PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA
HERY NUR ICHSAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014
Hery Nur Ichsan NIM B04090061
ABSTRAK HERY NUR ICHSAN. Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi tingkat prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko infeksi parasit darah pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan Cikalong, kabupaten Tasikmalaya. Sampel darah diambil dari 114 sapi potong di kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dan dibuat preparat ulas darah, lalu diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Preparat ulas darah diamati dengan menggunakan mikroskop perbesaran 1000×. Jumlah parasit darah dihitung tiap 500 sel darah merah. Faktor risiko dapat diketahui dari manajemen peternakan yang diperoleh dari wawancara ke peternak. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi adalah Theileria sp. sebesar 60.53% diikuti Babesia sp. 44.74% dan Anaplasma sp. 30.70%. Berdasarkan jenis kelamin, rataan parasitemia pada sapi jantan lebih tinggi daripada sapi betina. Infeksi Babesia sp. dan Theileria sp. pada sapi betina berbeda nyata dengan sapi jantan (p<0.05), tetapi infeksi Anaplasma sp. tidak berbeda nyata (p>0.05). Berdasarkan umur, rataan parasitemia pada sapi dewasa (>12 bulan) lebih tinggi daripada sapi muda (<12 bulan). Infeksi Babesia sp. dan Anaplasma sp. pada sapi dewasa tidak berbeda nyata dengan sapi muda (p>0.05), tetapi infeksi Theileria sp. berbeda nyata (p<0.05). Secara umum, tingkat prevalensi parasit darah pada sapi di kecamatan Cikalong tidak berpengaruh pada manajemen peternakan, pakan, dan pengendalian vektor (p>0.05). Kata kunci: Faktor risiko, parasit darah, prevalensi, sapi
ABSTRACT HERY NUR ICHSAN. Prevalence, Intensity of Infection, and Risk Factor of Blood Parasite Infection on Cattle Small Holder Farmer in Cikalong Subdistrict, Tasikmalaya. Supervised by UMI CAHYANINGSIH. This research was aimed to determine the prevalence, intensity of infection, and risk factors of blood parasite infection in cattle of Cikalong subdistrict, Tasikmalaya. Blood smears samples collected from 114 cattle in Cikalong subdistrict and processed using Giemsa staining method. Quantitative evaluation of parasitemia (percentage of infected RBCs) was assesed by counting of the number of parasite erythrocytes present per 500 cells at a magnification of 1000×.The potential of risk factor in regard with livestock management were obtained by interviewing the farmer. The result showed that the highest prevalence rate of blood parasite was Theileria sp. (60.53%), followed by Babesia sp. (44.74%) and Anaplasma sp. (30.70%). Based on sex, the mean of blood parasite in bull was higher than cow. Babesia sp. and Theileria sp. infection in cow was significantly than bull (p<0.05), while Anaplasma sp. infection was not significantly (p>0.05). Based on age, the mean of blood parasite in cattle (>12 month) was higher than calf (<12 month). Babesia sp. and Anaplasma sp.
infection in cattle was not significantly than calf (p>0.05), while Theileria sp. infection was significantly (p<0.05). Generally, the prevalence rate of blood parasite was influenced by livestock management, feeding, and vector control was not significantly (p>0.05). Keywords: Blood parasite, cattle, prevalence, risk factor
PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA
HERY NUR ICHSAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya Nama : Hery Nur Ichsan NIM : B04090061
Disetujui oleh
Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya : Hery Nur Ichsan Nama : B04090061 NIM
Disetujui oleh
Prof Dr drh U mi Cahyaningsih, MS
Pembimbing
Tanggal Lulus:
t2 8 FEB ?n1(
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberi bimbingan dan saran, serta drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada drh Arifin Budiman dan Ibu Nani, beserta staf Laboratorium protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta enumerator, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Kakak, Adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan yang terspesial Jessica R. Wibowo beserta keluarga, teman-teman satu penelitian Anggi, Ifan, Ardi, Bambang, Irwan, Sarah, Natasha, dan juga teman-teman geochelone ’46 tercinta khususnya Wulan, Dana, Suan, Caca, Wahyu serta teman-teman kost rengga. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014 Hery Nur Ichsan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya
2
Parasit Darah
2
METODE
4
Waktu dan Tempat
4
Pengumpulan Data
5
Ukuran Sampel
5
Pembuatan dan Pewarnaan Sampel Ulas Darah
5
Pemeriksaan Sampel Ulas Darah
5
Prosedur Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Tingkat Parasitemia berdasarkan Jenis Kelamin
7
Tingkat Parasitemia berdasarkan Umur
7
Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah
8
SIMPULAN DAN SARAN
11
Simpulan
11
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
22
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin Rataan parasitemia berdasarkan umur Hubungan faktor manajemen peternakan sapi dengan kejadian penyakit parasit darah
6 7 8 10
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan gizi masyarakat yang bersumber dari protein hewani asal ternak sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik dalam pembentukan fisik maupun kecerdasan. Kebutuhan ini akan semakin bertambah seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kualitas pendidikan dan kesejahteraan, serta daya beli masyarakat. Salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan mengembangkan peternakan sapi potong. Permasalahan mengenai pemenuhan daging sapi di Indonesia masih belum teratasi dengan baik. Hal ini disebabkan populasi ternak sapi yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2009), pada tahun 2007 populasi ternak sapi potong di Indonesia berjumlah 11 514 900 ekor dan meningkat menjadi 11 869 200 ekor pada tahun 2008. Jumlah ternak yang dipotong meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlah ternak yang dipotong sebesar 1 218 560 ekor dan meningkat menjadi 1 295 789 ekor pada tahun 2008. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan populasi ternak sapi yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan daging sapi. Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Salah satu wilayah yang memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan peternakan sapi potong adalah Kabupaten Tasikmalaya. Daerah ini merupakan salah satu kawasan di Provinsi Jawa Barat yang potensial karena ketersediaan sumber daya dan lingkungan agroklimat yang mendukung upaya pengembangan peternakan sapi potong, akan tetapi produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas. Selain itu, banyak kendala yang dihadapi para peternak dalam mengembangkan usaha peternakannya. Umumnya faktor kendala yang dihadapi adalah masalah pakan, manajemen pemeliharaan, dan masalah penyakit ternak. Salah satu serangan penyakit yang bisa merugikan peternak yakni penyakit parasit (Khaidir 1994). Penyakit ini kadang-kadang tidak langsung mematikan, akan tetapi kerugiannya dipandang dari segi ekonomi sangat besar dan dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, dan penurunan kualitas daging, serta ancaman zoonosis (Jonnson 2006). Parasit darah merupakan salah satu penyebab penyakit ternak yang cukup penting dan bersifat endemik sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar antara lain berupa penurunan berat badan, penurunan kualitas produk ternak, dan kematian ternak. Jenis-jenis penyakit parasit darah yang penting di Indonesia antara lain babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis. Penyebaran parasit ini tergantung dari populasi caplak di daerah tersebut (Soulsby 1982) dan dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim, cuaca, sosial budaya, dan sosial ekonomi di daerah tersebut (Brotowidjoyo 1987).
2 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis endoparasit, tingkat prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko infeksi endoparasit pada sapi potong di peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai endoparasit terutama parasit darah yang terdapat pada sapi potong di peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dan sebagai pertimbangan bagi pemerintah dan peternak untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit parasit darah pada sapi.
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak di sebelah tenggara Provinsi Jawa Barat yang sebagian besar wilayahnya berada di pantai selatan dan memiliki batas langsung dengan Samudera Hindia. Secara astronomis terletak antara 7°02'29" sampai 7°49'08" Lintang Selatan dan antara 107°54'10" sampai 108°26'42" Bujur Timur dengan jarak membentang utara ke selatan sepanjang 75 km dan arah barat ke timur 56.25 km, dan luas wilayahnya 270 881 Ha. Secara topografi terdiri dari wilayah pesisir, dataran rendah, dan perbukitan. Suhu udara kabupaten Tasikmalaya pada daerah dataran rendah adalah 34 °C dengan kelembapan 50%, sedangkan pada daerah dataran tinggi mempunyai temperatur 18 ºC sampai 22 ºC dengan kelembapan berkisar antara 61% sampai 73%. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 2171.95 mm dengan jumlah hari hujan efektif selama satu tahun sebanyak 84 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November, dengan musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai Mei dan musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai September (BPS Tasikmalaya 2011).
Parasit Darah Babesia sp. Menurut Levine (1970), Babesia memiliki taksonomi sebagai berikut: Filum : Apicomplexa Subkelas : Piroplasmia Ordo : Piroplasmida Famili : Babesiidae Genus : Babesia Spesies : Babesia sp.
3 Babesia adalah parasit darah yang dapat menyebabkan babesiosis. Jenis Babesia yang menginfeksi sapi adalah Babesia bigemina, Babesia bovis, Babesia divergens, Babesia argentina, Babesia major. Babesia dapat menyebabkan penyakit yang serius pada sapi, yaitu penyakit Cattle Tick Fever, Texas Fever, Red Water Fever, dan piroplasmosis. Babesia yang biasanya menginfeksi sapi yang ada di Indonesia adalah Babesia bigemina dan Babesia bovis (Levine 1970). Hewan yang terinfeksi Babesia dengan jumlah besar dan sekaligus dapat menyebabkan kematian hewan tersebut, sedangkan hewan yang terinfeksi Babesia dalam jumlah sedikit dan secara bertahap, maka hewan akan memiliki kekebalan terhadap parasit ini (Levine 1970). Menurut Arunkumar dan Nagarajan (2013), Babesia ditularkan oleh caplak yaitu, Boophilus sp. dan Rhipicephalus sp., serta lalat penghisap darah seperti Tabanus sp. dan Stomoxys sp. Siklus reproduksi Babesia terdiri dari siklus seksual dan aseksual. Siklus aseksual terjadi di dalam tubuh sapi, tepatnya di dalam eritrosit, sedangkan siklus seksual terjadi di dalam tubuh caplak. Setelah caplak menghisap darah yang mengandung eritrosit yang berisi gametosit Babesia dari sapi, maka terjadi perkembangan di dalam usus caplak betina, kemudian parasit masuk ke dalam saluran reproduksi caplak dan menginfeksi telur, kemudian telur caplak menetas, keluar larva yang kemudian berkembang menjadi caplak dewasa. Parasit berkembang di dalam tubuh caplak dan akhirnya masuk ke dalam sel kelenjar ludah caplak dalam bentuk sporozoit (Levine 1992). Proses perkembangbiakan ini memakan waktu 2 sampai 3 hari (Levine 1970). Parasit stadium sporozoit masuk ke dalam tubuh sapi melaui gigitan caplak, sporozoit berkembang menjadi tropozoit, tropozoit terjadi pembelahan dan berkembang menjadi merozoit, kemudian merozoit berubah menjadi gametosit (Levine 1970). Theileria sp. Menurut Billiouw (2005), Theileria memiliki taksonomi sebagai berikut: Filum : Apicomplexa Kelas : Sporozoa Subkelas : Piroplasmia Ordo : Piroplasmida Famili : Theileriidae Genus : Theileria Spesies : Theileria sp. Theileria menurut derajat patogenitasnya dibagi atas Theileria yang patogen dan Theleria yang non patogen. Jenis Theleria yang patogen pada sapi adalah Theileria annulata, Theileria bovis, Theileria laurenct, dan Theileria parva, penyebab penyakit East Coast Fever, Mediterran Theileriosis, Corridor Disease atau Rhodensian Red Water Disease, sedangkan jenis Theileria yang bersifat non patogen adalah Theileria mutan, Theileria buffeli, Theileria sergenti, dan Theileria orientalis (Levine 1992). Siklus hidupnya hampir mirip dengan Babesia yaitu mengalami fase seksual dan aseksual. Sporozoit ditransmisikan dari kelenjar saliva caplak yang menggigit sapi. Berbeda dengan sporozoit Babesia yang menyerang sel darah merah, sporozoit Theileria menyerang limfosit dan berkembang menjadi makroschizont. Di dalam limfosit, makroschizont mengalami proses pembelahan menjadi mikromerozoit lalu dilepaskan dari limfosit. Mikromerozoit inilah yang
4 masuk ke dalam eritrosit dan akan berperan dalam perkembangan seksual di tubuh caplak seperti perkembangan Babesia. Perkembangan seksual terjadi di dalam usus caplak. Mikromerozoit di dalam usus caplak berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan betina yang berfusi menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel usus menjadi kinete. Kinete masuk ke dalam sel kelenjar saliva dan berubah menjadi sporoblast (Soulsby 1982). Anaplasma sp. Menurut Levine (1970), Anaplasma memiliki taksonomi sebagai berikut: Subkelas : Riketsiaeia Ordo : Riketsiaeida Famili : Riketsiae Genus : Anaplasma Spesies : Anaplasma sp. Anaplasmosis merupakan penyakit infeksius yang ditularkan pada hewan ternak yang ditandai dengan anemia. Cara penularannya melalui vektor yaitu caplak Boophilus microplus. Infeksi Anaplasma biasanya dapat bersamaan dengan infeksi Babesia. Anaplasma marginale yang dapat menyebabkan penyakitpenyakit High fever, anemia, bilirubinemia, bilirubinuria lebih patogen dibandingkan dengan Anaplasma centrale. Beberapa hewan yang dapat menjadi induk semang dari Anaplasma adalah kerbau, antelops, elk, bison, unta, biri-biri, dan kambing (Astyawati 2005).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Oktober 2012. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pengumpulan Data Data dikumpulkan dari peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan Cikalong melalui kuesioner dengan metode wawancara terhadap pemilik atau pekerja peternakan. Data lainnya diperoleh dari pemeriksaan ulas darah dari sapi potong peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data tambahan berkaitan dengan faktor risiko berupa umur, jenis kelamin, cara beternak, frekuensi dan tempat penggembalaan ternak, sumber rumput, serta cara pengendalian lalat dan caplak.
5 Ukuran Sampel Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan bahwa tingkat kejadian penyakit parasit sebesar 50% dengan tingkat kepercayaan 90%. Besaran sampel dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004): 4𝑃 (1 − 𝑃) 𝐿2 n= Jumlah sampel darah sapi yang diambil. P= Asumsi dugaan tingkat kejadian penyakit parasit darah. L= Tingkat kesalahan 10% (0.1). 𝑛=
Keterangan:
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel darah yang diambil minimal 100 sampel. Sampel diambil secara acak dari sapi potong dewasa (>12 bulan), anak (6–12 bulan), dan pedet (0–6 bulan) yang terdapat pada peternakan terpilih dengan ketentuan maksimum jumlah sampel yang diambil dari satu peternak adalah 4 ekor, sehingga didapatkan 114 sampel darah.
Pembuatan dan Pewarnaan Sampel Ulas Darah Sampel darah diambil dari pembuluh darah sapi di sekitar telinga. Bagian telinga dibersihkan terlebih dahulu dengan kapas bersih, kemudian pembuluh darah ditusuk dengan menggunakan jarum. Satu tetes darah diletakkan di bagian tepi gelas objek, kemudian dengan perlahan ujung gelas objek satunya ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 selanjutnya didorong dengan membentuk sudut 45 derajat untuk membuat ulas darah tipis. Ulas darah yang telah dibuat kemudian dikeringkan selama 10 menit. Sediaan ulas darah yang telah kering kemudian difiksasi dengan menggunakan metanol selama 3 sampai 5 menit. Lalu dibiarkan kering di udara, sediaan ulas darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa 10% dengan cara merendamnya selama 30 menit. Preparat ulas darah yang telah diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan.
Pemeriksaan Sampel Ulas Darah Pemeriksaan ulas darah dilakukan secara acak pada lima pandang dengan perbesaran 1000×. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung tiap 500 sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Rataan parasitemia dihitung dengan rumus: 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑥 100 500
6 Prosedur Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil pemeriksaan laboratorium langsung diinput ke dalam database menggunakan Microsoft Excel. Data dianalisa secara deskriptif untuk membandingkan tingkat parasitemia terhadap umur menggunakan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan dan untuk membandingkan tingkat parasitemia terhadap jenis kelamin menggunakan uji ttest. Hubungan faktor risiko dan infeksi parasit yang bersumber dari manajemen peternakan diukur dengan menggunakan uji chi square. Semua data dianalisis menggunakan SPSS versi 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel darah sapi yang diperiksa sebanyak 114 sampel, ditemukan 51 sapi positif terinfeksi Babesia, 69 sapi positif terinfeksi Theileria, dan 35 sapi positif terinfeksi Anaplasma. Tingkat prevalensi tertinggi disebabkan oleh Theileria sp. sebesar 60.53%, diikuti dengan Babesia sp. 44.74% dan terendah adalah Anaplasma sp. 30.70%. Tingkat prevalensi infeksi parasit darah pada sapi potong di Kecamatan Cikalong disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Jenis parasit darah Jumlah Jumlah sampel positif Prevalensi (%) sampel Babesia sp. 114 51 44.74 Theileria sp. 114 69 60.53 Anaplasma sp. 114 35 30.70 Tingkat prevalensi parasit darah yang bervariasi di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya disebabkan oleh kondisi iklim dan letak geografis yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan caplak dan lalat penghisap darah sebagai vektor pembawa parasit. Himawan (2009) menyatakan keberadaan caplak di suatu lingkungan dipengaruhi oleh kondisi iklim. Arunkumar dan Nagarajan (2013) melaporkan bahwa keberadaan lalat penghisap darah (Tabanus spp. dan Stomoxys spp.) dipengaruhi oleh kondisi iklim tropis yang panas dan lembap. Caplak dapat tumbuh dan berkembang di wilayah yang memiliki curah hujan minimal 1000 mm/tahun (Zintl et al. 2003). Hal ini sesuai dengan laporan Tasikmalaya dalam angka (2011) yang menyatakan bahwa Kecamatan Cikalong berada di daerah dataran rendah dengan suhu rata-rata 34 °C, kelembapan 50%, dan curah hujan antara 3500 sampai 4000 mm/tahun. Tingkat prevalensi parasit darah tertinggi yaitu pada kasus theileriosis. Hal ini diduga karena sebagian besar peternak mengambil rumput dari kebun (Tabel 4). Haemaphysalis sebagai caplak pembawa Theileria banyak ditemukan di kebun (Rodostits et al. 2007). Urquhart et al. (2003) juga melaporkan bahwa selain Haemaphysalis, Theileria juga ditularkan oleh Rhipicephalus, Amblyomma, dan Hyalomma. Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak Boophilus sp. dan lalat
7 penghisap darah seperti Tabanus sp. dan Stomoxys sp. (Arunkumar dan Nagarajan 2013). Rymaszewska dan Grenda (2008) melaporkan bahwa anaplasmosis ditularkan oleh caplak (Boophilus sp., Dermacentor sp., dan Amblyomma sp.). Adanya persamaan vektor antara babesiosis dan anaplasmosis menyebabkan tingkat prevalensi keduanya tidak berbeda jauh. Hal ini didukung oleh Jonsson et al. (2008) yang menyatakan bahwa Babesia bovis, Babesia bigemina, dan Anaplasma marginale ditularkan oleh Boophilus microplus. Selain itu, menurut Kocan et al. (2010) anaplasmosis banyak dialami pada hewan yang terinfeksi babesiosis. Bilgic et al. (2013) menyatakan infeksi parasit darah yang disebabkan oleh tick-borne disesase sering ditemukan bersamaan pada satu individu hewan.
Tingkat Parasitemia berdasarkan Jenis Kelamin Rataan parasitemia pada sapi jantan lebih tinggi daripada sapi betina. Sapi jantan yang terinfeksi Babesia sp. dan Theileria sp. menunjukkan rataan parasitemia yang berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan betina (p<0.05), sedangkan yang terinfeksi Anaplasma sp. tidak berbeda nyata (p>0.05) (Tabel 2).
Jenis kelamin Betina Jantan Rata-rata
Tabel 2 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin Jumlah Rataan parasitemia (%) sampel Babesia sp. Theileria sp. Anaplasma sp. a a 90 0.037±0.050 0.074±0.072 0.022±0.035a 24 0.080±0.067b 0.134±0.103b 0.023±0.034a 0.059±0.059 0.104±0.088 0.023±0.035
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji t-test).
Rataan parasitemia babesiosis dan theileriosis antara sapi jantan dan betina yang menunjukkan berbeda nyata mengindikasikan bahwa jenis kelamin sapi dapat mempengaruhi tingkat parasitemia. Hasil ini sesuai dengan penelitian dari Sajid et al. (2009) yang melaporkan bahwa tingkat parasitemia pada sapi jantan lebih tinggi daripada sapi betina. Tingkat parasitemia yang rendah pada hewan betina diduga karena hormon estrogen pada ternak betina dapat memicu terbentuknya antibodi terhadap parasit. Hal ini menyebabkan ternak betina lebih resisten terhadap parasit daripada ternak jantan. Hambal et al. (2013) menyatakan bahwa hormon estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel reticulo endothelial system (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit.
Tingkat Parasitemia berdasarkan Umur Rataan parasitemia pada sapi dewasa lebih tinggi daripada sapi anakan dan pedet. Secara statistik, parasitemia Babesia dan Theileria pada sapi dewasa berbeda nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan sapi anakan, sedangkan Anaplasma tidak berbeda nyata (p>0.05). Rataan parasitemia Babesia pada sapi dewasa berbeda nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan pedet, sedangkan Anaplasma dan Theileria tidak berbeda nyata (p>0.05) (Tabel 3).
8
Klasifikasi umur Dewasa Anak Pedet Rata-rata
Tabel 3 Rataan parasitemia berdasarkan umur Jumlah Rataan parasitemia (%) sampel Babesia sp. Theileria sp. Anaplasma sp. a a 83 0.051±0.059 0.101±0.084 0.028±0.037a 11 0.036±0.054b 0.042±0.060b 0.006±0.021a 20 0.031±0.046b 0.051±0.068ab 0.011±0.026a 0.039±0.053 0.065±0.071 0.015±0.028
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji lanjut Duncan).
Berdasarkan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan, rataan parasitemia tertinggi adalah pada sapi dewasa, diikuti sapi anakan dan pedet. Hal ini sesuai dengan Nasution (2007) yang menyatakan bahwa hewan yang terinfeksi parasit darah banyak ditemukan pada ternak yang berumur 1 sampai 2 tahun. Goff et al. (2001) melaporkan bahwa sapi berumur kurang dari 9 bulan lebih jarang ditemukan kasus infeksi parasit darah daripada sapi dewasa. Tingginya tingkat parasitemia pada sapi dewasa diduga karena makin menurunnya antibodi maternal dan sapi akan memperoleh kekebalan secara alami jika terinfeksi parasit darah. Sapi dewasa yang terinfeksi Babesia sp. akan tetap terinfeksi seumur hidup, sedangkan yang terinfeksi Theileria sp. akan memiliki kekebalan yang tinggi tetapi umumnya tidak bersifat premunisi (Nasution 2007). Tingkat parasitemia Theileria sp. pada sapi anakan dan pedet cenderung lebih tinggi daripada Babesia sp dan Anaplasma sp. Sapi anakan dan pedet yang memperoleh kolostrum induk yang terinfeksi Babesia akan lebih resisten terhadap babesiosis karena di dalam kolostrum induk sudah terbentuk antibodi (CFED 2008), sedangkan induk yang terinfeksi Theileria, di dalam kolostrum induk tidak terbentuk antibodi terhadap theileriosis, sehingga anak sapi tidak resisten terhadap theileriosis (Nasution 2007). Tingkat parasitemia merupakan indikator untuk mengukur tingkat infeksi parasit dalam darah. Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia dibagi menjadi tingkat berat (very severe reaction) dengan nilai parasitemia lebih dari 5%, tingkat sedang (severe reaction) dengan nilai parasitemia antara 1% sampai 5%, dan tingkat ringan (mild reaction) dengan nilai parasitemia kurang dari 1%. Rataan parasitemia pada sampel berdasarkan jenis kelamin dan umur mempunyai nilai parasitemia yang sama yaitu kurang dari 1% yang tergolong tingkat ringan (mild reaction).
Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah Tingkat prevalensi theileriosis dan anaplasmosis pada sapi yang dilepas siang hari dan dikandang pada malam hari cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang dikandangkan terus-menerus atau digembalakan terus-menerus, sedangkan pada kasus babesiosis tertinggi pada sapi yang digembalakan terusmenerus. Sapi yang digembalakan beberapa kali dalam seminggu memiliki prevalensi theileriosis dan anaplasmosis lebih tinggi daripada digembalakan setiap hari atau beberapa kali dalam sebulan, sedangkan pada kasus bebesiosis tertinggi pada sapi yang digembalakan setiap hari. Sapi yang digembalakan di kebun
9 memiliki prevalensi parasit darah cenderung lebih tinggi daripada digembalakan di sawah. Pengendalian lalat menggunakan insektisida memiliki prevalensi theileriosis dan anaplasmosis lebih tinggi daripada diusir secara mekanis, tetapi pada kasus babesiosis lebih tinggi dengan cara diusir secara mekanis daripada menggunakan insektisida. Pengendalian caplak dengan mengambilnya secara manual lebih tinggi prevalensi theileriosis dan anaplasmosis dibandingkan menggunakan insektisida. Tingkat prevalensi parasit darah lebih tinggi pada sapi yang makan rumput yang berasal dari kebun daripada rumput yang berasal dari sawah. Hubungan faktor manajemen peternakan dengan tingkat kejadian infeksi parasit darah dapat dilihat pada Tabel 4. Secara umum, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara prevalensi parasit darah dengan sistem pemeliharaan ternak (cara beternak, frekuensi penggembalaan, tempat penggembalaan, pengendalian caplak dan lalat, dan sumber rumput). Sistem pemeliharaan ternak diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu intensif (dikandangkan terus-menerus), ekstensif (digembalakan terus-menerus), dan semi intensif (kombinasi keduanya). Tingginya tingkat prevalensi parasit darah pada ternak yang digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari diduga karena caplak pada rumput akan menempel pada tubuh sapi yang digembalakan. Sapi yang terinfeksi akan menularkan ke sapi yang lain melalui gigitan caplak. Paddock dan Childs (2003) menyatakan bahwa caplak yang menghisap darah hewan terinfeksi dapat menularkan agen penyakit ke hewan yang tak terinfeksi penyakit. Caplak akan menularkan parasit darah dari sapi terinfeksi ke sapi lainnya pada saat sapi dikandangkan, yaitu pada pagi hari sebelum digembalakan dan malam hari setelah digembalakan. Caplak paling aktif di pagi hari (pukul 08.00) dan sore sampai malam hari (pukul 15.00 sampai 24.00), tetapi dapat hidup sepanjang hari dengan baik (Buczek and Magdon 1999). Sapi yang digembalakan beberapa kali dalam seminggu memiliki prevalensi yang lebih tinggi daripada sapi yang digembalakan setiap hari atau beberapa kali dalam sebulan. Hal ini diduga karena pada saat digembalakan, caplak menempel pada tubuh sapi. Beberapa hari kemudian parasit darah akan menuju ke fase infektif yang dapat menginfeksi sapi melalui gigitan caplak. Sporozoit infektif dari parasit darah (Babesia, Theileria, dan Anaplasma) akan timbul dalam darah inang 3 sampai 5 hari setelah inang digigit caplak (Bishop et al. 2004). Sapi yang digembalakan di kebun lebih banyak terinfeksi daripada di sawah. Kondisi di kebun yang cukup teduh dan banyak dedaunan merupakan kondisi yang cocok untuk caplak tumbuh dan berkembang biak. Hal ini didukung oleh Rodostits et al. (2007) yang menyatakan bahwa Theileria ditularkan oleh caplak Haemaphysalis yang sering ditemukan di kebun.
Faktor
Tabel 4 Hubungan faktor manajemen peternakan sapi dengan kejadian penyakit parasit darah N Babesia sp. Theileria sp. n % P OR n % P OR
Cara beternak Dikandangkan terus-menerus Siang dilepas, malam dikandang Digembalakan terus-menerus Frekuensi penggembalaan Setiap hari Beberapa kali dalam seminggu Beberapa kali dalam sebulan Tempat penggembalaan Kebun Sawah Cara pengendalian lalat Insektisida Diusir secara mekanis Cara pengendalian caplak Insektisida Diambil secara manual Sumber rumput untuk ternak Galengan sawah Kebun
9 41 10
4 17 5
44.4 41.5 50.0
Ref 0.89 1.25
2 23 2
22.2 56.1 20.0
28 14 5
14 5 2
50.0 35.7 40.0
0.680 0.865
1.50 0.83 Ref
11 8 2
39.3 57.1 40.0
16 35
9 13
56.3 37.1
0.201
2.18 Ref
8 17
50.0 48.6
50 10
21 5
42.0 50.0
0.641
Ref 1.38
25 2
50.0 20.0
10 8
5 3
50.0 37.5
0.596
Ref 0.60
5 5
9 51
3 23
33.3 45.1
0.511
Ref 1.64
3 24
0.870 0.809
n
Anaplasma sp. % P OR
Ref 4.47 0.88
3 18 2
33.3 43.0 20.0
0.976 0.510
0.97 2.00 Ref
6 9 1
21.4 64.3 20.0
0.943 0.089
1.09 7.20 Ref
0.925
1.06 Ref
8 12
50.0 34.3
0.286
1.92 Ref
0.082
Ref 0.25
20 3
40.0 30.0
0.553
Ref 0.64
50.0 62.5
0.596
Ref 1.67
3 5
30.0 62.5
0.168
Ref 3.89
33.3 47.1
0.445
Ref 1.78
2 21
22.2 41.2
0.281
Ref 2.45
0.066 0.906
0.561 0.510
N: jumlah peternak; n: jumlah positif terinfeksi; %: persentase prevalensi parasit; P: nilai Pearson chi square; OR: odds ratio; Ref: referensi (pembanding)=1.00.
Ref 1.57 0.50
11
Prevalensi parasit darah pada ternak yang menggunakan insektisida untuk pengendalian lalat cenderung lebih tinggi daripada diusir secara mekanis. Hal ini diduga karena lalat sudah resisten terhadap insektisida. Lalat menjadi resisten karena kurangnya pengetahuan peternak tradisional mengenai cara menggunakan insektisida yang tepat. Penggunaan insektisida yang tidak sesuai dengan petunjuk pemakaian akan menyebabkan serangga resisten terhadap insektisida (Cheesman 2000). Pengendalian caplak dengan cara diambil secara manual cenderung kurang efektif daripada menggunakan insektisida. Hal ini tidak sesuai dengan Manurung (2002) yang melaporkan bahwa mengatasi caplak dengan diambil secara manual lebih baik daripada menggunakan insektisida karena caplak yang ditangkap langsung dibunuh oleh peternak dengan cara dibakar atau dipencet. Pengendalian caplak dengan cara diambil secara manual kurang efektif karena dibutuhkan ketelitian dari peternak dan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil caplak pada tubuh sapi. Rumput yang berasal dari kebun lebih berisiko terinfeksi parasit darah daripada rumput yang ada di sawah. Caplak akan tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada kondisi yang teduh seperti di kebun dan hutan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat prevalensi infeksi parasit darah di peternakan sapi potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dari yang tertinggi adalah theileriosis, diikuti babesiosis, dan terendah adalah anaplasmosis. Faktor umur dan jenis kelamin berpengaruh terhadap prevalensi babesiosis dan theileriosis, tetapi tidak berpengaruh terhadap anaplasmosis. Parasitemia tertinggi pada sapi berdasarkan umur terdapat pada kelompok sapi dewasa dan berdasarkan jenis kelamin terdapat pada kelompok sapi jantan. Faktor manajemen peternakan, pakan, dan pengendalian vektor tidak berpengaruh signifikan terhadap prevalensi babesiosis, theileriosis, dan anaplasmosis. Rata-rata parasitemia pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin tergolong parasitemia ringan.
Saran Penanganan kasus infeksi parasit darah di Kecamatan Cikalong Kabupaten Tasikmalaya dapat dilanjutkan dengan mengadakan surveillance di kawasan ini dan sekitarnya untuk mengetahui kondisi infeksi penyakit parasit darah di lapang. Hal tersebut digunakan untuk menentukan cara pencegahan dan pengendalian penyakit parasit darah di wilayah tersebut.
12
DAFTAR PUSTAKA Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of Anaplasma marginale strains from outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area. Vet Parasitol. 158: 103-109. Arunkumar S and Nagarajan K. 2013. A study on prevalence status of Anaplasma marginale infection among cattle population of Kancheepuram and in and around Chennai district of Tamil Nadu. J Int of Food, Agricult, and Vet Sci. 3(1): 155-157. Astyawati T. 2005. Bahan Kuliah Protozoologi. Bogor (ID): IPB Pr. Bilgic HB, Karagene T, Simuunza M, Shiels B, Tait A, Eren H, and Weir W. 2013. Development of a multiplex PCR assay for stimultaneous detection of Theileria annulata, Babesia bovis, and Anaplasma marginale in cattle. Exp Parasitol. 133(2): 222-229. Billiouw M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern Province of Zambia. Laboratorium voor Parasitologie, Faculteit Diergeneeskunde, Universiteit Gent. Bishop R, Musoke A, Morzaria S, Gardner M, Nene V. 2004. Theileria: intracellular protozoan parasites of wild and domestic ruminants transmitted by ixodid ticks. Parasitol. 129: 271-283. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistical Pocket Book of Indonesia. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Tasikmalaya. 2011. Tasikmalaya dalam angka 2011. Tasikmalaya (ID): Badan Pusat Statistik. Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Ed ke-1. Jakarta (ID): Media Sarana Pr. Buczek A, Magdon T. 1999. Host location by ticks (Acari: Ixodida). Wiadomosci Parazytologiczne. 45: 3-12. [CFED] Committee on Foreign and Emerging Diseases of the United States Animal Health Association. 2008. Foreign Animal Diseases. Ed ke-7. Canada: Boca Publication Group, Inc. Cheesman SJ. 2000. The Topoisomerases of protozoan parasites. Parasitol Today. 16(7): 277. Goff WL, Johnson WC, Parish SM, Barrington GM, Tuo W, Valdez RA. 2001. The age-related immunity in cattle to Babesia bovis infection involved the rapid induction of interleukin-12, interferon-g, and inducible nitric oxide synthase mRNA expression in the spleen. Parasit Immunol. 23: 463-471. Hambal M, Sayuti A, Dermawan A. 2013. Tingkat kerentanan Fasciola gigantica pada sapi dan kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. J Med Vet. 7(1): 49-53. Himawan W. 2009. Identifikasi parasit darah pada kerbau belang (Tedong bonga) dan kerbau rawa di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jonsson NN. 2006. The productivity effects of cattle tick (Boophilus microplus) infestation on cattle, with particular reference to Bos indicus cattle and their crosses. Vet Parasitol. 137: 1–10.
13 Jonsson NN, Bock RE, Jorgensen WK. 2008. Productivity and health effects of anaplasmosis and babesiosis on Bos indicus cattle and their crosses and the effect of differing intensity of tick control in Australia. Vet Parasitol. 3(22):1-9. Khaidir. 1994. Penyakit parasit ayam buras. Poult Indones. 172:11. Kocan KM, Fuente JDL, Guglielmone AA, Mele’ndez RD. 2003. Antigens and alternatives for control of Anaplasma marginale infection in cattle. J Clin Microbiol. Rev. 16: 698-712. Kocan KM, Fuente JDL, Blouin EF, Coetzee JF, and Swing SA. 2010. Review– The natural history of Anaplasma marginale. Vet Parasitol. 167: 95-107. Levine ND. 1970. Protozoan Parasites of Domestic Animal and of Man. Minneapolis (US): Burgess Publ co. Levine ND. 1992. Protozoologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari: Veterinary Protozoology. Manurung J. 2002. Studi prevalensi infeksi caplak pada sapi di Kecamatan Ciracap dan Surade Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dan cara-cara peternak menanggulanginya. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva infection. Onderstepoort J Vet Res. 72(1): 13-22. Paddock CD, Childs JE. 2003. Ehrlichia chaffeensis: a prototypical emerging pathogen. Clin Microbiol Rev. 16: 37-64. Rodostits OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary Medicine: A textbook of the diseases of cattle, horses, sheep, pigs, and goats. 10 th Ed. USA (US): Saunders. Rymaszewska A and Grenda S. 2008. Bacteria of the genus Anaplasma– characteristics of Anaplasma and their vectors: a review. Med Vet. 53(11): 573584. Sajid MS, Iqbal Z, Khan MN, Muhammad G, and Khan MK. 2009. Prevalence and associated risk factors for bovine tick infestation in two district of lower Punjab, Pakistan. J Pre Vet Med. 92: 386-391. Selvin S. 2004. Statistica Analysis of Epidemiology Data. London (GB): Oxford University Pr. Soulby EJL. 1982. Helmints, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. 7th Ed. London (GB): Bailiere Tindal. Tasikmalaya dalam angka. 2011. Kabupaten Tasikmalaya dalam Angka. Tasikmalaya (ID): Badan Pusat Statistik. Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Vet Parasitol. Ed ke-2. Scotland (GB): Blackwell Pub. Zintl A, Mulcahy G, Skerrett HE, Taylor SM, and Gray JS. 2003. Babesia divegens, a bovine blood parasite of veterinary and zoonotic importance. Clin Microbiol Rev. 16(4): 622-636.
14
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Hery Nur Ichsan. Penulis lahir di Brebes pada tanggal 5 Juni 1990 dari pasangan Bapak Maryoto dan Ibu Watijah. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis, antara lain: alumni TK an-nida Manggarai, Jakarta Selatan pada tahun 1996, alumni SD Negeri 1 Kalijurang, Brebes pada tahun 2002, alumni SMP Negeri 02 Tonjong, Brebes pada tahun 2005, dan alumni SMA Bustanul ‘Ulum NU Bumiayu, Brebes pada tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan jenjang pendidikan dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi intrakampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB (BEM FKH IPB) periode 2011/2012, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia cabang IPB (IMAKAHI IPB) periode 2010/2011, dan Himpunan Minat Profesi Satwa Liar IPB periode 2010/2012. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Patologi Sistemik 1 dan Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013.