PREVALENSI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO ANAPLASMOSIS PADA SAPI BALI DI KELURAHAN LALABATA RILAU, KECAMATAN LALABATA, KABUPATEN SOPPENG
SKRIPSI
A. DYTHA PRAMITHA SAM O11110104
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
PREVALENSI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO ANAPLASMOSIS PADA SAPI BALI DI KELURAHAN LALABATA RILAU, KECAMATAN LALABATA, KABUPATEN SOPPENG
A. DYTHA PRAMITHA SAM O11110104
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
PERNYATAAN KEASLIAN 1. Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama NIM
: A. Dytha Pramitha Sam : O11110104
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa : a. Karya skripsi saya adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 8 Juni 2015
A. Dytha Pramtha Sam
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juli 1992 di Ujung Pandang dari ayahanda Alm. Drs. H. A. Samsul Bahri dan ibunda Dra. Hj. St. Hasnah. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di Sekolah Islam Athirah pada tahun 2004, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Islam Athirah dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Islam Athirah. Penulis diterima di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada tahun 2010.
ABSTRAK A.DYTHA PRAMITHA SAM. Prevalensi dan Faktor-Faktor Risiko Anaplasmosis pada Sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. Dibimbing oleh FIKA YULIZA PURBA dan DWI KESUMA SARI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor risiko Anaplasmosis pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. Sampel darah dikoleksi dari 31 sapi bali pada bulan November 2014. Sediaan ulas darah dibuat di atas gelas objek, difiksasi dengan metanol absolut dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa, kemudian diamati dengan mikroskop. Faktor-faktor risiko anaplasmosis yaitu manajemen pemeliharaan, kondisi kandang, pengendalian vektor, dan pengetahuan peternak dianalisis menggunakan chi-square dan Odds Ratio (OR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi Anaplasmosis di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng sebesar 3,2 %. Hasil Analisis chisquare menunjukkan bahwa manajemen pemeliharaan, kondisi kandang, pengendalian vektor, dan pengetahuan ternak tidak berhubungan dengan kejadian Anaplasmosis, dikarenakan nilai p>0,05. Perhitungan kekuatan hubungan atau Odds Ratio (OR) tidak dilanjutkan. Kata kunci : prevalensi, faktor risiko, anaplasmosis, Lalabata Rilau, Soppeng
ABSTRACT A.DYTHA PRAMITHA SAM. Prevalence and Risk Factors of Anaplasmosis on Bali Cattle in Lalabata Rilau Village, Lalabata Sub-District, Soppeng Regency. Supervised by FIKA YULIZA PURBA and DWI KESUMA SARI. This research aimed to determined prevalence and risk factors of Anaplasmosis on Bali cattle in Lalabata Rilau Village, Lalabata Sub-District, Soppeng Regency. Blood samples were collected from 31 Bali cattle in November 2014. Blood smears were made on glass slide, fixation with methanol absolute and stained with Giemsa stain and observed under microscop. The risk factors which is maintenance management, cage condition, vector control, and knowledge of breeder were analyzed with chi-square test and Odds Ratio (OR). The result of this research showed that prevalence of Anaplasmosis in Lalabata Rilau Village, Lalabata Sub-District, Soppeng Regency is 3,2%. Result of chi-square test showed maintenance management, cage condition, vector control, and knowledge of breeder is not related with Anaplasmosis case, because of the value of p>0.05. The calculation of Odds Ratio (OR) was not continued. Keywords : Prevalence, Risk Factors, Anaplasmosis, Lalabata Rilau, Soppeng
KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT., berkat Rahmat, Anugerah, Hidayah dan Kasih Sayang-Nya diseluruh alam ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sampai tahap akhir. Semoga Rahmat dan Salam-Nya selalu tercurah buat junjugan Nabiullah Baginda Muhammad Rasulullah SAW., beserta Keluarga dan para sahabat Beliau yang telah memberikan pondasi keimanan serta tauladan pada semua umat manusia. Tidak sedikit hambatan dan tantangan penulis hadapi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini namun berkat ketabahan, kesabaran dan dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada : 1. Prof. DR. dr. Andi Asadul Islam, Sp.B selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 2. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar 3. drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc dan Dr. drh. Dwi Kesuma Sari selaku pembimbing yang tak pernah lelah di sela-sela kesibukannya dan dengan penuh kesabaran memberikan arahan, perhatian, motivasi, masukan, dan dukungan moril kepada penulis 4. drh. Dedy Rendrawan, M.P, drh. Meriam Sirupang dan drh. Djafar Muhammad, B.Sc selaku penguji yang telah memberikan masukan serta arahan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. 5. drh. Hartono selaku dokter hewan dinas peternakan Kabupaten Soppeng serta Bapak Muhammad Tang yang telah menerima dan membantu selama melakukan penelitian. 6. Pak Gani dan Pak Hasyim selaku staf program studi kedokteran hewan yang banyak membantu dalam pengurusan dan pengumpulan berkas. 7. Vivi Andrianty dan Darma sebagai teman seperjuangan yang melakukan penelitian di Kabupaten Soppeng. 8. Sahabat terkeren dan terheboh yang selalu memberikan semangat, motivasi, dukungan serta kasih sayangnya, Anna, Eka Anny, Fatma, Nuni, Suci, Ulfa, Ita, Dian, Cyka, Vivi, Yuli dan Rahayu. 9. Sahabat tersayang Ai, Rini, Nita, Widya, Icha, Devi, Shendy dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas kasih sayang, doa, dan dukungan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini. 10. Teman-teman V-Generat10n yang teristimewa, junior, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu dan memberikan dukungan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini. 11. Terakhir ucapan teristimewa untuk kedua orang tua penulis yang terkasih dan tersayang ayahanda Alm. Drs. H. A. Samsul Bahri dan Dra. Hj. St. Hasnah atas segala doa, perhatian, kasih sayang, dorongan moral dan materi serta
segala nasehatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada kakak-kakakku tersayang Andi Dhedie dan istrinya, Kak Fitri, serta Andi Dyah dan Suaminya, Kak Nono yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama Kak Nono yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. Jasmine, keponakan tersayang yang telah mewarnai hari-hari penulis dengan kelucuannya. Serta kepada keluarga besar yang telah mendukung penulis. Penulis sangat menyadari bahwa apa yang penulis paparkan dalam skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, besar harapan penulis kepada pembaca atas kontribusinya baik berupa saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Makassar, 8 Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis 1.4.2 Manfaat Ilmiah 1.5 Ruang Lingkup Penelitian 1.6 Hipotesis Penelitian 1.7 Keaslian Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali 2.2 Parasit Darah 2.2.1 Anaplasmosis 2.2.2 Etiologi 2.2.3 Siklus Hidup 2.2.4 Penyebaran 2.2.5 Patogenesis 2.2.6 Gejala Klinis 2.2.7 Diagnosa 2.2.8 Diagnosa Banding 2.2.9 Pengendalian dan Pengobatan 2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anaplasmosis 2.3.1 Manajemen Pemeliharaan 2.3.2 Kondisi Kandang 2.3.3 Pengendalian Vektor 2.3.4 Pengetahuan Peternak 2.4 Keadaan Geografis 2.5 Alur Penelitian 2.6 Variabel Penelitian 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Materi Penelitian 3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling 3.2.2 Bahan 3.2.3 Alat 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengambilan Sampel Darah 3.3.2 Pewarnaan Sampel Ulas Darah 3.3.3 Pemeriksaan Sampel Ulas Darah 3.3.4 Analisis Data 3.3.4.1 Pengumpulan Data Melalui Kuesioner 3.3.4.2 Prosedur Analisis Data
1 2 2 2 2 2 2 3 3 4 4 5 5 6 7 7 8 8 9 10 10 10 11 11 12 12 13 13 14 14 14 14 14 15 15 15 15 15 15 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Variabel Penelitian 4.2 Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Anaplasmosis 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
19 21 24 24 25 30
DAFTAR TABEL 1 Distribusi Anaplasmosis pada Sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, 18 Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng 2 Deskripsi Variabel Penelitian Faktor-Faktor Risiko Anaplasmosis pada 19 Sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng 3 Analisis Faktor-Faktor Risiko Anaplasmosis pada Sapi Bali di Kelurahan 21 Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng
DAFTAR GAMBAR 1 Gambaran Mikroskopik Anaplasmosis 2 a. Gambaran MIkroskopik Anaplasma centrale b. Gambaran Mikroskopik Anaplasma marginale 3 Siklus Hidup Anaplasma sp. 4 Transmisi Anaplasmosis 5 Gambaran Mikroskopik Babesiosis 6 Gambaran Miktoskopik Theileriosis 7 Hasil Pemeriksaan Sampel Ulas Darah dengan Pewarnaan Giemsa 8 Hasil Pemeriksaan Anaplasma sp. Dibandingkan dengan Literatur
5 6 6 6 7 9 10 17 17
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Gambar Pola Pemeriksaan Slide Kuesioner Data Hasil Kuesioner Hasil Olah Data Dokumentasi Penelitian
30 31 33 36 44
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peranan ternak dalam sistem usaha tani semakin diperhatikan dalam dekade terakhir ini. Ternak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan petani (Putro, 2004). Ternak sapi, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Seekor atau kelompok ternak sapi dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Manajemen pemeliharaan ternak merupakan salah satu faktor penentu produktivitas ternak. Pengendalian terhadap penyakit infeksius maupun non infeksius seperti parasit sering diabaikan dan kurang diperhatikan karena serangan yang tidak berbahaya umumnya tidak jelas dan serangan parasit kebanyakan bersifat subklinik (Subronto, 2007). Dalam upaya perkembangan populasi ternak terutama sapi, diperlukan langkah pengendalian penyakit, yaitu tindakan pencegahan timbulnya patogenitas dari agen penyakit ke inangnya. Penyakit ternak yang sering berasal dari parasit darah adalah Babesiosis, Theleriosis, dan Anaplasmosis (Bilgic dkk., 2013). Penyakit tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan bobot badan ternak, peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain, dan penurunan tingkat reproduksi sehingga dapat merugikan secara ekonomi (Benavides dan Sacco, 2007). Anaplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Anaplasma sp. yang dapat bersifat akut dan kronis yang ditandai dengan adanya demam, anemia, ikterus dan kekurusan tanpa hemoglobinuria. Hewan yang diserang oleh parasit ini adalah sapi, kerbau, unta, babi, domba, kambing, anjing dan hewan liar. Di Indonesia Anaplasmosis disebabkan oleh Anaplasma marginale. Pertama kali ditemukan pada kerbau (Blieck dan Kaligis, 1912). Penyakit ini ditularkan melalui vektor caplak yaitu Boophilus microplus yang tersebar luas di Kepulauan Indonesia (Zwart, 1959). Kejadian Anaplasmosis yang menyerang sapi juga telah dilaporkan (Wilson dan Ronohardjo, 1984 ; Ronohardjo dkk., 1985). Di daerah tropis dan sub-tropis pada umumnya Anaplasma marginale bersifat endemik (Sukanto, 1992 ; Solihat, 2002). Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Soppeng, kejadian Anaplasmosis pada ternak sapi mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2011 sebanyak lima kasus, tahun 2012 sebanyak sembilan kasus, dan tahun 2013 sebanyak 17 kasus. Kejadian Anaplasmosis tertinggi pada tahun 2013 terjadi di Kecamatan Lalabata. Kejadian Anaplasmosis di Kabupaten Soppeng dilaporkan berdasarkan gejala klinis yang terlihat, maka pemeriksaan laboratorium ulas darah perlu dilakukan. Prevalensi Anaplasmosis pada sapi di Kabupaten Soppeng pada tahun 2014 penting untuk diketahui mengingat wilayah ini memiliki data kasus yang cukup banyak pada tahun-tahun sebelumnya. Penelitian terhadap faktor-faktor penyebab
2
Anaplasmosis di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng juga perlu dilakukan sebagai dasar program pencegahan dan pengendalian Anaplasmosis di wilayah tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah adalah berapa prevalensi Anaplasmosis pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dan faktor-faktor risiko apa yang mempengaruhi kejadian penyakit tersebut. 1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui berapa prevalensi dan faktor-faktor risiko Anaplasmosis pada sapi Bali di Kelurahan LalabataRilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. 1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi Dinas Peternakan Kabupaten Soppeng dan instansi terkait lainnya dalam mencegah dan menanggulangi penyakit Anaplasmosis pada sapi. 1.4.2 Manfaat ilmiah Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan sebagai salah satu bahan bacaan yang berharga bagi peneliti berikutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini dibatasi lokasinya hanya di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamataan Lalabata, Kabupaten Soppeng 2. Penelitian ini dibatasi lingkupnya pada manajemen pemeliharaan, kondisi kandang, pengendalian vektor dan pengetahuan peternak yang mempengaruhi kejadian Anaplasmosis pada sapi di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. 3. Penelitian ini dibatasi pada subjek yaitu warga yang memiliki peternakan sapi skala kecil.
3
1.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah 1. Prevalensi Anaplasmosis pada sapi bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng adalah sebesar 2%. 2. Manajemen pemeliharaan, kondisi kandang, pengetahuan peternak dan pengendalian vektor berpengaruh terhadap kejadian Anaplasmosis. 1.7 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai prevalensi dan faktor-faktor risiko Anapalsmosis di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai parasit darah di Indonesia telah banyak dilakukan seperti halnya Ichsan (2014) Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dan Anggaraini (2013) Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
4
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Bali
Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga disebut sapi Bali. Sapi Bali menyebar ke pulau-pulau di sekitar pulau Bali melalui komunikasi antar rajaraja pada zaman dahulu. Sapi Bali telah tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan berkembang cukup pesat di daerah karena memiliki beberapa keunggulan. Sapi Bali mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah, dan lainlain. Tingkat kesuburan (fertilitas) sapi Bali termasuk amat tinggi dibandingkan dengan sapi lain, yaitu mencapai 83%, tanpa terpengaruh oleh mutu pakan. Tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi ini merupakan salah satu keunikan sapi Bali (Guntoro, 2002). Sapi Bali merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional. Usaha sapi Bali mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai usaha masyarakat pedesaan, untuk peningkatan kesejahteraan yang pada gilirannya dapat mencapai swasembada daging (Bandini, 2003). Sapi potong (sapi Bali) telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional (Suryana, 2009). 2.2. Parasit Darah
Parasit darah merupakan salah satu penyebab penyakit ternak yang cukup penting dan bersifat endemik sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar antara lain berupa penurunan berat badan, penurunan kualitas produk ternak, dan kematian ternak. Jenis-jenis penyakit parasit darah yang penting di Indonesia antara lain Babesiosis, Anaplasmosis, dan Theileriosis. Penyebaran parasit ini tergantung dari populasi caplak di daerah tersebut (Soulsby, 1982) dan dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim, cuaca, sosial budaya, dan sosial ekonomi di daerah tersebut (Brotowidjoyo, 1987). Hewan yang terinfeksi parasit darah akan menimbulkan kerugian bagi peternak antara lain berupa penurunan bobot badan, pertumbuhan terhambat, biaya pengendalian yang harus dikeluarkan, dan terjadinya kematian (Nasution, 2007). Banyaknya kerugian yang diakibatkan oleh parasit tersebut dan cepatnya transmisi parasit ke ternak maka perlunya dilakukan identifikasi parasit secara berkelanjutan. Indonesia sebagai negara tropis merupakan lingkungan yang baik bagi perkembangan parasit, sehingga parasit pada ternak merupakan kendala biologis yang sulit diatasi, terutama pada peternakan tradisional (Partoutomo,2004).
5
Anaplasma sp. telah lama digolongkan kedalam protozoa, yang menyebabkan Tick-Borne Disease, tapi saat ini secara taksonomi Anaplasma sp. telah digolongkan ke dalam Rickettsia (Seddon, 1966). Salah satu dari banyak spesies, Anaplasma marginale adalah patogen terutama pada sapi tetapi tidak terbatas pada ternak (Durrani dan Goyal, 2010). 2.2.1 Anaplasmosis Anaplasmosis merupakan penyakit infeksius yang ditularkan pada hewan ternak yang ditandai dengan anemia. Infeksi Anaplasma sp. biasanya dapat bersamaan dengan infeksi Babesia sp.. (Astyawati, 2005).
Gambar 1. Gambaran Mikroskopoik Anaplasmosis (Mafra, 2015)
2.2.2 Etiologi Anaplasmosis umumnya disebabkan oleh Anaplasma centrale, Anaplasma marginale, Paranaplasma caudate, Paranaplasm adiscoides bersifat patogen, sedangkan Anaplasma centrale pada umumnya tidak patogen. Dengan pewarnaan Wright atau Giemsa, titik tersebut berwarna merah cerah atau merah tua, dengan diameter 0,1-1,0 mikron (Pane, 1993). Taksonomi Anaplasma menurut Dumler dkk. (2001) adalah sebagai berikut: Filum : Protobacteri Kelas : Alpha Protobacteria Ordo : Rickettsiales Famili : Anaplasmataceae Genus : Anaplasma Anaplasma sp. berukuran kecil 0.3-0.4 µm, berbentuk kokoid sampai elips dan menyebabkan Anaplasmosis (Boone dkk., 2001).Vektor dari Anaplasma sp. adalah Boophilus, Rhipicephalus, Hyalomma, Dermacentor, dan Ixodes (Kocan dkk., 2004).
6
a
b
Gambar 2. (a) Gambaran Mikroskopik Anaplasma centrale, (b) Gambaran Mikroskopik Anaplasma marginale (Sherry, 2012)
2.2.3 Siklus hidup
Gambar 3. Siklus Hidup Anaplasma sp. (Kocan, dkk. 2003)
Sel darah merah yang terinfeksi ikut bersama darah yang dihisap caplak yang mengandung Anaplasma marginale ke sel-sel usus. Setelah Anaplasma marginale berkembang di sel-sel usus, banyak jaringan yang ikut terinfeksi, termasuk kelenjar saliva, dimana yang menyebarkan ke vertebrata saat menghisap darah (Kocan, 1986 ; Kocan, dkk. 1992, dan Ge, dkk. 1996). Dua bentuk dari Anaplasma marginale yaitu bentuk vegetatif (reticulated) dan bentuk padat (dense) ditemukan di dalam sel caplak yang terinfeksi. Bentuk vegetatif (reticulated) muncul pertama kali dengan pembelahan biner. Bentuk reticulated berubah menjadi bentuk padat (dense) yang merupakan bentuk infektif dan dapat
7
bertahan hidup di luar sel. Sapi terinfeksi Anaplasma marginale ketika bentuk padat disebarkan ketika caplak meghisap darah melalui kelenjar saliva (Kocan dkk., 2004) 2.2.4 Penyebaran Larva, nimfa dan caplak dewasa dapat menyebarkan Anaplasma Marginale. Infeksi kemungkinan menyebar ketika hewan yang terinfeksi menginfeksi hewan lainnya. Kebanyakan terjadi ketika caplak mengerumuni sekelompok sapi ketika berada di ladang penggembalaan. Menggabungkan sapi yang dikerumuni caplak dengan yang tidak seharusnya dihindari. Anaplasmosis dapat menyebar dalam jumlah sedikit darah yang terinfeksi. Prosedur dari pemotongan tanduk, kastrasi, vaksinasi dan pengumpulan sampel darah yang tidak sempurna dengan menggunakan alat-alat operasi dan jarum dari sapi yang teinfeksi dapat menyebar dalam kelompok (Radunz, 2008). Transfer caplak
Hewan yang terinfeksi
Hewan yang sehat
Gambar 4. Transmisi Anaplasmosis (Radunz, 2008)
2.2.5 Patogenesis Tahapan infeksi Anaplasmosis pada mamalia dibagi menjadi empat stadium yakni inkubasi, perkembangan, persembuhan, dan karier. Stadium inkubasi dimulai ketika Anaplasma sp. mulai menginfeksi sel darah hingga 1% dari sel darah total (Kocan dkk., 2010). Pada stadium inkubasi sel darah terlihat lisis tapi tidak menunjukkan gejala klinis. Stadium perkembangan mulai menunjukkan gejala klinis akibat manifestasi gangguan sel darah merah, dan hemoglobin yang menurun serta meningkatnya level parasitemia. Stadium persembuhan dan karier akan dialami hewan terinfeksi jika dapat melewati stadium inkubasi dan perkembangan. Pada stadium persembuhan jumlah sel darah merah, dan hemoglobin kembali ke rentang normal, akan tetapi hewan tersebut bisa menjadi karier dan menjadi sumber Anaplasmosis bagi hewan domestik sehat lainnya. Agen masuk melalui gigitan caplak terinfeksi pada tubuh inang, kemudian masuk kedalam eritrosit melalui proses endositosis, dan terjadi pembelahan biner. Hasil pembelahan dikeluarkan melalui permukaan sel dan bersifat menular pada eritrosit lainnya (Fooley dan Biberstein, 2004). Seluruh stadium perkembangan caplak memiliki potensi menyebarkan Anaplasma sp. (Kocan dkk., 2010). Patogenitas Anaplasmosis sangat bervariasi tergantung pada umur. Anak sapi mengalami infeksi ringan dengan sedikit kematian atau tidak sama sekali. Pada ternak dewasa penyakit yang dialami sangat hebat, angka kematian
8
mencapai 20-50%. Semua jenis dan tipe ternak dapat terkena parasit ini (Yudhie, 2009). 2.2.6 Gejala klinis Anaplasmosis dibagi menjadi empat bentuk yaitu, bentuk ringan, perakut, akut dan kronis. Menurut Christensen (1956) bentuk ringan biasanya menyerang anak sapi sampai umur satu tahun dan gejalanya sering tidak teramati. Kalaupun dapat terlihat gejalanya hanya bersifat sementara seperti depresi, kehilangan nafsu makan, bulu suram, penurunan kondisi tubuh, konstipasi dan kadang-kadang keluar eksudat mukopurulen dari mata dan hidung. Bentuk perakut merupakan bentuk paling hebat, biasanya fatal dan hewan yang diserang mati beberapa jam setelah penularan. Sapi yang diserang seringkali diatas umur tiga tahun terutama sapi ras murni atau sapi-sapi yang bereproduksi tinggi. Gejala yang nampak terutama depresi hebat, seringkali terlihat gerakan inkoordinasi, demam tinggi, hipersalivasi, respirasi cepat dan aliran susu terhenti (Ristic, 1977). Bentuk akut adalah bentuk yang sering ditemukan. Serangannya yang paling hebat ditemukan pada sapi-sapi pada puncak pertumbuhannya. Gejala yang terlihat adalah kenaikan suhu tubuh menjadi 400C ataupun lebih, walaupun demam ini kurang nyata pada beberapa kasus, kemudian depresi, respirasi dipercepat, nafsu makan berkurang, pulsus meningkat, konstipasi, atoni rumen dan aliran susu terhambat (Christensen, 1956). Selama penyerangan eritrosit dan anemia berkembang, terjadi kepucatan selaput lendir, takipnea, pulsus juga dipercepat dan temperatur tubuh menurun sampai tingkat demam ringan atau suhu normal. Pada puncak gejala anemia, terjadi kepucatan dan ikterus pada selaput lendir secara umum seperti pada kelopak mata, dan puting, kemudian jantung berdebar keras dengan pulsus meningkat sampai 150 atau lebih serta kelemahan dan kekurusan. Gejala lain adalah keluarnya eksudat mukopurulen dari hidung, saliva, tremor otot, kehausan dan kelemahan hebat. Abortus dapat terjadi pada sapi bunting. Selama terjadi regenerasi dari eritrosit-eritrosit, hewan mengalami periode penyembuhan yang panjang untuk kembali memulihkan kondisi dan mengembalikan fungsi-fungsi normalnya. Anaplasmosis bentuk kronis dapat terjadi sebagai lanjutan serangan akut yang hebat pada hewan yang tenaga dan kemampuan regenerasi darahnya kurang, sehingga pada kasus ini hilangnya badan-badan Anaplasma sangat lambat sesuai dengan terbentuknya eritrosit-eritrosit muda. Gejala yang nampak adalah anoreksia, kehausan, pulsus meningkat, ikterus dan kekurusan yang berlangsung selama beberapa minggu sampai beberapa bulan sehingga persembuhannya lambat. Sapi-sapi yang mengalami bentuk kronis ini tidak pernah kembali pada berat badan dan produksi susunya yang normal. Kematian bisa terjadi jika anemia dan ikterus sangat hebat (Christensen, 1956). 2.2.7 Diagnosa Metode yang digunakan untuk menguji infeksi Anaplasma marginale pada sapi menggunakan cara langsung dan tidak langsung. Metode langsung dengan
9
mendeteksi organisme atau DNA, diantaranya evaluasi dari ulas darah dengan pewarnaan Giemsa dan Polymerase Chain reaction (PCR). Metode tidak langsung dengan mendeteksi antibodi yang langsung melawan antigen Anaplasma marginale, diantaranya Card Aglutinatiom Test (CAT) and Competitive EnzymeLinked Immunosorbent Assay (cELISA) berdasarkan deteksi dari spesifik antibodi dari Major Surface Protein 5 (MSP5). Diagnosa dengan ulas darah adalah teknik yang paling sensitif ketika digunakan untuk mengevaluasi hewan dengan sakit klinikal, selama fase akut penyakit (Eriks dkk., 1989), tetapi parasit jarang terdeteksi secara mikroskopik pada infeksi kronis. Polymerase Chain Reaction (PCR) mendeteksi DNA parasit dan jumlah relatif dari DNA terdeteksi yang berkolerasi dengan level parasitemia (Barbet dkk., 1987)) Metode diagnosa lain adalah dengan Indirect Flourescent Antibody (IFA) dan Complement Fixation Test (CFT) (Radostits dkk., 2007) Diagnosis pada Anaplasmosis berdasarkan pada gejala klinis. Pada kejadian akut, 10 sampai 50% sel darah merah dapat terinfeksi. Ulas darah dengan pewarnaan Giemsa adalah cara yang sederhana untuk mengidentifikasi Anaplasma sp.. Pada ulasan darah Anaplasma marginale terlihat padat, bulat, badan intraeritrositik sekitar 0.3-1.0 µm dalam posisi diameter atau dekat dengan garis eritrosit (Anonim, 2008). 2.2.8 Diagnosa banding 1. Babesiosis Babesia sp. adalah parasit darah yang dapat menyebabkan Babesiosis. Jenis Babesia sp. yang menginfeksi sapi adalah Babesia bigemina, Babesia bovis, Babesia divergens, Babesia argentina, Babesia major. Babesia dapat menyebabkan penyakit yang serius pada sapi, yaitu penyakit Cattle Tick Fever, Texas Fever, Red Water Fever, dan Piroplasmosis. Babesia sp. yang biasanya menginfeksi sapi yang ada di Indonesia adalah Babesia bigemina dan Babesia bovis (Levine, 1970). Babesia sp. merupakan parasit darah yang tersebar di seluruh dunia termasuk di Indonesia, dan ditemukan pertama kali oleh Babes tahun 1888. Babesia memiliki morfologi berbentuk bulat seperti buah pir, oval, piriform, dan berpasangan dengan ukuran sebesar 1.5-2.5 µm (De Sá dkk., 2006). Babesiosis dicirikan dengan fase akut yang menimbulkan anemia, ikterus, hemoglobinuria, splenomegali dan demam sampai 42ºC (Kaufmann 1996; Radostits dkk., 2000 ; Saleh, 2009).
Gambar 5. Gambaran Mikroskopik Babesiosis (Anonim, 2015)
10
2. Theileriosis Theileria berbentuk batang dengan ukuran 1.5-2.0x0.5-1.0 µm (Levine, 1995) yang menyebabkan Theileriosis. Infeksi diperantarai Rhipichepalus, Hyalomma, Amblyomma dan Haemaphysalis (Urquhart dkk., 2003). Theileria yang menginfeksi sapi adalah T. annulata, T. parva, T. mutans, T. sergenti, T. taurotragi dan T. velifera (Billiow, 2005). Infeksi Theilleria sp. menyebabkan kelemahan, berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, ptekhi pada mukosa konjungtiva, pembengkakan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Sedangkan infeksi pada stadium lanjut menyebabkan hewan tidak dapat berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T<38,5ºC), ikterus, dehidrasi, dan kadang ditemukan darah difeses (Kelles dkk., 2001).
Gambar 6. Gambaran Mikroskopik Theileriosis (Anonim,2007)
2.2.9 Pengobatan dan Pengendalian Anaplasmosis dapat diobati dengan tetracycline tetapi proses kesembuhannya lama. Pengendalian dari penyakit ini dapat menggunakan banyak faktor. Penting untuk memperhatikan jarum atau alat-alat yang terkontaminasi. Ketika ingin melalukan penyuntikan ke kelompok jarum diganti dan pisau kastrasi, alat pemotong tanduk atau instrument tattoo disimpan dan diberikan desinfektan (Powell, 2010). 2.3
Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anaplasmosis
2.3.1 Manajemen Pemeliharaan Sistem pemeliharaan ternak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam kejadian penyakit parasit darah. Sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif, ekstensif, dan mixed farming system (sistem pertanian campuran). Sistem pemeliharaan ekstensif yaitu ternak dilepas di padang penggembalaan (Hernowo, 2006). Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan secara terus-menerus dan (b) sapi di kandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus dengan sistem pemberian
11
pakan secara cut and curry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif. Kelemahan terletak pada modal yang dipergunakan lebih tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakan (Susilorini dkk., 2009). Pada sistem pemeliharaan semi intensif, umumnya ternak dipelihara dengan cara sapi-sapi ditambatkan atau digembalakan di ladang, kebun, atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur pada siang hari. Sore harinya, sapi tersebut dimasukkan ke dalam kandang sederhana dan lantainya dari tanah yang dipadatkan. Pada malam hari, sapi diberi pakan tambahan berupa hijauan. Dapat juga ditambah pakan penguat berupa dedak halus yang dicampur dengan sedikit garam (Sugeng, 2000). Dalam hal perawatan, kandang sapi dibersihkan setiap hari atau minimal seminggu sekali. Sementara sistem intensif adalah sapi-sapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak. Sapi diberikan pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat besar dan gemuk. Kotorannya pun biasa terkumpul dalam satu tempat sehingga mudah dibersihkan dan dimanfaatkan untuk keperluan lain (Bambang, 2005). Usaha pencegahan penyakit yaitu sebelum kandang ditempati terlebih dahulu disiram dengan air kapur supaya bebas dari bibit penyakit, memandikan ternak setiap pukul 07.00 dan siang pukul 13.00, membersihkan kandang dan selokan (Zakariah, 2013). 2.3.2 Kondisi Kandang Keseluruhan lantai kandang terbuat dari semen yang dicor bentuk beton. Dinding kandang terbuat tembok setengah terbuka, guna mempertahankan kesegaran udara dalam kandang. Atap kandang terbuat dari bahan genteng, seng dan Galfalum dengan tipe atap double. Pembersihan kandang dan perlengkapannya dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 dan pada siang hari pukul 13.00. Pembersihan dilakukan dengan menyemprotkan air dengan selang keseluruh bagian kandang sampai bersih termasuk tempat pakan dan ternak itu sendiri. Desinfeksi dilakukan dua kali seminggu dengan cara menyemprotkan ke seluruh bagian kandang. Desinfektan berupa snifet dan formalin. Penyediaan obat tergantung kondisi lapangan, jika persediaan tidak ada maka dapat dibeli pada saat diperlukan (Zakariah, 2013). 2.3.3 Pengendalian Vektor Beriajaya (2005) mengemukakan vektor yang aktif berperan dalam penyebaran penyakit dapat terjadi dimana dan kapan saja, seiring dengan perubahan lingkungan dia berada. Untuk mengendalikan vektor yang berperan sebagai penyebar penyakit ini dapat dilakukan dengan cara memutus daur hidup dan menggunakan insektisida. Setiap vektor mempunyai siklus hidup yang berbeda-beda, mulai dari telur, larva atau nimfe dan dewasa. Semuanya ini mempunyai karakteristik sendiri yang spesifik dan sangat dipengaruhi keadaan lingkungan. Oleh karena itu pengetahuan tentang epidemiologi dari vektor tersebut sangat penting dan diperlukan untuk membuat program
12
penanggulangannya. Keakuratan data dari sistem di alam yang menyangkut sistem vector-borne disease dan agen penyakit-vektor-hospes akan mempengaruhi model program penanggulangan yang akan diajukan (Randolph dan Nuttall, 1994). 2.3.4 Pengetahuan Peternak Pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat bervariasi, mulai hanya mendengar mengenai suatu kegiatan sampai kepada tingkat mengetahui tujuan kegiatan dan prosedur, manfaat dan kewajiban (Surya,1997). Pengetahuan dapat diperoleh petani peternak melalui pendidikan formal dan non formal. Latar belakang pendidikan akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap peternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Mosher (1987) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang dialami oleh seseorang, maka tingkat pengetahuan dan keterampilannya akan semakin tinggi serta sikapnya lebih terbuka terhadap teknologi baru. 2.4
Keadaan Geografis
Kabupaten Soppeng merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara administratif, Kabupaten Soppeng berbatasan dengan wilayah-wilayah berikut ini: 1. Sebelah utara : Kabupaten Sidrap dan Wajo 2. Sebelah selatan: Kabupaten Bone 3. Sebelah timur : Kabupaten Wajo dan Bone 4. Sebelah barat : Kabupaten Barru Kabupaten Soppeng meliputi wilayah seluas 1.500 km2 yang terbagi menjadi delapan kecamatan. Kecamatan yang memiliki wilayah paling luas yaitu Kecamatan Marioriawa dengan luas wilayah 320 km2, sedangkan kecamatan yang memiliki wilayah paling sempit yaitu Kecamtan Citta dengan luas wilayah 40 km2. Berturut-turut kecamatan mulai dari luas wilayah terluas hingga tersempit yaitu Marioriawa, Marioriwawo, Lalabata, Donri-Donri, Lilirilau, Liliriaja, Ganra dan Citta. Ibukota Kabupaten Soppeng yaitu Watansoppeng yang berada di Kecamatan Lalabata. Jarak Ibukota Kabupaten Soppeng ke Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yaitu 170 km. Jarak Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten Soppeng terjauh yaitu Ibukota Kecamatan Citta yang mencapai 35 km. Secara administratif, Kabupaten Soppeng terdiri dari delapan kecamatan, dimana didalamnya terdapat 49 desa dan 21 kelurahan. Dari semua desa yang ada di Kabupaten Soppeng terdapat 124 dusun sedangkan dari sebanyak 21 kelurahan yang ada terdapat 39 lingkungan.
13
2.5
Alur Penelitian
DARAH sampel ulas darah
SAPI
POSITIF
NEGATIF
FAKTOR RISIKO KEJADIAN ANAPLASMOSIS
2.6
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terbagi atas dua yaitu variabel independen dan variabel dependen.Variabel independen terdiri atas manajemen pemeliharaan, kondisi kandang, pengendalian vektor, dan pengetahuan peternak, sedangkan variabel dependen adalah kejadian Anaplasmosis yang terjadi di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.
Manajemen kandang
Kondisi Kandang
Pengendalian Vektor
Pengetahuan Peternak
Kejadian Anaplasmosis
14
3. MATERI DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dan di Laboratorium Balai Besar Veteriner (BBV) Maros. 3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sapi yang terdapat di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng sebanyak 771 ekor (Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Soppeng, 2013). Dinas Peternakan Soppeng tahun 2011 sampai 2013 menunjukkan bahwa prevalensi Anaplasmosis pada sapi adalah 2 % (asumsi prevalensi diperoleh berdasar data epidemiologi tehadap diagnosa lapang diseluruh Kabupaten Sidrap). Bila tingkat konfidensi 95 % dan galat 5 % maka besaran sampel dihitung berdasar rumus Martin dkk., (1987), yakni = , dengan n = besaran sampel, P asumsi tingkat prevalensi di daerah penelitian, Q adalah (1-P) dan L = galat yang dinginkan. =
4PQ 4(0,02)(0,98) = = 31 Ekor L (0,05)
Berdasarkan rumus di atas diperoleh jumlah sampel minimal 31 sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling dengan mengambil sampel yang terdapat di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng 3.2.2 Bahan Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini berupa darah sapi Bali, air, methanol absolute, dan Pewarna Giemsa. 3.2.3 Alat Penelitian ini akan menggunakan alat-alat yaitu gelas objek, kotak preparat, jarum steril, pipet tetes, wadah plastik dan besi, mikroskop, spidol marker dan kuesioner sebagai alat untuk pengumpulan data.
15
3.3
Metode Penelitian
3.3.1 Pengambilan Sampel Darah Sampel darah diambil melalui Vena auricularis telinga menggunakan jarum steril. Setetes darah diletakkan pada tepi gelas objek 1, dengan perlahan ujung gelas objek 2 ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 didorong membentuk sudut 45º sehingga terbentuk ulas darah tipis. Sediaan ulas darah dikeringkan selama 1 menit dan difiksasi menggunakan methanol absolut selama 3-5 menit. Setelah dibiarkan kering, sediaan ulas darah dimasukkan ke dalam kotak preparat untuk dibawa ke laboratorium (Mahmmod dkk., 2011). 3.3.2 Pewarnaan sampel ulas darah Preparat ulas darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa selama 45 menit. Kemudian bilas dengan air kran dan keringkan dengan mendirikan pada salah satu ujungnya (Wirawan, 2011). 3.3.3 Pemeriksaan sampel ulas darah Pemeriksaan ulas darah diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dengan menggunakan minyak emersi (Wirawan, 2011). 3.3.4 Analisis Data 3.3.4.1 Pengumpulan Data Melalui Kuesioner Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data tambahan berkaitan dengan faktor risiko berupa manajemen pemeliharaan, kondisi kandang pengetahuan peternak, dan pengendalian vektor. 3.3.4.2 Prosedur Analisis Data Analisis data yang digunakan pada penelitian adalah analisis secara deskriptif. Perhitungan untuk mencari prevalensi Anaplasma sp. menggunakan rumus sebagai berikut (Budiharta, 2002): Prevalensi=
%
Keterangan: F : Jumlah frekuensi dari setiap sampel yang diperiksa dengan hasil positif. N: Jumlah dari seluruh sampel yang diperiksa. Data hasil kuesioner dan hasil pengujian ulas darah Anaplasmosis, kemudian disimpan sebagai database dan diolah.
16
Hasil data faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian penyakit Anaplamosis pada sapi bali dianalisis secara deskriptif dan diuji chi square (χ2) untuk mengukur hubungan faktor-faktor tersebut terhadap kejadian Anaplasmosis pada tingkat kepercayaan 95%. Besaran kekuatan hubungan dihitung dengan uji odds ratio (OR) pada tingkat kepercayaan 95%.
17
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi Anaplasmosis di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng mulai tanggal 11 Nopember sampai 17 Nopember 2014. Sebanyak 31 sampel ulas darah dikumpulkan secara rambang sederhana. Sampel diambil pada peternak yang terdapat di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. Pemeriksaan sampel ulas darah dilakukan di laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBV) Maros dengan menggunakan pewarna Giemsa yang bertujuan untuk mengidentifikasi Anaplasma sp.
Gambar 7. Hasil Pemeriksaan sampel ulas darah dengan pewarnaan Giemsa. (panah : Anaplasma marginale) (Perbesaran 100x)
Berdasarkan hasil pengamatan dengan mikroskop nampak sepeti titik berwarna merah tua pada bagian tepi sel darah merah (Gambar 7) adalah Anaplasma marginale. Hasil penelitian jika dibandingkan dengan Anaplasma sp. Saputra (2013), dan Kocan dkk. (2004) terlihat sama (Gambar 8).
a
b
c
Gambar 8. Hasil Pemeriksaan Anaplasmasp. dibandingkan dengan literature (a) Gambar mikroskopik Anaplasma sp. (Saputra, 2013), (b) Anaplasma sp. (Kocan dkk., 2003), (c) Anaplasma sp. (hasil penelitian)
18
Tabel 1. Distribusi Anaplasmosis pada Sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng No Nama Peternak 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
La Siang Hamzah T. Daya Muh. Tang Najamuddin La Boko La Semmang Hamzah H. Lennu Sahrul La Mure Zainuddin Adi La Ontong Jafar H. Aras Hj. Upe H. Firman Alimin Jamaluddin Tamrin Burhanuddin La Hatta Bahar A. Haruna Hana Siti Salebu Sukardi Aras Mega
Dusun
Anaplasma sp. Positif Negatif √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Panincong Laempa Laempa Laempa Laempa Laempa Laempa Laempa Laempa Laempa
Dari 31 sapi bali yang diambil sampel ulas darahnya hanya satu yang terinfeksi Anaplasma sp. Dan 30 sampel ulas darah lainnya tidak ditemukan ada Anaplasma sp. Berdasarkan data diatas, maka perhitungan untuk mencari prevalensi Anaplasma sp. Prevalensi = = 3,2%
%
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi Anaplasmosis pada sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng adalah sebesar 3,2%. Anggraini pada tahun 2013 di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat sebesar 38,3 %. Ichsan (2014) juga melaporkan tingkat infeksi Anaplasma
19
sp. di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya sebesar 30,70%. Wibowo (2014) juga melaporkan kejadian Anaplasmosis di Kecamatan Cipatujah, Tasikmalaya sebesar 29,57 %. Selain itu, Saputra (2013) juga melaporkan tingkat infeksi Anaplasmosis di Kabupaten Subang pada sapi dewasa yaitu sebesar 51,5 %. Anaplasmosis dapat terjadi di daerah tropis dan subtropis. Prevalensi Anaplasmosis berbeda-beda dipengaruhi oleh kondisi iklim serta letak geografis yang sesuai untuk perkembangan caplak dan lalat penghisap darah yang merupakan vektor pembawa parasit darah. Himawan (2009) menyatakan bahwa daur hidup caplak dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, dan curah hujan, sehingga dengan kelembapan tinggi, caplak dapat berkembang biak secara terus-menerus sepanjang tahun. 4.1 Deskripsi Variabel Penelitian Variabel yang menggambarkan faktor risiko kejadian Anaplasmosis pada sapi bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Deskripsi Variabel Penelitian Faktor-Faktor Risiko Anaplasmosispada Sapi Bali di Kelurahan LalabataRilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. No.
Variabel
Deskripsi
Hasil Deskripsi
I. Informasi Dasar 1.
2.
I.3c
1.3d
Pendidikan terakhir peternak: 1.
Tidak Sekolah
= 9,7 % (3/31)
2.
SD
= 22,6 % (7/31)
3. 4.
Tidak Tamat SD SMA
= 61,3% (19/31) = 3,2 % (1/31)
5.
PT
= 3,2 % (1/31)
Pengalaman beternak sapi: 1.
1-10 tahun
= 16,1% (5/31)
2.
11-20 tahun
= 45,3 % (14/31)
3.
21-30 tahun
= 16,1 % (5/31)
4.
31-40 tahun
= 12,9 % (4/31)
5.
41-50 tahun
= 9,7 % (3/31)
II. Populasi Ternak II.
Populasi Sapi 1.
< 5 ekor
= 65 % (20/31)
2.
≥ 5 ekor
= 35 % (11/31)
20
No. Variabel Deskripsi III. Kelompok Variabel Manajemen Pemeliharaan 1
2.
3.
III.1
III.2
III.3
Sistem Pemeliharaan 1. Intensif 2. SemiIntensif 3. Ekstensif
Hasil Deskripsi
= 0% (0/31) = 87,1 (21/31) = 12,9 % (4/31)
Merawat Sapi 1.
Dimandikan setiap hari
= 77,4 % (24/31)
2.
Tidak dimandikan/dibiarkan
= 22,6 % (7/31)
Kondisi Sapi 1.
Sehat
= 100 % (31/31)
IV. Kelompok Variabel Kondisi Kandang 1.
2.
3.
1V.1
1V.2
IV.3
Letak Kandang : 1.
Dekat kandang lain
= 64,5% (20/31)
2. 3.
Dekat ladang penggembalaan Kandang sapi sendiri
= 6,5 % (2/31) = 16,1 % (5/31)
4.
Tidak memiliki kandang
= 12,9 % (4/31)
Kondisi Kandang : 1.
Beralaskan rumput
= 25,8 % (8/31)
2. 3.
Kandang bagus/modern Disekitar kandang terdapat sisa kotoran dan pakan
= 38,7 % (12/31)
Kandang yang baik menurut peternak : 1. 2.
V.1
V.4
= 35,5 % (11/31)
Dibersihkan berkala Desinfektan
= 93,5% (29/31) = 6,5% (2/31)
Pernah mendengar penyakit Anaplasmosis : 1.
Ya
=0%
2.
Tidak
= 100 % (31/31)
Tindakan Pengedalian vektor : 1.
Diasapi
= 51,6 % (16/31)
2.
Insektisida
= 25,8 % (8/31)
3.
Tidak melakukan apa-apa
= 22,6 % (7/31)
Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum pendidikan terakhir peternak di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng adalah tidak menamatkan SD yaitu sebesar 61,3 % dan sisanya adalah SD 22,6%, SMA 3,2 %, PT 3,2 % dan tidak sekolah sebesar 9,7 %. Pengalaman peternak dibagi berdasarkan lama tahun peternak tersebut berternak. Dikelompokkan menjadi 110 tahun (16,1%), 11-20 tahun (45,3%), 21-30 tahun (16,1%), 31-40 tahun
21
(12,9%) dan 41-50 tahun (9,7%). Jumlah sapi bali yang dipelihara peternak dikelompokkan menjadi jumlah sapi bali <5 ekor (65%) dan ≥ 5 ekor (35%). Kelompok variabel manajemen pemeliharaan terbagi atas sistem pemeliharaan, merawat sapi dan kondisi sapi. Sistem pemeliharaan sapi bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng didominasi secara semi intensif (87,1%) dan sisanya adalah secara ekstensif (12,9%). Sebagian besar peternak merawat sapi dengan dimandikan setiap hari (77,4 %) dan sebanyak 22,6% peternak tidak memandikan sapinya. Kondisi sapi bali peternak di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata Rilau, Kabupaten Soppeng dalam keadaan sehat (100%). Kelompok variabel kondisi kandang, sebagian besar letak kandang sapi berdekatan dengan kandang sapi lainnya (64,5%), kandang dekat ladang penggembalaan (6,5%), kandang sapi sendiri (16,1%) dan sebanyak 12,9% sapi tidak memiliki kandang. Kondisi kandang didominasi oleh kondisi kandang yang sudah bagus atau sudah modern (38,7%), beralaskan rumput (25,8%), dan disekitar kandang terdapat sisa kotoran dan pakan (35,5%). Sebagian besar peternak merespon bahwa kandang yang baik adalah kandang yang dibersihkan berkala (93,5%) dan sisanya adalah kandang dibersihkan menggunakan desinfektan (6,5%). Peternak di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng tidak pernah mendengar tentang penyakit Anaplasmosis (100%). Adapun tindakan yang dilakukan untuk mengendalikan faktor penularan (vektor) dengan cara diasapi (51,5%), menggunakan insektisida (25,8%) dan tidak melakukan tindakan apapun (22,6%). 4.2 Analisis Faktor-Faktor Risiko Anaplasmosis Pada Sapi Bali Analisis chi square (x2) dan odd ratio (OR) dari faktor-faktor risiko Anaplasmosis pada sapi bali di Kelurahan LalabataRilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Faktor-Faktor Risiko Anaplasmosis pada Sapi Bali di Kelurahan LalabataRilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng Kasus No. 1.
Variabel
Keterangan
Neg
Pos
Chi Square (X2)
Fisher’s Test OR 2-sided
1-sided
Manajemen Pemeliharaan a.
b.
c.
Sistem Pemeliharaan
Merawat Sapi
Kondisi Sapi
Risiko Rendah
1
26
Risiko Tinggi
0
4
Risiko Rendah
23
1
Risiko Tinggi
7
0
Risiko Rendah Risiko Tinggi
30 -
1 -
0,696*
1,000
0,871**
-
0,583*
1,000
0,774**
-
a
-
-
-
22
Kasus No. 2.
Variabel
Neg
Pos
Chi Square (X2)
Risiko Rendah
3
1
0,008*
0,129
0,129**
-
Risiko Tinggi
27
0
Risiko Rendah
11
1
0,201*
0,387
0,387**
-
Risiko Tinggi
19
0
Risiko Rendah
30
1
a
-
-
-
Risiko Tinggi
0
0
Ya
0
0 -
-
-
-
Tidak
30
1
Risiko Rendah
23
1 0,583*
1,000
0,774**
-
Keterangan
Fisher’s Test OR 2-sided
1-sided
Kondisi Kandang a.
Letak Kandang Sapi
b.
Kondisi Kandang
c.
Kandang sapi yang baik 3
3.
Pengetahuan Peternak a. Pernah Mendengar Anaplasmosis
b.
Tindakan untuk Mengendalikan Faktor Penularan (Vektor)
Risiko Tinggi
7
00
Ket: *: tidak layak untuk uji chi-square, ** : tidak signifikan (P>0,05), a : konstan Tabel 3 menunjukkan berdasarkan hasil analisis manajemen pemeliharaan diperoleh nilai expected kurang dari lima, hal ini tidak memenuhi syarat uji chisquare tabel 2x2. Uji yang digunakan adalah uji alternatifnya yaitu uji Fisher menghasilkan nilai p > 0,05. Uji Fisher menunjukkan tidak adanya hubungan manajemen pemeliharaan dengan kejadian Anaplasmosis di Kelurahan Lalabata, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. Hasil yang sama didapatkan dari hasil analisis kondisi kandang, pengetahuan peternak dan tindakan pengendalian vektor yang menunjukkan tidak adanya hubungan dengan kejadian Anaplasmosis di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. Nilai Kekuatan hubungan atau Odds Ratio (OR) tidak dapat dihitung karena tidak adanya hubungan manajemen pemeliharaan, kondisi kandang, pengetahuan peternak, dan tindakan pengendalian vektor dengan kejadian Anaplasmois. Sebagian besar peternak memelihara sapi dengan sistem pemeliharaan semi-intensif (87,1%) dan memelihara dengan ekstensif (12,9%). Pemeliharaan dengan metode ekstensif dapat menyebabkan kejadian Anaplasmosis tinggi, diduga berkaitan dengan tingginya caplak yang menginfeksi inang secara berkala dan terus-menerus. Caplak bertindak sebagai inang antara yang mentransmisi secara biologis, dan lalat mentransmisi secara mekanik (Kocan dkk., 2000). Adapun masih terdapatnya sapi yang terinfeksi pada peternakan dengan sistem pemeliharaan semi-intensif, diduga disebabkan berasal dari sapi yang terinfeksi saat digembalakan dan dikandangkan menginfeksi sapi lainnya. Kejadian tersebut dilakukan oleh caplak yang menempel pada sapi terinfeksi kemudian menginfeksi sapi lain melalui gigitan. Nasution (2007) menyatakan bahwa waktu sapi
23
merumput berpengaruh terhadap infeksi parasit darah. Menurut Himawan (2009), rumput segar dipagi hari tidak baik untuk ternak, karena caplak sedang aktif berburu dan sedang berada di puncak rerumputan Nilai yang didapatkan, tidak adanya hubungan manajemen pemeliharaan, kondisi kandang, pengetahuan peternak dan tindakan pengendalian vektor dengan kejadian Anaplasmosis dapat disebabkan beberapa faktor. Lingkungan yang bersih dan terisolasi (merupakan daerah pegunungan) dapat menjadi faktor, walaupun ternak tidak dikandangkan (ekstensif) tidak menyebarkan Anaplasmosis. Daerah yang bukan merupakan daerah endemik juga dapat menjadi faktor. Peternak di daerah tersebut merawat sapi dengan cara memandikan sapi tersebut setiap hari dan memberikan pakan yang baik. Pengetahuan peternak mengenai kandang yang baik adalah dengan dibersihkan secara berkala dapat menjadi faktor. Pengendalian faktor penularan (lalat atau caplak) dilakuan dengan cara diasapi dan memberikan insektisida. Pemberian insektisida pada ternak sangat diperlukan dalam pengendalian penyakit parasit darah. Ternak sebagian besar telah diberikan insektisida baik dalam pengendalian lalat maupun caplak. Peternak memiliki pengalaman yang lama dalam beternak, dimana peternak sudah mengerti dan mengetahui bagaimana merawat sapi yang baik.
24
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi Anaplasmosis pada sapi bali di Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng sebesar 3,2%. Manajemen pemeliharaan, kondisi kandang, pengendalian vektor, dan pengetahuan peternak berdasarkan hasil analisis chi-square dan Odds ratio(OR) tidak memiliki hubungan dengan kejadian Anaplasmosis di daerah tersebut. 5.2 Saran Berdasarkan hasil tersebut disarankan untuk dilakukan penyuluhan mengenai penyakit-penyakit pada sapi yang disebabkan oleh parasit darah, guna untuk memberikan pengetahuan kepada peternak untuk mencegah dan mengendalikan penyakit tersebut. Perlu penelitian lebih lanjut untuk faktor-faktor risiko yang lain dan wilayah atau lokasi penelitian diperluas lagi.
25
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Babesiidae dan Theileriidae. [Online] tersedia http://vetmed.fkh.unair.ac.id/materi/Parasitologi%20Veteriner/Protozoologi/ Kuliah%204.ppt [ diakses tanggal 10 Januari 2015] Anonim. 2008. The World Organisation for Animal Health. OIE listed diseases 2006. [Online] http://www.oie.int/eng/maladies/en_classification.htm (diakses 16 Januari 2015). Anonim. 2015. Babesiosis. (online) tersedia http://www.merckmanuals.com/vet/circulatory_system/blood_parasites/bab esiosis.html [diakses tanggal 2 Maret 2015]. Anggraini, N. F. 2013. Kajian Penyakit Parasit Darah Pada Sapi Potong Peternakan Rakyat Kecmatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Astyawati, T. 2005. Bahan Kuliah Protozoologi. Bogor (ID): IPB Pr. Bambang, S. Y. 2005. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Bandini. 2003. Sapi Bali, Swadaya, Jakarta. Barbet, A.F., Palmer, G.H., Myler, P. J., McGuire, T. C., 1987. Characterization of an Immunoprotective Protein Complex of Anaplasma marginale by Cloning and Expression of The Gene Coding for Polypeptide Am105L. Infect Immun 55:2428-2435. Beriajaya. 2005. Peranan Vektor Sebagai Penular Penyakit Zoonosis.Pros. Lokakarya NasionalPenyakit Zoonosis. Bogor, 15 September2005. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm.275-286. Benavides M.V., Sacco M.S. 2007. Differential Bos Taurus cattle response to Babesia bovis infection. Vet. Parasitol.150:54-64. Bilgic H.B., Karagenc T, Simuunza M, Shiels B., Tait A., Eren H., Weir W. 2013. Development of a multiplex PCR assay for simultaneous detection of Theileria annulata, Babesia bovis and Anaplasma marginale in cattle. Exp Parasitol. 133(2):222–229. Billiow, M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern Province of Zambia. Laboratorium voor Parasitologie. Faculteit Diergeneeskunde.Universiteit Gent Blieck, L. dan Kaligis, J. A. 1912 .Pseudokustkoorts en Anaplasmosis bij buffels of Java. Veearts Bladen 24 : 253 - 260 . Boone, D.R,, Richard, W.C., George, M.G. 2001. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. New York (US): Springer. Brotowidjoyo, M.D. 1987. Parasit dan Parasitisme. Ed ke-1. Jakarta (ID): Media Sarana Pr. Budiharta, S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta. Christensen, J. F. 1956. Cattle Tick Fever (Texas Fever, Bovine Piroplasmosis, Babesiosis), pp. 667-671. In M. G. Fincher, W. J. Gibbos, Karl Mayer, S. E Park, ed. Disease Cattle. American Veterinary Publication, Inc., Evanston, Illinois.
26
De Sá, A.G., Cerqueira, A de M.F., O’Dwyer L.H., Macieira, D de B, Abreu, F da S, Ferreira, R. F., Pereira, A.M., Velho, P.B., Almosy, N.R. 2006. Detection and molecular characterization of Babesia canisvogeli from naturally infected Brazilian dogs. Intern J Appl Res Vet Med. 4(2):163-168. Dumler, J.S., Barbet, A.F., Bekker, C.P.J., Dasch, G.A., Palmer, G.H., Ray, S.C., Rikihisa,Y,Rurangirwa, F.R. 2001. Reorganization of the genera in the families Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in the order Rickettsiales: unification of some species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with Ehrlichia and Ehrlichia with Neorickettsia, descriptions of six new species combinations and designation of Ehrlichia equiand “HGE agent” as subjective synonims of Ehrlichia phagocytophila. Int J. Syst Evol Microbiol. 51:2145-2165. Durrani, Aneela Z. dan Goyal, Sagar M. 2010.A Retrospective Study of Anaplasmain Minnesota Cattle (catatan penelitian). Tubitak.doi:10.3906/vet-1012-632. Eriks, I . S., Palmer, G. H., mcGuire, T. C., et al. 1989. Detection and Quantification of Anaplasma marginale in Carrier Cattle by Using A Nucleic Acid probe. J. Clin Microbioll 27:279-284. Fooley, J.E dan Biberstein, E.L. 2004. Anaplasmataceae. Di dalam: Walker LR, editor.Veterinary Microbiology. California (US): Blackwell Pub. Ge, N. L., Kocan, K. M., Blouin, E. F. & Murphy, G. L. (1996). Developmental studies of Anaplasma marginale (Rickettsiales :Anaplasmataceae) in male Dermacentor andersoni (Acari : Ixodidae) infected as adults by using nonradioactive in situ hybridization and microscopy. Journal of Medical Entomology 33, 911–920. Guntoro. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Penerbit Kanisius, Yogyakarta Hernowo, B. 2006. Prospek pengembangan usaha peternakan sapi potong di Kecematan Surade Kabupaten Sukabumi. Fakultas peternakan Institutpertanianbogor. Bogor. Himawan, W. 2009.Identifikasi parasit darah pada kerbau belang (Tedongbonga) dan kerbau rawa (Swamp Buffalo) di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ichsan, H. N. 2014. Prevalemsi, Derajat Infeksi dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah Pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Kaufmann, J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals-A Diagnostic Manual. Berlin (DE): Birkhauser. Kelles, I., Deger, S., Altug,N., Karaca, M., Akdemir, C. 2001. Tick-borne disease in cattle: clinical and haematological findings, diagnosis, treatment, seasonal distribution, breed, sex and age factors and the transmitter of the disease. YyuVetFakDerg. 12:26-32. Kocan, K. M. 1986. Development of Anaplasma marginale in ixodid ticks: coordinated development of a rickettsial organism and its tick host. In Morphology, Physiology, and Behavioral Ecology of Ticks (ed. Sauer, J. R. & Hair, J. A.), pp. 472–505. Chichester, Horwood, UK. Kocan, K. M., Goff, W. L., Stiller, D., Claypool, P. L., Edwards, W., Ewing, S. A., Hair, J. A. & Barron, S. J. 1992a. Persistence of Anaplasma marginale (Rickettsiales: Anaplasmataceae) in male Dermacentor andersoni (Acari:
27
Ixodidae) transferred successively from infected to susceptible calves. Journal of Medical Entomology 29, 657–668 Kocan, K. M., Stiller, D., Goff, W. L., Claypool, P. L., Edwards, W., Ewing, S. A., Mcguire, T. C., Hair, J. A. & Barron, S. J. 1992b. Development of Anaplasma marginale in male Dermacentor andersoni transferred from parasitemic to susceptible cattle. American Journal of Veterinary Research 53, 499–507. Kocan, K.M., Blouin, E.F., Barbet, A.F. 2000. Anaplasmosis control. Past, present, and future.Ann. NY. Acad Sci. 916:501-509. Kocan, K.M., Fuente, J., Guglielmone, A.A., Mele´ndez, R.D. 2003. Antigens and alternatives for control of Anaplasma marginale infection in cattle.J Clin.Microbiol.Rev. 16:698-712. Kocan, K.M., J De La F, E.F., Blouin, J.C., Garcia. 2004. Anaplasma marginale (Rickettsiales:Anaplasmataceae) recent advances in defining host-pathogen adaptations of a tick-borne rickettsia. Parasitol. 129:285–300 Kocan, K.M., Feunte, J.D.L., Blouin, E.F., Coetzee, J.F., Swing, S.A. 2010. Review-The natural history of Anaplasma marginale. Veterinary Parasitology. 167:95‒107. Levine, N.D. 1970. Protozoan Parasites of Domestic Animal and of Man. Minneapolis (US): Burgess Publ co. Levine, N.D. 1995. Protozologi Veteriner. Soekardono S, penerjemah; Brotowidjojo D, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University.Terjemahan dari: Veterinary Protozoology. Mafra. 2015. Insetos E Ácaros De ImportânciaMédica E Veterinária. (online) tersedia http://www.insecta.ufv.br/Entomologia/ent/disciplina/ban%20160/Importan cia%20medica/INSETOS%20E%20 %E7CAROS%20DE%20IMPO~de.htm [diakses tanggal 2 Maret 2015) Mahmmod, Y.S., Elbalkemy, F.A., Klaas, I.C., Elmekkawy, M.F., Monazie, A.M. 2011. Clinical and haematological study on water buffaloes (Bubalus bubalis) and crossbred cattle naturally infected with Theileri aannulata in Sharki province, Egypt. Ticks and Tick-borne Diseases. 2:168–171. Martin, S. W., Meek, A. H., Willeberg, P. 1987. Veterinary Epidemiology. Iowa State University Press, Ames. Mosher AT. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna.Jakarta. Nasution. A.Y.A. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pane, Ismed. 1993. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Partoutomo, S. 2004. Pengendalian parasit dengan Genetic Host Resistance.WARTAZOA. 14(4):160-172. Powell, J. 2010. Anaplasmosis (Livestock Health Series) [Online]. Arkansas. Hlm 1-2 [diunduh 16 Januari 2015] Tersedia pada: https://www.uaex.edu/publications/PDF/FSA-3081.pdf Putro, P. P. 2004. Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis dalam pengembangan usaha sapi potong. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong . Yogyakarta, 8 - 9 Oktober 2004
28
Radunz, B. 2008. Life Cycles of the Tick Fever Parasites (gambar). [online]. Tersedia www.nt.gov.au/d[diakses tanggal 30 September 2014]. Randolph, S.E. dan P.A. Nuttall. 1994. Nearly right or precisely wrong? Natural versus laboratory studies of vector-borne diseases. Parasitol. Today 10(12): 458-462. Radostits O.M., Gay, C.C., Blood, D.C., Hinchcliff KW. 2000. Veterinary Medicine. Ed ke-8. New York (US): BaillierTindall. hal 303–311. Radostits, O.M., Gay, C.C., Hinchcliff, K.W., Constable, P.D.,(2007) Veterinary Medicine. Tenth edition. Philadelphia: Elsevier. Ristic, M. 1977. Bovine Anaplasmosis, pp. 235-243. In J.P Kreier, ed. Parasitic Protozoa Vol. IV. Academic Press New York, San Franscisco. Ronohardjo, P., Wilson, A.J.,danHirst, R. G. 1985 .Current Livestock Disease Status In Indonesia. Penyakit Hewan 27 : 317 - 326 . Saleh, M.A. 2009. Erythrocytic oxidative damage in crossbred cattle naturally infected with Babesia bigemina. J Vet Sci. 86(1):43–48. Saputra, A. 2013.Studi Kasus Infeksi Parasit Darah Pada Sapi Potong di Kabupaten Subang, Jawa barat.[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Seddon, H.R. 1966. Protozoan and Virus Diseases. Australia. Sherry. 2012. Anaplasma Marginale dan Centrale (gambar). [online]. Tersedia http://mssherry.blogspot.com/2012/02/anaplasma-marginale-centrale.html [diakses tanggal 10 Oktober 2014] Solihat, Lilis. 2002. Temu Teknis Fungsional Non Peneliti Pemeriksaan Sampel Penvakit-penyakit Parasit Darah di Laboratorium ParasitologiBalitvet. Soulsby, E. J. L. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. New York (US): Academic Pr. Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II(revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,Cetakan ke-3. Sudarmono, A.S dan Sugeng, Y.B., 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta Sugeng, Y. B., 2000. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta. Sukanto. 1992. Petunjuk Diagnosa Parasit Darah Trypanosoma. Babesia dan Anaplasma. Proyek kerjasama Balitvet - ODA (1986 - 1992). PuslithangNak. Badan Lithang Pertanian. 13 - 16 . Surya, W.D., 1997. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Peternak dan Pemeliharaan Sapi Perah di Wilayah Pos Keswan Tanjung Sari, Sumedang [Skripsi]. Jurusan Penyakit Hewan dan Kesehatan Nasyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kalimantan Selatan. Susilorini, E., Sawitri, M. E., dan Muharlien. 2009. Budi Daya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta. Urquhart, G.M., Armour, J., Duncan, J.L., Dunn, A.M., Jennings, F.W. 2003. Veterinary Parasitology 2nd Edition. Scotland (GB): Blackwell Publishing. Wibowo, J. R..2014. Kajian Penyakit Parasit Darah Pada Sapi Potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
29
Wilson, A. J., dan Ronohardjo,P .1984. Some faktors affecting the control of bovine anaplasmosis with special reference to Australia and Indonesia .Prer. Get. Med. 2: 121 - 134. Wirawan, H. P. dan Tim Laboratorium Parasitologi. 2011. Survey Internal dan Eksternal Parasit. Maros: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Balai Besar Veteriner. Yudhie. 2009. Schistosomiasis dan Anaplasmosis [Online] . Tersedia http://yudhiestar.blogspot.com/2009/10/schistosomiasis-dan anaplasmosis.html [Diakses tanggal 26 september 2014) Zakariah, M.A., 2013 Manajemen Pemeliharaan Ternak di Adi Farm dan Lembah Hijau Multifarm (Online). Tersedia pada: http://www.researchgate.net/profile/Askari_Zakariah/publication/23532632 3_Manajemen_Pemeliharaan_Ternak_di_Adi_Farm_dan_Lembah_Hijau_ Multifarm/links/0912f510c6e201e774000000.pdf. [diakses 14 Januari 2015]. Zwart, D. 1959. A research into the presence of blood parasites in cattle at Merauke (Dutch New Guinea).Tijdschr.Diergeneesk. 84: 90 - 98.
LAMPIRAN
30
Lampiran 1. Gambar Pola Pemeriksaan Slide
Keterangan : 1. Frosted Area (Area Kosong), bagian kosong dari slide yang digunakan untuk pelabelan, pmberian nomor atau informasi lainnya. 2. Head (Kepala), bagian kepala yang merupakan daerah tebal dari ulas darah. 3. Body (Badan), bagian yang lebih tipis dari bagian kepala. 4. Tail (Ekor), bagian akhir atau ujung yang merupakan daerah tipis dari ulas darah. 5. Zone of Morphology (Zona Morfologi), daerah yang memiliki ketebalan optimal untuk pemeriksaan mikroskop dengan panjang kurang lebih 2 cm,
31
Lampiran 2. Kuesioner PREVALENSI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO ANAPLASMOSIS PADA SAPI BALI DI KELURAHAN LALABATA RILAU KECAMATAN LALABATA KABUPATEN SOPPENG
I. INFORMASI DASAR 1. 2. 3. a. b. c. d. 4.
Nomor kuesioner Nama enumerator Nama peternak/pengelola Jenis kelamin Umur Pendidikan Pengalaman beternak sapi Alamat
II. POPULASI TERNAK Jumlah sapi yang dipelihara Ternak 0-6 bulan Jantan Betina
: ………………… Tanggal : ……………… :………………………................................ : ……………...…………………..………... : ( Pria ) ( Wanita ) : ………………..Tahun : ( SD/SR ) / ( SMP ) / ( SMA ) / ( PT ) : …………….tahun : ……………………………………………
>6-12 bulan Jantan Betina
>1-3 tahun Jantan Betina
Sapi III. MANAJEMEN PEMELIHARAAN 1. Bagaimana Anda memelihara ternak? a. Sapi dilepas atau digembalakan terus menerus (ekstensif) b. Sapi dilepas atau digembalakan pada siang hari dan dikandangkan malam hari (semi intensif) c. Sapi dikandangkan (intensif) 2. BagaimanaAndamerawatsapi ? a. Sapi dimandikan setiap hari b. Sapi dimandikan sekali dalam seminggu c. Tidak dimandikan atau dibiarkan. 3. Bagaimana kondisi sapi Anda? a. Sapi terlihat sehat, tidak terdapat tanda-tanda sapi sakit. b. Sapi terlihat sakit c. Sapi dikerumuni ektoparasit (lalat, kutu, caplak, dan lain-lain) IV. KONDISI KANDANG 1. Bagaimana letak kandang sapi Anda? a. Kandang sapi dekat dengan lading penggembalaan b. Kandang sapi dekat dengan kandang sapi lainnya c. ………………………………………………
32
2. Bagaimana kondisi kandang sapi Anda? a. Disekitar area kandang terdapat sisa pakan dan kotoran b. Lantai kandang beralaskan rumput atau tanah c. ………………………………………………. 3. Bagaimana kandang yang baik menurut Anda? a. Kandang dibersihkan secara berkala b. Kandang dibersihkan dengan menggunakan desinfektan c. Kandang tidak perlu dibersihkan
V. PENGETAHUAN TENTANG PENYAKIT ANAPLASMOSIS PADA SAPI 1. Apakah anda pernah mendengar penyakit kuning (Anaplasmosis) pada sapi? a. Ya. b. Tidak. c. ………………………………………… 2. Apakah penyakit kuning (Anaplasmosis) pada sapi itu? a. Penyakit yang disebabkan oleh parasit darah yang ditularkan oleh caplak. b. Penyakit yang disebabkan oleh virus c. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri 3. Bagaimana penularan penyakit kuning (Anaplasmosis) pada sapi? a. Ditularkan oleh kutu yang menempel (capklak) b. Ditularkan oleh lalat (bukan lalat penggigit) c. Ditularkan oleh pinjal. 4. Tindakan untuk mencegah penyakit kuning (Anaplasmosis) pada sapi? a. Memusnahkan faktor penularan (vektor) b. Memindahkan sapi ke lingkungan yang sehat. c. Memberikan vaksinasi atau obat. d. ………………………….. 5. Tindakan apa yang dilakukan untuk mengendalikan faktor penularan (vektor)? a. Menggunakan insektisida b. Meggunakan perangkap serangga c. Diusir secara mekanis (dipukul, buat perapian, dan sebagainya) d. ……………………………………..
33
Lampiran 3. Data Hasil Kuesioner kuesioner
nama
pa001 pa002 pa003 pa004 pa005 pa006 pa007 pa012 pa015 pa010 pa011 pa016 pa018 pa019 pa021 pa022 pa023 pa024 pa025 pa026 pa031 pa035 le001 le002 le003 le004 le005 le006 le007 le008 le011
la siang hmzh t daya muh.tang njmddin la boko la semma hmzh h. lennu sahrul la mure zainuddn adi la onton jafar h.aras h.upe h.frmn aliming jmlddin tamring burhanud la hatta bahar a.haruna hana siti salebu sukardi aras mega
kasus
jeniskelamin 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
umur 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 2
45 50 60 55 58 62 50 70 60 40 52 49 33 50 49 75 60 35 75 33 42 40 55 45 50 43 45 60 55 47 45
tingkatpendidikan tdktmtsd sd sd tdktmtsd tdktmtsd tdksklh tdktmtsd tdksklh tdktmtsd sd sd sma sd tdktmtsd tdktmtsd tdksklh sd sd PT tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd tdktmtsd
alamat panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panncong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 1 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 0 panincong 1 panincong 0 panincong 0 panincong 0 laempa 0 laempa 0 laempa 0 laempa 0 laempa 0 laempa 0 laempa 0 laempa 0 laempa 0
jumlahternak 3 5 3 2 4 9 1 1 3 3 4 8 4 8 3 5 4 4 6 4 4 8 9 2 5 2 1 9 6 3 1
pengalamanbeternak 0 30 1 20 0 30 0 20 0 20 1 50 0 40 0 40 0 40 0 20 0 20 1 10 0 10 1 30 0 20 1 50 0 40 0 5 1 50 0 3 0 20 1 10 1 18 0 15 1 20 0 25 0 20 1 20 1 15 0 27 0 18
sistempemeliharaan semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 ekstensif 1 ekstensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 0 semiintensif 1 semiintensif 0 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 ekstensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 semiintensif 1 ekstensif 1
0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
34
caramerawatsapi mndisetiaphr tdkdmndikan mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr tdkdmndikan tdkdmndikan mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr tdkdmndikan mndisetiaphr tdkdmndikan mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr tdkdmndikan mndisetiaphr mndisetiaphr mndisetiaphr tdkdmndikan
0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
kondisisapi sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat sehat
letakkandang kandangsapisendiri 0 dktkndang 0 lain dktkndang 1 lain dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain dktkndang 1 lain tdkdikandangkan 0 tdkdikandangkan 0 dktldgpnggmbln 0 dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain dktldgpnggmbln 0 dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain kandangsapisndiri 0 kandangsapisndiri 1 dktkndang 0 lain kandangsapisndiri 0 dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain tdkdikandangkan 0 kandangsapisndiri 0 dktkndang 0 lain dktkndang 0 lain tdkdikandangkan 0
kondisikandang sekitaradasisaktrndnpakan 0 sekitaradasisaktrndnpakan 1 sekitaradasisaktrndnpakan 1 sekitaradasisaktrndnpakan 1 sekitaradasisaktrndnpakan 1 beralaskanrumput 1 beralaskanrumput 1 beralaskanrumput 1 kandang 1 d semen sekitaradasisaktrndnpakan 1 sekitaradasisaktrndnpakan 1 beralaskanrumput 1 kandang 1 d semen kandang 1 d semen sekitaradasisaktrndnpakan 1 kandang 1 d semen kandang 1 d semen kandang 1 d semen kandang 1 d semen kandang 0 d semen sekitaradasisaktrndnpakan 0 kandang 1 d semen kandang 0 d semen beralaskanrumput 1 sekitaradasisaktrndnpakan 1 beralaskanrumput 1 beralaskanrumput 1 kandang 0 d semen kandang 1 d semen sekitaradasisaktrndnpakan 1 beralaskanrumput 1
1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1
kandang yang baik dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala desinfektan dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala desinfektan dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala dbrsihkanbrkala
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
35
pernahmendengaranaplasmos is 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
apakahpenyakitanaplasmo sis
Bagaimanapenular an
tindakanuntukmenceg ah
tindakanuntukmengendalikanfaktorpenul aran diasapi diasapi diasapi tidak diasapi diasapi tidak tidak insektisida tidak tidak insektisida insektisida insektisida tidak insektisida insektisida tidak diasapi diasapi diasapi diasapi
0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
diasapi insektisida diasapi diasapi diasapi insektisida diasapi diasapi
0 0 0 0 0 0 0 0
0
diasapi
0
36
Lampiran 4. Hasil Olah Data Kasus Frequency Valid
Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Negatif
30
96.8
96.8
96.8
Positif
1
3.2
3.2
100.0
Total
31
100.0
100.0
JenisKelamin Frequency Valid
Percent Valid Percent
Cumulative Percent
laki2
25
80.6
80.6
80.6
wnt
6
19.4
19.4
100.0
Total
31
100. 0
100.0
Umur Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
33
2
6.5
6.5
6.5
35
1
3.2
3.2
9.7
40
2
6.5
6.5
16.1
42
1
3.2
3.2
19.4
43
1
3.2
3.2
22.6
45
4
12.9
12.9
35.5
47
1
3.2
3.2
38.7
49
2
6.5
6.5
45.2
50
4
12.9
12.9
58.1
52
1
3.2
3.2
61.3
55
3
9.7
9.7
71.0
58
1
3.2
3.2
74.2
60
4
12.9
12.9
87.1
62
1
3.2
3.2
90.3
70
1
3.2
3.2
93.5
75
2
6.5
6.5
100.0
Total
31
100.0
100.0
37
TingkatPendidikan Frequency
Percent
PT
1
3.2
3.2
3.2
sd
7
22.6
22.6
25.8
sma
1
3.2
3.2
29.0
tdk sklh
3
9.7
9.7
38.7
tdk tmt sd
19
61.3
61.3
100.0
Total
31
100.0
100.0
Valid
Valid Percent Cumulative Percent
Pengalaman
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
1
3.2
3.2
3.2
5
1
3.2
3.2
6.5
10
3
9.7
9.7
16.1
15
2
6.5
6.5
22.6
18
2
6.5
6.5
29.0
20
10
32.3
32.3
61.3
25
1
3.2
3.2
64.5
27
1
3.2
3.2
67.7
30
3
9.7
9.7
77.4
40
4
12.9
12.9
90.3
50
3
9.7
9.7
100.0
Total
31
100.0
100.0
JumlahTernak Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
4
12.9
12.9
12.9
2
3
9.7
9.7
22.6
3
6
19.4
19.4
41.9
4
7
22.6
22.6
64.5
5
3
9.7
9.7
74.2
6
2
6.5
6.5
80.6
8
3
9.7
9.7
90.3
9
3
9.7
9.7
100.0
Total
31
100.0
100.0
38
SistemPemeliharaan Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
ekstensif
4
12.9
12.9
12.9
semiintensif
27
87.1
87.1
100.0
Total
31
100.0
100.0
CaraMerawat Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
mndi setiap hr
24
77.4
77.4
77.4
tdk dmndikan
7
22.6
22.6
100.0
Total
31
100.0
100.0
Kondisi Frequency Valid
sehat
Percent
Valid Percent
31 100.0
Cumulative Percent
100.0
100.0
LetakKandang Vaid
Frequency
Percent
Valid Percent Cumulative Percent
dkt kndang lain
20
64.5
64.5
64,5
dkt ldg pnggmbln
2
6.5
6.5
71.0
kandang sapi sndiri
5
16,1
16,1
87.1
tdk dikandangkan
4
12.9
12.9
100.0
Total
31
100.0
100.0
KondisiKandang Frequency Valid
Percent Valid Percent Cumulative Percent
beralaskan rumput
8
25.8
25.8
25.8
kandang d semen
12
38.7
38.7
64.5
sekitar ada sisa ktrn dn pakan
11
35.5
35.5
100.0
Total
31
100.0
100.0
KandangYangBaik Frequency Valid
Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Dibersihkan berkala
29
93.5
93.5
93.5
desinfektan
2
6.5
6.5
100.0
total
31
100.0
100.0
PernahMedengarAnaplasmosis Frequency Valid
Tidak
31
Percent Valid Percent Cumulative Percent 100.0
100.0
100.0
39
ApakahPenyakitAnaplasmosisPadaSapi Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
31
100.0
100.0
100.0
Valid
BagaimanaPenularanPenyakitAnaplasmosis Cumulative Frequency Valid
Percent Valid Percent
31
100.0
Percent
100.0
100.0
TindakanUntukMencegahPenyakitAnaplasmosis Cumulative Frequency Valid
Percent Valid Percent
31
100.0
Percent
100.0
100.0
TindakanUntukMengendalikanFaktorPenularan Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Diasapi
16
51.6
51.6
51.6
Insektisida
8
25.8
25.8
77.4
Tidak
7
22.6
22.6
100.0
Total
31
100.0
100.0
Valid
Hasil Analisis chi-square Kasus * SistemPemeliharaanSapi Crosstab SistemPemeliharaanSapi risiko rendah Kasus
Negatif
Count Expected Count
Positif
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
risiko tinggi
Total
26
4
30
26.1
3.9
30.0
1
0
1
.9
.1
1.0
27
4
31
27.0
4.0
31.0
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb
.153a .000
Asymp. Sig. (2sided) Exact Sig. (2-sided)
df 1 1
.696 1.000
Exact Sig. (1-sided)
40
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.281
1
.596 1.000
.148 31
1
.871
.700
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .13. b. Computed only for a 2x2 table Kasus * CaraMerawatSapi Crosstab CaraMerawatSapi risiko rendah Kasus
Negatif
Count Expected Count
Positif
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
risiko tinggi
Total
23
7
30
23.2
6.8
30.0
1
0
1
.8
.2
1.0
24
7
31
24.0
7.0
31.0
Chi-Square Tests Value .301a .000 .522
Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df 1 1 1
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1sided)
.583 1.000 .470 1.000
.292
1
.774
.589
31
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .23. b. Computed only for a 2x2 table Kasus * KondisiSapi Crosstab KondisiSapi risiko rendah Kasus
Negatif
Count Expected Count
Positif
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
risiko tinggi
Total
27
3
30
27.1
2.9
30.0
1
0
1
.9
.1
1.0
28
3
31
28.0
3.0
31.0
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square
.111a
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
df 1
.739
41
Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.000 .207
1 1
1.000 .649
.107
1
.743
1.000
.903
31
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .10. b. Computed only for a 2x2 table
Kasus * LetakKandangSapi Crosstab LetakKandangSapi risiko rendah Kasus
Negatif
Count Expected Count
Positif
27
30
3.9
26.1
30.0
1
0
1
.1
.9
1.0
4
27
31
4.0
27.0
31.0
Count Count Expected Count
Total
3
Expected Count Total
risiko tinggi
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. sided) (2-sided)
df
6.975a 1.265 4.337
1 1 1
.008 .261 .037
6.750
1
.009
Exact Sig. (1sided)
.129
.129
31
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .13. b. Computed only for a 2x2 table Kasus * KondisiKandangSapi Crosstab KondisiKandangSapi risiko rendah Kasus
Negatif
Count Expected Count
Positif
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
risiko tinggi
Total
11
19
30
11.6
18.4
30.0
1
0
1
.4
.6
1.0
12
19
31
12.0
19.0
31.0
42
Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
df
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
a
1.636 .056
1 1
.201 .814
1.951
1
.162 .387
1.583
1
.387
.208
31
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .39. b. Computed only for a 2x2 table Kasus * KandangYangBaik Crosstab KandangYangBaik risiko rendah Kasus
Negatif
Total
Count Expected Count
Positif
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
30
30
30.0
30.0
1
1
1.0
1.0
31
31
31.0
31.0
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square N of Valid Cases
.a 31
a. No statistics are computed because KandangYangBaik is a constant.
Kasus * PernahDengarAnaplasmosis Crosstab PernahDengarAnaplas mosis tidak Kasus
Negatif
Count Expected Count
Positif
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
Total 30
30
30.0
30.0
1
1
1.0
1.0
31
31
31.0
31.0
43
Chi-Square Tests Value .a 31
Pearson Chi-Square N of Valid Cases
a. No statistics are computed because PengetahuanTentangAnaplasmosis is a constant.
Kasus * TIndakanUntukMengendalikanVektor Crosstab TIndakanUntukMengendalikanVektor risiko rendah Kasus
Negatif
Count Expected Count
Positif
7
30
23.2
6.8
30.0
1
0
1
.8
.2
1.0
Count Count Expected Count
Total
23
Expected Count Total
risiko tinggi
24
7
31
24.0
7.0
31.0
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df a
.301 .000 .522
1 1 1
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1-sided)
.583 1.000 .470 1.000
.292
1
.589
31
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .23. b. Computed only for a 2x2 table
.774
44
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
Pengambilan Sampel Ulas Darah
Pengisian Kuesioner
45
Pemeriksaan Sampel Ulas Darah