HAMBATAN ADOPSI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN OLEH PETERNAK SAPI BALI DI KECAMATAN SOPPENG RIAJA KABUPATEN BARRU (Barriers to Technology Adoption Artificial Insemination by Bali Cattle Breeders in District Soppeng Riaja Barru) Lidya Devega Bahar, Syahdar Baba dan St. Nurani Sirajuddin Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Kampus Unhas Tamalanrea Telp/Fax (0411) 587 Makassar 90245
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat peternak sapi Bali dalam mengadopsi teknologi inseminasi buatan di Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksploratif dengan menggunakan data kuantitatif dan kualitatif, yang dimulai sejak awal Juni - Agustus 2014 di Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan bantuan kuisioner. Anaisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan alat analisis faktor. Hasil ekstraksi dari 12 (dua belas) variabel menunjukkan hanya 9 (Sembilan) variabel yang memenuhi syarat untuk ekstraksi lebih lanjut, sehingga menghasilkan 2 (dua) faktor bentukan. Variabel yang tergolong dalam faktor satu adalah variabel kualitas semen (X1), deteksi berahi (X3), sosialisasi teknologi IB (X6), ketersediaan pakan (X7), dan sistem pemeliharaan (X8). Variabel yang termasuk ke dalam faktor 2 (dua) adalah keterampilan inseminator (X4), umur dan latar belakang peternak (X5), faktor ekonomi (X9), dan motivasi (X10). Kesembilan variabel tersebut memiliki pengaruh yang nyata dalam menghambat peternak untuk mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali di Kecamatan Balusu Kabupaten Barru. Kedua faktor yang terbentuk diberi nama hambatan utama karena dianggap sebagai faktor yang paling menghambat untuk mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali dan hambatan lainnya didasarkan pada pernyataan masyarakat yang menganggap bahwa keempat yang tergabung dalam faktor dua memiliki hambatan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan hambatan utama. Kata Kunci : Adopsi, Teknologi Inseminasi Buatan, Sapi Bali, Hambatan Utama, Hambatan Lainnya. PENDAHULUAN Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktivitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternak konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah. Inseminasi buatan merupakan teknologi alternatif yang sedang dikembangkan dalam usaha meningkatkan produktifitas biologik ternak lokal Indonesia melalui teknologi pemuliaan yang hasilnya relatif cepat dan cukup memuaskan serta telah meluas dilaksanakan adalah mengawinkan ternak tersebut
276
dengan ternak unggul impor (Hastuti, 2008). Pelaksanaan kegiatan Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna. Indonesia telah membentuk beberapa provinsi pemurnian sapi Bali dengan menggunakan inseminasi buatan sebagai teknologi pendukungnya. Diharapkan dengan adanya beberapa provinsi ini dapat menangani masalah-masalah dalam bidang peternakan, seperti menangani masalah rendahnya produktivitas dan mutu genetik ternak, khususnya penyediaan sapi Bali. Sulawesi Selatan menjadi salah satu dari beberapa provinsi yang merupakan pusat permurnian sapi Bali (Dinas Peternakan Kabupaten Barru, 2014). Kabupaten Barru merupakan Kabupaten yang menjadi pusat pemurnian sapi Bali yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Teknologi inseminasi buatan telah dikembangkan di enam kecamatan yang ada di Kabupaten Barru. Kecamatan Soppeng Riaja merupakan salah satu Kecamatan yang menjadi pusat Inseminasi Buatan yang ada di Kabupaten Barru. Telah dilakukan beberapa kegiatan di Kecamatan Soppeng Riaja guna mendukung program inseminasi buatan pada sapi Potong. Tabel 1 berisi tentang jumlah peternak mengadopsi teknologi inseminasi buatan dan tidak mengadopsi yang berada ditujuh desa yang di Kecamatan Soppeng Riaja. Tabel 1. Jumlah Peternak Sapi Bali Mengadopsi Teknologi IB dan Tidak Mengadopsi di Kecamatan Soppeng Riaja Tahun 2014. Jumlah Adopter Non Jumlah Non No Desa Adopter Peternak (%) Adopter (%) Adopter (%) 1 Siddo 53 219 272 19,5 80,5 100 2 Ajakkang 15 233 248 6,05 93,95 100 3 Lawallu 25 134 159 15,7 84,3 100 4 Mangkoso 49 94 143 34,2 65,8 100 5 Kiru-Kiru 37 104 141 26,2 73,8 100 6 Batu Pute 35 100 135 25,9 74,1 100 7 Paccekke 25 63 88 28,4 71,6 100 Jumlah 239 947 1186 Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Barru, 2014. Tabel 1 bahwa persentase jumlah peternak yang tidak mengadopsi IB lebih banyak dibanding peternak yang mengadopsi IB. Sejak tahun 2009 Universitas Hasanuddin mengadakan program uji performans di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru yang menjadi awal perkembangan program inseminasi buatan. Pada tahun 2012 telah dilaksanakan acara inseminasi massal sapi potong di Lapangan Mangkoso, Kecamatan Soppeng Riaja. Program inseminasi buatan memiliki banyak keunggulan, baik dalam meningkatkan laju pertambahan populasi ternak, maupun dalam meningkatkan pendapatan para peternak serta dapat mengoptimalkan performans Sapi Bali. Tingkat adopsi IB di Kecamatan Soppeng Riaja masih rendah. Dapat dilihat pada Tabel 1, bahwa jumlah adopter tidak lebih dari 50% dari tiap desa yang ada di Kecamatan Soppeng Riaja. Padahal upaya memasyarakatkan IB telah dilakukan, mulai dari ketersediaan sarana dan prasarana IB yang memadai, hingga kegiatan yang melibatkan langsung seluruh peternak dalam inseminasi massal. Dimana, seluruh peternak telah mengetahui keberadaan inseminasi buatan, namun masih banyak peternak yang belum mengadopsi teknologi inseminasi buatan.
277
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terdapat beberapa hambatan adopsi inseminasi buatan oleh peternak sapi Bali yaitu kualitas semen yang rendah, kondisi resepien yang tidak baik, deteksi berahi yang tidak tepat (Aerens, dkk., 2013). Menurut Herawati (2012) keterampilan inseminator, umur dan latar belakang peternak dapat menghambat adopsi teknologi IB. Hambatan lainnya yaitu sosialisasi teknologi IB masih kurang (Efendy, 2006). Menurut Sariubang (2006) ketersediaan pakan yang kurang juga dapat menghambat adopsi teknologi IB dan menurut Hernowo (2006) sistem pemeliharaan yang belum intensif juga dapat menghambat adopsi IB. Untuk mengetahui hambatan adopsi tersebut dilakukan penelitian tentang hambatan adopsi teknologi inseminasi buatan oleh peternak sapi bali di Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru. Metode penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Juni - Agustus 2014 dan pengambilan data bertempat di Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Lokasi ini dipilih karena sebagian peternak telah mengikuti program IB. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif non hipotesis. Populasi peternak dalam penelitian ini adalah keseluruhan peternak sapi Bali yang belum mengadopsi teknologi inseminasi buatan yang berada di Kecamatan Soppeng Riaja yaitu sebanyak 947 yang tersebar di tujuh kelurahan/desa. Berhubung jumlah populasi banyak maka diperlukan pengambilan sampel. Untuk menentukan besarnya ukuran sampel maka digunakan rumus slovin (Umar, 2001). Berdasarkan perhitungan tersebut maka dapat diketahui jumlah minimum sampel yang digunakan yaitu 43 orang responden untuk metode delphi. Namun, dalam penentuan sampel yang menggunakan alat analisis faktor dengan ketentuan menurut Putra (2001), jumlah sampel minimal adalah lima kali jumlah variabel yang akan diteliti. Jumlah variabel pada penelitian ini yaitu 12, jadi jumlah keseluruhan sampel yaitu 60 responden. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Cluster Sampling yang diproporsikan sesuai dengan jumlah populasi. Jadi, dipilih dua desa secara random yaitu Desa Siddo 42 responden dan Desa Mangkoso 18 responden. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer dan data sekunder, dilakukan melalui cara observasi dan wawancara. Analisa data yang digunakan dalam penelitian adalah metode Delphi dan analisis faktor, yaitu sebagai berikut: Tahapan dalam metode delphi adalah sebagai berikut (Linstone 1975 dalam Rahayu 2008): 1. Spesifikasi isu, analis harus menentukan isu apa yang harus dikomentari narasumber. 2. Menyeleksi narasumber, para narasumber sebisa mungkin berbeda, tidak hanya dalam posisi mereka tetapi juga pengaruh relatifnya. 3. Membuat kuesioner, Metode Delphi dilakukan dengan dua putaran atau lebih, sehingga analis menentukan item-item yang harus diajukan pada setiap putarannya. Pada putaran pertama lebih banyak pertanyaan terbuka dan kurang terstruktur. Kuesioner kedua menunggu hasil analisis dari putaran pertama. Namun pada penelitian ini metode delphi hanya dilakukan pada tahap pertama karena hasil dari tahap pertama akan langsung diolah dan diselesaikan menggunakan analisis faktor.
278
Langkah penggunaan alat analisis faktor sebagai berikut: 1. Formulasi problem dan menyusun matriks korelasi 2. Penentuan prosedur analisis (Principal component analysist) 3. Mengekstraksi faktor (Extracting Factors) 4. Merotasi faktor (Rotating Factors) 5. Interpretasi (melihat loading faktor dan pemberian nama faktor serta menghitung faktor skornya). HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum responden Berdasarkan hasil survey, klasifikasi responden berdasarkan tingkat umur menunjukkan bahwa 100% tergolong usia produkrif yang memiliki kisaran usia antara 15-64 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki berjumlah 91,7% dan perempuan berjumlah 8,2%. Tingkat pendidikan responden yaitu pada tingkat SD yang paling banyak yaitu SD (56,7%) dan yang terendah adalah tingkat Strata 1 (1,6%). Kepemilikan ternak tertinggi pada 1-7 ekor (91,7%). Hasil metode delphi Hambatan yang diperoleh dari metode Delphi yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Kualitas semen yang digunakan untuk inseminasi buatan pada sapi Bali rendah Kondisi resepien tidak sehat Peternak tidak tepat dalam mendeteksi berahi Inseminator masih belum terampil dalam melakukan inseminasi buatan pada sapi Bali Umur dan tingkat pendidikan peternak belum cukup untuk menerima teknologi inseminasi buatan pada sapi Bali yang diberikan Sosialisasi teknologi inseminasi buatan masih kurang Ketersediaan pakan masih kurang untuk mendukung keberlangsungan inseminasi buatan Sistem pemeliharaan yang dilakukan peternak tidak intensif Keuntungan yang diperoleh dalam mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali kecil Peternak kurang peduli dengan keberadaan teknologi IB pada sapi Bali yang ada di lingkungannya Tidak adanya dorongan dari dalam diri dan lingkungan untuk mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali Biaya IB pada sapi Bali mahal
Hasil analisis faktor Ekstraksi variabel pada penelitian dengan menggunakan analisis faktor dilakukan setelah pengelompokan jawaban atas pernyataan yang diberikan kepada responden melalui kuisioner. Output langkah pertama (pemilihan variabel) Langkah pertama dalam menentukan variabel yang akan di ekstraksi lebih lanjut dapat dilihat dari nilai besaran KMO MSA, Chi-Square dan Signifikansi.
279
Tabel 2. Output Langkah Pertama (Pemilihan Variabel) berdasarkan nilai KMO MSA, Chi-Square dan Signifikansi No
Output Langkah Pertama
Nilai Perolehan
1 KMO MSA 2 Chi-Square 3 Signifikansi Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2014.
0.526 66 0.000
Syarat/Ketentuan ≥ 0,5 ≥ 50 ≤ 0,01
Pada Tabel 2 terlihat angka K-M-O Measure of sampling Adequacy (MSA) adalah 0,526. Oleh karena angka MSA di atas 0,5 maka kumpulan variabel tersebut dapat diproses lebih lanjut. Setelah dilakukan poses seleksi nilai Anti Image Matices yang tidak memenuhi syarat untuk di ekstraksi lebih lanjut, khususnya pada bagian (Anti Image Corelation), besaran MSA sebuah variabel dengan standar nilai MSA ≥ 0,5 (Purwaningsih, 2009). Seperti pada variabel kualitas semen (X1) mempunyai nilai MSA 0,574, variabel deteksi berahi (X3) mempunyai nilai MSA 0,670, variable keterampilan inseminator (X4) 0,706, variabel umur dan pendidikan (X5) 0,617, variabel sosialisasi (X6) 0,560, variabel ketersediaan pakan (X7) 0,574, variabel sistem pemeliharaan (X8) 0,665, variabel faktor ekonomi (X9) 0,65, dan nilai MSA untuk variabel motivasi (X8) adalah 0,625. Adapun variabel yang tidak memenuhi syarat dengan nilai MSA <0,5 yaitu variabel kondisi resepien (X2) 0,427, kepedulian sosial (X10) 0,357, dan biaya pelaksanaan IB yang mahal (X12) 0,297, sehingga tidak dapat diikutsertakan dalam ekstraksi selanjutnya. Jadi, dari 12 (dua belas) variabel awal yang dianalisis, dengan tiga kali pengulangan analisis, terseleksi 9 (sembilan) variabel yang memenuhi syarat untuk proses ekstraksi analisis faktor. Total variance explained Ada 9 (sembilan) variabel yang dimasukkan dalam analisis faktor. Dengan masing-masing variabel mempunyai varians 1, maka total varians adalah 9. Table 3. Total Variance Explained Initial Eigenvalues Component
Total
% of Comulative Variance % 1 2,612 29,020 29,020 2 1,464 16,269 45,288 3 1,381 15,348 60,636 4 0,958 10,648 71,285 5 0,773 8,586 79,870 6 0,629 6,990 86,860 7 0,493 5,477 92,337 8 0,366 4,064 96,401 9 0,324 3,599 100.000 Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2014.
Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Cumulative Variance % 2.612 29,020 29,020 1.464 16,269 45,288 1.381 15,348 60,636
Susunan eigenvalues selalu diurutkan dari yang terbesar sampai terkecil, dengan kriteria bahwa angka eigenvalues di bawah 1 tidak digunakan dalam menghitung
280
jumlah faktor yang terbentuk (Purwaningsih, 2009). Dari kesembilan komponen yang ada dengan dasar angka eigenvalues, hanya komponen 1 (satu), 2 (dua) dan 3 (dua) yang memenuhi syarat untuk menghitung jumlah faktor. Component matrix Setelah diketahui bahwa ada tiga faktor yang merupakan jumlah paling optimal, maka tabel komponen matrix ini menunjukkan distribusi kesembilan variabel tersebut pada tiga faktor yang terbentuk. Sedangkan angka yang ada pada tabel tersebut adalah faktor loading, atau besar korelasi antara suatu variabel. Dari Tabel 4 dapat dilihat sebagai contoh bahwa nilai korelasi antara variabel kualitas semen dengan faktor 1 yaitu 0,577 (kuat), korelasinya dengan faktor 2 yaitu -0,57 (sangat lemah) sedangkan nilai korelasi variabel kualitas semen dengan faktor 3 yaitu -0,274 (lemah) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kualitas semen dimasukkan ke dalam faktor 1. Tabel 4. Componen Matrix 1 Kualitas semen 0.575 Deteksi berahi -0.680 Keterampilan inseminator -0.658 Umur dan pendidikan 0.159 Sosialisasi 0.529 Ketersediaan pakan 0.372 Sistem pemeliharaan 0.759 Faktor ekonomi 0.389 Motivasi 0.464 Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2014.
Component 2 -0.572 0.258 0.243 -0.237 0.678 0.411 -0.139 0.514 0.206
3 -0.274 0.156 -0.032 0.610 0.056 0.591 0.368 -0.303 -0.574
Hubungan antara faktor loading dan communalities Communalities adalah jumlah dari kuadrat masing-masing faktor loading sebuah variabel. Table 5. Nilai communalities variabel yang di ekstraksi. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Variabel
Comp. 1 (X)2 0.830 -0.717
Comp. 2 (X)2 -0.208 -0.063
Kualitas Semen Deteksi Berahi Keterampilan -0.666 -0.209 Inseminator Umur dan Pendidikan 0.182 0.458 Sosialisasi 0.027 0.557 Ketersediaan Pakan -0.017 0.805 Sistem Pemeliharaan 0.642 0.565 Faktor Ekonomi 0.058 0.140 Motivasi 0.334 -0.172 Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2014.
Comp. 3 (X)2 -0.010 -0.185
Comp. (1+2+3) 0.64 0.55
-0.076
-0.49
-0.460 0.658 0.094 -0.007 0.696 0.668
0.03 0.74 0.66 0.73 0.51 0.53
281
Karena ada beberapa variabel yang belum jelas dimasukkan ke komponen mana maka dilakukan rotasi agar semakin jelas perbedaan sebuah variabel akan ditempatkan pada faktor yang mana. Sebagai pedoman agar sebuah variabel dapat secara nyata termasuk dalam faktor 1 (satu) adalah bernilai ≥0,55. Pembahasan Setelah melakukan serangkaian proses ekstraksi, dari 12 (dua belas) variabel yang telah diekstraksi maka diperoleh 2 faktor bentukan, kemudian selanjutnya dilakukan proses pemberian nama pada faktor yang telah terbentuk tersebut. Variabel yang termasuk ke dalam faktor 1 (satu) adalah variabel kualitas semen (X1), deteksi berahi (X3), sosialisasi teknologi IB (X6), ketersediaan pakan (X7), dan sistem pemeliharaan (X8). Variabel yang termasuk ke dalam faktor 2 (dua) adalah keterampilan inseminator (X4), umur dan latar belakang peternak (X5), faktor ekonomi (X9), dan motivasi (X10). Kesembilan variabel tersebut memiliki pengaruh yang nyata dalam menghambat peternak untuk mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali di Kecamatan Balusu Kabupaten Barru. Variabel kualitas semen dapat menghambat peternak mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali, jika peternak mengetahui kualitas semen yang digunakan pada program IB rendah di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru. Pada semen beku kualitas spermatozoa dipengaruhi juga oleh proses penampungan, pengenceran, equilibrasi, pembekuan dan proses pencairan kembali (thawing) sebelum diinseminasikan ke hewan betina (Wuragil, 2008 dalam Siahaan, dkk., 2012). Sebagian besar peternak tidak mengadopsi teknologi IB karena belum mampu mendeteksi berahi dengan tepat. Aerens, dkk., (2013) bahwa deteksi berahi pada sapi tidak tepat karena kelalaian peternak atau karena silent heat. Sosialisasi teknologi IB berkaitan dengan proses peternak dalam mengadopsi teknologi IB. Sosialisasi IB di Kecamatan Soppeng Riaja hanya dilakukan dikalangan elit atau tokoh-tokoh masyarakat yang ada tanpa memperhatikan peternak yang kurang mampu mencari informasi yang baru. Hagmann, et.al. (2000) menyatakan bahwa pendekatan penyuluhan yang paling efektif yaitu pengungkapan masalah yang berasal dari keseluruhan kalangan peternak yang secara bersama-sama berkumpul dan mencari solusi bersama. Ketersediaan pakan dapat menghambat peternak dalam mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali karena peternak yang ada di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru tidak mau mengadopsi IB jika jumlah pakan untuk ternaknya masih kurang. Hal ini sesuai dengan Badan Litbang Pertanian (2005) dalam Sariubang (2006) pakan diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi daging dan juga menjadi hal pendukung dalam pelaksanaan program IB. Peternak tidak mengadopsi teknologi IB karena sistem pemeliharaan yang mereka gunakan masih semi intensif dan ekstensif, sehingga tidak dapat mendukung dalam keberhasilan adopsi IB jika mereka mengadopsinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Herwono (2006) bahwa sistem pemeliharaan sapi potong dikategorikan dalam tiga yaitu sistem pemeliharaan intensif yaitu ternak dikandangkan. Variabel yang termasuk ke dalam faktor 2 (dua) yaitu keterampilan insminator (X4), umur dan latar belakang peternak (X5), faktor ekonomi (X9), dan motivasi (X11). Selain faktor 1 yang telah dijelaskan sebelumnya, faktor ini juga dapat menghambat peternak dalam mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru.
282
Peternak di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru tidak mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali karena mereka beranggapan bahwa inseminator belum terampil dalam pelaksanaan program IB. Keahlian dan keterampilan inseminator dalam akurasi pengenalan birahi, sanitasi alat, penanganan (handling) semen beku, pencairan kembali (thawing) yang benar, serta kemampuan melakukan IB akan menentukan keberhasilan. Peternak beraggapan bahwa umur dan pendidikan menghambat mereka dalam mengadopsi teknologi IB. Burton et al., (1999) dalam Herawati (2012) bahwa karakteristik individu, terutama usia dan jenis kelamin, dan akses terhadap informasi sangat penting mempengaruhi adopsi. Peternak di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru tidak mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali karena keuntungan yang diperoleh kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Sirajuddin, dkk., (2013) bahwa pendapatan peternak sapi Bali yang tidak melakukan program IB lebih besar daripada peternak sapi Bali yang melakukan program IB. Motivasi peternak masih rendah untuk mengadopsi teknologi IB karena tidak adanya dorongan dari dalam diri dan masyarakat untuk mengadopsi teknologi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Frey dan Stutzer (2008) dalam Mzoughi (2010) bahwa orang yang termotivasi intrinsik melakukan suatu kegiatan, bahkan ketika ia tidak menerima hadiah yang jelas. Pada penelitian mengenai Hambatan Adopsi Teknologi Inseminasi Buatan oleh Peternak Sapi Bali di Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru diperoleh 2 (dua) faktor yang merupakan kumpulan dari 9 (sembilan) variabel. Faktor pertama dinamakan hambatan utama dan faktor kedua dinamakan hambatan lainnya yang terdiri dari variabel (keterampilan inseminator, umur dan latar belakang peternak, faktor ekonomi dan motivasi). Penamaan faktor didasarkan pada proses pengumpulan informasi dari masyarakat. Rata-rata peternak menganggap bahwa faktor yang paling menghambat untuk mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali adalah faktor-faktor yang tergabung dalam faktor pertama tersebut sehingga peneliti berinisiatif memberikan nama hambatan utama. Faktor kedua juga menghambat peternak dalam mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali namun variabel yang termasuk dalam faktor tersebut lebih sedikit menghambat dibandingkan dengan faktor pertama. Salah satu contoh mendasar yaitu banyak peternak yang tidak mengadopsi teknologi IB pada sapi Bali walaupun umur mereka masih produktif yang artinya masih bersifat pengetrap dini dan pengetrap awal, sehingga akses untuk memperoleh informasi tentang teknologi atau inovasi sangatlah mudah. Hal inilah yang menyebabkan peneliti memberi nama hambatan lainnya. PENUTUP Terdapat dua hambatan yang dihadapi peternak dalam mengadopsi teknologi IB di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru yaitu hambatan utama terdiri dari lima variabel (kualitas semen, deteksi berahi, sosialisasi teknologi IB, ketersediaan pakan, sistem pemeliharaan). Hambatan lainnya terdiri dari empat variabel (keterampilan inseminator, umur dan latar belakang peternak, faktor ekonomi dan motivasi). Faktor yang tidak menghambat peternak dalam mengadopsi teknologi IB di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru yaitu kondisi resepien, kepedulian sosial, dan biaya pelaksanaan IB. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai
faktor-faktor yang menghambat peternak dalam mengadopsi teknologi inseminasi buatan pada sapi Bali, seperti faktor psikologis/psikoanalisis.
283
DAFTAR PUSTAKA Aerens, Candra D.C., M. Nur Ihsan dan Nurul Isnaini. 2013. Perbedaan kuantitatif dan kualitatif semen segar pada berbagai bangsa sapi potong. Malang. Dinas Peternakan Kabupaten Barru. 2014. Data Ternak Sapi di Kabupaten Barru. Efendy, J. 2006. Opinion leader peranannya dalam proses adopsi teknologi IB ternak sapi Madura. Jurnal prosiding peternakan. Hagmann, Jurgen., Edward Chuma, Kuda Murwira dan Mike Connolly. 2000. Learning Together Through Participatory Extension. Universum Verlagsanstalt. Germany. Hastuti, D. 2008. Tingkat keberhasilan inseminasi buatan sapi potong ditinjau dari angka konsepsi dan service per conception. Jurnal Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim. Mediagro vol.4. No.1. Semarang. Herawati, T., Anneke Anggraeni, Lisa Praharani, Dwi Utami dan Argi Argiris. 2012. Peran inseminator dalam keberhasilan inseminasi buatan pada sapi perah. Jurnal informatika pertanian, vol. 21 no.2, Desember:81 – 88. Hernowo, B. 2006. Prospek pengemangan usaha peternakan sapi potong di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi. Fakultas peternakan Institut pertanian Bogor. Bogor. Mzoughi, N. 2010. Farmers adoption of integrated crop protection and organic farming: Do moral and social concerns matter?. Jurnal INRA, UR 767 Ecodéveloppement, Domaine Saint-Paul, France. ECOLEC-03919; No of Pages 10. Purwaningsih, A. 2009. Penentuan Rotasi yang Sesuai dalam Analisis Faktor. Bidang Komputasi P2TIK-BATAN. Putra. 2011. Analisis faktor untuk mengetahui efektivitas strategi me too sebagai strategi bersaing perusahaan (studi kasus pada produk SM Vit C 1000 PT. Sido Muncul). Jurnal Ilmiah Manajemen dan Akuntansi Vol 4. No.7 : 19-81. Rahayu, A. 2008. Kabupaten Gunung Kidul: Sebuah Kajian Wilayah Yang Kurang Berkembang. Semarang. Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro. Sariubang, M. 2006. Pengkajian teknologi pembibitan sapi potong berbasis pedesaan mendukung swasembada daging di Sulawesi Selatan. Jurnal SulSel Litbang DepTan. Siahaan, E.A. 2012. Efektivitas penambahan berbagai konsentrasi β-karoten terhadap motilitas dan daya hidup spermatozoa sapi bali post thawing. Jurnal Indonesia medicus veterinus 1(2) : 239 - 251 ISSN : 2301-7848. Sirajuddin, S.N., Lestari,V.S., dan Fadliah N.S. (2013). Perbandingan pendapatan peternak sapi bali yang melakukan program inseminasi buatan (IB) di Kec. Soppeng Riaja Kabupaten Barru. Jurnal ilmu ternak. ISSN : 1410-5659. Volume 13, Nomor 1 Juni. Umar. 2001. Metode Penelitia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
284