah bentuk umum yang paling sering digunakan. Cu-oksit lebih tidak efektif dan tidak tersedia dari pada Cu-sulfat (Cromwell et al. 1989). Suplementasi Cu dengan ketersediaan biologis tertinggi hingga terendah adalah CuSO4, CuCO3, CuO. Ketersediaan biologis Cu-proteinat lebih besar dari Cu-sulfat pada sapi yang diberi pakan mengandung Mo (Kincaid et al. 1986). Toleransi spesies terhadap toksisitas Cu berbeda.
Ternak ruminansia
sangat sensitif terhadap toksisitas Cu, nonruminansia sangat toleran terhadap Cu. Perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan dalam metabolisme S. Sapi toleran hingga level 100 ppm Cu, untuk domba 25 ppm (NRC 1980). Toksisitas Cu terjadi pada ruminansia, tapi tidak pada nonrumiansia. Toksisitas Cu terjadi pada kondisi penggembalaan, Cu tinggi namum rendah Mo dan S (0.1 sampai 0.2 ppm). Konsentrasi Zn pakan yang tinggi mencegah toksisitas Cu. Kandungan 100 ppm Zn bahan kering pakan mengurangi penyimpanan Cu hati (Pope 1971) Suplementasi Cu 20 ppm di dalam ransum sapi pejantan fase finishing menurunkan kadar LDL dan HDL. Sementara kadar triasil gliserol dan NEFA tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cu (Engle et al. 2000). Level Cu 125 dan
35
250 ppm tidak mempengaruhi asam lemak jenuh serum babi. Minyak kedelai dan minyak hewan menurunkan asam lemak jenuh serum.
Lemak rantai sedang
(medium chain triglycerides=MCT) tidak mempengaruhi asam lemak jenuh dibandingkan dengan kontrol (tanpa suplementasi lemak). Ada interaksi antara Cu dan lemak, peningkatan level Cu meningkatkan monounsaturated fatty acid dan menurunkan polyunsaturated fatty acid dengan pemberian 5% triasil gliserol rantai sedang, dan kebalikan pada saat babi diberi pakan tanpa lemak. Penambahan Cu 125 dan 250 ppm tidak mempengaruhi monounsaturated dan polyunsaturated fatty acid serum yang diberi minyak kedelai dan minyak hewan. Namun minyak kedelai menghasilkan monounsaturated yang paling rendah dan polyunsaturated tertinggi di serum, dan MCT
dan minyak hewan tidak
mempengaruhi monounsaturated dan polyunsaturated serum babi (Dove 1993). Profil asam lemak fosfolipid membran dipengaruhi oleh ransum (cukup dan defisien Cu). Asam lemak stearat (C18:0), docosahexaenoic acid (C22:6n-3) dan docosadienoic acid (C22:2n-3) meningkat pada ransum yang defisien Cu, dan di sisi lain asam linolenat (C18:3n-3) dan oleat (C18:1n-9) menurun. Polyunsaturated fatty acid menurun pada tikus yang mendapat ransum defisien Cu dibandingkan dengan ransum yang cukup Cu. Namun asam lemak dengan C22:6 tidak dipengaruhi oleh ransum (Abu Salah 1991). Kromium (Cr) Kromium adalah mineral esensial yang penting dalam metabolisme glukosa, protein, dan lemak pada jaringan hewan.
Kromium juga diketahui
berperan dalam regulasi kolesterol dalam darah. Kromium merupakan bagian penting dari glucose tolerance factor (GTF) yang bertanggung jawab pada pengaturan level glukosa dalam darah. Level glukosa darah dan homeostasisnya berhubungan dengan sintesis lemak dan protein khususnya pada ternak ruminansia (Ohh dan Lee 2005).
Glucose tolerance factor adalah komponen Cr3+ yang
berikatan dengan asam nikotinat, glisina, asam glutamat dan sisteina dan memiliki aktivitas biologis jauh lebih besar dari sumber Cr anorganik (McDowell 1992). Selain berperan dalam metabolisme karbohidrat, kromium juga mempunyai peranan dalam sintesis protein khususnya inkorporasi asam amino. Asam amino
36
yang dipengaruhi oleh kromium di antaranya adalah glisina, serina, dan metionina. Kromium berperan dalam kofaktor untuk insulin dalam metabolisme asam amino yang berbeda dengan insulin penggunaan glukosa (Anderson 1987). Kebutuhan kromium pada manusia relatif lebih diketahui dibanding pada ternak. Konsentrasi kromium dalam jaringan dan organ, kecuali paru-paru, menurun dengan bertambahnya umur. Konsentrasi kromium jaringan pada bayi lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa (Anderson 1987). Kebutuhan kromium cenderung meningkat pada kondisi stress. Kromium diserap terutama pada usus halus. Bentuk anorganik dari kromium seperti kromium klorit dan kromium oksit sangat sedikit diserap sekitar 0.5%.
Rendahnya penyerapan
kromium disebabkan pembentukan senyawa yang tidak larut dan adanya ikatan antara kromium bebas dengan agen kompleks dalam pakan ternak.
Di samping
itu penyerapan Cr dihambat oleh mineral lain seperti Zn dan Fe. Sekali Cr masuk dalam darah dan diangkut ke jaringan, akan diikat sebagai komponen dari GTF. Setelah itu dapat diakumulasi dalam jaringan pada konsentrasi relatif rendah. Kromium dikeluarkan terutama dalam urin dan sebagian pada rambut, keringat, dan empedu. Pada kondisi stress jumlah kromium yang dikeluarkan meningkat 10 sampai 300 kali (Ohh dan Lee 2005). Kromium membentuk kompleks antara insulin dan reseptor insulin yang memasilitasi interaksi jaringan dan insulin (Mertz et al. 1974).
Ruminansia
menggunakan asetat dari pada glukosa sebagai sumber karbon untuk lipogenesis dan hal ini perlu sensitifitas insulin (Gardner et al. 1998). Suplementasi 1 mg. kg1
Cr (khelate dengan asam amino) pada domba dewasa meningkatkan 30% potensi
glukosa untuk digunakan dalam sintesis lemak melalui peningkatan aktivitas ATP-sitrat liase. Penelitian lain menunjukkan penambahan Cr 5 mg kg-1 (khelate dengan asam amino) bahan kering terhadap pakan alami yang mengandung 0.8 sampai 1.6 mg kg-1 bahan kering meningkatkan produksi susu (Yang et al. 1996). Chang dan Mowat (1992) melaporkan bahwa suplementasi Cr dalam bentuk GTF meningkatkan efisiensi pakan pada sapi stress. Gentry et al. (1999) mengamati interaksi antara mineral Cr dan protein pada domba. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pada fase awal penelitian dari minggu 0 hingga minggu kelima terdapat interaksi antara mineral Cr dan
37
protein terhadap pertumbuhan, konsumsi dan rasio pertumbuhan terhadap konsumsi. Kromium meningkatkan ketiga variabel tersebut pada domba yang diberi ransum tinggi protein dan menurunkan ketiga komponen tersebut pada domba yang mendapat ransum rendah protein. Pada fase kedua yaitu minggu keenam hingga 12 tidak mempengaruhi pertumbuhan, konsumsi dan rasio pertumbuhan terhadap konsumsi. Kromium juga berperan dalam membangun sistem kekebalan tubuh dan konversi hormon tiroksin (T4) menjadi triodotironin (T3) (Burton 1995). Kromium juga berpengaruh pada pembentukan sistem kekebalan humoral (HI) maupun kekebalan yang diperantarai sel (CMI). Dalam HI suplemen kromium meningkatkan produksi antibodi atau immunoglobulin (Igs), sedangkan suplementasi kromium
meningkatkan respons blastogenik (blastogenesis
limfosit) terhadap immunostimulan
(Spears 1999).
Produksi antibodi akan
meningkat akibat penurunan konsentrasi kortisol. Hormon ini berperan dalam peningkatan glukoneogenesis pada saat ternak stress. Proses glukoneogenesis akan menekan sintesis protein dalam hati sehingga sintesis antibodi juga menurun (Sohn et al. 2000). Kebutuhan Cr pada ternak belum diketahui dengan pasti. Suplementasi mineral organik (Cr-Rhizopus sp.) dan anorganik (CrCl3.6H2O) 1, 2, 3 dan 4 ppm in vitro menunjukkan bahwa Cr organik 1 ppm menghasilkan kecernaan bahan organik tertinggi (34.7%), dan produksi VFA serta NH3 adalah 86 mM, dan 11.01 mM. Sedangkan suplementasi mineral Cr anorganik, kecernaan bahan organik tertinggi pada suplementasi 4 ppm (33.2%), VFA (87 mM) dan NH3 (10.13 mM). Hasil ini memperlihatkan bahwa penggunaan mineral kromium organik lebih efisien dibandingkan kromium anorganik (Jayanegara 2003). Suplementasi kromium organik 1.9 ppm
dalam ransum mengandung
hidrolisat bulu ayam dapat meningkatkan produksi, laktosa, protein, dan lemak susu secara berturut-turut sebesar 17.3%, 19.0%, 27.6 dan 31.8% (Muktiani 2002). Meskipun kebutuhan kromium relatif sangat kecil namun toleransi terhadap mineral ini cukup tinggi. Oleh karena itu toksisitas kromium jarang terjadi. Klorit dan kromat dapat ditolerir hingga 1000 mg kg-1 bahan kering oleh
38
ternak. Konsentrasi normal dalam jaringan adalah rendah yaitu kurang dari 0.1 mg kg-1 bobot segar, namun akan menjadi kelebihan jika kromium lebih dari 10 mg kg-1 (Puls 1994). Starich dan Blincoe (1983) menyatakan bahwa kromium organik dapat diserap 20 sampai 30 kali lebih efisien dari sumber anorganik. Senyawa kromium seperti (Cr2O3) telah lama dikenal sebagai marker untuk mengetahui konsumsi pakan, kecernaan nutrien dan mineral yang dikeluarkan. Kromium ini hampir semua dikeluarkan dalam feses.
Penggunaan Cr-EDTA (Cr-ethylenediamine
tetraacetic acid) sebagai marker menunjukkan khelate mineral tidak cukup meningkatkan penyerapan dan ketersediannya (Downes dan McDonald 1964). Salah satu alasan penggunaan kromium sebagai marker dalam pakan ruminansia adalah penyerapannnya yang sangat sedikit.
Namun penggunaan kromium
organik mungkin berbeda karena dapat diserap dengan baik.
Peningkatan
-1
konsentrasi kromium pakan dari 2.6 sampai 62.5µg kg bahan kering dengan kromium pikolinat (CrP) meningkatkan kromium hati 50% tetapi tidak mempengaruhi otot domba (Olsen et al. 1996). Selen (Se) Selen pertama kali ditemukan dan dinamakan oleh J.J. Berzelius pada tahun 1818. Selen terdapat di alam dalam berbagai bentuk dan warna serta sering ditemukan dalam kombinasi dengan mineral Pb, Cu, Hg dan Ag. Kombinasi ini disebut selenit. Secara kimia sangat mirip dengan sulfur. Selen mempunyai tiga valensi yaitu Se2+, Se4+, dan Se6+, dan bisa berada dalam bentuk selenit dan selenat.
Selen dapat bereaksi dengan sulfur dan oksigen membentuk
selenmetionina, selensistina, metilselensisteina dan dimetilselenit, dan senyawasenyawa ini mudah menguap (Berdanier 1998). Saat ini diketahui selen dan vitamin E berperan dalam detoksifikasi peroksida dan radikal-radikal bebas (Berdanier 1998). Pada ruminansia ginjal memiliki konsentrasi Se tertinggi yang diikuti oleh hati dan jaringan kelenjar (Miller et al. 1988). Konsentrasi Se jaringan bervariasi sesuai dengan bentuk kimia Se dalam pakan. Selen plasma sapi perah yang diberi pakan rendah Se (32 ppb) meningkat secara linier dengan suplementasi Se 25
39
sampai 75 ppb tetapi level tersebut hanya bertahan kurang dari 20 sampai 40 hari. Kandungan Se susu akan meningkat dari 10 sampai 37 µg l-1jika Se pakan ditingkatkan dari 47 sampai 770 ppb, akan tetapi respons ini tidak linier karena terjadi penurunan kandungan Se susu bila konsumsi Se meningkat (Miller et al. 1988).
Level Se darah bervariasi bergantung pada konsumsi pakan dan
kemungkinan faktor lain. Mayoritas Se plasma dan eritrosit domba berikatan dengan selenoenzim glutation peroxidase (GSH-Px). Selen adalah komponen esensial dari GSH-Px.
Glutation peroxidase
mengkatalis pengurangan berbagai macam peroksida seperti hidrogen peroksida. Vitamin E berperan dalam penekanan produksi radikal bebas (Berdanier 1998). Sedangkan GSH-Px menghancurkan peroksida sebelum sampai di membran sel. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa vitamin E dan selen bekerja sinergis (Awad et al. 1994; Levander et al. 1995). Beberapa enzim yang terkait dengan fungsi mineral selen adalah cytosolic glutathione peroxidase, phospholipid hydroperoxide glutathione peroxidase, gastrointestinal glutathione peroxidase, extracellular glutathione peroxidase, selenoprotein W, selenoprotein P, iodothyronine deiodinase, dan sperm capsule seleprotein. Cytosolic peroxidase, GPX1, banyak terdapat di sel darah merah, hati dan ginjal. Cytosolic peroxidase memproteksi sel darah merah atau jaringan dari serangan peroksida selama defisien selen, sehingga GPX1 ini berperan dalam penyimpanan selenoprotein (Berdanier 1998). Ternak dapat bertahan hidup tanpa gen GPX1 sehingga enzim ini tidak esensial (Cheng et al. 1997). Gastrointestinal peroxidase (GPX2) terutama ditemukan dalam saluran pencernaan dan melindungi mukosa usus dari hidroperoksida pakan (Chu et al. 1993; Berdanier 1998). Plasma atau extracelluler peroxidase (GPX3) terutama terdapat di ginjal, paru-paru, payudara dan plasenta. Peroksidase ini berperan sebagai antioksidan pada
jaringan
ekstraseluler.
Phospholipid
hidrogenperoxide
glutathione
peroxidase (GPX4) banyak terdapat dalam testes, berperan sebagai antioksidan intraseluler (Berdanier 1998). Deiodinase mengubah T4 (tetraiodothyronine) ke bentuk aktif T3 (triiodothyronine). Deiodinase berada terutama di hati dan ginjal. Thioredoxin reductase (TRR), dalam beberapa jaringan sebagai GPX1 dan sebagai selenoprotein memberikan kontribusi besar pada konsentrasi selen sel.
40
Sistem TRR mempengaruhi aktivitas glutathion transferase (GST) walaupun GST tidak mengandung selen (Underwood dan Suttle 2001). Selenoprotein (Sel-P) memiliki potensi mengikat logam berat seperti Cd, Hg (Hill 1972) dan Pb (Rastocci et al. 1970). Kebutuhan minimal Se pakan untuk ternak belum dapat ditentukan secara akurat. Namun kemungkinan kebutuhan Se untuk ternak mulai dari 0.05 sampai 0.3 ppm. Kebutuhan Se untuk sapi perah adalah 0.3 ppm (NRC 1989). Jumlah Se yang disimpan dalam jaringan tubuh tinggi, jika konsumsi pakan cukup atau tinggi.
Oleh karena itu, untuk menentukan kebutuhan Se ternak harus
memperhatikan sejarah konsumsi Se, jika konsumsi tinggi maka kebutuhan minimal harus rendah. Penyerapan Se terutama terjadi antara duodenum dan ileum serta dikeluarkan dalam duodenum. Jumlah Se yang dikeluarkan melalui empedu kecil, rata-rata kurang dari 2% dosis Se intravena. Pada ruminansia, Se dikeluarkan terutama dalam feses, dan pada nonruminansia dalam urin. Pola penyerapan dan retensi Se pada sapi perah yang diberi Se pakan dengan level 50 sampai 260 ppb adalah linier, tetapi retensi Se pada sapi menjadi mengikuti pola terbalik jika pakan mengandung Se 300 sampai 1300 ppb (Miller et al. 1988). Mikrob rumen dapat menggabungkan Se ke dalam seleno asam amino tetapi Se lebih terikat kuat dalam protein mikrob dalam selenometionina dibandingkan selenit atau selenat sebagai sumber Se (Miller et al. 1988). Echevarria et al. (1988) menyatakan tidak ada efek keracunan pada domba yang diberi pakan yang mengandung 9 ppm selenit selama 30 hari.
Biosintesis Nutrien Susu pada Sapi Laktasi Kebutuhan nutrien untuk metabolisme umum dari sel sekretori dan untuk sintesis komponen susu didapatkan dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak dan diserap dari darah. Ternak membutuhkan pakan sumber karbon dan bahan produksi energi, bersama dengan mineral-mineral tertentu seperti kalsium, natrium, kalium, magnesium, klor, tembaga, kobalt, mangan, besi, zink, molibdenum, yodium, fluor, selen, dan sulfur bersama dengan vitamin larut lemak (Collier 1985).
41
Bahan utama yang diserap dari darah oleh kelenjar ambing adalah, glukosa, asam amino, asam lemak, asetat, β-hidroksibutirat (BHBA), dan komponen mineral. Glukosa adalah prekursor laktosa, asam sitrat, dan kebanyakan dari gliserol dari triasil gliserol yang disintesis dalam sel. Semua asam amino esensial dan beberapa asam amino nonesensial yang dibutuhkan dalam sintesis protein susu berasal dari darah. Semua purin dan pirimidin nukleotida yang dibutuhkan untuk sintesis DNA dan RNA dan laktosa serta fungsi sel lain disintesis dalam sel. Sumber energi untuk proses sintesis dalam sel adalah oksidasi dari glukosa dan asetat dalam siklus asam sitrat dan oksidasi fosforilatif. Biosintesis lemak susu Kandungan lemak susu menunjukkan keragaman yang besar mulai dari 1 atau 2 sampai 50%. Kandungan lemak pada susu sapi berbeda dalam satu bangsa, bergantung pakan dan lingkungan (Collier 1985). Triasil gliserol merupakan komponen utama dari lemak susu (97 sampai 98%) sisanya adalah fosfolipid serta komponen lipid kecil lainnya. Biosintesis beberapa
prekursor
asam lemak
terjadi
dalam mitokondria
khususnya
nonruminansia. Biosintesis asam lemak, gliserol, dan intermediate lainnya terjadi di sitosol dan biosintesis triasil gliserol di retikulum endoplasmik. Asam lemak yang masuk ke kelenjar ambing dari darah berasal dari lemak pakan, lemak hasil sintesis hati dan lemak yang dimobilisasi dari jaringan adiposa (Collier 1985). Ada tiga sumber asam lemak dalam triasil gliserol susu. Sumber pertama adalah glukosa melalui glikolisis menjadi asam piruvat yang masuk ke dalam siklus asam sitrat dengan bentuk asetil Co-A dan oksaloasetat dari sitrat. Asam lemak ini merupakan sumber utama pada nonruminansia, namun ruminansia tidak dapat memanfaatkan bentuk asetil Co-A dari glukosa dalam mitokondria. Sumber kedua adalah triasil gliserol dari pakan, atau dibentuk dalam rumen dan diserap oleh usus halus sebagai triasilgliserol. Kemudian dalam darah sebagai kilomikron dan LDL (low density lipoprotein), dihidrolisis pada permukaan sel/dinding kapilari dengan tambahan lipase lipoprotein, asam lemak, gliserol, monoasil gliserol dibawa ke dalam sel sekretori. Asam-asam lemak ini umumnya carbon > 14 yaitu C16 (palmitat) dan C18 (asam stearat, oleat, dan linoleat). Perkiraan
42
bahwa lebih dari 50% asam lemak susu berasal dari darah, dan sepertiga C16 dan kebanyakan asam C18. Sumber ketiga adalah asam lemak hasil sintesis dari kelenjar ambing yang berasal dari asetat dan BHBA. BHBA terutama digunakan untuk karbon empat dari asam lemak yang disintesis dalam kelenjar dan sebagian untuk asetat yang digunakan sebagai asetil Co-A untuk sintesis asam lemak. Asetat menyumbangkan semua asam lemak pendek (C4-14) dan sebagian C16 (Larson 1985). Asam lemak rantai panjang dalam tanaman umumnya dalam bentuk asam lemak tak jenuh. Kemudian diubah oleh mikrob rumen melalui hidrogenasi ikatan rangkap menjadi asam lemak jenuh. Untuk meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh susu, asam lemak tak jenuh pakan tersebut dienkapsulasi (Larson 1985). Biosintesis laktosa susu Laktosa atau gula susu, adalah karbohidrat yang ditemukan dalam susu. Pertama kali diisolasi oleh Bartolettus 1633 dan strukturnya ditemukan sebagai 4O-β-galaktopiranosil-D-glukopiranos oleh Haworth dan Long 1927 (Ebner dan Schanbacher 1974). Laktosa disusun dari satu molekul glukosa dan satu molekul galaktosa yang bersatu dalam ikatan karbon 1-4galaktosida (Larson 1985). Kadar laktosa susu sapi adalah sekitar 4.6%, yang relatif konstan dan berkaitan dengan pengaturan tekanan osmotik susu dalam pembentukan dan proses sekresi susu (Larson 1985). Tahapan pembentukan laktosa dan enzim yang bekerja dalam proses tersebut: Glukosa + ATP
(1)
Glukosa-6-fosfat + ADP
Glukosa-6-fosfat
(2)
Glukosa -1-fosfat
Uridin trifosfat + glukosa-1-P Uridin difosfat glukosa
(3) (4)
Uridin-galaktosa + glukosa-1-fosfat Laktosa-1-fosfat
Uridindifosfat-glukosa-1+1-pirofosfat Uridin difosfat-galaktosa (5)
Laktosa-1-fosfat + Uridin difosfat
Laktosa + fosfat
(1) Heksokinase (2) Fosfoglukomutase (3) Uridin difosforil glukosa pirofosforilase
43
(4) Uridin difosforil galaktosa-4-epimerase (5) Laktosa sintase (galaktosil transferase dan α-laktalbumin). Biosintesis protein susu Protein susu sebagian besar berupa kasein (α-kasein, β-kasein, γ-kasein, dan χ-kasein), β-laktoglobulin, dan α-laktalbumin.
Selain itu juga terdapat
protein-protein seperti serum albumin, immunoglobulin, enzim-enzim dan struktur fungsional lainnya yang secara kolektif menyumbangkan sistem protein kompleks dalam susu (Larson 1985). Mekanisme sintesis protein dimulai dengan transkripsi mRNA.
RNA
polimerasi yang bergantung pada DNA dan mengambil prekursor-prekursor nukleotida yaitu guanosine triphosphate (GTP), adenosine triphosphate (ATP), cytidine triphosphate (CTP) dan uridine triphosphate (UTP). menghasilkan formasi mRNA.
Proses ini
mRNA yang dibentuk membawa pesan kode
genetik. mRNA bergerak dari nukleus ke ribosom (lokasi rough endoplasmic retikulum dan cytoplasma). Proses berikutnya adalah aktivasi asam amino. Asam amino pertama diaktifkan oleh reaksi ATP dan bergabung dengan tRNA, membentuk senyawa aminoacyl-tRNA. tRNA spesifik untuk setiap asam amino dan disintesis di bawah perintah DNA. Setelah aktivasi asam amino, proses berikutnya adalah
translasi yaitu ikatan polipeptida protein disintesis dalam
kompleks ribosomal dalam proses translasi. Setiap trinukleotida dalam ikatan mRNA mengandung kode asam amino yang disebut kodon. Tempat dalam tRNA adalah nukleotida antikodon. Selanjutnya asam amino yang telah aktif diikat oleh tRNA yang mempunyai antikodon dan ditempatkan pada mRNA sesuai dengan kodonnya.
Asam-asam amino tetap terikat pada tRNA sampai terbentuk
polimerasi asam amino dan tRNA dilepas kembali ke sitoplasma (Larson 1985). Tahapan sintesis protein sebagai berikut. 1. Transkripsi GTP + ATP + CTP + UTP
DNA mRNA
44
2. Aktivasi asam amino AA + ATP + tRNA
mRNA
AA –tRNA+AMP + PP
Ribosom Kompleks tRNA
3. Translasi (AA – tRNA)n
AA1-AA2-AA3---AAn
Biosintesis dan Manfaat Conjugated Lenoleic Acid Conjugated linoleic acid memiliki aktivitas anti kanker yang ditunjukkan dalam in vitro dan ternak model.
Penemuan akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa CLA dapat melokalisasi pertumbuhan dan penyebaran sel kanker payudara pada manusia. CLA dalam produk susu pada level tertentu mempunyai aktivitas anti kanker in vivo (Fritsche et al. 1997). Hunter (1998) menyatakan bahwa CLA dapat memperlambat perkembangan beberapa jenis penyakit kanker dan jantung. Meski merupakan komponen lemak, namun CLA dapat mengurangi lemak tubuh dan meningkatkan massa otot dengan lemak yang sedikit. Kandungan CLA tinggi dapat melawan cachexia, kanker, dan malaria. Di samping itu, CLA dapat menghambat perkembangan kanker kulit, dan kanker lambung pada tikus, mencegah aterosklerosis dan menormalkan toleransi glukosa yang lemah pada penderita diabetes melitus. Conjugated linoleic acid ditemukan dalam lemak susu dan daging ternak ruminansia melalui dua sumber (Fritsche dan Steinhart 1998; Griinarii dan Bauman 1999). Pertama, CLA dibentuk melalui biohidrogenasi asam linoleat dalam rumen oleh aktivitas bakteri Butyrivibrio fibrisolvens. Kedua, CLA disintesis oleh jaringan hewan dari trans-11 C18-1 (intermediate lain dalam biohidrogenasi asam lemak tak jenuh). CLA adalah isomer asam linoleat C18:2 (9.11)
dan C18:2 (10.12), yang setiap posisi memiliki ikatan ganda yaitu
konfigurasi cis trans, cis cis, dan trans trans.
Konfigurasi cis-9, trans-11
octadecadienoic acid (C18:2 c-9 t-11) secara biologis diduga merupakan isomer aktif. Menurut Martin dan Jenkins (2002) bahwa pH rumen di bawah 6 sangat mempengaruhi produksi trans-C18:1 dan isomer-isomer CLA oleh campuran bakteri rumen yang ditumbuhkan dalam continous culture. Konsentrasi trans C18:1 menurun pada kultur pH 5.5. Trans C18:1 merupakan prekursor sintesis CLA dalam
45
kelenjar ambing, maka ransum yang dapat menurunkan pH rumen dapat mengurangi ketersediaan trans-C18:1 dan konsekuensinya mengurangi sintesis CLA oleh jaringan ternak ruminansia. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan sintesis CLA dalam jaringan ternak ruminansia membutuhkan pakan yang mampu mempertahankan pH rumen di atas enam Conjugated linoleic acid merupakan polyunsaturated free fatty acid yang diproduksi oleh bakteri rumen dari omega-6 (asam linoleat) yang banyak ditemukan pada tanaman (Shastri 1997). Kandungan CLA dalam produk ternak bergantung pada kualitas pakan yang dikonsumsi (Hunter 1998).
Susu adalah
sumber utama CLA yang mempunyai level sekitar 3 sampai 10 mg.g-1 lemak. Menurut Hunter (1998) kandungan CLA pada susu sapi yang merumput di padang penggembalaan lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pemberian pakan campuran. Ward et al. (2003) melaporkan proporsi vaccenic acid (VA, C18:1) meningkat pada konsumsi hijauan dari 50% menjadi 60% dari ransum. Peningkatan hijauan 65% menjadi 80% dari ransum meningkatkan kadar VA dan CLA sebesar 26 dan 18% dalam susu. Asam linolenat adalah prekursor VA tetapi tidak untuk CLA. Asam linoleat merupakan prekursor langsung bagi CLA, tetapi VA dapat dikonversi menjadi CLA oleh enzim desaturase dalam kelenjar ambing sehingga asam linolenat juga merupakan prekursor tidak langsung untuk CLA susu.
Sapi yang mengkonsumsi pakan hijauan segar dengan suplementasi
minyak hewan menghasilkan proporsi asam lemak susu C8:0, C10:0,C12:0, C14:0, C14:1, C15:0 dan C16:0 lebih rendah dibandingkan hay yang disuplementasi minyak hewan. Demikian halnya dengan sapi yang mendapat ransum hijauan segar yang disuplementasi solin menurunkan asam lemak rantai pendek dibandingkan sapi yang mendapat hijauan segar yang disuplementasi minyak hewan. Asam lemak rantai pendek disintesis secara endogenus sehingga tidak bergantung pada pakan. Rendahnya proporsi asam lemak C6:0 sampai C14:1 mungkin karena menurunnya lipogenesis kelenjar ambing akibat peningkatan level C18:2. CLA mempengaruhi aktivitas desaturase stearoyl-CoA dalam hati tikus dan mempengaruhi beberapa enzim dalam kelenjar ambing sehingga sintesis asam lemak rantai pendek berkurang.
46
Secara umum, minyak tumbuhan mengandung asam linoleat tinggi dan memberikan respons terbesar dalam peningkatan kadar CLA lemak susu (Kelly et al. 1998).
Minyak tumbuhan tidak biasa digunakan dalam pakan ternak
ruminansia karena menghambat pertumbuhan mikrob rumen (Jenkins 1993). Suatu metode untuk mengurangi efek tersebut adalah membuat garam Ca dari asam lemak sehingga sebagian besar asam lemak luput dari perombakan oleh mikrob rumen, dan hanya sebagian yang dihidrogenasi. Konsentrasi CLA dalam lemak susu juga meningkat dengan pemberian minyak ikan atau tepung ikan, bahkan minyak ikan
lebih banyak meningkatkan kadar CLA lemak susu
dibandingkan dengan minyak tumbuhan dalam jumlah yang sama (Chouinard et al. 1998).
Peranan Minyak Jagung dan Minyak Ikan Penggunaan minyak jagung dalam ransum menghasilkan gas CH4 sebesar 20.8% dan efisiensi penggunaan energi (VFA) sebesar 81%.
Selanjutnya
penggunaan minyak jagung relatif lebih banyak memberi keuntungan daripada kerugian (Sutardi 1997). Lemak dalam ransum akan mempengaruhi fermentasi rumen. Lemak sebagai senyawa nonpolar, tidak mudah atau segera akan larut dalam medium cairan rumen, karena itu lemak cenderung berasosiasi dengan partikel pakan dan mikrob rumen dan bentuk asosiasinya berupa penutupan permukaan secara fisik oleh lemak (Pantoja et al. 1995) Minyak jagung yang ditambahkan
pada ransum berserat tinggi atau
ransum berbasis limbah mampu meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan mengendalikan populasi protozoa rumen (defaunasi). Bakteri rumen memiliki kemampuan lipolisis yang kuat sehingga dengan cepat dapat menguraikan lemak yang menyelimutinya, sedangkan protozoa tidak. Produk hidrolisis lemak dalam rumen adalah asam lemak bebas, gliserol, dan galaktosa. Kemudian gliserol dan galaktosa dikonversi menjadi bahan sintesis VFA (propionat dan butirat). Pada kondisi penyelimutan protozoa oleh lemak, protozoa tidak memiliki aktivitas lipolitik sebaik bakteri, dan menurut Taminga dan Doreau (1991) protozoa banyak terlibat pada hidrolisis fosfolipid, akibatnya pada kondisi fermentasi rumen lemak
47
tinggi menyebabkan aktivitas metabolik protozoa menjadi terganggu dan banyak protozoa yang mati. Minyak
jagung
mengandung
asam
linoleat
yang
cukup
tinggi
dibandingkan minyak lainnya. Di dalam rumen terjadi dua proses metabolisme pada asam linoleat.
Pertama adalah linoleat kemungkinan dihidrogenasi
membentuk asam asetat dan butirat. Kedua adalah linoleat dicerna oleh aktivitas bakteri anaerob Butyrivibrio fibrisolven melalui proses isomerasi asam linoleat menjadi asam linoleat terkonjugasi. Minyak ikan merupakan produk limbah pengalengan ikan. Minyak ikan kaya asam lemak arakhidonat yang merupakan pembentuk hormon prostaglandinE2. Selain itu minyak ikan kaya akan omega-3. Menurut Sinclair (1993), asam lemak omega-3 diduga berperan dalam produksi leukotriena (LT4) yang merupakan komponen sel darah putih dan merupakan mediator dalam sistem pembentukan kekebalan tubuh. Minyak ikan sebagai sumber asam lemak tidak jenuh dalam ransum sapi perah
mampu meningkatkan kadar omega-3
susu.
Kammerlehner (1995)
menyatakan bahwa asam lemak omega-3 dapat mencegah dan membantu proses penyembuhan penyakit jantung.
Omega-3
merangsang pertumbuhan dan
perkembangan sel otak pada anak balita dan dapat mengurangi gangguan penyakit arterosklerosis pada manusia dewasa.
Sabun Mineral Penambahan lemak pada ransum sapi dan domba sering menurunkan kecernaan serat. Sebagai salah satu alasan penurunan kecernaan serat tersebut adalah terhambatnya pertumbuhan dan metabolisme mikrob rumen oleh asam lemak rantai panjang (Jenkins dan Palmquist 1984).
Penambahan mineral
khususnya Ca dapat meningkatkan kecernaan ransum yang disuplementasi lemak. Selanjutnya dinyatakan bahwa penggunaan sabun kalsium yang tidak larut mampu meniadakan efek asam lemak terhadap bakteri, sehingga dapat meningkatkan kecernaan serat. Garam atau sabun kalsium dari asam lemak dikenal sebagai sabun kalsium, dibentuk dari reaksi asam lemak jenuh maupun tidak jenuh dengan ion kalsium (Fernandez 1999).
48
Sabun kalsium termasuk sabun yang tidak larut dalam air (Soedarmo et al. 1988). Sabun kalsium ini merupakan bentuk lemak terlindungi dan merupakan sumber lemak yang efektif dalam pakan ternak ruminansia. Menurut Jenkins dan Palmquist (1984), sabun dapat dengan mudah dicampur dengan beberapa jenis pakan, dan tidak mengganggu sistem fermentasi rumen.
Peningkatan kadar
kalsium pakan berasam lemak dapat menurunkan pengaruh negatif lemak dalam rumen seperti penurunan kecernaan serat. Sabun kalsium tidak bersifat toksik terhadap bakteri rumen (Palmquist et al. 1986). Mekanisme proteksi produk sabun kalsium ini tidak berdasarkan titik cair asam lemak, tetapi berdasarkan tingkat keasaman atau pH. Sabun kalsium ini tetap utuh pada suasana keasaman netral, dan terpisah pada tingkat keasaman tinggi pH 3 (Fernandez 1999).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
penambahan sabun kalsium asam lemak (Ca-Pufa) dalam ransum sapi menghasilkan susu 3.5 kg hr-1 dan 4 kg hr-1 FCM lebih tinggi dari pada sapi yang diberi ransum kontrol (Moallem et al. 1997).
Tinjauan Umum Literatur Sistem pencernaan pada ternak ruminansia memiliki keunikan karena adanya sistem pencernaan fermentatif oleh mikrob rumen. Keunikan tersebut menghasilkan nutrien produk ternak ruminansia berbeda dengan ternak lainnya. Oleh karena itu, pola pemberian pakan dan nutrien harus memperhatikan sistem pencernaan dalam rumen. Salah satu nutrien yang khas pada ternak ruminansia adalah CLA.
Conjugated linoleic acid memiliki efek positif pada kesehatan
manusia. Asam lemak ini disintesis di rumen dan kelenjar ambing. Conjugated linoleic acid dapat ditingkatkan melalui manipulasi pakan seperti suplementasi sumber asam linoleat dalam pakan. Suplementasi lemak pada ternak ruminansia seringkali mengganggu fermentabilitas rumen.
Lemak yang tinggi dalam rumen menghambat
pertumbuhan bakteri rumen, karena asam lemak tak jenuh merupakan toksik bagi bakteri. Oleh karena itu, suplementasi lemak dapat menurunkan kecernaan serat. Suplementasi lemak dengan metode proteksi lemak menjadi alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Di samping itu, dapat memasok asam lemak esensial ke
49
pascarumen, sehingga dapat meningkatkan asam lemak tak jenuh dan produktivitas pada ternak ruminansia. Selain makronutrien, mikronutrien (mineral) juga masih menjadi masalah bagi ternak ruminansia. Mineral esensial seperti Zn, Cu, Cr, dan Se mempunyai peranan
penting dalam tubuh ternak.
Mineral esensial tersebut merupakan
bagian dari enzim yang mengatur metabolisme nutrien dalam tubuh ternak. Di samping itu, keempat mineral tersebut dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Mineral Zn, Cu, Cr, dan Se masih menjadi masalah karena defisiensi
dalam pakan dan penyerapan oleh tubuh ternak sangat kecil. Oleh karena itu, suplementasi mineral dalam bentuk organik menjadi alternatif.
Penyerapan
mineral organik lebih baik dibandingkan dengan mineral anorganik. Selain itu, suplementasi mineral organik dapat mencegah antagonisme antarmineral.