Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG LOKAL DAN SAPI PERSILANGAN HASIL INSEMINASI BUATAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Reproductive Performances of Local and Crossbred Beef Cattle Resulting from Artificial Insemination in the Special Region of Yogyakarta) SOEHARSONO1, R.A. SAPTATI2 dan K. DIWYANTO2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jl Ringroad Utara, Karangsari, Sleman Kotak Kos 1013 Yogyakarta 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav E59 Bogor
ABSTRACT A study to observe technical and sosio-economic condition that might affect reproductive performance of local beef catle and its crossbred has been done in diy during july to september 2009. this study was done through survey method and interview using quisener done to 136 respondents chosen purposively. it is hoped that the result obtained might reveal the problem in application of artificial insemination (ai)and more over to evaluate opportunity and threat in developing cow calf operation (cco) in relation to the fact that ai in indonesia is not well planned.result showed that 59.47% of respondents were farmer, 48.08% and 22.31% of respondents were from grade,and junior high school respectively. cow calf operation that is exist in diy is done only as subsistance farming with 2persons in each family who involve in this cco. farming size was 1 – 5hd/family (averaged 2.77hd) where 59.73% of the population was beef cow. the low farming size was resulted from limited land to provide forage. all farmers did not keep bull so that breeding was done by ai. cattle was kept in a communal barn (85.64%) with individual care. Repoductive performance of cressed cattle was: service per conception (S/C) averaged 1.9, calving interval (CI) was 14.08 months, day open periode averaged 151 days. Long CI was caused by long post partum anoestrus (APP) and DO and high S/C also elongated CI. Generally AI is done after its calf is weanned (> 4 months). Improving feed quality ang weaning at 2-3 months of age is an alternative way to improve cow condition its reproductive performance. Some other constrain in improving reproductive performance are: the number of inseminator is to small compared to the number of akceptor (1:1,440), inoptimum health and reproduction management, especially in estus detection. Key Words: Beef Cattle, AI, Reproductive Performance, DI Yogyakarta ABSTRAK Kajian untuk melihat kondisi teknis maupun sosial ekonomi yang mungkin berpengaruh terhadap kinerja reproduksi sapi potong lokal dan persilangan telah dilakukan di DIY pada bulan Juli – September 2009. Penelitian dilakukan dengan metode survei dan wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap 136 responden peternak yang dipilih secara purposive sampling. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang kekuatan dan kelemahan dalam pelaksanaan inseminasi buatan (IB), serta melihat peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi peternak dalam mengembangkan usaha cow calf operation (CCO)-nya. Hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa arah dan tujuan kegiatan IB di Indonesia tidak jelas karena tidak berada dalam suatu program perbaikan mutu genetik yang tertata baik. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pekerjaan utama sebagai petani (59,47%), dengan tingkat pendidikan mayoritas SD (48,08%) dan SLTP (22,31%). Usaha sapi potong (CCO) di DIY mayoritas hanya sebagai usaha sambilan, dengan rata-rata 2 orang/KK yang terlibat dalam pemeliharaan sapi. Jumlah ternak sapi potong antara 1 – 5 ekor (rata-rata 2,77 ekor), dimana populasi terbesar (59,73%) adalah sapi induk. Rendahnya kepemilikan ternak disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya peternak, utamanya dalam penyediaan hijauan pakan (lahan). Semua responden tidak memiliki ternak jantan, sehingga dalam manajemen perkawinan ternak digunakan tehnologi IB. Ternak dipelihara dalam kandang kelompok (85,64%), dengan manajemen pemeliharaan secara individual. Kinerja reproduksi yang dicapai sapi potong silangan menunjukkan angka service per conception (S/C) rata-rata sebesar 1,9 kali dengan, calving interval (CI) sebesar 14,08 bulan, days open periode rata-rata 151 hari. CI yang panjang, lebih banyak disebabkan
89
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
karena sapi mempunyai anoestrus post partum (APP) dan DO yang cukup panjang dan secara umum terdapat kecenderungan S/C yang tinggi akan menyebabkan CI panjang. Pada umumnya sapi induk baru dikawinkan lagi kalau pedetnya sudah disapih (> 4 bulan). Perbaikan pakan diikuti penyapihan pedet yang ideal (pedet mulai disapih antara umur 2 – 3 bulan) merupakan alternatif untuk memperbaiki kondisi induk sapi agar mampu menghasilkan keturunan yang bermutu dengan jarak beranak yang dapat diperpendek. Beberapa hal yang juga menjadi kendala terkait kinerja reproduksi antara lain jumlah inseminator yang tidak seimbang dengan jumlah akseptor (1 : 1440), buruknya manajemen kesehatan ternak dan ketidaktepatan dalam deteksi birahi. Kata Kunci: Sapi Potong, IB, Kinerja Reproduksi, DI Yogyakarta
PENDAHULUAN Ternak kerbau (Bubalus bubalis) terutama di Jawa, sebagian besar (99%) dilakukan oleh peternakan rakyat (DJAJANEGARA dan DIWYANTO, 2001), yang umumnya berskala kecil dengan tingkat kepemilikan 2 – 3 ekor/KK atau bahkan saat ini hanya sekitar 1 – 2 ekor/KK (SUMADI, 2008). Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan lainnya, sehingga fungsi sapi sangat kompleks dalam menunjang kehidupan peternak (PEZO dan DEVANDRA, 2002). Petani biasanya hanya berperan sebagai keeper atau user, jarang atau hampir tidak ada yang bekerja sebagai producer atau breeder. Namun saat ini peternak sudah melakukan pertimbangan ekonomis dalam menentukan arah dan tujuan memelihara sapi potongnya. Ditinjau dari sudut usaha agribisnis, peternak sapi potong skala kecil memelihara sapi untuk tujuan dikembangbiakkan, atau juga biasa disebut sebagai usaha cow calf operation (CCO). Inseminasi buatan (IB) telah dipraktekkan oleh sebagai besar peternak yang mengusahakan CCO di Jawa, khususnya di DIY, karena hampir seluruh sapi jantan telah dijual untuk digunakan sebagai sapi potong. Kegiatan IB dilakukan dengan menggunakan semen beku yang berasal dari BBIB Singosari, BIB Lembang atau BIBD setempat. Adapun jenis semen yang paling populer atau diminati peternak adalah semen yang berasal dari sapi Bos Taurus, seperti Simmental atau Limousine. Sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti arah dan tujuan dari program perkawinan (IB) di DIY, apakah untuk menghasilkan terminal cross, membentuk ternak komposit atau melakukan up grading. Namun terdapat kecenderungan bahwa peternak selalu menginginkan perkawinan sapi-sapinya dengan semen jenis Simmental atau Limousine. Keberhasilan IB untuk menghasilkan
90
kebuntingan dan melahirkan seekor pedet bervariasi, tetapi untuk beberapa kawasan telah berhasil dengan baik (SETIADI et al., 1997; SIREGAR et al., 1997). Salah satu kunci keberhasilan IB adalah sapi dipelihara secara intensif dengan cara dikandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam mendeteksi birahi dan melaksanakan IB. Namun, secara umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alami. Keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada laporan yang lengkap. Demikian pula halnya dengan kinerja keragaan reproduksi sapi hasil IB praktis belum banyak dievaluasi. Oleh karena itu, pelaksanaan IB harus disesuaikan dengan tujuan dan sasaran akhir yang akan dituju, serta memperhatikan kemungkinan adanya faktor interaksi genetik dan lingkungan. Apabila IB ditujukan untuk menghasilkan bakalan atau ternak untuk dikembangbiakkan maka penggunaan pejantan yang berukuran besar (misalnya Simmental dan Limousine) hanya dapat dilakukan pada daerah yang ketersediaan pakannya memadai (DIWYANTO et al., 1999). Salah satu tujuan usaha CCO adalah untuk menghasilkan pedet atau sapi bakalan yang selanjutnya dipelihara untuk penggemukan. Usaha ini dapat dilakukan dengan mengembang-biakkan sapi sebangsa (breed), atau dengan cara persilangan (crossbreeding) melalui kegiatan IB antara sapi lokal dengan pejantan impor (Brahman, Simmental, Limousine, dsb). Parameter keberhasilan usaha CCO ini adalah jumlah anak yang dapat dilahirkan induk sapi dalam kurun waktu tertentu (calf crop). Oleh karena itu keberhasilan usaha ini sangat terkait dengan performans reproduksi dan tingkat mortalitas induk dan anak. Performans reproduksi yang sangat penting antara lain adalah: (i) umur
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
beranak pertama, (ii) service per conception atau S/C, (iii) jarak beranak atau calving interval (CI), serta (iv) masa produktivitas atau longivity (DIWYANTO dan INOUNU, 2009). Untuk melihat kinerja reproduksi sapi lokal maupun sapi silangan hasil IB di DIY, telah dilakukan suatu kajian di beberapa kelompok peternak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi teknis maupun sosial ekonomi yang mungkin berpengaruh terhadap kinerja reproduksi sapi potong. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang kekuatan dan kelemahan dalam pelaksanaan IB, serta melihat peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi peternak dalam mengembangkan usaha CCOnya. Hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa arah dan tujuan kegiatan IB di Indonesia tidak jelas karena tidak berada dalam suatu program perbaikan mutu genetik yang tertata baik (HARDJOSUBROTO, 2002). Hal ini tentunya akan menimbulkan implikasi yang sangat beragam (SUBANDRIYO, 2009). MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – September 2009 di semua kabupaten di Propinsi D.I. Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap 136 responden peternak yang dipilih secara purposive sampling terbatas di Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul. Data primer terdiri atas: profil peternak, kepemilikan sumberdaya lahan dan ternak, pengelolaan pembibitan dan tingkat reproduktivitas ternak. Data sekunder berkaitan dengan kebijakan program inseminsi buatan pada pembibitan ternak sapi potong dikumpulkan melalui dinas terkait lingkup kabupaten dan propinsi D.I. Yogyakarta. Untuk melihat gambaran pelaksanaan inseminasi buatan dan tingkat reproduktivitas induk sapi potong tersebut data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil sumberdaya pada sistem pembibitan ternak sapi potong Hasil survei dari seluruh responden menunjukkan bahwa pekerjaan utama peternak sapi potong adalah petani (59,47%), jasa atau buruh tani (16,39%), peternak (12,36%), PNS/Pensiunan/TNI/Polri (8,87%) dan pedagang (2,91%). Hal ini merupakan gambaran umum penduduk di pedesaan, dimana sebagian besar bergantung pada sektor pertanian dan didukung oleh peternakan. Dari data ini terlihat dengan sangat jelas bahwa petani hanya sekedar sebagai keeper atau user. Oleh karena itu, di D.I. Yogyakarta hampir tidak ada petani yang berperan sebagai producer maupun breeder, sehingga sapi potong belum menjadi usaha pokok bagi petani, tetapi masih sebagai usaha sambilan. Kondisi ini akan mempunyai implikasi tentang tatacara pemeliharaan dalam usaha CCO yang mungkin kurang rasionil. Profil responden peternak sapi potong di D.I. Yogyakarta ditunjukkan pada Tabel 1. Tingkat pendidikan peternak (responden) pada sistem pembibitan ternak sapi potong relatif lebih bervariasi, sebagian besar responden berpendidikan sampai dengan SD dan hanya sedikit yang mencapai jenjang sekolah lanjutan dan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan peternak (responden) yang rata-rata berpendidikan terbatas, yaitu tamat SD (48,08%); SMP (22,31%); SMA (17,47%) dan perguruan tinggi (12,14%), dapat dipastikan akan memberi pengaruh terhadap usaha CCOnya. Pengalaman peternak dalam melaksanakan usaha pembibitan ternak sapi potong rata-rata sekitar 14,85 tahun. Kondisi ini memungkinkan mereka untuk lebih banyak belajar dari pengalaman lapangan, sehingga memungkinkan dapat dengan mudah menerima inovasi teknologi usahatani menuju perubahan baik perubahan secara individu maupun kelompok.
91
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 1. Profil peternak sapi potong responden Profil peternak
Persen (%)
Pekerjaan utama
ekor
%
315
84,00
60
16,00
-
-
375
100,00
224
59,73
Peternak
12,36
Petani
59,47
Milik sendiri
Pedagang
2,91
Jasa
16,39
Gaduhan
PNS/Pensiun/TNI/POLRI
8,87
≤ SD
48,08
SMP
22,31
SMA
17,47
PT
12,14
Anggota keluarga yang paling berperan 92,82
Ibu
7,18
Anak
-
Lainnya
-
Rata-rata pengalaman beternak (tahun) Sumber: DATA PRIMER, (2009)
yang
Gabungan Total Struktur populasi sapi yang dipelihara: Induk
-
-
Pejantan
69
18,40
Muda
82
21,87
375
100,00
Anak
Bapak
Rata-rata jumlah anggota keluarga yang terlibat (orang)
Populasi
Status kepemilikan sapi potong Jumlah sapi dipelihara:
Pendidikan
1–3 14,85
Jumlah tenaga kerja keluarga yang terlibat dalam pengelolaan ternak sapi rata-rata 2 (dua) orang dimana peran bapak/kepala keluarga sangat dominan (92,82%). Sedangkan keterlibatan anggota keluarga lainnya (ibu, anak) dalam pengelolaan usaha ternak relatif lebih sedikit. Hal ini terlihat dari curahan waktu yang diberikan dalam pemeliharaan ternak tersebut. Semakin banyak waktu yang dicurahkan maka semakin dominan peranannya di dalam pengelolaan usaha. Semua responden tidak menggunakan tenaga kerja luar untuk mengelola usaha ternaknya, hal ini merupakan salah satu ciri dari usaha yang bersifat usaha sambilan dimana pengeluaran biaya (cost) produksi ditekan seminimal mungkin. Untuk mengelola sapi secara intensif sampai jumlah 10 ekor, sebenarnya cukup dilakukan oleh 1 orang, sedangkan sebagai usaha sambilan 1 petani seharusnya mampu mengelola 4 – 5 ekor.
92
Tabel 2. Status kepemilikan sapi potong responden
Total Rata-rata kepemilikan
2,77
Sumber: DATA PRIMER, diolah (2009)
Kepemilikan ternak sapi potong baik sapi dewasa maupun anak antara 1 – 5 ekor, dengan rataan 2,77 ekor. Hasil ini sesuai dengan laporan SUMADI (2008), bahwa tingkat kepemilikan atau jumlah sapi yang dipelihara setiap peternak relatif sangat terbatas. Status ternak tersebut sebagian besar milik sendiri 84% dan sebagian lagi merupakan gaduhan. Struktur populasi ternak yang ada, populasi terbesar adalah sapi induk sebesar 59,73%, diikuti oleh pedet dan sapi muda. Semua responden tidak memiliki ternak jantan, kondisi ini sesuai dengan tujuan pemeliharaan sapi sebagai usaha CCO untuk menghasilkan pedet. Sebagai pengganti pejantan digunakan tehnologi inseminasi buatan (IB). NUSCHATI et al., (2000) melaporkan bahwa skala ekonomis dalam usaha perbibitan sapi paling sedikit adalah 6 ekor dengan pengaturan perkawinan dan jarak beranak 1 tahun sekali. Dasar pertimbangan skala usaha tersebut adalah untuk peluang memperoleh pemasukan secara rutin dari penjualan 1 ekor pedet setiap 2 bulan sekali. Lahan merupakan salah satu sumberdaya yang mempunyai peran penting dalam
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
pengembangan usaha peternakan. Fungsi lahan dalam usaha ternak sapi potong adalah sebagai penyedia sumber pakan dan sebagai tempat perkandangan. Luas kepemilikan lahan berkorelasi dengan jumlah sisa hasil pertanian yang dihasilkan sehingga akan menentukan ketersediaan dan keanekaragaman sumber hijauan pakan dalam usaha ternak sapi potong. Tabel 3. Kepemilikan lahan dan pola pemeliharaan sapi potong responden Uraian
Responden
Kepemilikan lahan pertanian (%) Memiliki Tidak memiliki
92,11 7,89
Rata-rata kepemilikan lahan (m2) Lahan Irigasi
2.081
Sawah
1.699
Pekarangan
327
Lahan kering
7.955
Tegalan
6.040
Pekarangan
3.077
Kepemilikan kebun rumput (%) Memiliki
62,71
Tidak memiliki
37,29
Rata-rata luas kebun rumput (m2) Lahan irigasi
207
Lahan kering
731
Semua responden
288
Hanya yang memiliki kebun
402
Tipe kandang (%) Kelompok
85,42
Individu
14,58
Jarak kandang dari rumah (m)
> 25
Pengandangan (%) Terus menerus
70,65
Kadang-kadang di lepas
29,35
Sumber: DATA PRIMER, diolah (2009)
Model pengelolaan pembibitan ternak sapi potong adalah system integrasi tanamanternak. Pupuk organik yang berupa limbah kandang dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai sarana untuk memelihara kesuburan tanah. Sumber pakan ternak sebagian besar berupa sisa hasil pertanian dan rumput introduksi yang ditanam di atas lahan-lahan sisa. Pengembangan skala kepemilikan pada usaha ternak sapi potong banyak terkendala oleh sempitnya lahan yang dimiliki oleh petani, sehingga mereka tidak mampu menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya. Sementara pemanfaatan limbah pertanian belum dilakukan secara optimal, hanya saat panen melimpah tetapi saat musim tanam sangat kurang karena petani belum terbiasa membuat feed bank dengan mengolah hasil samping pertanian menjadi pakan (hay atau silase).Kepemilikan lahan sebagai sumber pakan di lahan sawah irigasi berupa sisa hasil pertanian dan tergantung dari pola tanam yang dilakukan. Pola tanam selama satu tahun di lahan sawah irigasi mempunyai pola tanam: padi-padipalawija atau padi-palawija-padi. Sedangkan di lahan kering sumber pakan berasal dari berbagai macam sisa hasil pertanian yang ditanam pada musim penghujan dan musim kemarau (MK-1) dengan pola tanam tumpangsari serta rumput introduksi yang ditanam di areal terasiring. Mayoritas peternak memelihara ternak di dalam kandang kelompok (85,64%), dengan manajemen pemeliharaan secara individual. Kandang kelompok didirikan di atas tanah milik Pemerintah Desa yang disewa oleh Kelembagaan Kelompok Ternak. Peran Pemerintah Desa didalam prakarsa untuk mewujudkan perkandangan berkelompok ini cukup positif. Pemerintah Desa menyediakan tanah kas Desa, petani menyewa dan mendirikan kandang ternaknya di atas lahan tersebut. Ternak yang dipelihara di setiap kandang yang didirikan oleh masing-masing petani tersebut, tetap dipelihara secara individual petani sebagai pemilik; namun manajemen perkandangan kelompok ini dilakukan oleh seluruh anggota kelompok secara bergiliran, misalnya dalam hal penjagaan keamanan, kerapian, penerangan, dlsb. Pembangunan kandang kelompok akan
93
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
memudahkan terjadinya transfer teknologi karena komunikasi tidak perlu dilakukan dengan menemui petani satu persatu di rumahnya, melainkan cukup di lokasi kandang kelompok. Sebab di salah satu bagian lokasi kandang kelompok juga tersedia satu bangunan khusus yang digunakan untuk berbagai keperluan anggota kolompok tani termasuk untuk pertemuan-pertemuan kelompok. Hal-hal yang dilakukan oleh seorang petani akan dapat dengan mudah dilihat oleh petani lainnya; sehingga diharapkan hal-hal yang baru yang kemungkinan masih dicoba-coba oleh petani akan juga dicoba-coba oleh petani yang lain.
Pengelolaan inseminasi buatan Berdasarkan laporan Dinas Pertanian Propinsi D.I. Yogyakarta, populasi sapi potong di D.I.Yogyakarta menunjukkan peningkatan dari tahun 2007 sebesar 257.836 ekor menjadi 269.655 ekor pada tahun 2008 (Tabel 4). Akan tetapi data tersebut diragukan oleh SUMADI (2008), yang diperkirakan akurasinya hanya sekitar 70%. Berdasarkan data tersebut, populasi sapi terbanyak sekitar 42,80% di Kabupaten Gunungkidul dengan jumlah
Tabel 4. Populasi ternak sapi potong di DIY pada tahun 2008 Kota/kabupaten Kotamadya Yogyakarta
Jenis Kelamin Jantan
Jumlah Betina
(ekor
(%)
80
66
146
0,05
16.131
35.048
51.179
18,98
Kab. Kulonprogo
11.246
40.159
51.405
19,06
Kab. Gunungkidul
46.253
69.168
115.421
42,80
Kab. Sleman
24.611
26.893
51.504
19,10
Jumlah
98.321
171.334
269.655
100.00
Kab. Bantul
Sumber: DINAS PERTANIAN PROVINSI DIY (2008)
populasi sebesar 114.139 ekor pada tahun 2007, meningkat menjadi 115.421 ekor pada tahun 2008. Tiga kabupaten lainnya memililiki populasi dalam jumlah yang hampir sama, namun ratio jantan dan betina ada sedikit perbedaan, yaitu berturut-turut 1,08; 2,19 dan 3,67 masingmasing untuk Sleman, Bantul dan Kulonprogo. Sementara itu Gunungkidul juga mempunyai ratio yang relatif kecil, yaitu 1,50. angka-angka ini memberikan indikasi bahwa usaha CCO dan penggemukan dapat dijumpai di wilayah ini. Tatalaksana perkawinan merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat keberhasilan reproduksi sapi potong untuk penyediaan bakalan. Untuk menghasilkan keturunan yang berkualitas sistem perkawinan ternak dapat dilakukan dengan inseminasi buatan (IB). Program IB di Provinsi D.I. Yogyakarta menggunakan semen beku yang berasal dari BIB Lembang Jawa Barat dan
94
BBIB Singosari Jawa Timur melalui sistem kerjasama operasional (KSO) pengadaan semen beku. KSO tersebut dilakukan oleh otoritas pemerintah provinsi dan selanjutnya didistribusikan ke pemerintah kabupaten sesuai dengan target masing-masing kabupaten. Penyimpanan semen beku dengan menggunakan container yang dilengkapi dengan nitrogen (N2) cair di depo tingkat provinsi dan didistribusikan ke depo tingkat kabupaten. Selanjutnya semen beku tersebut didistribusikan dengan menggunakan container gendong secara periodik (mingguan) kepada inseminator yang ditunjuk pemerintah daerah (SK Kepala Dinas). Petugas inseminator, rasio akseptor/inseminator, realisasi IB, service per conception (S/C), conception rate (CR) dan kelahiran pedet sapi potong di D.I. Yogyakarta tahun 2008 ditunjukkan pada Tabel 5. Jumlah akseptor yang harus ditangani oleh seorang inseminator masih sangat besar, yaitu rata-rata 1440 ekor akseptor. Angka ini
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 5. Petugas inseminator, ratio aseptor/inseminator, realisasi IB, S/C, CR dan kelahiran pedet sapi potong di DIY tahun 2008 Kota/kabupaten
Inseminator (orang)
Ratio (akseptor/ inseminator)
Realisasi IB (dosis)
S/C
Kelahiran (ekor)
CR (%)
Yogyakarta
1
66
68
1,62
40
58,82
Bantul
27
1.298
35.105
1,75
20.099
57,25
Kulonprogo
25
1.606
26.405
1,92
13.736
52,02
Gunungkidul
24
2.882
49.684
1,74
28.476
57,31
Sleman
15
1.793
23.286
1,35
17.256
74,10
Jumlah
97
Rerata
134.548 1.440
79.607 1,68
59,90
Sumber: DINAS PERTANIAN PROVINSI DIY (2008)
memberi indikasi bahwa untuk meningkatkan keberhasilan IB, jumlah inseminator harus ditambah sehingga dapat melayani seluruh akseptor dengan cepat dan tepat waktu, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah pedet yang dilahirkan (calving rate). Jumlah calving rate (CR) di DI Yogyakarta yang tercapai baru sekitar 60% dari realisasi IB yang ada, sehingga jumlah ini harus ditingkatkan lagi. Dari data S/C terlihat angka yang cukup baik, yaitu rata-rata hanya 1,68. Namun demikian angka ini perlu dikaji lebih jauh, untuk melihat apakah pencatatan sudah dilakukan dengan baik dan benar.Ketersediaan fasilitas IB di tiap–tiap desa merupakan suatu usaha dalam perbaikan kualitas produksi. Usaha peternakan sapi potong rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan cara mengoptimalkan performans reproduksi dari sapi induk, yang meliputi: (i) umur beranak pertama, (ii) jarak beranak atau calving interval (CI), (iii) service per conception atau S/C, serta (iv) masa produktivitas atau longivity. Selain itu, deteksi birahi yang akurat sangat esensial untuk pengelolaan tatalaksana reproduksi, terutama dalam pelaksanaan inseminasi buatan (PUTRO, 2009). Persepsi pelaksanaan IB bagi responden di DI Yogyakarta ditunjukkan pada Tabel 6. Semen yang dipilih oleh sebagian besar peternak adalah semen beku breed Simental dan Limosin, dan hanya sedikit dari peternak (9,36%) yang menggunakan semen sapi lokal (PO). Permintaan akan straw semen sapi lokal yang rendah ini mengakibatkan B/BIB dan BIBD sedikit memproduksi semen sapi lokal. Sebagian besar peternak (71,7%)
tidak mengetahui dan tidak mempermasalahkan asal straw yang digunakan, mereka menerima saja straw yang diberikan oleh inseminator. Preferensi peternak terhadap semen beku breed sapi eksotis (Limosin dan Simental) tersebut karena: 1) hasil keturunan dari breed tersebut mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit semen yang lain; 2) untuk memperoleh bibit semen tersebut dapat diakses secara lebih mudah dan praktis; dan 3) pada kawasan kandang kelompok tidak tersedia pejantan unggul. Berdasarkan pertimbangan alasan-alasan tersebut peternak lebih memilih IB dibanding dengan kawin alam. Hal-hal tersebut menyebabkan proporsi sapi PO di Jawa saat ini sudah sangat rendah, seperti yang dilaporkan SUMADI (2009). Walaupun demikian di beberapa wilayah seperti di Gunungkidul penggunaan sapi pejantan dalam program perkawinan sapi (Intesifikasi Kawin Alam, InKA) masih cukup besar (81,25%), dikarenakan adanya kegagalan setelah beberapa kali menggunakan IB dan masih tersedianya sapi pejantan di kelompoknya. Pengetahuan dan ketrampilan peternak dalam mendeteksi birahi juga sangat mempengaruhi keberhasilan IB. Hampir semua peternak (100%) paham mengenai tanda-tanda birahi pada sapinya. Birahi nyata ditandai dengan aktivitas induk yang spesifik seperti keadaan vulva dan vagina yang membengkak dan berwarna kemerahan serta sekresi cairan spesifik dari vagina. Berdasarkan tanda birahi yang nampak tersebut peternak biasanya segera menghubungi inseminator untuk melakukan
95
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 6. Jenis dan produsen semen serta pelaksanaan inseminasi buatan responden Uraian
Kabupaten
Rerata
Gunungkidul
Kulonprogo
Bantul
Sleman
Simmental
56,25
41,67
78,96
71,92
62,20
Limousine
18,75
41,67
18,01
28,08
26,63
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Kesukaan jenis semen (%)
Brangus Brahman
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
18,75
16,67
2,02
0,00
9,36
6,25
0,00
1,01
0,00
1,82
BBIB Singosari
0,00
8,33
18,60
0,00
6,73
BIB Lembang
0,00
16,67
3,87
12,69
8,31
BIBD D.I. Yogyakarta
0,00
25,00
3,03
0,00
7,01
PO Lainnya Produsen semen (%)
Lainnya
25.00
0,00
0,00
0,00
6,25
Tidak tahu
75,00
50,00
74,49
87,31
71,70
Perservice
35.000
30.000
35.000
35.000
33.750
Perbunting
-
-
-
-
-
Mahal
12,50
41,67
16,08
5,00
18,81
Layak
75,00
58,33
73,34
87,31
73,49
Murah
12,50
0,00
10,59
7,69
7,69
93,75
33,33
79,19
82,31
72,14
SMS
6,25
25,00
18,96
12,69
15,73
Titip pesan
0,00
0,00
0,93
0,00
0,23
Lainnya
0,00
41,67
0,93
5,00
11,90
Tepat waktu
81,25
91,67
92,28
75,00
85,05
Terlalu lambat
Biaya IB (Rp)
Tarif IB (%)
Menghubungi inseminator (%) Telpon
Respon inseminator (%) 12,50
0,00
0,00
0,00
3,13
Terlalu cepat
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Tidak tentu
6,25
8,33
7,72
25,00
11,83
Sumber: DATA PRIMER diolah (2009)
96
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
IB. Komunikasi peternak dengan inseminator dalam rangka melakukan aktivitas IB menggunakan sistem komunikasi modern dengan handphone (telpon/sms). Ketepatan kedatangan inseminator saat oestrus pada sistem pembibitan ternak berpengaruh pada keberhasilan S/C. Walaupun wilayah kerja inseminator cukup luas dan sapi yang harus di IB banyak, tetapi responden menyatakan kepuasannya akan kecepatan inseminator dalam merespon panggilan mereka (85,05%). Manajemen kesehatan hewan juga mempunyai andil yang cukup besar bagi usaha peningkatan produkivitas sapi potong, utamanya terkait dengan penyakit dan gangguan reproduksi. Pengalaman responden selama usaha pembibitan ternak terhadap kejadian pada induk-induk sapi potong menunjukkan bahwa pada saat kebuntingan terjadi keguguran sebesar 6,87% total induk bunting; sedangkan kesulitan dalam proses kelahiran sebesar 6,08% total induk yang melahirkan. Kesulitan dalam proses kelahiran biasanya ditangani oleh paramedis dan dokter hewan yang ada di Puskeswan setempat. Kejadian-kejadian tersebut untuk peternak yang bersangkutan sangat merugikan, walaupun secara populasi relatif masih dalam batas yang normal.
Reproduktivitas ternak sapi potong S/C, days open dan CI induk sapi potong hasil survei di Yogyakarta ditunjukkan pada Tabel 8. Service per conception (S/C) sapi potong silangan sebesar 1,9 kali dengan calving interval 14,08 bulan. Angka dalam penelitian ini relatif hampir sama dengan laporan Dinas, seperti tercantum dalam Tabel 5. Panjang pendeknya CI ini kemungkinan dipengaruhi oleh periode kosong atau days open periode, dimana rata-rata 151 hari. CI yang panjang, lebih banyak disebabkan karena sapi mempunyai anoestrus post partum (APP) dan DO yang cukup panjang dan secara umum terdapat kecenderungan S/C yang tinggi akan menyebabkan CI panjang. Pada umumnya sapi induk baru dikawinkan lagi kalau pedetnya sudah disapih, padahal rata-rata petani menyapih setelah pedet berumur diatas 4 bulan. Oleh karena itu, memperpendek waktu
dapat diharapkan akan penyapihan memperpendek APP, DO dan CI. Sebagian besar peternak di Jawa dan beberapa wilayah lain sangat menyukai sapi hasil persilangan terutama keturunan sapi Simmental atau Limousine. Peternak menyukai sapi crossbreed karena ukuran (bobot) sapi yang lebih besar, sehingga harga jual pedet jantan untuk sapi bakalan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal. Hal ini menyebabkan proporsi sapi lokal (PO) di beberapa wilayah Jawa menurun sangat drastis, kurang dari 30% (SUMADI, 2009). Sapi crossbreed juga sering dijumpai mengalami siklus estrus yang tidak normal, seperti siklus estrus pendek, siklus estrus panjang, split estrus, nymphomania, dan silent estrus (birahi tenang) atau quite ovulation. Siklus estrus pendek pada sapi crossbred biasanya terjadi tanpa adanya tanda-tanda birahi yang mudah diamati. Kejadian nymphomania pada sapi crossbred ditandai dengan estrus yang terlihat terus menerus atau estrus dengan interval yang tidak teratur, serta sering keluar banyak mukus dari vulva. Pada saat pakan sulit di musim kering, peternak tidak mampu menyediakan pakan yang memadai. Hal ini menyebabkan daya reproduksi sapi crossbred hasil IB menurun, yang tercermin dari calving rate dan calving interval yang buruk (PUTRO, 2009). Pemenuhan nutrisi pakan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi induk disamping ketepatan dalam penyapihan pedet. Pedet yang terlalu lama disusukan induknya dengan pakan yang diberikan kurang mencukupi kebutuhan nutrisi, dapat menyebabkan post partum estrus menjadi terlambat dan calving interval (jarak kelahiran)-nya juga menjadi panjang sehingga peternak merugi. Perbaikan pakan diikuti penyapihan pedet yang ideal (pedet mulai disapih antara umur 2 – 3 bulan) merupakan alternatif untuk memperbaiki kondisi induk sapi agar mampu menghasilkan keturunan yang bermutu dengan jarak beranak yang dapat diperpendek (NUSCHATI et al., 2000). Dengan perbaikan manajemen diharapkan calving interval (CI) tidak lebih dari 12 bulan, sehingga periode kosong atau days open period tidak lebih dari 80 – 85 hari (PETERS, 1984).
97
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 8. Kepemilikan ternak dan kinerja reproduksi sapi potong responden Lokasi (Kab.)
Kepemilikan ternak (ekor) Total
Induk
Gunungkidul
2,31
1.56
Kulonprogo
3,00
1.75
Bantul
2,78
1.67
Sleman
2,87
1.61
Rataan
2,76
1.65
Sumber: DATA PRIMER diolah (2009)
KESIMPULAN Tatalaksana perkawinan merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat keberhasilan reproduksi sapi potong untuk penyediaan bakalan. Untuk menghasilkan keturunan yang berkualitas sistem perkawinan ternak dapat dilakukan dengan inseminasi buatan (IB). Inseminasi buatan telah dipraktekkan oleh sebagai besar peternak yang mengusahakan cow calf operation (CCO) di Jawa, khususnya di DIY, karena keterbatasan pejantan. Kegiatan IB dilakukan dengan menggunakan semen beku. Sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti arah dan tujuan dari program IB di DIY, apakah untuk menghasilkan terminal cross, membentuk ternak komposit atau melakukan up grading. Namun terdapat kecenderungan bahwa peternak selalu menginginkan perkawinan sapi-sapinya dengan semen jenis Simmental atau Limousine. Parameter keberhasilan usaha CCO ini adalah jumlah anak yang dapat dilahirkan induk sapi dalam kurun waktu tertentu (calf crop). Oleh karena itu keberhasilan usaha ini sangat terkait dengan performans reproduksi dan tingkat mortalitas induk dan anak. Performans reproduksi yang sangat penting antara lain adalah: (i) umur beranak pertama, (ii) service per conception atau S/C, (iii) jarak beranak atau calving interval (CI), serta (iv) masa produktivitas atau longivity. Reproduktivitas induk sapi potong oleh sebagian besar peternak D. I. Yogyakarta belum optimal. Service/conception sapi potong silangan sebesar 1,9 kali dengan calving interval 14,08 bulan. Calving interval yang panjang panjang, lebih banyak disebabkan
98
karena mempunyai APP dan DO yang cukup panjang dan S/C yang tinggi. Upaya peningkatan kinerja reproduksi sapi potong di Reproduktivitas DIY dapat dilakukan antara lain dengan: (1) S/C DO (hari) Meningkatkan ketersediaan fasilitasCIIB(bulan) di tiaptiap desa kualitas 1,60 untuk meningkatkan 162 14,5 produksi; (2) Penambahan 1,60 150 jumlah inseminator 13,6 sehingga dapat melayani seluruh akseptor 150 14,3 dengan 2,23 cepat dan tepat waktu; (3) Peningkatan 2,15 dan ketrampilan 141 13,9dalam pengetahuan peternak mendeteksi pakan 1,90 birahi; (4) Penyediaan 151 14,08yang cukup antara lain dengan pembuatan feed bank; (5) Manajemen kesehatan hewan utamanya terkait dengan penyakit dan gangguan reproduksi; serta (6) Penyapihan dini pedet (2 – 3 bulan). Disamping hal tersebut, untuk lebih meningkatkan pendapatan peternak, maka upaya peningkatan skala ekonomis dalam usaha perbibitan sapi (6 ekor) dengan pengaturan perkawinan dan jarak beranak 1 tahun sekali harus dilakukan. Dasar pertimbangan skala usaha tersebut adalah untuk peluang memperoleh pemasukan secara rutin dari penjualan 1 ekor pedet setiap 2 bulan sekali. DAFTAR PUSTAKA DIWYANTO, K., SUPAR dan E. TRIWULANNINGSIH. 1999. Perkembangan Bioteknologi Peternakan dan Prospek Penerapannya di Indonesia. Pros. Ekspose Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. DIWYANTO, K. dan I. INOUNU. 2009. Dampak Inseminasi Buatan terhadap Kinerja Reproduksi dan Budidaya Sapi Potong. Puslitbang Peternakan, Bogor. DJAJANEGARA, A. dan K. DIWYANTO. 2001. Development strategies for genetic evaluation of beef production in Indonesia. Proc. of an Int’l Workshop Held in Khon Kaen Province, Thailand, July 23 – 28, 2001. ACIAR. No. 108. HARDJOSUBROTO, W. 2002. Arah dan Sasaran Penelitian dan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia: Tinjauan dari segipemuliaan ternak. Disampaikan pada Workshop Sapi Potong di Malang, 11 – 12 April 2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. NUSCHATI, U., SUBIHARTA, D. WILOETO, B. UTOMO, D. PRAMONO, ERNAWATI, SUNARSO, Y. SUPRIYONDO, S. HARDIYATI, RIYANTO dan SUHARNO. 2000. Pengkajian Sistem Usahatani
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Sapi Potong di Lahan kering Jawa Tengah. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Jateng, Ungaran. PETERS, A.R. 1984. Reproductive activity of the cow in the postpartum period. 1. Factors affecting the length of the postpartum acyclic period. British Vet. J. 140: 76 – 83. PEZO, D. dan C. DEVENDRA. 2002. The relevance of crop-animal systems in South Esat Asia. In : Research Approaches and Methods for Improving Crop-Animal Systems in South East Asia. ILRI. P.1 – 27.
Istimewa Yogjakarta. Puslitbang Peternakan, Bogor. SIREGAR, A.R., P. SITUMORANG, M. BOER, G. MUKTI, J. BESTARI dan M. PURBA. 1997. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) dalam usaha peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong nasional di Provinsi Sumatra Barat. Puslitbang Peternakan, Bogor. SUBANDRIYO. 2009. Dampak Crosbreeding terhadap keanekaragaman sumberdaya genetik sapi potong. Lokakarya Lustrum VIII Fakakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, 8 Agustus 2009.
PUTRO, P.P. 2009. Dampak crossbreeding terhadap reproduksi induk turunannya: Hasil studi klinis. Lokakarya Lustrum VIII Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, 8 Agustus 2009.
SUMADI. 2008. Sebaran Populasi Sapi Potong di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kerjasama APFINDO dengan Fakultas Peternakan Univarsitas Gajag Mada, Yogyakarta.
SETIADI, B., SUBANDRIYO, D. PRIYANTO, T. SAFRIATI, N.K. WARDHANI, SOEPENO, DAROJAT, dan NUGROHO. 1997. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) dalam usaha peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong nasional di Daerah
SUMADI. 2009. Sebaran Populasi, Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Sapi Potong di Pulau Jawa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Produksi Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 30 Juni 2009
99