IMPLIKASI KEBIJAKAN PERBIBITAN SAPI TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAK SAPI POTONG
Mursyid Ma’sum P. 016014011
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi yang berjudul: IMPLIKASI KEBIJAKAN PERBIBITAN SAPI TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAK SAPI POTONG adalah merupakan hasil karya dan hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan dari komisi pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dan data yang digunakan berasal atau dikutip dari karya penulis lain yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Juli
2011
Mursyid Ma’sum NIM P.016014011
ii
ABSTRACT MURSYID MA’SUM. IMPLICATION OF CATTLE BREEDING POLICY IN ADOPTED ARTIFICIAL INSEMINATION INNOVATION ON SLAUGHTER CATTLE’S FARMERS. Under supervised by AIDA VITAYALA S. HUBEIS, AMIRUDDIN SALEH and BUDI SUHARJO. The general objective of the research is to describe and analyze the implementation and rate of adopted artificial insemination (AI) innovation on slaughter cattle’s farmers. The result showed that the internal, external and bussiness farm characteristic of slaughter cattle’s farmers and their perception on AI were signifcantly different among the locations of the research. The average of AI implementation by the farmers was 51.1%. There were significant different of average implementation of AI aspects among all locations. The average of the rate of AI adoption was 2.39 years. There are significant different between locations where the cross breeding policy have been applied (Lamongan and Bangkalan districts) and the location where the pure breeding policy have been applied (Tabanan district). In adoption of AI, the farmers in the Tabanan district were relatively faster than other districts. Based on the result of structural equation modelling analysis, the relationship among variables were (1) the variables of internal characteristic of slaughter cattle’s farmers and their perception to AI significantly influenced to the implementation of AI, but the variables of external and farm bussiness characteristic of slaughter cattle’s farmers did not significantly influence to the implementation of AI. The variable of the perception of the farmer to AI contributed to the implementation of AI relatively bigger than the internal characteristic of slaughter cattle’s farmers variable; (2) the variables of internal, external and farm bussiness characteristic of slaughter cattle’s farmers and their perception to AI significantly influenced to the rate of AI adoption. The most influence variable to the rate of AI adoption was the external characteristic of slaughter cattle’s farmers; (3) the perception of slaughter cattle’s farmers on AI influenced both to the implementation of AI and to the rate of AI adoption; (4) cumulatively, the influence of the internal, external, farm bussiness characteristics of slaughter cattle’s farmers and their perception to AI implementation aspects and to the rate of AI adoption was 0.51 (51%) and 0,86 (86%) respectively. The implementation of AI as an instrument to achieve breeding policy’s purposes on slaughter cattle did not give yield yet as it was hoped. This case was caused by the breeding policy on slaughter cattle still have not clear and the implementation of the AI in the field have not been controlled. Keywords: Cattle breeding policy, perception, artificial insemination
iii
RINGKASAN MURSYID MA’SUM, Implikasi Kebijakan Perbibitan Sapi terhadap Adopsi Inovasi Inseminasi Buatan pada Peternak Sapi Potong. Pembimbing: AIDA VITAYALA S. HUBEIS, AMIRUDDIN SALEH dan BUDI SUHARJO. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong. Secara khusus tujuan penelitian adalah untuk (1) mengidentifikasi penerapan IB berdasarkan karakteristik internal dan eksternal serta karakteristik usaha peternak sapi potong; (2) mengidentifikasi persepsi peternak sapi potong terhadap aspek teknis, sosial-budaya, ekonomis dan kebijakan di bidang IB; (3) membangun model yang dapat menjelaskan pola keterkaitan faktor-faktor yang terkait dengan penerapan IB pada peternak sapi potong; dan (4) merancang strategi kebijakan IB pada peternak sapi potong. Penelitian dilakukan di Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan dan Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan di Provinsi Jawa Timur dan Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan Provinsi Bali. Penelitian dirancang sebagai penelitian survai deskriptif korelasional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Jumlah sampel total 240 peternak akseptor IB dengan teknik pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Analisis secara statistik menggunakan SEM (structural equation modeling). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa karakteristik internal, eksternal, usaha dan persepsi peternak sapi potong serta tingkat penerapan dan tingkat kecepatan adopsi inovasi IB menunjukkan perbedaan yang signifikan antar lokasi penelitian. Beberapa indikator yang signifikan terhadap konstruk karakteristik internal peternak sapi potong adalah umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman dalam memelihara sapi dan tingkat kekosmopolitan peternak. Untuk jumlah pemilikan sapi, tujuan pemeliharaan sapi, motivasi menggunakan IB, keanggotaan dalam kelompok IB dan besarnya pendapatan menjual pedet tidak signifikan terhadap konstruk karakteristik internal peternak sapi potong. Dari konstruk karakteristik eksternal peternak sapi potong, beberapa indikator yang signifikan adalah keadaan sarana prasarana, kepastian pasar sapi, intensitas penyuluhan IB dan ketersediaan informasi IB. Kelembagaan IB dan sumber informasi IB tidak signifikan terhadap konstruk karakteristik eksternal peternak sapi potong. Untuk konstruk persepsi, beberapa indikator yang signifikan adalah jenis sapi bibit, tanda-tanda fisik sapi bibit, pelayanan inseminator, tanda-tanda sapi induk berahi, norma sistem sosial, struktur sosial, peningkatan produksi hasil IB, keuntungan relatif menggunakan IB, kebijakan persilangan dan pemurnian; sedangkan tujuan pembibitan/IB, kelembagaan peternak sapi dan kebijakan campuran tidak signifikan terhadap konstruk persepsi peternak sapi potong terhadap IB. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penerapan IB adalah 51,1% dengan kisaran antara 36,4% dan 83,6%. Sekitar 85% responden masuk kategori sedang, yaitu menerapkan aspek-aspek IB antara 40% sampai dengan 60%. Hasil uji beda menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata tingkat penerapan IB antar lokasi penelitian. Untuk kecepatan adopsi inovasi IB menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan adalah 2,39 tahun dengan kisaran antara nol hingga 16 tahun. Hasil uji beda menggunakan Kruskal-WallisTest menunjukkan bahwa kecepatan adopsi IB antar lokasi penelitian berbeda nyata,
iv
di mana di daerah perkawinan pemurnian lebih cepat dari pada di daerah perkawinan silang. Pola keterkaitan karakteristik internal peternak, karakteristik usaha, karakteristik eksternal peternak dan persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat penerapan IB (TPA-IB) dan tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (TKA-IB) dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pengaruh peubah karakteristik usaha (KUP) dan karakteristik eksternal peternak sapi potong (KEP) terhadap tingkat penerapan IB secara statistik tidak signifikan (t-hitung<1,96). Sedangkan peubah karakteristik internal peternak sapi potong (KIP) dan persepsi berpengaruh secara nyata terhadap tingkat penerapan IB. Berdasarkan muatan faktornya, maka peubah persepsi terhadap IB (0,19) mempunyai kontribusi yang lebih besar dibanding peubah karakteristik internal peternak sapi potong (KIP=0,10) terhadap tingkat penerapan IB. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna. Dalam konteks ini, salah satu indikator yang dominan dari konstruk persepsi ini adalah persepsi peternak tentang keuntungan relatif dari inovasi IB (aspek ekonomi), yang ditunjukkan dengan peningkatan produksi sapi hasil IB dan harga sapi hasil IB. Persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian. (2) Untuk tingkat kecepatan adopsi inovasi IB, semua peubah, yaitu karakteristik internal (KIP), usaha (KUP) dan eksternal (KEP) peternak sapi potong serta persepsi mereka terhadap IB, secara statistik keempat peubah tersebut berpengaruh secara nyata (t-hitung >1,96). Peubah yang paling besar kontribusinya terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB ini secara berturut-turut adalah KUP (0,95), KIP (0,21), Persepsi (0,09) dan KEP (0,04). Beberapa indikator peubah karakteristik usaha yang dominan adalah jumlah sapi yang dijual dan indikator pendapatan rumah tangga. Fakta ini menunjukkan, bahwa aspek ekonomi IB sangat berpengaruh terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. Sedangkan dari peubah KIP, indikator yang dominan adalah umur peternak dan pengalaman beternak sapi. (3) Persepsi peternak sapi potong tentang IB mempunyai pengaruh yang nyata, baik terhadap tingkat penerapan IB maupun terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. Pengaruh persepsi peternak tentang IB ini lebih besar kontribusinya terhadap tingkat penerapan IB dibanding terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. (4) Karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap IB secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat penerapan IB sebesar 0,51 (51%) dan sisanya sebesar 0,49 (49%) merupakan pengaruh peubah lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. (5) Karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap IB secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB dengan koefisien determinasi sebesar 0,86 (86%) dan sisanya sebesar 0,14 (14%) merupakan pengaruh peubah lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Penerapan IB pada sapi potong sebagai instrumen untuk mencapai tujuan kebijakan perbibitan sapi belum memberikan hasil yang diharapkan. Hal ini disebabkan kurang jelasnya arah kebijakan perbibitan sapi potong dan tidak terkontrolnya penerapan IB di lapangan.
v
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
IMPLIKASI KEBIJAKAN PERBIBITAN SAPI TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAK SAPI POTONG
MURSYID MA’SUM
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vii
Penguji luar komisi pada ujian tertutup: 1. Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc. (Direktur Magister Bisnis IPB) 2. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA (Anggota Komisi Pascasarjana, SPs-IPB) Penguji luar komisi pada ujian terbuka: 1. Drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, MM, PhD (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian) 2. Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. (Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor)
viii
Judul Disertasi
:
IMPLIKASI KEBIJAKAN PERBIBITAN SAPI TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAK SAPI POTONG
Nama
:
MURSYID MA’SUM
Nomor Pokok
:
P.016014011
Program Studi
:
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Disetujui, Komisi Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S, Hubeis Ketua
Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS Anggota
Dr. Ir, Budi Suharjo, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 12 Juli 2011
Tanggal Lulus:
ix
KATA PENGANTAR Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, penyusunan disertasi dengan judul “Implikasi Kebijakan Perbibitan Sapi terhadap Adopsi Inovasi Inseminasi Buatan pada Peternak Sapi Potong” ini dapat diselesaikan. Dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu, mendorong dan mendo’akan agar disertasi ini selesai, yaitu kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala, S Hubeis, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh MS serta Dr. Ir. Budi Suharjo MS sebagai anggota komisi pembimbing, atas korbanan waktu, tenaga dan pikiran serta kesabaran dalam membimbing penyusun.
2.
Para penguji luar komisi, ujian tertutup: Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc. (Direktur Magister Bisnis IPB) dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA (Anggota Komisi Pascasarjana, SPs-IPB); ujian terbuka: Drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, MM, PhD (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian) dan Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. (Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor), yang dengan pertanyaan dan sarannya telah menyempurnakan disertasi ini.
3.
Seluruh teman-teman di dinas yang telah membantu proses penelitian ini, baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Provinsi Bali, yaitu: a. Ir. Rohayati, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Timur dan Drh. Suhardi serta enumerator pak Sunarji di Bangkalan. b. Ir. Wardoyo, kepala Dinas Peternakan Kabupaten Lamongan dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Islam Lamongan dan para enumerator: Wahyuni, Abdurahim, Abdul Wakhid, Kurniawan Dani dan Karmuji. c. Ir. Nyoman Rusmini, MMA, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan dan Wayan Tami, para enumerator: I Gusti Putu Arum Jaya, I Made Puja Astika, I Made Santra dan
I Nyoman Sunata di Dinas
Peternakan Tabanan, Bali. 4.
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta jajarannya dan para dosen di Program Studi Penyuluhan Pembagunan yang tidak mungkin penyusun sebut satu persatu, khususnya kepada Ketua Program Studi/Mayor Penyuluhan Pembagunan Dr. Ir. Siti Amanah, MSc. dan sekretaris ibu Dessi yang telah banyak membantu dalam administrasi.
x
urusan
5.
Ibu Nedian Kusumaningrum, Msi dan Dr. Teddy Rachmat Muliady yang telah banyak membantu masalah statistik.
6.
Kedua orang tuaku, ayahanda H. Ma’sum Edrisy (Alm) dan ibunda Hj. Siti Zubaidah yang telah mengajarkan menuntut ilmu itu adalah ibadah.
7.
Isteriku, dr. Henny Hanna, Sp.RM, MARS dan anak-anakku Ibnu Sina dan Salman Al-Farisy yang dengan tulus dan caranya sendiri, masing-masing telah membantu penyelesaian disertasi ini.
8.
Kakanda Yusuf Selamat dan Laksdewi; adinda Syukri dan Rini; sanaksaudara serta para sahabat dan kolega yang telah hadir untuk memberikan dukungan dalam ujian terbuka. Akhirul kalam, mudah-mudahan disertasi ini dapat memberi manfaat bagi
penyusun dan pihak-pihak terkait dalam pembangunan peternakan, khususnya yang terkait dengan perbibitan dan penerapan IB. Jakarta,
Juli 2011
Mursyid Ma’sum
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus 1956 dari pasangan H. Ma’sum Edrisy (alm) dan Hj. Siti Zubaidah. Penulis adalah putra ke delapan dari sebelas bersaudara. Telah menikah dengan Dr. Hj. Henny Hanna, SpRM, MARS pada tanggal 4 Juli 1986 dan dikaruniai 2 putra bernama Ibnu Sina dan Salman Al-Farisy, keduanya kini kuliah di ITB Bandung dan UNDIP Semarang. Penulis tamat pendidikan dasar di sekolah Al-Irsyad tahun 1969, melanjutkan di SMP Muhammadiyah tamat tahun 1972 dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri tamat tahun 1975, semuanya di Banyuwangi. Pendidikan tinggi (S1) di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang, lulus tahun 1983 dengan skripsi di bidang reproduksi ternak. Tahun 1994, melalui program OTO BAPPENAS, penulis berkesempatan menempuh pendidikan S2 di Fakultas Pertanian Gifu University Jepang, lulus tahun 1997 dalam bidang ilmu terapan remote sensing (penginderaan jauh) untuk mengestimasi potensi wilayah dalam penyediaan pakan hijauan ternak menggunakan data satelit. Selain pendidikan formal, penulis juga berkesempatan mengikuti beberapa pelatihan, baik di dalam negeri maupun luar negeri, antara lain di Jerman tahun 1990 tentang Farming System and Livestock Production, di Inggris tahun 1999 tentang Manajemen dan teknik fasilitasi, dan studi banding pembangunan peternakan ke Sudan-Afrika tahun 2007, penulis tergabung sebagai anggota Tim Ahli Departemen Pertanian. Setelah lulus S1 tahun 1983, penulis langsung bekerja sebagai petugas lapangan (satgas) Proyek Pengembangan Petani-Ternak Kecil bantuan Bank Dunia (IFAD) ditempatkan di daerah transmigrasi Lampung. Tahun 1983-1986 di Kecamatan Padang Ratu Kabupaten Lampung Tengah dan 1983-1989 di Kecamatan Palas Lampung Selatan. Tahun 1989 penulis pindah ke Jakarta masih bekerja di proyek yang sama, di Bagian Teknis dari Project Management Office (PMO) IFAD di Jakarta. Tahun 1994, ketika proyek IFAD selesai, penulis ditempatkan di Bagian Organisasi dan Tatalaksana (ORTALA) Sekretariat Direktorat Jenderal Peternakan. Tahun 1997 sepulang sekolah S2, penulis diangkat sebagai Kasubbag Organisasi dan Perpustakaan. Kemudian berturutturut diangkat sebagai Kasubbag Analisis Jabatan dan Jabatan Fungsional tahun 1999; Kasubbag Mutasi Kepegawaian tahun 2000 s/d tahun 2005. Akhir tahun 2005 dipromosikan sebagai Kasubdit Pakan, Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. Awal tahun 2008, penulis kembali ke Sekretariat Direktorat Jenderal Peternakan sebagai Kepala Bagian Perencanaan, Direktorat Jenderal Peternakan. Akhir tahun 2008 dimutasi kembali sebagai Kasubdit Pakan dan sejak tanggal 29 November 2010 dipercaya menjabat sebagai Direktur Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Aktivitas lain penulis, sejak tahun 1998 adalah aktif sebagai fasilitator pelatihan dengan pendekatan partisipatif dan pendidikan orang dewasa. Tema sentral pelatihan umumnya adalah berkaitan dengan “mewirausahakan birokrasi,” beberapa subyek pelatihan yang penulis fasilitasi adalah “Manajemen mutu terpadu (TQM)” “Perencanaan secara partisipatif” “Penyusunan logical framework” dan “Teknik fasilitasi.” xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………………….......
xiii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………….......
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................
xv
I.
PENDAHULUAN ............................................................................................ Latar Belakang Penelitian……………………………………………….............. Masalah Penelitian …………………………………………………………........ Tujuan Penelitian ……………………………………………………………....... Kegunaan Penelitian dan Novelty.……………………………………...............
1 1 5 7 8
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... Proses Adopsi dan Difusi Inovasi ................................................................. Proses Adopsi Inovasi.........................…………………........................... Proses Difusi Inovasi ..............................................……………………... Proses Komunikasi …................. ……………………………………….... Sistem Sosial dan Perubahan Sosial ...................................................... Tingkat dan Kecepatan Adopsi Inovasi ................................................... Persepsi ......................................................................................................... Penelitian Terkait Adopsi Inovasi dan Implementasi IB .................…………. Karakteristik Peternakan Sapi Potong ........................................................... Kebijakan Perbibitan ............... ……………………………………………….... Kebijakan Publik ........……………………………………………………... Konsep Perbibitan ................................................................................... Sejarah Kebijakan Perbibitan di Indonesia ……………………………… Inseminasi Buatan dan Sejarah Perkembangannya ...…………………. Pengorganisasian Inseminasi Buatan .…………………………………… Penyuluhan .................................................................................................... Konsep dan Pengertian Penyuluhan ....................................................... Empat Generasi Penyuluhan di Asia ...................................................... Paradigma Baru Penyuluhan .................................................................. Pelayanan yang Bermutu …………………………………………………......... Filosofi dan Konsep Pelayanan yang Bermutu ....................................... Konsep Mutu .………………………………………………………............. Konsep Pelanggan ………………………………………………………….
9 9 10 12 14 15 17 19 20 24 26 26 27 30 34 36 38 38 42 43 46 46 47 50
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ................................................. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... Hipotesis ........................................................................................................
53 53 56
IV. METODE PENELITIAN …………………………………………………........... Rancangan Penelitian …………………………………………………….......... Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………………........... Populasi dan Sampel ………………………………………………….............. Populasi .................................................................................................. Sampel .................................................................................................... Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ………………………………................ Jenis data ................................................................................................ Teknik pengumpulan data .......................................................................
57 57 57 58 58 58 59 59 59
xiii
Operasionalisasi dan Cara Pengukuran Variabel ………………............... Uji kesahihan (Validitas) .............................................................................. Uji Keterandalan (Reliabilitas) ..................................................................... Analisis Data ...............................................................................................
60 66 67 67
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................................. Gambaran Umum Daerah Penelitian ........................................................... Pembangunan peternakan di Provinsi Jawa Timur dan Bali ................ Kondisi Peternakan Sapi Potong........................................................... Identifikasi Karakteristik Internal, Eksternal, Usaha dan Persepsi Peternak Sapi Potong ................................................................................................. Karakteristik Internal Peternak Sapi Potong ........................................ Karakteristik Usaha Peternak Sapi Potong .......................................... Karakteristik Eksternal Peternak Sapi Potong ..................................... Persepsi Peternak Sapi Potong terhadap Inovasi IB ........................... Tingkat Penerapan dan Kecepatan Adopsi Inovasi IB ................................ Tingkat penerapan IB ........................................................................... Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB .................................................... Model Keterkaitaan Faktor-Faktor dalam Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong.................................................................................................. Validitas dan Reliabilitas konstruk ........................................................ Konstruk karakteristik internal peternak sapi potong (KIP) ........... Konstruk karakteristik usaha peternak sapi potong (KUP) ........... Konstruk karakteristik eksternal peternak sapi potong (KEP) ....... Konstruk persepsi peternak sapi potong terhadap IB ................... Konstruk tingkat penerapan IB (TPA-IB) ....................................... Konstruk tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (TKA-IB) ............... Model Pengukuran dan Persamaan Struktural Adopsi Inovasi IB........ Strategi Kebijakan Perbibitan terhadap Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong ............................................................................................... Konsep perbibitan sapi ......................................................................... Penerapan IB pada sapi potong dalam sistem perbibitan ................... Arah kebijakan perbibitan sapi potong ................................................. Proses formulasi strategi kebijakan perbibitan sapi potong ................. Faktor internal strategis penerapan IB pada peternak sapi potong...... Faktor eksternal strategis penerapan IB pada peternak sapi potong... Strategi kebijakan IB .............................................................................
79 79 79 82 83 83 87 91 95 109 109 114 119 119 120 122 124 126 131 133 135 148 148 149 150 154 155 158 160
VI. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 165 Simpulan....................................................................................................... 165 Saran ........................................................................................................... 166 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….... 169 LAMPIRAN …………………………………………………………………………...
xiv
177
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Kronologis tindakan pemerintah di bidang perbibitan sapi .........................
29
2.
Produksi semen nasional dalam kurun waktu 2001-2010 ..........................
36
3.
Perbandingan antara barang dan jasa ........................................................
49
4.
Populasi sapi, peternak dan penyebaran responden di masing-masing lokasi penelitian ...........................................................................................
58
.
5.
Distribusi indikator karakteristik internal peternak sapi potong ...................
84
6.
Rataan nilai indikator KIP sapi potong antar lokasi penelitian......................
87
7.
Distribusi indikator karakteristik usaha peternak sapi potong .....................
88
8.
Tujuan pemeliharaan sapi potong ...............................................................
90
9.
Rataan nilai indikator KUP sapi potong antar lokasi penelitian....................
91
10. Distribusi indikator karakteristik eksternal peternak sapi potong.................
92
11. Rataan nilai indikator KEP sapi potong antar lokasi penelitian....................
94
12. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek teknis IB............................
99
13. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek sosial budaya IB ..............
101
14. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek ekonomi IB ....................... 102 15. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek kebijakan IB .....................
104
16. Rataan nilai indikator persepsi sapi potong antar lokasi penelitian............. 106 17. Tingkat penerapan IB .................................................................................. 110 18. Rataan nilai indikator tingkat penerapan IB antar lokasi penelitian.............
114
19. Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB ........................................................... 115 20. Rataan nilai indikator tingkat kecepatan adopsi inovasi IB antar lokasi penelitian...................................................................................................... 117 21. Dekomposisi pengaruh antar peubah/sub peubah model tingkat penerapan dan kecepatan adopsi dan inovasi IB ........................................ 142 22. Koefisien dan t-hitung pengaruh KIP, KUP, KEP dan Persepsi peternak sapi potong terhadap tngkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB.. 145 23. Indikator-indikator yang signifikan terhadap konstruk ................................. 155 24. Ringkasan faktor analisis internal kekuatan dan kelemahan penerapan IB pada peternak sapi potong ...................................................
157
25. Ringkasan faktor analisis eksternal peluang dan ancaman penerapan IB pada peternak sapi potong ...................................................
159
26. Matriks analisis SWOT untuk perumusan strategi kebijakan perbibitan/IB pada peternak sapi potong ....................................................
161
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Model proses keputusan inovasi ……………………………………………..
10
2.
Tahapan proses adopsi oleh individu ………………………………………..
11
3.
Model implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian ............
27
4.
Metode kualitas jasa menurut Deming: proses yang diperluas ……….......
47
5.
Model konseptual mutu pelayanan ..............................................................
48
6.
Keterkaitan kebijakan perbibitan sapi dan penerapan IB dalam mendukung PSDS 2014 ................................. ............................................
54
Kerangka pemikiran penelitian implikasi kebijakan perbibitan sapi terhadap adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong ............................
55
8.
Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian ..............................
75
9.
Model hubungan antar faktor-faktor terkait dalam penerapan IB ...............
76
7.
10. Statistik t-hitung parameter hubungan antara konstruk KIP dan variabel indikatornya .............................................................................
121
11. Estimasi parameter hubungan antara konstruk KIP dan variabel indikatornya ...................................................................................
122
12. Statistik t-hitung parameter hubungan antara konstruk KUP dan variabel indikatornya ...................................................................................
123
13. Estimasi parameter hubungan antara konstruk KUP dan variabel indikatornya ...................................................................................
124
14. Statistik t-hitung parameter hubungan antara konstruk KEP dan variabel indikatornya ...................................................................................
124
15. Estimasi parameter hubungan antara konstruk KEP dan variabel indikatornya ...................................................................................
125
16. Statistik t-hitung parameter hubungan antara persepsi dan indikatornya...
127
17. Estimasi parameter hubungan antara persepsi dan indikatornya ..............
129
18. Statistik t-hitung parameter hubungan antara TPA-IB dan indikatornya.....
131
19. Estimasi parameter hubungan antara TPA-IB dan indikatornya ................
132
20. Statistik t-hitung parameter hubungan antara TKA-IB dan indikatornya.....
134
21. Estimasi parameter hubungan antara TKA-IB dan indikatornya ................
135
22. Statistik t-hitung parameter model struktural tingkat penerapan IB dan tingkat kecepatan adopsi inovasi IB ..................................................... 137 23. Estimasi parameter model struktural tingkat penerapan IB dan tingkat kecepatan adopsi inovasi IB ........................................................................ 138 24. Model struktural hubungan antara KIP, KUP, KEP, Persepsi dan tingkat penerapan serta tingkat kecepatan adopsi inovasi IB ................................
xvi
140
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Produksi semen beku BBIB Singosari dan BIB Lembang tahun 2001-2011.. 177
2.
Kuesioner penelitian implikasi kebijakan perbibitan sapi terhadap adopsi inovasi inseminasi buatan pada peternak sapi potong................................... 179
3.
Daftar pertanyaan data kualitatif .................................................................... 193
xvii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Tujuan umum pembangunan peternakan, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-2014, adalah meningkatkan penyediaan pangan hewani dan kesejahteraan peternak melalui kebijakan dan program pembangunan peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal. Secara khusus tujuan pembangunan peternakan adalah (1) Meningkatkan jaminan ketersediaan benih dan bibit ternak yang berkualitas, (2) Meningkatkan populasi dan produktivitas ternak ruminansia, (3) Meningkatkan populasi dan produktivitas ternak non-ruminansia, (4) Meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan, (5) Meningkatkan jaminan keamanan produk hewan dan (6) Meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat. Sedangkan kegiatan prioritas Direktorat Jenderal Peternakan adalah Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014, melalui kegiatan pokok: (1) Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal, (2) Peningkatan produksi ternak ruminansia dan nonruminansia dengan pendayagunaan sumberdaya lokal, (4) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular strategis dan penyakit zoonosis, (5) Penjaminan pangan asal hewan yang aman dan halal serta pemenuhan persyaratan produk hewan nonpangan dan (6) Peningkatan koordinasi dan dukungan manajemen di bidang peternakan (Ditjennak 2009a: 28-51). PSDS Tahun 2014. Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 merupakan salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Saat ini kebutuhan daging sapi terus meningkat. Produksi daging sapi lokal selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 mengalami fluktuasi. Dari tahun 2005 hingga tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 19,2%, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 menjadi 18,8% dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata peningkatan 9,1% per tahun. Kekurangan kebutuhan untuk konsumsi dipenuhi dari impor ternak bakalan (feeder cattle) dan daging sapi. Selama kurun waktu tahun 2005 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 10,6% per tahun dan pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5%
2
dibanding tahun 2008. Sementara itu, pertumbuhan populasi sapi potong dari tahun 2005 hingga 2009 mengalami kenaikan. Pada tahun 2005 populasi sapi sebanyak 10,5 juta ekor dan pada thaun 2006 menjadi 10,9 juta ekor, atau meningkat 2,8%. Kenaikan populasi meningkat tajam pada tahun 2007 dan 2008 yakni masing-masing 5,5% dan 6,9%. Kenaikan sapi ini kemudian melambat pada tahun 2009 yaitu menjadi 2,4%. (Ditjennak 2010:12). Isu strategis yang menjadi permasalahan sekaligus
tantangan menuju
swasembada daging sapi ini adalah masih rendahnya produktivitas sapi lokal, yang ditunjukkan dengan (1) tingginya tingkat kematian sapi di beberapa wilayah, yaitu untuk pedet antara 20 sampai 40% dan sapi induk 10 hingga 20 persen, (2) sapi betina produktif yang dipotong mencapai 150-200 ribu ekor per tahun (3) banyak sapi-sapi muda yang dipotong sebelum mencapai berat optimalnya, sehingga sapi hanya memproduksi daging sekitar 60-80% dari potensi maksimalnya, (4) produktivitas sapi yang masih sangat beragam, antara lain sapi persilangan hasil inseminasi buatan (IB) yang dipelihara dengan cara seadanya dan (5) langkanya sapi jantan di daerah sumber bibit dengan pola pemeliharaan ekstensif (digembalakan) karena semua sapi jantan dijual atau dipotong. PSDS 2014 ini diimplementasikan melalui lima kegiatan pokok, yaitu (a) Penyediaan sapi bakalan/daging sapi lokal, (b) Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal, (c) Pencegahan pemotongan sapi betina produktif, (d) Penyediaan sapi bibit, (e) Pengaturan stock daging sapi dalam negeri. Secara lebih rinci, lima kegiatan pokok tersebut dijabarkan menjadi 13 kegiatan operasional
yang
meliputi:
(1)
Pengembangan
usaha
pembiakan
dan
penggemukan sapi lokal, (2) Pengembangan pupuk organik dan biogas, (3) Pengembangan integrasi ternak-tanaman, (4) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas rumah potong hewan, (5) Optimalisasi kegiatan IB dan intesivikasi kawin alam, (6) Penyediaan dan pengembangan pakan dan air, (7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan, (8) Penyelamatan sapi betina produktif, (9) Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha perbibitan, (10) Pengembangan usaha perbibitan sapi potong melalui village breeding center (VBC), (11) Penyediaan bibit sapi melalui subsidi bunga (program kredit usaha pembibitan sapi/KUPS), (12) Pengaturan stock sapi bakalan dan daging, (13) Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging serta operasional kegiatan pusat/provinsi/kabupaten/kota.
3
Beberapa kegiatan operasional PSDS 2014 dalam mendukung kegiatan pokok sebagaimana tersebut di atas, antara lain melalui (1) penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha perbibitan, (2) pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui VBC dan (3) kegiatan optimalisasi IB. Khusus kegiatan optimalisasi IB, ini dilakukan mengingat (1) potensi populasi ternak sapi induk yang ada, (2)
teknologi IB yang sudah dikuasai dan sudah banyak
diadopsi oleh peternak, (3) jumlah SDM (inseminator, pemeriksa kebuntingan dan asisten teknik reproduksi) yang tersedia
dan (4) dukungan infrastruktur
(produksi semen, peralatan, kelembagaan IB dan peternak). Hal ini juga sejalan dengan visi Direktorat Jenderal Peternakan 2009-2014, yaitu menjadi direktorat jenderal peternakan yang profesional dalam mewujudkan peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk mewujudkan penyediaan dan keamanan pangan hewani serta meningkatkan kesejahteraan peternak. Teknologi IB diperkenalkan di Indonesia pada tahun lima-puluhan. Kemudian mulai dilakukan ujicoba dan disosialisasikan ke daerah-daerah pada tahun 1969, namun kebijakan penerapan IB oleh Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan baru dimulai tahun 1976 bersamaan dengan diresmikannya Sentra Inseminasi Buatan Lembang. Kebijakan penerapan IB saat itu ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah dan sapi potong. Untuk sapi perah ditempuh melalui grading-up dengan mendatangkan pejantan unggul (proven bull) dari luar negeri. Sedangkan untuk sapi potong, melalui grading-up ternak asli seperti sapi Bali dan Ongole dan melalui persilangan dengan sapi potong dari luar negeri (BIB Lembang 2001:1). Inseminasi Buatan sebagai teknologi reproduksi dalam penerapannya tidak dapat dipisahkan dengan sistem perkawinan yang merupakan salah satu instrumen dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang perbibitan. Menurut Gordon (2004:49-50), bahwa IB sebagai teknologi reproduksi, tidak diragukan lagi adalah cara yang paling penting yang diterapkan pada sapi selama abad 20, karena IB secara relatif, lebih murah dan mudah untuk diterapkan. Menurut Skjervold (1982:13-14), selama dua dekade terakhir IB telah menjadi cara perkawinan yang paling penting, dan lebih jauh IB telah memberikan dimensi baru pada kegiatan pembibitan ternak sapi. Inseminasi Buatan, secara umum bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu genetik ternak hasil IB, (2) mempercepat penyebaran gen-gen unggul pada sapi
4
keturunannya dan (3) meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul (Foote 1981:13-39 dan Gordon 2004:51). Implikasi dari penerapan IB ini adalah meningkatnya produksi dan produktivitas ternak turunannya, sekaligus dapat meningkatkan populasi. Setelah hampir empat dekade sejak IB diperkenalkan, fenomena respons masyarakat terhadap teknologi IB ini bervariasi. Fenomena tersebut secara umum dapat dikategorikan menjadi empat macam: (1) menjadi IB minded, (2) menerima, (3) masih mencoba-coba dan (4) menolak. Dari aspek penyuluhan, teknologi IB telah menggantikan cara perkawinan sapi yang selama ini dilakukan secara turun-temurun, yaitu kawin secara alami. Aspek lain, pemeliharaan sapi potong dan cara perkawinan telah menjadi bagian dari sistem sosial dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, proses perubahan perilaku peternak sapi potong dalam merespons IB sebagai suatu inovasi teknologi reproduksi bukanlah hal yang sederhana. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor dan prosesnya membutuhkan waktu. Beberapa faktor yang mempengaruhi respons peternak dengan diperkenalkannya suatu inovasi, secara umum dipengaruhi oleh masalah teknis, sosial, ekonomi dan budaya. Menurut Lionberger dan Gwin (1982:5) hal tersebut sebagian dipengaruhi oleh (1) faktor individu, (2) sebagian oleh situasi di mana dia berada, dan (3) sifat dari gagasan inovasi tersebut. Lebih jauh dikatakan, bahwa respons terhadap suatu inovasi sangat berbeda antara orang-perorang dan masyarakat yang satu dengan yang lain, serta peubah-peubahnya juga berbeda. Hal ini mengindikasikan diperlukannya pendekatan yang berbeda dalam memberikan penyuluhan IB kepada masyarakat. Terhadap perkawinan silang ataupun pemurnian yang menggunakan IB di Indonesia, Hardjosubroto et al., (1997:250) mengingatkan agar memperhatikan aspek sosial dan budaya. Artinya, persoalan kebijakan bibit tidak semata-mata masalah teknis dan/atau ekonomi saja, tetapi juga menyangkut masalah sosial dan budaya. Sebagai contoh, persilangan antara sapi Madura dengan pejantan Santa Gertrudis di Socah Madura, telah menghasilkan sapi Madrali yang lebih produktif. Tetapi sapi Madrali akhirnya ditolak oleh penduduk karena sapi Madrali tidak dapat digunakan untuk karapan. Contoh lain misalnya hasil persilangan antara sapi PO dengan sapi Hereford di Sawangan Jawa Tengah, yang walaupun dari segi produksi cukup baik, tetapi telah mengecewakan penduduk karena sapi hasil silangan ini tidak berpunuk sehingga tidak dapat digunakan untuk membajak.
5
Dari aspek kebijakan perbibitan, Pane (1993:2) sangat menyayangkan bahwa hingga saat ini tidak ada data yang lengkap, baik itu hasil pemurnian sapi Ongole di Sumba maupun hasil persilangan antara sapi Ongole (murni) dengan sapi Jawa menjadi sapi PO (Peranakan Ongole). Bahkan sapi PO, walaupun sudah menjadi suatu jenis tersendiri –kini banyak disilangkan dengan sapi Simental dan Limousine- tapi performansnya belum diketahui. Demikian pula dengan komposisi darahnya. Seharusnya, sebelum suatu usaha peningkatan mutu sapi tersebut dimulai, sudah diketahui terlebih dahulu mutu dan komposisi darah tetuanya (Pane 1993: 23). Belum lagi sapi perah Grati, bagaimana komposisi darahnya? Hal ini mengakibatkan tujuan perbaikan mutu genetik sapisapi di Indonesia menjadi tidak jelas. Pengorganisasian IB ini melibatkan banyak institusi, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Dari aspek kebijakan, masalah perbibitan masih merupakan kewenangan Pusat (Pemerintah). Penyediaan peralatan dan bahan, khususnya container dan N 2 cair oleh perusahaan swasta. Sedangkan pelaksana di lapangan dilakukan oleh inseminator. Terdapat dua status inseminator, yaitu (1) sebagai aparat pemerintah (Inseminator plat merah) dan (2) yang dilakukan oleh masyarakat sendiri (inseminator swadaya/mandiri), khususnya untuk daerah-daerah yang sudah maju dan peternaknya sudah IB-minded. Setelah sekitar empatpuluhan tahun IB ini diperkenalkan dan diterapkan pada
peternakan
sapi
potong,
maka
perlu
dilakukan
penelitian
yang
komprehensif dan mendalam, apakah hasilnya ini sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam penetapan kebijakan perbibitan; atau, adakah implikasi-implikasi lain yang mengharuskan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan perbibitan tersebut.
Masalah Penelitian Proses adopsi dan difusi inovasi IB bukanlah hal yang sederhana. Hal ini dipengaruhi banyak faktor, yaitu (1) peternaknya sendiri, (2) lingkungan di mana peternak berada dan (3) persepsi peternak terhadap IB dari aspek teknis, sosialbudaya, ekonomi dan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan. Oleh karena itu, IB sebagai suatu inovasi, akan membawa implikasi baik secara teknis, sosialekonomi maupun budaya suatu sistem sosial (masyarakat). Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:140), dalam kebanyakan penelitian tentang difusi inovasi, sedikit sekali perhatian diberikan terhadap perubahan yang besar dalam struktur sosial atau cara hidup masyarakat. Perubahan kelembagaan dan
6
masyarakat jarang diteliti, padahal perubahan sosial yang demikian sangat penting, khususnya di kalangan masyarakat pedesaan. Inseminasi
Buatan
adalah
salah
satu
teknologi
reproduksi
yang
diperkenalkan sejak empat dekade yang lalu. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan persepsi peternak terhadap IB, ada yang setuju dengan penerapan IB, ada yang ragu-ragu, bahkan ada yang menolak. Secara teknis,
IB sebagai salah satu teknik perkawinan sekaligus sebagai
instrumen implementasi kebijakan perbibitan pada sapi, telah (1) mempercepat penyebaran gen-gen sapi unggul, baik yang berasal dari sapi pejantan asli dan lokal, maupun yang berasal dari sapi-sapi impor, khususnya jenis Simental, Limousin dan Brahman, (2) menggantikan sistem kawin alami yang selama ini digunakan oleh masyarakat. Hal ini berarti telah mengubah (a) status kepemilikan sapi jantan, khususnya pejantan “unggul” sebagai pemacek, (b) peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat dan (c) hubungan (interaksi) sosial antara peternak pemilik pemacek dan masyarakat pengguna pemacek tersebut. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sapi turunan hasil perkawinan silang antara sapi impor dan sapi asli atau lokal, mempunyai harga jual yang lebih tinggi dibanding dengan harga sapi turunan hasil perkawinan antar sapi asli ataupun sapi lokal (pemurnian). Hal ini disebabkan turunan hasil persilangan mempunyai berat lahir, pertambahan berat badan harian dan berat hidup yang lebih tinggi. Oleh karena itu, perkembangan jumlah akseptor IB, khususnya untuk persilangan, pada tiga dekade awal sangat pesat. Sedangkan pada separuh dekade terakhir menunjukkan tanda-tanda kejenuhan, bahkan penurunan. Berdasarkan fakta-fakta di atas, dari sisi tujuan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak sapi potong, dan meningkatkan pendapatan peternak sapi potong, telah menunjukkan keberhasilan. Namun, dari sisi perbibitan sapi potong, jika keinginan peternak untuk menyilangkan sapi asli atau lokal dengan sapi impor tidak direncanakan dengan baik, dikendalikan, tidak dicatat secara rapih dan lengkap, maka arah kebijakan perbibitan sapi potong akan menjadi kabur. Sapi asli dan lokal sebagai kekayaan sumberdaya genetik ternak Indonesia akan punah karena tidak dilakukan konservasi, seperti kasus sapi Jawa. Sementara,
hasil persilangan dengan sapi impor tidak
teridentifikasi dengan jelas, baik silsilah maupun komposisi darah tetuanya. Dari aspek sosial-budaya, beberapa
kasus juga menunjukkan bahwa walaupun
7
terjadi peningkatan produktivitas sapi turunan hasil persilangan, tetapi secara sosial-budaya tidak dapat diterima oleh masyarakat, seperti hasil persilangan antara sapi Madura dan Santa gertrudis, tidak dapat untuk karapan. Begitupun persilangan antara sapi
PO dan sapi Hereford walaupun dari segi produksi
cukup baik, tetapi telah mengecewakan penduduk karena turunannya tidak berpunuk sehingga tidak dapat digunakan untuk menarik bajak, dan lain-lain. Fenomena ini perlu diteliti lebih beragam dan lebih dalam untuk memperoleh realitas sebenarnya dari implikasi penerapan IB di masyarakat. Sebagai suatu inovasi teknologi, sejauh ini penelitian IB lebih banyak dilakukan terhadap aspek teknisnya, sedikit sekali penelitian IB dikaitkan dengan masalah ekonomi dan sosial-budaya, lebihjauh dikaitkan dengan masalah perilaku dan perubahan sosial. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang menyeluruh dan mendalam terhadap implikasi penerapan IB dalam masyarakat, terutama dikaitkan dengan karakteristik peternak sapi potong dan persepsi mereka
terhadap IB baik dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan
kebijakan pemerintah. Masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah karakteristik internal dan eksternal serta karakteristik usaha peternak sapi potong peserta IB?
2.
Bagaimanakah persepsi peternak sapi potong terhadap IB dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomis dan kebijakan di bidang IB?
3.
Bagaimanakah pola keterkaitan karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong, karakteristik usaha dan persepsi peternak tentang IB terhadap tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB?
Tujuan Penelitian Penelitian implikasi kebijakan perbibitan sapi terhadap adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tingkat dan kecepatan adopsi inovasi IB. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengidentifikasi penerapan IB berdasarkan karakteristik internal dan eksternal serta karakteristik usaha peternak sapi potong.
2.
Mengidentifikasi persepsi peternak sapi potong terhadap aspek teknis, sosial-budaya, ekonomis dan kebijakan di bidang IB.
3.
Membangun model yang dapat menjelaskan pola keterkaitaan faktor-faktor yang terkait dengan penerapan IB pada peternak sapi potong.
8
4.
Merancang strategi kebijakan IB dilihat dari karakteristik internal dan eksternal, karakteristik usaha, persepsi peternak tentang IB, tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong. Kegunaan Penelitian dan Novelty Melalui pemahaman karakteristik internal dan eksternal, karakteristik usaha
dan persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB sebagai instrumen implementasi kebijakan perbibitan di sentra sapi potong, maka dapat diperoleh novelty berupa informasi
dasar sebagai
bahan masukan penyusunan modul/kurikulum penyuluhan di bidang perbibitan sapi potong yang berbasis spesifikasi lokasi dan sebagai dasar penyusunan standar pelayanan IB yang berorientasi kepada kebutuhan dan harapan peternak sapi potong sebagai pengguna. Kegunaan ataupun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat menambah khasanah keilmuan penyuluhan pembangunan pertanian dengan menyediakan data dan informasi tentang keterkaitan karakteristik internal dan eksternal peternak, karakteristik usaha, persepsi dan tingkat penerapan IB serta kecepatan adopsi inovasi IB peternak sapi potong. 2. Diperolehnya informasi kebutuhan dan harapan peternak sapi potong sebagai sasaran penyuluhan dan pelanggan pelayanan IB. 3. Memberikan
masukan
kepada
Pemerintah
c.q.
Direktorat
Jenderal
Peternakan dalam penyusunan kebijakan di bidang perbibitan sapi potong yang dilakukan melalui penerapan IB.
9
TINJAUAN PUSTAKA Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Teknologi IB diperkenalkan di Indonesia pada tahun limapuluhan. Kemudian mulai dilakukan uji-coba dan disosialisasikan ke daerah-daerah pada tahun 1969. Namun
kebijakan penerapan IB oleh Pemerintah c.q Direktorat
Jenderal Peternakan baru dimulai tahun 1976 bersamaan dengan diresmikannya Sentra Inseminasi Buatan Lembang. Sebagai suatu inovasi teknologi di bidang reproduksi ternak, IB tidak langsung diterima oleh peternak. Inovasi menurut Rogers (2003:11) adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek yang dianggap baru oleh suatu
individu atau beberapa individu.
Inseminasi Buatan sebagai salah satu teknologi reproduksi, masuk pada kategori “technological innovation.” Menurut Rogers (2003:12-15, 35) setiap teknologi terdiri dua komponen, yaitu (1) suatu perangkat keras (hardware) yang terdiri dari peralatan dan (2) suatu perangkat lunak (software) yang merupakan informasi ataupun pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya. Dalam konteks IB, yang termasuk perangkat keras seperti frozen semen, container, insemination gun dan lain-lain, yang berwujud benda atau fisik. Sedangkan yang termasuk perangkat lunak adalah selain pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya, juga pengetahuan peternak tentang apa yang harus dilakukan untuk memperoleh pelayanan IB serta pasca pelayanan IB. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan inovasi mulai dari ”pengenalan” sampai dengan mengambil ”keputusan” apakah menerima inovasi tersebut ataupun menolaknya. Begitu juga setelah mengambil keputusan, diperlukan waktu untuk ”konfirmasi” apakah akan diteruskan menerima ataupun berhenti. Bagi yang menolak, mungkin akan terus menolak ataupun pada akhirnya menerima setelah melihat banyak bukti yang berhasil (Rogers & Shoemaker 1995:102). Proses individu mengambil suatu keputusan inovasi, dapat dilihat pada Gambar 1.
10
(PROSES)
(LATAR BELAKANG)
PEUBAH PENERIMA 1. 2. 3. 4.
(KONSEKUENSI)
SUMBER KOMUNIKASI
TERUSKAN ADOPSI
Sifat-sifat pribadi Sifat-sifat sosial Kebutuhan akan inovasi Dan lain-lain
HENTIKAN a. Ganti b. Kecewa
INFORMASI PENGENALAN
PERSUASI
SISTEM SOSIAL 1. Norma-norma sistem 2. Toleransi terhadap perubahan 3. Kesatuan komunikasi 4. Dan lain-lain
SIFAT INOVASI 1. 2. 3. 4. 5.
KEPUTUSAN
KONFIRMASI
MENOLAK
Keuntungan relatif Kompatibilitas Kompleksitas Trialabilitas observabilitas
ADOPSI LAMBAT TERUS MENOLAK
WAKTU
Gambar 1. Model proses keputusan inovasi (Rogers & Shomaker 1995: 102). Dalam Gambar 1 tersebut jelas terlihat setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat maupun kecepatan proses adopsi inovasi, yaitu latar belakang peternak, baik yang berkaitan dengan individu (karakteristik internal) maupun
sistem sosial (karakteristik eksternal), proses
komunikasi dan sifat dari inovasinya serta dimensi waktu. Proses Adopsi Inovasi Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi (gagasan, tindakan dan/atau obyek) sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu (Rogers 2003:21). Menurut Lionberger dan Gwin (1982:60-62), sebelum sampai pada adopsi, proses yang dilalui oleh individu adalah kepedulian, ketertarikan, penilaian, mencoba dan menerima (awareness, interest, evaluation, trial dan adoption). Tahapan proses adopsi oleh individu dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
11
AWARENESS
INTEREST
EVALUATION
TRIAL
ADOPTION
Gambar 2. Tahapan proses adopsi oleh individu (Lionberger & Gwin 1982:61) Pada tahap awareness, seseorang menjadi peduli terhadap gagasan, produk, ataupun cara baru ketika melihatnya untuk pertama kali. Orang tersebut hanya memiliki sedikit pengetahuan ataupun informasi tentang hal baru tersebut. Pada tahap interest, muncul ketertarikan terhadap hal yang baru tersebut. Pada tahap ini, informasi yang bersifat umum tidak cukup, tetapi dia mulai ingin mengetahui apa yang sesungguhnya tentang hal tersebut, bagaimana hal itu akan bekerja dan sebagainya. Orang tersebut membutuhkan informasi lebih lanjut dan secara aktif mencari informasi tambahan yang lebih rinci. Pada tahap evaluation, sebagai calon adopter yang sudah mengumpulkan informasi, maka orang tersebut mulai menimbang-nimbang antara pro dan kontra dari gagasan baru tersebut, dan ini terkait pada keadaan mental dari orang yang bersangkutan, dikarenakan dia harus memutuskan dua hal, yaitu (1) apakah ini sesuatu yang baik dan (2) apakah ini baik untuk saya. Pada tahap
trial,
seseorang mulai mencoba gagasan ataupun cara baru tersebut. Hasil penelitian membuktikan bahwa pola yang umum yang dilakukan pada tahap ini adalah seseorang pada awalnya mencoba sedikit demi sedikit, dan jika semuanya berjalan dengan baik,
maka dia akan mencoba lebih banyak. Akhirnya, jika
percobaan permulaan berhasil, yang biasanya dilakukan oleh seseorang pada usahanya sendiri dan sering setelah mengamati atau berkonsultasi dengan yang lain, maka dia akan mengadopsi inovasi tersebut untuk digunakan seterusnya. Atau, bisa juga dia sama sekali tidak menggunakan inovasi tersebut. Pada tahap adoption, seseorang memutuskan bahwa suatu inovasi cukup baik untuk digunakan dalam skala penuh, dan akan dipertahankan sampai ada inovasi lagi (Lionberger & Gwin 1982:61-62). Namun, tidak ada kesepakatan di antara para peneliti bahwa keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan hasil dari sekuens pengaruh yang bekerja saat itu atau sebagai sesuatu yang terjadi secara instan. Lebih jauh dikatakan, ada variasi dalam proses adopsi, yaitu tidak semua orang mengalami semua
tahapan
secara
persis
(Lionberger & Gwin 1982:62).
urutannya
dalam
mengambil
keputusan
12
Proses adopsi adalah bersifat individual, dan hal ini akan menyebar ke anggota masyarakat yang lain dalam proses yang dikenal sebagai difusi inovasi. Proses Difusi Inovasi Difusi adalah suatu proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan sepanjang waktu melalui saluran tertentu kepada anggota dari suatu sistem sosial. Unsur utama dari difusi ini adalah (1) suatu inovasi, (2) menggunakan saluran komunikasi tertentu , (3) dalam suatu jangka waktu dan (4) di antara para anggota sistem sosial (Rogers 2003:10-37; Nasution 2002:124). Inovasi. Dari unsur inovasi, beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah (1) inovasi teknologi, informasi dan ketidakpastian, (2) klaster teknologi dan (3) karakteristik inovasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan inovasi
adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek
yang dianggap baru oleh suatu
individu atau beberapa individu. Anggapan
”kebaruan” suatu ”gagasan, tindakan atau obyek” akan menentukan bagaimana orang bereaksi. Sebagai suatu ”technological innovation,” inovasi menciptakan semacam ketidakpastian dalam pikiran seorang adopter potensial (Rogers 2003:13). Oleh karena itu dibutuhkan banyak informasi untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Suatu klaster teknologi terdiri dari satu atau lebih unsur teknologi yang dapat dibedakan dan dianggap mempunyai kemiripan dengan inovasi lain. Klaster teknologi adalah batas-batas sekitar suatu inovasi teknologi. Hal ini penting karena menyangkut suatu konsep dan metodologi dari inovasi teknologi tersebut. Karakteristik inovasi, sebagaimana mereka persepsikan, akan menjelaskan perbedaan kecepatan proses adopsi. Beberapa hal yang terkait dengan ini adalah (1) kelebihan/keutamaan relatif (relative advantages), (2) kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), (4) dapat dicoba (trialability) dan (5) dapat dilihat (observability). Penjelasan berikut adalah dari Nasution (2002:125): 1. Keuntungan relatif (relative advantages), yaitu apakah inovasi tersebut memberikan sesuatu keuntungan relatif bagi mereka yang menerima inovasi tersebut. 2. Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak diadopsi sesuai dengan nilai-nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lama, kebutuhan, selera, adat-istiadat dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan; 3. Kerumitan (complexity), yaitu apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal-hal yang rumit,
13
sebab selain sukar dipahami, juga cenderung dirasakan sebagai tambahan beban baru. 4. Dapat dicobakan (trialability), yaitu suatu inovasi akan lebih cepat diterima, bila dapat dicobakan terlebih dahulu dalam ukuran kecil sebelum orang terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Ini adalah hal yang wajar, karena seseorang akan selalu berupaya menghindari resiko yang besar terhadap hal baru. 5. Dapat
dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan
mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka orang akan lebih mudah untuk mempertimbangkan untuk menerimanya, ketimbang bila inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat dibayangkan. Saluran komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses, di mana anggota masyarakat menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lainnya, dalam rangka mencapai pemahaman yang saling menguntungkan. Difusi adalah suatu jenis komunikasi khusus di mana isi pesan yang saling dipertukarkan adalah berkaitan dengan gagasan baru. Prosesnya melibatkan (1) suatu inovasi, (2) individu atau satuan lain adopsi yang mempunyai pengetahuan tentang inovasi atau berpengalaman menerapkan inovasi tersebut, (3) individu lain atau satuan lain yang belum berpengalaman menerapkan inovasi tersebut dan (4) saluran komunikasi yang menghubungkan kedua satuan tersebut. Jadi, saluran komunikasi adalah suatu tindakan dimana pesan diperoleh dari satu individu ke individu yang lain. Dimensi waktu. Waktu adalah unsur ketiga utama dari suatu proses difusi. Dimensi waktu tidak bisa diabaikan, hal ini terkait (1) dalam innovation process, individu melewati dari pengetahuan awal tentang inovasi sampai kepada menerima atau menolak inovasi, (2) bisa diperbandingkan antara yang relatif cepat atau lambat dalam mengadopsi suatu inovasi dan (3) kecepatan mengadopsi suatu inovasi dalam suatu sistem, biasanya diukur dari jumlah anggota yang mengadopsi inovasi tersebut dalam periode waktu tertentu. Anggota sistem sosial. Penyebar-serapan (difusi) inovasi terjadi secara terus-menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu waktu ke kurun waktu yang berikutnya, dan dari bidang tertentu ke bidang lainnya melalui anggota sistem sosial. Difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Bahkan kedua hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain (Nasution
14
2002:123). Rogers (2003:24) menyatakan bahwa difusi terjadi di dalam suatu sistem sosial. Struktur sosial dari sistem akan mempengaruhi difusi inovasi dengan beberapa cara. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi adalah proses komunikasi dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Oleas et al. (2010:43) menambahkan peran dari opinion leaders. Proses Komunikasi Seperti dinyatakan oleh Rogers (2003:17), bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana peserta (participants) menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lain dalam rangka untuk memperoleh pemahaman bersama. Dalam proses pengambilan keputusan inovasi, terlihat bahwa informasi dari ”sumber komunikasi” sangat diperlukan sejak proses ”pengenalan,” ”persuasi” dan pengambilan ”keputusan.” Begitu juga ketika proses konfirmasi berlangsung. Ross (1979:12) mendefinisikan komunikasi dengan banyak pendekatan, yaitu (1) suatu proses saling berhubungan, mengendalikan satu dengan yang lainnya dan saling memahami, (2) interaksi sosial yang menggunakan lambang dan pesan, (3) pengetahuan tentang perilaku mengirimkan pesan kepada penerima dengan maksud menyadarkan dan merubah perilaku penerima, (4) kemampuan berbahasa dengan banyak lambang dan berhubungan dengan perilaku dalam suatu sistem sosial, (5) fungsi sosial tentang perilaku, (6) komunikasi terjadi kapan saja dimana seseorang menunjukkan pesan yang berhubungan dengan perilaku dan (7) komunikasi manusia melibatkan segala sesuatu yang mengandung arti. Ditambahkan kemudian, bahwa semua komunikasi terdiri hanya 35% verbal dan sisanya 65% adalah bahasa nonverbal. Dalam konteks nonverbal ini, peranan budaya sangat besar. Bahkan tiap-tiap komunitas mungkin mempunyai sistem komunikasi nonverbal sendiri. Di sini pentingnya untuk mengamati secara langsung proses komunikasi suatu komunitas. Saluran komunikasi (communication channel) adalah cara (the means) dimana pesan-pesan diperoleh dari seseorang ke orang lainnya. Beberapa contoh saluran komunikasi adalah media massa, seperti radio, televisi, suratkabar dan lain-lain, yang memungkinkan satu sumber atau sedikit sumber dapat mencapai banyak pendengar (Rogers 2003:18). Di lain pihak, saluran antar pribadi (interpersonal channels), adalah lebih efektif dalam mempengaruhi seseorang untuk menerima suatu gagasan baru, khususnya jika saluran antar pribadi menghubungkan dua atau lebih individu yang memiliki status sosial-
15
ekonomi, pendidikan dan pandangan yang sama.
Saluran-antar-pribadi
melibatkan pertukaran melalui ”pertemuan langsung” antara dua individu atau lebih. Dalam penyuluhan pertanian di Indonesia, hampir semua
saluran
komunikasi tersebut di atas pernah digunakan. Sistem Sosial dan Perubahan Sosial Ada dua pendekatan dalam melihat suatu kelompok di masyarakat, yaitu (1) dari sudut psikologi sosial yang sering disebut dengan istilah ”dinamika kelompok” dan (2) dari sudut ilmu sosiologi, yang sering disebut sebagai pendekatan ”sistem sosial.” Menurut Rogers (2003:23), sistem sosial adalah ”a set of interrelated units that are engaged in joint problem-solving to accomplish a common goal” (suatu susunan satuan yang saling terkait, bergabung dalam pemecahan masalah untuk mencapai tujuan bersama). Anggota atau satuan dari suatu sistem sosial bisa bersifat individu-individu, kelompok informal, organisasi dan/atau subsistem sosial. Menurut Loomis (1960:5) unsur-unsur pokok sistem sosial adalah (1) tujuan (goal), (2) keyakinan (belief/knowledge), (3) sentimen/perasaan (sentiment/ feeling), (4) norma (norm), (5) sanksi (sanctions), (6) peranan/kedudukan (status/roles), (7) kewenangan/kedudukan (power/authority), (8) jenjang sosial (social rank), (9) fasilitas (facility) dan (10) tekanan dan ketegangan (stress and strain). Lebih jauh dikatakan, bahwa secara teoritis, kelompok sebagai suatu sistem sosial harus mempunyai kesepuluh unsur ini. Jika ada yang kurang atau tidak ada, maka itu merupakan kelemahan kelompok tersebut, karena masingmasing unsur tersebut adalah sebagai peubah yang mempunyai pengaruh pada interaksi anggota dalam kelompok, juga akan berpengaruh pada perilaku individu dan perilaku kelompok. Dengan pendekatan proses, maka masing-masing unsur menjelaskan proses (1) pencapaian sasaran dan menyertai aktivitas yang bersifat laten, yang mengartikulasikan unsur tujuan (end, goal atau objective) dan mempunyai fungsi pencapaian (achieving), (2) pemetaan cognitive dan validasi sebagai artikulasi unsur keyakinan (belief/knowledge) yang mempunyai fungsi mengetahui (knowing),
(3)
manajemen
tegang
dan
komunikasi
sentimen,
yang
mengartikulasikan unsur sentimen/perasaan (sentiment) yang mempunyai fungsi perasaan (feeling), (4) evaluasi, yang mengartikulasikan unsur norma (norm), yang mempunyai fungsi penormaan, penstandaran dan pemolaan (norming, standardizing, patterning), (5) penerapan sanksi, yang mengartikulasikan unsur
16
sanksi (sanctions) yang mempunyai fungsi memberi sanksi (sanctioing), (6) performans status-peran, yang mengartikulasikan unsur peranan/kedudukan (status/roles), yang mempunyai fungsi pembagian fungsi (dividing of functions), (7) pembuat keputusan dan inisiasi tindakan, yang mengartikulasikan unsur kewenangan/kedudukan (power/authority), yang mempunyai fungsi pengendalian (controlling), (8) evaluasi pelaku dan alokasi status-peran, yang mengartikulasikan unsur jenjang sosial (social rank), yang mempunyai fungsi penetapan tingkatan (ranking) dan (9) pemanfaatan fasilitas, yang mengartikulasikan unsur fasilitas (facility), yang mempunyai fungsi fasilitasi (facilitating); Rogers (2003:30-31), menyatakan bahwa setiap inovasi akan mempunyai konsekuensi. Konsekuensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi terhadap individu ataupun sistem sosial sebagai hasil dari penerimaan (adopsi) ataupun penolakan (rejeksi) suatu inovasi. Menurutnya, setidaknya ada tiga klasifikasi konsekusensi inovasi, yaitu (1) antara konsekuensi diinginkan dan tidak diinginkan. Ini tergantung apakah suatu inovasi di dalam suatu sistem sosial, berfungsi atau tidak, (2) antara konsekuensi langsung dan tidak langsung. Hal ini tergantung apakah perubahan individu ataupun sistem sosial terjadi segera setelah diresponsnya suatu inovasi (direct consequence), atau merupakan hasil tidak langsung (second-order) dari konsekuensi langsung suatu inovasi dan (3) antara konsekuensi dapat diantisipasi dan tidak dapat diantisipasi. Hal ini tergantung apakah perubahan ini dikenali dan yang dimaksud oleh anggota dari sistem sosial atau tidak. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:140-141), sebagian besar studi difusi inovasi menekankan pada perubahan teknis yang kecil dan khusus. Sedikit saja perhatian diberikan terhadap perubahan yang besar dalam struktur sosial atau cara hidup masyarakat. Dengan demikian perhatian lebih banyak ditujukan pada inovasi bagian pinggir (periferal) daripada yang di pusat dari suatu sistem sosial. Lebih jauh, dinyatakan, bahwa perubahan individu dan kelompok merupakan
pusat
perhatian
pada
penelitian
difusi
inovasi.
Perubahan
kelembagaan dan masyarakat jarang diteliti, padahal perubahan sosial yang demikian sangat penting, khususnya di kalangan masyarakat pedesaan. Perubahan sosial secara konseptual adalah sebagai suatu proses, terencana ataupun tidak direncanakan secara kualitatif ataupun kuantitatif perubahan di dalam fenomena sosial, yang dapat digambarkan dalam suatu susunan kontinum enam bagian dari keterkaitan antar komponen-komponen
17
identitas, level, durasi, arah, magnitut dan tingkat kecepatan perubahan (Vago 1989:24). Menurut Rogers (2003:6) difusi adalah sejenis dengan perubahan sosial, yang didefinisikan sebagai proses perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial. Menurut
Vago
(1989:10-14)
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
perubahan sosial, yaitu (1) Penduduk. Perubahan dalam ukuran (jumlah), komposisi, distribusi penduduk akan mempengaruhi perubahan sosial, (2) Konflik. Banyak perubahan sosial dihasilkan oleh
terjadinya konflik antar
kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat muncul antar kelas sosial, penduduk dari daerah yang berbeda, dan rasial serta kelompok-kelompok etnis, (3) Determinasi ekonomi. Kepemilikan modal, akan menentukan organisasi dari masyarakat bukan pemilik modal. Struktur kelas dan susunan kelembagaan, juga nilai-nilai budaya, keyakinan, agama, dogma dan gagasan sistem yang lain, adalah benar-benar merefleksikan dasar ekonomi masyarakat, (4) Inovasi. Inovasi merujuk kepada suatu cara baru dalam melakukan sesuatu, (5) Difusi. Diffusi adalah proses di mana suatu inovasi dan sifat-sifat budaya lain menyebar dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya dan (6) The Legal System. Melalui proses berkelanjutan, regulasi, deregulasi dan penegakan hukum secara selektif, legal system adalah suatu instrumen dalam perubahan sosial. Berkenaan dengan inovasi, Vago (1989:12-13) menyatakan bahwa ada tiga tipe dasar inovasi yang sering menyebabkan perubahan sosial, yaitu (1) teknologi baru, (2) budaya baru dan (3) bentuk baru dari struktur sosial. Dalam konteks ini, IB merupakan inovasi teknologi. Pengaruh teknologi ini mempunyai akibat yang besar terhadap kehidupan individu-individu dalam masyarakat, terhadap nilai-nilai sosial, terhadap struktur dan fungsi dari kelembagaan sosial, dan terhadap organisasi politik dalam masyarakat (Vago, 1989:87). Latar belakang peternak, sistem sosial, proses komunikasi dan sifat suatu inovasi di atas akan menentukan tingkat penerapan maupun kecepatan adopsi suatu inovasi. Tingkat Penerapan dan Kecepatan Adopsi Inovasi Keputusan seseorang untuk menerima ataupun menolak suatu inovasi dan berapa lama waktu yang dibutuhkan, menurut Lionberger dan Gwin (1982:5) dipengaruhi oleh (1) sebagian dari faktor
individu, (2) sebagian dari situasi
dimana dia berada dan (3) sifat dari inovasi tersebut. Faktor individu yang mempengaruhi adalah merupakan kombinasi dari sifat-sifat yang diturunkan
18
(inherited characteristics) dan pengalaman belajar (learned experiences) (Lionberger & Gwin 1982:8). Beberapa faktor individu (personality variables) yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi (perubahan), menurut Rogers (2003:272-274), mencakup (1) rasa empati, (2) sikap
dogmatis, (3) kemampuan melakukan abstraksi, (4)
rasionalitas, (5) kecerdasan, (6) sikap terhadap perubahan, (7) sikap terhadap ketidakpastian, (8) sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, (9) fatalisme dan (10) aspirasi. Faktor situasi di mana individu tersebut
berada,
menurut Lionberger dan Gwin (1982:10-13) terdiri dari (1) family, (2) friendship groups, (3) locality groups, (4) religious groups, (5) reference groups dan (6) special interest groups. Hasil penelitian Ginting (1984: 84) tentang respons peternak sapi perah terhadap IB di Kecamatan Pujon Malang menyimpulkan bahwa persepsi peternak - yang mencerminkan tingkat adopsi inovasi IB- adalah 35,33% sangat setuju dan 43,33% setuju. Sedangkan hasil penelitian Amrawati dan Nurlaelah (2008:92) yang menganalisis tingkat adopsi IB oleh peternak sapi Bali
di
Kecamatan
Bontonompo,
Kabupaten
Gowa,
Sulawesi
Selatan
menyimpulkan tingkatan adopter sebagai berikut: inovator 10%, early adopter 20%, early majority 30%; late majority 23,33% dan laggard 16,67%. Khusus untuk waktu yang dibutuhkan dimana suatu inovasi diadopsi oleh sebagian anggota dari suatu sistem sosial, Rogers (2003:206-207) menyebutnya sebagai rate of adoption. Tingkat kecepatan adopsi inovasi ini dipengaruhi oleh (1) sifat-sifat yang melekat pada inovasi (relative advantage, compatibility, complexity, trialability dan observability), (2) jenis keputusan inovasi (optional, collective atau authority), (3) saluran komunikasi (misal: media massa, interpersonal), (4) sistem sosial dan (5) intensitas upaya promosi oleh agen perubahan (penyuluh). Sebagai contoh, Lionberger dan Gwin (1982:63) menyatakan bahwa dibutuhkan waktu lima tahun bagi petani di Iowa untuk mau menggunakan (mengadopsi) benih jagung hibrida, dan dibutuhkan waktu sekitar 12-14 tahun untuk semua petani menggunakan benih jagung hibrida tersebut. Adapun hasil penelitian Ali-Olubandwa et al. (2010:26) tentang perbaikan teknologi produksi jagung pada petani skala kecil di Kenya, menunjukkan bahwa terendah 17,2% (Busia District) dan tertinggi 56,7% (Lugari District) responden yang mengadopsi paket teknologi tersebut secara penuh (100%). Menurut Nasution (2002:125), perbedaan kecepatan proses adopsi, antara lain dapat dijelaskan dengan persepsi mereka terhadap karakteristik inovasi.
19
Persepsi Persepsi adalah pemberian makna pada stimuli inderawi. Persepsi juga mempengaruhi keberhasilan suatu komunikasi, sebab dalam prosesnya persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) pesan yang diterima dan makna yang diberikan (DeVito 2000: 75). Menurut Tubb dan Moss (2005:34), sebagai komunikator, kita bergantung
pada persepsi dalam hampir semua aspek
kehidupan sehari-hari. Hal ini berati, bahwa dalam proses mengadopsi inovasi IB, peternak juga dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang IB dan hal-hal lain terkait dengan IB. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:83-85), persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Dijelaskan, bahwa ada beberapa prinsip umum persepsi, yaitu (1) Relativitas, setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya. (2) Selektivitas, persepsi sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang. (3) Organisasi. Setiap persepsi terorganisir. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar. Dalam sekejap panca indera melakukan seleksi dan sosok yang menarik akan menciptakan pesan. (4) Arah. Melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins (1999:90) menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Dalam penelitian Ginting (1984:51) menyatakan, bahwa persepsi terhadap IB adalah pemberian arti/makna yang diberikan berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak terhadap IB dalam pernyataan setuju atau tidak setuju. Dalam hal ini, terdapat 62% jawaban peternak yang
20
menyatakan setuju tentang IB, ini berarti peternak memberikan makna yang positif terhadap gagasan tersebut.
Penelitian Terkait Adopsi Inovasi dan Implementasi IB Untuk meningkatkan kesahihan (validitas) instrumen yang akan digunakan sebagai alat pengumpul data sesuai dengan yang diharapkan, maka selain menyandarkan kepada kajian-kajian pustaka yang berkaitan dengan konsep teoritis mengenai karakteristik internal dan eksternal
peternak, persepsi dan
proses adopsi inovasi terkait dengan penerapan IB, juga pada hasil penelitian yang relevan, yang pernah dilakukan peneliti sebelumnya sebagai pembanding. Partisipasi petani peternak dalam penerapan IB pada ternak sapi di Kabupaten Lombok Barat, NTB, Yasin (1994: 80-81), menyimpulkan: (1) secara rata-rata tingkat partisipasi petani peternak termasuk dalam kategori sedang. (2) pendidikan petani peternak berhubungan positif dan nyata dengan semua aspek partisipasi; dan (3) tingkat partisipasi petani peternak yang berdomisili di daerah dominan lahan persawahan, secara absolut lebih tinggi dibandingkan petani peternak yang berdomisili di daerah dominan lahan kering. Karakteristik yang dominan peternak adalah (a) 48% telah berumur di atas 45 tahun; (b) 50% tidak tamat SD; (c) 44% mempunyai tanggungan keluarga antara 4-5 orang; (d) 55% pengusahaan ternak sapi antara 1-2 ekor; (e) 50% mengusahakan lahan garapan antara 0,25-0,50 hektar; (f) 54% berpenghasilan kurang dari Rp. 500.000,-/tahun; (g) 68% berpengalaman sebagai peserta IB kurang dari tiga tahun; (h) 56% mempunyai pengetahuan tentang IB tergolong rendah. Sedangkan Ginting (1984: 84) dalam penelitiannya tentang respons petani peternak sapi perah terhadap IB di Kecamatan Pujon Malang menyimpulkan bahwa persepsi peternak sapi perah terhadap IB adalah (1) 35,33% sangat setuju,
(2) 43,33% setuju, (3) 14% ragu-ragu dan
(4) 7,34% tidak setuju
(menolak). Sedangkan hasil penelitian Amrawati dan Nurlaelah (2008:92) yang menganalisis tingkat adopsi IB oleh peternak sapi Bali di Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan menyimpulkan tingkatan adopter sebagai berikut: Innovator 10%, early adopter 20%, early majority 30%; late majority 23,33% dan laggard 16,67%.
Tingkat adopsi
inovasi IB oleh
peternak sapi Bali di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa ini dinilai Amrawati dan Nurlaelah cukup tinggi.
21
Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi. Penelitian Akhsan tentang proses adopsi dan difusi pemberian makanan tambahan bayi, menyimpulkan tingkat adopsi ditentukan oleh
aspek: (1)
pendidikan, (2) pendapatan rumah tangga, (3) pengetahuan tentang gizi dan (4) keterampilan pangan ibu-ibu (Akhsan 1998: 214). Penelitian Nelly tentang hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan perilaku petani mengadopsi rumput unggul di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat yang bertujuan untuk: (1) mengetahui distribusi petani berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, (2) menentukan distribusi petani berdasarkan perilaku menanam rumput dan mengadopsi domba, dan (3) mengukur derajat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan perilaku menanam rumput dan mengadopsi domba, menyimpulkan bahwa karakteristik sosial ekonomi petani adalah: (1) laki-laki, (2) berumur tua, (3) tidak tamat sekolah dasar, (4) bekerja sebagai buruh tani, (5) jumlah keluarga kecil, (6) memiliki radio, (7) tidak pernah kontak dengan penyuluh dan (8) mendapat informasi pertama dari ketua kelompok (Nelly 1988: 79). Hasil penelitian Lestari tentang hubungan status sosial ekonomi petani dengan tingkat adopsi inovasi sapta usaha pertanian, menunjukkan status sosial ekonomi petani adalah: (1) tingkat adopsi 80% tinggi, (2) 91% mempunyai luas lahan 0,1-0,9 ha, (3) 93% mempunyai pendapatan kurang dari Rp. 1 juta, (4) 57% petani mempunyai tanggungan keluarga 3-5 orang, (5) 50% berumur 46-60 tahun, (6) lulus SD 38% dan tidak lulus SD 25% dan (7) pengalaman berusahatani: 38% antara 1-20 thn; 39% antara 21-40 thn (Lestari, 1994: 97-98). Sedangkan penelitian Hanafi tentang keefektivan jaringan komunikasi dalam adopsi inovasi teknologi pengembangan agribisnis: Kasus ternak kambing PE di Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, menyimpulkan bahwa tingkat adopsi dipengaruhi oleh (1) tingkat pendidikan peternak dan (2) keterdedahan terhadap media massa untuk kelompok yang relatif maju. Karakteristik peternak di kelompok yang relatif maju, yang berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi inovasi teknologi, yaitu (1) tingkat pendidikan peternak, (2) status kepemilikan ternak, (3) keterdedahan terhadap media massa dan (4) komitmen peternak (Hanafi 2002: 134-135). Penelitian Kaliky tentang intensitas komunikasi dan persepsi peternak terhadap keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering
di
Kecamatan
Cangkringan
Kabupaten
Sleman
DI
Yogyakarta,
22
menyimpulkan bahwa karakteristik peternak mencakup aspek: (1) berumur muda, (2) pendapatan dari sapi perah relatif rendah, (3) berpengalaman (lebih besar dari 5 tahun) dan (4) tingkat kekosmopolitan rendah (Kaliky 2002: 88-89). Penelitian Buana tentang adopsi teknologi budidaya padi sawah bagi petani penduduk asli di sekitar pemukiman transmigrasi: kasus di Kecamatan Lambuya, Kabupaten Kendari, menyimpulkan bahwa (1) karakteristik internal petani, mencakup aspek: (a) tingkat pendidikan formal, (b) jumlah tanggungan keluarga, (c) luas lahan garapan dan (d) pendapatan. Karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (a) keadaan sarana prasarana, (b) keanggotaan dalam kelompok tani dan (c) frekuensi penyuluhan (Buana 1997: 84). Penelitian Sadono tentang tingkat adopsi inovasi pengendalian hama terpadu oleh petani: kasus di Kabupaten Karawang Jawa Barat, yang bertujuan untuk mengetahui: (1) tingkat persepsi petani terhadap pengendalian hama terpadu (PHT); (2) tingkat penerapan PHT dan (3) faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan PHT, menyimpulkan bahwa karakteristik internal petani mencakup aspek: (a) tingkat pendidikan formal dan (b) persepsi terhadap PHT. Sedangkan karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (a) keanggotaan dalam kelompok dan (b) sebagai pemandu (Sadono 1999: 85-86). Novarianto, yang meneliti tentang adopsi inovasi teknologi Tabela bagi petani padi sawah: Kasus petani padi sawah di Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo Sulawesi Utara, yang salah satu tujuannya untuk
mengetahui
karakteristik internal dan eksternal petani, menyimpulkan karakteristik internal petani mencakup aspek: (1) umur di atas 45 tahun, (2) lama pendidikan 0-6 tahun, (3) pengalaman berusahatani di atas 11 tahun, (4) jumlah tanggungan 3-5 orang dan (5) penghasilan di bawah 5 juta rupiah. Sedangkan karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (1) ketersediaan informasi, (2) intensitas penyuluhan dan (3) ketersediaan saprodi (Novarianto 1999: 92-93). Sedangkan Simanjuntak meneliti beberapa faktor yang berhubungan dengan adopsi agribisnis ikan air tawar: Kasus Desa Pulau Gadang, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar Riau, menyimpulkan bahwa faktor internal petani mencakup aspek: (1) pendapatan petani dan (2) motivasi meningkatkan usahatani, mempunyai hubungan yang nyata dengan tingkat adopsi. Sedangkan umur petani, pendidikan formal dan pengalaman bertani, memiliki hubungan yang tidak nyata. Faktor eksternal petani, yang mencakup aspek: (1) luas kolam dan (2) informasi dari radio/TV, mempunyai hubungan yang nyata dengan tingkat
23
adopsi. Sedangkan sumber informasi dari sesama teman, brosur/liptan dan penyuluh, memiliki hubungan yang tidak nyata (Simanjuntak 2000: 56). Purnaningsih dalam penelitiannya tentang adopsi inovasi pola kemitraan agribisnis sayuran di Provinsi Jawa Barat, menyimpulkan bahwa (1) pihak yang berperan dalam adopsi inovasi pola kemitraan adalah: (a) petugas pendamping, (b) koperasi, (c) pedagang pengumpul, (d)
teman sesama petani dan (e)
keluarga petani. (2) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan bermitra adalah: (a) tingkat kebutuhan bermitra, (b) kepastian pasar, (c) pengalaman berusahatani dan (d) pinjaman modal (Purnaningsih 2006: 189-190). Berdasarkan studi pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang proses adopsi suatu inovasi, dapat disimpulkan beberapa faktor peubah dan dimensinya, yaitu (1) faktor internal petani, (2) faktor eksternal petani, (3) sifat dari inovasi (4) persepsi terhadap suatu obyek inovasi dan (5) faktor lain yang terkait dengan pola ataupun skala usaha dan obyek inovasi, seperti kebijakan pemerintah. Faktor internal petani dan usahanya antara lain adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman, tingkat kekosmopolitan, keanggotaan dalam kelompok, jumlah pemilikan lahan atau ternak, motivasi meningkatkan skala usaha, pendapatan keluarga/rumah tangga, jumlah tanggungan keluarga, tingkat kebutuhan terhadap IB dan tujuan pemeliharaan (Ginting 1984; Nelly 1988; Yasin 1994; Lestari 1994; Buana 1997; Akhsan 1998; Sadono 1999; Novarianto 1999; Simanjuntak 2000; Kaliky 2002; Hanafi 2002). Faktor eksternal petani antara lain adalah norma sistem sosial, ketersediaan informasi, keadaan sarana prasarana, intensitas penyuluhan, kepastian pasar, kelembagaan, sumber-sumber informasi dan jaringan komunikasi (Ginting 1984; Buana 1997; Sadono 1999; Novarianto 1999; Simanjuntak 2000; Hanafi 2002; Rangkuti 2007). Sifat inovasi terdiri dari keuntungan relatif, keserasian, kerumitan, dapat dicobakan dan dapat dilihat (Simanjuntak 2000 dan Rangkuti 2007). Persepsi peternak tentang IB pada sapi perah ditunjukkan dengan kategori sangat setuju, setuju, ragu-ragu dan tidak setuju (Ginting 1984). Sedangkan aspek kebijakan, secara implisit
terdapat
dalam penelitian Ginting (1984), Lestari (1994), Yasin (1994), Sadono (1999), Katharina (2007), Rangkuti (2007). Untuk mengetahui sejauh mana relevansi hasil penelitian terkait di atas dengan penelitian yang dilakukan ini, khususnya aspek internal dan eksternal peternak sapi portong serta usahanya sebagai variabel anteseden, maka perlu dieksplorasi karakteristik peternakan sapi potong di Indonesia.
24
Karakteristik Peternakan Sapi Potong Untuk mengetahui karakteristik peternakan sapi potong (biasanya termasuk kerbau) di Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu teknis, sosial ekonomi dan tipologi usaha. Dari aspek teknis, tujuan budidaya dapat dibedakan menjadi (1) produksi susu (sapi perah); (2) pembibitan; (3) penggemukan/kereman; dan (4) campuran dari dua atau tiga tujuan tersebut. Populasi ternak sapi potong tahun 2008 berjumlah 12,26 juta ekor. Sebagian besar berada di pulau Jawa, yaitu 44,44%. Data statistik rumah tangga (RT) peternakan berjumlah 5,63 juta (22,51% dari RT Pertanian). Sebanyak 81,0% (4,6 juta) dari RT peternakan adalah peternak sapi potong, dan sekitar 53,3% dari peternak sapi potong, berada di pulau Jawa (Ditjennak 2009b:76 dan 178). Jenis sapi yang paling banyak dibudidayakan secara berturut-turut adalah sapi Bali, PO/Putih, Limousin, Simental, Brahman, Madura dan sapi lokal lainnya (Ditjennak 2010:13). Dari aspek sosial ekonomi, dibedakan menjadi dua, yaitu (1) berorientasi subsisten dan (2) berorientasi kepada keuntungan (Suhaji 1994:38). Aspek pertama, juga biasa disebut sebagai ”peternakan rakyat” atau ”sistem usahatani tradisional.” Lebih dari 95% merupakan peternakan rakyat yang bersifat subsisten, yang mempunyai karakteristik, yaitu (a) jumlah pemilikan relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 2,17 ekor (b) sebagai tabungan (rojo koyo) dan akan dijual atau dipotong untuk memenuhi kebutuhan tertentu seperti kebutuhan pendidikan, upacara perkawinan, upacara adat atau keagamaan dan lain-lain, (c) berfungsi sebagai ternak kerja (bajak dan transportasi) untuk mendukung usaha pertanian, (d) mencakup beberapa tujuan budidaya, (e) teknologinya sederhana, (f) pakannya berasal dari rumput ”lapangan” atau limbah hasil pertanian dan (g) menunjukkan tingkat status sosial-ekonomi tertentu. Aspek kedua, yang berorientasi keuntungan, mempunyai karakteristik (a) jumlah pemilikan secara ekonomis memenuhi skala usaha yang menguntungkan, (b) mempunyai tujuan usaha yang jelas, seperti penggemukan dan/atau pembibitan, dan (c) dikelola menurut
kaidah-kaidah
teknis
dan
ekonomis
(efisiensi),
baik
sistem
perkandangan, pemberian pakan, kesehatan dan pemasarannya (Pane 1993:vii; Suhaji 1994:38; Wiryosuhanto 1997:7; Sudardjat & Pambudy 2003:17-35). Suhaji (1994:25) membagi usaha peternakan menjadi empat tipologi usaha, yaitu (1) sebagai usaha sambilan: sapi sebagai pendukung usaha pertanian digunakan sebagai tenaga kerja untuk membajak sawah ataupun penarik
25
gerobak dan mempunyai kontribusi pendapatan petani kurang dari 30% dari usaha pertaniannya; (2) cabang usaha: budidaya sapi sebagai usaha selain usaha budidaya pertanian (campuran), kontribusi pendapatannya antara 30% sampai 70% dari usaha pertaniannya ; (3) usaha pokok: budidaya sapi sebagai usaha pokok (tunggal) dan pertanian sebagai usaha sambilan. Kontribusi pendapatan usahaternaknya diatas 70% hingga 100%; dan (4) industri, adalah budidaya sapi dalam skala besar sebagai pilihan dan murni berorientasi kepada pasar dan keuntungan. Namun demikian, menurut Pane (1993:vii) peternakan sapi di Indonesia sejak zaman dahulu telah berkembang sebagai suatu usaha sambilan. Upaya-upaya pengembangan usaha peternakan sapi potong telah dilakukan oleh Pemerintah, yaitu melalui antara lain (1) Intensifikasi sapi potong (INSAP) tahun 1996, (2) Panca usaha ternak potong (PUTP), (3) Program sentra pengembangan agribisnis komoditi unggulan (SPAKU), (4) model transmigrasi (5) Pendekatan kemitraan (pola PIR), (6) Kawasan industri peternakan (KINAK), (7) Kawasan usaha peternakan (KUNAK), (8) Gerakan pembangunan areal peternakan pedesaan (Gerbang Anak Desa) dan (9) Gerakan pengembangan sentra baru pembibitan di pedesaan (Gerbang Serba Bisa).
Juga Village
Breeding Center (VBC) dan penyebaran sapi betina eks-impor Brahman Cross kemitraan (Wiryosuhanto 1997:62; Hardjosubroto et al.,1997:247). Pengamatan penulis di lapangan, masalah-masalah sosial-ekonomi terkait usaha budidaya sapi potong antara lain adalah (a) jasa sewa sapi untuk bekerja (membajak) di sawah; (b) jasa sapi pejantan sebagai pemacek dalam proses kawin alam, (c) sistem gaduhan: paroh (Jawa: paron), kontrak sumba dan lainlain, (d) fungsi ternak sebagai tabungan, rojo-koyo dan kriteria status sosial, (e) fungsi ternak sebagai sarana atau media acara adat dan/atau keagamaan dan (f) ternak sebagai kesenangan (hobi) dan kebanggaan. Saat ini juga banyak berkembang usaha penggemukkan sapi, tetapi menghadapi kendala sulitnya mencari sapi bakalan untuk digemukkan karena sedikitnya peternak yang berkecimpung di bidang perbibitan. Sistem perkawinan ternak sapi sebelum adanya teknologi IB, adalah menggunakan sistem perkawinan secara alami, yang sering disebut sebagai ”kawin alam.” Kawin alam dapat terjadi (1) tanpa sengaja di tempat ”pangonan” sapi ataupun di padang-padang penggembalaan, (2) sengaja dibawa ke pasar hewan untuk memperoleh pejantan, (3) peternak pemilik sapi betina akan
26
memilih sapi pejantan unggul yang dimiliki oleh tetangganya atau (4) model kelompok: 10 sapi betina satu pejantan (proyek IFAD, ADB dll) . Tidak semua peternak memiliki sapi jantan dan tidak semua sapi jantan menjadi pemacek. Dalam sistem kawin alam ini, berbagai macam bentuk transaksi dan interaksi sosial terjadi antara pemilik sapi betina dan pemilik pemacek. Ada kalanya pemilik pemacek dibayar dengan uang tunai untuk sekali kawin, ada kalanya dibayar dengan hasil bumi (natura),
ada pula dalam bentuk lain, seperti
pemberian beberapa telur ayam dan gula merah sebagai ”obat kuat” bagi pemacek.
Kebijakan Perbibitan Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah apapun yang telah dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan (Dye 1976:1). Jadi gagasan tentang kebijakan publik harus termasuk semua tindakan pemerintah, bukan hanya ”maksud yang dinyatakan” (secara eksplisit) oleh pemerintah ataupun oleh aparat pemerintah. Lubis (2007:9) setelah mengutip beberapa definisi dari berbagai referensi, merumuskan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah dengan tujuan tertentu untuk kepentingan masyarakat. Lebih jauh dikatakan, bahwa jika pemerintah melakukan pelayanan dengan berorientasi kepada public interest atau public need, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah itu ialah how to serve the public, sehingga pemerintah bertindak sebagai public servant (pelayanan masyarakat) yang menyelenggarakan public service (layanan publik). Gambar 3 menunjukkan salah satu model implementasi suatu kebijakan. Menurut Wibawa et al., (1994:15) setiap kebijakan sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen dasar, yaitu (1) tujuan yang luas, (2) sasaran yang spesifik dan (3) cara mencapai sasaran tersebut. Komponen terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci. Hal
ini harus diterjemahkan dalam program-
program aksi dan proyek. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa dalam ”cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yaitu siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan, bagaimana sistem manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dari perspektif kebijakan, respons masyarakat terhadap dampak suatu kebijakan dapat bersifat skeptis, kritis dan analitis. Skeptis, tidak yakin apa yang akan dicapai oleh kebijakan
27
tersebut. Kritis, mempertanyakan dukungan dan hambatan bagi pelaksanaannya dan Analitis, memberikan sumbangan saran bagi pelaksanaan yang lebih baik. Karakteristik Masalah 1. 2. 3. 4.
Ketersediaan teknologi dan teori teknis Keragaman perilaku kelompok sasaran Sifat populasi Derajat perubahan perilaku yang diharapkan
Daya Dukung Peraturan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Variabel Non-Peraturan
Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran Teori kausal yang memadai Sumber keuangan yang mencukupi Integrasi organisasi pelaksana Diskresi pelaksana Rekruitmen pejabat pelaksana Akses-formal pelaksana ke organisasi lain
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi Perhatian pers terhadap masalah kebijakan Dukungan publik Sikap dan sumberdaya kelompok sasaran utama Dukungan kewenangan Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana
Proses Implementasi Keluaran kebijakan dari organisasi pelaksana
Kesesuaian keluaran kebijakan dengan kelompok sasaran
Dampak aktual keluaran kebijakan
Dampak yang diperkirakan Perbaikan peraturan
Gambar 3. Model implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian (Wibawa et al., 1994:26) Lebih lanjut dikatakan, respons secara individual terhadap dampak kebijakan bisa bersifat reaktif-konfrontatif, adaptif-komformistis atau di antara keduanya. Secara politis, respons tersebut bisa dikemukakan secara legal konstitusional ataupun illegal-inkonstitusional (Wibawa et al. 1994:60-62). Konsep Perbibitan Tugas Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian adalah menyusun dan melaksanakan kebijakan, membuat norma, standar, pedoman dan kriteria
di bidang perbibitan ternak.
Maksud perbibitan dalam hal ini adalah semua hal yang terkait dengan bibit/ benih ternak.
28
Pengertian perbibitan tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak, yaitu “suatu sistem
di bidang benih dan/atau bibit ternak yang paling sedikit meliputi
pemuliaan, pengadaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran, pengawasan mutu, pengembangan usaha serta kelembagaan benih dan/atau bibit ternak.’’ Dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Sistem Perbibitan Ternak Nasional (SITBITNAS) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem perbibitan adalah ”tatanan yang mengatur hubungan dan saling ketergantungan antara pengelola sumberdaya genetik, pemuliaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran benih dan atau bibit
unggul, pengawasan penyakit,
pengawasan mutu, pengembangan usaha dan kelembagaan” (Ditbit 2006:5). Sedangkan pemuliaan ternak, sebagai bagian dari sistem perbibitan, tertuang dalam undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, diartikan sebagai “rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu.” Tujuan tertentu tersebut adalah (1) pemurnian/ konservasi, (2) persilangan dan (3) penciptaan bangsa (breed) baru (Ditbit 2003:16). Menurut Hardjosubroto et al., (1997:255) arah/tujuan pembibitan ada tiga, yaitu (1) pemurnian, (2) persilangan, baik dalam rangka untuk memperoleh bangsa (breed)
baru, ataupun sebagai final stock untuk dipotong dan (3)
konservasi. Menurut Payne dan Hodges (1997:210), tujuan dari program genetik (genetic programmes) sapi adalah untuk menghasilkan generasi pengganti yang lebih sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan sosial dari suatu masyarakat, sementara itu juga mempertahankan atau memperbaiki genetiknya agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sumberdaya yang digunakan. Proses ini menuntut perubahan genome (total kromosom dalam inti sel) sapi melalui seleksi dan melipatgandakan gene yang lebih disukai, yang secara positif mengarah kepada sifat-sifat yang diharapkan. Sasaran gene bisa terdapat dalam populasi sapi, gene baru bisa diintroduksi dari populasi lain, atau gene yang tidak diharapkan dihapus atau dikurangi frekuensinya. Dalam pembibitan, diperlukan populasi dasar, yang terbagi menjadi tiga kategori ternak bibit, yaitu (1) bibit dasar (foundation stock), yang merupakan bibit hasil dari suatu proses pemuliaan dengan spesifikasi tertentu yang
29
mempunyai silsilah, untuk menghasilkan ”bibit induk.” Ini juga yang akan menjadi elite group; (2) bibit induk (breeding stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan ”bibit sebar” dan (3) bibit sebar/niaga/komersial (commercial stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu untuk digunakan dalam proses produksi. Sejauh ini, klasifikasi dan struktur bibit seperti tersebut di atas untuk ternak potong belum ada (Ditbit 2003:3; Ditbit 2006:11). Menurut Wiener (1994:87-88) struktur bibit menyerupai bentuk piramid yang mempunyai hirarki berikut: (1) ellite group (nucleus) di puncak; (2) multiplier group di tengah dan (3) commercial group di bagian dasar. Lebih lanjut dikatakan bahwa aliran genes secara dominan adalah dari atas ke arah bawah, jadi perbaikan genetik dilakukan di kelompok atas (elite group) dan kemudian disebarkan ke bawah. Secara lebih operasional, sistem perbibitan sapi potong lokal, baik skala peternakan rakyat maupun skala komersial, melalui teknik perbaikan mutu genetik dan teknik peningkatan efisiensi reproduksi, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (PUSLITBANGNAK, 2007) meliputi (1) Seleksi bibit: memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Oleh karena itu, dalam melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih, bagaimana cara mengukurnya dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut. Sifat seleksi yang dipilih harus yang bersifat menurun dan biasanya berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai, yaitu sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi; (2) Tahapan seleksi: (a) pembentukan kelompok dasar (foundation stock). Kelompok dasar merupakan kumpulan sapi potong terpilih dari hasil seleksi yang memiliki tampilan luar tertentu (misal tinggi gumba, berat badan, dan sebagainya) yang terbaik dari populasi yang ada di suatu wilayah atau di suatu kelompok pembibitan. Tujuan utama pembentukan kelompok dasar adalah mendapatkan sapi-sapi (jantan dan betina) pilihan yang nantinya mampu menghasilkan keturunan sapi-sapi bibit dan dikembangkan sebagai bibit sumber; (b) penjaringan (screening). Penjaringan adalah tindakan seleksi yang dilakukan di suatu populasi (biasanya di peternakan rakyat atau di pasar hewan), untuk langsung mendapatkan sapi yang terbaik penampilan luar dari sifat tertentu yang dikehendakinya; (c) seleksi keturunan. Seleksi keturunan adalah seleksi yang dilakukan selama beberapa generasi terhadap sapi-sapi yang dihasilkan di tahapan kelompok dasar. Sapi-sapi F1 yang terpilih dalam seleksi saling
30
dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi anakannya (F2), kemudian sesama sapi F2 yang terpilih dalam seleksi saling dikawinkan untuk mendapatkan sapisapi F3, dan seterusnya sampai mendapatkan sapi dengan kriteria performans yang dikehendaki untuk dijadikan sebagai sapi bibit sumber; (d) pembentukan kelompok inti (elite). Kelompok elit adalah tahapan akhir dari rangkaian program seleksi. Populasi di kelompok inti adalah sapi-sapi bibit sumber, yiatu sapi dengan produktivitas yang tinggi dan keragaman genetiknya kecil. Di kelompok elit, dilakukan dua kegiatan, yaitu perbanyakan bibit sumber dan menghasilkan sapi-sapi unggul untuk siap disebarkan ke kelompok dasar dan kelompok pengembang. Mekanisme seleksi dan pengaturan perkawinan yang dilakukan di tahap kelompok elit ini hampir sama dengan di tahap kelompok dasar, tetapi materi sapinya sudah berupa bibit sumber dan sekecil mungkin memasukkan sapi-sapi baru untuk digunakan sebagai tetuanya. Di tahapan kelompok elit ini sangat dibutuhkan pencatatan yang lengkap, berurutan dan jelas tentang silsilah/asal usul dan performans produktivitas dari masing-masing sapi bibit sumber, karena keturunannya akan disebarkan sebagai sapi bibit unggul untuk memperbaiki genetik sapi-sapi di peternak rakyat, atau dijadikan sebagai perbanyakan bibit sumber yang ada; dan (e) pembentukan kelompok pengembang (breeding stock). Kelompok pengembang adalah tahapan terakhir dari tahapan rangkaian program-program. Kelompok pengembang dibentuk untuk menghasilkan sapi-sapi bakalan yang akan digemukkan dan akhirnya dipotong sebagai sumber penghasil daging. Saat ini, pembibitan sapi potong untuk tujuan pemurnian adalah (1) sapi Bali: di pulau Bali, Sumbawa, Timor, Flores dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan; (2) sapi Ongole di pulau Sumba (Ditbit 2006:10); dan sapi Madura di Pulau Sapudi. Hal ini berarti bahwa untuk jenis sapi lain atau sapi Bali, Onggole dan Madura di luar daerah tersebut dapat disilangkan. Talib (2002:105) menyarankan, persilangan antara sapi Bali dengan Bos Taurus dan Bos Indicus diarahkan untuk menghasilkan final stock. Namun, menurut Pane (1993:2) sejauh ini arah kebijakan di bidang perbibitan sapi potong tidak jelas, karena tidak ada data yang lengkap hasil pemurnian maupun persilangan tersebut. Sejarah Kebijakan Perbibitan di Indonesia Merujuk pengertian
yang dikemukakan oleh Dye (1976:1) dan Lubis
(2007:9), kebijakan publik adalah apapun yang telah dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh Pemerintah, dan tidak harus dinyatakan
31
secara eksplisit, maka setiap
tindakan pemerintah yang terkait dengan
perbibitan adalah kebijakan. Dalam konteks perbibitan ternak ruminansia besar, ada beberapa kebijakan yang pernah diambil oleh pemerintah (Direktorat Jenderal Peternakan) dalam usahanya meningkatkan populasi maupun produktivitas ternak sapi potong berupa program dan kegiatan, baik dengan pendekatan gerakan massal, wilayah peternakan, kemitraan dan mengintroduksi jenis-jenis sapi baru (impor) dan lainlain (Wiryosuhanto 1997:62; Hardjosubroto et al.,1997:247). Secara kronologis,
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah yang
terkait dengan pengembangan sapi potong dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Kronologis tindakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong Tahun Sebelum abad XVIII
Kebijakan Sapi ras Zebu sudah ada di Jawa Timur, dan sudah terjadi persilangan dengan sapi keturunan Banteng yang menghasilkan sapi Jawa, Madura dan Sumatera. (Sudardjat & Pambudy 2003:146; Pane 1993:2)
Keterangan Tidak dijelaskan jenis sapinya, apakah Ongole atau Benggala.
Abad XVIII
Pertama kali impor sapi Zebu ke Pulau Jawa sebagai ternak kerja di perkebunan tebu (Sudardjat & Pambudy 2003:22).
1806 dan 1812
Gubernur Jawa Timur telah memasukkan pejantan sapi Benggala untuk memperbaiki kualitas sapi lokal (Sudardjat & Pambudy 2003:148).
Menurut Sudardjat dan Pambudy (2003:23) membajak dengan ternak sudah ada sejak abad XVII.
26 Agustus 1838
Verenigde Oost-Indische Companie yang diterbitkan oleh VOC pada tahun 1665, tentang larangan pemotongan hewan betina bertanduk yang masih produktif, dikukuhkan menjadi Undang-undang (Sudardjat & Pambudy 2003:6, 14, 43).
Tanggal 26 Agustus selanjutnya ditetapkan sbg hari jadi/ lahirnya peternakan dan kesehatan hewan.
1890
Pertama kali sapi Bali masuk ke pulau Sulawesi, diimpor oleh raja Goa (Herweijer 1982:9; Sudardjat & Pambudy 2003:146)
Herweijer, berdasarkan laporan Klasen tahun 1928, Dokter Hewan Pemerintah di Makasar.
Akhir Abad XIX
(a) Sapi Ongole dari India (Madras) dimasukkan ke Pulau Sumba, dan menjadi tempat pembiakan sapi Ongole murni (Pane 1993:2). (b) Diwyanto (2008:174) menyebutkan tepatnya tahun 1909. (a) Sapi Jawa disilangkan dengan sapi Zebu (Ongole?) yang menghasilkan sapi PO. (b) Diwyanto (2008:174) menyebutkan penyebaran sapi SO ke Jawa pada tahun 1915, 1919 dan 1929.
Pane menulis dengan huruf : Onggole (Nellore).
1910
Menurut Pane (1993:4), sapi Zebu (Bos Indicus) terdiri dari lebih-kurang 37 jenis.
32
Tabel 1 (lanjutan) Tahun 1912
Kebijakan Diwyanto (2008:174) dan Sudardjat dan Pambudy (2003:40 ) menyebut sebagai dimulainya campur tangan pemerintah di bidang peternakan dengan dikeluarkannya Ordonansi No. 432 Thn 1912.
1917 s/d 1920
Terjadi impor besar-besaran sapi bibit Ongole dari India (Sudardjat & Pambudy 2003:157).
Keterangan Ordonansi No. 432 Thn 1912 mengatur tentang Pengawasan Pemerintah dalam bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan.
1936
Semua sapi jantan Jawa harus di kebiri dan sapi betina Jawa harus disilang dengan sapi SO (Harjosubroto et al., 1997:248).
Mulainya ”Kontrak Sumba.”
1955
Untuk memperbaiki performance sapi Madura, disilangkan dengan sapi Red Danish (Red Deen) melalui inseminasi buatan (Pane 1993:23)
Tidak ada catatan yang jelas hasilnya. Penduduk menolak keturunannya, karena tidak dapat untuk karapan sapi.
8 Juli 1967
Ditetapkannya Undang-undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
1974/1975
(a) Sektor swasta mengimpor bibit sapi Brahman 523 ekor, Santa gertrudis 563 ekor dan Charolais 8 ekor (Sudardjat dan Pambudy 2003:165). (b) Dimulainya program Panca Usaha Ternak Potong (PUTP).
Tidak disebutkan siapa, dimana dan untuk apa.
3 April 1976
Peresmian pengoperasian Sentra Inseminasi Buatan Lembang.
Sejak tahun 1978 berganti nama menjadi Balai Inseminasi Buatan Lembang.
1976 s/d 2000
Bangsa sapi yang pernah digunakan untuk produksi semen beku di BIB Lembang adalah Bali, Ongole, FH, Brangus, Hereford, Simental, Charolais, Limousin, Santa Gertrudis, Belmond Red, American Milking Zebu, Draught Master, Brangus, Taurindicus, Charbra dan Angus (BIB Lembang 2001:33).
1980-an
Diwyanto (2008:175 )menyebutkan dimulainya kebijakan persilangan sapi potong. Tidak kurang 10 bangsa sapi potong diimpor, baik berupa semen beku ataupun ternak hidup, dengan tujuan yang tidak jelas.
1984
Ditjen Peternakan menetapkan sapi pejantan IB adalah Bali, Ongole, FH, Brahman, Simental, Limousin, Brangus dan Taurindicus, yang lain tidak dilanjutkan.
1988
Ditetapkan standar mutu bibit sapi untuk sapi Aceh, Madura, Bali, Ongole, PO, Brahman lokal dan Perah lokal (Ditjennak1993:568-570) dengan No. Kode: SPINAK/01/43/ 1988.
Keputusan Menteri Pertanian No. 358/Kpts/ TN.410/5/1988 tanggal 30 Mei 1988 tentang Standar Pertanian Indonesia Bidang Peternakan (SPINAK)
33
Tabel 1 (lanjutan) Tahun 1989
1997/1998
Kebijakan (a) Produksi semen beku sapi Hereford dihentikan. (b) Dimulai produksi semen beku sapi Brangus. (c) Semen beku Limousin dan Simental makin diminati peternak.
Keterangan
(a) NTB mengimpor 2.200 ekor induk sapi Brahman dari Australia untuk disilangkan dengan sapi Brangus. (b) Program “Brangusisasi” ini tidak mempunyai cacatan yang jelas. (c) Saat ini sudah tidak ditemukan lagi sapi Brahman di Lombok (Dahlanuddin et al., 2008:38).
1999
Ditetapkannya jabatan fungsional Pengawas Bibit Ternak (Wasbitnak).
2000
Semen beku sapi Ongole tidak diproduksi lagi, karena kurang diminati peternak.
2001
Dimulainya impor sapi bakalan Brahman Cross dan pengembangan sapi betina eks impor Brahman Cross.
2006
Sistem Perbibitan Ternak Nasional (SITBITNAS) ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 2006,
Permentan No. 36/Permentan/ OT.140/8/2006
2008
(a) Penetapan prosedur baku pelaksanaan produksi sapi bibit pada usaha pembibitan sapi potong; (b) Penetapan juknis pengembangan perbibitan ternak sapi Brahman cross eks-impor;
Peraturan Dirjen Peternakan No. 0423 Thn 2008 Peraturan Dirjen Peternakan No. 26181 Thn 2008
2009
(a) Penetapan UU No. 18 Thn 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; (b) Fasilitasi kredit usaha pembibitan sapi (KUPS); (c) Penetapan pedoman pelaksanaan KUPS; (d) Pedoman peningkatan mutu genetik sapi Bali;
2010
(a) Penetapan rumpun sapi Bali (b) Penetapan juknis pengembangan perbibitan sapi melalui kelompok (c) Penetapan juknis pengembangan perbibitan sapi potong
SK MENKO WASBANGPAN No. 61 Thn 1999 Tanggal 30 September 1999.
Permenkeu No.131 Thn 2009 Permentan No. 40 Thn 2009 Peraturan Dirjen Peternakan No. 12004 Thn 2009 Kepmentan No. 325 Thn 2010 Peraturan Dirjen Peternakan No. 07056 Thn 2010 Peraturan Dirjen Peternakan No. 13026 Thn 2010
Berdasarkan kronologis tindakan pemerintah di atas, terlihat ketidakjelasan arah dan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan. Berkaitan dengan persilangan antara sapi Ongole (murni) dengan sapi Jawa, Pane (1993:2) menyatakan bahwa sangat disayangkan jika hingga saat ini tidak ada data yang lengkap tentang hasil pemurnian sapi Ongole di Sumba dan turunannya, Peranakan Ongole (PO) yang ada di Jawa. Hal ini mengakibatkan tujuan perbaikan mutu genetik sapi-sapi tersebut menjadi kabur. Termasuk kasus
34
lain seperti, persilangan antara sapi Madura dengan Santa Gertrudis yang menghasilkan sapi Madrali, sapi Grati hasil persilangan antara Friesian Holstein dengan PO (Pane 1993: 24). Bahkan sapi PO, walaupun sudah menjadi suatu jenis tersendiri, tetapi kemampuan produksinya belum diketahui. Demikian pula komposisi darahnya. Hal ini sangat disayangkan karena sebelum suatu usaha peningkatan mutu sapi tersebut dimulai, seharusnya diketahui terlebih dahulu mutu dan komposisi darah tetuanya (Pane 1993: 23). Inseminasi Buatan merupakan salah satu instrumen dalam penerapan kebijakan di bidang perbibitan sapi. Sebagaimana dinyatakan oleh Skjervold (1982:13-14), bahwa selama dua dekade terakhir IB telah menjadi cara perkawinan yang paling penting, dan lebih jauh IB telah memberikan dimensi baru pada pembibitan ternak sapi.” Inseminasi Buatan bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu genetik ternak yang diinseminasi dan (2) meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul. Implikasi dari penerapan IB ini adalah meningkatnya produksi dan produktivitas ternak turunannya, sekaligus dapat meningkatkan populasi ternak yang bersangkutan. Di lain pihak, dengan IB memungkinkan peternak untuk melakukan persilangan secara bebas tanpa harus memperhatikan arah kebijakan perbibitan (Gordon 2004:51). Inseminasi Buatan dan Sejarah Perkembangannya Menurut Wiener (1994:191 dan Shebu et al. 2010:123), inseminasi buatan adalah “technique of inserting semen, and the associated sperm, into the female reproductive tract for purpose of conception.” Istilah IB juga sering digunakan untuk menggambarkan keseluruhan proses termasuk proses pengenceran dan penyimpanan semen. Dalam sistem perbibitan nasional (Ditbit 2006:7), disebutkan bahwa IB adalah teknik memasukkan mani/semen ke dalam alat reproduksi ternak betina yang sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar ternak menjadi bunting. Secara teknis, IB adalah proses penempatan semen ke dalam alat reproduksi betina dengan bantuan manusia dengan tujuan agar ternak betina tersebut bunting (Noor, tanpa tahun:1-3). Lebih jauh dikatakan, bahwa IB juga suatu teknik untuk mempercepat penyebaran gen-gen dari ternak unggul ke turunannya. Beberapa keuntungan penerapan IB diungkapkan, misalnya menurut Gordon (2004:51) yang menyatakan bahwa teknologi IB telah (1) memungkinkan dilakukannya progeny testing pada sapi pejantan dalam skala besar, (2)
35
memungkinkan berkembangnya perdagangan secara internasional dikarenakan adanya semen beku (frozen semen) yang dikemas dalam pipa plastik (plastic straw),
(3)
mencegah
menyebarnya
penyakit
reproduksi
menular,
(4)
memungkinkan satu ejakulasi dapat digunakan untuk menginseminasi secara maksimal, (5)
membuat efisiensi penggunaan pejantan, khususnya pejantan
unggul (elite bull) dan (6) menunjang program perkawinan silang (crossbreeding) antara sapi jenis unggul (exotic breeds) dengan sapi lokal. Khusus untuk ternak potong, dimungkinkannya dilakukan sinkronisasi perkawinan sehingga dapat dihasilkan anak sapi yang sesuai dengan waktu yang diharapkan. Sedangkan menurut Foote (1981:13-39), keuntungan IB adalah (1) perbaikan genetik dimungkinkan untuk sifat-sifat kuantitatif melalui seleksi pejantan secara intensif, (2) dapat mengurangi frekuensi lethal genes yang resesif, (3) dapat mengontrol beberapa penyakit tertentu, terutama penyakit yang dapat menular, (4) pejantan yang digunakan bebas dari penyakit menular yang spesifik, (5) ekonomis dalam pelayanan, (6) mengurangi resiko bahaya keganasan sapi pejantan di lahan usaha (farm), (7) pencatatan yang lebih lengkap, akurat dan terpelihara dan (8) keberhasilan penerapan IB memberikan fondasi
untuk keberhasilan teknik
pemuliabiakan yang lebih maju. Beberapa kelemahan penerapan IB antara lain adalah (1) jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat menjadi media penyebaran penyakit, (2) jika lokasi akseptor IB jauh dan sarana komunikasi sulit, maka tidak ekonomis (Foote 1981:13) dan (3) dapat mengacaukan program perbibitan jika implementasinya tidak terkontrol atau tidak tercatat secara lengkap dan akurat (Pane 1993:2; Foote 1981:13 dan Shebu et al. 2010:127). Pada
awal
penerapannya,
kebijakan
IB
adalah
ditujukan
untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah dan sapi potong. Untuk sapi perah ditempuh melalui grading up dengan mendatangkan pejantan unggul (proven bull) dari luar negeri. Sedangkan untuk sapi potong, melalui grading up ternak asli seperti sapi Bali dan Ongole dan melalui persilangan dengan sapi potong dari luar negeri. Akan tetapi, menurut Noor (tanpa tahun:1-3), IB di Indonesia lebih ditekankan untuk peningkatan populasi ternak, bukan ditujukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Lebih lanjut dikatakan oleh Noor bahwa, program IB akan berhasil baik jika diikuti dengan sistem manajemen dan sistem pencatatan (recording) yang baik. Saat ini IB telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia pada tahun
36
2010 adalah 13.6 juta ekor. Berdasarkan data populasi sapi tahun 2008, jumlah sapi betina dewasa yang potensial di IB adalah 5,2 juta (42,03%). Saat ini jumlah akseptor IB sekitar 1,85 juta (35,7%) (Ditjennak 2009b:76 dan 190). Jadi ini masih memungkinkan untuk bisa ditingkatkan. Menurut Diwyanto (2008:177), penerapan IB pada sapi potong di Indonesia saat ini adalah mungkin termasuk yang terbesar di dunia. Di negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa, aplikasi IB pada sapi potong hanya terbatas pada kelompok elit (foundation stock) untuk tujuan menghasilkan bibit (breeding stock). Lebih jauh juga dikatakan bahwa keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada laporannya yang lengkap. Demikian pula halnya dengan kinerja keragaan reproduksi sapi hasil IB, praktis belum banyak dievaluasi. Produksi semen nasional dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi semen nasional dalam kurun waktu 2001 -2010 No.
Produksi semen (dosis)
Bangsa sapi
BBIB Singosari
BIB Lembang
1.
Bali
411.889
-
2.
Ongole
168.741
3.
Brahman
442.745
4.
Madura Jumlah:
Jumlah
(%)
411.889
2,1
217.999
386.740
2,0
801.320
1.244.065
6,5
89.463
-
89.463
0,5
1.112.838
1.019.319
2.132.157
11,1
5.
Simental
3.650.240
4.056.278
7.706.518
40,1
6.
Limousin
6.171.912
2.809.972
8.981.884
46,7
7.
Angus
33.916
226.935
260.851
1,4
8.
Brangus
83.696
70.403
154.099
0,8
Jumlah:
9.939.764
7.163.588
17.103.352
88,9
Total:
11.052.602
8.182.907
19.235.509
(100)
Sumber: Direktorat Perbibitan
Berdasarkan Tabel 2 diatas, dapat dinyatakan bahwa jumlah produksi semen sapi asing jauh lebih besar, yaitu 88,9% dibanding dengan jumlah semen sapi asli maupun lokal Indonesia, yaitu hanya 11,1%. Pengorganisasian Inseminasi Buatan Berdasarkan
pedoman
pelaksanaan
IB
(Ditjennak
2005),
program
Inseminasi Buatan melibatkan banyak institusi, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Swasta berkaitan dengan penyediaan peralatan dan bahan seperti Container, Insemination gun, N 2 cair dan lain-lain. Untuk masyarakat, beberapa kelompok telah menyediakan sendiri inseminator, kelembagaan inseminator
37
(seperti di Kabupaten Gunung Kidul, terdapat paguyuban inseminator) dan kelompok IB (kelembagaan para akseptor IB). Khusus untuk Pemerintah, melibatkan Pemerintah Pusat dan Daerah. Direktorat Jenderal Peternakan c.q. Direktorat Perbibitan yang berkoordinasi dengan Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia adalah sebagai pengambil kebijakan di bidang perbibitan secara umum dan Inseminasi Buatan. Di samping itu, masih termasuk Pemerintah Pusat adalah Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari, Malang dan Balai
Inseminasi Buatan Lembang sebagai produsen
semen. Secara umum, Pemerintah Pusat mempunyai tugas (1) membuat program IB nasional, (2) melakukan supervisi pelaksanaan IB di daerah, (3) melakukan evaluasi IB secara nasional, (4) melakukan koordinasi dan (5) memproduksi dan mendistribusikan semen. Mekanisme penetapan produksi, kebutuhan dan distribusi semen dilakukan dalam forum Evaluasi Kinerja Inseminasi Buatan yang diadakan setiap tahun dan dihadiri oleh Dinas Provinsi yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan di seluruh Indonesia. Pada level Provinsi, Dinas yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan bertanggungjawab untuk (1) merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan program IB di Provinsi, (2) mengawasi distribusi semen ke Kabupaten atau Satuan Pelayaan IB (SPIB) Kabupaten, (3) melakukan supervisi pelaksanaan IB di Provinsi, (4) melakukan evaluasi IB di Provinsi, (5) mengeluarkan Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI), (6) melakukan koordinasi pelaksanaan IB dengan instansi terkait, (7) melakukan koordinasi dengan Balai IB dalam pengadaan semen beku dan (8) membuat laporan pelaksanaan IB. Selanjutnya, pada level Kabupaten/Kota, Dinas yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan bertanggungjawab untuk melakukan (1) pendataan jumlah akseptor IB berdasarkan bangsa dan jenis ternak, (2) merencanakan jumlah dosis dan jenis semen beku yang akan digunakan, (3) mengawasi distribusi semen beku ke SP-IB/Koperasi/KUD, (4) mengatur wilayah kerja inseminator, Pemeriksa Kebuntingan (PKB) dan Asisten Teknis Reproduksi (ATR), (5) melakukan pengawasan operasional IB dan (6) membuat laporan bulanan pelaksanaan IB dan gangguan reproduksi di wilayah kerjanya dan menyampaikannya kepada Kepala Dinas Peternakan Provinsi. Pada level lapangan, penanggung jawab kegiatan IB adalah SPIB/Koperasi (KUD), yaitu (1) mengkoordinir pelaksanaan IB di SPIB, (2) menyiapkan
38
kebutuhan semen beku dan peralatan di SPIB, (3) melaksanakan pelayanan IB, (4) melaksanakan pencatatan yang teratur data akseptor IB, (5) melakukan pemeriksaan kebuntingan dan pengelolaan reproduksi, (6) mengolah data pelaksanaan IB di SPIB, (7) membuat catatan inventarisasi peralatan dan semen beku di SPIB, (8)
meningkatkan daya guna kelompok tani ternak untuk
menunjang operasional IB, (9) membuat laporan pelaksanaan IB di SPIB yang bersangkutan, (10) khusus untuk sapi perah, Koperasi/KUD menyampaikan laporan ke Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Daerah dengan tembusan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten. Sistem pelayanan IB yang dilakukan oleh inseminator bermacam-macam. Secara umum ada dua, yaitu active services (pelayanan secara aktif) dan/atau pasive services (pelayanan secara pasif). Pelayanan secara aktif, adalah inseminator mendatangi pelanggan sambil memberikan pelayanan teknis peternakan dan kesehatan hewan. Pelayanan secara pasif, yaitu inseminator siap di kantor (pos IB) menunggu laporan ataupun menunggu panggilan dari pelanggan. Sarana komunikasi yang digunakan bermacam-macam. Ada peternak yang langsung mendatangi inseminator; melalui ketua kelompok, kemudian diteruskan ke inseminator; melalui “getok-tular” antarwarga; melalui intercom; melalui laporan tertulis lewat kotak pos yang sudah disiapkan; dan melalui telepon. Pada umumnya, inseminator saat ini menggunakan campuran dua sistem pelayanan tersebut, pelayanan aktif dan pasif. Bagaimana mempertemukan keinginan dan harapan antara pemerintah dan peternak sapi potong untuk membangun perbibitan di Indonesia, diperlukan program penyuluhan yang memperhatikan faktor-faktor karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong, persepsi peternak terhadap IB dari aspek teknis, sosial budaya, ekonomi dan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan.
Penyuluhan Konsep dan Pengertian Penyuluhan Istilah Penyuluhan pertama kali digunakan untuk menggambarkan program pendidikan orang dewasa (adult education programmes) di Inggris pada paruhkedua abad 19; program ini membantu untuk memperluas (to expand or to extend) kerja universitas di luar kampus dan ke dalam komunitas terdekat (neighbouring community). Istilah tersebut selanjutnya diadopsi di Amerika, sementara di UK (Britain) sendiri diganti dengan istilah “advisory Service” pada abad 20 (Wikipedia 2009:2).
39
Dari segi konsep, makna penyuluhan dapat ditelusuri dari beragam istilah yang telah digunakan oleh berbagai kalangan selama ini. Ada banyak istilah penyuluhan yang digunakan di negara-negara lain. Di Inggris pada tahun 1840an, menurut van den Ban dan Hawkins (1999:23-26) dan Wikipedia (2009:1-2), menggunakan istilah university extension atau extension of the university. Dalam konteks ini, (1) sasaran pengajaran di universitas tidak hanya terbatas di lingkungan kampus, tetapi dapat diperluas hingga semua pihak yang hidup di lingkungan manapun, dan (2) penyuluhan dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan untuk orang dewasa yang menempatkan pengajar sebagai staf universitas. Sejak abad ke-20 istilah ”penyuluhan pertanian” digunakan secara umum di Amerika Serikat. Lebih jauh dikatakan, di Belanda menggunakan istilah voorlichting yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya. Istilah ini juga digunakan di Indonesia yang diterjemahkan sebagai ”penyuluhan.” Di Malaysia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris menggunakan kata ”perkembangan.” Bahasa Inggris dan Jerman menggunakan istilah beratung yang berarti seorang pakar dapat memberikan petunjuk atau nasehat kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan
pilihannya.
Dalam
pendidikan
kesehatan,
Jerman
juga
menggunakan istilah aufklärung yang berarti pencerahan. Kata lain yang lazim digunakan adalah erziehung yang artinya mirip dengan pendidikan di Amerika Serikat. Sedangkan di Austria dikenal dengan istilah förderung yang berarti menggiring seseorang ke arah yang diinginkan, kata tersebut mirip dengan istilah yang digunakan di Korea yakni bimbingan pedesaan. Perancis menggunakan istilah vulgarisation yang menekankan pentingnya penyederhanaan pesan bagi orang awam. Di Spanyol menggunakan istilah capacitation (memperbaiki keterampilan) untuk menunjukkan adanya keinginan untuk meningkatkan kemampuan manusia yang dapat diartikan dengan pelatihan. Wikipedia (2009:2) menambahkan, bahwa di Thailand dan Laos menggunakan istilah song-suem (mempromosikan); dan di Persia menggunakan istilah tarjiv dan gostaresh (mempromosikan dan memperluas). Oleh karena itu, Mardikanto (1993:11-18) mengklasifikasikan konsep penyuluhan (pertanian) menjadi lima, yaitu (1) penyuluhan pertanian sebagai proses penyebarluasan informasi, (2) penyuluhan pertanian sebagai proses penerangan, (3) penyuluhan pertanian sebagai proses perubahan perilaku, (4) penyuluhan pertanian sebagai proses pendidikan, dan (5) penyuluhan pertanian sebagai proses rekayasa sosial.
40
Pengertian penyuluhan menurut beberapa literatur adalah sebagai berikut, di antaranya menurut Boone (1989:1), penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan nonformal, dan ini merupakan suatu lapangan praktek pendidikan profesional.
Menurut Slamet (2003:18) pengertian penyuluhan adalah suatu
sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya. Lebih lanjut, Slamet (2003:45) juga memberikan pengertian penyuluhan sebagai program pendidikan luar sekolah yang bertujuan (1) memberdayakan sasaran, (2) meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri, (3) membangun masyarakat madani, (4) sebagai sistem yang berfungsi secara berkelanjutan, tidak bersifat ad-hoc, (5) sebagai program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Sedangkan Mardikanto (1993:14) memberikan pengertian penyuluhan (pertanian) sebagai suatu proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) di kalangan masyarakat (petani), agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Di sisi lain, untuk memisahkan penyuluhan pertanian dengan program pertanian, Slamet (2003:39) mendefinisikan penyuluhan sebagai industri jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan (nonformal) dan informasi pertanian kepada petani dan pihak-pihak lain yang memerlukan. Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, butir 3 dinyatakan bahwa ”Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan
dan
kesejahteraannya dan meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.” van den Ban dan Hawkins (1999:25) menyatakan bahwa di antara pengertian-pengertian penyuluhan yang ada, masih ditemukan persamaan
41
persepsi, yaitu penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar
dengan tujuan membantu sesamanya
memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Dalam SKB (1996:6), yang dimaksud penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah di bidang pertanian untuk petani-nelayan dan keluarganya serta anggota masyarakat pertanian agar dinamika dan kemampuannya dalam memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dengan kekuatan sendiri dapat berkembang, sehingga dapat meningkatkan peranan dan peran sertanya dalam pembangunan pertanian. Dalam konteks perubahan terencana (planned change), Lippit et al., (1958:122) menyebutkan tahap-tahap perubahan terencana, yaitu tahap 1: sistem klien menemukan kebutuhan untuk memperoleh pertolongan, kadangkadang dengan stimulan oleh agen perubahan, tahap 2: hubungan pertolongan ditetapkan dan didefinisikan, tahap 3: persoalan perubahan diidentifikasi dan diklarifikasi, tahap 4: kemungkinan alternatif untuk perubahan diuji; sasaran atau tujuan perubahan ditetapkan, tahap 5: upaya-upaya perubahan dalam ”situasi nyata” dilakukan, tahap 6: dilakukan generalisasi dan stabilisasi perubahan dan tahap 7: hubungan pertolongan diakhiri atau hubungan lain ditetapkan. Tujuan utama penyuluhan pertanian menurut Slamet (2003:20) adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya agar berubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan (oleh pihak penyuluh) yang akan menyebabkan perbaikan mutu hidup para keluarga petani. Sedangkan menurut Boone (1989:1), tujuannya adalah untuk (1) mengajar orang, sesuai dengan konteks dan keadaan kehidupannya, bagaimana mengidentifikasi dan menilai kebutuhan dan masalah mereka;
(2)
membantu
mereka
dalam
memperoleh
pengetahuan
dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk secara efektif mengatasi kebutuhan dan masalah mereka tersebut; (3) memberi inspirasi mereka untuk bertindak. Kegiatan penyuluhan menurut SKB (1996:6) meliputi: (1)
Menyajikan/memberikan
informasi-informasi
tentang
teknologi,
pengetahuan, perkembangan pertanian, pemasaran dan sebagainya yang intinya sebagai kegiatan penerangan; (2)
Mendidik masyarakat pedesaan tentang pemanfaatan dan operasionalisasi teknologi dan pengetahuan yang sesuai dan lebih efisien;
(3)
Memperluas wawasan/pandangan masyarakat pedesaan;
42
(4)
Membantu masyarakat pedesaan agar memiliki pendapat yang rasional (masuk akal) dan mampu mengambil keputusan dengan tepat;
(5)
Menggerakkan
masyarakat
pedesaan
agar
lebih
dinamis
menuju
perubahan; (6)
Membantu masyarakat pedesaan agar mampu berusahatani dan mampu meningkatkan produksi pertanian yang diusahakan.
Empat Generasi Penyuluhan di Asia Perkembangan pelayanan penyuluhan di negara-negara Asia saat ini, berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Namun, walaupun bervariasi, masih mungkin diidentifikasi suatu sekuen umum yang terdiri empat periode atau generasi (Wikipedia 2009:3-4), yaitu: (a)
Colonial agriculture: Stasiun Percobaan didirikan di banyak negara Asia oleh penguasa kolonial. Fokus perhatian biasanya untuk komoditas ekspor seperti karet, teh, kapas dan gula. Pelayanan teknis disediakan untuk manajer perkebunan dan pemilik lahan yang luas. Bantuan untuk petani kecil yang berusahatani secara subsisten jarang dilakukan, kecuali pada saat terjadi krisis.
(b)
Diverse top-down extension: Setelah merdeka, pelayanan penyuluhan berdasarkan komoditi muncul dari sisa peninggalan sistem kolonial, dengan menetapkan target produksi sebagai bagian dari rencana pembangunan lima tahun (REPELITA). Juga, berbagai program mulai dikenalkan untuk memenuhi kebutuhan petani kecil dengan dukungan dana bantuan asing.
(c)
Unified top-down extension: Selama tahun 1970-an dan 1980-an, sistem Latihan dan Kunjungan (Training and Visit) diperkenalkan oleh Bank Dunia. Organisasi yang ada pada waktu itu digabung menjadi satu pelayanan yang bersifat nasional. Pesan-pesan yang bersifat reguler disampaikan melalui kelompok
petani,
untuk
mempromosikan
adopsi
teknologi
“green
revolution.” (d)
Diverse bottom-up extension: Ketika bantuan dari Bank Dunia berakhir, sistem LAKU tidak digunakan lagi di banyak negara, meninggalkan suatu program dan proyek-proyek kecil yang didanai dari berbagai macam sumber. Jatuhnya perencanaan terpusat, ditambah lagi dengan tumbuhnya kesadaran terhadap keberlanjutan (sustainability) dan kesetaraan, maka telah
melahirkan
pendekatan
partisipatif
menggantikan pendekatan top-down.
yang
secara
bertahap
43
Empat generasi penyuluhan tersebut terbangun dengan baik di beberapa negara, sedangkan di beberapa tempat baru dimulai. Sementara itu, pendekatan partisipatif sepertinya akan terus berlangsung dan menyebar dalam beberapa tahun ke depan, dan tidak mungkin memprediksi masa depan penyuluhan dalam jangka waktu panjang. Dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu, penyuluhan pertanian kurang mendapat dukungan yang memadai dari lembaga donor. Di antara para akademisi yang bekerja di lapangan, akhir-akhir ini berkesimpulan bahwa penyuluhan pertanian butuh pembaharuan sebagai suatu praktik yang profesional. Penulis lain telah mengusulkan gagasan tentang penyuluhan sebagai suatu konsep yang berbeda, dan lebih suka berpikir dalam bentuk “knowledge system” di mana petani dilihat sebagai “expert” daripada sebagai “adopter.” Paradigma Baru Penyuluhan Menurut Padmodihardjo (2004:1-8)
penyuluhan pertanian harus ditata
kembali berkaitan dengan adanya perubahan context dan content dari pembangunan. Perubahan context
pembangunan mencakup (1) perubahan
pengelolaan pembangunan, (2) kebebasan petani, (3) tuntutan pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan (4) keputusan Indonesia meratifikasi perjanjian WTO. Perubahan content pembangunan pertanian berkaitan dengan tujuannya. Sebelum masa krisis, pembangunan pertanian bertujuan untuk “meningkatkan produksi,” maka yang dibangun adalah usahataninya (on-farm). Pembangunan pertanian
setelah
masa
krisis
tujuannya
adalah
untuk
“meningkatkan
pendapatan” petani sehingga perlu meningkatkan produktivitas dan nilai tambah. Untuk ini pembangunan pertanian yang berorientasi pada agribisnis,
yang
meliputi subsistem hulu sampai hilir (sarana prasarana, budidaya, pengolahan dan pemasaran) secara terpadu, simultan dan harmonis perlu dilakukan. Paradigma penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk menghadapi era agribisnis (Puskaji 2004:11-13) adalah ”memposisikan petani sebagai fokus kegiatan
pembangunan
pertanian,”
yaitu
(1)
petani
sebagai
pelaku
utama/subyek, (2) petani sebagai manajer usahataninya sendiri dan (3) petani yang mandiri (mempunyai potensi kemampuan mengambil keputusan sendiri dalam merencanakan, mengelola dan mengembangkan usahataninya demi kesejahteraan dirinya dan keluarga dan masyarakat sekitarnya). Dengan demikian, fungsi penyuluh adalah sebagai seorang fasilitator. Menurut Slamet (2003:56-67) paradigma baru penyuluhan mencakup (1) penyuluhan sebagai
44
jasa informasi, (2) pentingnya aspek lokalitas, (3) berorientasi pada agribisnis, (4) pendekatan kelompok, (5) fokus pada kepentingan petani, (6) pendekatan humanistik-egaliter, (7) profesionalisme dan (8) akuntabilitas. Dalam
kontek
penerapan
manajemen
mutu
terpadu,
penyuluhan
(pendidikan nonformal) dipersepsikan sebagai industri jasa atau industri pelayanan dan bukan sebagai proses produksi. Unsur utama dari penerapan manajemen mutu terpadu ini adalah (1) fokus pada pelanggan, (2) perbaikan pada proses secara sistematik, (3) pemikiran jangka panjang, (4) pengembangan sumberdaya manusia dan (5) komitmen pada mutu (Slamet 1996:3). Setiap sistem penyuluhan dapat digambarkan dengan melihat dua aspek berikut, yaitu “bagaimana komunikasi terjadi” dan “mengapa itu terjadi.” Hal ini tidak berarti bahwa sistem paternalistik selalu bersifat persuasif. Begitu pula, kegiatan yang bersifat partisipatif tidak selalu berarti pendidikan. Menurut Wikipedia (2009:5-6) ada empat kombinasi yang mungkin bisa terjadi, yang masing-masing merupakan suatu paradigma penyuluhan yang berbeda, yaitu: (a)
Technology Transfer (persuasive+paternalistic). Paradigma ini telah terjadi pada masa kolonial, dan muncul lagi pada tahun 1970-an dan 1980an ketika sistem LAKU diberlakukan di negara-negara Asia. Transfer teknologi menggunakan suatu pendekatan top-down yang diberikan dengan rekomendasi khusus kepada para petani tentang cara-cara yang harus mereka adopsi.
(b)
Advisory Work (persuasive+participatory). Paradigma ini dapat dilihat saat ini, yaitu di mana organisasi Pemerintah atau perusahaan konsultasi swasta yang merespons pertanyaan petani berkaitan dengan formulaformula teknis. Ini juga mengambil bentuk dari proyek-proyek yang dibiayai oleh lembaga donor ataupun LSM yang menggunakan pendekatan partisipatif untuk mempromosikan suatu paket teknologi yang telah ditetapkan sebelumnya.
(c)
Human Resource Development (educational+paternalistic). Paradigma ini telah mendominasi penyuluhan awal di negara-negara Eropa dan Amerika Utara,
ketika
universitas-universitas
memberikan
pelatihan
kepada
masyarakat pedesaan yang miskin untuk hadir dalam kursus dengan jam penuh (full-time courses). Ini masih terus berlanjut sampai hari ini dalam aktivitas pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi seluruh dunia. Di sini diberlakukan metode pembelajaran top-down, tetapi
45
peserta diharapkan membuat keputusan untuk mereka sendiri bagaimana menggunakan pengetahuan yang mereka terima. (d)
Facilitation for Empowerment (educational+participatory). Paradigma ini melibatkan metode seperti belajar berdasarkan pengalaman (experiental learning) dan pertukaran pengalaman dari petani ke petani. Pengetahuan ditingkatkan melalui proses interaktif dan peserta didorong untuk membuat keputusannya sendiri. Contoh yang baik dari penerapan paradigma ini di Asia
adalah
Sekolah
Lapang
(farmer
field
schools=FFS)
atau
pengembangan teknologi secara partisipatif (participatory technology development=PTD). Perlu dicatat bahwa
ada beberapa ketidaksepakatan tentang apakah
konsep dan istilah penyuluhan melingkupi semua paradigma di atas atau tidak. Beberapa ahli yakin bahwa istilah penyuluhan harus dibatasi pada pendekatan persuasif, sementara yang lain yakin bahwa itu hanya digunakan untuk aktivitas pendidikan. Menurut Wikipedia (2009:6), Paulo Freire berargumentasi bahwa istilah “penyuluhan” dan “partisipasi” adalah berlawanan. Ada alasan filosofis dibalik ketidak-setujuan ini. Namun demikian, dari sudut pandang praktek, proses komunikasi yang membentuk masing-masing paradigma di atas, saat ini sedang dilaksanakan atas nama penyuluhan di beberapa bagian dunia dan yang lainnya. Secara pragmatis, jika tidak secara ideologis, semua aktivitas ini adalah disebut Penyuluhan Pertanian. Penyuluhan yang tepat adalah penyuluhan yang dirancang berdasarkan (1) analisis isi (content area dan process area), (2) penetapan konsep yang sesuai dengan kebutuhan sasaran (karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong dan model peranan) dan (3) perumusan tujuan (tujuan program, tujuan umum dan tujuan khusus yang terkait dengan arah kebijakan pemerintah di bidang perbibitan yang diimplementasikan melalui penerapan IB). Dengan demikian,
substansi pelatihan (penyuluhan)
dapat
mempertemukan dua
kepentingan yaitu, antara tujuan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan dan kebutuhan dan harapan peternak. Selanjutnya, diharapkan penyuluh dapat merubah atau membentuk perilaku peternak sapi potong ke arah perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan kebijakan di bidang perbibitan sapi potong, dan inseminator dapat memberikan pelayanan IB yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan, sesuai dengan harapan dan kebutuhan peternak sapi potong yang perilakunya sudah dibentuk oleh penyuluh.
46
Menurut Lionberger & Gwin (1982:8) menyatakan bahwa respons terhadap suatu inovasi sangat berbeda antara orang-perorang dan masyarakat yang satu dengan
yang
lain,
serta
peubah-peubahnya
juga
berbeda.
Hal
ini
mengindikasikan diperlukannya pendekatan yang berbeda dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat.
Pelayanan yang Bermutu Filosofi dan Konsep Pelayanan yang Bermutu Filosofi pelayanan yang bermutu adalah bahwa setiap unit kerja mempunyai berbagai macam kegiatan. Setiap kegiatan menghasilkan out put, baik berupa barang ataupun jasa. Setiap out put yang dihasilkan, pasti ada yang membutuhkan. Orang atau institusi yang menghasilkan out put disebut sebagai “pemasok” dan orang atau institusi yang membutuhkan out put tersebut disebut “pelanggan.” Setiap pelanggan mempunyai kebutuhan dan harapan terhadap out put tersebut. Jika out put yang dihasilkan dapat memenuhi ataupun melebihi harapan pelanggan, maka pelanggan akan puas. Jika pelanggan puas, maka itulah yang disebut sebagai pelayanan yang bermutu (Slamet 1996:2-3). Jadi konsep pelayanan yang bermutu itu adalah apabila pemberi pelayanan (pemasok) dapat memberikan pelayanan yang sesuai ataupun melebihi kebutuhan dan harapan dari pelanggan. Metode kualitas jasa menurut Deming adalah suatu proses yang diperluas (Stamatis 1996:27), yang dapat dilihat pada Gambar 4. Merujuk pendapat Zeithaml et al., (1990:15-33) dan Stamatis (1996:164), dimensi pelayanan
mencakup: reliability, assurance, tangible, empathy dan
responsivenes (disingkat RATER). (1) reliability, kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara baik dan akurat/tepat, (2) assurance, mencakup (a) keterampilan yang harus dimiliki oleh inseminator (competence), (b)
kesopanan,
penghormatan,
ramah,
dan
keakraban
(courtesy),
(c)
meyakinkan, dapat dipercaya, jujur (credibility), (d) bebas dari bahaya, risiko dan keraguan (security). (3) tangible, keadaan fisik dari fasilitas, peralatan, personel dan alat komunikasi yang dapat dilihat, (4) empathy, mencakup (a) kemudahan ditemui dan dihubungi (access), (b) menjaga komunikasi dengan bahasa yang dimengerti dan mau mendengarkan (communication) dan (c) melakukan upaya untuk mengenal pelanggan dan mengetahui kebutuhannya (understanding the customer) dan (5) responsiveness, kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan langsung.
47
INPUTS
PROCESS
SPC DATA
SPC DATA
SERVICE
SPC DATA
CUSTOMERS
Qualitative & Quantitative DATA
Defect or error prevention
Action on process (change input factors) Keterangan: SPC = Statistical Process Control
Gambar 4. Metode kualitas jasa menurut Deming: proses yang diperluas (Stamatis 1996:27) Konsep Mutu Sallis (2006:49) dan Stamatis (1996:6) menyatakan, bahwa mutu memiliki pengertian yang bervariasi. Menurut Sallis (2006:49-71), mutu merupakan gagasan yang dinamis, dan memiliki kekuatan emosi dan moral. Mutu bisa dilihat sebagai sebuah konsep yang absolut, dan bisa juga relatif. Dalam pengertian yang absolut, sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi yang tidak dapat diungguli. Dalam kasus ini, ”langka” dan ”mahal” adalah dua nilai penting dalam definisi ini. Pengertian mutu ini lebih tepat disebut sebagai ”high quality” atau ”top quality.” Lebih lanjut dikatakan, gagasan tentang mutu tinggi atau top ini hanya sedikit bersinggungan dengan Total Quality Management (Manajemen Mutu Terpadu). Konsep relatif tentang mutu, menurut Sallis (2006:49-71), yaitu ”mutu bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan, tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari produk atau layanan tersebut.” Produk atau layanan yang memiliki mutu, dalam konsep relatif ini tidak harus mahal dan eksklusif. Definisi relatif tentang mutu tersebut memiliki dua aspek, (1) menyesuaikan diri dengan spesifikasi dan (2) memenuhi kebutuhan pelanggan.
48
Menurut Stamatis (1996:6-20), bertahun-tahun mutu telah didefinisikan dengan berbagai macam. Namun definisi mutu yang paling umum pada dasarnya adalah sebagai berikut (1) Conformance to requirements and zero defects, (2) Fitnes for use, (3) Continual improvement, (4) As defined by the customers, (5) Loss to society dan (6) Six sigma. Model mutu pelayanan menurut Zeithaml et al., (1990:45-47) dapat dilihat pada Gambar 5. CUSTOMER
Word-of-Mouth Communications
Personal Needs
Past Experience
Expected Service Gap 5
Perceived Service
PROVIDER Gap 1
Service Delivery
Gap 4
External Communications to Customers
Gap 3
Service Quality Specifications Gap 2
Management Perceptions of Customer Expectations
Gambar 5. Model konseptual mutu pelayanan (Zeithaml et al., 1990:46) Menurut Gaspersz (2001:5), mutu (kualitas) mengacu pada pengertian pokok berikut: (1) kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik
49
keistimewaan langsung maupun keistimewaan tidak atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu dan (2) kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Menurut Sallis (2006:63-66) karakteristik mutu jasa lebih sulit didefinisikan dari pada mendefinisikan mutu produk. Perbedaan antara pemberian jasa dan penciptaan barang: (1) jasa biasanya meliputi hubungan langsung antara pemberi dan pengguna, (2) waktu merupakan elemen penting. Jasa harus diberikan tepat waktu, (3) jasa tidak dapat ditambal atau diperbaiki, (4) jasa selalu berhadapan dengan ketidakpastian, (5) diberikan secara langsung kepada pelanggan oleh pekerja yunior dan (6) kesulitan untuk mengukur tingkat keberhasilan dan produktivitas dalam jasa.
Menurut Stamatis (1996: 22)
perbedaan antara barang dan jasa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan antara barang dan jasa The Majority of GOODS are :
The Majority of SERVICES are :
•
Tangible (100%)
•
Intangible (100%)
•
Storable (close to 100%)
•
Perishable (100%)
•
Transportable
•
Service providers are transpotable
•
Immediate purchase is for capability of later performance
•
Immediate purchase is for immediate performance
Dalam konteks pelayanan IB, out put yang dihasilkan mencakup dua produk sekaligus, yaitu barang dan jasa. Berupa barang adalah semen beku dari beberapa jenis (breed) sapi; dan jasa adalah berupa pelayanan inseminasi. Berdasarkan konsep relatif tentang mutu yang dikemukakan oleh Sallis (2006:49-71), maka dalam pelayanan IB, aspek pertama yang perlu diperhatikan adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi kualitas semen beku yang dihasilkan, dan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan, dan ini selalu dipantau; dan aspek kedua adalah memenuhi kebutuhan pelanggan, dan secara alamiah beberapa semen beku jenis sapi (breed) tertentu dihentikan produksinya karena tidak diminati oleh peternak sebagai pelanggan. Konsep Pelanggan Menurut Barkley dan Saylor (1994: 1), suatu organisasi tidak akan hidup dan subur dalam dunia saat ini tanpa pelanggan. Pelanggan menyebabkan suatu organisasi tetap eksis. Menurut Gaspersz (2001:33) pelanggan adalah semua
50
orang yang menuntut kita (atau perusahaan kita) untuk memenuhi suatu standar kualitas tertentu, oleh karena itu akan mempengaruhi performansi kita (atau perusahaan kita). Setiap pelanggan mempunyai kebutuhan dan harapan. Tingkat (level) harapan (expectation) pelanggan terhadap mutu pelayanan menurut Stamatis (1996:160) adalah Level 1. Harapannya sangat sederhana dan dalam bentuk “asumsi,” “seharusnya” atau “take for granted.” Level 2. Harapannya lebih tinggi dari Level 1, dan mereka memerlukan beberapa bentuk kepuasan melalui pemenuhan “kebutuhan dan/atau spesifikasinya.” Level 3. Harapannya tinggi
dari Level 1 atau 2, dan
mereka memperoleh
lebih
hal yang ”sangat
menyenangkan” (delightfulness) dan hal itu sangat ”menarik” (it attracts me to it). Menurut Gaspersz (2001:38-40) karakteristik produk yang diharapkan oleh pelanggan dapat dipandang sebagai suatu hirarki progresif dari tiga tingkat, yaitu (1) ekspektasi dasar (base expectations); (2) spesifikasi dan kebutuhan (specifications and requirements) dan (3) kesenangan/kegembiraan (delight). Ekspektasi dasar dari pelanggan (base expectations) merupakan tingkat terendah dalam model hirarki ekspektasi pelanggan (level 1), mencakup tingkat performansi minimum yang selalu diasumsikan ada (implicit), sehingga apabila karakterisik produk ini hilang, pelanggan akan selalu tidak puas. Ekspektasi tingkat kedua (level 2) dari pelanggan mencakup spesifikasi dan kebutuhan (specifications and requirements) yang terdiri dari pilihan-pilihan (options) dan trade-offs yang tersedia untuk dipilih oleh pelanggan (explicit). Pada tingkat ini spesifikasi dan kebutuhan ditentukan dan dinegosiasikan antara pelanggan dan pihak penjual atau pembuat produk. Ekspektasi pelanggan pada tingkat tertinggi (level 3, latent) merupakan nilai tambah dari karakteristik dan features yang tidak diketahui sebelumnya
oleh pelanggan (ekspektasi tersembunyi), sehingga
apabila karakteristik ini ada pada produk, pelanggan akan sangat senang atau gembira (delight). Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan pelanggan (Zeithaml et al. 1990:18-20) adalah (1) Word-of-mouth communications. Apa yang telah didengar oleh pelanggan dari ”mulut ke mulut.” Misal rekomendasi dari teman atau tetangga, (2) Personal needs. Ini sangat bervariasi tergantung dari karakteristik dan lingkungan individu, (3) Past experience. Derajat pengalaman terhadap suatu pelayanan yang pernah diterima, akan mempengaruhi harapannya dan (4) External communication. Penyedia pelayanan memegang peran kunci dalam
51
membentuk harapan pelanggan. Hal ini termasuk beragam pesan, baik yang langsung maupun tidak langsung dari penyedia pelayanan kepada pelanggan. Jika karakteristik produk yang diharapkan oleh pelanggan seperti yang dikemukakan oleh Gaspersz (2001:38-40) ini diterapkan pada pelayanan Inseminasi Buatan, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Ekspektasi dasar, yaitu sapi bunting
oleh semen sapi pejantan (murni atau silang); (2)
Ekspektasi tingkat kedua, yaitu sapi bunting oleh semen sapi pejantan unggul pilihan dengan informasi tetua yang jelas (ada gambar sapi pejantannya dan tertulis dalam label straw); dan (3) Ekspektasi tertinggi (tingkat ketiga), yaitu sapi bunting oleh semen sapi pejantan unggul pilihan dengan informasi tetua yang jelas (ada gambar sapi pejantannya dan tertulis dalam label straw), dan melahirkan anak seperti tetuanya (seperti harapannya). Menurut Sallis (2006:67-71) dan Slamet (1996:4) pelanggan pendidikan (nonformal = penyuluhan) adalah (1) pelajar/petani (pelanggan eksternal primer), (2) Orang tua/yang memperkerjakan merupakan pelanggan eksternal skunder dan (3) Pemerintah dan masyarakat adalah pelanggan eksternal tersier. Sedangkan guru/staf adalah pelanggan internal.
53
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Kebutuhan daging sapi terus meningkat sejalan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Ini mengindikasikan semakin meningkatnya jumlah ternak sapi yang harus disediakan untuk dipotong. Di lain pihak, untuk memenuhi kebutuhan ini tidak didukung oleh basis populasi, produksi dan produktivitas sapi potong dalam negeri yang memadai. Sehingga terjadi defisit antara pertumbuhan populasi dengan jumlah sapi yang dipotong. Oleh karena itu, masih diperlukan impor, baik dalam bentuk ternak hidup (sapi bakalan) ataupun dalam bentuk daging. Program PSDS Tahun 2014 adalah kegiatan untuk memacu meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong. Dengan harapan, setidaknya 90% kebutuhan daging sapi nasional dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, dan selebihnya diimpor. Salah satu
langkah operasional yang dipilih untuk
mempercepat pencapaian tujuan PSDS tersebut adalah meningkatkan kinerja IB. Dengan mengoptimalkan jumlah akseptor IB, diharapkan dapat meningkatkan jumlah kelahiran (calving rate), memperpendek interval kelahiran (calving interval), dan meningkatkan produksi dan produktivitas ternak sapi potong (ratarata berat lahir, berat sapih dan pertambahan berat badan per hari). Kebijakan
di
bidang
perbibitan
sapi
seharusnya
diarahkan
untuk
menghasilkan ternak bibit, apakah tujuannya untuk pemurnian, persilangan ataupun konservasi suatu jenis sapi tertentu, sekaligus melestarikan kekayaan sumberdaya genetik sapi potong lokal dan asli Indonesia. IB sebagai suatu instrumen perkawinan, sangat besar peranannya untuk mencapai tujuan perbibitan sapi, baik dari aspek efisiensi penggunaan pejantan maupun dalam mempercepat penyebaran gen-gen unggul pada sapi keturunannya. Oleh karena itu, dalam penerapan IB, pelaksanaannya harus direncanakan dengan cermat, dicatat secara lengkap dan rapih sebagai alat kontrol agar tidak menyimpang dari kaidah-kaidah teknis pembibitan dan tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan perbibitan. Dari aspek ekonomi, dapat memberikan keuntungan pada peternak, dan dari aspek sosial budaya, tidak menimbulkan kekecewaan ataupun penolakan terhadap ternak sapi hasil IB. Setelah empat dekade penerapan IB, ternyata respons peternak sapi potong menunjukkan fenomena yang beragam. Selanjutnya, peternak yang telah menerima dan sangat IB-minded ternyata juga belum menunjukkan pola perilaku
54
yang diharapkan sebagai pembibit, yaitu mencatat silsilah induk sapi dan keturunannya. Dari aspek penyuluhan, sebelum teknologi IB diperkenalkan, proses perkawinan ternak sapi potong dilakukan dengan melalui kawin alami. Tidak semua peternak mempunyai sapi jantan, apalagi sapi jantan unggul sebagai “pemacek.” Oleh karena itu, dalam mengawinkan sapi ini, terjadi interaksi sosial antara peternak sapi yang hanya mempunyai sapi betina dengan peternak yang mempunyai pemacek. Masing-masing peternak mempunyai peran yang berbeda. Proses
perubahan perilaku peternak sapi potong di dalam
merespons IB sebagai suatu inovasi teknologi reproduksi bukanlah hal yang sederhana. Ada faktor-faktor latar belakang peternak sebagai peubah anteseden, yaitu yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial-budaya, ekonomi dan persepsi peternak terhadap IB sebagai cara kawin sapi yang tidak alami. Dengan meneliti masalah ini, diharapkan pemerintah lebih bijaksana dalam menerapkan kebijakan perbibitan dengan memperhatikan kepentingan peternak untuk memperoleh sapi potong yang secara ekonomis menguntungkan dan secara teknis tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma sosial-budaya yang berlaku di masyarakat. Di lain pihak, peternak juga sadar untuk berperan dalam melestarikan sumberdaya genetik sapi potong lokal dan asli Indonesia yang menjadi sumber penghidupannya. Oleh karena itu, di sini diperlukan materi penyuluhan yang dapat menjembatani antara kepentingan pemerintah dan kepentingan peternak sapi potong. SISTEM PERKAWINAN
Implementasi Kebijakan
PELAYANAN IB
KEBIJAKAN PERBIBITAN
INSEMINASI BUATAN
PETERNAK sapi potong
• Persilangan • Pemurnian • Konservasi
Peningkatan produksi, produktivitas dan populasi sapi
PENYULUHAN IB
Ruang Lingkup Penelitian Perumusan Kebijakan
Gambar 6. Keterkaitan kebijakan perbibitan sapi dan penerapan IB dalam mendukung PSDS 2014
PSDS 2014
55
56
Gambar 6 menunjukkan hubungan antara kebijakan perbibitan sapi dan implementasinya melalui penerapan IB untuk melestarikan plasma nutfah ternak asli Indonesia, sekaligus mendukung program pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014. Kerangka pemikiran penelitian implikasi kebijakan perbibitan sapi terhadap adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong, secara kesisteman disajikan pada Gambar 7. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian implikasi kebijakan perbibitan sapi terhadap adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Terdapat perbedaan karakteristik internal dan eksternal serta karakteristik usaha peternak sapi potong.
2.
Terdapat perbedaan persepsi peternak sapi potong tentang IB.
Karakteristik Internal Peternak (X1) 1.Umur 2.Tingkat pendidikan 3.Pengalaman berternak sapi 4.Motivasi menggunakan IB 5.Tingkat kekosmopolitan
Karakteristik Usaha Peternak (X2) 1.Jumlah pemilikan sapi 2.Keanggotaan dalam kelompok IB 3.Jumlah sapi yang dijual 4.Pendapatan rumah tangga
Karakteristik Eksternal Peternak (X3) 1. Kelembagaan IB 2. Keadaan sarana prasarana IB 3. Ketersediaan pasar sapi 4. Ketersediaan informasi IB
Persepsi peternak terhadap inovasi IB (Y1): Teknis 1. Jenis sapi bibit 2. Tanda-tanda fisik sapi bibit 3. Tujuan: jenis sapi baru 4. Tujuan: konservasi 5. Tujuan: final stock 6. Pelayanan inseminator Sosial-budaya 7. Norma sistem sosial 8. Kelembagaan peternak sapi 9. Struktur sosial Ekonomi 10. Peningkatan produksi hasil IB 11. Keuntungan relatif Kebijakan Pemerintah 12. Persilangan 13. Pemurnian 14. Pemurnian dan silang
Adopsi Inovasi IB (Y2): Tingkat Penerapan IB 1. Pengetahuan tanda sapi betina berahi 2. Pengamatan sapi berahi 3. Pelaporan ke inseminator 4. Pengenalan jenis sapi/semen 5. Recording Tingkat Kecepatan Adopsi IB 1. Lamanya waktu adopsi 2. Sifat inovasi 3. Sumber/saluran informasi 4. Intensitas penyuluhan
Strategi Kebijakan IB
Gambar 7. Kerangka pemikiran penelitian implikasi kebijakan perbibitan sapi terhadap adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong
57
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survai deskriptif korelasional, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian tentang fenomena perilaku petani/peternak dalam merespons suatu inovasi sudah banyak dilakukan oleh peneliti lain dengan fokus dan lokus
yang berbeda. Dengan demikian
banyak bahan bacaan mengenai peubah-peubah penelitian yang didapatkan, baik dari hasil-hasil penelitian maupun dari tori-teori yang tersedia. Peubahpeubah yang diamati terdiri dari karakteristik internal dan karakteristik eksternal serta karakteristik usaha peternak sapi potong sebagai peubah bebas (independent variable). Sedangkan persepsi, tingkat penerapan IB dan tingkat kecepatan adopsi IB peternak sapi potong adalah sebagai peubah terikat/tidak bebas (dependent variable). Unit analisis dalam penelitian ini adalah peternak sapi potong akseptor IB. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur serta Kabupaten Tabanan Provinsi Bali. Dua provinsi tersebut merupakan sentra sapi potong di Indonesia. Masing-masing kabupaten mewakili dua jenis ternak lokal, yaitu sapi PO dan Madura, serta satu ternak asli, yaitu sapi Bali. Di samping itu, tiga lokasi tersebut telah menerapkan IB dalam jangka waktu yang cukup lama. Kabupaten Lamongan merupakan sentra jenis sapi PO dengan arah kebijakan perkawinan persilangan; Kabupaten Bangkalan adalah sentra sapi jenis Madura dengan arah kebijakan perkawinan sebagian persilangan (terbatas) dan sebagian pemurnian. Sedangkan Kabupaten Tabanan merupakan sentra jenis sapi Bali, dengan arah kebijakan perkawinan pemurnian. Dengan demikian diharapkan ketiga lokasi penelitian ini dapat mewakili penerapan IB di Indomesia. Uji-coba instrumen penelitian dilaksanakan pada tanggal 4 sampai dengan 6 Desember 2009 di Kecamatan Burnei Kabupaten Bangkalan dan Kecamatan Sanbeng Kabupaten Lamongan Jawa Timur, yang melibatkan 20 responden. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) minggu, terhitung dari tanggal 11 Desember 2009 sampai dengan tanggal 23 Januari 2010 oleh tim enumerator yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Peternakan dan petugas peternakan setempat yang telah dilatih sebelumnya.
58
Populasi dan Sampel Populasi Populasi penelitian ini ialah semua peternak sapi potong akseptor IB di Kecamatan Mantub Kabupaten Lamongan, Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan dan Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Jumlah peternak sapi potong akseptor IB di ketiga lokasi tersebut adalah 14.303 orang. Sampel Pemilihan Kabupaten, Kecamatan dan Desa dilakukan secara sengaja, mengingat sifat-sifat populasi selain merupakan sentra sapi potong, juga mewakili arah kebijakan perbibitan dan jenis sapi potong yang dipelihara. Untuk itu, pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling) (Mantra dan Kasto 1989:168-170). Jumlah populasi sapi, jumlah peternak sapi potong dan penyebaran responden di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Populasi sapi, peternak dan penyebaran responden di masingmasing lokasi penelitian Kabupaten/ populasi dan peternak
Kecamatan/ peternak
Bangkalan • Populasi: 121.195 ekor • Peternak: 40.389 orang
Kec. Geger 10.191 orang
Lamongan • Populasi: 41.778 ekor • Peternak: 13.926 orang
Kec. Mantup 1.456 orang
Tabanan • Populasi: 67.127 ekor • Peternak: 14.185 orang
Kec. Penebel 2.656 orang
Total:
Desa Campor Kombangan Kompol Tegar Priya Kampak Jumlah: Sukosari Sumberbendo Mojosari Tugu Sukobendu Jumlah: Tengkudak Sengketan Tegallinggah Penatahan Wangaya Gede Pesagi Rejasa Penebel Biaung Senganan Jumlah:
Jml. Responden (orang) 32 15 18 5 10 80 16 19 12 15 18 80 5 18 5 12 6 6 6 7 10 5 80 240
Jenis Kelamin (orang) Laki-laki
Permpuan
33 13 17 5 5 73 15 18 12 14 18 77 6 17 5 11 5 6 6 7 9 5 77 227
2 5 7 1 1 1 3 1 1 1 3 13
59
Setelah penetapan Kabupaten, langkah pertama, yaitu memilih sampel Kecamatan dari masing-masing kabupaten berdasarkan jumlah terbanyak peternak sapi potongnya. Langkah kedua, yaitu memilih sampel Desa secara proporsional, yaitu 33% dari jumlah desa dalam masing-masing Kecamatan; dan yang terakhir adalah memilih peternak sapi potong sebagai responden secara acak di masing-masing desa. Dari setiap kecamatan, dipilih 80 orang peternak. Dengan demikian, jumlah peternak sapi potong sebagai sampel, seluruhnya adalah 240 orang. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis Data Menurut Suharjo (2009:1), menyatakan bahwa data adalah “kumpulan catatan tentang karakteristik atau fenomena dari obyek amatan, pada suatu kurun waktu tertentu, yang diperoleh atau diukur dengan kaidah tertentu dan dilambangkan dalam bentuk bilangan (angka) atau simbol.” Dalam penelitian ini, ada dua jenis data yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah catatan mengenai ciri atau karakteristik dari obyek amatan yang akan digunakan sebagai sumber informasi utama dalam menjawab tujuan penelitian (Suharjo, 2009:3). Data primer yang dimaksud adalah data yang berkaitan dengan (1) Karakteristik internal peternak sapi potong; (2) Karakteristik usaha peternakan sapi potong; (3) Karakteristik eksternal peternak sapi potong; (4) Persepsi peternak sapi potong tentang inovasi IB yang mencakup aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan; (5) tingkat penerapan inovasi IB; dan (6) kecepatan adopsi inovasi IB. Data sekunder adalah catatan mengenai ciri atau karakteristik dari obyek amatan atau catatan yang relevan atau berkaitan dengan obyek amatan, yang akan digunakan untuk melengkapi atau memperkaya sumber informasi utama (Suharjo, 2009:3). Data sekunder yang dikumpulkan antara lain adalah data yang berkaitan dengan keadaan umum lokasi penelitian, yaitu data geografis, demografis, keadaan peternakan sapi potong dan perkembangan IB selama lima tahun terakhir. Teknik Pengumpulan Data Data primer tersebut dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara kepada responden dengan berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan dan telah diujicobakan sebelumnya dan dari sumber lain. Di samping wawancara berdasarkan kuesioner, juga dilakukan wawancara mendalam (indepth interview)
60
tentang beberapa hal yang berkaitan dengan faktor-faktor antecedents ataupun beberapa temuan hasil analisis kuantitatif untuk memperkuat dan melengkapi data dan informasi hasil penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mendatangi dinas/instansi terkait khususnya yang menangani fungsi-fungsi peternakan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Timur dan Bali, Dinas yang menangani peternakan dan statistik di Kabupaten Lamongan, Bangkalan dan Tabanan yang mencakup data dan informasi mengenai keadaan umum lokasi penelitian, keadaan
geografis,
demografis,
keadaan
peternakan
sapi
potong
dan
perkembangan IB selama lima tahun terakhir. Untuk mempermudah proses pengumpulan data, tabulasi atau rekapitulasi dan analisis data, maka kuesioner disusun menjadi empat bagian dengan struktur sebagai berikut. 1. Karakteristik internal, ekternal dan usaha peternak sapi potong: 1.1.
Profil peternak
1.2.
Usaha peternak
1.3.
Kelembagaan dan aktivitas peternak
2. Persepsi peternak sapi potong tentang inovasi IB: 3.1.
Aspek teknis
3.2.
Aspek sosial-budaya
3.3.
Aspek ekonomi
3.4.
Aspek kebijakan pemerintah di bidang perbibitan.
3. Tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB 3.1.
Tingkat penerapan inovasi IB
3.2.
Kecepatan adopsi inovasi IB. Operasionalisasi dan Cara Pengukuran Variabel
Untuk mengukur peubah-peubah yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, masing-masing peubah tersebut terlebih dahulu diberi batasan atau definisi operasional, sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya dan batasanbatasan yang digunakan dalam memperoleh data serta menganalisanya guna penarikan simpulan. Definisi operasional, indikator dan cara pengukuran dari masing-masing peubah penelitian adalah sebagai berikut. A.
Karakteristik internal peternak sapi potong (X1) mencakup indikator: umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak sapi potong, motivasi
61
menggunakan IB dan tingkat kekosmopolitan, dengan kategori sebagai berikut: 1.
Umur peternak (X1.1) diukur dengan cara menghitung jumlah tahun sejak tanggal lahir sampai saat penelitian dilakukan dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio. Pembulatan dilakukan untuk masa enam bulan ke atas dihitung menjadi satu tahun, dan diabaikan bila kurang dari enam bulan. Kemudian
dikelompokkan menjadi tiga
kategori. 2.
Tingkat pendidikan (X1.2)
diukur dengan cara menghitung lama
pendidikan formal yang pernah ditempuh/dicapai oleh responden sampai saat penelitian dilakukan, dengan parameter tahun kelulusan dalam
satuan
tahun
menggunakan
skala
rasio.
Kemudian
dikelompokkan menjadi tiga kategori. 3.
Pengalaman beternak sapi potong (X1.3), diukur dengan menghitung lamanya responden memelihara sapi potong, sejak pertama kali memelihara sapi sampai saat penelitian dilakukan, yang dinyatakan dalam tahun menggunakan skala rasio. Dalam pengukuran ini, pembulatan dilakukan untuk masa enam bulan ke atas dihitung menjadi satu tahun, dan diabaikan bila kurang dari enam bulan, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori.
4.
Motivasi menggunakan IB (X1.4) adalah pernyataan peternak responden yang mendorong dirinya mau menggunakan teknologi IB untuk mengawinkan ternaknya. Motivasi tersebut diukur berdasarkan apakah berasal dari diri peternak sendiri atau dari luar peternak, dengan skala nominal. Kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori.
5.
Tingkat
kekosmopolitan
peternak
(X1.5)
diukur
dengan
cara
menghitung frekuensi responden pergi ke luar kecamatan dalam kurun 3 (tiga) bulan terakhir untuk memperoleh tambahan informasi tentang IB pada sapi potong, yang diukur dengan skala rasio. Kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori. B.
Karakteristik usaha peternak sapi potong (X2) mencakup indikator: jumlah pemilikan sapi, keanggotaan dalam kelompok IB, jumlah sapi yang dijual dan pendapatan rumah tangga peternak.
62
1. Jumlah pemilikan sapi (X2.1) diukur dengan cara menghitung jumlah satuan ternak (ST) sapi yang dipelihara responden pada saat penelitian dilakukan, menggunakan skala rasio. Dalam pengukuran ini, jumlah ternak yang dihitung, termasuk ternak yang statusnya bukan milik sendiri, tetapi dalam pemeliharaan responden, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori. Diukur dengan skala rasio dan dikelompokkan menjadi tiga kategori.
2. Keanggotaan dalam kelompok IB (X2.2) diukur dengan cara menanyakan kedudukan peternak dalam kelompok, apakah sebagai anggota,
bukan anggota atau pengurus kelompok dalam kurun 6
(enam) bulan terakhir, yang diukur dengan skala nominal. Kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori.
3. Jumlah sapi yang dijual (X2.3), adalah jumlah sapi yang dijual dalam kurun waktu setahun terakhir yang dinyatakan dalam satuan ternak (ST/Animal Unit), dengan skala rasio. Kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori.
4. Pendapatan rumah tangga peternak (X2.4) adalah besarnya pendapatan peternak secara keseluruhan baik yang diperoleh dari usahatani, termasuk ternak (on farm) maupun di luar usaha tani (off farm)
yang dinyatakan dalam rupiah dalam kurun waktu setahun
terakhir, dengan skala rasio. C.
Karakteristik eksternal peternak sapi potong (X3) mencakup indikator: kelembagaan IB, keadaan sarana prasarana IB, ketersediaan pasar sapi dan ketersediaan informasi IB. 1.
Kelembagaan IB (X3.1) adalah pernyataan peternak responden tentang ada dan tidak adanya kelembagaan (kelompok) IB di sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
2.
Keadaan sarana prasarana IB (X3.2) adalah pernyataan peternak responden tentang ada dan tidak adanya sarana prasarana IB di sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir . Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
3.
Ketersediaan
pasar
sapi
(X3.3)
adalah
pernyataan
peternak
responden tentang adanya tempat/lembaga untuk menjual sapi seperti pasar hewan, blantik, kelompok, pengumpul, koperasi dll yang
63
mencerminkan tentang mudah atau sulitnya menjual sapi di sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. 4.
ketersediaan informasi IB (X3.4)
adalah pernyataan peternak
responden tentang jenis-jenis sumber informasi yang tersedia seperti teman/ anggota kelompok, brosur, buku dan lain-lain, sumber informasi
sebagai
teknologi IB di sekitar daerah tempat tinggalnya
dalam kurun waktu setahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal, dengan tiga kategori. D.
Persepsi terhadap IB (Y1) mencakup (1) aspek teknis, yaitu jenis sapi bibit, tanda-tanda fisik sapi bibit, tujuan perbibitan dan pelayanan inseminator; (2) aspek sosial budaya, yaitu norma sistem sosial, kelembagaan peternak sapi dan, struktur sosial; (3) aspek ekonomi, yaitu peningkatan produksi hasil IB dan keuntungan relatif IB; (4) aspek kebijakan perbibitan, yaitu persilangan, pemurnian dan pemurnian dan silang (campuran). Aspek Teknis, mencakup persepsi: 1.
Jenis sapi bibit (Y1.1) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap jenis-jenis sapi yang dipergunakan sebagai pejantan untuk menghasilkan “semen” (mani beku). Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
2.
Tanda-tanda fisik sapi bibit (Y1.2) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri fisik sapi bibit yang baik. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
3.
Tujuan perbibitan/IB (Y1.3) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap tujuan pembibitan yang dilakukan melalui IB, baik untuk menghasilkan jenis sapi baru, final stock dan pemurnian ataupun konservasi. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
4.
Pelayanan inseminator (Y1.4) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap pelayanan IB yang diberikan oleh inseminator. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
Aspek Sosial Budaya 5.
Norma sistem sosial (Y1.5) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap teknologi IB dikaitkan dengan nilai-
64
nilai, keyakinan ataupun adat-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. 6.
Kelembagaan peternak sapi (Y1.6) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap perubahan kelembagaan peternak sapi (dinamika kelompok) dengan dikenalkannya IB. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
7.
Struktur sosial (Y1.7) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap adanya perubahan tujuan, status-peran, keyakinan
dan
jenjang
sosial
dalam
masyarakat
setelah
dikenalkannya IB. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. Aspek Ekonomi 8.
Peningkatan produksi hasil IB (Y1.8) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap hasil IB berdasarkan produksinya
seperti
berat
lahir
sapi,
berat
sapih
dan/atau
pertambahan berat badan per hari dibandingkan dengan sapi hasil kawin alam dalam satuan kilogram. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. 9.
Keuntungan relatif IB (Y1.9) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap
harga
(rupiah) sapi hasil IB
dibandingkan dengan harga sapi hasil kawin alam. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. Aspek kebijakan perbibitan 10. Persilangan (Y1.10) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap adanya kebebasan memilih jenis sapi pejantan untuk dikawinsilangkan dengan sapi induk miliknya. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. 11.
Pemurnian (Y1.11) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap tidak adanya pilihan jenis sapi pejantan untuk dikawinkan dengan sapi induk miliknya, kecuali dengan sapi sejenis induknya. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
12.
Pemurnian dan silang (campuran) (Y1.12) adalah pernyataan peternak responden tentang persepsinya terhadap tidak adanya ketentuan boleh atau tidak memilih jenis sapi pejantan untuk dikawinkan dengan sapi induk miliknya. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
65
E.
Tingkat penerapan IB (Y2.1) adalah tingkat perubahan perilaku peternak sapi potong terhadap cara perkawinan sapinya yang ditunjukkan oleh berapa banyak komponen inovasi IB yang terdiri dari aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah dimiliki/diterapkan oleh peternak sapi potong, mencakup indikator:
1. Pengetahuan tanda sapi betina berahi (Y2.11) adalah pernyataan peternak responden yang menunjukkan pengetahuannya tentang tanda-tanda sapi berahi (minta kawin). Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
2. Pengamatan sapi berahi (Y2.12) adalah pernyataan peternak responden tentang tingkat kemampuan peternak untuk memperhatikan sapi induk miliknya apakah sapi induknya tersebut menunjukkan tanda-tanda berahi atau tidak yang diukur berdasarkan frekuensi perhatiannya menggunakan skala ordinal.
3. Pelaporan ke inseminator (Y2.13) adalah pernyataan peternak responden tentang tindakan peternak ketika melihat sapi induknya menunjukkan
tanda-tanda
berahi,
apakah
segera
melapor
ke
inseminator atau tidak yang diukur berdasarkan frekuensi melapor sejak sapinya diketahui menunjukkan tanda berahi,
menggunakan
skala ordinal.
4. Pengenalan jenis sapi/semen (Y2.14) adalah pernyataan peternak responden tentang sikap peternak ketika melapor ke inseminator bahwa sapi miliknya menunjukkan tanda-tanda berahi, apakah peternak selalu meminta jenis sapi/semen tertentu yang diinginkan atau
tidak
kepada
inseminator.
Diukur
berdasarkan
frekuensi
permintaannya menggunakan skala ordinal.
5. Recording (Y2.15) adalah pernyataan peternak responden tentang sikap peternak dalam melakukan aktivitas inseminasi buatan tersebut selalu
dicatat
atau
tidak
yang
diukur
berdasarkan
frekuensi
pencatatannya terhadap tanggal perkawinan, jenis sapi/semen, nama sapi dan tanggal lahir, menggunakan skala ordinal. F.
Kecepatan adopsi inovasi (Y2.2) adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh peternak sapi potong sejak adanya kepedulian (awareness) dan ketertarikan
terhadap
IB
sampai
dengan
menggunakan IB, yang mencakup indikator:
mengambil
keputusan
66
1. Lamanya waktu adopsi (Y2,21) adalah waktu yang dibutuhkan oleh peternak sapi potong sejak peduli (awareness) dan tertarik terhadap IB sampai dengan mengambil keputusan menggunakan IB dalam satuan tahun dengan skala ratio.
2. Sifat inovasi IB (Y2.21) adalah karakteristik inovasi mencakup dimensi kelebihan/keutamaan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat dicoba dan dapat dilihat yang diukur berdasarkan jumlah sifat yang dipertimbangkan dalam mengadopsi IB dengan menggunakan skala ordinal
3. Sumber/saluran informasi tentang IB (Y2.22) adalah pernyataan peternak responden tentang banyaknya jenis sumber informasi yang digunakan dalam mengadopsi teknologi IB yang terdapat di sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal.
4. Intensitas penyuluhan (Y2.23) adalah pernyataan peternak responden tentang frekuensi
penyuluhan IB yang dilakukan oleh petugas di
sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. Uji Kesahihan (Validitas) Menurut Ancok (1989:123-131), validitas menunjukkan sejauhmana alat pengukur
itu mengukur apa yang ingin diukur. Lebih jauh dikatakan bahwa
validitas ini digolongkan dalam beberapa jenis yaitu (1) validitas konstruk, yaitu berkaitan dengan kerangka suatu konsep, (2) validitas isi, yaitu sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap aspek kerangka konsep, (3) validitas eksternal, yaitu dengan memanfaatkan alat pengukur yang telah diciptakan oleh para peneliti sebelum-nya dan alat pengukur ini telah teruji validitasnya, (4) validitas prediktif, yaitu alat pengukur yang dibuat oleh peneliti dan berfungsi untuk memprediksi apa yang akan terjadi dan (5) validitas budaya, yaitu validitas antar budaya. Hal ini sangat penting, khususnya di Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa dan adat-istiadat yang bervariasi. Untuk memperoleh data sesuai dengan yang diharapkan, maka instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data, perlu diuji kesahihan (validitas) isinya. Metode yang digunakan adalah dengan menyesuaikan isi kuesioner dengan:
67
1.
Kajian-kajian pustaka yang berkaitan dengan konsep teoritis mengenai karakteristik internal, eksternal dan usaha peternak sapi potong, persepsi peternak tentang IB dan proses adopsi inovasi IB.
2.
Hasil penelitian relevan yang pernah dilakukan peneliti sebelumnya sebagai pembanding. Uji Keterandalan (Reliabilitas) Keterandalan (reliabilitas) adalah indeks yang menunjukkan tingkatan suatu
alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Jika suatu alat pengukur dipakai dua kali (untuk mengukur fenomena yang sama) dan hasilnya relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel (Ancok 1989: 140). Untuk mencapai hal tersebut, dilakukan uji keterandalan instrumen dengan teknik ”belah dua,” dengan rumus sebagai berikut:
2 (r.tt) r.total = 1 + r.tt Keterangan: r.total = angka reliabilitas keseluruhan item r.tt = angka korelasi belahan pertama dan belahan kedua Uji coba kuesioner terhadap 20 responden dilakukan di Kec. Burnei Kab. Bangkalan dan Kec. Sanbeng Kab. Lamongan tanggal 4-6 Desember 2009. Hasil analsis menggunakan teknik split-half reliability test atau uji belah tengah menghasilkan korelasi Cronbach’s Alpha sebesar 0,586 untuk karakteristik internal peternak sapi potong, 0,615 untuk karakteristik eksternal peternak sapi potong dan 0,508 untuk persepsi peternak sapi potong terhadap IB. Hasil uji realibilitas secara simultan seluruh variabel penelitian menghasilkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,704. Menurut Kusnendi (2008:96), suatu instrumen diindikasikan memiliki reliabilitas yang memadai jika koefisien alpha Cronbach lebih besar atau sama dengan 0,70. Analisis Data Data penelitian yang
telah dikumpulkan dilakukan tabulasi untuk
selanjutnya dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu secara umum untuk mengetahui tingkat dan kecepatan adopsi inovasi IB berdasarkan karakteristik internal, usaha dan eksternal serta persepsi peternak sapi potong. Secara khusus adalah, untuk (1) mengidentifikasi dan menganalisis data deskriptif
68
karakteristik internal, eksternal dan karakteristik usaha peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap IB; (2) menganalisis keragaman data deskriptif antar lokasi penelitian; (3) membangun model yang dapat menjelaskan pola keterkaitaan faktor-faktor yang terkait dengan penerapan IB pada peternak sapi potong; dan (4) memanfaatkan hasil penelitian untuk merancang strategi kebijakan IB dengan menggunakan analisis SWOT. Beberapa uji statistik yang digunakan untuk menganalisis data adalah (1) analisis deskriptif; (2) Analisis tes U Mann-Whitney
dan Kruskal-Wallis
digunakan untuk menguji perbedaan rataan beberapa sampel; dan (3) Analisis Structural Equation Modeling (SEM) untuk membangun model dan menjelaskan pola keterkaitan faktor-faktor yang terkait dalam penerapan IB. Khusus untuk merancang strategi kebijakan di bidang IB, digunakan SWOT anaysis. Dipilihnya teknik SEM ini adalah (a) untuk memperluas kemampuan eksplanatori dan efisiensi statistik; (b) karena peubah bersifat latent (tidak dapat diamati atau diukur secara langsung), tetapi melalui indikator-indikatornya; dan (c) mampu menganalisis peubah laten, peubah indikator dan kesalahan pengukuran secara langsung (Supranto 2004:219 & Sitinjak dan Sugiarto 2006:1). Program komputasi yang digunakan adalah SPSS 17 untuk analisis deskriptif dan uji beda antaran lokasi penelitian. Sedangkan untuk SEM menggunakan program linear structural relationship (LISREL). Model struktural menurut Bollen (1989:13) dinyatakan sebagai:
η = Bη + Γξ + ξ Keterangan: η : vektor peubah laten endogen yang berukuran m x 1 B : matriks koefisien peubah laten endogen yang berukuran m x m Γ : matriks koefisien peubah laten endogen yang berukuran m x n ξ : vektor sisaan error peubah endogen yang berukuran m x 1 Pada dasarnya vektor-vektor η dan ξ tidak dapat diukur atau diamati secara langsung, oleh karena itu diukur melalui indikator-indikator dalam bentuk vektorvektor y = (y 1 , y 2 , y 3 , ....y p ) dan x = (x 1 , x 2 , x 3 , ......x q ). Model pengukurannya (Bollen,1989) adalah: y = Λyη + ε x = Λxξ + δ
69
dengan ε dan δ adalah vektor-vektor galat pengukuran y dan x. Λ y adalah matriks koefisien regresi antara y terhadap η yang berukuran p x m dan Λ x adalah matriks koefisien regresi antara x dan ξ yang berukuran q x n. Pada model ini diasumsikan memenuhi kriteria bahwa ε tidak berkorelasi dengan η, δ tidak berkorelasi dengan ξ, ξ tidak berkorelasi dengan ξ, cov(ξ)=Φ (nxn) , cov(ξ)=Ψ (mxm) , cov(ε)Θ ɛ(pxp) dan cov (δ)=Θ (qxq) . Asumsi tersebut berimplikasi terhadap matriks koragam bagi peubah pengamatan. Matriks koragam ∑ (Salim 2009:7) dari indikator-indikator x dan y dapat ditulis sebagai berikut:
dimana: ∑ yy adalah matriks koragam bagi peubah pengamatan y yang dapat ditulis: ∑ yy = Λ y (I-B)-1(ΓΦΓ’+Ψ)[(I-B)-1]Ấ y +Θε ∑ yx adalah matriks koragam bagi peubah pengamatan y dan x yang dapat ditulis: ∑ yx = Λ y (I-B)-1ΓΦẤ x Sedangkan ∑ xy adalah matriks putaran dari ∑ yx , serta matriks koragam bagi peubah pengamatan x adalah: ∑ xy = Λ x ΦẤ x +Θ sehingga dapat ditunjukkan bahwa koragam ∑ merupakan fungsi dari parameter, selanjutnya dapat dituliskan sebagai:
ΛyΛ(ΓΦΓ’+Ψ)Α’ΛyΘε ΛyΑΓΦΛx =
ΛxΦΓΑΛy
ΛΦΛx+Θδ
-1
Dengan A=(I – B) Identifikasi Parameter
Identifikasi parameter diperlukan untuk
menentukan apakah dapat
dilakukan pendugaan dengan solusi tunggal atau tidak bagi parameter-parameter θ = [Λ x ,Λ y ,B,Γ,ΦεΘ,Θδ ] pada ∑(θ). Metode dua langkah dapat digunakan untuk mengidentifikasi parameter model umum persamaan struktural (Bollen, 1989). Langkah pertama adalah memperlakukan model sebagai model pengukuran murni, selanjutnya diperiksa apakah parameter model memenuhi kondisi berikut ini: 1. Setiap baris matriks Λ x hanya mengandung satu nilai bukan nol,
70
2. Paling sedikit terdapat dua indikator untuk setiap faktor laten, 3. ø ij ≠ 0 untuk paling sedikit sepasang i ≠ j; ø ij adalah elemen matriks Φ 4. Θ adalah matriks diagonal Langkah kedua adalah identifikasi parameter-parameter struktural B, Γ, Ψ dengan aturan rekursif yaitu B harus merupakan matriks segitiga, dan Ψ adalah matriks diagonal. Aturan dua langkah merupakan syarat cukup tetapi bukan syarat perlu bagi identifikasi model. Hal ini berarti model yang tidak memenuhi aturan dua langkah masih mungkin untuk dapat diidentifikasi. Pendugaan Parameter Model Tujuan pendugaan adalah untuk menduga nilai parameter model dari matriks koragam contoh S. Syarat perlu (necessary condition) bahwa model dapat
diduga jika
derajat
bebasnya
>
0.
Perhitungan
derajat
bebas
menggunakan: df = ½[(p + q)(p + q + 1)] - t dengan p : banyaknya indikator peubah eksogen q : banyaknya indikator peubah endogen t : banyaknya indikator peubah model yang diduga Dalam pendugaan parameter model, nilai awal parameter bebas dipilih supaya menghasilkan dugaan matriks koragam populasi terhadap matriks koragam sampel. Perbedaan kedua matriks tersebut diharapkan relatif kecil agar menghasilkan penduga yang konsisten. Matriks koragam populasi dari Lisrel tidak dapat diduga langsung, karena η dan ξ bukan merupakan peubah pengamatan dari suatu hasil pengukuran. Pendugaan matriks koragam populasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode pendugaan melalui beberapa tahap. Dengan asumsi bahwa sebaran dari peubah-peubah pengamatan dapat digambarkan oleh vektor nilai tengah dan matriks koragam, maka masalah pendugaan secara substansial merupakan pengepasan matriks ∑ (θ) dengan matriks koragam contoh S. Misalkan fungsi pengepasan dinyatakan dengan F(S,∑(θ)) yakni suatu fungsi yang tergantung pada S dan ∑ (θ). Beberapa sifat fungsi pengepasan (Bollen, 1989) ini adalah: 1. F(S,∑(Ø)) adalah besaran skalar, 2. F(S,∑(Ø)) > 0, 3. F(S,∑(Ø)) = 0 jika dan hanya jika ∑ = S, 4. F(S,∑(Ø)) adalah fungsi kontinu dalam S dan ∑(0)
71
Metode Kuadrat Terkecil Tanpa Pembobot (Unweighted Least Squares) Metode yang digunakan untuk menduga parameter dalam penelitian ini adalah metode ULS (Unweighted Least Squares). Metode ULS dipilih karena asumsi-asumsi yang digunakan lebih fleksibel. Fungsi pengepasan metode ULS (Bollen, 1989) dinyatakan oleh: FULS = (1/2) tr [(S-∑(θ))2]
Fungsi F ULS meminimumkan setengah jumlah kuadrat dari masing-masing unsur matriks sisaan (s – ∑(θ)). Hal ini dapat dianalogikan sebagai metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least squares: OLS). Metode OLS meminimumkan jumlah sisaan, yaitu galat antara nilai pengamatan peubah tak bebas dengan nilai dugaan. Sementara F ULS meminimumkan jumlah kuadrat masing-masing unsur dalam matriks sisaan (S – ∑(θ)). Matriks sisaan ini memuat selisih antar koragam contoh dengan nilai-nilai dugaannya. Evaluasi dan Modifikasi Model 1.
Tes khi-kuadrat (Chi-Square test) Hipotesis yang diuji adalah H 0 : ∑= ∑(θ) lawan H 1 : ∑≠ ∑(θ) dengan ∑ adalah matriks koragam populasi dan ∑(θ) adalah matriks hasil dugaan. Untuk menguji hipotesis di atas digunakan uji X2 yaitu hasil perkalian (n-1) dengan nilai terkecil dari fungsi pengepasan WLS. Statistik uji dibandingkan dengan X2 tabel pada taraf 5%. Jika X 2 > X 2 db, 0,05 maka H 0 ditolak.
2.
GFI (Goodness of Fit Index) dan AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) GFI mengukur besarnya keragaman dalam matriks koragam data S yang dapat diterangkan oleh ∑(θ), yaitu keragaman yang dinyatakan dalam model. GFI (Salim 2009:10) diperoleh dari rumus berikut: tr [(∑Λ-1S-1)2] GFI = 1-
tr [(∑Λ-1S)2]
Aturan praktis untuk kelayakan sebuah model adalah nilai GFI hendaknya lebih besar dari 0,90. Rumus AGFI diperoleh sebagai berikut: k(k+1) AGFI = 1-
[1-GFI], 2df
72
dengan k adalah banyaknya indikator dan df adalah derajat bebas. Derajat bebas (Hair et al. 1998) dihitung dengan menggunakan rumus:
df =
2
½[(p+q)(p+q+1)] – t. AGFI analog dengan R pada model regresi. Pada model ini disarankan nilai AGFI-nya lebih besar 0,90. Bollen (1989) mengungkapkan bahwa nilai GFI dan AGFI cenderung meningkat seiring dengan peningkatan ukuran contoh. Nilai harapan GFI dan AGFI akan menurun dengan semakin sedikitnya indikator per faktor laten, khususnya pada ukuran data kecil. 3. NCP (Noncentrallity Scaled Parameters) NCP merupakan ukuran kesesuaian yang melengkapi kelemahan metode khi-kuadrat. Secara teori, ukuran khi-kuadrat tidak terpusat lebih tegar terhadap ukuran contoh apabila dibandingkan dengan khi-kuadrat biasa. Formula bagi NCP adalah NCP = X 2 – db (Hair, et. al. 1998) 4. RMSR (Root Mean Square Residual) RMSR (Salim 2009:11) didefinisikan sebagai:
dengan: p = banyaknya indikator bagi peubah laten endogen, q = banyaknya indikator bagi peubah laten eksogen, s ij = unsur matriks S, σ = unsur matriks ∑ RMSR merupakan ukuran rata-rata kuadrat sisaan, semakin besar nilainya semakin buruk dalam pengepasan model dan begitu pula sebaliknya. Nilai yang dianjurkan untuk Standardized RMSR adalah < 0.05. 5. RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) RMSEA adalah alternatif ukuran kesesuaian model yang diperlukan untuk mengurangi kesensitifan X2 terhadap ukuran sampel. Nilai yang dianjurkan untuk SMSEA adalah < 0.08 dihitung dengan rumus:
73
6. TLI (Tucker-Lewis Index) Rumus TLI sebagai berikut:
Nilai yang dianjurkan untuk TLI adalah > 0,90.
7. NFI (Normed Fit Index) Nilai NFI merupakan besarnya ketidakcocokan antara model target dengan model dasar. Nilai yang dianjurkan untuk NFI adalah > 0,90. Formula bagi NFI adalah:
8. PNFI (Parsimonious Normed Fit Index) PNFI merupakan modifikasi dari NFI. PNFI memperhitungkan besaran derajat bebas yang digunakan untuk mencapai tingkat kesesuaian. Parsimony didefinisikan sebagai pencapaian tingkat kesesuaian yang lebih tinggi pada setiap derajat bebas. Semakin tinggi nilai PNFI, maka semakin baik model yang diusulkan. Formula PNFI adalah sebagai berikut:
9. PGFI (Parsimonious Goodness of Fit Index) Formula PGFI adalah sebagai berikut:
Semakin tinggi nilai PGFI yang dihasilkan, maka semakin baik modelnya.
74
10. Construct Reliability Reliabilitas merupakan ukuran kekonsistenan peubah indikator dalam mengukur
peubah
latennya.
Pemeriksaan
terhadap
kekonsistenan
pengukuran ini dilakukan terhadap peubah laten (construct reliability) untuk menilai kekonsistenan pengukuran keseluruhan peubah indikator yang mengukur peubah laten dan terhadap masing-masing peubah indikator. Formula construct reliability adalah:
11. Variance Extracted Ukuran kekonsistenan lain yang dapat digunakan adalah variance extracted. Ukuran ini menggambarkan besar keragaman peubah-peubah indikator yang dapat dikandung oleh peubah laten. Formula variance extracted adalah:
Sebuah konstruk mempunyai reliabilitas yang baik jika nilai construct reliability (CR)-nya > 0.70 dan nilai variance extracted (VE)-nya > 0.50. 12. Validitas Validitas berhubungan dengan apakah suatu peubah mengukur apa yang sebenarnya diukur. Validitas dalam penelitian menyatakan derajat ketepatan alat ukur penelitian terhadap isi atau arti sebenarnya yang diukur. Kusnendi (2008:108) menyatakan bahwa suatu peubah dikatakan mempunyai validitas yang baik terhadap peubah lainnya, jika: a)
Nilai t muatan faktornya lebih besar dari nilai t kritis (>1,96).
b)
Muatan faktor standarnya > 0.70
Kusnendi (2008:111), menyatakan bahwa muatan faktor standarnya > 0.50 adalah sangat signifikan. Secara umum prosedur penerapan SEM menurut Sitinjak dan Sugiarto (2006:63-73) dan Kusnendi (2008:279-286) adalah sebagai berikut: 1)
Spesifikasi model (model specification) adalah (a) merumuskan model berbasis teori sehingga dapat diidentifikasi variabel laten eksogen-endogen, argumen teoritis hubungan kausal antar variabel laten, serta indikator-
75
indikator atau variabel manifes eksogen dan endogen; (b) menterjemahkan model menjadi diagram jalur dan (c) mengkonversikan diagram jalur menjadi persamaan (Gambar 8). 2)
Identifikasi (identification). Dalam identifikasi model, dapat ditentukan apakah model bersifat under, just atau over-identified.
3)
Estimasi (estimation). Estimasi parameter model adalah memilih data input, metode estimasi dan strategi estimasi parameter model.
4)
Uji kecocokan (testing fit) dengan menggunakan pendekatan dua tahap, yaitu uji model pengukuran, kemudian uji basic atau hybrid model.
5)
Respesifikasi model (model re-specification) adalah tahap perbaikan model dan interpretasi hasil. Modifikasi model didasarkan justifikasi teoritis tertentu. Interpretasi hasil dilakukan dalam rangka menjawab masalah penelitian yang diajukan.
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4
Y2.11
Karakteristik internal peternak (X1)
Tingkat penerapan IB (Y2.1)
Y2.12 Y2.13 Y2.14 Y2 15
X1.5
Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5
X2.1 X2.2 X2.3 X2.4
Y1.6
Karakteristik usaha peternak (X2)
Y1.7
Persepsi peternak terhadap adopsi inovasi IB (Y1)
Y1.8 Y1.9 Y1.10
X3.1 X3.2 X3.3 X3.4
Y1.11
Karakteristik eksternal peternak (X3)
Y2.11
Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (Y2.2)
Y2.12 Y2.13 Y2.4
Gambar 8. Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian
Y1.12 Y1.13 Y1.14
76
Berikut adalah hipotesis penelitian dan uji statistik yang digunakan. Hipotesis 1: “Terdapat perbedaan
karakteristik internal dan eksternal serta
karakteristik
usaha peternak sapi potong.” Hipotesis 1 dianalisis dengan Kruskal Wallis dan Mann-Whitney U tes. Hipotesis 2: “Terdapat perbedaan persepsi peternak sapi potong tentang IB.” Hipotesis 2 dianalisis dengan Kruskal Wallis dan Mann-Whitney U tes. Model hubungan antar faktor-faktor terkait dalan penerapan IB dapat dilihat pada gambar 9 berikut. δ
λ
λ
y
ε Y2.11 Y2.12
Tingkat penerapan IB (Y2.1)
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4
Y2.13 Y2.14 Y2 15
Karakteristik internal peternak (X1)
Y1.1 Y1.2
X1.5
Y1.3 Y1.4 Y1.5
X2.1 X2.2 X2.3
Karakteristik usaha peternak (X2)
Persepsi peternak terhadap adopsi inovasi IB (Y1)
X2.4
Y1.6 Y1.7 Y1.8 Y1.9 Y1.10 Y1.11
X3.1 X3.2 X3.3 X3.4
Y1.12
Karakteristik eksternal peternak (X3)
Y1.13 Y1.14
Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (Y2.2)
Y2.11 Y2.12 Y2.13 Y2.4
Gambar 9. Model hubungan antar faktor-faktor terkait dalam penerapan IB
77
Di samping analisis kuantitatif, dalam penelitian ini juga dilakukan analisis kualitatif melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara mendalam (indepth interview) kepada beberapa narasumber, yaitu tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, budayawan lokal dan mantan mantri ternak, untuk memperoleh informasi lebih lengkap dan mendalam tentang hal-hal yang terkait dengan penelitian ini, penelitian.
khususnya aspek sosial budaya masyarakat di lokasi
79
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian mencakup dua provinsi, yaitu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali. Gambaran umum tentang kondisi fisik pertanian daerah penelitian mencakup beberapa aspek, yaitu geografis, topografi, demografi, batas-batas wilayah, iklim, jenis tanah dan kekayaan flora dan fauna yang terkait dengan pertanian. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di pulau Jawa dengan luas wilayah 47.921 km2 (2,5% dari luas wilayah Indonesia) terbagi dalam 29 Kabupaten dan sembilan kota dengan jumlah penduduk 37,1 juta. Di antara 29 kabupaten tersebut adalah Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bangkalan yang terletak di pulau Madura sebagai daerah penelitian. Sedangkan pulau Bali, yang berlokasi sekitar dua kilometer dari ujung timur pulau Jawa, mempunyai luas wilayah 5.632 km2 (0,3% dari luas wilayah Indonesia) terbagi dalam delapan Kabupaten dan satu kota. Jumlah penduduk pulau Bali 3,55 juta. Kabupaten Tabanan merupakan salah satu kabupaten yang dipilih sebagai lokasi penelitian. Pembangunan Peternakan di Provinsi Jawa Timur dan Bali Sebaran populasi ternak di Indonesia sebagian besar terkonsentrasi di pulau Jawa. Untuk populasi ternak sapi potong, sapi perah dan ayam ras petelur terbanyak di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun untuk populasi sapi potong tertinggi di Jawa Timur, yaitu 3.384.902 ekor atau 27,62% dari populasi sapi potong di Indonesia (Ditjennak 2009b:76). Jenis sapi terbanyak masih didominasi oleh sapi PO, turunan Limousin dan Simental dan sebagian kecil turunan Brahman dan Brangus. Hasil survei rumah tangga peternakan nasional tahun 2008 (BPS 2009:59) mengungkapkan, jumlah rumah tangga yang mengusahakan sapi potong di Jawa Timur sebanyak 1.235.292 RT (36,17% dari seluruh RT yang mengusahakan sapi potong di Indonesia), sekaligus terbanyak dibanding dengan provinsi lain di Indonesia. Rata-rata pemilikan sapi potong adalah 2,7 ekor. Luas lahan rata-rata yang dikuasai oleh peternak di Jawa Timur relatif kecil dibanding dengan provinsi lain, yaitu 3.111m2 (rata-rata nasional 6.383 m2). Provinsi Bali yang merupakan wilayah pemurnian sapi Bali, mempunyai populasi 668.065 ekor atau 5,5% dari populasi sapi potong nasional (Ditjennak 2009b:76) dengan jumlah rumah tangga yang mengusahakan sapi potong sebanyak 150.501 RT (4,3% secara nasional). Rata-rata pemilikan sapi adalah
80
4,4 ekor, lebih banyak dari rata-rata pemilikan sapi di Jawa Timur. Luas lahan rata-rata yang dikuasai peternak di Provinsi Bali adalah 8.700 m2, lebih luas dari rata-rata secara nasional. Kabupaten Bangkalan. --Kabupaten Bangkalan terletak di ujung paling barat pulau Madura, pada posisi 60-70 Lintang Selatan dan 1120-1130 Bujur Timur, dengan luas wilayah 1.144 km2. Di bagian utara, berbatasan dengan Laut Jawa, di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Sampang dan Selat Madura di bagian selatan dan barat. Jumlah penduduk Kabupaten Bangkalan pada tahun 2005 adalah 926.559 jiwa dengan kepadatan 774 jiwa/km2. Kabupaten Bangkalan mempunyai topografi (a) daerah landai (kemiringan 0-2%) seluas 68.454 ha (54.25%); (b) daerah berombak (kemiringan 2-15%) seluas 45.236 ha (35%); (c) daerah bergelombang (kemiringan 15-40%) seluas 11.773 ha (9,33%) dan (d) daerah berbukit (kemiringan >40%) seluas 719 ha (0,57%). Sebagian besar penduduk di Kabupaten Bangkalan pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang, tetapi khusus di lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Geger, pada umumnya sebagai petani dan memelihara sapi sebagai “harta karun.” Pada mulanya, masyarakat madura di Bangkalan menolak inovasi IB, baik dari aspek teknis, jaminan hasilnya maupun aspek sosial-budayanya. Teknologi IB, menurut mereka tidak ada “kitab”-nya (maksudnya mungkin tidak ada rujukannya dalam kitab “Kuning”/agama). Pertama kali IB diperkenalkan sebagai percontohan, dilakukan di Kecamatan Socah Bangkalan pada tahun 1974, yaitu menyilangkan sapi Madura dengan sapi dari Australia, yaitu jenis Santa Gertrudis, yang hasilnya dikenal sebagai sapi Madrali Walaupun
(Madura-Australi).
sapi hasil persilangan ini mempunyai fenotip yang lebih baik, tetapi
ditolak oleh masyarakat madura karena tidak dapat digunakan karapan. Pada tahun 1991 kembali dicanangkan program IB di Madura yang dipusatkan di kepulauan Sapudi. Pada tahun 1992 dibuat demplot persilangan sapi Madura dengan pejantan jenis Limousin di Kabupaten Sumenep, yang hasil silangannya disebut sebagai sapi Madrasin (Madura-Limousin). Khusus di
Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan, IB dengan meng-
gunakan pejantan Limousin baru diterima oleh masyarakat pada tahun 2002. Jumlah populasi sapi di Kabupaten Bangkalan adalah 121.195 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 40.398 orang.
81
Kabupaten Lamongan. --Secara geografis Kabupaten Lamongan terletak pada koordinat 6051’54’’ – 7023’06’’ Lintang Selatan dan 112034’45’’ - 112033’45’’ Bujur Timur. Luas wilayah 1.812,80 km2 dengan panjang garis pantai 47 km. Jumlah penduduk Kabupaten Lamongan pada tahun 2005 adalah 1.261.972 jiwa dengan kepadatan 682 jiwa/km2. Daratan Kabupaten Lamongan dibelah oleh Sungai Bengawan Solo, dan secara garis besar daratannya dibedakan menjadi tiga karakteristik, yaitu (1) bagian tengah selatan merupakan daratan rendah yang relatif agak subur, membentang dari Kecamatan Kedung-pring, Babat, Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung Sugio, Maduran, Sarirejo dan Kembangbahu; (2) bagian selatan dan utara merupakan pegunungan kapur berbatu-batu dengan kesuburan sedang. Kawasan ini mencakup Kecamatan Mantub, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Sukarame, Modo, Brondong, Paciran dan Solokuro; dan (3) bagian tengah utara merupakan daerah Bonorowo yang merupakan daerah rawan banjir. Kawasan ini meliputi Kecamatan Sekaran, Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Turi, Karangbinangun dan Glagah.
Batas wilayah administratif
Kabupaten Lamongan adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik. Sebelah selatan dengan Kabupaten Jombang dan Mojokerto, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Tataguna tanah di Kabupaten Lamongan adalah sebagai berikut: baku sawah (PU) 44,08 ha, baku sawah tidak resmi (non-PU) 8.168,56 ha, sawah tadah hujan 25.407,80 ha. Tegalan 32.844,33 ha, pemukiman 12.418,89 ha, tambak/kolam/waduk 3.497,72 ha, kawasan hutan 32.224,00 ha, kebun campuran 212,00 ha, rawa 1.340,00 ha, tanah tandus/kritis 889,00 ha dan lainlain 15.092.51 ha. Sebagian besar penduduk Kabupaten Lamongan mempunyai mata pencaharian sebagai petani, dimana beternak sapi potong merupakan usaha sampingan. Jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Lamongan adalah 41.778 ekor dengan jumlah peternak 13.926 orang. Pelaksanaan IB di Kabupaten Lamongan berlangsung sejak tahun 1981 bersamaan dengan adanya inseminator. Sampai tahun 1995, sapi yang digunakan sebagai induk untuk disilangkan dengan jenis sapi impor (Limousin, Simental, Brangus, Brahman) adalah sapi PO/Putih. Saat ini hampir 99% sapi induk yang ada merupakan keturunan pertama sampai ketiga dari hasil persilangan dengan Limousin.
82
Kabupaten Tabanan. --Kabupaten Tabanan terletak di bagian selatan Pulau Bali yang merupakan salah satu dari beberapa kabupaten yang ada di Provinsi Bali memiliki daerah pegunungan dan pantai dengan batas wilayah: sebelah utara merupakan daerah pegunungan yang berbatasan dengan Kabupaten Buleleng; sebelah timur dengan Kabupaten Badung; sebelah selatan adalah Samudra Indonesia dan sebelah barat dengan Kabupaten Jembrana. Secara geografis Kabupaten Tabanan berada pada posisi 8014’30’’- 8030’70’’ Lintang Selatan dan 114054’52’’ – 115012’57’’ Bujur Timur. Luas Kabupaten Tabanan sebesar 839,33 km2 atau 14,90% dari luas Provinsi Bali (5.632,39 km2). Terdiri dari 10 kecamatan dan 446 desa/kelurahan. Jumlah penduduk pada tahun 2008 adalah 416.721 jiwa, dengan kepadatan 497 jiwa/km2. Penguasaan lahan terdiri dari 226,39 km2 (26,97%) merupakan lahan persawahan, 512,88 km2 (61,11%) merupakan lahan pertanian bukan sawah. Sedangkan sisanya 6,67% merupakan lahan/tanah pekarangan rumah dan 5,25% merupakan lahan lainnya. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Tabanan (46,1% dari penduduk berumur 15 tahun yang bekerja) mempunyai mata pencaharian berusahatani dan memiliki sapi sebagai komplemen utama. Jumlah populasi sapi di Kabupaten Tabanan adalah 67.127 ekor dengan jumlah peternak 14.185 orang. Melakukan budidaya sapi bagi masyarakat Bali, yang sebagian besar beragama Hindu (95,5%), merupakan bagian dari keyakinan agamanya, yaitu yang bersumber dari kitab Weda. Kondisi Peternakan Sapi Potong Secara nasional populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2008 berjumlah 12,26 juta ekor. Sapi potong ini terdiri dari berbagai jenis, yaitu sapi Bali 4,19 juta ekor, PO 2,47 juta, Limousin 2,13 juta, Simental 1,22 juta, Brahman 0,70 juta dan sapi lokal lainnya (sapi Madura, Aceh, Pesisir dll.) 1,96 juta. Provinsi Jawa Timur merupakan daerah ternak terpadat di Indonesia, khususnya ternak sapi. Sekitar 3,38 juta sapi (27,62%) dari populasi sapi di Indonesia berada di daerah Provinsi Jawa Timur (Ditjennak 2010:13 dan Ditjennak 2009b: 76). Sebagian besar jenis sapi yang ada di daerah tersebut adalah sapi PO (Peranakan Ongole) dan keturunan Simental dan Limousin serta sekitar 580.178 ekor merupakan sapi Madura yang tersebar di pulau Madura dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Sapi PO merupakan hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi SO (Sumba Onggole), sedangkan sapi Madura merupakan keturunan hasil
83
persilangan antara sapi Zebu dan Banteng. Sapi PO dan Madura ini telah ditetapkan sebagai sapi lokal Indonesia karena sudah lama beradaptasi dengan lingkungan di wilayah tersebut. Salah satu jenis sapi asli Indonesia adalah sapi Bali. Sapi Bali ini merupakan hasil domestifikasi dari Banteng (Bibos banteng atau Bos sondaicus). Sentra sapi Bali adalah di Pulau Bali, dengan populasi sekitar 655.028 ekor. Di samping Pulau Bali, sapi ini juga banyak tersebar di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, dan sebagian kecil di Sumatera dan Kalimantan. Untuk menjaga kemurnian dan pelestarian sapi Bali sebagai plasma nutfah asli Indonesia, Pulau Bali telah ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali. Dengan kata lain, pulau Bali tertutup untuk masuknya jenis sapi lain untuk disilangkan dengan sapi Bali. Selain Pulau Bali ada beberapa daerah lain yang telah ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali seperti di beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Di luar wilayah yang disebut di atas, sapi Bali saat ini mulai banyak disilangkan dengan sapi jenis lain, seperti sapi Brahman, Simental dan Limousin. Identifikasi Karakteristik Internal, Eksternal, Usaha dan Persepsi Peternak Sapi Potong Identifikasi terhadap faktor karakteristik internal, eksternal, usaha dan persepsi peternak sapi potong dimaksudkan untuk mengetahui keragaman berdasarkan perbedaan ataupun persamaan indikator-indikator pembentuk konstruk
sebagai
peubah
laten
dari
masing-masing
lokasi
penelitian.
Berdasarkan keragaman yang terdapat di ketiga lokasi penelitian ini, maka dibuat model yang dapat menjelaskan pola keterkaitaan faktor-faktor
yang terkait
dengan penerapan IB pada peternak sapi potong di Indonesia. Karakteristik Internal Peternak Sapi Potong Salah satu faktor yang mempengaruhi proses adopsi inovasi IB adalah individu, dalam hal ini adalah peternak sendiri. Faktor individu yang mempengaruhi adalah merupakan kombinasi dari sifat-sifat yang diturunkan (inherited characteristics) dan pengalaman belajar (learned experiences) (Lionberger & Gwin 1982:8). Beberapa faktor individu (personality variables) yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi (perubahan), menurut Rogers (2003:272-274), mencakup (1) rasa empati, (2) sikap dogmatis, (3) kemampuan melakukan abstraksi, (4) rasionalitas, (5) kecerdasan, (6) sikap terhadap
84
perubahan, (7) sikap terhadap ketidakpastian, (8) sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, (9) fatalisme dan (10) aspirasi. Berdasarkan studi pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang proses adopsi suatu inovasi, dapat disimpulkan beberapa faktor internal petani antara lain adalah
umur,
tingkat
pendidikan,
pengalaman,
tingkat
kekosmopolitan,
keanggotaan dalam kelompok, jumlah pemilikan ternak, motivasi meningkatkan skala usaha, tingkat kebutuhan terhadap IB dan tujuan pemeliharaan. Merujuk kepada konsep “internal”, maka dalam penelitian ini, peubah laten “karakteristik internal peternak sapi potong” (KIP) mencakup beberapa indikator, yaitu (1) umur peternak, (2) tingkat pendidikan, (3) pengalaman beternak sapi potong, (4) motivasi menggunakan IB dan (5) tingkat kekosmopolitan. Hasil analsis diskriptif distribusi
indikator
“karakteristik
internal
peternak
sapi
potong”
secara
keseluruhan dan di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Distribusi indikator karakteristik internal peternak sapi potong Karakteristik Internal Umur (tahun) • Muda (25-33) • Dewasa (34-51) • Tua (52-68) Pendidikan • Tidak tamat SD • Tamat SD • Tamat SMP • Tamat SLTA • Diploma/Sarjana Pengalaman (tahun) • Kurang pengalaman (1-11) • Pengalaman (12-33) • Sangat pengalaman (34-55) Motivasi menggunakan IB • Faktor eksternal (ekstrinsik) • Kesadaran sendiri (intrinsik) Tingkat kekosmopolitan (kali/bln) • Rendah (0-2) • Sedang (3-8) • Tinggi (9-12) n=240
Bangkalan
Lamongan
1 46 33
1,3 57,5 41,2
6 57 17
7,5 71,3 21,2
3 37 40
3,8 46,2 50,0
10 140 90
4,2 58,3 37,5
4 75 1 0 0
5,0 93,8 1,2 0 0
20 33 14 10 3
25,0 41,2 17,5 12,5 3,8
5 40 19 12 4
6,2 50,0 23,8 15,0 5,0
29 148 34 22 7
12,1 61,7 14,2 9,2 2,9
9 70 1
11,3 87,5 1,2
21 37 22
26,2 46,2 27,6
11 38 31
13,8 47,5 38,7
41 145 54
17,1 60,4 22,5
47 33
58,7 41,3
42 38
52,5 47,5
57 23
71,2 28,8
146 94
60,8 39,2
56 23 1
70,0 28,8 1,2
38 23 19
47,5 28,7 23,8
78 2 0
97,5 2,5 0,0
172 48 20
71,7 20,0 8,3
(%)
(orang)
Persen (%)
Jml.
(orang)
Persen (%)
Jml.
Total
Persen
(orang)
Jml.
Tabanan
Jml.
(orang)
Persen (%)
Untuk menguji apakah karakteristik internal peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian tersebut sama atau berbeda, digunakan uji Kruskal-Wallis. Di mana H 0 : Karakteristik internal peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Setidaknya ada satu dari tiga lokasi penelitian yang mempunyai karakteristik internal peternak sapi potong yang berbeda. Hasil
85
pengujian menunjukkan bahwa secara umum statistik hitung indikator KIP lebih besar dari statistik tabel (5,99), maka H 0 ditolak. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang nyata karakteristik internal peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata umur responden 48,6 tahun (antara 25-68 tahun). Sebanyak 37,5% (90 responden) berumur antara 52 sampai dengan 68 tahun, yaitu masuk kategori tua. Paling banyak adalah kategori dewasa, yaitu berumur antara 34-51 tahun sebanyak 62,1% (149 responden). Hanya 4,2% (10 responden) yang masuk kategori muda, yaitu berumur antara 25 sampai dengan 33 tahun. Hasil pengujian data sampel, menunjukkan perbedaan umur yang nyata (p<0,05) antar lokasi penelitian. Hal ini dapat dilihat pada kategori dewasa (umur 34 -51 tahun) adalah 71,3%, 57,5% dan 46,2% responden untuk lokasi penelitian di Kabupaten Lamongan, Bangkalan dan Tabanan secara berturut-turut. Sedangkan pada kategori tua, untuk Kabupaten Bangkalan 41,2%, Lamongan 21,2% dan Tabanan 50,0% responden. Tingkat pendidikan responden, 61,7% (148 responden) tamat SD dan 12,1% (29 responden) tidak tamat SD. Kedua tingkat pendidikan tersebut masuk kategori rendah. Sedangkan yang termasuk kategori pendidikan sedang sebanyak 23,4% (56 responden). Terdapat perbedaan yang nyata tingkat pendidikan peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Sebanyak 98,8% responden di Kabupaten Bangkalan masuk kategori rendah (< lulus SD), sedangkan sisanya (sebanyak 1,2%) masuk kategori sedang (tamat SMP/SMA). Sementara, di Kabupaten lamongan dan Tabanan secara berturut-turut adalah 66,2% dan 56,2% responden masuk katergori rendah; dan 30,0% dan 38,8% responden masuk kategori sedang. Pengalaman responden dalam memelihara sapi potong sangat bervariasi mulai dari 1 tahun sampai dengan 55 tahun. Rerata pengalaman peternak adalah 23,6 tahun, masuk kategori berpengalaman. Sebanyak 17,1% (41 responden) masuk kategori kurang berpengalaman dan sebanyak 60,4% (145 responden) masuk kategori berpengalaman. Terdapat 54 responden (22,5%) masuk kategori sangat berpengalaman. Antar lokasi penelitian, menunjukkan perbedaan yang nyata pengalaman beternak sapi potong. Di Kabupaten Bangkalan tidak terdapat responden yang masuk kategori “sangat berpengalaman” (34-55 tahun),
86
sementara di Kabupaten Lamongan dan Tabanan terdapat 27,6% dan 38,7% responden secara berturut-turut. Pernyataan
peternak
tentang
apa
yang
mendorong
dirinya
mau
menggunakan teknologi IB untuk mengawinkan sapinya, menunjukkan bahwa 39,6% responden berasal dari kesadaran peternak sendiri (faktor intrinsik), yaitu peternak menyadari bahwa penggunaan IB sangat menguntungkan.. Sedangkan sisanya sebanyak 60,4%, responden menyatakan karena faktor ekstrinsik (eksternal), yaitu “Ikut teman yang berhasil” karena menggunakan IB sebanyak 35,5%, “ikut kegiatan kelompok” sebanyak 14,4% dan sebanyak 10,5% responden sekedar coba-coba. Hasil uji beda menggunakan Kruskal-Wallis Test menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata motivasi peternak sapi potong dalam menggunakan IB antar lokasi penelitian (p>0,05). Tingkat kekosmopolitan responden diukur dengan seberapa sering peternak “ke luar” atau pergi dari lingkungan kecamatan untuk mencari informasi peternakan, khususnya mengenai IB dalam kurun tiga bulan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 71,7% peternak masuk kategori tingkat kekosmopolitan rendah, yaitu dua kali atau tidak sama sekali pergi keluar daerahnya (kecamatan) setiap bulannya. Sebanyak
20,0% masuk kategori
sedang, yaitu antara 3 hingga 8 kali per bulan. Sedangkan yang masuk kategori tinggi tingkat kekosmopolitannya hanya 8,3%, yaitu 9 hingga 12 kali per bulan. Terdapat perbedaan yang nyata tingkat kekosmopolitan peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Tabanan, 97,5% responden masuk kategori tingkat kekosmopolitan rendah. Di Kabupaten Bangkalan dan Lamongan yang masuk kategori rendah sebesar 70,0% dan 47,5% responden secara berturutturut. Hanya di Kabupaten Lamongan terdapat 17,5% responden yang masuk kategori tinggi tingkat kekosmopolitannya. Untuk mengetahui lokasi penelitian mana yang berbeda, dilakukan pengujian dengan Mann Whitney U test, yaitu antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, Bangkalan dan Tabanan serta Lamongan dan Tabanan. Di mana H 0 : Karakteristik internal peternak sapi potong di kedua lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Karakteristik internal peternak sapi potong di kedua lokasi tersebut berbeda. Jika probabilitas > 0,05, H 0 diterima; jika probabilitas <0,05, H 0 ditolak. Hasil uji Mann Whitney U dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
87
Tabel 6. Rataan nilai indikator KIP sapi potong antar lokasi penelitian Indikator KIP Umur peternak (tahun) Tingkat pendidikan (tahun) Pengalaman beternak sapi (tahun) Motivasi menggunakan IB (% intrinsik) Tingkat kekosmopolitan (kali)
Bangkalan 50,43 a 6,43 a 20,71 a 41,3 a 2,41 a
Rata-rata Lamongan 45,66 b 7,19 a 23,21 a 47,5 a 6,90 b
Tabanan 49,70 a 8,12 b 26,53 b 28,8 b 0,65 c
Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p< 0.05)
Hasil pengujian statistik antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, beberapa indikator KIP, yaitu tingkat pendidikan, pengalaman beternak sapi dan motivasi menggunakan IB tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (probabilitas
>
0,05).
Sedangkan
untuk
indikator
umur
kekosmopolitan menunjukkan perbedaan yang nyata. Antara
dan
tingkat
Kabupaten
Bangkalan dan Tabanan menunjukkan perbedaan yang nyata untuk indikator tingkat pendidikan, pengalaman beternak sapi, motivasi menggunakan IB dan tingkat kekosmopolitan. Sedangkan untuk indikator umur peternak
tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Antara Kabupaten Lamongan dan Tabanan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata untuk semua indikator KIP. Karakteristik Usaha Peternak Sapi Potong Lebih dari 95% usaha peternakan sapi potong merupakan peternakan rakyat yang bersifat subsisten, yang mempunyai karakteristik, yaitu (a) jumlah pemilikan relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 2,17 ekor (b) sebagai tabungan (rojo koyo) dan akan dijual atau dipotong untuk memenuhi kebutuhan tertentu seperti kebutuhan pendidikan, upacara perkawinan, upacara adat atau keagamaan dan lain-lain, (c) berfungsi sebagai ternak kerja (bajak dan transportasi) untuk mendukung usahataninya, (d) mencakup beberapa tujuan budidaya, (e) teknologinya sederhana, (f) pakannya berasal dari rumput ”lapangan” atau limbah hasil pertanian dan (g) menunjukkan tingkat status sosial-ekonomi tertentu (Pane 1993:vii; Suhaji 1994:38; Wiryosuhanto 1997:7; Sudardjat & Pambudy 2003:17-35). Suhaji (1994:25) membagi usaha peternakan menjadi empat tipologi usaha, salah satunya dan merupakan yang terbanyak, adalah sebagai usaha sambilan: sapi sebagai pendukung usaha pertanian digunakan sebagai tenaga kerja untuk membajak sawah ataupun penarik gerobak dan mempunyai kontribusi pendapatan petani kurang dari 30% dari usaha pertaniannya. Dalam penelitian ini, karakteristik usaha peternak sapi potong
88
mencakup (1) jumlah pemilikan sapi, (2) keanggotaan dalam kelompok IB, (3) jumlah sapi yang dijual dan (4) pendapatan rumah tangga. Jumlah total sapi responden sebanyak 778 ekor, yang terdiri dari sapi jantan 240 ekor (30,8%) dan sapi betina 538 ekor (69,2%). Jenis sapi yang dipelihara peternak di Kecamatan Geger Bangkalan adalah sapi Madura. Di Kecamatan Mantup Lamongan, sapi turunan Limousin dan Simental dengan induk awalnya sapi PO/Putih. Sedangkan
di Kecamatan Penebel Tabanan
adalah sapi Bali. Hasil analsis diskriptif distribusi indikator “karakteristik usaha peternak sapi potong” secara keseluruhan dan di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Distribusi indikator karakteristik usaha peternak sapi potong Karakteristik Usaha Pemilikan sapi (ST) • Sedikit (0,5-1,9) • Sedang (>1,9- 4,9) • Banyak (>4,9-7,5) Keanggotaan Kelompok IB • Bukan anggota • Anggota/Pengurus Jumlah sapi yang dijual (ST) • Tidak menjual (0) • Rendah (0,19 -0,76) • Sedang (>0,76 – 1,52) • Tinggi (>1,52 – 3,04) • Sangat tinggi (>3,04)
Pendapatan rumah tangga (juta Rp/Thn)
• Sangat rendah (<10,0) • Rendah (10,0 - <20,0) • Sedang (20,0 - <30,0) • Tinggi (> 30,0) n=240
Bangkalan
Lamongan
21 56 3
26,2 70,0 3,8
29 42 9
36,2 52,5 11,3
35 41 4
43,8 51,2 5,0
85 139 16
35,4 57,9 6,7
68 12
85,0 15,0
78 2
97,4 2,6
80 0
100 0,0
226 14
94,2 5,8
67 12 1 0 0
83,8 15,0 1,2 0 0
43 18 12 5 2
53,7 22,4 15,0 6,4 2,5
16 54 8 1 1
19,3 67,6 9,7 1,2 1,2
126 84 21 6 3
52,6 35,1 8,6 2,5 1,2
20 52 8 0
25,0 65,0 10,0 0
12 29 21 18
15,0 36,2 26,3 22,5
1 32 39 8
1,2 40,0 48,8 10,0
33 113 68 26
13,8 47,1 28,3 10,8
(%)
(orang)
Persen (%)
Jml.
(orang)
Persen (%)
Jml.
Total
Persen
(orang)
Jml.
Tabanan
Jml.
(orang)
Persen (%)
Jumlah pemilikan sapi per peternak antara 1 hingga 8 ekor. Rata-rata pemilikan sapi adalah 1,96 ST (satuan ternak) atau setara dengan 2 ekor sapi dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 35,4% responden memiliki sapi masuk kategori sedikit, yaitu antara 0,5 - 1,9 ST, di bawah rata-rata. Sedangkan yang masuk kategori sedang sebanyak 57,9%. Hanya 6,7% responden yang masuk kategori memiliki sapi banyak. Terdapat perbedaan yang nyata jumlah pemilikan sapi antar lokasi penelitian. Sebanyak 70,0% responden di Kabupaten Bangkalan memilki sapi dengan kategori sedang, yaitu antara >1,94,9 ST, sedangkan di Kabupaten Lamongan dan Tabanan secara berturut-turut menunjukkan 36,2% dan 43,8% responden memiliki sapi dalam kategori sedikit (0,5-1,9 ST).
89
Keanggotaan dalam kelompok IB menyatakan apakah responden masuk dalam kelompok IB atau tidak. Kedudukan peternak dalam kelompok IB, apakah sebagai anggota biasa, pengurus (selain ketua) atau sebagai ketua kelompok dalam kurun 6 (enam) bulan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 94,2% responden berstatus bukan sebagai anggota kelompok IB, hanya 5,8% (14 responden) menyatakan sebagai anggota/pengurus kelompok IB. Terdapat perbedaan yang nyata keanggotaan dalam kelompok IB antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Tabanan, 100% responden bukan anggota kelompok IB. Di Kabupaten Lamongan, hanya 2,6% responden yang masuk anggota/ pengurus kelompok IB, sisanya bukan anggota kelompok IB. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan, terdapat 15,0% responden masuk sebagai anggota/ pengurus kelompok IB dan sebanyak 85,0% responden bukan anggota kelompok IB. Dari seluruh responden, hanya 114 peternak (47,4%) yang menjual sapinya dalam kurun waktu setahun, yang terdiri 13 peternak di Kabupaten Bangkalan, 37 peternak di Kabupaten Lamongan dan 64 peternak di Kabupaten Tabanan. Artinya, 52,6% responden tidak memperoleh pendapatan (uang) dari usaha sapinya dalam kurun waktu satu tahun. Rata-rata nilai penjualan sapi hasil IB per peternak adalah Rp. 9.346.710,- yang berkisar antara Rp. 1.800.000.sampai dengan Rp. 42.900.000,-, tergantung jenis dan umur sapinya. Sebanyak 35,1% responden, pendapatan menjual sapi
masuk kategori rendah, 8,6%
berpendapatan sedang dan hanya 2,5% berpendapatan jual sapi tinggi. Terdapat perbedaan yang nyata pendapatan peternak dalam menjual sapi hasil turunan IB antar lokasi penelitian. Sebanyak 97,5% responden di Kabupaten Bangkalan menpunyai pendapatan hasil menjual sapi kurang dari 8,6 juta
rupiah
dan
hanya 2,5% responden mempunyai pendapatan menjual pedet antara 8,6 – 25,7 juta rupiah. Di Kabupaten Lamongan, sebanyak 68,7% responden menpunyai pendapatan hasil menjual sapi kurang dari 8,6 juta rupiah, sebanyak 26,2% responden memperoleh antara 8,6 – 25,7 juta dan 5,1% responden mempunyai pendapatan menjual sapi antara 25,7 sampai 42,9 juta rupiah. Sementara, sebanyak 81,3% responden di Kabupaten Tabanan menpunyai pendapatan hasil menjual sapi kurang dari 8,6 juta
rupiah dan sebanyak 18,7% responden
memperoleh antara 8,6 – 25,7 juta Jumlah pendapatan rumah tangga peternak sapi potong setahun terakhir terendah Rp. 6.215.000,- terdapat di Kabupaten Bangkalan. Sedangkan
90
pendapatan tertinggi peternak sapi potong adalah Rp. 59.760.000,- terdapat di Kabupaten Lamongan. Rata-rata pendapatan rumah tangga peternak sapi potong di Kabupaten Bangkalan Rp. 13.099.725,-, Kabupaten Lamongan Rp. 21.688.913,- dan di Kabupaten Tabanan Rp. 22.555.341,Menurut Suhaji (1994:25) tipologi usaha peternakan sapi potong dapat diukur dengan cara menghitung persentase pendapatan dari hasil penjualan sapi potong dengan keseluruhan pendapatan rumah tangga petani. Jika pendapatan pemeliharaan sapi potong kurang dari 30% dari keseluruhan pendapatan rumah tangga petani, maka tujuan pemeliharaan sapi potong masuk kategori usaha sampingan. Jika pendapatan pemeliharaan sapi potong antara 30%-70% dari keseluruhan pendapatan rumah tangga petani, maka masuk kategori cabang usaha. Sedangkan jika pendapatan pemeliharaan sapi potong lebih dari 70% dari keseluruhan pendapatan rumah tangga petani, maka masuk kategori usaha pokok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,9% (151 responden) mempunyai tujuan pemeliharaan sapi potong sebagai usaha sampingan (<30% dari seluruh pendapatan). Sedangkan sebanyak 21,7% (52 responden) masuk kategori cabang usaha (antara 30%-70% dari seluruh pendapatan), dan sebanyak 15,4% masuk kategori usaha pokok (>70% dari seluruh pendapatan). Terdapat perbedaan yang nyata tujuan pemeliharaan sapi potong antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Lamongan, terdapat 27,5% responden yang masuk kategori “usaha pokok,” sementara di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan hanya 3,7% dan 15,0% secara berturut-turut. Jumlah peternak yang masuk kategori “usaha sampingan” adalah 85,1%, 57,6% dan 46,2% responden untuk Kabupaten Bangkalan, Lamongan dan Tabanan secara berturut-turut. Sedangkan yang masuk kategori “cabang usaha” berturut-turut untuk Kabupaten Bangkalan, Lamongan dan Tabanan adalah 11,2%, 15,0% dan 38,8% responden. Secara lebih rinci, tujuan pemeliharaan (tipologi usaha) sapi potong di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tujuan pemeliharaan sapi potong Tujuan pemeliharaan (% pendapatan jual sapi) • Sampingan (<30%) • Cabang usaha (30-70%) • Usaha pokok (>70%)
Bangkalan Lamongan Tabanan Total Jml. Persen Jml. Persen Jml. Persen Jml. Persen (orang) (%) (orang) (%) (orang) (%) (orang) (%) 68 9 3
85,1 11,2 3,7
46 12 22
57,5 15,0 27,5
37 31 12
46,2 38,8 15,0
151 52 37
62,9 21,7 15,4
91
Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, dengan hipotesis: H 0 : Karakteristik usaha peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Setidaknya ada satu dari tiga lokasi penelitian yang mempunyai karakteristik usaha peternak sapi potong yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara umum statistik hitung indikator KUP lebih besar dari statistik tabel (5,99), maka H 0 ditolak. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang nyata karakteristik usaha peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Untuk mengetahui lokasi penelitian mana yang berbeda, dilakukan pengujian dengan Mann Whitney U test, yaitu antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, Bangkalan dan Tabanan serta Lamongan dan Tabanan. Di mana H 0 : Karakteristik usaha peternak sapi potong di kedua lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Karakteristik usaha peternak sapi potong di kedua lokasi tersebut berbeda. Hasil uji Mann Whitney U dapat dilihat pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Rataan nilai indikator KUP sapi potong antar lokasi penelitian Indikator KUP Jumlah pemilikan sapi (ST) Keanggotaan dalam kelompok IB (% anggota) Jumlah sapi yang dijual (ST) Pendapatan rumah tangga ( juta Rp.-)
Bangkalan 1,90 a 15,00 a 0,10 a 13.10 a
Rata-rata Lamongan 2,12 a 2,60 b 0,52 b 21,69 b
Tabanan 1,85 a 0,00 b 0,65 c 22,56 b
Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p< 0.05)
Hasil pengujian statistik antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali jumlah pemilikan sapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan, secara umum juga menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali indikator umur. Sedangkan antara Kabupaten Lamongan dan Tabanan hanya pada indikator jumlah sapi yang dijual menunjukkan
perbedaan yang nyata.
Untuk indikator jumlah pemilikan sapi, keanggotaan dalam kelompok IB dan pendapatan rumah tangga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Karakteristik Eksternal Peternak Sapi Potong Salah satu faktor yang mempengaruhi proses adopsi suatu inovasi adalah faktor situasi.
Faktor situasi di mana individu tersebut
berada, menurut
Lionberger dan Gwin (1982:10-13) terdiri dari (1) family (keluarga), (2) friendship groups (kelompok pertemanan), (3) locality groups (kelompok masyarakat sekitar), (4) religious groups (kelompok keagamaan, seperti kelompok pengajian ataupun majlis ta’lim), (5) reference groups dan (6) special interest groups
92
(kelompok minat, seperti karapan sapi dan lain-lain). Berdasarkan studi pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang proses adopsi suatu inovasi, dapat disimpulkan beberapa faktor eksternal petani antara lain adalah norma sistem sosial, ketersediaan informasi, keadaan sarana prasarana, intensitas penyuluhan, kepastian
pasar,
kelembagaan,
sumber-sumber
informasi
dan
jaringan
komunikasi. Dalam penelitian ini, peubah karakteristik eksternal peternak sapi potong mencakup (1) kelembagaan IB, (2) keadaan sarana prasarana IB, (3) ketersediaan pasar sapi dan (4) ketersediaan informasi tentang IB. Hasil penelitian indikator karakteristik eksternal peternak (KEP) sapi potong secara keseluruhan dan di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Distribusi indikator karakteristik eksternal peternak sapi potong Karakteristik Eksternal Kelembagaan IB • Rendah (hanya 1) • Sedang (ada 2) • Tinggi (lebih dari 2) Keadaan sarana-prasarana IB • Tidak ada • Rendah (hanya ada 1) • Tinggi (lebih dari 2) Ketersediaan pasar sapi • Rendah (hanya 1 pilihan) • Sedang (ada 2 pilihan) Sumber informasi IB (macam) • Rendah (hanya 1) • Sedang (ada 2) • Tinggi (lebih dari 2) n=240
Bangkalan
Jml.
(orang)
Persen (%)
Lamongan
Jml.
(orang)
Persen (%)
Tabanan
Jml.
(orang)
Persen (%)
Jml.
Total
(orang)
Persen (%)
75 5 0
93,7 6,3 0,0
64 10 6
80,0 12,5 7,5
67 13 0
83,7 16,3 0,0
206 28 6
85,8 11,7 2,5
22 52 6
27,5 65,0 7,5
76 3 1
95,0 3,7 1,3
41 15 24
51,3 18,7 30,0
139 70 31
57,9 29,2 12,9
37 43
46,3 53,7
79 1
98,7 1,3
58 22
72,5 27,5
174 66
72,5 27,5
29 48 3
36,2 60,0 3,8
26 42 12
32,5 52,5 15,0
15 48 17
18,8 60,0 21,2
70 138 32
29,2 57,5 13,3
Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, dengan hipotesis: H 0 : Karakteristik eksternal peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian adalah sama; H 1 : Setidaknya ada satu dari tiga lokasi penelitian yang mempunyai karakteristik eksternal peternak sapi potong yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara umum statistik hitung indikator KEP lebih besar dari statistik tabel (5,99), maka H 0 ditolak. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang nyata karakteristik eksternal peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Kelembagaan IB adalah menunjukkan apakah di lokasi penelitian terdapat kelompok IB atau tidak dalam kurun waktu setahun terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 0,4% responden yang menyatakan adanya
93
kelompok tersebut. Dengan kata lain, 99,6% responden menyatakan tidak ada. Di luar kelompok IB, yang menyatakan hanya ada satu kelembagaan sebanyak 85,8% responden, yaitu terdiri dari kelompok tani (40,8%) dan kelompok ternak (45,0%). Hal ini masuk kategori rendah. Sebanyak 11,7% masuk kategori sedang (menyatakan ada dua kelembagaan), yaitu selain kelompok ternak, juga ada kelompok tani. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata kelembagaan IB antar lokasi penelitian. Ketersediaan sarana prasarana IB di lokasi penelitian dalam kurun waktu setahun terakhir, sebanyak
29,2% responden menyatakan terdapat “satu
sarana” dan sebanyak 12,9% responden menyatakan terdapat “tiga sarana”. Sebaliknya sebanyak 57,9% responden menyatakan tidak terdapat sarana prasarana IB di daerahnya. Ketersedian sarana prasarana antar lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata. Di Kabupaten Lamongan 95,0 responden menyatakan tidak ada sarana prasarana IB. Sementara di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan, sebanyak 27,5% dan 51,3% responden menyatakan tidak ada sarana prasarana IB. Sebaliknya di Kabupaten Tabanan sebanyak 30,0% responden menyatakan terdapat lebih dari dua sarana prasarana IB di daerahnya. Sarana IB yang paling banyak tersedia adalah sarana komunikasi berupa telepon ataupun telepon genggam (HP). Hal ini sangat penting untuk berkomunikasi dengan inseminator, khususnya untuk melaporkan apabila sapi induk milik peternak menunjukkan tanda-tanda berahi. Ketersediaan pasar sapi adalah untuk melihat mudah atau sulitnya peternak menjual sapi di sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Untuk itu maka telah diidentifikasi pilihan-pilihan cara peternak menjual sapinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,5% responden pada umumnya sudah punya kebiasaan tertentu untuk menjual sapinya tanpa ada pilihan lain (masuk kategori rendah karena hanya satu pilihan). Sebanyak 27,5% masuk kategori sedang, yaitu punya dua pilihan. Dari yang hanya satu pilihan, sebanyak 32,5% responden menjual dengan cara “menunggu pedagang/blantik yang datang” (pasif), sebanyak 27,1% responden “menjual sendiri sapinya ke pedagang” (aktif) dan sebanyak 12,9% responden membawa sapinya ke pasar hewan. Tidak ada penjualan sapi yang dilakukan melalui kelompok ataupun koperasi. Hasil uji beda, menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata kepastian pasar sapi antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Lamongan, hampir semua responden (98,7%) masuk kategori rendah, yaitu hanya punya satu pilihan cara
94
menjual sapi. Begitu juga di Kabupaten Tabanan, sebanyak 72,5% responden masuk kategori rendah. Sebaliknya di Kabupaten Bangkalan lebih dari separoh responden (53,7%) masuk kategori sedang, yaitu mempunyai dua pilihan untuk menjual sapinya. Sementara yang lain, sebanyak 46,3% masuk kategori rendah. Sumber informasi tentang IB adalah pernyataan responden tentang jenisjenis sumber informasi yang ada di lokasi penelitian dalam kurun waktu setahun terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29,2% responden menyatakan hanya ada satu sumber (kategori rendah), sebanyak 57,5% responden menyatakan ada dua sumber (kategori sedang) dan sebanyak 13,3% responden menyatakan terdapat lebih dari dua sumber (kategori tinggi). Jenis sumber informasi yang paling banyak dirujuk secara sendiri-sendiri adalah “petugas peternakan”
sebanyak
17,9%
dan
“teman/tetangga”
sebanyak
10,8%.
Sedangkan merujuk kepada dua jenis sumber sekaligus adalah “teman/tetangga” dan “petugas peternakan” sebanyak 50,0%. Terdapat perbedaan yang nyata tentang sumber informasi IB ini antar lokasi penelitian. Di Kabupaten Bangkalan sebanyak 36,2% responden menyatakan sumber informasi IB masuk kategori rendah, 60,0% masuk kategori sedang dan hanya 3,8% masuk kategori tinggi. Di Kabupaten Lamongan sebanyak 32,5% responden menyatakan sumber informasi IB masuk kategori rendah, 52,5% masuk kategori sedang dan hanya 15,0% masuk kategori tinggi. Sedangkan di Kabupaten Tabanan sebanyak 18,8% responden menyatakan sumber informasi IB masuk kategori rendah, 60,0% masuk kategori sedang dan hanya 21,2% masuk kategori tinggi. Untuk mengetahui lokasi penelitian mana yang berbeda, dilakukan pengujian dengan Mann Whitney U test, yaitu antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, Bangkalan dan Tabanan serta Lamongan dan Tabanan. Hasil uji Mann Whitney U dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Rataan nilai indikator KEP sapi potong antar lokasi penelitian Indikator KEP Kelembagaan IB (jumlah) Keadaan sarana prasarana IB (jumlah) Ketersediaan pasar sapi (jumlah) Ketersediaan informasi (jumlah)
Bangkalan 1,06 a 1,70 a 1,53 a 1,67 a
Rata-rata Lamongan 1,28 b 1,00 b 1,01 b 1,82 a
Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p< 0.05)
Tabanan 1,16 b 1,73 a 1,28 c 2,03 b
95
Hasil pengujian statistik antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan
indikator KEP yang berbeda nyata, kecuali
ketersediaan informasi, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga antara
Kabupaten Bangkalan dan Tabanan menunjukkan tiga indikator
KEP, yaitu kelembagaan IB, ketersediaan pasar sapi dan ketersediaan informasi berbeda secara signifikan. Sedangkan keadaan sarana prasarana IB tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Untuk Kabupaten Lamongan dan Tabanan dua indikator menunjukkan ada perbedaan yang nyata, yaitu indikator keadaan sarana prasarana, ketersediaan pasar sapi dan ketersediaan informasi. Sedangkan untuk indikator kelembagaan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hipotesis 1: Terdapat perbedaan
karakteristik internal dan eksternal serta
karakteristik
usaha peternak sapi potong. Berdasarkan hasil analisis dengan Kruskal Wallis dan Mann-Whitney U tes tersebut diatas, dengan hipotesi H 0 = karakteristik peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian tidak berbeda. H 1 = setidaknya karakteristik peternak sapi potong di salah satu lokasi penelitan menunjukan perbedaan yang signifikan, maka H 0 ditolak. Dengan kata lain, hipotesis H 1 dapat diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakteristik internal, eksternal dan usaha peternak sapi potong di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tabanan secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan. Persepsi Peternak Sapi Potong terhadap Inovasi IB Persepsi peternak sapi potong tentang IB adalah pemberian arti/makna yang dilakukan berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak tentang IB dalam bentuk pernyataan setuju atau tidak setuju. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:83-85), persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Dijelaskan, bahwa ada beberapa prinsip umum persepsi, yaitu (1) Relativitas, setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya. (2) Selektivitas, persepsi sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan
96
psikologis seseorang. (3) Organisasi. Setiap persepsi terorganisir. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar. Dalam sekejap panca indera melakukan seleksi dan sosok yang menarik akan menciptakan pesan. (4) Arah. Melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins (1999:90) menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Persepsi peternak sapi potong terhadap inovasi IB ini mencakup aspekaspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan/IB pada sapi potong. Persepsi peternak ditunjukkan dalam pernyataan antara “sangat tidak setuju” dan “sangat setuju” terhadap pernyataan tentang dimensi dari aspek-aspek di atas, dan dibagi dalam lima kategori, yaitu (1) sangat tidak setuju; (2) tidak setuju; (3) ragu-ragu; (4) setuju dan (5) sangat setuju. Aspek teknis. --Aspek teknis, mencakup dimensi-dimensi persepsi
peternak
terhadap jenis sapi bibit, tanda-tanda fisik sapi bibit, tujuan pembibitan/AI (menciptakan jenis sapi baru, konservasi ataupun menghasilkan final stock) dan pelayanan inseminator Persepsi yang benar terhadap hal-hal diatas sangat penting kaitannya dalam penerapan IB terutama dikaitkan dengan tujuan kebijakan perbibitan. Pengetahuan tentang jenis-jenis sapi bibit pejantan, yang digunakan untuk memproduksi semen beku, yang selanjutnya digunakan untuk mengiseminasi sapi induk yang dimiliki oleh peternak, adalah sangat penting agar silsilah turunannya dapat ditelusuri. Terhadap aspek jenis sapi bibit, sebanyak 56,7% responden setidak-tidaknya setuju terhadap pernyataan bahwa semua jenis sapi pejantan unggul adalah bibit, 25,4% ragu-ragu dan 17,9% tidak setuju. Di lain pihak, sedikitnya sebanyak 89,6% menyatakan setuju terhadap pernyataan bahwa semua sapi pejantan yang digunakan di Balai Inseminasi Buatan (BIB) untuk menghasilkan semen adalah sebagai sapi bibit. Terhadap pernyataan bahwa sapi bibit adalah semua sapi yang diimpor, terdapat persepsi
97
yang berbeda, yaitu 28,4% tidak setuju, 26% ragu-ragu dan 29,2% setuju serta 15,8% sangat setuju. Pada dasarnya jenis sapi pejantan yang digunakan untuk menghasilkan semen, masing-masing jenis sapi mempunyai fenotipe (ciri-ciri fisik) yang berbeda. Sapi Bali mempunyai bulu warna merah bata kecoklatan untuk yang betina dan hitam untuk yang jantan apabila telah dewasa. Ciri lainnya adalah terdapat warna putih pada pantat dan kakinya serta garis hitam di sepanjang punggungnya. Sapi PO mempunyai bulu berwarna putih (oleh karena itu disebut juga sebagai sapi Putih), bergelambir dan mempunyai punuk. Sedangkan sapi Madura berwarna merah kecoklatan dengan batas warna yang tidak jelas pada bagian pantatnya. Setiap jenis sapi, mempunyai peminatnya sendiri dan sering merupakan bagian dari aspek sosial-budaya dari masyarakat peternak yang memeliharanya. Oleh karena itu, persepsi terhadap jenis sapi bibit berbeda antar lokasi penelitian disebabkan masing-masing jenis sapi
mempunyai ciri dan
keunggulan masing-masing. Terhadap tanda-tanda fisik sapi bibit, 71,2% responden setidaknya setuju bahwa sapi bibit harus mempunyai postur tubuh yang besar, hanya 10,4% responden yang menyatakan tidak setuju. Sedangkan terhadap pernyataan sapi bibit harus mempunyai “tubuh yang ideal atau proporsional” sebanyak 84,6% menyatakan setuju dan sangat setuju, hanya 0,8% yang tidak setuju. Preferensi responden terhadap sapi bibit adalah sapi “yang mempunyai gumba (punuk) yang tinggi” sebanyak 41,2% setuju dan sangat setuju, 31,7% ragu-ragu, dan 27,2% tidak setuju. Tingkat persepsi yang tinggi ditunjukkan oleh persetujuaan responden terhadap pernyataan bahwa sapi bibit secara fisik harus mempunyai “kondisi yang bagus dan berat”, yaitu 90,8%; hanya 1,7% yang tidak setuju dan 7,5% yang ragu-ragu. Hal-hal yang bersifat fisik (mudah dilihat) dan kondisi yang ideal inilah mungkin yang menyebabkan mengapa persepsi responden terhadap ciri-ciri fisik sapi bibit secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan secara nyata antar lokasi penelitian. Setidak-tidaknya ada tiga tujuan IB dalam konteks pembibitan, yaitu (1) pemurnian, (2) persilangan, baik untuk menghasilkan sapi jenis baru ataupun menghasilkan final stock dengan menfaatkan faktor heterosis dan (3) konservasi. Persepsi responden terhadap upaya pemurnian sapi Bali dan pelestarian sapi PO/Putih menunjukkan sebanyak 42,9% setuju dan 5,4% sangat setuju. Sebaliknya, sebanyak 16,7% responden menyatakan tidak setuju. Sementara, sebanyak 35,0% menunjukkan sikap ragu-ragu. Dalam kasus persilangan untuk
98
menghasilkan jenis sapi baru, responden sebanyak 62,1% setuju dan 13,8 sangat setuju. Hanya 6,7% responden tidak setuju dan 17,5% ragu-ragu. Hal ini juga didukung oleh persepsi peternak untuk (1) memperoleh sapi induk yang dapat dikembangbiakkan lebih lanjut, yaitu sebanyak 85,0% setuju dan sangat setuju. Hanya 1,3% responden yang tidak setuju, dan 13,7% ragu-ragu; (2) menghasilkan sapi induk yang lebih baik dari tetuanya, yaitu sebanyak 87,8% responden menyatakan setuju. Untuk tujuan menghasilkan sapi turunan akhir (final stock), sebanyak 54,2% responden setuju. Sebanyak 15,4% responden tidak setuju dan 30,4% responden ragu-ragu. Terhadap tujuan lain yang lebih bersifat fungsional, seperti untuk menghasilkan sapi kerja, responden sebanyak 34,1% menyatakan tidak setuju, 30,4% ragu-ragu dan 35,4% menyatakan setuju. Sedangkan yang terkait dengan sapi turunan IB dalam penggunaannya untuk acara adat ataupun keagamaan, sebanyak 51,2% responden menyatakan setuju, 35,0% responden ragu-ragu dan 13,8% responden menyatakan tidak setuju. Hal yang menarik adalah ketika responden ditanyakan persepsinya tentang tujuan IB adalah untuk menghasilkan turunan yang harganya lebih mahal dibanding dengan sapi turunan hasil kawin alam, responden menyatakan 68,8% setuju dan 24,5% sangat setuju. Hanya 1,7% responden yang tidak setuju dan 5,0% responden ragu-ragu. Aspek
pelayanan
inseminator
adalah
untuk
mengetahui
persepsi
responden terhadap kualitas pelayanan IB oleh inseminator dan sejauhmana kepuasan responden sebagai pelanggan IB. Pelayanan IB oleh inseminator dapat dilakukan secara pasif ataupun aktif. Secara pasif, artinya inseminator hanya menunggu laporan dari peternak. Secara aktif, inseminator berdasarkan catatan pelayanan IB yang dimiliki sudah dapat memperkirakan sapi milik siapa yang saat ini memerlukan pelayanan IB. Dalam penelitian ini kualitas pelayanan IB oleh inseminator dilihat dari dua dimensi, yaitu kesiapan inseminator memberikan palayanan IB kapanpun saat diminta dan pelayanan yang diberikan apakah sesuai dengan permintaan peternak, khususnya terhadap jenis semen dan nama pejantan yang diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan pelayanan IB, 97,5% responden menyatakan inseminator selalu siap memberikan pelayanan IB kapanpun diminta. Selebihnya, 2,5% responden menyatakan ragu-ragu. Begitu juga terhadap permintaan peternak tentang jenis sapi yang diminta, 80,4% responden memperoleh jenis sapi yang diinginkan. Sebanyak 19,2% responden mempunyai sikap ragu-ragu dan 0,4% tidak setuju.
99
Tabel 12. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek teknis IB Pernyataan Jenis sapi bibit Semua jenis sapi pejantan unggul adalah bibit Sapi bibit adalah semua pejantan unggul yang digunakan Balai Inseminasi Buatan untuk menghasilkan semen (mani beku) Sapi bibit adalah semua sapi pejantan yang di impor Tanda-tanda fisik sapi bibit Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai postur tubuh yang besar Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai tubuh yang ideal (proporsional) Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai gumba yang tinggi Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai kondisi yang bagus dan berat Tujuan pembibitan/IB: jenis sapi baru Tujuan perbibitan adalah untuk menghasilkan jenis sapi potong baru Tujuan perbibitan adalah untuk menghasil-kan sapi induk yang lebih baik dari tetuanya Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang harganya lebih mahal dari sapi turunan kawin alam Tujuan pembibitan/IB: konservasi Tujuan perbibitan adalah untuk melestarikan sapi asli (Bali) atau sapi lokal (madura dan PO/Putih) Tujuan pembibitan/IB: final stock Tujuan persilangan adalah untuk memperoleh sapi turunan-akhir (final stock) yang berfungsi sebagai sapi potong Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang dapat berfungsi sebagai tenaga kerja (membajak, tarik gerobak, dll) Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang dapat digunakan dalam acara adat ataupun keagamaan Tujuan persilangan adalah untuk memperoleh sapi induk yang dapat dikembang-biakkan lebih lanjut Pelayanan inseminator Inseminator siap memberikan pelayanan setiap saat diminta Inseminator selalu memberikan jenis sapi pejantan (semen) yang diinginkan peternak Biaya IB yang dibayar oleh peternak kepada inseminator sesuai dengan hasil yang diharapkan Inseminator sering datang untuk memberikan penyuluhan/ pembinaan teknis ketika sedang melakukan pelayanan IB Inseminator sering datang untuk memberikan penyuluhan/ pembinaan teknis walaupun tidak melakukan pelayanan IB
Persepsi (%) (3) (4)
(1)
(2)
0,8 0
17,1 0,4
25,4 10,0
36,3 71,7
20,4 17,9
2,1
26,3
26,7
29,2
15,8
0,8
9,6
18,3
55,4
15,8
0
0,8
14,6
71,7
12,9
16,3
10,8
31,7
33,3
7,9
0,4
1,3
7,5
67,5
23,3
0
6,7
17,5
62,1
13,8
0
0,8
11,7
68,8
18,8
0
1,7
5.0
68.8
24,6
5,4
11,3
35,0
42,9
5,4
5,0
10,4
30,4
50,4
(5)
3,8
18,3
15,8
30,4
32,1
3,3
2,5
11,3
35,0
50,4
0,8
0
1,3
13,8
0
0
2,5
62,9
34,6
0
0,4
19,2
55,8
24,6
0
0
6,7
72,5
20,8
0,4
1,3
8,8
63,8
25,8
15,8
12,1
23,3
38,8
10,0
69,2
15,8
100
Terhadap biaya pelayanan IB yang harus dibayar oleh peternak, sebanyak 93,3% responden menilai sebanding (memadai) dengan hasil yang akan diperoleh. Dalam pemberian pelayanan IB, sebanyak 89,6% responden menyatakan bahwa inseminator juga sering melakukan penyuluhan ataupun memberikan pembinaan teknis kepada peternak. Hal ini tidak banyak dilakukan oleh inseminator saat di luar pemberian pelayanan IB. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pelayanan inseminator antar lokasi penelitian. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pelayanan inseminator merupakan bagian dari sistem IB yang berlaku secara nasional. Kebijakan penerapan IB secara nasional dilengkapi dengan standar pelayanan teknis minimal yang harus dipenuhi oleh inseminator dalam memberikan pelayanan IB. Aspek sosial-budaya. --Aspek sosial-budaya mencakup dimensi-dimensi norma sistem sosial, kelembagaan peternak sapi dan struktur sosial. Inseminasi buatan sebagai teknologi reproduksi, lima dekade yang lalu adalah sesuatu yang baru dan menggantikan cara perkawinan sapi yang sudah lama dan turun-temurun dilakukan, yaitu kawin alam. Perubahan ini bukanlah hal yang sederhana karena menyangkut nilai-nilai, keyakinan, adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, kelembagaan dan struktur sosial. Oleh karena itu diperlukan waktu bagi peternak untuk tertarik, menilai, mencoba, sebelum memutuskan untuk mengadopsi IB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IB tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan 71,3% dan 12,5% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. Dari perspektif agama, sebanyak 74% dan 11,7% responden menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa IB tidak bertentangan dengan syariat agama. Bahkan, sapi hasil IB dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan, walaupun adanya pernyataan keragu-raguan responden sebanyak 20,4%. Persepsi ini sangat kuat untuk peternak di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tabanan. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan masih terdapat persepsi yang ragu-ragu (antara setuju dan tidak setuju) terhadap penggunaan sapi hasil IB untuk keperluan acara keagamaan. Dari aspek kelembagaan, terkait dengan apakah terjadi perubahan kelembagaan
peternak,
49,2%
responden
menyatakan
keragu-raguan.
Sebaliknya, sebanyak 52,9% responden menyatakan dengan diadopsinya IB, tidak terjadi perubahan kelembagaan. Terhadap kelembagaan peternak, dengan
101
adanya program IB, di Kabupaten Lamongan
dan Tabanan tidak
terjadi
perubahan terhadap kelembagaan yang sudah ada. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan, dimana ekosistem “tegalan” sangat kuat mempengaruhi sistem sosialnya, maka agama menjadi “organizing principle” bagi orang Madura (Kuntowijoyo 2002:117). Oleh karena itu, apa yang disebut kelompok sebagai lembaga peternak, di Kabupaten Bangkalan tidak pernah ada. Dari aspek struktur sosial, sebanyak 45,0% responden menyatakan keragu-raguan bahwa telah terjadi perubahan tujuan dan sasaran kelompok. Dengan adanya IB, maka (1) peternak tidak lagi memelihara sapi jantan sebagai pemacek, atau setidak-tidaknya telah banyak berkurang, (2) peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat sekarang sudah berkurang dan (3) status sosial peternak pemilik pemacek sama dengan peternak yang tidak memiliki pemacek. Data rinci persepsi responden terhadap aspek sosial budaya terhadap adopsi inovasi IB dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek sosial budaya IB Pernyataan
Norma sistem sosial Perkawinan melalui IB, tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat Perkawinan melalui IB, tidak bertentangan dengan syariat agama Hasil perkawinan melalui IB, dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan Kelembagaan peternak sapi Dengan adanya program IB, kelompok peternak sapi yang sudah ada tidak berubah Dengan adanya program IB, kelompok peternak yang ada melebur dalam kelompok IB Dengan adanya program IB, maka dibentuk kelompok baru (IB) di luar kelompok peternak sapi yang sudah ada Struktur sosial Dengan adanya program IB, tujuan dan sasaran kelompok yang ada, berubah Dengan adanya program IB, peternak tidak lagi memelihara sapi pemacek (sapi jantan unggul yang berfungsi mengawini) Dengan adanya program IB, peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat sekarang berkurang Dengan adanya program IB, status sosial peternak pemilik pemacek sama dengan peternak yang tidak memiliki pemacek
(1)
(2)
0,8
1,7
1,3
Persepsi (%) (3)
(4)
(5)
13,8
71,3
12,5
0,4
12,5
74,2
11,7
0,8
8,3
20,4
62,9
7,5
1,3
3,8
42,1
50,4
2,5
7,1
10,0
49,2
29,2
4,6
2,5
22,9
49,6
17,9
7,1
5,0
27,5
45,0
21,3
1,3
0,4
11,7
29,2
45,8
12,9
2,9
12,5
20,4
52,9
11,3
0
4,6
29,2
54,6
11,7
102
Berkenaan dengan inovasi, Vago (1989:12-13) menyatakan bahwa ada tiga tipe dasar inovasi yang sering menyebabkan perubahan sosial, yaitu (1) teknologi baru, (2) budaya baru dan (3) bentuk baru dari struktur sosial. Dalam konteks ini, IB merupakan inovasi teknologi. Pengaruh teknologi ini mempunyai akibat yang besar terhadap kehidupan individu-individu dalam masyarakat, terhadap nilai-nilai sosial, terhadap struktur dan fungsi dari kelembagaan sosial, dan terhadap organisasi politik dalam masyarakat (Vago, 1989:87). Latar belakang peternak, sistem sosial, proses komunikasi dan sifat suatu inovasi di atas akan menentukan tingkat maupun kecepatan adopsi suatu inovasi. Aspek ekonomi. --Karakteristik inovasi IB, sebagaimana dipersepsikan oleh peternak, akan menjelaskan perbedaan kecepatan proses adopsi inovasi IB. Salah satu hal yang terkait dengan ini adalah keuntungan relatif. Keuntungan relatif (relative advantages), adalah apakah inovasi tersebut memberikan sesuatu keuntungan atau tidak
bagi mereka yang menerima inovasi tersebut. Aspek
ekonomi mencakup dimensi-dimensi peningkatan produksi hasil IB dan keuntungan relatif menggunakan IB. Data rinci persepsi peternak sapi potong terhadap aspek ekonomi IB dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek ekonomi IB Pernyataan Peningkatan produksi hasil IB Pedet sapi turunan hasil IB relatif lebih besar dari pedet kawin alam Pertambahan “berat badan perhari” sapi turunan IB, relatif lebih besar daripada sapi hasil kawin alam Pada umur yang sama, berat sapi dewasa hasil IB lebih besar daripada sapi hasil kawin alam Saat ini, jumlah sapi hasil IB lebih banyak daripada jumlah sapi hasil kawin alam Keuntungan relatif Harga jual pedet sapi turunan hasil IB relatif lebih mahal daripada pedet kawin alam Biaya pemberian pakan sapi turunan hasil IB relatif lebih murah daripada sapi hasil kawin alam Penjualan sapi turunan IB relatif lebih mudah daripada sapi hasil kawin alam Biaya pemeliharaan sapi hasil IB relatif lebih murah dari sapi hasil kawin alam
Persepsi (%) (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
0
0,4
2,1
67,9
29,6
0
0
6,7
66,7
26,7
0
0
6,7
64,2
29,2
0
2,1
27,1
40,8
30,0
0
0,8
2,5
67,9
28,8
5,8
28,8
32,1
22,9
10,4
0,4
2,5
10,4
71,3
15,4
2,9
25,4
20,0
39,2
12,5
103
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan IB, baik persilangan maupun pemurnian, telah meningkatkan produksi sapi potong. Hal ini ditunjukkan dengan persepsi responden yang menyatakan bahwa (1) berat lahir sapi hasil IB lebih besar, (2) sapi potong hasil IB lebih besar dari sapi hasil kawin alam, 67,9% setuju dan 29,6% sangat setuju, (3) pertambahan berat badan harian (average daily gain) sapi hasil IB relatif lebih tinggi dibanding sapi hasil kawin alam, yaitu 66,7% setuju dan 26,7% sangat setuju, dan (4) pada umur yang sama, sapi hasil IB lebih berat dibanding sapi hasil kawin alam. Dari dimensi keuntungan relatif, berdasarkan persepsi responden, harga sapi hasil IB relatif lebih mahal dibanding sapi hasil kawin alam. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil identifikasi di lapangan, harga rata-rata sapi hasil IB bervariasi antara 1,5 juta sampai 10 juta, tergantung dari jenis sapi dan umur atau berat badannya. Rata-rata harga sapi jantan hasil IB adalah Rp.6.170.851,- dan sapi betina 5.085.957,-. Sedangkan harga rata-rata per ekor sapi hasil kawin alam, sapi jantan Rp. 3.274.214,- dan sapi betina Rp. 2.318.038,-. Tetapi, terhadap pernyataan “biaya pemberian pakan sapi turunan hasil IB relatif lebih murah dibandingkan dengan sapi hasil kawin alam,” hanya 28,8% responden menyatakan tidak setuju dan sebanyak 32,1% ragu-ragu. Sedangkan responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju sebanyak 33,3%. Terhadap pernyataan “biaya pemeliharaan sapi hasil IB relatif lebih murah dari sapi hasil kawin alam,” juga hanya 28,3% responden menyatakan tidak setuju, 20,0% ragu-ragu dan sebanyak 51,7% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. Terhadap dua hal terakhir ini perlu penelitian lebih lanjut dikarenakan peternak pada umumnya kurang memperhatikan bahkan memperhitungkan biaya produksi, khususnya pakan dan tenaga kerja. Aspek kebijakan. -- Kebijakan adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan. Kebijakan pemerintah di bidang perbibitan melalui penerapan IB pada sapi potong mencakup
kebijakan persilangan,
pemurnian atau campuran. Pengertian campuran disini adalah boleh dilakukan pemurnian atau persilangan. Bahkan, dalam kasus tertentu, pemerintah tidak “mengatur” secara jelas apakah diarahkan ke persilangan ataupun pemurnian. Dalam kasus persilangan, yaitu menyilangkan sapi lokal ataupun sapi asli Indonesia dengan sapi impor yang umumnya didominasi sapi jenis Limousin, Simental, Brahman dan Brangus, 72,9% responden setidaknya setuju bahwa IB
104
pada sapi potong memberikan keuntungan pada peternak. Bahkan, sebanyak 74,6% responden setuju bahwa perkawinan silang pada sapi potong dapat mensejahterahkan peternak. Tetapi, hanya 59,2% responden yang setuju jika kebijakan kawin silang dilanjutkan dengan jumlah jenis pejantan yang lebih beragam. Sebanyak 36,3% responden menunjukkan sikap keraguan. Begitu juga ketika ditanyakan apakah kawin silang ini sesuai dengan keinginan peternak, sebanyak 61,3% menyatakan setuju dan 35,8% responden menyatakan raguragu. Terhadap semua pertanyaan bekaitan dengan kawin silang tersebut di atas, paling banyak 4,6% yang menyatakan tidak setuju. Tabel 15. Persepsi peternak sapi potong terhadap aspek kebijakan IB Pernyataan Persilangan Kebijakan kawin silang pada sapi potong memberikan keuntungan peternak Kebijakan kawin silang pada sapi potong dapat mensejahterahkan peternak Kebijakan kawin silang pada sapi potong sebaiknya diteruskan dengan jenis pejantan yang lebih beragam Kebijakan kawin silang pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak Pemurnian Kebijakan pemurnian pada sapi potong memberikan keuntungan peternak Kebijakan pemurnian pada sapi potong dapat mensejahterahkan peternak Kebijakan pemurnian pada sapi potong sebaiknya diteruskan untuk melestarikan plasma nutfah ternak asli atau lokal Kebijakan pemurnian pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak Persilangan dan pemurnian (campuran) Tanpa ada kebijakan persilangan atau pemurnian pada sapi potong (peternak bebas melakukan) akan memberikan keuntungan peternak Tanpa kebijakan persilangan dan pemurnian pada sapi potong (peternak bebas melakukan) dapat mensejahterahkan peternak Pemerintah tidak perlu mengatur perkawinan ternak pada sapi potong Kebijakan pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak
Persepsi (%) (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
0
1,3
25,8
59,6
13,3
0
0,4
25,0
60,4
14,2
0
4,6
36,3
50,0
9,2
0
2,9
35,8
50,0
11,3
2,1
16,7
27,9
51,7
1,7
1,3
16,3
33,8
45,4
3,3
0,8
11,7
45,8
37,1
4,6
2,1
17,1
42,1
35,8
2,9
11,7
16,7
28,8
36,7
6,3
10,8
15,8
39,6
27,9
5,8
15,4
31,3
22,9
23,8
6,7
12,5
18,3
29,6
32,1
7,5
Dalam hal pemurnian, persepsi peternak yang setuju tidak setinggi pada persilangan. Hanya 53,4% responden yang setuju bahwa pemurnian pada ternak
105
sapi potong dapat memberikan keuntungan peternak. Sebanyak 29,7% responden ragu-ragu dan sebanyak 18,8% responden tidak setuju. Begitu juga terhadap
pertanyaan
apakah
dengan
kebijakan
pemurnian
ini
dapat
mensejahterahkan peternak, hanya 48,7% yang menyatakan setuju, 33,8% raguragu dan sebanyak 17,6% tidak setuju. Data selengkapnya mengenai persepsi peternak terhadap kebijakan Pemerintah terhadap perbibitan sapi potong dapat dilihat Tabel 15. Terhadap pertanyaan apakah kebijakan pemurnian pada sapi potong sebaiknya diteruskan untuk melestarikan plasma nutfah ternak asli atau lokal, hanya 41,7% responden yang menyatakan setuju, sebanyak 45,8% menyatakan ragu-ragu dan 12,5% responden tidak setuju. Apakah kebijakan pemurnian pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak? Terhadap pertanyaan ini, hanya 38,7% responden menyatakan setuju, 42,1% responden menyatakan ragu-ragu dan sebanyak 19,2% menyatakan tidak setuju. Untuk kasus campuran, yaitu kebijakan perbibitan yang tidak mengatur apakah suatu jenis sapi boleh disilang atau tidak dan/atau dimurnikan atau tidak, antara yang setuju, ragu-ragu dan tidak setuju, menunjukkan pernyataan responden relatif hampir menyebar secara merata. Terhadap pertanyaan apakah tanpa ada kebijakan persilangan atau pemurnian pada sapi potong (peternak bebas melakukan) akan memberikan keuntungan peternak? Sebanyak 43,0% menyatakan setuju, sebanyak 28,6% ragu-ragu dan 28,4% menyatakan tidak setuju.
Begitu
juga
terhadap
kemungkinan mensejahterahkan
peternak,
sebanyak 33,7% responden menyatakan setuju, sebanyak 30,8% menyatakan tidak setuju dan sebanyak 29,5% menyatakan ragu-ragu. Hal yang menarik adalah ketika ditanyakan apakah Pemerintah tidak perlu mengatur perkawinan ternak pada sapi potong?. Sebanyak 46,7% responden menyatakan tidak setuju, 22,8% responden menyatakan ragu-ragu dan 30,5% responden menyatakan setuju. Apakan kebijakan pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak? Sebanyak 39,6% responden menyatakan setuju, 29,6% ragu-ragu dan sebanyak 30,8% menyatakan tidak setuju. Hasil analisis Kruskal-Wallis test tentang persepsi peternak sapi potong terhadap IB, dengan hipotesis: H 0 = persepsi ketiga peternak sapi potong di lokasi penelitian adalah sama; H 1 = setidaknya persepsi peternak sapi potong di salah satu lokasi penelitian berbeda secara nyata, maka dapat disimpulkan
106
bahwa persepsi peternak sapi potong terhadap aspek-aspek IB di tiga lokasi penelitian secara umum berbeda secara signifikan. Hasil pengujian statistik dengan Mann Whitney U test (Tabel 16) antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan indikator persepsi yang berbeda nyata, kecuali indikator tujuan untuk menciptakan jenis sapi baru dan menghasilkan final stock, struktur sosial, peningkatan produksi hasil IB, dan kebijakan persilangan, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan menunjukkan enam indikator persepsi, yaitu jenis sapi bibit, tujuan menciptakan jenis sapi baru dan konservasi, pelayanan inseminator, struktur sosial dan campuran, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sedangkan indikator persepsi yang lain menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 16. Rataan skor indikator persepsi sapi potong antar lokasi penelitian Indikator persepsi
Bangkalan
Rata-rata skor Lamongan
Tabanan
3,88 a 3,71 a 4,00 a 3,57 a 3,62 a 4,30 a
4,39 b 4,24 b 3,78 a 2,65 b 3,58 a 4,51 b
3,94 a 3,33 c 3,71 a 3,73 a 2,93 b 4,15 a
3,10 a 3,94 a 3,33 a
3,93 b 3,05 b 2,86 a
4,01 b 2,45 c 2,83 a
4,26 a 4,18 a
4,41 a 4,51 b
4,00 b 4,04 c
3,75 a 3,53 a 3,41 a
3,94 a 2,83 b 2,26 b
3,40 b 3,25 c 3,44 a
Teknis • Jenis sapi bibit • Tanda-tanda fisik sapi bibit • Tujuan: jenis sapi baru • Tujuan: konservasi • Tujuan: final stock • Pelayanan inseminator Sosial-budaya • Norma sistem sosial • Kelembagaan peternak sapi • Struktur sosial Ekonomi • Peningkatan produksi hasil IB • Keuntungan relatif Kebijakan • Persilangan • Pemurnian • Persilangan dan pemurnian (campuran)
Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p< 0.05)
Untuk Kabupaten Lamongan dan Tabanan
tiga indikator persepsi
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata, yaitu tujuan untuk menghasilkan jenis sapi baru, norma sistem sosial dan struktur sosial. Selebihnya, menunjukkan
perbedaan
yang
nyata.
Persepsi
terhadap
tujuan
untuk
menciptakan jenis sapi baru dan persepsi terhadap struktur sosial tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di ketiga lokasi penelitian. Dalam kasus untuk menghasilkan jenis sapi baru, hal ini sangat relevan untuk Kabupaten Bangkalan dan Lamongan yang kebijakan IB-nya diperbolehkan melakukan persilangan. Tetapi hal ini tidak relevan untuk Kabupaten Tabanan, yang
107
kebijakan IB-nya adalah untuk pemurnian. Seperti dijelaskan sebelumnya, untuk menghasilkan jenis sapi baru ini, sebanyak 62,1% responden menyatakan setuju dan 13,8 sangat setuju. Hanya 6,7% responden tidak setuju dan 17,5% raguragu. Hal ini juga didukung oleh persepsi peternak terhadap perkawinan silang, yaitu untuk (1) memperoleh sapi induk yang dapat dikembangbiakkan lebih lanjut, sebanyak 85,0% setuju dan sangat setuju. Hanya 1,3% responden yang tidak setuju, dan 13,7% ragu-ragu; (2) menghasilkan sapi induk yang lebih baik dari tetuanya, yaitu sebanyak 87,8% responden menyata-kan setuju. Terhadap struktur sosial, peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian mempunyai persepsi yang sama, yaitu
telah terjadi perubahan bahwa (1)
peternak tidak lagi memelihara sapi jantan sebagai pemacek, atau setidaktidaknya telah banyak berkurang, (2) peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat sekarang sudah berkurang dan (3) status sosial peternak pemilik pemacek sama dengan peternak yang tidak memiliki pemacek. Hipotesis 2: terdapat perbedaan persepsi peternak sapi potong tentang IB. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney U tes tersebut diatas, dengan hipotesis : H 0 = persepsi ketiga peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian tidak berbeda; H 1 = setidaknya persepsi peternak sapi potong di salah satu lokasi penelitan menunjukan perbedaan yang signifikan tentang IB, maka H 0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi peternak sapi potong di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tabanan secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam kaitan persepsi peternak sapi potong, dari hasil penelitian ini dapat ditegaskan anggapan bahwa pertimbangan aspek ekonomi lebih dominan dibanding dengan aspek tujuan perbibitan/IB, aspek sosial-budaya dan kebijakan perbibitan dalam penerapan IB. Aspek ekonomi diukur berdasarkan peningkatan produksi sapi hasil IB (berat lahir, berat sapih dan berat sapi dewasa) dan keuntungan relatif menjual sapi hasil IB dibandingkan dengan sapi hasil kawin alam. Aspek tujuan perbibitan/IB diukur apakah penerapan IB untuk menghasilkan sapi jenis baru, final stock atau konservasi. Aspek sosial budaya diukur berdasarkan kesesuaian nilai-nilai, keyakinan ataupun adat-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat (norma sistem sosial); adanya perubahan kelembagaan peternak sapi dengan dikenalkannya IB (kelembagaan peternak sapi) dan adanya perubahan tujuan, status-peran, keyakinan dan jenjang sosial dalam masyarakat setelah dikenalkannya IB (struktur sosial).
108
Sedangkan aspek kebijakan perbibitan/IB mencakup kebijakan persilangan (adanya kebebasan memilih jenis sapi pejantan untuk dikawinsilangkan dengan sapi induk miliknya); pemurnian (tidak adanya pilihan jenis sapi pejantan untuk dikawinkan dengan sapi induk milik peternak) dan campuran (tidak adanya ketentuan jenis sapi pejantan yang digunakan untuk dikawinkan dengan sapi induk milik peternak). Untuk menguji anggapan ini, dapat dilihat seberapa dominan indikatorindikator
tersebut sebagai pembentuk variabel latennya (persepsi). Hal ini
ditunjukkan dengan estimasi R2 dan tingkat kesalahan pengukurannya. Berdasarkan indikator-indikator yang signifikan membentuk persepsi, maka beberapa indikator yang dominan sebagai pembentuk peubah persepsi adalah peningkatan produksi hasil IB (R2=0.25) dan
keuntungan relatif (R2=0.28).
indikator aspek tujuan perbibitan/IB: menghasilkan jenis sapi baru (R2=0,06), konservasi (R2=0.22) dan final stock (R2=0.03). Sedangkan aspek sosial budaya: norma sistem sosial
(R2=0.003), kelembagaan peternak (R2=0.04), struktur
sosial (R2=0.00). Untuk aspek kebijakan perbibitan: kebijakan persilangan (R2=0.05), pemurnian (R2=0.08) dan campuran (R2=0.00). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahwa secara relatif persepsi terhadap aspek ekonomi lebih berpengaruh dari
aspek tujuan perbibitan/IB, sosial budaya dan aspek
kebijakan di bidang perbibitan. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh van den Ban dan Hawkins (1999:83-85), bahwa informasi atau stimuli yang diperoleh oleh peternak dari lingkungannya, kemudian diubah ke dalam kesadaran psikologis mengikuti prinsip umum persepsi, yaitu (1) Relativitas, setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya; (2) Selektivitas, persepsi sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang; (3) Organisasi. Setiap persepsi terorganisir. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar. Dalam sekejap panca indera melakukan seleksi dan sosok yang menarik
109
akan menciptakan pesan; dan (4) Arah. Melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Tingkat Penerapan dan Kecepatan Adopsi Inovasi IB Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi (gagasan, tindakan dan/atau obyek) sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu (Rogers 2003:21). Menurut Lionberger dan Gwin (1982:60-62), sebelum sampai pada adopsi, proses yang dilalui oleh individu adalah kepedulian, ketertarikan, penilaian, mencoba dan menerima (awareness, interest, evaluation, trial dan adoption). Secara teoritis, tingkat penerapan IB dan kecepatan adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah karakteristik dari teknologi IB itu sendiri, karakteristik internal peternak, karakteristik eksternal peternak dan persepsi peternak sapi potong dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan politik (kebijakan di bidang perbibitan). Tingkat penerapan IB Inovasi menurut Rogers (2003:11) adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek yang dianggap baru oleh suatu
individu atau beberapa individu.
Inseminasi Buatan sebagai salah satu teknologi reproduksi, masuk pada kategori “technological innovation.” Menurut Rogers (2003:12-15, 35) setiap teknologi terdiri dua komponen, yaitu (1) suatu perangkat keras (hardware) yang terdiri dari peralatan dan (2) suatu perangkat lunak (software) yang merupakan informasi ataupun pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya. Dalam konteks IB, yang termasuk perangkat keras seperti frozen semen (mani beku yang dikemas dalam straw), container (yang berisi N2 cair, tempat menyimpan straw), insemination gun (alat untuk menyuntikkan semen ke dalam alat reproduksi sapi betina) dan lain-lain, yang berwujud benda atau fisik. Sedangkan yang termasuk perangkat lunak adalah selain pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya, juga pengetahuan peternak tentang apa yang harus dimiliki/dilakukan untuk dapat menerapkan IB serta pasca pelayanan IB sehingga tujuan dilakukannya inseminasi buatan dapat tercapai. Dalam penelitian ini, tingkat penerapan IB mencakup aspek-aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh peternak, dan dihitung dalam persentase. Apa yang harus dimiliki ataupun dilakukan oleh peternak adalah (1) pengetahuan tentang tanda-tanda sapi berahi, (2) pengamatan sapi
110
berahi, (3) tindakan yang harus segera dilakukan jika sapinya menunjukkan tanda-tanda sapi berahi, (4) pengetahuan tentang jenis sapi atau semen dan nama pejantan dari jenis sapi yang diharapkan dan (5) membuat catatan (recording) tentang segala hal terkait dengan perbibitan, seperti tanggal inseminasi, tanggal beranak, berat lahir, jenis sapi/semen, nama sapi pejantan, tanggal inseminasi ulang dan lain-lain. Secara lebih rinci, aspek-aspek tersebut mencakup (1) pengetahuan tentang tanda-tanda sapi betina berahi (minta kawin), (2) pengetahuan tentang nama-nama jenis sapi pejantan untuk IB, (3) pengetahuan tentang nama pejantan yang digunakan, (4) apakah peternak mempunyai buku catatan IB atau tidak, (5) apakah peternak meminta semen atau jenis sapi tertentu untuk IB atau tidak , (6) apakah peternak meminta nama jenis sapi tertentu untuk IB atau tidak, (7) apakah peternak mencatat jenis sapi yang digunakan untuk IB atau tidak, (8) apakah peternak mencatat nama sapi yang digunakan untuk IB atau tidak, (9) apakah peternak mencatat tanggal pelaksanaan IB atau tidak, (10) apakah peternak mencatat tanggal lahir sapi hasil IB atau tidak,(11) apakah peternak selalu memperhatikan sapinya berahi atau tidak, (12) apakah peternak segera melapor ke inseminator atau tidak ketika sapinya menunjukkan tanda-tanda berahi, (13) apakah peternak mencari inseminator lain atau tidak jika inseminator yang bertugas
tidak ada atau berhalangan dan (14) apakah peternak
menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam pelaksanaan IB seperti membawa sapinya ke kandang jepit, menyiapkan air hangat atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penerapan IB adalah 51,1% dengan kisaran antara 36,4% dan 83,6%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 85,0% responden masuk kategori sedang, yaitu menerapkan aspek-aspek IB antara 40% sampai dengam 60%. Sebanyak 12,5% masuk kategori tinggi, yaitu antara 61% sampai dengan 80% dan sangat tinggi diatas 80% sebanyak 0,8%. Data rinci tingkat penerapan IB dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Tingkat penerapan IB Tingkat penerapan IB Rendah (<40%) Sedang (40% - 60%) Tinggi (>60%-80%) Sangat tinggi (>80%)
Bangkalan
Lamongan
Tabanan
Total
Jml. (orang)
Persen (%)
Jml. (orang)
Persen (%)
Jml. (orang)
Persen (%)
Jml. (orang)
Persen (%)
1 72 7 0
1,3 90,0 8,7 0,0
3 63 13 1
3,8 78,8 16,3 1,3
0 69 10 1
0,0 86,3 12,5 1,3
4 204 30 2
1,7 85,0 12,5 0,8
111
Penjelasan tentang tingkat penerapan IB pada peternak sapi potong dari masing-masing aspeknya adalah sebagai berikut: a.
Pengetahuan peternak. (1) Pengetahuan peternak tentang tanda-tanda sapi induk berahi (minta kawin) adalah salah satu hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh peternak agar pelaksanaan
IB dapat berhasil. Masa
berahi sapi potong berlangsung sekitar 12 jam dan waktu yang tepat untuk melakukan inseminasi buatan adalah sekitar enam jam setelah sapinya menunjukkan tanda-tanda berahi. Ada tujuh tanda-tanda sapi betina berahi yang umum digunakan oleh peternak untuk mendeteksi apakah sapinya tersebut minta kawin atau tidak, yaitu sapi betina tersebut: (a) suka menaiki sapi yang lain, (b) sering melenguh, (c) gelisah, (d) pada alat kelamin mengelurakan lendir, (e) alat kelamin tampak merah, (f) alat kelamin tampak bengkak dan (g) alat kelamin terasa lebih hangat/ panas jika disentuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mengetahui tanda-tanda sapi berahi hanya “satu tanda” sebanyak 0,8%, “dua tanda” sebanyak 18,8%, “tiga tanda” sebanyak 39,6%, “empat tanda” sebanyak 20,8%, “lima tanda” sebanyak 12,1%, “enam tanda” 3,3% dan “tujuh tanda” sebanyak 4,6%. Sedangkan preferensi tanda-tanda sapi berahi yang paling sering digunakan untuk mendeteksi sapi minta kawin secara berturut-turut adalah (a) pada alat kelamin mengeluarkan lendir sebanyak 43,3%, (b) suka menaiki sapi yang lain 24,2%, (c) sering melenguh 14,6%, (d) alat kelamin tampak merah 6,7%, (e) alat kelamin terasa lebih hangat/panas 4,6% dan (f) alat kelamin tampak bengkak dan sapi tampak gelisah 2,9%. (2) Pengetahuan tentang namanama jenis sapi pejantan untuk IB. Beberapa jenis sapi jantan sebagai penghasil semen yang digunakan untuk IB adalah sapi (a) PO/Putih, (b) Simental, (c) Limousin, (d) Brahman, (e) Madura dan (f) Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan peternak tentang jenis-jenis sapi pejantan yang digunakan untuk IB adalah satu jenis 33,3%,
dua jenis
33,3%, 3 jenis 19,2%, empat jenis 10,4% dan lima jenis 3,8%. Preferensi jenis sapi menunjukkan bahwa untuk sapi PO/Putih 0,4%, Simental 11,7%, Limousin 50,0%, Brahman 0,4%, Madura 4,2% dan Bali 33,3%. (3) Pengetahuan peternak tentang jenis sapi pejantan yang digunakan untuk IB adalah hanya
satu jenis (sebanyak 33,3%),
terjadi di lokasi penelitian
Tabanan, yaitu sapi Bali. Untuk dua jenis sapi pejantan (sebanyak 33,3%), terjadi di lokasi penelitian Bangkalan, yaitu sapi Madura dan Limousin. Hal
112
ini menunjukkan bahwa pengetahuan petani tentang jenis sapi pejantan yang digunakan untuk IB sebatas atau sesuai dengan apa yang menjadi kebijakan Pemerintah. Sedangkan untuk tiga jenis (sebanyak 19,2%), empat jenis (sebanyak 10,4%) dan lima jenis (sebanyak 3,8%) sapi pejantan, yaitu jenis sapi Limousin, Simental, Brahman, Brangus dan PO, terjadi di lokasi penelitian Lamongan. Preferensi jenis sapi menunjukkan bahwa sebanyak 0,4%
peternak di Lamongan menyukai sapi PO/Putih, sebanyak 11,7%
menyukai sapi Simental dan sebanyak 0,4% menyukai sapi Brahman. Sebanyak 50,0%, peternak di Lamongan dan Bangkalan menyukai sapi Limousin. Sedangkan peternak di Bangkalan hanya sebanyak 4,2% yang menyukai sapi Madura. Di Tabanan sebanyak 33,3% peternak (seluruh responden) menyukai sapi Bali. (4) Pengetahuan tentang nama pejantan yang digunakan IB. Setiap sapi jantan (elit bull ataupun proven bull) yang digunakan untuk memproduksi semen beku mempunyai nama dan terdapat fotonya. Dalam konteks perbibitan, mengetahui nama “bapak” sapi tersebut sangat penting agar dapat diketahui silsilah turunannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 90% responden tidak mengetahui nama sapi pejantan yang digunakan untuk IB. Hanya 10% saja responden yang mengetahui. b.
Pengamatan sapi induk berahi. Kemauan dan kemampuan peternak dalam memperhatikan sapinya berahi sangat penting dalam pelayanan IB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65,85% peternak selalu memperhatikan sapinya, sebanyak 25% peternak sering memperhatikan, 7,1% kadangkadang
memperhatikan,
0,4%
sesekali
dan
sebanyak
1,7%
tidak
memperhatikan sapinya. c.
Pelaporan ke inseminator. Sikap peternak untuk segera melapor ke inseminator ketika sapinya menunjukkan tanda-tanda berahi adalah salah satu titik kritis dalam keberhasilan pelaksanaan IB. Hasil penelitian terhadap sikap peternak ketika melihat sapinya menunjukkan tanda-tanda minta kawin, 75,8% selalu segera melaporkan ke inseminator, hanya 0,4% yang tidak segera melapor. Peternak yang lain, 2,1% kadang segera melapor dan sebanyak 21,7% sering segera melapor ke inseminator. Sikap peternak ketika sapinya minta kawin dan inseminator yang bertugas tidak ada, maka sebanyak 25,8% tidak mencari inseminator lain. Sebanyak 33.3% kadangkadang mencari inseminator lain, 19,2% selalu mencari inseminator lain,
113
12,1% sering mencari inseminator lain dan sebanyak 9,2% sesekali mencari inseminator lain. d.
Pengenalan terhadap jenis sapi/semen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35,5% responden menyatakan selalu meminta semen atau jenis sapi tertentu. Sebaliknya, sebanyak 33,8% responden tidak pernah meminta semen atau jenis sapi tertentu. Sedangkan yang lain, sering meminta 15%, kadang-kadang meminta 13,8% dan sesekali meminta 2,1%. Terhadap nama sapi tertentu untuk IB, hasil penelitian menunjukkan bahwa 59,2% responden menyatakan tidak pernah meminta nama jenis sapi tertentu. Sebaliknya, sebanyak 2,1%% responden selalu meminta nama jenis sapi tertentu. Sedangkan yang lain, sering meminta 10,8, kadang-kadang meminta 17,5% dan sesekali meminta 10,0%.
e.
Recording. Pencatatan dalam penerapan IB dikaitkan dengan kebijakan perbibitan, adalah hal yang sangat penting. Baik yang berkaitan dengan jenis dan nama sapi pejantan yang digunakan untuk IB, juga untuk mencatat kejadian-kejadian penting lainnya, yaitu diantaranya adalah tanggal sapi menunjukkan tanda-tanda berahi, tanggal inseminasi dan inseminasi ulang, tanggal melahirkan, kondisi anak yang dilahirkan, jenis kelamin anak dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82,9% responden tidak mempunyai buku catatan
untuk IB. Hanya 17,1% saja responden yang
mempunyai buku catatan untuk IB. Kemauan peternak untuk mancatat jenis sapi yang digunakan untuk IB menunjukkan hasil bahwa 68,3% tidak mencatat, 10,4% sesekali mencatat, 15,4% kadang-kadang mecatat, 2,5% sering mencatat dan hanya 3,3% yang selalu mencatat. Kemauan peternak untuk mancatat nama jenis sapi yang digunakan untuk IB menunjukkan hasil bahwa 70,4% tidak mencatat, 11,3% sesekali mencatat, 14,2% kadangkadang mecatat, 2,9% sering mencatat dan hanya 1,3% yang selalu mencatat. Kemauan peternak untuk mancatat tanggal pelaksanaan IB menunjukkan hasil bahwa 35,8% tidak mencatat, 10,4% sesekali mencatat, 30,0% kadang-kadang mecatat, 5,8% sering mencatat dan hanya 17,9% yang selalu mencatat. Kemauan peternak untuk mancatat tanggal lahir sapi hasil IB menunjukkan bahwa 30,4% tidak mencatat, 16,3% sesekali mencatat, 37,5% kadang-kadang mecatat, 9,2% sering mencatat dan hanya 6,7% yang selalu mencatat. Pelaksanaan IB memerlukan persiapan yang harus dilakukan oleh peternak, antara lain adalah menyiapkan sapinya di
114
kandang jepit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 43,8% responden tidak melakukan, 12,9% sesekali melakukan, 25,8% kadang-kadang melakukan, 6,7% sering melakukan dan 10,4% selalu melakukan. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, dengan hipotesis: H 0 : tingkat penerapan IB peternak sapi potong di ketiga lokasi penelitian adalah sama; H 1 : setidaknya ada satu dari tiga lokasi penelitian yang mempunyai tingkat penerapan IB peternak sapi potong yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa statistik hitung seluruh indikator tingkat penerapan IB lebih besar dari statistik tabel (5,99), maka H 0 ditolak. Kesimpulannya adalah ada perbedaan yang nyata tingkat penerapan IB peternak sapi potong antar lokasi penelitian. Untuk mengetahui secara rinci di lokasi penelitian mana yang berbeda, digunakan uji statistik Mann Whitney U test. Antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan
indikator tingkat penerapan IB yang
berbeda secara nyata, kecuali indikator pelaporan ke inseminator menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Antara
Kabupaten Bangkalan dan
Tabanan seluruh indikator tingkat penerapan IB menunjukkan perbedaan yang signifikan. Untuk Kabupaten Lamongan dan Tabanan empat indikator tingkat penerapan IB menunjukkan ada perbedaan yang nyata. Sedangkan indikator pengetahuan tanda sapi berahi menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata. Tabel 18. Rataan nilai indikator tingkat penerapan IB antar lokasi penelitian Indikator tingkat penerapan IB Pengetahuan tanda sapi berahi (jumlah tanda) Pengamatan sapi berahi (frekuensi amatan) Pelaporan ke inseminator (frekuensi kecepatan) Pengenalan jenis sapi/semen (frekuensi permintaan) Recording (frekuensi pencatatan)
Bangkalan 2,82 a 4,16 a 4,50 a 3,76 a 2,12 a
Rata-rata Lamongan 4,03 b 4,49 b 4,70 a 4,62 b 1,10 b
Tabanan 3,73 b 4,94 c 4,98 b 1,10 c 1,38 c
Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p< 0.05)
Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi (gagasan, tindakan dan/atau obyek) sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu (Rogers 2003:21). Khusus untuk waktu yang dibutuhkan dimana suatu inovasi diadopsi oleh sebagian anggota dari suatu sistem sosial, Rogers (2003:206-207) menyebutnya sebagai Rate of Adoption. Tingkat kecepatan adopsi inovasi ini dipengaruhi oleh (1) sifat-sifat yang melekat pada inovasi (relative advantage, compatibility, complexity, trialability dan
115
observability), (2) jenis keputusan inovasi (optional, collective atau authority), (3) saluran komunikasi (misal: media massa, interpersonal), (4) sistem sosial dan (5) intensitas upaya promosi oleh agen perubahan (penyuluh). Menurut Nasution (2002:125), perbedaan kecepatan proses adopsi, antara lain dapat dijelaskan dengan persepsi mereka terhadap karakteristik inovasi. Karakteristik inovasi, sebagaimana mereka persepsikan,
akan menjelaskan perbedaan kecepatan
proses adopsi. Dalam penelitian ini beberapa indikator kecepatan adopsi inovasi IB adalah lamanya waktu adopsi, sifat inovasi, sumber/saluran informasi dan intensitas penyuluhan. Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB dihitung berdasarkan selang waktu antara “sejak tertarik dengan IB” sampai dengan waktu
“memutuskan
menggunakan IB secara konsisten”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata waktu yang dibutuhkan adalah 2,39 tahun dengan kisaran antara 0 dan 16 tahun. Sebanyak
177 responden (73,8%) dalam waktu kurang dari 3 tahun;
sebanyak 49 responden (20,4%) dalam waktu antara 4-7 tahun; sebanyak 8 responden (3,3%) dalam waktu antara 8-11 tahun dan sebanyak 5 responden (2,1%) dalam kurun waktu antara 12-15 tahun dan sebanyak 1 orang (0,4%) dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun. Data rinci tingkat kecepatan adopsi inovasi IB dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB
• • • •
< 3 tahun 4-7 tahun 8-11 tahun >12 tahun
Bangkalan
Jml. (orang)
47 33 0 0
Persen (%)
58,8 41,2 0,0 0,0
Lamongan
Jml. (orang)
64 6 4 6
Persen (%)
80,0 7,4 5,0 7,6
Tabanan
Jml. (orang)
66 10 4 0
Persen (%)
82,5 12,5 5,0 0,0
Jml. (orang)
Total
177 49 8 6
Persen (%)
73,8 20,4 3,3 2,5
Hasil uji beda menggunakan Kruskal-WallisTest menunjukkan bahwa kecepatan adopsi IB antar lokasi penelitian berbeda nyata. Sekitar 80% responden di Kabupaten Lamongan dan Tabanan membutuhkan waktu tiga tahun atau kurang untuk mengadopsi inovasi IB. Di Kabupaten Bangkalan 58,8% responden membutuhkan waktu tiga tahun atau kurang untuk mengadopsi inovasi IB dan 41,2% responden dalam waktu antara 4 hingga 7 tahun. Karakteristik inovasi IB. Berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada inovasi IB, yaitu (1) IB lebih menguntungkan, (2) IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat, (3) IB mudah diterapkan, (4) IB bisa dicoba terlebih dahulu dan (5) IB dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya,
116
maka hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mempertimbangkan “satu faktor” sebanyak 22,5%, “dua faktor” 48,3%, “tiga faktor” 25%, “empat faktor” 3,3% dan “lima faktor” sebanyak 0,8%. Faktor yang paling banyak dipertimbangkan dalam mengadopsi inovasi IB adalah IB lebih menguntungkan, yaitu sebanyak 82,1%. Sebanyak 13,7% mempertimbangkan IB mudah diterapkan, sebanyak 2.9% mempertimbangkan IB dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya, sebanyak 0,4% yang mempertimbangkan IB bisa dicoba lebih dahulu serta hanya 1,3% yang mempertimbangkan IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat. Jenis keputusan untuk menggunakan IB adalah bersifat optional. Karena dalam perkawinan sapi, selain menggunakan IB, juga bisa dilakukan secara kawin alam, yaitu menggunakan sapi jantan (pemacek) yang ada, seperti biasa dilakukan sebelum diintroduksinya IB. Di samping itu, keputusan mengadopsi IB lebih bersifat individual dibanding bersifat kolektif. Menurut Rogers (2003:24), proses difusi terjadi di dalam suatu sistem sosial. Struktur sosial dari sistem akan mempengaruhi difusi inovasi dengan beberapa cara. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi adalah proses komunikasi dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Sebagaimana dalam persepsi peternak tentang IB, boleh dikatakan hampir tidak ada perubahan kelembagaan maupun struktur sosial yang terjadi dengan diadopsinya IB oleh masyarakat. Hal ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh
Nasution
(2002:123),
bahwa
difusi
inovasi
sebagai
suatu gejala
kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Bahkan kedua hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain Saluran komunikasi IB. Komunikasi adalah suatu proses, di mana anggota masyarakat menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lainnya, dalam rangka mencapai pemahaman yang saling menguntungkan. Difusi adalah suatu yang berkaitan dengan gagasan baru. Prosesnya melibatkan (1) suatu inovasi, (2) individu atau satuan lain adopsi yang mempunyai pengetahuan tentang inovasi atau berpengalaman menerapkan inovasi tersebut, (3) individu lain atau satuan lain yang belum berpengalaman menerapkan inovasi tersebut dan (4) saluran komunikasi yang menghubungkan kedua satuan tersebut. Jadi, saluran komunikasi adalah suatu tindakan dimana pesan diperoleh dari satu individu ke individu
yang lain. Sumber informasi yang teridentifikasi digunakan oleh
peternak dalam mengadopsi inovasi IB adalah, (1) teman/tetangga, (2) orang
117
tua, (3) siaran radio/TV, (4) penyuluh/petugas peternakan dan (5) brosus/leaflet/ buku. Berdasarkan jumlah sumber, untuk mengadopsi inovasi IB ini tercatat bahwa yang merujuk pada satu sumber 40,4%, dua sumber 44,2%, tiga sumber 14,2% dan empat sumber 0,8%. Sedangkan sumber informasinya sendiri yang paling
banyak
dirujuk
adalah
penyuluh/petugas
peternakan
(termasuk
inseminator) sebanyak 25.8%, teman/tetangga sebanyak 13,3%, sedangkan yang merujuk pada dua sumber, yaitu teman/tetangga dan penyuluh/petugas peternakan sebanyak 37,1%. Kemampuan peternak dalam mengakses informasi tentang IB dalam kurun waktu setahun terakhir, hasil penelitian menunjukkan bahwa 67,1% peternak menyatakan mudah dan 21,7% menyatakan sangat mudah dalam mengakses informasi tentang IB. Sebanyak 11,2% responden menyatakan sulit mengakses informasi tentang IB. Menurut Ross (1979:12) menyatakan bahwa semua komunikasi terdiri hanya 35% verbal dan sisanya 65% adalah bahasa nonverbal. Dalam konteks nonverbal ini, peranan budaya sangat besar. Bahkan tiap-tiap komunitas mungkin mempunyai sistem komunikasi nonverbal sendiri. Di sini pentingnya untuk mengamati secara langsung proses komunikasi suatu komunitas. Intensitas upaya promosi IB oleh agen perubahan (penyuluh). Frekuensi penyuluhan IB yang dilakukan oleh petugas di lokasi penelitian dalam kurun waktu enam bulan terakhir menunjukkan relatif jarang, yaitu dua kali atau kurang. Bahkan, sebanyak 44,6% menyatakan tidak pernah ada penyuluhan dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Sementara, sebanyak 15,8 responden menyatakan sering (3-5 kali/enam bulan) dan 10,0% responden menyatakan sangat sering, yakni 6 kali atau lebih dalam kurun enam bulan terakhir. Dalam penyuluhan IB ini, sebanyak 49,6% responden menyatakan dilakukan oleh inseminator, hanya 13,3% responden menyatakan dilakukan oleh penyuluh pertanian/peternakan. Tabel 20. Rataan nilai indikator tingkat kecepatan adopsi inovasi IB antar lokasi penelitian Indikator tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Lamanya waktu adopsi (tahun) Sifat inovasi (jumlah sifat) Sumber/saluran informasi (tingkat kesulitan) Intensitas penyuluhan (frekuensi penyuluhan)
Bangkalan 3,25 a 1,50 a 4,11 a 2,36 a
Rata-rata Lamongan 2,80 a 2,30 b 4,00 b 0,40 b
Tabanan 2,28 b 2,55 b 4,18 a 2,33 a
Keterangan: Subskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p< 0.05)
Hasil analisis statistik menggunakan Kruskal Wallis menunjukkan bahwa antar lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata untuk indikator sifat
118
inovasi dan intensitas penyuluhan. Sedangkan indikator lamanya waktu adopsi dan sumber/saluran informasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui lokasi mana yang berbeda, dilakukan analisis menggunakan Mann Whitney U test yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 dapat dijelaskan bahwa antara Kabupaten Bangkalan dan Lamongan secara umum menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali indikator lamanya waktu adopsi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Antara Kabupaten Bangkalan dan Tabanan, indikator lamanya waktu adopsi dan sifat inovasi menunjukkan ada perbedaan yang nyata, selebihnya indikator menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Untuk Kabupaten Lamongan dan Tabanan, lamanya waktu adopsi, sumber/saluran informasi dan intensitas penyuluhan menunjukkan ada perbedaan, sementara indikator sifat inovasi menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Berdasarkan Tabel 20 dapat dicatat beberapa hal untuk Kabupaten Bangkalan, yaitu (1) waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk adopsi inovasi IB di Kabupaten Bangkalan relatif paling lama dibandingkan dengan kabupaten lain, yaitu 3,25 tahun; (2) sifat inovasi IB yang dipertimbangkan adalah paling sedikit, yaitu1,5 dari 5 karakteristik inovasi IB; dan (3) rata-rata intensitas penyuluhan IB paling tinggi, yaitu 2,36 kali dalam kurun waktu enam bulan terakhir dibanding Kabupaten lain. Responden di Kabupaten Bangkalan mempertimbangkan paling sedikit karakteristik inovasi dibandingkan dengan kabupaten lain, yaitu kurang dari 2 karakteristik. Sebanyak 88,7% responden menyatakan karena IB sangat menguntungkan. Sebanyak 11,3% mempertimbangkan karakteristik inovasi yang lain. Sedangkan
faktor lain yang dipertimbangkan bersama-sama dengan IB
sangat menguntungkan adalah IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat sebesar 22,5% dan IB mudah diterapkan sebesar 8%. Dari karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong, dapat dikemukakan
bahwa
beberapa
indikator
untuk
Kabupaten
Bangkalan
menunjukkan hasil yang paling rendah, yaitu (1) rataan umur peternak relatif paling tua, yaitu 50,43 tahun; (2) sebanyak 93,8% responden mempunyai tingkat pendidikan 6,43 tahun, setara dengan kelas satu SMP; (3) rataan pengalaman beternak sapi relatif paling rendah, yaitu 20,7 tahun; (4) rataan jumlah sapi yang dijual hanya 0,10 ST setahun per peternak; dan (5) pendapatan rumah tangga hanya Rp. 13,1 juta per tahun, sementara di kabupaten lain diatas Rp. 20 juta.
119
Dalam penelitian ini juga diidentifikasi apakah peternak dalam mengadopsi inovasi IB ini melalui proses mencoba terlebih dahulu atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 43,3% responden mencoba terlebih dahulu dan 56,7% tidak mencoba terlebih dahulu. Menurut Lionberger & Gwin (1982:62), tidak ada kesepakatan di antara para peneliti bahwa keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan hasil dari sekuens pengaruh yang bekerja saat itu atau sebagai sesuatu yang terjadi secara instan. Lebih jauh dikatakan, ada variasi dalam proses adopsi, yaitu tidak semua orang mengalami semua tahapan secara persis urutannya dalam mengambil keputusan. Demikian juga terhadap sikap peternak setelah mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi IB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada responden yang berhenti menggunakan IB setelah memutuskan menggunakan IB, atau kecewa, mengganti dengan teknologi lain ataupun kembali menggunakan kawin alam dalam mengawinkan sapinya. Model Keterkaitan Faktor-faktor dalam Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong Untuk menguji derajat kecocokan atau Goodness of Fit (GOF) antara data dan model, menurut Hair et.al. dalam Sitinjak dan Sugiarto (2006:67) dilakukan melalui beberapa tingkatan, yaitu (1) kecocokan keseluruhan model (overall model fit), (2) kecocokan model pengukuran (measurement model fit) dan (3) kecocokan model struktural (structural model fit). Menurut Yamin dan Kurniawan (2009:35-39) dalam uji kecocokan model pengukuran, harus dilakukan evaluasi terhadap masing-masing kontruk yang ada dalam model. Pemeriksaan terhadap kontruk laten dilakukan berkaitan dengan pengukuran konstruk laten oleh indikatornya (variabel manifes). Evaluasi ini dilakukan terpisah meliputi (1) apakah suatu indikator benar-benar mengukur konstruk latennya (mengukur apa yang seharusnya diukur) atau validitas dan (2) seberapa besar tingkat konsistensi indikator-indikator tersebut mengukur konstruk latennya atau reliabilitas. Validitas dan Reliabilitas Konstruk Menurut Kusnendi (2008:107-108), korelasi antara variabel indikator dan variabel latennya disebut sebagai koefisien bobot faktor. Dalam confirmatory factor analysis (CFA), koefisien bobot faktor digunakan untuk mengidentifikasi validitas dan reliabilitas setiap indikator dalam mengukur variabel latennya.
120
Melalui koefisien bobot faktor yang distandarkan, validitas setiap variabel manifes atau indikator dalam mengukur variabel latennya dievaluasi. Dalam konteks ini, validitas menunjukkan ketepatan suatu indikator mengukur dengan benar konstruk yang diukur. Dengan demikian, semakin tinggi koefisien bobot faktor distandarkan mengindikasikan (1) semakin tinggi ketepatan yang dimiliki oleh indikator tersebut dalam mengukur konstruk yang diukur dan (2) semakin tinggi validitas dan reliabilitas suatu indikator dalam mengukur konstruk atau variabel laten yang diukur. Koefisien bobot faktor selain digunakan untuk mengevaluasi validitas dan reliabilitas masing-masing indikator, juga digunakan untuk mengevaluasi secara keseluruhan (overall) atau secara komposit konsistensi internal indikator-indikator dalam mengukur sebuah konstruk yang diteliti. Untuk mengevaluasi validitas model pengukuran maupun model struktural, menurut Sitinjak dan Sugiarto (2006:70), menyatakan bahwa (1) nilai t-hitung muatan faktornya (factor loading) lebih besar dari nilai kritis (>1.96) dan (2) muatan faktor standarnya lebih besar atau sama dengan 0,70. Menurut Kusnendi (2008:111) tidak kurang dari 0,50 atau 0,40. Sedangkan untuk mengevaluasi reliabilitas konstruk digunakan koefisien reliabilitas konstruk (CR) dan atau koefisien variance extracted (VE). Konvensi yang berlaku di kalangan para ahli adalah apabila estimasi koefisien CR sama dengan atau lebih besar dari 0,70 dan atau VE lebih besar atau sama dengan 0,50 maka dikatakan model pengukuran dikatakan reliabel. Dalam penelitian ini, untuk mengevaluasi reliabilitas konstruk digunakan VE. Konstruk karakteristik internal peternak sapi potong (KIP) Konstruk KIP sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes (indikator) yaitu umur (X1.1), tingkat pendidikan (X1.2), pengalaman beternak sapi (X1.3), motivasi menggunakan IB (X1.4) dan tingkat kekosmopolitan (X1.5). Gambar 10 menunjukkan hubungan antara konstruk KIP dan indikatornya, di mana nilai P-hitung = 0,35311 > dari 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0,021 < 0,08 dan nilai Comparative Fit Index (CFI) = 1,00 > 0,90.
121
Merujuk pada persyaratan uji kesesuaian, maka H 0 diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji
mampu mengestimasi matriks kovariansi
populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model
dapat
diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model (Gambar 10) menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Namun, evaluasi terhadap reliabilitas konstruk KIP berdasarkan seluruh indikatornya menghasilkan koefisien variance extracted (VE)=0,33. Hal ini berarti konstruk KIP tidak reliabel. 4.27
X1.1
9.72
X1.2
6.19
X1.3
10.92
X1.4
10.99
X1.5
12,26 -8.03 11.22
KIP
1.00
-0.82 -5.34
Chi-Square=5.54, df = 5, P-value= 0.35311, RMSEA= 0,021
Gambar 10. Statistik t-hitung parameter antara konstruk karakteristik internal (KIP) dan variabel indikatornya. Berdasarkan Gambar 10, indikator motivasi menggunakan IB (X1.4) menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap konstruk KIP (nilai t-statistik 0,82 < dari t-table). Dengan kata lain, indikator motivasi peternak dalam menggunakan IB tidak dapat dijelaskan oleh peubah KIP (kesalahan pengukuran mendekati 100%). Sebagaimana dijelaskan dalam definisi operasional peubah dan indikatornya, pengukuran motivasi peternak menggunakan IB dilakukan berdasarkan apakah peternak dalam mengadopsi IB berasal dari dalam diri peternak sendiri (intrinsik) atau berasal dari luar peternak (ekstrinsik). Motivasi peternak menggunakan IB diukur dengan skala nominal, yaitu (a) ekstrinsik dengan urutan (1) ikut program pemerintah, (2) ikut kegiatan kelompok, (3) cobacoba dan (4) ikut teman yang berhasil, (b) kategori intrinsik adalah peternak sadar bahwa IB sangat menguntungkan. Secara deskriptif, motivasi peternak yang mengadopsi IB berasal dari diri peternak sendiri adalah sebesar 39,2% dan yang mengadopsi IB berasal dari luar diri peternak adalah sebesar 60,8% dengan rincian 0,4% ikut program pemerintah, 14,0% ikut kegiatan kelompok, 10,3% coba-coba dan 35,0% ikut teman yang berhasil.
122
0.32
X1.1
0.71
X1.2
0.43
X1.3
1.00
X1.4
0.86
X1.5
0,82 - 0.54 0.75
KIP
1.00
- 0.06 - 0.37
Chi-Square=5.54, df = 5, P-value= 0.35311, RMSEA= 0,021
Gambar 11. Estimasi parameter hubungan antara konstruk karakteristik internal (KIP) dan variabel indikatornya Berdasarkan Gambar 10, dapat dinyatakan bahwa indikator umur peternak (X1.1) dapat dijelaskan oleh peubah KIP sebesar 68% dengan kesalahan pengukuran sebesar 32%. Indikator pendidikan peternak (X1.2) dapat dijelaskan oleh peubah KIP sebesar 29% dengan kesalahan pengukuran 71%. Indikator pengalaman beternak sapi (X1.3) dapat dijelaskan oleh peubah KIP sebesar 57% dengan kesalahan pengukuran sebesar 43% dan indikator
tingkat
kekosmopolitan peternak (X1.5) dapat dijelaskan oleh peubah KIP sebesar 14% dengan kesalahan pengukuran sebesar 86%. Menurut Kusnendi (2008:111), suatu indikator diindikasikan dominan sebagai pembentuk variabel latennya apabila indikator tersebut memiliki estimasi R2 tidak kurang dari 0.70 atau tingkat kesalahan pengukurannya kurang dari 0,51 atau 51% atau 60% menurut Sitinjak dan Sugiarto (2006:57). Indikator yang dominan sebagai pembentuk peubah KIP adalah (1) umur, yaitu memiliki estimasi koefisien R2=0,68 (68%) dan error variance sebesar 0,22 (22%) dan (2) pengalaman beternak sapi yaitu memiliki R2= 0,56 (56%) dan error variance sebesar 0,25 (25%). Konstruk karakteristik usaha peternak sapi potong (KUP) Konstruk KUP sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes (indikator) yaitu jumlah pemilikan sapi (X2.1), keanggotaan dalam kelompok IB, (X2.2), jumlah sapi yang dijual (X2.3) dan pendapatan rumah tangga (X2.4). Gambar 12 menunjukkan nilai P-hitung = 0,06747 >dari 0; nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0,076< 0,08 dan nilai Comparative Fit Index (CFI) = 0,97 > 0,90. Merujuk pada persyaratan uji kesesuaian, maka H 0 diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks
123
kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model (Gambar 12) menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Hasil evaluasi terhadap reliabilitas konstruk KUP
berdasarkan seluruh
indikatornya menghasilkan koefisien variance extracted (VE)=0,38. Hal ini berarti konstruk KIP tidak reliabel.
10.93
X2.1 1.27
10.93
X2.2
0.00
X2.3
10.66
X2.4
- 2.05
KUP
1.00
21.39 13.18
Chi-Square=7.14, df = 3, P-value= 0.06747, RMSEA= 0.076
Gambar 12. Statistik t-hitung parameter antara konstruk karakteristik internal (KUP) dan variabel indikatornya. Berdasarkan Gambar 12, dapat dinyatakan bahwa indikator jumlah pemilikan sapi (X2.1) dapat dijelaskan oleh peubah KUP hanya sebesar 0,64% dengan kesalahan pengukuran sebesar 99,36%. Indikator keanggotaan dalam kelompok IB (X2.2) dapat dijelaskan oleh peubah KUP sebesar 1,7% dengan kesalahan pengukuran sebesar 98,3%. Sebaliknya, indikator jumlah sapi yang dijual (X2.3) dapat dijelaskan oleh peubah KUP sebesar 98% dengan kesalahan pengukuran hanya sebesar 2%, dan indikator pendapatan rumah tangga (X2.4) dapat dijelaskan oleh peubah KUP sebesar 54% dengan kesalahan pengukuran sebesar 46%. Beberapa indikator KUP yang dominan adalah (1) indikator jumlah sapi yang dijual (X2.3) memiliki estimasi koefisien R2 sebesar 98% dengan error variance sebesar 0,1 (1%) dan indikator pendapatan rumah tangga (X2.4) yang mempunyai R2 sebesar 54% dengan error variance sebesar 0,46 (46%). Pada Gambar 13, beberapa indikator menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap konstruk KUP (nilai t-statistik < dari t-table), yaitu jumlah pemilikan sapi (X2.1). Berkenaan dengan tidak signifikannya indikator jumlah pemilikan sapi, data deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata pemilikan sapi adalah 1,96 + 0,85 ST dengan kisaran pemilikan sapi antara 0,5 sampai dengan 7,5 ST. Secara nasional, jumlah pemilikan sapi per kepala keluarga (KK), yaitu
124
rata-rata sekitar 2,17 ekor (setara 1,99 ST).
Hasil penelitian menunjukkan
sebanyak 35,4% masuk kategori pemilikan sedikit, yaitu antara 0,50 -1,9 ST dan sebanyak 57,9% dalam kategori pemilikan sedang, yaitu antara >1,9-4,9 ST. Sisanya, sebanyak 6,7% masuk kategori pemilikan banyak, yaitu lebih dari 4,9 ST. 0.99
X2.1
0.98
X2.2
0,08
0.02
X2.3
- 0.13 0.99
KUP
1.00
0.73 0.46
X2.4 Chi-Square=7.14, df = 3, P-value= 0.06747, RMSEA= 0.076
Gambar 13. Estimasi parameter hubungan antara konstruk karakteristik usaha (KUP) dan variabel indikatornya Konstruk karakteristik eksternal peternak sapi potong (KEP) Konstruk KEP sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes (indikator) yaitu kelembagaan IB (X3.1), keadaan sarana prasarana IB (X3.2), ketersediaan pasar sapi (X3.3) dan ketersediaan informasi IB (X3.4). 10.93
X3.1 -1,29
10.70
0.00
X3.2 X3.3
8.82 20.77
KEP
1.00
0.81 10.93
X3.4
Chi-Square=8.71, df = 3, P-value= 0.03348, RMSEA= 0,089
Gambar 14. Statistik t-hitung parameter antara konstruk karakteristik eksternal (KEP) dan variabel indikatornya Gambar 14 menunjukkan hubungan antara konstruk KEP dan variabel indikatornya. Gambar tersebut menunjukkan nilai P-hitung = 0,03348 < dari 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0,089 > 0,08 dan nilai Comparative Fit Index (CFI) = 0,92 > 0,90. Merujuk pada persyaratan uji
125
kesesuaian, maka H 0 diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model (Gambar 14) menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Evaluasi terhadap reliabilitas konstruk KEP berdasarkan seluruh indikatornya menghasil-kan koefisien variance extracted (VE)=0,31. Hal ini berarti konstruk KEP tidak reliabel. Berdasarkan Gambar 14, beberapa indikator menunjukkan hasil yang tidak signifikan
terhadap konstruk KEP (nilai t-statistik < dari t-table), yaitu
kelembagaan IB (X3.1) dan ketersediaan informasi tentang IB (X3.4). Dengan kata lain indikator kelembagaan IB dan ketersediaan informasi tentang IB tidak dapat dijelaskan oleh peubah KEP. Sedangkan indikator keadaan sarana prasarana IB dapat dijelaskan oleh peubah KEP sebesar 29% dengan kesalahan pengukuran sebesar 71%, dan indikator ketersediaan pasar sapi dapat dijelaskan oleh peubah KEP sebesar 94% dengan kesalahan pengukuran sebesar 6%.
0.99
X3.1 0,09
0.71
0.05
X3.2 X3.3
0.54 0.97
KEP
1.00
0.05 1.00
X3.4
Chi-Square=8.71, df = 3, P-value= 0.03348, RMSEA= 0,089
Gambar 15. Estimasi parameter hubungan antara konstruk karakteristik eksternal (KEP) dan variabel indikatornya Kelembagaan adalah pernyataan peternak responden tentang ada dan tidak adanya kelembagaan (kelompok) seperti telompok ternak, kelompok peternak sapi potong, kelompok IB dan lain-lain di daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa di lokasi penelitian,
85,6%
responden menyatakan hanya ada satu kelompok, yaitu kelompok tani dan/atau kelompok ternak. Kelompok IB hanya ada di lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Lamongan sebagaimana dinyatakan oleh 5.2% responden. Sedangkan di lokasi
126
penelitian di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan, tidak ada kelompok IB. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya pelayanan IB bersifat sangat individual, yaitu tergantung pada sapi yang saat itu minta kawin. Kelompok IB diperlukan ketika komunikasi antara peternak dengan inseminator sulit dilakukan, namun dengan adanya alat komunikasi hand phone (HP), maka kelompok IB tersebut kehilangan fungsinya sebagai sarana penyampaian informasi terkait dengan pelayanan IB. Khusus di Kabupaten Bangkalan, dimana ekosistem “tegalan” sangat kuat mempengaruhi sistem sosialnya, maka agama menjadi “organizing principle” bagi orang Madura, yaitu kelompok-kelompok keagamaan, seperti kelompok “pengajian” (Kuntowijoyo 2002:117). Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai kelompok peternak atau IB, di Kabupaten Bangkalan tidak pernah ada. Ketersediaan informasi tentang IB adalah pernyataan peternak responden tentang jenis-jenis sumber informasi seperti teman/tetangga, anggota kelompok, brosur, buku, petugas peternakan dan lain-lain,
sebagai
sumber informasi
teknologi IB di sekitar daerah tempat tinggalnya dalam kurun waktu setahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan skala ordinal, dengan tiga kategori rendah (satu sumber), sedang (dua sumber) dan tinggi (lebih dari dua sumber). Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terdapat satu sumber informasi (29,2%), dua sumber informasi (57,5%) dan tiga sumber atau lebih (13,3%). Satu sumber yang banyak dirujuk adalah petugas peternakan (17,8%) dan teman/tetangga (10,7%). Sedangkan untuk dua sumber secara bersama yang sering dirujuk adalah teman/tetangga dan petugas peternakan, yaitu 49,6%. Teman/tetangga tidak saja sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai contoh peternak yang telah berhasil menerapkan IB. Sedangkan petugas peternakan yang salah satu fungsinya adalah memberikan penyuluhan pada peternak, memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat baik tentang IB maupun peternakan dalam arti luas. Beberapa indikator KEP yang dominan sebagai pembentuk peubah KEP berdasarkan tingkat kesalahan pengukurannya (error variance) adalah keadaan sarana prasarana 47% (R2=0.29) dan ketersediaan pasar sapi 1% (R2=0.94). Konstruk persepsi peternak potong terhadap IB Konstruk persepsi peternak terhadap IB sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes (indikator) dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan kebijakan. Dari aspek teknis, yaitu jenis sapi bibit (Y1.1), tandatanda fisik sapi bibit (Y1.2), tujuan untuk menghasilkan jenis sapi baru (Y1.3),
127
tujuan untuk konservasi (Y1.4), tujuan untuk final stock (Y1.5) dan pelayanan inseminator (Y1.6). Aspek sosial-budaya meliputi norma sistem sosial (Y1.7), kelembagaan peternak sapi (Y1.8) dan struktur sosial (Y1.9). Aspek ekonomi meliputi peningkatan produksi hasil IB (Y1.10) dan keuntungan relatif (Y1.11). Sedangkan aspek kebijakan mencakup persilangan (Y1.12), pemurnian (Y1.13) dan campuran (silang dan pemurnian) (Y1.14).
10.00
Y1.1
9.36
Y1.2 0.00
10.77
Y1.3
5.98
9.06
Y1.4
3.05
10.33
Y1.5
8.48
Y1.6
10.93
Y1.7
10.96
Y1.8
10.93
Y1.9
9.86
Y1.10
9.92
Y1.11
-5.29 2.26 5.23 0.20 2.51
PERSEPSI
1.00
-0.66 5.56 5.50 3.53 -2.37 10.39
Y1.12
10.88
Y1.13
10.95
Y1.14
-0.30
Chi-Square=103.01, df = 67, P-value= 0.00310, RMSEA= 0.096
Gambar 16. Statistik t-hitung parameter antara konstruk Persepsi dan variabel indikatornya Gambar 16 menunjukkan hubungan antara konstruk Persepsi dan variabel indikatornya. Gambar tersebut menunjukkan nilai P-hitung: 0,00310 < 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0,047 < 0,08 dan nilai Comparative Fit Index (CFI) = 0,96 > 0,90. Merujuk pada persyaratan uji
128
kesesuaian, maka H 0 diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 16 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Hasil evaluasi terhadap reliabilitas konstruk Persepsi berdasarkan seluruh indikatornya
menghasilkan koefisien VE=0,14. Hal ini
berarti konstruk Persepsi tidak reliabel. Beberapa indikator yang tidak signifikan terhadap konstruk Persepsi adalah norma sistem sosial (Y1.7), struktur sosial (Y1.9) dan kebijakan campuran (pemurnian dan silang) (Y1.14). Berdasarkan Gambar 17, dapat dinyatakan bahwa dari aspek teknis, indikator jenis sapi bibit (Y1.1) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 24% dengan kesalahan pengukuran sebesar 76%. Indikator tanda-tanda fisik sapi bibit (Y1.2) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 48% dengan kesalahan pengukuran sebesar 52%. Indikator tujuan perbibitan untuk menghasilkan jenis sapi baru (Y1.3) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi hanya sebesar 6% dengan kesalahan pengukuran sebesar 94%. Indikator tujuan perbibitan untuk konservasi (Y1.4) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 22% dengan kesalahan pengukuran sebesar 88%. Indikator tujuan perbibitan untuk menghasilkan final stock (Y1.5) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi hanya sebesar 3% dengan kesalahan pengukuran sebesar 97%. Indikator pelayanan inseminator (Y1.6) dapat dijelaskan oleh peubah PERSEPSI sebesar 30% dengan kesalahan pengukuran sebesar 70%. Dari aspek kelembagaan, indikator norma sistem sosial (Y1.7) tidak dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi dengan kesalahan pengukuran sebesar 100%. Indikator kelembagaan peternak (Y1.8) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi hanya sebesar 4% dengan kesalahan pengukuran sebesar 96%. Indikator struktur sosial (Y1.9) tidak dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi dengan kesalahan pengukuran mendekati 100%. Dari aspek ekonomi, indikator peningkatan produksi sapi hasil IB (Y1.10) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 26% dengan kesalahan pengukuran sebesar 74%. Sedangkan indikator keuntungan relatif (Y1.11) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 25% dengan kesalahan pengukuran sebesar 75%.
129
0.76
Y1.1
0.52
Y1.2 0.49
0.94
Y1.3
0.69
0.78
Y1.4
0.24
0.97
Y1.5
0.70
Y1.6
1.00
Y1.7
-0.47 0.18
0.96
Y1.8
0.55 0.01 0.19
PERSEPSI
1.00
-0.05 1.00
Y1.9
0.74
Y1.10
0.75
Y1.11
0.51 0.50 0.31 -0.18
0.90
Y1.12
0.97
Y1.13
1.00
Y1.14
-0.02
Chi-Square=103.01, df = 67, P-value= 0.00310, RMSEA= 0.047
Gambar 17. Estimasi parameter hubungan antara Persepsi dan indikatornya. Norma sistem sosial adalah berkenaan dengan pernyataan peternak berdasarkan persepsinya tentang sesuai atau tidak sesuainya
teknologi IB
terhadap nilai-nilai, keyakinan ataupun adat-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, khususnya apakah sapi hasil IB dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IB tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan 71,3% dan 12,5% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. Dari perspektif agama, sebanyak 74% dan 11,7% responden menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa IB tidak bertentangan dengan syariat agama. Bahkan, sapi hasil IB dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan, walaupun adanya pernyataan keragu-raguan responden sebanyak
130
20,4%. Persepsi ini sangat kuat untuk peternak di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tabanan. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan masih terdapat persepsi yang ragu-ragu (antara setuju dan tidak setuju) terhadap penggunaan sapi hasil IB untuk keperluan acara keagamaan. Struktur sosial adalah pernyataan peternak
tentang apakah ada perubahan tujuan, status-peran,
keyakinan dan jenjang sosial dalam masyarakat setelah dikenalkannya IB. Dengan adanya program IB, terjadi perubahan pola pemeliharaan sapi, tujuan dan sasaran kelompok ternak yang ada. Dari aspek struktur sosial, sebanyak 45,0% responden menyatakan keragu-raguan bahwa telah terjadi perubahan tujuan dan sasaran kelompok. Dengan adanya IB, peternak tidak lagi memelihara sapi jantan sebagai pemacek, atau setidak-tidaknya telah banyak berkurang. Dari aspek kebijakan, indikator kebijakan persilangan (Y1.12) dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi sebesar 10% dengan kesalahan pengukuran sebesar 90%. Indikator
kebijakan pemurnian
(Y1.13) dapat dijelaskan oleh
peubah Persepsi hanya sebesar 3% dengan kesalahan pengukuran sebesar 93%. indikator kebijakan campuran (Y1.14) tidakk dapat dijelaskan oleh peubah Persepsi dengan kesalahan pengukuran sebesar 100%. Kebijakan pemurnian dan silang (campuran) adalah pernyataan peternak berdasarkan persepsinya apakah adanya ketentuan boleh atau tidak memilih jenis sapi pejantan untuk dikawinkan dengan sapi induk miliknya merupakan keinginan peternak atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan responden relatif hampir menyebar secara merata antara tidak setuju dan sangat setuju. Terhadap pertanyaan apakah tanpa ada kebijakan persilangan atau pemurnian pada sapi potong (peternak bebas melakukan) akan memberikan keuntungan peternak? Sebanyak 43,0% menyatakan setuju, sebanyak 28,6% ragu-ragu dan 28,4% menyatakan tidak kemungkinan
mensejahterahkan
peternak,
setuju.
Begitu juga terhadap
sebanyak
33,7%
responden
menyatakan setuju, sebanyak 30,8% menyatakan tidak setuju dan sebanyak 29,5% menyatakan ragu-ragu. Yang menarik adalah ketika dinyatakan apakah Pemerintah tidak perlu mengatur perkawinan ternak pada sapi potong. Sebanyak 46,7% responden menyatakan tidak setuju, 22,8% responden menyatakan raguragu dan hanya 30,5% responden yang menyatakan setuju. Apakan kebijakan pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak? Sebanyak 39,6% responden menyatakan setuju, 29,6% ragu-ragu dan sebanyak 30,8% menyatakan tidak setuju. Artinya, kebijakan
131
pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak. Berdasarkan
tingkat
kesalahan
pengukurannya,
beberapa
indikator
Persepsi yang dominan sebagai pembentuk peubah Persepsi adalah jenis bibit sapi 21% (R2=0.25), tanda-tanda fisik sapi bibit 46% (R2=0.48), pelayanan inseminator 22% (R2=0.30), peningkatan produksi hasil IB 22% (R2=0.26), keuntungan relatif 21% (R2=0.25) dan kebijakan persilangan 47% (R2=0.10). Konstruk tingkat penerapan IB (TPA-IB) Konstruk TPA-IB (Y2.1) sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes (indikator) yaitu pengetahuan tanda-tanda sapi berahi (Y2.11), pengamatan sapi berahi (Y2.12), pelaporan ke inseminator (Y2.13), pengenalan jenis sapi/semen (Y2.14) dan recording (Y2.15). Gambar 18 menunjukkan hubungan antara konstruk TPA-IB dan indikatornya. Gambar tersebut menunjukkan nilai P-hitung: 0,52546 > 0; nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0,000 < 0,08 dan nilai Comparative Fit Index (CFI) = 1,0 > 0,90. 10.83
Y2.11
5.45
Y2.12
4.72
Y2.13
9.65
Y2.14
10.74
Y2.15
1,29 5.61 5.73
TPA-IB
1.00
-4.27 -1.78
Chi-Square=4.17, df = 5, P-value= 0.52546, RMSEA= 0,000
Gambar 18. Statistik t-hitung parameter antara konstruk TPA-IB dan variabel indikatornya Merujuk pada persyaratan uji kesesuaian, maka H 0 diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji
mampu mengestimasi matriks kovariansi
populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model
dapat
diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 18 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Namun, hasil evaluasi terhadap reliabilitas konstruk TPA-IB berdasarkan
132
seluruh indikatornya menghasilkan koefisien VE=0,18. Hal ini berarti konstruk TPA-IB tidak reliabel.
0.99
Y2.11
0.65
Y2.12
0.60
Y2.13
0.87
Y2.14
0.98
Y2.15
0,11 0.59 0.63
TPA-IB
1.00
-0.36 -0.15
Chi-Square=4.17, df = 5, P-value= 0.52546, RMSEA= 0,000
Gambar 19. Estimasi parameter hubungan antara TPA-IB dan indikatornya. Berdasarkan Gambar 19, dapat dinyatakan bahwa indikator pengetahuan tanda-tanda sapi berahi (Y2.11) dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB hanya sebesar 1% dengan kesalahan pengukuran sebesar 99%. Indikator pengamatan sapi berahi (Y2.12) dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB sebesar 35% dengan kesalahan pengukuran sebesar 65%. Indikator pelaporan ke inseminator (Y2.13) dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB sebesar 40% dengan kesalahan pengukuran sebesar 60%. Indikator pengenalan jenis sapi/semen (Y2.14) dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB sebesar 13% dengan kesalahan pengukuran sebesar 87%. Indikator recording (Y2.15) dapat dijelaskan oleh peubah TPA-IB hanya sebesar 2% dengan kesalahan pengukuran sebesar 98%. Berdasar tingkat kesalahan pengukurannya, beberapa indikator tingkat penerapan IB yang dominan sebagai pembentuk peubah TPA-IB adalah pengamatan sapi berahi 40% (R2=0.35) dan pelaporan ke inseminator 18% (R2=0.40). Berdasarkan Gambar 18, terdapat dua indikator yang tidak signifikan, yaitu pengetahuan tanda-tanda sapi sapi berahi (Y2.11) dan recording (Y2.15). Salah satu pengetahuan yang harus dimiliki peternak dalam pelaksanaan IB adalah tanda-tanda sapi induk berahi (minta kawin). Hal ini penting karena “masa subur” sapi induk terjadi enam jam setelah tanda-tanda berahi tersebut muncul. Oleh karena itu peternak harus benar-benar mengenali tanda-tanda berahi tersebut dan segera melapor ke petugas IB (inseminator) agar sapinya dapat diinseminasi dalam waktu yang tepat sehingga dapat terjadi kebuntingan. Ada tujuh tandatanda sapi betina berahi yang umum digunakan oleh peternak untuk mendeteksi
133
apakah sapinya tersebut minta kawin atau tidak, yaitu sapi betina tersebut: (1) suka menaiki sapi yang lain, (2) sering melenguh, (3) gelisah, (4) pada alat kelamin mengelurakan lendir, (5) alat kelamin tampak merah, (5) alat kelamin tampak bengkak dan (7) alat kelamin terasa lebih hangat/ panas jika disentuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mengetahui tanda-tanda sapi berahi hanya “satu tanda” sebanyak 0,8%, “dua tanda” sebanyak 18,8%, “tiga tanda” sebanyak 39,6%, “empat tanda” sebanyak 20,8%, “lima tanda” sebanyak 12,1%, “enam tanda” 3,3% dan “tujuh tanda” sebanyak 4,6%. Dengan kata lain, bahwa 100% peternak memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda sapi berahi. Hanya 0,8% yang mengetahui hanya satu tanda berahi, selebihnya, 99,2% mengetahui dua atau lebih tanda-tanda sapi berahi. Sedangkan preferensi tanda-tanda sapi berahi yang paling sering digunakan untuk mendeteksi sapi minta kawin secara berturut-turut adalah (1) pada alat kelamin mengeluarkan lendir sebanyak 43,3%, (2) suka menaiki sapi yang lain 24,2%, (3) sering melenguh 14,6%, (4) alat kelamin tampak merah 6,7%, (5) alat kelamin terasa lebih hangat/panas 4,6% dan (6) alat kelamin tampak bengkak dan sapi tampak gelisah 2,9%. Pencatatan dalam penerapan IB dikaitkan dengan kebijakan perbibitan, adalah hal yang sangat penting. Baik yang berkaitan dengan jenis dan nama sapi pejantan yang digunakan untuk IB, juga untuk mencatat kejadian-kejadian penting lainnya, yaitu diantaranya adalah tanggal sapi menunjukkan tanda-tanda berahi, tanggal inseminasi dan inseminasi ulang,
tanggal melahirkan, kondisi
anak yang dilahirkan, jenis kelamin anak dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82,9% responden tidak mempunyai buku catatan untuk IB. Hanya 17,1% saja responden yang mempunyai buku catatan untuk IB. Konstruk tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (TKA-IB) Konstruk TKA-IB sebagai variabel laten diukur berdasarkan variabel manifes (indikator) yaitu lamanya waktu adopsi (X2.21), sifat inovasi (Y2.22), sumber/saluran informasi (Y2.23) dan intensitas penyuluhan (Y2.24). Gambar 20 menunjukkan hubungan antara konstruk TKA-IB dan indikatornya. Gambar tersebut menunjukkan nilai P-hitung: 0,29996 > 0; nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0,029 < 0,08 dan nilai Comparative Fit Index (CFI) = 0,99 > 0,90. Merujuk pada persyaratan uji kesesuaian, maka H 0 diterima, atau H 1 ditolak. Artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi
134
parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 20 menunjukkan model pengukuran yang fit dengan data. Namun, hasil evaluasi terhadap reliabilitas konstruk TKAIB berdasarkan seluruh indikatornya menghasilkan koefisien VE=0,20. Hal ini berarti konstruk TPA-IB tidak reliabel. 9.75
X2.21 2,25
10.45
X2.22
9.48
X2.23
0.79
Y2.24
1.93 -2.31
TKA-IB
1.00
-2.82
Chi-Square=2.41, df = 2, P-value= 0.29996, RMSEA= 0,029
Gambar 20. Statistik t-hitung parameter antara konstruk TKA-IB dan variabel indikatornya Berdasarkan Gambar 20, dapat dinyatakan bahwa
indikator lamanya
waktu adopsi (Y2.21) dapat dijelaskan oleh peubah TKA-IB hanya sebesar 6% dengan kesalahan pengukuran sebesar 94%. Indikator sifat inovasi (Y2.22) dapat dijelaskan oleh peubah TKA-IB sebesar 4% dengan kesalahan pengukuran sebesar 96%. Indikator sumber/saluran informasi (Y2.23) dapat dijelaskan oleh peubah TKA-IB sebesar 7% dengan kesalahan pengukuran sebesar 93%. Indikator intensitas penyuluhan (Y2.24) dapat dijelaskan oleh peubah TKA-IB sebesar 64% dengan kesalahan pengukuran sebesar 36%.
Berdasar tingkat
kesalahan pengukurannya, indikator tingkat kecepatan adopsi inovasi IB yang dominan sebagai pembentuk peubah TKA-IB adalah sumber/saluran informasi 33% (R2=0.07). Berdasarkan Gambar 20, indikator yang yang tidak signifikan terhadap peubah TKA-IB adalah sifat inovasi IB. Berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada inovasi IB, yaitu (1) IB lebih menguntungkan, (2) IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat, (3) IB mudah diterapkan, (4) IB bisa dicoba terlebih dahulu dan (5) IB dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya.
135
X2.21
0.94
0,25 0.96
X2.22
0.93
X2.23
0.19
TKA-IB
-0.26
1.00
-0.80 0.36
Y2.24
Chi-Square=2.41, df = 2, P-value= 0.29996, RMSEA= 0,029
Gambar 21. Estimasi parameter hubungan antara TKA-IB dan indikatornya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa yang mempertimbangkan “satu
faktor” sebanyak 22,5%, “dua faktor” 48,3%, “tiga faktor” 25%, “empat faktor” 3,3%
dan
“lima
faktor”
sebanyak
0,8%.
Faktor
yang
paling
banyak
dipertimbangkan dalam mengadopsi inovasi IB adalah IB lebih menguntungkan, yaitu sebanyak 82,1%. Sebanyak 13,7% mempertimbangkan IB mudah diterapkan,
sebanyak
2.9%
mempertimbangkan
IB
dapat
dilihat
cara
penggunaan dan hasilnya, sebanyak 0,4% yang mempertimbangkan IB bisa dicoba lebih dahulu serta hanya 1,3% yang mempertimbangkan IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat. Model Pengukuran dan Persamaan Struktural Adopsi Inovasi IB Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi (gagasan, tindakan dan/atau obyek) sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu (Rogers 2003:21). Menurut Lionberger dan Gwin (1982:60-62), sebelum sampai pada adopsi, proses yang dilalui oleh individu adalah kepedulian, ketertarikan, penilaian, mencoba dan menerima (awareness, interest, evaluation, trial dan adoption). Pada tahap awareness, seseorang menjadi peduli terhadap gagasan, produk, ataupun cara baru, dalam hal ini cara mengawinkan sapi menggunakan IB, ketika melihatnya untuk pertama kali. Orang tersebut hanya memiliki sedikit pengetahuan ataupun informasi tentang IB. Pada tahap interest,
muncul
ketertarikan terhadap IB. Pada tahap ini, informasi yang bersifat umum tidak cukup, tetapi dia mulai ingin mengetahui apa yang sesungguhnya tentang IB tersebut, bagaimana IB itu akan bekerja dan sebagainya. Orang tersebut membutuhkan informasi lebih lanjut dan secara aktif mencari informasi tambahan yang lebih rinci. Pada tahap evaluation, sebagai calon adopter yang sudah
136
mengumpulkan informasi, maka orang tersebut mulai menimbang-nimbang antara pro dan kontra tentang IB tersebut, baik caranya, hasilnya, biayanya dan lain-lain. Proses evaluasi ini terkait pada keadaan mental dari orang yang bersangkutan, dikarenakan dia harus memutuskan dua hal, yaitu (1) apakah IB sesuatu yang baik dan (2) apakah IB ini baik untuk yang bersangkutan. Pada tahap
trial, seseorang mulai mencoba IB tersebut. Pola yang umum yang
dilakukan pada tahap ini adalah seseorang pada awalnya mencoba sedikit demi sedikit, dan jika semuanya berjalan dengan baik,
maka
akan dicoba lebih
banyak. Akhirnya, jika percobaan permulaan berhasil, yang biasanya dilakukan oleh seseorang pada usahanya sendiri dan sering setelah mengamati atau berkonsultasi dengan yang lain, maka
akan diadopsi IB tersebut untuk
digunakan seterusnya, atau sebaliknya. Pada tahap adoption, seseorang memutuskan bahwa suatu inovasi cukup baik untuk digunakan dalam skala penuh, dan akan dipertahankan sampai ada inovasi lagi (Lionberger & Gwin 1982:61-62). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan mengadopsi IB mulai dari ”pengenalan” sampai dengan mengambil ”keputusan” apakah menerima IB tersebut ataupun menolaknya. Begitu juga setelah mengambil keputusan, diperlukan waktu untuk ”konfirmasi” apakah akan diteruskan mengunakan IB ataupun berhenti. Bagi yang menolak IB, mungkin akan terus menolak ataupun pada akhirnya menerima setelah melihat banyak bukti yang berhasil. Menurut Rogers & Shomaker (1995: 102), beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat maupun kecepatan proses adopsi inovasi adalah latar
belakang peternak,
(karakteristik internal) maupun
baik
yang
berkaitan dengan individu
sistem sosial (karakteristik eksternal), proses
komunikasi dan sifat dari inovasinya sendiri serta dimensi waktu. Untuk mengetahui keterkaitan karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong serta persepsinya
terhadap adopsi inovasi IB secara simultan,
dilakukan pemodelan persamaan struktural. Analisis model persamaam struktural ini mengikutkan sebanyak 36 indikator dari enam peubah laten yang diamati. Gambar 22 dibawah ini merupakan hasil analisis SEM dengan menggunakan seluruh indikator. Hipotesa uji kesesuaian model penelitian dinyatakan bahwa H 0 : Matriks kovariansi data sampel tidak berbeda dengan matriks kovariansi populasi yang diestimasi dan H 1 : Matriks kovariansi data sampel berbeda dengan matriks kovariansi populasi yang diestimasi, dengan kriteria uji P-hitung
137
> 0,05; nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) < 0,08 dan nilai Comparative Fit Index (CFI) > 0,90. Gambar 22 menunjukkan nilai P-hitung = 0,000< dari 0,05 RMSEA = 0,094 > 0,08 dan CFI = 0,53 < 0,90.
Y2.11 Y2.12 0.00 0.91
Y2.13
1.91
TPA-IB (Y2.1)
5.06 -4.78
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4
0.00 -5.73 6.40 -1.26 -6.03
-3.13
Y1.2 -2.24
4.51
X2.3
0.00 8.63
-12.85
2.57 -7.92
X2.1 X2.2
-1.94 3.00 2.95 0.00
KUP (X2)
-2.93
PERSEPSI (Y1)
-15.73
6.30 3.12 0.59 -3.23
Y1.4 Y1.5 Y1.6 Y1.7 Y1.8
7.08 7.33 1.58
X3.1
X3.3
Y1.3
2.95
-1.41
X2.4
X3.2
Y2.15
Y1.1
KIP (X1)
X1.5
Y2.14
-4.42
-4.89
-0.83 2.62 -1.56 2.91 2.95
3.82
-4.94
KEP (X3)
Y1.9 Y1.10 Y1.11 Y1.12
-4.24
Y1.13
X3.4
TKA-IB (Y2.2)
Y1.14 0.00 0.33 -0.34
Y2.21 Y2.22
-0.38
Y2.23 Y2.24
Chi-square=1759.37, df=562, P-value= 0.000, RMSEA= 0,94
Gambar 22. Statistik t-hitung parameter model struktural adopsi inovasi IB Merujuk pada kriteria uji kesesuaian, maka H 0 ditolak, atau H 1 diterima. Artinya model yang diuji tidak mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi, atau dengan kata lain, hasil estimasi parameter model tidak dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model Gambar 22 menunjukkan model pengukuran yang tidak fit dengan data. Oleh karena itu, model pengukuran ini harus dimodifikasi. Nilai t-statistik menunjukkan
138
kebermaknaan hubungan, baik antara indikator dan konstruk latennya ataupun antar konstruk. Apabila nilai t-hitung ini lebih kecil dari 1.96 maka pengukuran konstruk oleh indikator tersebut tidak signifikan (nyata pada α = 0,05).Gambar 22 menunjukkan beberapa indikator maupun estimasi koefisien jalur peubah laten eksogen terhadap tingkat penerapan IB (TPA-IB) maupun terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (TKA-IB) secara statistik tidak signifikan, yaitu karakteristik usaha peternak (KUP)
terhadap TPA-IB (t-hitung = -1,41),
karakteristik eksternal peternak (KEP) terhadap TPA-IB (t-hitung =1,58) dan KEP terhadap Persepsi (t- hitung = -0,83).
Y2.11 1.00 0.13
Y2.12 Y2.13
0.33 1.99
TPA-IB (Y2.1)
-1.14
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4
0.86 -0.45 0.67 -0.06 -0.46
-0.10
Y1.2 -0.11
0.19
X2.3
0.48 0.71
-0.21
0.13 -0.55
X2.1 X2.2
-0.18 0.71 0.71 0.14
KUP (X2)
-0.52
PERSEPSI (Y1)
-0.92
0.39 0.15 0.03 -0.15
Y1.4 Y1.5 Y1.6 Y1.7 Y1.8
0.42 0.45 0.04
X3.1
X3.3
Y1.3
0.14
-0.07
X2.4
X3.2
Y2.15
Y1.1
KIP (X1)
X1.5
Y2.14
-0.09
-0.27
-0.03 0.15 -0.09 0.55 1.37
0.20
-0.25
KEP (X3)
Y1.9 Y1.10 Y1.11 Y1.12
-0.04
Y1.13
X3.4
TKA-IB (Y2.2)
Y1.14 0.13 0.30 -0.18
Y2.21 Y2.22
-0.80
Y2.23 Y2.24
Chi-square=1759.37, df=562, P-value= 0.000, RMSEA= 0,094
Gambar 23. Estimasi seluruh parameter model struktural adopsi inovasi IB
139
Dengan demikian persamaan model pengukuran dan persamaan model struktural sebagai berikut: 1.
Persamaan model pengukuran (a) Masukan (loading) pada peubah karakteristik internal peternak sapi potong (KIP) X1.1 (umur) = 0,86 X1 X1.2 (tingkat pendidikan) = -0,45 X1 X1.3 (pengalaman beternak sapi) = 0,67 X1 X1.4 (motivasi menggunakan IB) = -0,06 X1 X1.5 (tingkat kekosmopolitan) = -0,46 X1 (b) Masukan (loading) pada peubah karakteristik usaha peternak sapi potong (KUP) X2.1 (jumlah pemilikan sapi)= -0,18 X2 X2.2 (keanggotaan dalam kelompok IB) = 0,71 X2 X2.3 (jumlah sapi yang dijual) = 0,71 X2 X2.4 (pendapatan rumah tangga) = 0,14 X2 (c) Masukan pada peubah karakteristik eksternal peternak sapi potong (KEP) X3.1 (kelembagaan IB) = 0,15 X3 X3.2 (keadaan sarana prasarana) = -0,09 X3 X3.3 (ketersediaan pasar sapi) = 0,55 X3 X2.4 (ketersediaan informasi IB) = 1,37 X3 (d) Masukan pada peubah persepsi peternak sapi potong terhadap IB (Persepsi) Y1.1 (jenis sapi bibit) = 0,48 Y1 Y1.2 (tanda-tanda fisik sapi bibit) = 0,71 Y1 Y1.3 (tujuan: menciptakan jenis sapi baru) = 0,13 Y1 Y1.4 (tujuan: konservasi) = -0,55 Y1 Y1.5 (tujuan: final stock) = 0,14 Y1 Y1.6 (pelayanan inseminator) = 0,39 Y1 Y1.7 (norma sistem sosial) = 0,15 Y1 Y1.8 (kelembagaan peternak sapi) = 0,03 Y1 Y1.9 (struktur sosial) = -0,15 Y1 Y1.10 (peningkatan produksi sapi hasil IB) = 0,42 Y1
140
Y1.11 (keuntungan relatif) = 0,45 Y1 Y1.12 (kebijakan persilangan) = 0,20 Y1 Y1.13 (kebijakan pemurnian) = -0,27 Y1 Y1.14 (campuran: persilangan dan pemurnian) = -0,25 Y1 (e) Masukan (loading) pada peubah tingkat penerapan IB (TPA-IB) Y2.11 (pengetahuan tanda sapi betina berahi) = 1,00 Y2.1 Y2.12 (pengamatan sapi berahi) = 0,13 Y2.1 Y2.13 (pelaporan ke inseminator) = = 0,33 Y2.1 Y2.14 (pengenalan jenis sapi/semen) = 1,99 Y2.1 Y2.15 (recording) = -1,14 Y2.1 (f) Masukan (loading) pada peubah tingkat kecepatan adopsi IB (TKA-IB) Y2.21 (lamanya waktu adopsi) = 0,13 Y2.2 Y2.22 (sifat inovasi) = 0,30 Y2.2 Y2.23 (sumber/saluran inovasi) = -0,18 Y2.2 Y2.24 (intensitas penyuluhan) = -0,80 Y2.2
TPA-IB (Y2.1)
0.10
-0.10 1.00
KIP (X1) -0.11
0.19
-0.21
-0.07 1.00
KUP (X2)
-0.52
PERSEPSI (Y1)
0.72
-0.92
0.04 -0.09
-0.03 1.00
KEP (X3) -0.04
TKA-IB (Y2.2)
0.14
Chi-square=1759.37, df=562, P-value= 0.000, RMSEA= 0,074
Gambar 24. Model struktural hubungan antara KIP, KUP, KEP, Persepsi dan tingkat penerapan serta kecepatan adopsi inovasi IB
141
2.
Persamaan model struktural Y2.1 = - 0,10 X1 - 0,07 X2 + 0,04 X3 + 0,19 Y1 Y2.2 = - 0,21 X1 - 0,95 X2 - 0,04 X3 - 0,09 Y1 Keterangan: X1 = Karakteristik internal peternak sapi potong (KIP) X2 = Karakteristik usaha peternak sapi potong (KUP) X3 = Karakteristik eksternal peternak sapi potong (KEP) Y1 = Persepsi peternak sapi potong terhadap IB (Persepsi) Y2.1 = Tingkat penerapan IB (TPA-IB) Y2.2 = Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (TKA-IB) Berdasarkan persamaan model struktural diatas, dapat dijelaskan bahwa
(1) besarnya pengaruh peubah laten KIP, KUP, KEP dan Persepsi terhadap tingkat penerapan IB (TPA-IB) masing-masing sebesar -0,10, -0,07, 0,04 dan 0,19 dengan nilai kesalahan standar masing-masing 0,032, 0,050, 0,025 dan 0,042 serta nilai t-hitung -3,13, -1,41, 1,58 dan 4,51. Estimasi koefisien jalur KUP dan KEP terhadap TKA-IB secara statistik tidak signifikan (nilai t-hitung < 1,96). Secara bersama, KIP, KUP, KEP dan Persepsi mampu menjelaskan TPA-IB sebesar 0,51 (51%) dan sisanya yaitu sebesar 0,49 (49%) merupakan pengaruh peubah lain yang tidak dijelaskan model; (2) besarnya pengaruh peubah laten KIP, KUP, KEP dan Persepsi terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (TKAIB) masing-masing sebesar -0,21, -0,95, -0,04 dan -0,09 dengan nilai kesalahan standar masing-masing 0,016, 0,060. -0,009 dan 0,020 serta nilai t-hitung -12,85, 15,73, 4,24 dan -4,42. Secara bersama, KIP, KUP, KEP dan Persepsi mampu menjelaskan TKA-IB sebesar 0,86 (86%) dan sisanya yaitu sebesar 0,14 (14%) merupakan pengaruh peubah lain yang tidak dijelaskan model. Secara keseluruhan hasil analisis model struktural tingkat dan kecepatan adopsi inovasi IB menunjukkan hubungan dan pengaruh antar peubah dan sub peubah yang diringkas seperti pada Tabel 21 di bawah ini.
142
Tabel 21. Dekomposisi pengaruh antar peubah/sub peubah model tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB Hubungan antar peubah/sub peubah KIP
KUP
KEP
PERSEPSI Jenis bibit Tanda fisik sapi bibit Tujuan: jenis sapi baru Tujuan: konservasi Tujuan: final stock Pelayanan inseminator Norma sistem sosial Kelembagaan Struktur sosial Peningkatan produksi hasil IB Keuntungan relatif Persilangan Pemurnian Campuran PERSEPSI Jenis bibit Tanda fisik sapi bibit Tujuan: jenis sapi baru Tujuan: konservasi Tujuan: final stock Pelayanan inseminator Norma sistem sosial Kelembagaan Struktur sosial Peningkatan produksi hasil IB Keuntungan relatif Persilangan Pemurnian Campuran PERSEPSI Jenis bibit Tanda fisik sapi bibit Tujuan: jenis sapi baru Tujuan: konservasi Tujuan: final stock Pelayanan inseminator Norma sistem sosial Kelembagaan Struktur sosial Peningkatan produksi hasil IB
Pengaruh langsung -0,110
-0,520
-0,030
Pengaruh tidak langsung -0,053 -0,078 -0,014
Total pengaruh -0,110 -0,053 -0,078 -0,014
0,061 -0,015 -0,043
0,061 -0,015 -0,043
-0,017 -0,003 0,017 -0,046
-0,017 -0,003 0,017 -0,046
-0,050 -0,022 0,030 0,028 -0,250 -0,369 -0,068
-0,050 -0,022 0,030 0,028 -0,520 -0,250 -0,369 -0,068
0,286 -0,073 -0,203
0,286 -0,073 -0,203
-0,078 -0,016 0,078 -0,218
-0,078 -0,016 0,078 -0,218
-0,234 -0,104 0,140 0,130 -0,014 -0,021 -0,004
-0,234 -0,104 0,140 0,130 -0,030 -0,014 -0,021 -0,004
0,017 -0,004 -0,012
0,017 -0,004 -0,012
-0,005 -0,001 0,005 -0,013
-0,005 -0,001 0,005 -0,013
t-hitung -2,240
-2,930
-0,830
143
Tabel 21 (lanjutan) Hubungan antar peubah/sub peubah KEP
KIP
KUP
KEP
PERSEPSI
Keuntungan relatif Persilangan Pemurnian Campuran Tingkat penerapan IB Tingkat kecepatan adopsi IB Tingkat penerapan IB Tingkat kecepatan adopsi IB Tingkat penerapan IB Tingkat kecepatan adopsi IB Tingkat penerapan IB Tingkat kecepatan adopsi IB
Pengaruh langsung
-0,100
Pengaruh tidak langsung -0,014 -0,006 0,008 0,008 -0,019
Total pengaruh -0,014 -0,006 0,008 0,008 -0,119
t-hitung
-3,130
-0,210
0,019
-0,191
-12,850
0,070
0,001
0,071
-1,410
-0,950
0,086
-0,865
-15,730
0,040
0,001
0,041
1,580
-0,040
-0,004
-0,044
4,240
0,190
0,190
4,510
-0,090
-0,090
-4,420
Menurut Nasution (2002:125), perbedaan persepsi terhadap karakteristik suatu inovasi, akan mempengaruhi kecepatan proses adopsi. Dalam penelitian Ginting (1984:51), persepsi terhadap IB diartikan sebagai pemberian arti/makna yang diberikan peternak berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak terhadap IB. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins (1999:90) menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Gambar 22 menunjukkan hasil uji kebermaknaan dengan uji t-test pada parameter model KIP, KUP dan KEP terhadap persepsi dengan nilai statistik thitung yang ditetapkan adalah sebesar 1,96, maka estimasi parameter model struktural untuk KIP dan KUP nyata pada α = 0,05. Sedangkan untuk KEP tidak nyata pada α = 0,05. Persepsi peternak sapi potong tentang IB adalah pemberian arti/makna yang dilakukan berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak tentang IB. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:83-85), persepsi adalah
proses
menerima
informasi
atau
stimuli
dari
lingkungan
dan
144
mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins (1999:90) menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktorfaktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Dari sisi karakteristik internal peternak sapi potong, indikator yang signifikan dan paling dominan dapat dijelaskan oleh konstruk KIP adalah umur (R2 = 68%) dan pengalaman beternak sapi (R2=56%). Dari sisi karakteristik usaha peternak sapi potong, indikator yang signifikan dan dominan dapat dijelaskan oleh konstruk KUP adalah indikator jumlah sapi yang dijual ( R2 = 98%) dan pendapatan rumah tangga (R2 = 54%). Sedangkan dari sisi persepsi peternak sapi potong terhadap IB, indikator yang signifikan dan paling dominan dapat dijelaskan oleh konstruk Persepsi adalah tanda-tanda fisik sapi bibit (R2=0.48). Hasil pengamatan di lapangan, khususnya di Kabupaten Lamongan, di mana peternaknya sudah sangat IB-minded dan persilangan antara sapi PO dengan sapi Limousin tidak terkendali lagi, telah menghasilkan turunan sapi yang disebut “sapi keriting” menurut istilah peternak di Lamongan. Induk sapi ini adalah turunan kedua (F2) atau ketiga (F3) dari hasil persilangan antara sapi PO dengan Limousin. Sapi keriting ini secara fisik (fenotip) dicirikan dengan warnanya merah, berrambut tebal dan beberapa bagian tubuhnya tampak dominan Limousin. Disamping itu, pertumbuhannya lambat (cenderung kerdil). Kejadian lahirnya “sapi keriting” ini jelas tidak diharapkan oleh peternak. Secara teknis, menjadikan induk sapi turunan kedua atau turunan ketiga tersebut memang tidak dianjurkan. Karena “darah” sapi Limousin (bukan sapi tropis) sudah dominan, dan akibatnya tidak adaptif lagi terhadap lingkungan tropis. Persilangan seharusnya memanfaatkan faktor heterosis, yaitu turunan pertama selalu lebih baik dari tetuanya dan ini merupakan final stock untuk dipotong, bukan jadi bibit (dikembangbiakkan). Dari sisi karakteristik eksternal peternak sapi potong, indikator yang signifikan dan dominan dapat dijelaskan oleh konstruk KEP adalah ketersediaan pasar sapi (R2=94%) dan keadaan sarana prasarana IB (R2= 29%). Dari sisi persepsi peternak sapi potong terhadap IB –selain tanda-tanda fisik sapi bibitindikator yang signifikan dan dominan dapat dijelaskan oleh konstruk Persepsi
145
adalah pelayanan inseminator (R2=30%), peningkatan produksi hasil IB 22% (R2=26%) dan keuntungan relatif (R2=25%). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa peternak sangat puas terhadap pelayanan IB yang diberikan oleh inseminator. Disamping itu, faktor yang sangat dan paling banyak dipertimbangkan oleh peternak dalam mengadopsi inovasi IB adalah sifat dari inovasi IB yang relative advantage (keuntungan relatif) yaitu inovasi tersebut memberikan sesuatu keuntungan relatif bagi mereka yang menerima inovasi tersebut. Ada beberapa prinsip umum persepsi, yaitu (1) setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya; (2) persepsi sangat selektif, karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang; (3) setiap persepsi terorganisir, seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar dan (4) melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Tabel 22. Koefisien dan t-hitung pengaruh KIP, KUP, KEP dan persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat dan kecepatan adosi inovasi IB Hubungan antar peubah KIP KUP KEP PERSEPSI
Tingkat Penerapan IB Tingkat Penerapan IB Tingkat Penerapan IB Tingkat Penerapan IB
KIP
Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB i
KUP KEP PERSEPSI
Pengaruh langsung -0,10 -0,07 0,04 0,19
t-hitung
-0,21
-12,85
-0,95
-15,73
-0,04
4,24
-0,09
-4,42
-3,13 -1,41 1,58 4,51
R2 0,51
0,86
Keterangan: t 0,05 tabel = 1,96
Keterkaitan antara karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB di tiga sentra sapi potong dapat dilihat pada Tabel 22 yang menampilkan koefisien dan t-hitung pengaruh karakteristik internal, karakteristik usaha, karakteristik eksternal dan persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat penerapan dan kecepatan adosi inovasi IB.
146
Berdasarkan Tabel 22 diatas menunjukkan pengaruh langsung peubah KIP, KUP, KEP dan Persepsi terhadap tingkat penerapan IB yaitu -0,10, -0,07, 0,04 dan 0,19 secara berturut-turut. Dari keempat koefisien tersebut, KUP dan KEP terhadap TPA-IB keduanya tidak berpengaruh nyata pada α = 0,05. Sedangkan KIP terhadap dan Persepsi terhadap TPA-IB keduanya berpengaruh nyata.
Secara matematik, persamaan model struktural tingkat penerapan IB
adalah Y2.1 = -0,10 X1 -0,07 X2 + 0,04 X3 + 0,19 Y1. Sedangkan pengaruh langsung peubah KIP, KUP, KEP dan Persepsi terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB yaitu 0,21, -0,52, 0,04 dan -0,09 secara berturut-turut. Dari keempat koefisien tersebut, semuanya berpengaruh nyata pada α = 0,05. Secara matematik, persamaan model struktural tingkat penerapan IB adalah Y2.2 = 0,21 X1 - 0,52 X2 + 0,04 X3 -0,09 Y1. Keterangan: Y2.1: tingkat penerapan IB; Y2.2: tingkat kecepatan adopsi inovasi IB; X1 : karakteristik internal peternak sapi potong (KIP), dan X2 : karakteristik usaha peternak sapi potong X3 : karakteristik eksternal peternak sapi potong (KEP). Y1 : Persepsi peternak sapi potong terhadap IB (Persepsi). Tabel 22 juga menunjukkan pengaruh keempat peubah tersebut secara bersama-sama, baik pada tingkat penerapan IB yaitu sebesar 0,51 juga pada tingkat kecepatan adopsi inovasi IB yaitu sebesar 0,86 yang nyata pada α = 0,05. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan: (1)
Pengaruh peubah karakteristik usaha (KUP) dan karakteristik eksternal peternak sapi potong (KEP) terhadap tingkat penerapan IB secara statistik tidak signifikan (t-hitung<1,96). Sedangkan peubah karakteristik internal peternak sapi potong (KIP) dan persepsi
berpengaruh secara nyata
terhadap tingkat penerapan IB. Berdasarkan muatan faktornya, maka peubah persepsi terhadap IB (0,19) mempunyai kontribusi yang lebih besar dibanding peubah karakteristik internal peternak sapi potong (KIP=0,10) terhadap tingkat penerapan IB. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:90)
menjelaskan,
bahwa
seseorang
cenderung
menyusun
pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna. Dalam konteks ini, salah satu indikator yang dominan dari konstruk persepsi ini
147
adalah persepsi peternak tentang keuntungan relatif dari inovasi IB (aspek ekonomi), yang ditunjukkan dengan peningkatan produksi sapi hasil IB dan harga sapi hasil IB. Lebih jauh dikatakan, persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian. (2)
Untuk tingkat kecepatan adopsi inovasi IB, semua peubah, yaitu karakteristik internal (KIP), usaha (KUP) dan eksternal (KEP) peternak sapi potong serta persepsi mereka terhadap IB, secara statistik keempat peubah tersebut berpengaruh secara nyata (t-hitung>1,96). Peubah yang paling besar kontribusinya terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB ini secara berturut-turut adalah KUP (0,95), KIP (0,21), Persepsi (0,09) dan KEP (0,04). Beberapa indikator peubah karakteristik usaha yang dominan adalah jumlah sapi yang dijual dan indikator pendapatan rumah tangga. Fakta ini menunjukkan, bahwa aspek ekonomi IB sangat berpengaruh terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. Sedangkan dari peubah KIP, indikator yang dominan adalah umur peternak dan pengalaman beternak sapi.
(3)
Persepsi peternak sapi potong tentang IB mempunyai pengaruh yang nyata, baik terhadap tingkat penerapan IB maupun terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. Pengaruh persepsi peternak tentang IB ini lebih besar kontribusinya terhadap tingkat penerapan IB dibanding terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB.
(4)
Karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap IB secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat penerapan IB sebesar 0,51 (51%) dan sisanya sebesar 0,49 (49%) merupakan pengaruh peubah lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini .
(5)
Karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsi peternak sapi potong terhadap IB secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB dengan koefisien determinasi sebesar 0,86 (86%) dan sisanya sebesar 0,14 (14%) merupakan pengaruh peubah lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini.
148
Strategi Kebijakan Perbibitan terhadap Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong Konsep perbibitan sapi Sebagaimana
tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak, perbibitan adalah suatu sistem di bidang benih dan/atau bibit ternak yang paling sedikit meliputi pemuliaan, pengadaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran, pengawasan mutu, pengembangan usaha serta kelembagaan benih dan/atau bibit ternak. Sebagai suatu sistem, maka terdapat tatanan yang mengatur hubungan dan saling ketergantungan antara pengelola sumberdaya genetik, pemuliaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran benih dan atau bibit unggul, pengawasan penyakit, pengawasan mutu, pengembangan usaha dan kelembagaan. Sedangkan pemuliaan ternak, sebagai bagian dari sistem perbibitan, tertuang dalam undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu sebagai rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut adalah (1) pemurnian, (2) persilangan, baik dalam rangka untuk memperoleh bangsa (breed) baru, ataupun sebagai final stock untuk dipotong dan (3) konservasi. Secara lebih komprehensif, Payne dan Hodges (1997:210) menyatakan bahwa tujuan dari program genetik (genetic programmes) sapi adalah untuk (1) menghasilkan generasi pengganti yang lebih sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan sosial dari suatu masyarakat dan (2) mempertahankan atau memperbaiki mutu genetiknya agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sumberdaya yang digunakan. Proses ini menuntut perubahan genome (total kromosom dalam inti sel) sapi melalui seleksi dan melipatgandakan gene yang lebih disukai, yang secara positif mengarah kepada sifat-sifat yang diharapkan. Sasaran gene bisa terdapat dalam populasi sapi, gene baru bisa diintroduksi dari populasi lain, atau gene yang tidak diharapkan dihapus atau dikurangi frekuensinya. Dalam pembibitan, melalui proses seleksi, culling (pengeluaran) dan pencatatan yang lengkap dan cermat, akan diperoleh ternak bibit, yaitu (1) bibit dasar (foundation stock), yang merupakan bibit hasil dari suatu proses pemuliaan
dengan
spesifikasi tertentu
yang
mempunyai
silsilah,
untuk
menghasilkan ”bibit induk.” Ini juga yang akan menjadi elite group; (2) bibit induk (breeding stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu yang
149
mempunyai
silsilah,
untuk
menghasilkan
”bibit
sebar”
dan
(3)
bibit
sebar/niaga/komersial (commercial stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu untuk digunakan dalam proses produksi. Menurut Wiener (1994:87-88) struktur bibit menyerupai bentuk piramid yang mempunyai hirarki berikut: (1) ellite group (nucleus) di puncak; (2) multiplier group di tengah dan (3) commercial group di bagian dasar. Lebih lanjut dikatakan bahwa aliran genes secara dominan adalah dari atas ke arah bawah, jadi perbaikan genetik dilakukan di kelompok atas (elite group) dan kemudian disebarkan ke bawah. Sejauh ini, klasifikasi dan struktur bibit seperti tersebut di atas untuk ternak potong belum ada (Ditbit 2003:3; Ditbit 2006:11). Penerapan IB pada sapi potong dalam sistem perbibitan Menurut Muladno (2010:3-7), bahwa telah banyak upaya dilakukan pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan mutu genetik ternak di Indonesia. Salah satunya adalah melalui penerapan IB. Berdasarkan konsep perbibitan, maka kebijakan penerapan IB meliputi beberapa subsistem, yaitu (1) pengadaan pejantan unggul, (2) produksi dan perbanyakan benih sapi bibit jantan (semen) unggul, (3) peredaran semen, (4) pengawasan mutu semen, (5) pengembangan kelembagaan, seperti BIB Daerah, VBC, inseminator, PKB dan ATR dan (6) bagian dari subsistem pemuliaan, yaitu penerapannya dalam sistem perkawinan sapi. Berdasarkan perbibitan sebagai suatu sistem, maka penerapan IB sebagai bagian dari subsistem pemuliaan belum
terlihat
adanya
tatanan
yang
mengatur
hubungan
dan
saling
ketergantungan antara pengelola sumberdaya genetik, pemuliaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pengawasan penyakit, pengawasan mutu, pengembangan usaha dan kelembagaan. Hal ini semakin nyata, jika penerapan IB ini dikaitkan dengan arah ataupun tujuan perbibitan, yaitu perbaikan mutu genetik, pelestarian sumberdaya genetik sapi Indonesia dan kesesuaian aspek-aspek sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara lebih operasional, juga belum terlihat tahapantahapan seleksi dan culling yang dilakukan sehinga diperoleh struktur bibit sapi yang terdiri (1) bibit dasar (foundation stock), sebagai elite group; (2) bibit induk (breeding stock) untuk menghasilkan ”bibit sebar” dan (3) bibit sebar/niaga/ komersial (commercial stock) yang digunakan dalam proses produksi. Dalam penerapan teknologi IB (dan teknik transfer embrio) untuk sapi, faktor ekonomi (produksi) saja yang dijadikan perhatian utama, sedangkan faktor pelestarian sumberdaya genetik ternak sapi Indonesia sangat kurang (jika tidak
150
mau dikatakan tidak) diperhatikan (Muladno 2010:3-7),. Begitu pula aspek sosial budaya (Hardjosubroto et al. 1997: 250). Lebih jauh Muladno (2010:3-7) menyatakan, bahwa peningkatan populasi sapi potong lebih banyak didominasi oleh sapi hasil silangan dan sapi bakalan impor. Banyaknya sapi impor ini disebabkan oleh produksi semen beku oleh balai IB di Indonesia didominasi oleh semen beku sapi asing. Seperti diketahui, produksi semen sapi nasional dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir 88,9% terdiri dari semen sapi Limousin, Simental, Angus dan Brangus. Jadi secara tidak disadari, program IB yang dijalankan selama ini memang telah menghabiskan populasi ternak sapi Indonesia. Arah kebijakan perbibitan sapi potong Menelusuri sejarah perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia sejak abad ke delapanbelas hingga abad ini, dengan masuknya berbagai jenis sapi asing, memberi gambaran ketidakjelasan arah kebijakan
pemerintah di
bidang perbibitan sapi potong di Indonesia. Hanya satu yang layak dicatat, yaitu ketika pemerintah memutuskan untuk menyilangkan sapi Jawa dengan sapi Ongole untuk menciptakan jenis sapi baru, yaitu sapi PO (Talib dan Siregar 1991:16). Walaupun sapi PO ini kini telah dianggap sebagai salah satu jenis sapi lokal Indonesia, namun kemampuan produksinya belum diketahui. Demikian pula komposisi darahnya. Hal ini sangat disayangkan karena sebelum suatu usaha peningkatan mutu sapi tersebut dimulai, seharusnya diketahui terlebih dahulu mutu dan komposisi darah tetuanya (Pane 1993:23; Hardjosubroto et al. 1997: 245-280). Lebih memprihatinkan, kini sapi PO yang ada –khususnya di Pulau Jawa- telah banyak disilangkan dengan sapi asing lainnya, terutama dengan sapi Simental dan Limousin. Menurut Talib (2001:12) umumnya kawin silang ini tidak diikuti oleh seleksi; dan arahnya tidak jelas (Diwyanto dan Inounu 2009:101) . Terlebih lagi, sampai saat ini belum ada upaya pemerintah yang secara khusus dan terprogram untuk melakukan konservasi sapi PO yang dianggap sebagai salah satu kekayaan sumberdaya genetik (plasma nutfah) Indonesia. Diwyanto dan Inounu (2009:101) menyimpulkan proporsi sapi PO murni dalam populasi kini tinggal 30 persen. Merujuk rencana strategis Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2006-2009 dan tahun 2010-2014, salah satu kata kunci visi-nya adalah .....“berbasis sumberdaya lokal”.... untuk mencukupi (mewujudkan penyediaan) dan keamanan pangan hewani serta meningkatkan kesejahteraan peternak. Dalam penjelasan
151
renstra disebutkan, yang dimaksud dengan “sumber daya lokal” adalah sumberdaya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang meliputi sumber daya genetik (bibit, benih, pakan, master seed/biang vaksin) dan teknologi peternakan yang sesuai dengan kondisi agrosistem serta sosial ekonomi Indonesia. Rencana strategis Direktorat Perbibitan 2009-2014, mempunyai visi “Tersedianya benih dan bibit ternak berkualitas dalam jumlah yang cukup mudah diperoleh dan dijangkau serta terjamin kontinuitasnya” dengan misi (1) Memfasilitasi tersedianya benih dan bibit ternak; (2) Mendorong usaha pembibitan ternak rakyat, pemerintah dan swasta; (3) Membina kelembagaan perbibitan; (4) Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dibidang perbibitan; dan (5) Memanfaatkan sumberdaya genetik ternak secara optimal. Sedangkan tujuannya adalah (1) Meningkatkan produksi dan produktivitas benih dan bibit ternak serta pemanfaatan sumberdaya genetik ternak secara berkelanjutan; (2) Menyusun kebijakan dan strategi perbibitan ternak secara nasional; (3) Meningkatkan fungsi kelembagaan perbibitan rakyat, swasta dan pemerintah; (4) Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perbibitan, (5) pembibitan yang kondusif;
Mewujudkan iklim usaha
dan (6) Menyusun perencanaan dan pelaporan
kegiatan perbibitan. Sasaran dari tujuan tersebut adalah (1) Penyediaan benih dan bibit ternak dalam jumlah yang cukup dan berkualitas secara berkelanjutan; (2) Penerbitan peraturan di bidang perbibitan untuk peningkatan pelayanan; (3) Optimalisasi fungsi kelembagaan perbibitan; (4) Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia perbibitan (peternak, petugas, kelembagaan perbibitan); (5) Fasilitasi usaha-usaha pembibitan ternak; dan (6) Penyusunan perencanaan dan pelaporan kegiatan perbibitan. Untuk mencapai sasaran tersebut telah dirumuskan strategi, yaitu (1) Pembinaan perbibitan ternak unggulan nasional maupun daerah; (2) Memfasilitasi usaha pembibitan yang dilakukan UPT/UPTD, rakyat maupun swasta; (3) Mendorong usaha-usaha pembibitan ternak di pedesaan; (4) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perbibitan melalui pelatihan, magang, studi banding, dan lain-lain; (5) Mendorong kemitraan usaha pembibitan ternak antara UPT/UPTD, peternak dengan pengusaha; dan (6) Mendorong pemanfaatan plasma nutfah secara berkesinambungan. Melengkapi strategi tersebut, dirumuskan kebijakan yang mencakup (1) Pengelolaan dan peningkatan mutu dan jumlah benih dan bibit ternak; (2)
152
Penyusunan, penyempurnaan, sosialisasi ”Sistem Perbibitan Ternak Nasional” dan peraturan perbibitan; (3) Penguatan koordinasi dan kelembagaan perbibitan, (4) Penguatan SDM perbibitan; (5) Promosi dan membangun citra (brand image) bibit ternak; dan (6) Koordinasi perencanaan dan pelaporan.
Adapun
programnya meliputi (1) Peningkatan ketersediaan benih dan bibit ternak serta pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan plasma nutfah; (2) Peningkatan minat usaha pembibitan ternak dan membangun citra (brand image) bibit ternak; (3) Peningkatan koordinasi dan kelembagaan perbibitan; (4) Peningkatan dan pemberdayaan SDM perbibitan; dan (5) Penyusunan dan penyempurnaan peraturan dibidang perbibitan. Menelaah kebijakan pemerintah di bidang perbibitan tersebut, sudah seharusnya teknologi IB yang sudah dikuasai dan sudah banyak diadopsi oleh masyarakat peternak sapi potong Indonesia untuk diberdayagunakan sebesarbesarnya bagi kepentingan perbaikan mutu genetik sapi asli dan lokal Indonesia, melestarikannya
sehingga
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
peternak.
Persilangan dengan sapi asing dimungkinkan dilakukan, selama dengan tujuan dan arah yang jelas, yaitu untuk menciptakan jenis
sapi baru Indonesia,
pemurnian atau konservasi terhadap sapi asli dan lokal Indonesia atau untuk tujuan peningkatan produksi (final stock) untuk dipotong. Menurut Payne dan Hodges (1997:209),
bahwa sekarang ini adalah
saatnya untuk memulai pandangan baru terhadap kebijakan perbibitan sapi di daerah tropis. Kebanyakan upaya-upaya
perbaikan genetik telah dipusatkan
untuk peningkatan produksi dan bukan adaptasi. Sapi-sapi di daerah tropis mengalami stress karena iklim, penyakit, parasit dan keadaan endemis dari lingkungan alamnya. Sapi-sapi lokal mempunyai suatu kemampuan turunan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, dan hal ini tidak dipunyai oleh sapi-sapi yang berasal dari daerah temperate. Ada asumsi bahwa kemampuan adaptasi sekelompok kecil sapi dapat diganti dengan manajemen dan prosedur kesehatan hewan. Hal inilah yang menjadi alasan utama yang menyebabkan hasil yang tidak layak. Peningkatan mutu genetik untuk produksi mungkin telah dicapai dan sapi tampil lebih baik, tetapi mengalami kekurang-sesuaian terhadap kondisi tropis. Alasan utama lainnya adalah kurangnya pemahaman komunitas pelaku usaha budidaya dimana sapi tersebut berada. Lebih jauh dikatakan, bahwa yang diperlukan adalah bukan teori genetika baru atau program perbibitan yang lebih maju sebagaimana sudah sangat banyak dilakukan, tetapi yang
153
dibutuhkan adalah suatu kebijakan baru. Kebijakan baru ini harus berakar pada cara berpikir yang baru tentang sapi dan peranannya dalam masyarakat di daerah tropis. Ini harus sesuai dengan infrastruktur fisik dan sosial. Dengan demikian, kreativitas disandarkan pada suatu pemahaman bersama terhadap persoalan dan nilai-nilai masyarakat. Diperlukan pemahaman yang lebih dalam, bahwa sapi merupakan bagian penting dari lingkungan tropis. Payne dan Hodges (1997:209) menambahkan, agar perbaikan genetik sapi di daerah tropis berhasil, diperlukan suatu inovasi untuk suatu kebijakan baru. Cara-cara lama telah gagal memberikan manfaat
perbaikan genetik bagi
kebanyakan pemilik sapi dan komunitasnya. Pola kehidupan di daerah tropis berbeda dengan kehidupan di negara-negara barat. Sekali masalah ini dipahami, perbedaan antara suatu program genetik dan suatu strategi perbibitan sapi akan menjadi bukti. Strategi-strategi perbibitan sapi yang sesuai selanjutnya akan lebih mudah untuk ditetapkan. Hal ini mungkin tidak terlalu kompleks dan lebih efektif terhadap program perbaikan genetik. Sejalan dengan perubahan genetik, juga diperlukan perbaikan faktor eksternal, yaitu lingkungan yang akan berpengaruh terhadap ternak. Payne dan Hodges (1997:261) menganjurkan strategi perbibitan baru untuk perbaikan genetik untuk sapi di daerah tropis di mana sapi-sapi tersebut dibudidayakan oleh peternak kecil. Karakteristik dari strategi tersebut adalah (1) memiliki organisasi sederhana yang dapat diterapkan berbasis sumber daya lokal; (2) tujuannya sejalan dengan harapan dan nilai-nilai masyarakat; (3) suatu paket pendekatan yang disertai dengan perbaikan manajemen, kesehatan hewan, pilihan pasar untuk produknya dan dukungan penyuluhan dari penduduk lokal yang terlatih; (4) sapi-sapi dengan perubahan genetik yang tidak kehilangan daya adaptasinya terhadap stress; dan (5) adanya perbaikan produksi sapi yang secara cepat dapat dibuktikan hasilnya dan bernilai bagi pemiliknya. Lebih lanjut dikatakan
bahwa
sejalan
dengan
perubahan
genetik
adalah
perlunya
memperbaiki faktor eksternal, yaitu lingkungan yang akan berpengaruh terhadap ternak. Faktor lingkungan ini adalah (1) memberukan pakan yang lebih baik, (2) dilakukan kontrol terhadap penyakit, dan (3) memperbaiki manajemen agar lebih efektif, baik terhadap ternaknya sendiri maupun sumberdaya yang digunakan. Dua pendekatan perbaikan sapi ini, yaitu metode genetik dan non-genetik atau lingkungan, melengkapi satu sama lain.
154
Proses formulasi strategi kebijakan perbibitan sapi potong Strategi kebijakan IB dilihat dari karakteristik internal, eksternal, usaha, persepsi, tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong dilakukan dengan menggunakan metode analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threat). Menurut Hunger dan Wheelen (1996:142), analisis SWOT adalah cara yang sistematis untuk melakukan analisis keadaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa analisis keadaan ini merupakan awal dari proses formulasi strategi dan para manajer strategis berusaha untuk menemukan suatu strategi yang sesuai antara peluang-peluang eksternal dan kekuatan-kekuatan internal serta bekerja dalam lingkungan ancaman eksternal dan kelemahankelemahan internal. Dalam analisis SWOT ini, untuk memformulasikan strategi kebijakan perbibitan sapi melalui penerapan IB, selain merujuk kepada hasil penelitian yang bersifat mikro-teknis-lokal, juga merujuk kepada persoalan perbibitan dan inseminasi buatan yang bersifat makro-nasional, sehingga dapat dirumuskan strategi kebijakan yang bersifat umum dan mengakomodir persoalan-persoalan lokal spesifik. Proses analisis SWOT ini seluruhnya merujuk kepada pendapat Hunger dan Wheelen (1996:141-181), dengan langkah-langkah sebagai berikut (1) Melakukan inventarisasi faktor internal dan eksternal strategis yang paling penting; kemudian diidentifikasi masing-masing faktor apakah masuk kategori kekuatan, kelemahan, peluang atau ancaman (kolom 1); (2) Melakukan pembobotan masing-masing faktor dari 0,0 (tidak penting) sampai dengan 1,0 (paling penting). Berdasarkan faktor tersebut, faktor mana yang memberikan dampak pada posisi strategis. Jumlah total bobot ini harus sama dengan 1,00 (kolom 2); (3) Menentukan tingkat (rating) masing-masing faktor, yaitu antara 5 (baik sekali) sampai dengan 1 (sangat jelek) berdasarkan keadaan/situasi faktor tersebut saat ini (kolom 3); (4) Menghitung skor untuk masing-masing faktor, dengan cara mengalikan antara bobot dan tingkat (kolom 4); dan (5) penilaian/ komentar (kolom 5). Hasil evaluasi terhadap masing-masing konstruk, yaitu KIP, KUP, KEP, persepsi peternak sapi potong, tingkat penerapan IB dan tingkat adopsi inovasi IB, diperoleh indikator-indikator variabel laten yang signinifikan. Indikatorindikator tersebut dan koefisien loading factor untuk masing konstruk dapat dilihat pada Tabel 23.
155
Tabel 23. Indikator-indikator yang signifikant terhadap konstruk Konstruk Karakteristik internal peternak sapi poton
• • • •
Indikator yang signifikan umur tingkat pendidikan pengalaman beternak sapi tingkat kekosmopolitan
Loading factor 0,82 - 0.54 0.75 - 0.37
Karakteristik usaha peternak sapi potong
• keanggotaan dalam kelompok IB • jumlah sapi yang dijual • pendapatan rumah tangga
- 0.13 0.99 0.73
Karakteristik eksternal peternak sapi potong
• keadaan sarana prasarana IB • ketersediaan pasar sapi
0.54 0.97
Persepsi peternak sapi potong tehadap IB
• jenis sapi bibit • tanda-tanda fisik sapi bibit • tujuan untuk menghasilkan jenis sapi baru • tujuan untuk konservasi • tujuan untuk final stock • pelayanan inseminator • kelembagaan peternak sapi • peningkatan produksi hasil IB • keuntungan relatif • kebijakan persilangan • kebijakan pemurnian
0.49 0.69 0.24 -0.47 0.18 0.55 0.19 0.51 0.50 0.31 -0.18
Tingkat penerapan IB
• pengamatan sapi berahi • pelaporan ke inseminator • pengenalan jenis sapi/semen
0.59 0.63 -0.36
Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB
• lamanya waktu adopsi • sumber/saluran informasi • intensitas penyuluhan
0,25 -0.26 -0.80
Faktor Internal Strategis Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong Faktor internal strategis mencakup unsur kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) penerapan IB pada peternak sapi potong. Kekuatan-kekuatan (strengths). Secara mikro-teknis-lokal (berdasarkan hasil penelitian), menunjukkan bahwa (1) 83,3% responden mempunyai pengalaman memelihara sapi 12 tahun atau lebih. Hal ini memberi gambaran setidak-tidaknya responden telah 6 kali lebih menerapkan IB, (2)Tersedia banyak sumber Informasi tentang IB dan mudah diakses. Sumber informasi yang paling banyak
dirujuk
adalah
“petugas
peternakan”
sebanyak
17,9%
dan
“teman/tetangga” sebanyak 10,8%. Sedangkan berasal dari dua sumber
156
(“teman/tetangga” dan “petugas peternakan”) sebanyak 50,0%.
(3) 89,6%
responden setuju bahwa semen produksi BIB/BIBD adalah sapi bibit unggul. Keyakinan tersebut penting, sebab semen tersebut diproduksi oleh balai Pemerintah,
(4) Peternak puas atas pelayanan IB yang dilakukan oleh
inseminator yang juga sangat berperan dalam penyuluhan tentang IB. Kepuasan peternak terhadap pelayanan inseminator akan memberikan keyakinan pada peternak bahwa apa yang disuluhkan oleh inseminator adalah suatu yang baik dan benar, sehingga akan lebih mudah diterima oleh peternak, (5) Sekurangnya 63,3% responden
mempunyai pengetahuan tentang tanda-tanda sapi induk
berahi. Secara teknis, hal ini sangat penting, karena salah satu keberhasilan IB adalah ditentukan oleh kemampuan peternak membaca kapan tanda-tanda sapi induk berahi itu terlihat dan segera melaporkan kepada inseminator, (6) IB meningkatkan produktvitas sapi. Setidaknya
70,8% responden setuju bahwa
sapi hasil IB lebih besar, lebih berat dan lebih cepat tumbuh dibanding sapi hasil kawin alam, sehingga secara nominal harga sapi hasil IB lebih mahal (menguntungkan) , (7) Peternak masih mengharapkan peran pemerintah dan pada dasarnya peternak mengikuti apa yang menjadi kebijakan pemerintah. Hal ini penting, karena jika urusan IB ini sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat, maka tujuan perbibitan sapi (persilangan, pemurnian dan/atau konservasi) akan sulit dicapai, dan (8) 61,3% responden setuju kebijakan kawin silang sesuai dengan keinginan peternak. Hal ini berarti sudah sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan persilangan, tinggal mengarahkan kemana kebijakan persilangan tersebut, apakah untuk menghasilkan jenis (breed) baru, atau merupakan final stock untuk dipotong. Secara makro nasional, beberapa kekuatan yang teridentifikasi adalah urusan perbibitan masih merupakan kewenangan Pusat (Pemerintah) yang didukung dengan adanya kelembagaan pusat dan daerah yang menangani urusan perbibitan, termasuk memproduksi semen beku dari berbagai jenis sapi import, asli maupun lokal oleh unit pelaksana teknis (UPT) Pusat
dan unit
pelaksana teknis daerah (UPTD). Kelemahan-kelemahan (weaknesses). Secara mikro-teknis-lokal, dapat diidentifikasi kelemahan-kelemahan penerapan IB, yaitu (1) 32,1% responden berumur lebih dari 50 tahun.
(2) Tingkat pendidikan responden, 73,8% tidak
tamat/tamat SD dan 24,6% tamatan SMP/SMA, (3) Pemilikan sapi 53,8%
157
responden adalah 1,9 ST atau rata-rata 1,96 ST dan sebanyak 62,9% responden memelihara sapi masih merupakan usaha sampingan. Tabel 24. Ringkasan faktor analisis internal kekuatan dan kelemahan penerapan IB pada peternak sapi potong Faktor strategis internal
Skor
Bobot
tingkat
0,075
3
0,225
0,050 0,040
4 4
0,200 0,160
0,055
4
0,220
5. Pengetahuan peternak tentang tanda-tanda sapi induk berahi cukup tinggi. 6. Peternak setuju IB sangat menguntungkan
0,070
4
0,280
0,070
5
0,350
7. Peran pemerintah masih dibutuhkan oleh peternak 8. Kebijakan kawin silang sesuai dengan keinginan peternak Kelemahan: 1. Adanya kekurang-harmonisan antara kebijakan perbibitan dan implementasi IB di lapangan dikarenakan ditangani oleh dua unit kerja setara Eselon II yang berbeda. 2. Belum jelasnya arah kebijakan perbibitan sapi terhadap kawin silang, pemurnian ataupun konservasi 3. Tingkat pendidikan peternak pada umumnya masih rendah 4. Memelihara sapi masih merupakan usaha sampingan 5. Motivasi menggunakan IB masih bersifat ekstrinsik 6. Mayoritas peternak bukan anggota kelompok IB 7. Sarana prasarana IB kurang
0,045
4
0,180
0,045
4
0,180
0,055
3
0,165
Koordinasi dan sinergi keduanya sangat penting
0,060
2
0,120
Penting untuk pelaksanaan di lapangan
0,050
3
0,150
0,055
3
0,165
0,050
4
0,200
0,050
3
0,150
0,070
2
0,140
8. Intensitas penyuluhan IB masih jarang
0,070
2
0,140
9. Peternak tidak setuju tujuan perbibitan untuk melestarikan sapi lokal (PO dan Madura) dan sapi asli Indonesia (Bali)
0,045
2
0,090
10. Peternak setuju tujuan perbibitan untuk menghasilkan sapi induk yang dapat dikembang-biakkan lebih lanjut
0,045
4
0,180
Perubahan perilaku menjadi lambat Jumlah pemilikan sapi rendah Harus dirubah bersifat intrinsik Sasaran penyuluhan IB tidak fokus Menghambat pelaksanaan IB Perubahan perilaku menjadi lambat Tugas Pemerintah untuk melestarikan sapi lokal (PO dan Madura) dan sapi asli Indonesia (Bali) Dalam konteks persilangan harus jelas apakah untuk menghasilkan final stock atau jenis sapi baru
Kekuatan: 1. Urusan perbibitan masih merupakan kewenangan Pusat (Pemerintah) 2. Tersedia banyak sumber Informasi tentang IB 3. Hampir semua peternak setuju bahwa semen produksi BIB/BIBD adalah sapi bibit unggul 4. Peternak puas atas pelayanan inseminator
1,000
(bobot x tingkat)
3,295
Penilaian/komentar Fungsi regulasi, fasilitasi dan akselerasi Mudah diakses Kualitas bibit sangat penting Kepuasan pelanggan sangat penting Faktor penting keberhasilan IB Salah satu sifat inovasi yang penting Fungsi regulasi, fasilitasi dan akselerasi Fungsi regulasi lebih ditekankan
158
(4) Motivasi menggunakan IB 60,4% masih bersifat ekstrinsik, yaitu sebanyak 35,4% responden menyatakan “ikut teman yang berhasil” memelihara sapi potong karena menggunakan IB.
Sebanyak 14,2% karena “ikut kegiatan
kelompok” dan 10,4% sekedar coba-coba. (5) 94,2% responden bukan anggota kelompok IB. Dalam pelaksanaan
IB, peternak tidak tergabung dalam suatu
kelembagaan khusus yang berkaitan pelaksanaan kegiatan IB. Jikapun ada, kelompok yang dimaksud adalah kelompok ternak atau tani, yaitu kelompok yang mewadahi kegiatan-kegiatan usahatani tanaman pangan ataupun hortikultura, (6) Sarana prasarana IB kurang tersedia. (7) Intensitas penyuluhan IB masih jarang, khususnya penyuluhan yang dirancang secara khusus oleh penyuluh peternakan agar penerapan IB sejalan dengan tujuan kebijakan perbibitan yang akan dicapai, (8) Penjualan sapi hasil IB masih melalui blantik/pedagang pengumpul, hal ini menyebabkan proporsi keuntungan peternak sebagai produsen, relatif kecil dibanding keuntungan para blantik/pedagang pengumpul tersebut, (9) 51,7% responden tidak setuju, tujuan pembibitan untuk melestarikan sapi lokal (PO) dan sapi asli (Bali), (10) 87.6% responden setuju tujuan perbibitan (persilangan) untuk menghasilkan sapi induk yang lebih baik, (11) 85,0% responden setuju tujuan perbibitan (persilangan) untuk menghasilkan sapi induk yang dapat dikembang-biakkan lebih lanjut dan (12) Hanya 38,7% responden setuju bahwa kebijakan pemurnian (termasuk konservasi sapi lokal) sesuai dengan keinginan peternak. Secara makro-nasional, kelemahan-kelemahan yang teridentifikasi adalah (1) Adanya kekurang-harmonisan antara kebijakan di bidang perbibitan dan implementasi IB di lapangan, (2) tidak jelasnya arah kebijakan kawin silang apakah untuk menghasilkan final stock atau menciptakan breed baru dan (3) belum ada kebijakan untuk melakukan konservasi sapi lokal, khususnya sapi PO. Faktor Eksternal Strategis Penerapan IB pada Peternak Sapi Potong Faktor eksternal strategis mencakup unsur peluang (opportunity) dan ancaman (threat) penerapan IB pada peternak sapi potong. Peluang-peluang (opportunities). Secara mikro-teknis-lokal, terdapat peluang, yaitu (1) Masih adanya kelembagaan (kelompok) peternak, setidaktidaknya eklompok tani, (2) Banyak tersedia nformasi tentang IB dan mudah diakses, (3) IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat (norma dan sistem sosial), (4) Tidak terjadi perubahan yang berarti
159
terhadap struktur sosial dan kelembagaan peternak sapi dengan diadopsinya IB, (5) Harga sapi hasil IB lebih mahal dari hasil kawn alam dan (6) adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang sejalan/mendukung kebijakan perbibitan nasional (kelembagaan, SDM, sarana, dana dan lain-lain). Tabel 25. Ringkasan faktor analisis eksternal peluang dan ancaman penerapan IB pada peternak sapi potong Faktor strategis eksternal Peluang: 1. Jumlah bibit sapi induk masih kurang 2. Permintaan daging sapi terus meningkat dan belum dapat dipenuhi dari produksi domestik 3. Adanya fasilitas subsidi bunga untuk usaha pembibitan sapi 4. Masih adanya kelembagaan (kelompok) peternak/tani 5. Terdapat banyak informasi tentang IB dan mudah diakses 6. IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan dan keyakinan masyarakat (norma dan sistem sosial). 7. Tidak terjadi perubahan yang berarti terhadap struktur sosial dan kelembagaan peternak sapi 8. Harga sapi hasil IB lebih mahal dari hasil kawn alam 9. Kebijakan Pemda yang sejalan/mendukung kebijakan perbibitan nasional (kelembagaan, SDM, sarana dan dana) Ancaman: 1. Masuknya sapi Brahman cross sebagai sapi betina produktif untuk menambah populasi induk 2. Hilangnya kecintaan peternak/masyarakat terhadap sapi lokal atau sapi asli dengan semakin dominannya pertimbangan faktor ekonomi 3. Semakin hilangnya nilai-nilai seni-budaya yang terkait dengan budidaya sapi dengan semakin dominannya pertimbangan faktor ekonomi 4. Dengan kawing silang, ada kemungkinan punahnya sapi lokal (PO dan Madura) 5. Kebijakan Pemda yang tidak sejalan/mendukung kebijakan perbibitan nasional (kelembagaan, SDM, sarana dan dana)
Skor
Bobot
Tingkat
0,050
3
0,150
0,060
3
0,180
0,080
3
0,240
0,070
4
0,028
0,070
4
0,280
0,080
5
0.400
0,070
4
0,280
Mempercepat proses adopsi inovasi IB
0,090
4
0,360
0,080
3
0,240
Salah satu sifat inovasi yang penting Fungsi regulasi, fasilitasi dan akselerasi dapat dikawal
0,090
3
0,27
Semakin mengacaukan kebijakan perbibitan yang tidak jelas
0,050
3
0,150
Sapi lokal dan asli lebih adaptif dan efisien pada budidaya yang ekstensif
0,050
3
0,150
Seni-budaya yang berkaitan dengan budidaya sapi dapat jadi wahana pembibitan
0,070
4
0,280
0,090
2
0,180
Perlu dibatasi dan dilakukan konservasi Fungsi regulasi, fasilitasi dan akselerasi tidak dapat dikawal
1,000
(bobot x tingka)
Penilaian/komentar Pertumbuhan populasi rendah Impor daging dan sapi bakalan meningkat Inseptif bagi usaha pembibitan sapi Dapat diarahkan menjadi kelompok IB Mempercepat difusi inovasi IB Mempercepat proses adopsi inovasi IB
3,450
Secara makro-nasional, peluang tersebut adalah (1) Jumlah bibit sapi induk sebagai basis untuk meningkatkan populasi masih kurang, (2) Permintaan daging
160
sapi belum dapat dipenuhi dari produksi domestik, sementara permintaan akan daging sapi terus meningkat dan (3) Adanya berbagai macam program yang membutuhkan tersedianya sapi bibit dan adanya fasilitas subsidi bunga untuk usaha pembibitan sapi. Ancaman-ancaman (threats). Secara mikro-teknis-lokal, ancaman yang mungkin terjadi adalah (1) Dengan semakin dominannya pertimbangan faktor ekonomi, maka dihawatirkan: (a) hilangnya
kecintaan peternak/masyarakat
terhadap sapi lokal atau sapi asli dan (b) semakin hilangnya nilai-nilai senibudaya yang terkait dengan budidaya sapi sebagai wahana pelestarian sumberdaya genetik, (2) Dengan kawin silang yang tidak jelas tujuannya dan tidak terkendali penerapannya (tidak tercatat secara rapi silsilah dan performan turunannya), ada kemungkinan dapat mengakibatkan punahnya sapi lokal (PO dan Madura) dan sapi Bali di luar Pulau Bali dan (3) Adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang tidak sejalan/mendukung kebijakan perbibitan nasional (kelembagaan, SDM, sarana, dana dan lain-lain). Secara makro nasional, yang termasuk ancaman adalah (1) Kebijakan masuknya berbagai macam jenis sapi asing dengan tujuan yang tidak jelas dan (2) Menjadikannya sapi betina produktif impor (kategori bakalan), seperti sapi Brahman Cross (BX), menjadi sapi bibit yang tidak masuk kategori bibit. Strategi kebijakan IB Dalam analisis SWOT, metode penyusunan strategi dirumuskan dalam beberapa pendekatan, yaitu (1) Strategi SO (strenght-opportunity), (2) Strategi ST (strength-threat), (3) Strategi WO (weakness-opportunity) dan (4) Strategi WT (weakness-threat). Strategi
SO
(strenght-opportunity):
menghasilkan
strategi
dengan
menggunakan kekuatan untuk mengambil keutamaan peluang yang ada. Strategi ST (strength-threat): menghasilkan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman. Strategi WO (weakness-opportunity): menghasilkan strategi dengan mengambil keutamaan peluang untuk mengatasi kelemahan. Strategi WT (weakness-threat): menghasilkan strategi dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.
161
Tabel 26. Matriks analisis SWOT untuk perumusan strategi kebijakan perbibitan/IB pada sapi potong STRENGTHS (S)
WEAKNESSES (W)
EFAS
1. Menurut peternak IB sangat menguntungkan 2. Pengetahuan peternak tentang tanda-tanda sapi induk berahi cukup tinggi 3. Urusan perbibitan masih merupakan kewenangan Pusat 4. Peternak puas atas pelayanan inseminator 5. Peran Pemerintah masih dibutuhkan oleh peternak 6. Kebijakan kawin silang sesuai dengan keinginan peternak
1. Motivati mengunakan IB masih bersifat ekstrinsik 2. Peternak setuju tujuan perbibitan/IB untuk menghasilkan induk yang dapat dikembangbiakkan lebih lanjut 3. Memelihara sapi masih merupakan usaha sampingan 4. Tingkat pendidikan peternak pada umumnya masih rendah 5. Mayoritas peternak bukan anggota kelompok IB
OPPORTUNITIES (O)
STRATEGI S-0
STRATEGI W-O
1. IB tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat 2. Harga sapi hasil IB lebih mahal dari harga sapi hasil kawin alam 3. Masih adanya kelompok/ kelembagaan peternak 4. Terdapat banyak informasi tentang IB dan mudah diakses 5. Tidak terjadi perubahan yang berarti struktur sosial dan kelembagaan peternak sapi 6. Adanya fasilitas subsidi bunga untuk usaha pembibitan sapi 7. Kebijakan Pemda yang sejalan/mendukung kebijakan perbibitan nasional
1. Meneguhkan kembali visi dan misi perbibitan nasional 2. Mengoptimalkan peran pemerintah dalam mencapai visi dan misi perbibitan nasional 3. Meningkatkan program/kegiatan IB sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pembibitan sapi 4. Memberikan insentif ataupun penghargaan kepada perorangan ataupun lembaga yang mendukung kebijakan perbibitan nasional
1. Membina kelompok peternak/tani sebagai bagian dari kelompok pembibitan sapi 2. Memanfaatkan fasilitas subsidi bunga pembibitan sapi untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan skala usaha budidaya sapi lokal atau asli Indonesia
THREATS (T)
STRATEGI S-T
STRATEGI W-T
1. Dengan kawin silang, ada kemungkinan punahnya sapi lokal 2. Masuknya sapi Brahman cross sebagai sapi betina produktif untuk menambah populasi 3. Kebijakan Pemda yang tidak sejalan/mendukung kebijakan perbibitan nasional 4. Kian hilangnya kecintaan peternak terhadap sapi lokal atau asli dikarenakan dominannya pertimbangan faktor ekonomi 5. Kian hilangnya nilai-nilai senibudaya yang terkait dengan budidaya sapi dikarenakan semakin dominannya pertimbangan faktor ekonomi
1. Mengadakan lomba ternak khusus pembibitan sapi lokal dan asli Indonesia 2. Melestarikan seni-budaya yang terkait dengan budidaya sapi
1. Pemerintah harus lebih mengutamakan peningkatan produksi dan produktivitas sapi lokal dan asli Indonesia 2. Membatasi jumlah jenis sapi yang masuk ke Indonesia
IFAS
162
Berdasarkan matriks analisis SWOT diatas, maka beberapa strategi utama kebijakan perbibitan terhadap adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Merumuskan kembali visi dan misi perbibitan ternak nasional dengan komitmen berbasis sumberdaya lokal. Visi sebagai gambaran ideal tentang perbibitan di masa yang akan datang dan memungkinkan dapat dicapai dalam kurun waktu 20 hingga 30 tahun, harus tergambar dengan jelas dan disepakati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Misi adalah langkah-langkah besar untuk sampai kepada visi, yang selanjutnya harus diterjemahkan dalam bentuk program dan kegiatan.
2.
Mengoptimalkan peran pemerintah dalam mencapai visi dan misi perbibitan nasional. Dengan menggunakan kewenangan yang diberikan, Pemerintah harus membuat kebijakan dalam bentuk program dan kegiatan yang lebih jelas dan terarah terhadap pencapaian tujuan perbibitan sapi, baik yang bertujuan untuk menciptakan jenis sapi potong baru, menghasilkan final stock, pemurnian maupun konservasi.
3.
Meningkatkan program/kegiatan IB sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pembibitan sapi. Bagaimanapun, penggunaan IB mempunyai banyak kelebihan
dibanding
dengan
cara
kawin
alam.
Oleh
karena
itu,
program/kegiatan IB pada sapi potong harus terus dilanjutkan dan ditingkatkan dengan secara konsisten mengacu pada tujuan perbibitan. 4.
Memberikan insentif ataupun penghargaan kepada perorangan ataupun lembaga yang mendukung kebijakan perbibitan nasional. Pemerintah harus terus-menerus mendorong peternak, kelompok ataupun pengusaha yang melakukan usaha pembibitan sapi, khususnya untuk sapi lokal dan asli Indonesia, dengan memberikan insentif ataupun penghargaan.
5.
Membina kelompok peternak/tani sebagai bagian dari kelompok perbibitan. Di dalam kelompok-kelompok ternak yang ada, diarahkan untuk membentuk kelompok pembibitan, sehingga pembinaan dan penyuluhan dapat dilakukan lebih mudah dan terarah.
6.
Memanfaatkan fasilitas subsidi bunga pembibitan sapi untuk meningkatkan produksi, produktivitas, populasi dan skala usaha budidaya sapi lokal atau asli Indonesia. Fasilitas subsidi bunga pembibitan sapi tidak selayaknya diberikan untuk mengembangkan dan melestarikan jenis sapi asing, yang justeru mengacaukan program pembibitan sapi di Indonesia.
163
7.
Mengadakan lomba ternak khusus pembibitan sapi lokal dan asli Indonesia. Pemberian penghargaan kepada peternak atau lembaga, harus diutamakan diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya pembibitan, pelestarian, peningkatan produksi dan produktivitas serta peningkatan kapasitas kelembagaan peternak sapi lokal dan asli Indonesia.
8.
Melestarikan seni-budaya yang terkait dengan budidaya sapi. Usaha budidaya sapi di Indonesia tidak semata-mata berorientasi bisnis, akan tetapi sebagian besar terkait dengan masalah sosial budaya dan keagamaan. Bahkan beberapa seni-budaya yang terkait dengan budidaya sapi, mengarah kepada dihasilkannya sapi-sapi unggul yang dapat dijadikan bibit.
9.
Pemerintah
harus
lebih
mengutamakan
peningkatan
produksi
dan
produktivitas sapi lokal dan asli Indonesia. Melakukan upaya-upaya nyata dengan mengerahkan semua sumberdaya untuk mencapai tujuan perbibitan, baik pemurnian, konservasi dan peningkatan produksi dan produktivitas sapi lokal dan asli Indonesia. 10. Membatasi jumlah jenis sapi yang masuk ke Indonesia. Berdasarkan preferensi masyarakat terhadap jenis-jenis sapi impor, maka harus dibatasi jumlah jenis sapi impor yang digunakan untuk persilangan, kecuali untuk menghasilkan final stock ataupun untuk menciptakan jenis sapi baru.
165
VI. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Secara umum tingkat penerapan IB masuk kategori sedang (40-60%), yaitu peternak sapi potong belum mengadopsi seluruh komponen penerapan IB dalam rangka mencapai tujuan perbibitan. Peternak telah memiliki keterampilan dalam mengamati sapi berahi dan segera melaporkan ke inseminator. Namun, beberapa aspek penting penerapan IB lainnya, yaitu pengetahuan peternak tentang jenis semen dan nama pejantan sangat kurang, serta tidak melakukan pencatatan (recording).
Sedangkan untuk
tingkat kecepatan adopsi inovasi IB berkisar antara nol tahun (langsung mengadopsi) sampai dengan 16 tahun. 2.
Hasil identifikasi terhadap karakteristik internal, eksternal dan usaha peternak sapi potong menunjukkan perbedaan yang nyata antar lokasi penelitian. a.
Untuk karakteristik internal, peternak sapi potong di Kabupaten Tabanan mempunyai tingkat pendidikan dan pengalaman memelihara sapi paling tinggi dibanding dua kabupaten yang lain. Namun, motivasi instrinsik dan tingkat kekosmopolitan peternaknya paling rendah.
b.
Untuk karakteristik usaha, peternak sapi potong di Kabupaten Lamongan dan Tabanan memiliki sapi,
jumlah sapi yang dijual dan
pendapatan rumah tangga yang relatif sama, dan lebih tinggi dibanding peternak di Kabupaten Bangkalan. c.
Untuk
karakteristik eksternal, ketersediaan pasar sapi di Kabupaten
Bangkalan paling tinggi dibanding dua kabupaten lainnya. Keadaan sarana prasarana IB di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan relatif sama dan lebih tinggi dibanding di kabupaten Lamongan. Ketersedian informasi tentang IB dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, secara berturut-turut adalah di Kabupaten Tabanan, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bangkalan. 3.
Hasil identifikasi terhadap persepsi peternak sapi potong dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan kebijakan perbibitan menunjukkan perbedaan yang nyata antar lokasi penelitian.
166
a.
Peternak di masing-masing kabupaten mempunyai persepsi yang berbeda terhadap tanda-tanda fisik sapi bibit. Peternak di Kabupaten Lamongan dan Bangkalan
setuju bahwa tujuan perkawinan silang
adalah untuk menghasilkan jenis sapi baru. Terhadap perlunya konservasi sapi Indonesia, peternak di Kabupaten Lamongan cenderung tidak setuju. Peternak di ke tiga kabupaten mempunyai persepsi yang relatif sama terhadap pelayanan IB, yaitu telah memenuhi keinginan dan harapan peternak sebagai pelanggan. b.
Peternak di masing-masing kabupaten mempunyai persepsi yang sama, yaitu ragu-ragu bahwa telah terjadi perubahan struktur sosial dengan diadopsinya inovasi IB. Di Kabupaten Lamongan dan Tabanan, sapi hasil IB dapat digunakan untuk kepentingan acara adat maupun keagamaan. Di Kabupaten Bangkalan, peternak masih ragu-ragu menggunakan sapi hasil IB untuk kepentingan acara keagamaan.
c.
Peternak di masing-masing kabupaten mempunyai persepsi yang sama, bahwa IB secara ekonomi menguntungkan peternak. Persepsi tersebut, di Kabupaten Lamongan dan Bangkalan (daerah kawin silang) relatif lebih tinggi dibanding di Kabupaten Tabanan (pemurnian).
d.
Terhadap kebijakan persilangan dan pemurnian sapi potong, peternak di masing-masing kabupaten setuju dengan persilangan. Sementara, peternak di Kabupaten Bangkalan dan Tabanan selain setuju dengan persilangan, juga setuju dengan pemurnian; dan peternak di Kabupaten Lamongan cenderung tidak setuju dengan pemurnian.
4.
Dalam penerapan
IB pada peternak sapi potong harus memperhatikan
faktor karakteristik internal dan persepsinya tentang IB. Beberapa indikator yang dapat dijelaskan oleh konstruk penerapan IB adalah pengamatan tanda sapi berahi, pelaporan ke inseminator dan pengenalan terhadap jenis semen/nama pejantan. Secara bersama, karakteristik internal, eksternal, usaha peternak
sapi potong dan persepsinya tentang IB mampu
menjelaskan tingkat penerapan IB sebesar 51%. 5.
Faktor karakteristik internal, usaha dan eksternal peternak sapi potong serta persepsinya terhadap IB berpengaruh terhadap tingkat kecepatan adopsi inovasi IB. Secara bersama, keempat peubah tersebut, mampu menjelaskan tingkat kecepatan adopsi IB sebesar 86%.
167
6.
Strategi kebijakan perbibitan sapi melalui penerapan IB mencakup aspekaspek perumusan kembali visi-misi, optimalisasi peran pemerintah dalam program/kegiatan,
pemberian
insentif/subsidi,
peningkatan
kapasitas
kelembagaan, peningkatan intensitas lomba ternak dan pelestarian senibudaya terkait budidaya sapi, serta pengutamaan sapi Indonesia dan pembatasan jenis sapi asing yang masuk ke Indonesia. Saran 1.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pola keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan IB dan kecepatan adopsi inovasi IB peternak sapi potong di daerah lain, baik menggunakan peubah-peubah yang ada dan/atau menggunakan peubah baru dengan indikator-indikator yang lebih valid.
2.
Meninjau kembali kebijakan produksi semen sapi asing dalam penerapan IB di Indonesia sebagai bagian dari perbaikan mutu genetik dan pelestarian sumberdaya genetik sapi Indonesia sesuai
dengan visi dan misi
Kementerian Pertanian dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 3.
Dalam rangka mencapai tujuan kebijakan di bidang perbibitan sapi melalui penerapan IB, diperlukan pendekatan penyuluhan yang berbeda sesuai dengan karakteristik peternak, dengan lebih menekankan kepada faktorfaktor yang signifikan dan dominan.
169
DAFTAR PUSTAKA Akhsan. 1998. Proses adopsi dan difusi pemberian makanan tambahan bayi [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ali-Olubandwa AM, Odero-Wanga D, Kathuri NJ, Shivoga WA. 2010. Adoption of improved maize production practices among small scale farmers in the agricultural reform era: The case of Western Province of Kenya. J of International Agricultural and Extension Education, 17 (1):21-30. Amrawati A, Nurlaelah S. 2008. Analisis tingkat adopsi inseminasi buatan oleh peternak sapi Bali di kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dalam, Pengembangan sapi potong untuk mendukung P2SDS 2010. Prosiding seminar nasional. Universitas Tadulako dan Distanbunak, Sulteng. Hal. 86-93. Ancok D. 1989. Validitas dan realibilitas instrumen penelitian. Dalam, Metode penelitian survai. [Editor, Masri Singarimbun dan Sofian Effendi]. LP3ES, Jakarta. Hal. 122-146. Barkley BT, Saylor JH. 1994. Customer-driven project management: A new paradigm in total quality implementation. McGraw-Hill, Inc., Singapore. [BIB] Balai Inseminasi Buatan Lembang. 2001. Kiprah balai inseminasi buatan Lembang dalam pembangunan peternakan. Balai Inseminasi Buatan Lembang, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Bandung. Bollen KA. 1989. Structural equations with latent variables. John Willey & Sons, New York. Boone EJ. 1989. Philosophical foundations of extension. Dalam, Fondations and changing practices in extension. Hal. 1-9. Editor, Donald J. Blackburn. Media Dist. University of Guelph. Ontario, Canada. [BPS] Badan Pusat Statistik dan [ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan, 2009. Survei rumah tangga peternakan nasional 2008. BPS Jakarta. Buana T. 1997. Adopsi teknologi budidaya padi sawah bagi petani penduduk asli di sekitar pemukiman transmigrasi: kasus di Kecamatan Lambuya, Kabupaten Kendari [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dahlanuddin, Puspadi K, Mc. Donald C,van Wensen M, Pengelly B, Samad A. 2008. Percepatan adopsi model pembibitan sapi Bali berbasis kandang kelompok di pulau Lombok. Dalam, Pengembangan sapi potong untuk mendukung P2SDS 2010. Prosiding seminar nasional. Universitas Tadulako dan Distanbunak, Sulteng. Hal. 38-48. [Deptan] Departemen Pertanian, 2006. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 36/Permentan/ OT.140/8/2006 tentang Sistem Perbibitan Ternak Nasional, Jakarta.
170
DeVito
AJ. 2000. Komunikasi antar manusia. [terjemahan], communication, Agus Maulana. Professional book, Jakarta..
Human
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan, 1993. Buku pintar penyuluhan peternakan untuk PPS-PPL dan staf penyuluhan. Direktorat Bina Penyuluhan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. -------------------, 2005. Pedoman pelaksanaan IB. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. ------------------, 2006. Rencana strategis Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. ------------------, 2009a. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan 20102014. Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian, Jakarta. ------------------, 2009b. Statistik Peternakan 2009 (Statistical on livestock 2009). Ditjen Peternakan, Jakarta. ------------------, 2010. Blue print program swasembada daging sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian, Jakarta. [Ditbit] Direktorat Perbibitan, 2003. Pengembangan industri benih dan bibit peternakan di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta. --------------------------------------------, 2006. Peraturan Menteri Pertanian tentang (1) Sistem Perbibitan Nasional dan (2) Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak. Ditjen Peternakan, Jakarta. Diwyanto K. 1997. Sistem perbibitan ternak nasional: ternak ruminansia besar dalam Perspektif pembangunan peternakan dalam era industrialisasi. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Hal. 281-294. -----------------. 2008. Pemanfaatan sumberdaya lokal dan inovasi teknologi dalam mendukung pengembangan sapi potong di Indonesia dalam Pengembangan inovasi pertanian I (3), 2008:173-188. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Diwyanto K, Inounu I. 2009. Dampak crossbreeding dalam program inseminasi buatan terhadap kinerja reproduksi dan budidaya sapi potong. Wartazoa, 19 (2): 93-102. Dye TR. 1976. Policy analysis: What government do, why they do, and what difference it makes. The University of Alabama Press, Alabama. Foote RH. 1981. Animal industries heavily dependent on reproductive technology: The artificial insemination industry in new technologies in animal breeding. Editor Benjamin G. Brackett, George E. Seidel and Sarah M. Seidel. Academic Press. Pp. 13-39.
171
Gaspersz V. 2001. Total quality management. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ginting E. 1984. Respons petani peternak sapi perah terhadap inseminasi buatan di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. [tesis] Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gordon IR. 2004. Reproductive technologies in farm animals. CABI Publishing, Oxfordshire, United Kingdom. Hair JF, RE Anderson, RL. Tatham, WC Black. 1998. Multivariate data analysis: With Reading. Fourt edition. Prentice Hall, New Jersey. Hanafi H. 2002. Keefektivan jaringan komunikasi dalam adopsi inovasi teknologi pengembangan agribisnis: Kasus ternak kambing PE di Kabupaten Sleman DI. Yogyakarta [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hardjosubroto W, Sularsana D, Sumadi, Astuti M. 1997. Sistem perbibitan nasional ditinjau dari aspek mutu genetis, budidaya, standard dan pengawasan mutu: bibit ternak ruminansia besar. Dalam, perspektif pembangunan peternakan dalam era industrialisasi. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Hal. 245-280. Herweijer CH. 1982. Perkembangan pembibitan sapi ternak dan kemungkinan untuk mendirikan perusahaan peternakan sapi di Sulawesi Selatan (De Ontwikkeling Der Rund Veeteelt in Zuid-Celebes en De Mogelijkheid Tot Het Stichten Van Ranchbedrijven). Dalam, Pengembangan peternakan sapi dan kerbau di Indonesia. Alih Bahasa R.P. Utojo dari Hemera Zoa 57:221-239.1950. LIPI. Hal. 9-24 Hunger DJ, Wheelen TL. 1996. Strategic management. 5th edition. AddisonWealey Publishing Company, New York, USA. Kaliky R. 2002. Intensitas komunikasi dan persepsi peternak terhadap keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman DI.Yogyakarta [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Katharina R. 2007. Adopsi sistem pertanian konservasi usahatani kentang di lahan kering dataran tinggi Kecamatan Pangalengan Bandung [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kuntowidjoyo. 2003. Radikalisasi petani: Esai-esai sejarah. Bentang Budaya, Yogyakarta. Kusnendi. 2008. Model-model persamaan struktural: satu dan multigroup sampel dengan LISREL. Alfabeta, Bandung. Lestari E. 1994. Hubungan status sosial ekonomi petani dengan tingkat adopsi inovasi sapta usaha pertanian [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
172
Lionberger HF, Gwin H. 1982. Communication strategies: A guide for agricultural change agents. The Interstate Printers & Publisher Inc., Illinois. Lippit R, Watson J, Westley B. 1958. Planned change: comparative study of principles and techniques. Harcourt, Brace and company, New York. Loomis CP. 1960. Social system: Essays on their persistence and change. D. Van Nostrand Company, Toronto. Lubis MS. 2007. Kebijakan publik. Mandar Maju, Bandung. Mantra ID, Kasto. 1989. Penentuan sampel. Dalam, metode penelitian survai. [Editor, Masri Singarimbun dan Sofian Effendi]. LP3ES, Jakarta. Hal. 149174. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan pembangunan pertanian. Cet.-3 Sebelas Maret University Press. Surakarta. Muladno. 2010. Menata pembibitan ternak dalam menjamin ketersediaan bibit/benih ternak di Indonesia. Orasi ilmiah guru besar IPB, Bogor. Nasution Z. 2002. Komunikasi pembangunan: Pengenalan penerapannya. Edisi Revisi. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
teori
dan
Nelly M. 1988. Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan perilaku petani mengadopsi rumput unggul di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat [tesis]. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Noor RR. (tanpa tahun). Manajemen inseminasi buatan pada sapi dan unggas. Program Pendidikan Pertanian Terpadu (P3T) Ma’had Al-Zaytun, Indramayu. Novarianto R. 1999. Adopsi inovasi teknologi Tabela bagi petani padi sawah: Kasus petani padi sawah di Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo Sulawesi Utara [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oleas C, Dooley KE, Shinn GC and Giusti C. 2010. A case study of the diffusion of agricultural innovation in Chimaltenango, Guatemala. J of International Agricultural and Extension Education, 17 (2):33-44. Padmodihardjo S. 2004. Menata kembali penyuluhan pertanian di era pembangunan agribisnis. Departemen Pertanian. Jakarta. Pane I. 1993. Pemuliabiakan ternak sapi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Payne, WJA, Hodges, J. 1997. Tropical cattle: origins, breeds and breeding policies. Blackwell science. London. Purnaningsih N. 2006. Adopsi inovasi pola kemitraan agribisnis sayuran di Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
173
[Puskaji] Pusat Pengkajian SDM Pertanian, 2004. Kondisi penyuluhan pertanian dewasa ini. Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. [Pusbangluh] Pusat Pengembangan Penyuluhan, 2007. Programa penyuluhan pertanian nasional tahun 2007. Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. [Puslibangnak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2007. Petunjuk teknis sistem pembibitan sapi potong. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Rangkuti PA. 2007. Jaringan komunikasi petani dalam adopsi inovasi teknologi pertanian [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. 5th Ed. The Free Press, New York. Rogers EM, Shoemaker FF. 1995. Communication of Innovation: A cross-cultural approach. Revised Ed. The Free Press. A Division of Macmillan Pub. Co Inc, New York. Ross RS. 1979. Essentials of speech communication. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff, New Jersey. [RPP] Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2011 tentang Sumberdaya genetik hewan dan perbibitan ternak. Sadono D. 1999. Tingkat adopsi inovasi pengendalian hama terpadu oleh petani: kasus di Kabupaten Karawang Jawa Barat [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salim M. 2009. Evaluasi sertifikasi guru dengan pendekatan model persamaan struktural. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sallis E. 1993. Total quality management in education. Kogan Page, London. ----------. 2006. Total quality management in education (manajemen mutu pendidikan). [terjemahan, Ahmad Ali R dan Fahrurrozi]. IRCiSoD, Yogyakarta. Shebu BM, Rekwot PI, Kezi DM, Bidoli TD, Oyedokun AO. 2010. Challenges to farmers’ participation in artificial insemination (AI) biotechnology in Nigeria: An overview. J of Agricultural Extension, 14 (2): 123-129. Siegel S. 1994. Statistik nonparametrik untuk ilmu-ilmu sosial. Cet.ke-6 [terjemahan] Nonparametric Statistic for the Behavioral Sciences, Zanzawi S dan Landung S. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Simanjuntak H. 2000. Beberapa faktor yang berhubungan dengan adopsi agribisnis ikan air tawar: Kasus Desa Pulau Gadang, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar Riau [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
174
Sitinjak TJR, Sugiarto. 2006. Lisrel. Graha Ilmu. Yogyakarta. [SKB] Surat Keputusan Bersama. 1996. Menteri pertanian dan menteri dalam negeri No. 54 Tahun 1996 dan 301/Kpts/LP.120/4/96 tentang Pedoman penyelengaraan penyuluhan pertanian dan petunjuk pelaksanaannya. Deptan dan Depdagri, Jakarta. Skjervold H. 1982. The results of 20 years selection for production in cattle, sheep and pigs: which way now? In, Future development in genetic improvement of animals. Ed. by J.S.F. Barker, Keith Hammond and A.E. McClitock. Academic Press, Sydney. Pp. 3-14. Slamet M. 1996. Filosofi dan prinsip-prinsip manajemen mutu terpadu di perguruan tinggi. Dalam, Manajemen mutu terpadu di perguruan tinggi. Editor Margono Slamet at al. HEDS Project, Jakarta. ------------------. 2003. Membentuk pola perilaku manusia pembangunan. [Editor, Ida Yustina dan Adjat Sudradjat]. IPB Press. Bogor Slamet M, Adhi AK. 2001. Manajemen mutu terpadu di pendidikan dan penyuluhan: menuju mutu pendidikan dan penyuluhan yang lebih baik. Diktat kuliah Program Studi Penyuluhan Pembangunan, IPB. Bogor. Solimun. 2002. Structural equational modeling (SEM), Lisrel dan Amos: Aplikasi di manajemen, ekonomi pembangunan, psikologi, sosial, kedokteran dan agrokompleks. Universitas Negeri Malang. Stamatis DH. 1996. Total quality services: implementation. St. Lucie Press. Florida.
principles,
practices
and
Sudardjat SD, Pambudy R. 2003. Menjelang dua abad sejarah peternakan dan kesehatan hewan Indonesia: peduli peternak rakyat [editor, Abdullah Syarief]. Yayasan Agrindo Mandiri, Jakarta. Suhaji. 1994. Membangun peternakan tangguh: proses internalisasi pengabdian tugas ke inovasi instrumental sistem pembangunan peternakan tangguh. Orasi ilmiah penganugrahan gelar doctor honoris causa bidang ilmu peternakan. Unpad, Bandung. Suharjo B. 2009. Makna data dalam penelitian (tulisan ke 1 dari 3 topik metodologi penelitian). Blogging www.budisuharjo.com [13 Oktober 2009]. Supranto J. 2004. Analisis multivariat: Arti dan interpretasi. Rineka Cipta, Jakarta. Talib C, Siregar AR. 1991. Peranan pemuliaan ternak potong di Indonesia. Wartazoa, 2 (1-2): 15-19. Talib C. 2001. Pengembangan sistem perbibitan sapi potong nasional. Wartazoa, 11 (1):10-19.
175
---------. 2002. Sapi Bali di daerah sumber bibit dan peluang pengembangannya. Wartazoa, 12 (3):100-107. Tubbs SL, Moss S. 2005. Human communication: Prinsip-prinsip dasar. Buku pertama. [terjemahan], Human Communication, Deddy Mulyana dan Gembirasari. Remaja Rosdakarya, Bandung. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia N0. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan kesehatan hewan Vago S. 1989. Social change. Prentice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey. van den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan pertanian [terjemahan, Agricultural extensión]. Kanisius, Yogyakarta. Wibawa S, Purbokusumo Y, Pramusinto A. 1994. Evaluasi kebijakan publik. Raja-Grafindo Persada, Jakarta. Weiner G. 1994. Animal breeding in the tropical agriculturalist. Macmillan Education Ltd, London. Widodo W, Hakim L. 1981. Pemuliaan ternak. Universitas Brawijaya, Malang. Wikipedia, 2009. Agricultural Extension. http://en.wikipedia.org/wiki/Agriculture_ extension [12 Januari 2009]. Wiryosuhanto SD. 1997. Pembangunan peternakan repelita VII tinjauan aspek filosofi, kebijakan umum dan operasional, pola dan model pembangunannya. Dalam, Perspektif pembangunan peternakan dalam era industrialisasi. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Hal. 1-105. Yamin S, Kurniawan H. 2009. Structural equation modeling: belajar lebih mudah teknis analisis data kuesioner dengan Lisrel – PLS. Salemba Infotek., Jakarta Yasin M. 1994. Partisipasi peternak dalam penerapan IB pada ternak sapi di Kab. Lombok Barat NTB [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zeithaml VA, Parasuraman A, Berry LL. 1990. Delivering quality services: balancing customer perceptions and expectations. The Free Press. New York.
B. Produksi semen beku Balai Inseminasi Buatan Lembang tahun 2001‐2010
No. Bangsa 1. Bali 2. Ongole 3. Brahman Jumlah: 4. AFS/Taurindiscus 5. Hereford 6. Simental 7. Charolais 8. Limousin 9. Santa Gertrudis 10. Belmond Red 11. Angus 12. Brangus Jumlah:
2001
2002
Produksi semen beku 2006 2007
2003
2004
2005
2008
2009
2010
Jumlah
134.477 104.819 134.477 104.819
127.872 127.872
125.205 125.205
47.311 47.311
20.676 36.642 39.640 23.525 60.316 60.167
44.634 37.220 81.854
51.749 62.591 114.340
64.298 98.660 162.958
245.039
289.915 342.747
585.021
537.444
703.865
123.622
159.831
190.877 243.556
339.120
368.513
705.369
3.942 ‐ 419.913
9.783 ‐ 313.602
17.698 ‐ 422.568
9.727 19.767 6.337 3.119 496.856 609.189
18.415 7.120 949.676
26.329 7.311 939.597
51.805 14.837 1.475.876
3.944
271.696
156.900
163.605 181.244
119.693
187.236
358.836
5.748
‐
5.716
‐ 3.292
6.720
2.963
19.464
3.154 6.644
4.308
2.687
5.716
223 3.154 10.159
1.473 12.501
1.066 6.716
5.445 5.927 3.587 5.125 2.230 41.778
217.999 801.320 1.019.319 ‐ ‐ 4.056.278 ‐ 2.809.972 ‐ ‐ 226.935 70.403 7.163.588 8.182.907 1.680.069 ‐ ‐ ‐ 43.903 ‐ ‐ 5.445 22.720 3.587 5.125 4.992 85.772
326.191 593.240
252.619
180.197
186.602 329.130
163.352
61.546 7.923 5.869 25.810 580.208 956.103
13. FH 14. AMZ 15. Kerbau Jumlah: 16. Domba Garut 17. Domba Dorper 18. Domba Kahtadin 19. Domba Texel 20. Kambing PE 21. Kambing Saanen 22. Kambing Alpine 23. Kambing Boerh Jumlah:
17.787 219.128
‐ ‐
5.748
‐
Jumlah Total:
732.472 1.280.050
557.477
710.503
632.495
723.931 860.759
1.163.724
1.247.889
2.039.448
Lampiran 2. No. Responden:…………
KUESIONER PENELITIAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN PERBIBITAN SAPI TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAK SAPI POTONG Nama Responden
:.............................................................................
Jenis Kelamin
: (1) Laki-laki; (2) Perempuan..............................
Nama Kelompok Tani
:.............................................................................
RW/RT/Kampung
:.............................................................................
Desa
:.............................................................................
Kecamatan
: Geger ...............................................................
Kabupaten
: Bangkalan...........................................................
Tanggal Wawancara
: ......... Desember 2009 .......................................
Nama Enumerator
:.............................................................................
PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
178
I.
KARAKTERISTIK PETERNAK SAPI POTONG
Profile Peternak Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini: Pertanyaan
Jawaban
1. Berapakah umur responden saat ini?
Sebutkan: .............. tahun
2. Apakah tingkat pendidikan terakhir responden yang pernah ditempuh? Pilih salah satu
(a) (b) (c) (d) (e) (f)
Sebutkan kelas:……………………………………
3.
4.
Berapa lama pengalaman responden beternak/ memelihara ternak sapi potong? Berapa jumlah sapi potong yang dipelihara responden saat ini? Sebutkan ...............ekor Daftar jenis sapi: 1. PO 2. Simental 3. Limousin 4. Brahman 5. Madura 6. Bali 7. Lain-lain, sebutkan………………………
5.
Apakah usaha pokok responden?
Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1/D2/D3 Tamat D4/S1
Sebutkan: ..............tahun No.
Sex/Umur
(a) (b) (c) (d) (e) (f)
Jantan Dewasa (>18 bulan) Betina Dewasa (> 18 bulan) Jantan muda (8-18 bulan) Betina muda (8-18 bulan) Anak jantan (< 8 bulan Anak betina (< 8 bulan)
Jml (ekor)
Jenis Sapi (lihat daftar)
Setara dengan:.........................ST (tidak perlu diisi)
Sebutkan. Pilih salah satu: (a) Petani (b) Pedagang (c) Wiraswasta, sebutkan: ........................................... (d) Lain-lain, sebutkan : ...............................................
A. Pendapatan responden setahun terakhir 1) Berapa orang/jiwa tanggungan responden? ........... orang/jiwa. 2)
Jika dihitung dengan rupiah, berapa besar untuk kebutuhkan hidup sehari-hari (makan/minum, bahan bakar, rokok, transport, dlll) ? Rp. ..................................................
3)
Berapa biaya listrik per bulan? Rp. ............................................
4)
Berapa biaya air PAM per bulan? Rp. .......................................
5)
Berapa biaya bayar anak sekolah per bulan? Rp. ......................
6)
Berapa biaya pembelian saprodi (bibit, pupuk, obat, dll) per tahun? Rp. ............................................
7)
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan diatas, dari sumber mana biaya diperoleh? Pilih: (a) Dari hasil usaha tani (b) Dari hasil usaha jasa, sebutkan ................................................... (c) Dari hasil usaha lain, sebutkan ...................................................
179
8) Produksi tanaman pangan/hortikultura/.............................:setahun terakhir No.
Jenis Usahatani
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 11
Padi Jagung Kedelai Kacang Tanah Kacang Ijo Ubi Jalar Singkong Tembakau ................................... ...................................
Total Produksi (Kw)
Penggunaan (%) Dimakan Dijual
Total Nilai Produksi (Rp.)
Jumlah:
B. Pendapatan responden setahun terakhir dari usaha ternak selain sapi. Sebutkan: No.
Jenis ternak
1.. 2. 3. 4. 5
Kambing/Domba Ayam Itik Telur ........................................... Jumlah :
Jml. Ternak yg dijual (Ekor)
Total Nilai Penjualan (Rp.)
C. Pendapatan setahun terakhir di luar usahatani (off-farm) jika ada, sebutkan : No. 1. 2. 3.
Jenis Usaha/produk
Pendapatan Bersih (Rp.)
Jumlah:
6. Sejak tahun berapa responden tercatat sebagai peserta (akseptor) IB ? Apakah alasan (motivasi) responden menggunakan IB (kawin suntik)?
7. Keanggotaan dalam Kelompok IB a. Apakah responden masuk dalam keanggotaan kelompok IB dalam kurun waktu 6 bulan terakhir?
Sebutkan, tahun ……………………….. Pilih salah satu dengan mencontreng (√) pada jawaban yang sesuai: (a) karena ingin tahu (b) coba-coba (c) ikut teman yang berhasil (d) sadar IB sangat menguntungkan (e) Lain-lain, sebutkan ................................................................... Sebutkan: (ya) atau (tidak). Jika ya, sebagai apa? Berikan tanda contreng (√) pada jawaban yang sesuai: (a) Anggota (b) Ketua (c) Pengurus selain ketua (d) Lain-lani, Sebutkan: .................................................................... Apa alasan masuk anggota kelompok IB? Sebutkan ....................... ...........................................................................................................
180 b. Apakah sebulan terakhir responden mengikuti pertemuan kelompok IB?
Sebutkan: (ya) atau (tidak).
c. Perihal apa saja yang dibicarakan/didiskusikan dalam pertemuan tersebut?
Sebutkan: (Lihat daftar 5.a.) (a) Masalah pertanian secara umum (b) Masalah peternakan (c) Masalah IB/perkawinan (d) Masalah pakan (e) Masalah pemasaran (f) Lain-lain, sebutkan ..........................................
8. Tingkat kekosmopolitan a. Apakah responden 3 bulan terakhir pergi ke luar daerah/kota? b. Berapa sering responden pergi ke luar daerah/ kota dalam sebulan? c. Adakah kepergian responden terkait dengan urusan/informasi peternakan? d. Adakah urusan/Informasi tersebut terkait dengan IB (kawin suntik)?
b.
9.
Jika ya, sebutkan jumlah pertemuan IB yang diikuti dalam kurun waktu sebulan terakhir: ....... ....kali.
Pilih, (ya) atau (tidak) ...............kali/bulan Pilih, (ya) atau (tidak) Pilih : (ada) atau (tidak ada) Jika ada, informasi tentang apa? pilih jawaban dibawah ini. Jawaban bisa lebih dari satu e. Tanda-tanda sapi berahi (minta kawin) f. Jenis semen/sapi (pemacek) g. Nama sapi pemacek h. Tata-cara recording/pencatatan IB i. Nama dan alamat inseminator j. Pelayanan IB k. Lain-lain, sebutkan ................................................. l. Tidak ada informasi yang diperlukan
Melalui media apa saja responden untuk memperoleh informasi tersebut?
Pilih, jawaban bisa lebih dari satu (a) Langsung dari inseminator/penyluluh/petugas (b) Bertanya kepada anggota kelompok yang lain (c) Melalui siaran radio (d) Buku/brosur/ (e) Lain-lain, sebutkan...............................................
Setahun terakhir, apakah responden menjual sapi?
Pilih: (ya) atau (tidak)
a. Berapa ekor? Terdiri dar:
b. Dalam rangka apa atau dalam waktu kapan biasanya responden menjual ternak sapinya?
............. ekor, yang terdiri dari: ............. ekor milik sendiri .............. ekor gaduhan/paron. No. (a) (b) (c) (d) (e) (f)
Jenis kelamin/umur Jantan Dewasa (>18 bulan) Betina Dewasa (> 18 bulan) Jantan muda (8-18 bulan) Betina muda (8-18 bulan) Anak jantan (< 8 bulan Anak betina (< 8 bulan)
Jml (ekor)
Harga (Rp.)
Pilih jawaban berikut. Jawaban bisa lebih dari satu: (a) Ketika membayar uang sekolah/SPP anaknya (b) Dalam rangka hari besar keagamaan, sebutkan ......................................................................................... (c) Ketika mengawinkan anaknya (d) Tergantung kebutuhan (e) Ketika harga sapi menguntungkan
181
10.
Kelembagaan (organisasi) petani apa saja yang ada di wilayah responden?
Pilihlah jawaban responden dengan memberikan tanda contreng (√) pada jawaban yang sesuai, jawaban bisa lebih dari satu: (a) Kelompok tani (b) Kelompok ternak (c) kelompok/paguyuban inseminator (d) kelompok akseptor IB (e) Kelompok kandang komunal (f) kelompok lain, sebutkan .........................................................
Apakah responden menjadi anggota dari kelompok tersebut?
Jawab: (ya) atau (tidak) Jika ya, ikut kelompok mana saja? Pilih (a) (b) (c) (d) (e) (f)
11. Sarana prasarana IB apa saja yang ada di wilayah responden?
Pilihlah jawaban responden dengan memberikan tanda contreng (√) pada jawaban yang sesuai, jawaban bisa lebih dari satu: (a) Kandang jepit/kawin (b) Kotak informasi IB (c) No. Telp/HP inseminator (d) Pos/kantor IB (e) Pos Pembantu IB (f) tidak ada
12. Bagaimana responden menjual hasil ternaknya? (sapi)
Pilihlah jawaban responden dengan memberikan tanda contreng (√) pada jawaban yang sesuai, jawaban bisa lebih dari satu: (a) Menunggu pegagang/blantik yang datang (b) Menjual sendiri ke pedagang (c) Membawa ke pasar hewan (d) Melalui Kelompok (e) Melalui Koperasi (f) Lain-lain, sebutkan ....................................................................
a.
Cara yang mana yang paling sering dipilih oleh responden?
Pilih salah satu di atas berdasarkan nomor: .......... Alasan? (a) Tidak repot/lebih mudah (b) Lebih menguntungkan (c) Sudah menjadi kebiasaan (d) Lain-lain, sebutkan .................................................. Jika dijual ke pasar hewan, Ada berapa pasar hewan di daerah responden? Sebutkan: ...............buah. Berapa kali dalam seminggu? Sebutkan ......kali. Berapa jarak dari tempat tinggal? Sebutkan:...........Km
b. Setahun terakhir ini, berapa harga rata-rata anak sapi (umur setahun), baik yang berasal dari hasil IB ataupun hasil kawin alam?
c. Anak hasil IB: Jantan Rp. ................../ekor Betina Rp...................../ekor
13. Apakah selama ini ada penyuluhan khusus untuk IB?
Sebutkan: (ada) atau (tidak ada)
a. Berapa kali (frekuensi) penyuluhan IB di wilayah responden dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir?
(a) (b) (c) (d) (e)
2 kali 3 kali 4 kali 5 kali 6 kali atau lebih
d. Anak hasil kawin alam: Jantan Rp................../ekor Betina Rp..................../ekor
182
b. Penyuluhan tersebut dilakukan oleh siapa?
Pilihlah jawaban responden dengan memberikan tanda contreng (√) pada jawaban yang sesuai, jawaban bisa lebih dari satu: (a) Penyuluh pertanian/peternakan (b) Inseminator (c) Petugas Dinas (Kecam/Kab) (d) Lain-lain. Sebutkan .................................................................... Metode penyuluhan yang digunakan adalah: (a) ceramah (b) diskusi (c) praktek (d) demonstrasi Penyuluhan tersebut dilakukan secara (pilih salah satu): (a) perorangan (b) kelompok atau (c) gabungan keduanya
14. Apakah responden selama ini dapat memperoleh informasi tentang IB setiap saat (secara mudah)?
Pilihlah jawaban responden dengan memberikan tanda contreng (√) pada jawaban yang sesuai: (a) Sangat sulit (b) Sulit, (c) Ragu-ragu (d) Mudah (e) Sangat mudah, Jelaskan secara singkat, mengapa: ................................................... .............................................................................................................
15. Sumber-sumber informasi tentang IB apakah yang ada di wilayah responden? (jawaban bisa lebih dari satu)
Pilihlah jawaban responden dengan memberikan tanda contreng (√) pada jawaban yang sesuai, jawaban bisa lebih dari satu: a. Teman/tetangga b. Anggota kelompok IB c. brosur d. buku e. Petugas peternakan f. Lain-lain. Sebutkan ............................................................. g. tidak ada
II. PERSEPSI PETERNAK SAPI POTONG TERHADAP INOVASI IB Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut Tingkat Persepsi yang dimiliki responden sebagai dasar dalam menerima, ragu-ragu ataupun menolak inovasi teknologi IB. Berikan jawaban responden pada tiap pernyataan dengan cara mencontreng (√) salah satu angka yang ada di sebelah kanan sesuai dengan pendapat responden. (1) Sangat tidak setuju (2) Tidak setuju (3) Ragu-ragu (4) Setuju (5) Sangat setuju
(16)
No./ Pernyataan
sangat setuju
setuju
ragu-ragu
tidak setuju
Sangat tidak setuju
183
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1.
Semua jenis sapi pejantan unggul disebut sebagai bibit
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
2.
Semua semen (mani beku) produksi Balai Inseminasi Buatan adalah berasal dari bibit sapi unggul
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
3.
Sapi bibit adalah semua sapi pejantan yang di impor dari luar negeri
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai postur tubuh yang besar
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
5.
Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai bentuk tubuh yang ideal (proporsional)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
6.
Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai gumba (punuk) yang tinggi
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
7.
Tanda-tanda fisik sapi bibit adalah mempunyai kondisi tubuh yang bagus dan berat
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Tujuan perbibitan adalah untuk menghasilkan jenis sapi potong baru
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Tujuan perbibitan adalah untuk melestarikan sapi asli (Bali) atau sapi lokal (madura dan PO/Putih)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
10. Tujuan perbibitan adalah untuk menghasilkan sapi induk yang lebih baik dari tetuanya
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
11. Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang harganya lebih mahal dari sapi turunan kawin alam
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
12. Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang dapat berfungsi sebagai tenaga kerja (membajak, tarik gerobak, dll)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
13. Tujuan perbibitan adalah untuk memperoleh sapi turunan yang dapat digunakan dalam acara adat ataupun keagamaan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(17) 4.
(18) 8. 9.
14. Tujuan persilangan adalah untuk memperoleh sapi turunan-akhir (final stock) yang berfungsi sebagai sapi potong
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
15. Tujuan persilangan adalah untuk memperoleh sapi induk yang dapat dikembang-biakkan lebih lanjut
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
17. Inseminator selalu memberikan jenis sapi pejantan (semen) yang diinginkan peternak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
18. Biaya IB yang dibayar oleh peternak kepada inseminator sesuai dengan hasil yang diharapkan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(19) 16. Inseminator siap memberikan pelayanan setiap saat diminta
184 19. Inseminator sering datang untuk memberikan penyuluhan/ pembinaan teknis ketika sedang melakukan pelayanan IB
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
20. Inseminator sering datang untuk memberikan penyuluhan/ pembinaan teknis walaupun tidak melakukan pelayanan IB
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(4)
(5)
Ingat: (1) Sangat tidak setuju; (2) Tidak setuju; (3) Ragu-ragu; (4) Setuju; (5) Sangat setuju (20) 21. Sapi induk yang minta kawin mempunyai tanda 3A (abang, abuh dan (1) (2) (3) anget) dan ekornya diangkat 22. Tanda sapi induk minta kawin adalah sapi tampak gelisah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
23. Tanda sapi induk minta kawin adalah sapi sering melenguh
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
24. Tanda sapi induk minta kawin adalah suka menaiki sapi lain
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
25. Tanda sapi induk minta kawin adalah pada alat kelaminnya mengeluarkan cairan/lendir.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
27. Perkawinan melalui IB, tidak bertentangan dengan syariat agama
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
28. Hasil perkawinan melalui IB, dapat digunakan untuk kepentingan acara adat ataupun keagamaan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
30. Dengan adanya program IB, kelompok peternak yang ada melebur dalam kelompok IB
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
31. Dengan adanya program IB, maka dibentuk kelompok baru (IB) di luar kelompok peternak sapi yang sudah ada
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(21) 26. Perkawinan melalui IB, tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat
(22) 29. Dengan adanya program IB, kelompok peternak sapi yang sudah ada tidak berubah
(23) 32. Dengan adanya program IB, tujuan dan sasaran kelompok yang ada, berubah 33. Dengan adanya program IB, peternak tidak lagi memelihara sapi pemacek (sapi jantan unggul yang berfungsi mengawini)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
34. Dengan adanya program IB, peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat sekarang berkurang
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
35. Dengan adanya program IB, status sosial peternak pemilik pemacek sama dengan peternak yang tidak memiliki pemacek
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
37. Pertambahan “berat badan perhari” sapi turunan IB, relatif lebih besar daripada sapi hasil kawin alam
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
38. Pada umur yang sama, berat sapi dewasa hasil IB lebih besar daripada sapi hasil kawin alam
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(24) 36. Pedet sapi turunan hasil IB relatif lebih besar dari pedet kawin alam
185 39. Saat ini, jumlah sapi hasil IB lebih banyak daripada jumlah sapi hasil kawin alam
(1)
(2)
(3)
Ingat: (1) Sangat tidak setuju; (2) Tidak setuju; (3) Ragu-ragu; (4) Setuju; (5) Sangat setuju (25) 40. Harga jual pedet sapi turunan hasil IB relatif lebih mahal daripada (1) (2) (3) pedet kawin alam
(4)
(5)
(4)
(5)
41. Biaya pemberian pakan sapi turunan hasil IB relatif lebih murah daripada sapi hasil kawin alam
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
42. Penjualan sapi turunan IB relatif lebih mudah daripada sapi hasil kawin alam
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
43. Biaya pemeliharaan sapi hasil IB relatif lebih murah dari sapi hasil kawin alam
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
45. Kebijakan kawin silang pada sapi potong dapat mensejahterahkan peternak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
46. Kebijakan kawin silang pada sapi potong sebaiknya diteruskan dengan jenis pejantan yang lebih beragam
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
47. Kebijakan kawin silang pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
49. Kebijakan pemurnian pada sapi potong dapat mensejahterahkan peternak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
50. Kebijakan pemurnian pada sapi potong sebaiknya diteruskan untuk melestarikan plasma nutfah ternak asli atau lokal
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
53. Tanpa kebijakan persilangan dan pemurnian pada sapi potong (peternak bebas melakukan) dapat mensejahterahkan peternak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
54. Pemerintah tidak perlu mengatur perkawinan ternak pada sapi potong
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
55. Kebijakan pemerintah untuk tidak mengatur perkawinan pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(26) 44. Kebijakan kawin silang pada sapi potong memberikan keuntungan peternak
(27) 48. Kebijakan pemurnian pada sapi potong memberikan keuntungan peternak
51.
Kebijakan pemurnian pada sapi potong sesuai dengan keinginan peternak
(28) 52. Tanpa ada kebijakan persilangan atau pemurnian pada sapi potong (peternak bebas melakukan) akan memberikan keuntungan peternak
186
III. TINGKAT DAN KECEPATAN ADOPSI IB Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut tingkat dan kecepatan adopsi inovasi teknologi IB. Berikan jawaban responden pada tiap pernyataan dengan cara mencontreng (√) salah satu angka yang ada di sebelah kanan sesuai dengan pendapat responden. A.
Tingkat penerapan IB (29)
1.
Apa saja tanda-tanda sapi berahi (minta kawin) yang responden ketahui?. Sebutkan, jawaban dapat lebih dari satu.
Tanda-tanda berahi Sapi induk menaiki sapi yang lain Sapi sering melenguh Sapi menunjukkan gejala gelisah Pada alat kelamin mengeluarkan cairan Alat kelamin tampak lebih merah Alat kelamin terasa lebih panas Alat kelamin tampak bengkak
Kode 1 2 3 4 5 6 7
2.
Dari sekian tanda-tanda sapi berahi, tanda-tanda mana yang paling sering responden gunakan untuk mengawinkan sapinya?
a. Pilih sesuai “Kode”: 1 2 3 4 5 6 7 b. Alasan memilih tanda-tanda berahi tersebut, jelaskan secara singkat, mengapa? .......................................... ..................................................................................... .....................................................................................
3.
Jenis-jenis sapi pejantan apa saja yang responden ketahui yang digunakan untuk IB?, sebutkan, jawaban dapat lebih dari satu.
4.
Setahun terakhir, responden paling sering memilih jenis sapi pejantan yang mana?
5.
Dalam pemilihan jenis sapi pejantan, apakah responden mengetahui nama pejantan tersebut?
6.
Apakah responden mempunyai buku catatan tentang IB?
Jenis sapi PO/Putih Simental Limousin Brahman Madura Bali Lain-lain, sebutkan ......................................
Kode 1 2 3 4 5 6 7
a. Pilih sesuai “Kode”: 1 2 3 4 5 6 7 b. Alasan memilih jenis sapi pejantan tersebut, jelaskan secara singkat, mengapa? .......................................... ..................................................................................... ..................................................................................... a. Pilih: (ya) atau (tidak) b. Jika ya (mengetahui), sebutkan nama sapi pejantan tersebut: .................... ............................................... c. Jelaskan secara singkat alasan memilih nama sapi pejantan tersebut: ........................................................... ......................................................................................... Jawab: (ya) atau (tidak) Kenapa? ................................................................................ ................................................................................................
Jawablah pertanyaan berikut dengan memilih salah satu pilihan jawaban (1), (2), (3), (4) atau (5), dan mintakan alasannya secara singkat.. (1) Tidak (2) Sesekali (3) Kadang-kadang (4) Sering (5) selalu Pertanyaan 7. Apakah responden meminta semen (mani beku) jenis sapi tertentu untuk mengawini sapinya?
(1)
Pilihan jawaban (2) (3) (4)
(5)
(1)
(2)
(5)
(3)
(4)
Alasan
187 Ingat: (1)Ttidak; (2) Sesekali; (3) Kadang-kadang; (4) Sering; (5) Selalu 8. Apakah responden meminta nama pejantan tertentu dari jenis sapi yang dimaksud?
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
9. Apakah responden mencatat jenis sapi pejantan yang digunakan untuk meng-IB sapi induk milik bapak/ibu?
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
10. Apakah responden mencatat nama sapi pejantan yang digunakan untuk meng-IB sapi induk milik bapak/ibu?
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
11. Apakah responden mencatat tanggal pelaksanaan IB
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
12. Apakah responden mencatat tanggal lahir pedet hasil IB?
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
13. Apakah responden memperhatikan sapinya untuk mengetahui bila sapinya berahi (minta kawin)?
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
14. Apakah responden segera melapor ke inseminator apabila melihat sapinya ada tanda-tanda minta kawin?
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
15. Apakah responden mencari inseminator lain apabila inseminator yang bertugas tidak ada di tempat?
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
16. Apakah responden menyiapkan sapinya di kandang jepit sebelum inseminasi dilakukan?
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
B.
Tingkat kecepatan adopsi inovasi IB (30) Pertanyaan 1.
Sudah berapa lama responden menggunakan IB untuk mengawinkan sapinya?
2. Kapan responden pertama kali mendengar/
mengetahui informasi tentang IB (kawin suntik) sehingga responden tertarik dengan IB?
3.
Dari mana sumber informasinya? Pilih dengan mencontreng jawaban yang sesuai (jawaban dapat lebih dari satu)
Jawaban ..................tahun
Tahun? Sebutkan, ……………….. ......................................... Dimana? Pilih: (a) Di wilayah ini (b) Sebelum tinggal disini, yaitu di ................................... (c) Tidak ingat (a) (b) (c) (d) (e) (f)
teman/tetangga orang tua (turun temurun) siaran radio/televisi penyuluh/petugas peternakan brosur/buku lain-lain, sebutkan ...........................................................
4. Setelah mengetahui tentang IB, tahun berapa
Sebutkan tahun ........................................................................ Mengapa baru tahun tersebut? (beri jawaban singkat). ...................................................................................................
5. Sebelum bapak/ibu memutuskan menggunakan
Sebutkan: (ya) atau (tidak). Jelaskan alasannya:................................................................... ...................................................................................................
responden memutuskan untuk menggunakan IB?
IB secara penuh, apakah responden mencoba terlebih dahulu?
6.
Faktor apa saja yang menjadi pertimbangan
(a)
Lebih menguntungkan
188 untuk memutuskan menggunakan IB? (jawaban dapat lebih dari satu)
7.
Diantara faktor-faktor diatas (butir 6), faktor mana yang paling utama menjadi pertimbangan menurut pilihan responden? (jawaban hanya satu)
8. Sejak kapan responden menggunakan IB secara konsisten (terus menerus)?
9. Apakah sampai sekarang responden masih menggunakan IB?
Terima Kasih
(b) (c) (d) (e)
(a) (b) (c) (d) (e)
Tidak bertentangan dengan adat-kebiasaan dan keyakinan masyarakat Mudah diterapkan Bisa dicoba terlebih dahulu Dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya.
Lebih menguntungkan Tidak bertentangan dengan adat-kebiasaan dan keyakinan masyarakat Mudah diterapkan Bisa dicoba terlebih dahulu Dapat dilihat cara penggunaan dan hasilnya.
Sebutkan tahun ......................................................................... Mengapa baru tahun tersebut? (beri jawaban singkat) .................................................................................................... Sebutkan (ya) atau (tidak). Jelaskan alasannya:................................................................... ..........................................................................................................
193
Lampiran 3. Daftar pertanyaan data kualitatif MATRIKS PERTANYAAN DAN NARA SUMBER No.
Items Pertanyaan
1
2
Nara sumber*) 3 4
5
1.
Pandangan tentang “sapi” dari berbagai perspektif (agama, adat, budaya) • Nama/sebutan lain untuk sapi • Sejarah dibalik pemberian nama/sebutan tersebut • Keyakinan atau mithos-mihos yang berkaitan dengan sapi
+ + +
+ + + +
+ + + +
+ + + +
+ + +
2.
Kegiatan budidaya (memelihara) sapi dari berbagai pespektif (sosial, ekonomi, budaya, agama dan adat) • Apakah memelihara sapi itu diperimtahkan oleh agama, adat, atau hanya kebiasaan yang turun-temurun? • Apakah motif dari memelihara sapi tersebut? • Bagaimana kaitannya dengan nilai-nilai sosial budaya? • Adakah kaitannya status peran masyarakat? • Apa makna sebenarnya sapi sebagai “Raja kaya”?
+ + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
+ + + + +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+ +
+ +
+ -
3.
Sistem perkawinan sapi sebelum ada IB • Bagaimana sistem perkawinan sapi secara alami (kawin alam) sebelum ada IB
4.
Nilai-nilai sosial budaya (agama, adat dan keyakinan) yang berkaitan dengan perkawinan sapi secara alami (kawin alam) • Adakah struktur peran dalam masyarakat dalam masalah perkawinan sapi ini? • Adakah transaksi antar peternak dalam sistem perkawinan ini? Baik dari aspek ekonomi maupun dari aspek sosial budaya? • Adakah mithos-mothos tertentu dalam hal kawin secara alami ini?
5.
Tanggapan terhadap diterapkannya teknologi IB terhadap nilai-nilai agama, adat dan budaya yang berlaku.
6.
Issu-issu spesifik • (Madura) penggunaan sapi hasil IB untuk kegiatan/acara keagamaan • (Bali) implikasi keagamaan terhadap sapi hasil IB
Catatan: (1) Tokoh Agama (2) Tokoh Adat (3) Tokoh Masyarakat (4) Budayawan Lokal (5) Mantan Manteri Ternak