Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
KINERJA SAPI PERSILANGAN HASIL INSEMINASI BUATAN DENGAN BOBOT AWAL YANG BERBEDA (Performance of Crossbred Cattle Resulted from Artificial Insemination in Different Initial Liveweight) SOEHARSONO1, R.A. SAPTATI2 dan K. DIWYANTO2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Ringroad Utara, Karangsari, Sleman Kotak Pos 1013, Yogyakarta 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,Jl. Raya Pajajaran Kav. E59, Bogor, 16151
ABSTRACT This research was done to study performance of cattle resulted from artificial incemination result (AI) with different initial liveweight. This research was done based on completely randomized design to 80 heads crossbred Simmental Ongole (Simpo) and Limousine Ongole (Limpo) cattles. These cattles were grouped based on initial liveweight I: less 400; II: 400 – 450 kg; III: 450 – 500 kg; IV: 500 – 550 kg; and V: above 550 kg respectively. The diet contained crude protein (CP) of 8.01% and total digestible nutrient (TDN) of 65.09% was given at 2.76% DM of live weight; consisted of commercial concentrate, rice brand, fresh cassava and rice straw. The diet was given in the morning and afternoon during 4 months. Parameters including: feed intake, average daily gain (ADG), feed convertion ratio (FCR), feed cost per gain (FCG) and income over feed cost (IOFC). Data were analyzed by variance test and continued by Duncan new multiple range test (DMRT) when necessary. Result showed that the early two months of rearing periode of beef cattle resulted from AI experienced compensatory growth in form of quadratic model with the growing peak at the third month of rearing periode. Initial live weight above 450 kg in fattening showed decreased ADG significantly (P < 0.05). While initial live weight less than 450 kg resulted in the highest ADG (1.63 kg/head/day) and during 4 month fattening resulted in body weight gain of 42.32%, it was more efficient in feed intake (FCR 8.82), more efficient in feed cost (FCG Rp 15,241/day) and more profitable (IOFC Rp 13,554/day). Key Words: Beef Cattle, Artificial Insemination, Initial Liveweight ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja sapi potong persilangan hasil IB dengan bobot badan awal yang berbeda. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pada populasi sebanyak 80 ekor sapi potong persilangan hasil IB (Simmental Ongole/Simpo dan Limousine Ongole/Limpo) dikelompokkan berdasarkan bobot badan awal masing-masing: I: kurang dari 400; II: 400 – 450 kg; III: 450 – 500 kg; IV: 500 – 550 kg; dan V: di atas 550 kg sebagai perlakukan. Ransum mengandung protein kasar (PK) 8,01% dan total digestible nutrient (TDN) 65,09% diberikan 2,76% BK dari bobot hidup terdiri atas konsentrat komersial, bekatul dan ubi kayu serta jerami padi. Data peningkatan bobot badan harian (PBBH), konsumsi pakan, feed convertion ratio (FCR), feed cost per gain (FCG) dan income over feed cost (IOFC) dianalisis variansi bila berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan new multiple range test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode awal sampai 2 bulan pemeliharaan pada ternak sapi potong hasil IB tersebut mengalami pertumbuhan kompensasi (compensatory growth) membentuk pola kuadratik mencapai puncak pertumbuhan pada bulan ke-3. Bobot awal penggemukan diatas 450 kg terjadi penurunan PBBH secara nyata (P < 0,05). Bobot badan awal kurang 450 kg pada sapi potong hasil IB menghasilkan PBBH tertinggi (1,63 kg/ekor/hari) selama 4 bulan bobot badan meningkat 42,32%, lebih efisien atas konsumsi BK pakan (FCR 8,82), atas biaya pakan (FCG Rp 15.241/hari dan lebih menguntungkan (IOFC Rp 13.554/hari). Penelitian penggemukan sapi potong hasil IB dengan bobot badan berbeda disimpulkan bahwa bobot awal kurang dari 450 kg pada pemeliharaan 4 bulan menghasilkan PBB di atas 30%, PBBH terbaik dengan FCR terendah dan FCG kecil sehingga IOFC paling menguntungkan. Kata Kunci: Sapi Potong, Inseminasi Buatan, Bobot Badan Awal
99
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENDAHULUAN Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi daging sapi dalam jangka pendek adalah melakukan tunda potong agar diperoleh penambahan bobot badan dan karkas. Saat ini terindikasi bahwa sapi dipotong pada saat belum mencapai bobot optimal sesuai potensi genetik maupun potensi ekonominya. Sapi lokal murni, seperti sapi Bali, dan sapi Peranakan Ongole (PO) biasanya dipotong pada bobot sekitar 150 – 250 kg. Padahal sapi-sapi ini secara genetik dapat mencapai bobot potong optimal sekitar 300 – 400 kg (DIWYANTO dan PRIYANTI, 2008). Sementara itu sapi persilangan hasil inseminasi buatan (IB) dengan sapi Bos Taurus (Simmental, Limousine, Angus, dsb.) tingkat pertambahan bobot badannya sangat tinggi (SOEHARSONO et al., 2010) sehingga berpotensi mencapai bobot potong sekitar 660 – 650 kg dalam waktu yang cepat, apabila dipelihara dengan baik dan memperoleh asupan ransum yang sesuai. Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian sapi silangan hasil IB sering dipotong ketika baru mencapai bobot 350 – 400 kg. Wilayah yang mempunyai populasi sapi cukup besar adalah di NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY, serta Sulawesi Selatan dan beberapa propinsi di Sumatera (DITJENNAK, 2010). Sapi PO merupakan sapi lokal yang banyak berkembang di pulau Jawa, namun saat ini jumlahnya semakin menyusut akibat persilangan melalui program IB. Diperkirakan proporsi sapi PO tinggal 30%, dan ada kecenderungan proporsinya terus menyusut akibat gencarnya program IB (SUMADI et al., 2008; SUMADI, 2009). Dampak positif dari persilangan adalah bertambahnya peningkatan bobot badan harian (PBBH) atau average daily gain (ADG) dan bobot badan maksimum apabila dilakukan tunda potong dengan pemberian pakan yang cukup. Sedangkan kerugian akibat persilangan adalah menurunnya tingkat reproduksi yang tercermin dengan tingginya service per conception serta memanjangnya anoestrus post partum, days open, dan calving interval (PUTRO, 2009; DIWYANTO dan INOUNU, 2009; DIWYANTO, 2010). Peningkatan mutu genetik sapi silangan hasil IB tidak hanya memperbaiki ADG tetapi
100
juga akan mempercepat waktu penggemukan, memperbaiki efisiensi penggunaan pakan, serta meningkatkan persentase karkas dan kualitas daging. Akan tetapi bila sapi silangan hasil IB tidak dipelihara dengan baik, performansnya akan menurun secara drastis yang dapat menimbulkan kematian. Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan sapi PO atau sapi lokal pada umumnya yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan (pakan) yang buruk (DJAJANEGARA dan DIWYANTO, 2001). Fenomena ini disebabkan karena adanya interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan (DIWYANTO, 2008), atau dikenal dengan genetic environment interaction (GEI). Kegiatan penggemukan sapi silangan hasil IB dalam penelitian ini dilakukan melalui kerjasama antara Puslitbang Peternakan, BPTP DIJ dan KJUB Puspetasari Klaten, Jawa Tengah. Manajemen pemeliharaan sapi dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip agribisnis dengan memperhatikan asas efisiensi, serta dengan pola pemeliharaan high external input. Penyusunan ransum diformulasikan dengan memperhatikan imbangan serat, energi dan protein yang ideal. Dengan perlakukan seperti ini diharapkan dapat meningkatkan ADG dan bobot potong sesuai potensi genetiknya. Mengingat bahwa biaya pakan dalam usaha peternakan sapi secara umum dapat mencapai 70 – 80% (di luar harga sapi bakalan), maka penyusunan ransum dilakukan dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang banyak tersedia setempat (HARYANTO, 2009). Bahanbahan pakan yang digunakan untuk menyusun ransum dipilih berdasarkan kandungan gizi, harga, ketersediaan dan palatabelitasnya agar ternak dapat mengkonsumsi seoptimal mungkin. Tingkat konsumsi pakan yang lebih baik pada ternak akan berpengaruh langsung terhadap meningkatnya pertumbuhan, sehingga dalam waktu yang relatif singkat pertumbuhan daging menjadi optimal dan menghasilkan berat potong yang lebih tinggi (NGADIONO et al., 2008). Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari solusi agar potensi genetik sapi hasil IB dapat dioptimalkan. Dengan tunda potong ini dapat terungkap peningkatan produksi daging yang tercermin dari ADG dan bobot potong optimum yang diharapkan dapat
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
mencapai 20 – 30% lebih tinggi dari kondisi di lapangan. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui pengaruh bobot badan awal yang berbeda terhadap ADG, efisiensi penggunaan pakan dan efisiensi ekonomi sapi persilangan hasil IB. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di salah satu kandang penggemukan (Tempat Penampungan Sementara, TPS-1) KJUB Puspetasari Klaten, Jawa Tengah pada bulan Februari – Juni 2010. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pada populasi sebanyak 80 ekor sapi persilangan hasil IB (Simmental Cross/ Simpo dan Limousine Cross/Limpo). Sapi berasal dari pasar hewan yang sebelumnya telah dipelihara peternak beberapa saat dan tidak diketahui secara pasti umurnya. Sebelum masuk kandang percobaan, dilakukan penimbangan terlebih dahulu serta pemberian obat cacing. Ciri-ciri atau tampilan luar (fenotipik) sapi dalam penelitian hampir sama, dan berdasarkan professional judgement diperkirakan sapi-sapi tersebut masih layak untuk digemukkan. Bobot badan awal (BBA) sapi persilangan hasil IB dalam penelitian ini dikelompokkan, masing-masing: I: kurang dari 400; II: 400 – 450 kg; III: 450 – 500 kg; IV: 500 – 550 kg; dan V: di atas 550 kg dan selanjutnya “kelompok bobot badan” dianggap sebagai perlakuan. Sapi diletakkan dalam kandang individual dengan cara diikat dengan dua tali kanan-kiri yang dilengkapi tempat pakan dan minum. Pakan terdiri atas campuran konsentrat
komersial, bekatul dan ubi kayu, serta jerami padi. Imbangan campuran konsentrat dengan jerami padi adalah 80 : 20% BK. Jenis dan komposisi kimia bahan pakan ditunjukkan pada Tabel 1. Pakan diberikan sebanyak 2,76% BK berdasarkan bobot hidup dengan sistem pemberian dua kali sehari dan air minum diberikan secara ad libitum. Adaptasi dalam pemberian pakan dilakukan selama 15 hari, dan selanjutnya pengamatan konsumsi pakan dan penimbangan bobot badan dilakukan secara periodik setiap bulan. Data peningkatan bobot badan harian (ADG), konsumsi pakan, feed convertion ratio (FCR), feed cost per gain (FCG) dan income over feed cost (IOFC) dianalisis variansi bila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji menurut Duncan new multiple range test (DMRT) (ASTUTI, 1981). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan peningkatan bobot badan Pada periode adaptasi pakan selama 15 hari menunjukkan bahwa sapi dengan bobot badan awal yang semakin besar, terjadi penurunan bobot badan secara nyata (P < 0,05). Penurunan bobot badan paling besar pada kelompok lima yaitu sapi dengan bobot awal lebih dari 550 kg. Pada kelompok ini terjadi penurunan bobot badan sekitar sebesar 28 kg. Penurunan bobot badan pada periode adaptasi ini antara lain disebabkan karena perubahan pola pakan dan pola pemeliharaan ternak. Ternak persilangan hasil IB tersebut diperoleh dari peternak dengan pola pakan
Tabel 1. Komposisi kimia bahan pakan pada penggemukan sapi potong persilangan hasil IB dengan bobot badan awal berbeda Bahan pakan
Komposisi kimia bahan pakan BK
BO
Abu
SK
PK
LK
ETN
TDN
Konsentrat komersial
90,01
84,07
15,93
17,52
13,16
2,39
51,01
64,35
Bekatul
92,29
94,88
5,12
14,13
9,43
7,72
63,59
80,90
Ubi kayu
35,98
95,68
4,32
4,32
2,04
2,38
86,93
68,89
Jerami padi
41,86
93,02
6,98
27,78
4,21
1,16
9,87
49,11
Ransum
67,65
90,63
9,37
16,12
8,01
3,09
63,41
65,09
BK: Bahan kering; BO: Bahan organik; SK: Serat kasar; PK: Protein kasar; LK: Lemak kasar; ETN: Ekstrak tanpa nitrogen; TDN: Total digestible nutrient
101
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
(jenis, kualitas, kuantitas dan cara pemberian) dan manajemen (bentuk kandang dan sistem pemeliharaan) yang berbeda. Pada periode adaptasi pakan yang diberikan tidak dapat dikonsumsi secara maksimal sehingga intake energi tidak dapat memenuhi kebutuhan sesuai bobot badan. Hal ini menyebabkan semua ternak dengan bobot badan di atas 450 kg mengalami penurunan (Tabel 2). Selain itu, ada dugaan lain bahwa sapi dengan bobot badan yang sangat tinggi kemungkinan telah mengalami perlakukan yang tidak wajar, yaitu diberi air minum secara berlebihan (di-gelonggong). Periode adaptasi terbaik terjadi pada sapi dengan bobot awal kurang dari 400 kg, yang secara nyata justru terjadi peningkatan bobot badan. Hal ini kemungkinan terjadi karena tidak ada perlakuan paksa negatif sebelumnya (tidak terjadi gelonggongan) atau justru karena adanya faktor kompensasi. NGADIONO (2000) menyatakan bahwa sapi potong yang sebelumnya mengalami stres akibat kekurangan pakan dan penurunan bobot badan selama transportasi, maka setelah diberikan pakan yang lebih baik ternak tersebut akan tumbuh dengan cepat. Pertambahan bobot badan pada periode penimbangan bulan ke-1 dan ke-2 tidak berbeda nyata (P > 0,05) dan selanjutnya pada penimbangan bulan ke-3 dan ke-4 berbeda nyata (P < 0,05). Fenomena ini menunjukkan bahwa pada periode awal sampai dua bulan pemeliharaan pada semua kelompok sapi dalam penelitian ini mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Hal ini kemungkinan merupakan suatu pertumbuhan kompensasi (compensatory growth), seperti yang dinyatakan DAVIS (1982). Pertumbuhan kompensasi seperti tersebut dapat berlangsung
salama 50 sampai 100 hari (TILMAN et al,. 1998). Dalam penelitian ini pertambahan bobot badan terbesar setiap bulan atau kumulatif terjadi pada kelompok satu dan dua atau sapi dengan bobot badan awal yang relatif kecil, kurang dari 400 – 450 kg. Perubahan pola pertambahan bobot badan sapi dalam penelitian ini untuk semua kelompok membentuk pola yang sama, kuadratik (Gambar 1). Pertumbuhan pada kelompok satu atau sapi persilangan hasil IB dengan bobot badan awal kurang dari 400 kg membentuk pola pertumbuhan y1 = 5,059x2 + 37,74x 16,63 (R2 = 0,871). Dengan pola tersebut maka puncak pertumbuhan dicapai pada bulan ke 3,73 pemeliharaan dengan bobot badan meningkat 53,75 kg. Pada kelompok dua, sapi dengan bobot badan awal 400 – 450 kg membentuk pola pertumbuhan y2 = 9,773x2 + 64,82x – 48,49 (R2 = 0,849). Dengan pola tersebut maka puncak pertumbuhan dicapai pada bulan ke 3,32 pemeliharaan dengan bobot badan meningkat 58,99 kg. Pada kelompok tiga, sapi dengan bobot badan awal 450 – 500 kg membentuk pola pertumbuhan y3 = 12,71x2 + 87,32x – 91,10 (R2 = 0,920). Dengan pola tersebut maka puncak pertumbuhan dicapai pada bulan ke 3,34 pemeliharaan dengan bobot badan meningkat 58,88 kg. Pada kelompok empat, sapi dengan bobot badan awal 500 – 550 kg membentuk pola pertumbuhan y4= 10,74x2 + 72,52x – 71,08 (R2 = 0,927). Dengan pola tersebut maka puncak pertumbuhan dicapai pada bulan ke 3,38 pemeliharaan dengan bobot badan meningkat 51,34 kg. Pada kelompok lima, sapi dengan bobot badan awal di atas 550 kg
Tabel 2. Peningkatan bobot badan bulanan pada ternak sapi persilangan hasil IB dengan bobot awal berbeda Peningkatan bobot badan bulan ke-
Bobot badan awal (kg) Masa adaptasi
I
II
III
IV
<400
13c ± 36
47 ± 15
44 ± 14
55c ± 14
46b ± 4
400 – 450
1bc ± 28
55 ± 26
54 ± 17
47abc ± 16
36ab ± 10
450 – 500
22ab ± 27
46 ± 17
50 ± 19
50bc ± 12
31ab ± 16
500 – 550
14ab ± 27
40 ± 24
48 ± 17
40ab ± 14
27ab ± 11
>550
28a ± 32
41 ± 20
49 ± 18
33a ± 16
19a ± 26
a,b,c
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
102
Peningkatan bobot badan harian (kg/ekor)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
70 60 50 40 30 20 10
y1 = -5,059x2 + 37,74x - 16,63 R2 = 0,871 y2 = -9,773x2 + 64.82x – 48,49 R2 = 0,849 y3 = -12,71x2 + 87,32x – 91,10 R2 = 0,920 y4 = -10,74x2 + 72,52x – 71,08 R2 = 0,927 y5 = -13,63x2 + 90,37x – 98,36
(10) (20) (30) (40)
R2 = 0,895
Penimbangan bulan ke< 400
400 – 450
450 – 500
× 500 – 550
> 550
Gambar 1. Grafik pola peningkatan bobot badan bulanan pada ternak sapi potong silangan hasil IB dengan bobot awal berbeda
y5= 13,63x2 + 90,37x – 98,36 (R2 = 0,895). Dengan pola tersebut maka puncak pertumbuhan dicapai pada bulan ke-3,32 pemeliharaan dengan bobot badan meningkat 51,43 kg. Seperti telah dijelaskan di atas, semua kelompok sapi dengan bobot badan awal yang berbeda ternyata mempunyai pola pertumbuhan sama berbentuk kuadratik. Namun kelompok pertama dengan bobot awal kurang dari 400 kg mempunyai ADG cukup baik sampai bulan keempat. Sedangkan kelompok kedua dan ketiga dengan rentang bobot badan awal 400 – 500 kg mempunyai ADG yang cukup bagus sampai masa penggemukan tiga bulan. Kelompok keempat dan kelima dengan bobot badan awal di atas 500 kg hanya dapat digemukkan sampai dua bulan, karena sesudahnya ADG-nya cenderung menurun, dan penurunan terjadi sangat signifikan untuk bulan keempat. Dari data ini sangat jelas terlihat bahwa secara teknis sapi dengan bobot awal di atas 500 kg dapat dilakukan tunda potong sampai hanya dua bulan saja, sedangkan kelompok lainnya dapat ditunda sampai 3 – 4 bulan untuk mencapai bobot potong yang ideal. Dari Tabel 3 terlihat bahwa rataan ADG selama masa penelitian sapi kelompok lima dengan bobot badan awal di atas 550 kg lebih kecil (1,28 kg/hari) dibandingkan dengan kelompok lainnya (P < 0,05). Sementara itu
rataan ADG sapi pada kelompok pertama dan kedua dengan bobot badan awal kurang dari 450 kg selama masa penelitian terlihat sangat tinggi (1,63 kg/hari). Rataan ADG kelompok ketiga dan keempat, dengan rentang bobot badan awal sekitar 450 – 550 kg, berada diantaranya yang mencapai 1,36 – 1,51 kg/hari namun tidak berbeda nyata dengan semuanya. Rataan ADG yang diperoleh dalam penelitian ini relatif hampir sama dengan penelitian sebelumnya (SUGENG, 1998; SUBIHARTO et al., 2000; HADI dan ILHAM, 2002; SOEHARSONO et al., 2010), namun perbedaan terjadi pada bobot awal penelitian. Biasanya penelitian sebelumnya menggunakan sapi dengan bobot awal kurang dari 350 kg, sementara penelitian ini justru dimulai dengan bobot badan di atas 350 kg, dan paling besar diatas 550 kg. Dengan demikian tunda potong sapi persilangan hasil IB dapat dilakukan untuk mencapai potensi genetik yang sesungguhnya. Pencapaian yang diperoleh dalam penelitian ini ternyata jauh lebih baik dibandingkan dengan sapi bakalan Brahman Cross eks-impor (BX) yang rataan ADG-nya hanya sekitar 0,85 – 1,25 kg/hari (NGADIONO, 2000) atau 1,4 kg/hari (SOEHARSONO et al., 2010). Dalam penelitian SOEHARSONO et al. (2010) sapi persilangan hasil IB diuji dengan sapi bakalan Brahman Cross eks-impor yang dipelihara dalam kandang yang sama dan diberi pakan dengan model ’komboran’
103
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
(konsentrat diberikan dalam bentuk basah dan dimasak terlebih dahulu). Dilaporkan bahwa, selain ADG-nya lebih rendah, harga jual sapi eks-impor juga lebih murah untuk setiap kg bobot hidup, dan jagal kurang berminat karena karkasnya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan sapi lokal hasil persilangan dengan teknologi IB. Persentase total peningkatan bobot badan sapi dalam penelitian ini (Tabel 3) menunjukkan bahwa kelompok pertama dan kedua meningkat hampir 50% yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya (P < 0,05), dan selanjutnya secara berturut-turut berkurang menjadi hanya sekitar 42, 30, 25 dan 18% saja. Dari Tabel 3 tersebut juga dapat dilihat bahwa tunda potong sapi persilangan hasil IB dapat dilakukan sampai bobot badan sekitar 625 – 650 kg, tergantung dari ADG yang dapat dicapai setelah mencapai bobot 600 kg. Seandainya dapat diasumsikan bahwa saat ini rataan pemotongan sapi persilangan hasil IB adalah 400 kg, maka dengan tunda potong dapat diperoleh peningkatan bobot badan sedikitnya
50%/ekor. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sasaran target untuk meningkatkan produksi daging 20% dalam program swasembada daging sapi (KEMENTERIAN PERTANIAN, 2010). Feed convertion ratio, feed cost per gain dan income over feed cost Feed convertion ratio (FCR) sapi kelompok kelima dalam penelitian ini (bobot awal > 550 kg) lebih tinggi (11,61%) dibandingkan dengan kelompok pertama dan kedua, dan berbeda nyata (P < 0,05). Sementara itu FCR pada kelompok pertama, kedua, ketiga dan keempat berturut-turut sebesar 8,63; 8,82; 9,49; dan 11,82% (Tabel 4), dan diantara kelompok ini tidak berbeda nyata (P > 0,05). Namun dari angka-angka tersebut terlihat bahwa FCR dari kelompok pertama sampai keempat cenderung terus meningkat. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa semakin besar bobot badan awal untuk proses penggemukan maka akan menyebabkan
Tabel 3. ADG dan peningkatan bobot badan sapi persilangan hasil IB dengan bobot awal yang berbeda Perlakuan bobot badan awal
Uraian < 400
400 – 450
450 – 500
500 – 550
> 550
6
12
11
22
29
Bobot awal (kg)
356 ± 31
424 ± 16
484 ± 12
529 ± 14
584 ± 32
Bobot akhir (kg)
543 ± 60
624 ± 45
641 ± 22
666 ± 38
712 ± 40
Jumlah ternak (ekor)
b
ADG (kg/ekor/hari)
b
1,63 ± 0,22
1,63 ± 0,30
ab
ab
1,51 ± 0,26
1,36 ± 0,44
1,28a ± 0,33
Peningkatan bobot badan (%) 49,43c ± 12,00 42,32c ± 9,57 29,79ab ± 6,32 24,85ab ± 8,15 17,83a ± 7,60 a,b,c, d
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
Tabel 4. Feed convertion ratio/FCR), feed cost per gain (FCG) dan income over feed cost (IOFC) ternak sapi potong hasil IB dengan bobot awal berbeda Uraian FCR (%) FCG (Rp/kg) IOFC (Rp/hari) a,b
Perlakuan bobot badan awal <400
400 – 450
a
a
450 – 500 ab
500 – 550 b
8,63 ± 1,20
8,82 ± 2,04
9,49 ± 2,08
14.912a
15.241a
16.396ab
20.431b
b
b
ab
ab
13.541
13.554
10.798
11,82 ± 5,79 7.310
>500 11,61b ± 3,51 20.068b 5.600a
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05). FCR: feed convertion ratio, FCG: feed cost per gain IOFC: income over feed cost
104
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
efisiensi penggunaan pakannya akan semakin tidak menguntungkan. FCR dalam penelitian ini hampir sama dengan FCR sapi Brahman Cross (BX) yang digemukkan pada saat bobot awalnya 320 kg (NGADIONO, 2000). Dilaporkan bahwa sapi Brahman Cross (BX) jantan kastrasi dengan bobot badan awal 320 kg yang digemukkan selama 2 – 4 bulan mempunyai FCR sebesar 8,34; 7,90 dan 11,52. Sementara itu HAFID et al. (2001) melaporkan bahwa sapi bakalan Australian commercial cross/ACC atau sapi BX dengan kondisi kurus tetapi sehat hanya membutuhkan waktu 60 hari untuk menjadi gemuk, dengan rataan bobot badan 454,35 kg dan konversi pakan 8.22. Apabila penggemukan dilakukan lebih lama 90 dan 120 hari, efisiensi penggunaan pakannya akan menurun. Feed cost per gain (FCG) yang merupakan besarnya biaya pakan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan untuk kelima kelompok penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Ternyata dari pengujian statistik hasilnya hampir sama dengan nilai FCR, dimana kelompok satu dan dua lebih baik dibandingkan dengan kelompok kelima (P < 0,05), sedangkan di antara kelompok lainnya tidak berbeda nyata (P > 0,05). Nilai FCG dari hasil penelitian ini, dari kelompok satu sampai dengan kelompok lima berturut-turut adalah Rp. 14.912; Rp. 15.241; Rp. 16.396; Rp. 20.431; dan Rp. 20.068 per kg pertambahan bobot badan. Angka-angka yang diperoleh dalam penelitian ini belum mencerminkan FCG yang sebenarnya, karena dalam pelaksanaan pemberian pakan tidak dapat secermat bila penelitian dilakukan di laboratorium. Dari penelitian ini dapat tergambar dengan jelas bahwa tunda potong melalui proses penggemukan dengan ’high input’ yang dimulai pada bobot awal kurang dari 400 kg akan membutuhkan biaya pakan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan bila bobot awalnya lebih tinggi. Income over feed cost (IOFC) yang merupakan pendapatan atas besarnya biaya pakan untuk menghasilkan bobot badan selama masa pemeliharaan sapi persilangan hasil IB dalam kurun waktu empat bulan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok satu dengan kelompok lima (P < 0,05), dan tidak ada perbedaan yang nyata diantara kelompok lainnya (P > 0,05). Secara
berturut-turut IOFC kelompok satu (bobot badan awal < 400 kg) sampai dengan kelompok lima (bobot badan awal > 550 kg) adalah Rp. 13.541/hari; Rp. 13.554/hari; Rp. 10.798/hari; Rp. 7.310/hari; dan Rp. 5.600/hari. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa tunda potong yang dilakukan pada sapi dengan bobot badan awal kurang 450 kg selama empat bulan, lebih menguntungkan dan efisien atas biaya pakan, bila dibandingkan dengan bila bobot awalnya lebih besar. Praktek di lapangan Dalam praktek di lapangan, keputusan untuk menggunakan bobot awal dalam proses penggemukan maupun lamanya waktu pemeliharaan ternak tidak dapat semata-mata ditentukan hanya dengan koefisien teknis (ADG dan FCR) seperti hasil penelitian ini. Aspek makro, dalam hal ini harga sapi bakalan pada saat awal penggemukan dan harga jual pada saat penjualan sapi hasil penggemukan sangat mempengaruhi tingkat keuntungan maupun kerugian pengusaha, seperti tercermin dari nilai FCR, FCG dan IOFC. Nilai tersebut juga terkait dengan fluktuasi harga pakan yang cenderung terus meningkat sehingga koefisien teknis yang dicapai dalam penelitian ini tidak serta merta dapat diaplikasikan di lapangan. Sebagai gambaran, pada tahun 2006 – 2009 terjadi fluktuasi harga beli sapi bakalan maupun harga jualnya, seperti tercantum dalam Gambar 1 (PUSPETASARI, 2010). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa harga beli selalu lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual untuk setiap kg bobot badan. Khusus untuk tahun 2009 fluktuasi harga sapi di Klaten (Tabel 5) relatif sangat besar (PUSPETASARI, 2010) sehingga usaha penggemukan pada saat itu sangat sulit memperoleh keuntungan yang layak. Bila tunda potong dilakukan selama 4 bulan, maka terdapat selisih harga jual dan harga beli yang sangat fluktuatif, positif dan negatif. Seandainya tunda potong dilakukan pada bulan Januari – Mei, Pebruari – Juni, Maret – Juli, April – Agustus, Mei – September, Juni – Oktober, Juli – November dan Agustus – Desember, maka terdapat selisih harga jual dengan harga beli (Gambar 2) adalah sbb: (+Rp. 650); (Rp. 1.200); (Rp. 3.480);
105
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
25000
20000
15000 Beli Jual 10000
5000
0 2006
2007
2008
2009
Gambar 2. Fluktuasi harga beli/jual sapi selama tahun 2006 – 2009 Tabel 5. Harga beli dan harga jual sapi berdasarkan bobot badan pada tahun 2009 Bulan
Harga beli
Harga jual
(Rp./kg BH)
(Rp./kg BH)
Januari
22.000
22.400
Pebruari
24.200
22.500
Maret
26.800
22.600
April
26.500
22.850
Mei
25.800
22.650
Juni
26.200
23.000
Juli
25.300
23.400
Agustus
24.300
24.000
September
24.500
24.300
Oktober
23.700
23.800
November
23.500
23.100
Desember
23.100
23.250
Sumber: Wawancara dengan pengurus KJUB PUSPETASARI (2010)
(Rp. 2.500); (Rp. 1.500); (Rp. 2.400); (Rp. 2.200); dan (Rp. 1.050). Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa inovasi pakan untuk melakukan tunda potong pada tahun 2009 tidak akan memberikan keuntungan yang memadai bagi peternak. Hal ini menjadi
106
lebih dilematis pada tahun 2010 karena fluktuasi harga pakan juga cukup besar dan sulit dapat diprediksi oleh peternak kecil. Apabila penggemukan sapi pada kelompok satu (Tabel 3) dengan rata-rata bobot badan 356 kg dimulai pada bulan Januari dan akan dijual setelah 120 hari pada bulan Mei dengan bobot badan 543 kg, dimana IOFC sapi kelompok satu adalah Rp.13.541/hari, maka secara teknis akan diperoleh keuntungan atas biaya pakan sekitar Rp. 1.624.920. Namun berdasarkan harga yang berlaku pada saat itu (Tabel 5) akan diperoleh keuntungan kotor sekitar Rp. 4.466.950 (harga beli sapi bakalan harga jual sapi hasil penggemukan). Bila biaya pakan selama proses penggemukan adalah Rp. 1.508.871 (pertambahan bobot badan sebesar 187 kg dikalikan dengan FCG sebesar Rp. 14.912), maka keuntungan ’bersih’ adalah Rp. 2.958.079 jauh lebih tinggi dari perhitungan di atas. Namun hal ini akan terjadi sebaliknya, apabila penggemukkan dimulai pada bulan Maret, April, Mei, Juni dan Juli, karena ada selisih negatif antara harga jual dengan harga beli yang besarnya sangat signifikan. Oleh karena itu dalam praktek di lapangan perlu ada perhatian terhadap fluktuasi dan gejolak harga, selain memperhatikan bobot awal dari proses tunda potong.
Rp./kg BH
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Bulan beli-jual Harga beli
Harga jual
Selisih
Gambar 3. Selisih harga beli dan harga jual sapi pada tahun 2009
KESIMPULAN Dari penelitian tunda potong melalui proses penggemukan sapi persilangan hasil IB di Klaten ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Terdapat perbedaan pertambahan bobot potong maupun efisiensi penggunaan pakan pada beberapa kelompok sapi yang digemukkan, sesuai dengan bobot badan awalnya. 2. Penggemukan selama 4 bulan secara teknis layak dilakukan untuk sapi dengan bobot awal kurang dari 400 kg. Apabila penggemukan dilakukan pada sapi dengan bobot antara 400 – 500 kg, tunda potong hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu tiga bulan. Sedangkan bila bobot awal di atas 500 kg maka penggemukkan hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu dua bulan. 3. Tunda potong sapi silangan hasil IB dengan bobot kurang dari 500 kg dapat mencapai bobot potong lebih dari 600 kg, dengan ADG yang tinggi (1,50 – 1,60 kg/hari) dan FCR maupun FCG yang efisien. Potensi peningkatan bobot potong sekitar 30 – 50 % setiap ekornya lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa tunda potong.
4. Untuk memperoleh keuntungan yang maksimal kegiatan di lapang bahwa usaha penggemukan harus memperhatikan dinamika perkembangan harga beli bakalan, harga jual sapi hasil penggemukan dan harga bahan baku pakan. Perhitungan finansial yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai contoh untuk aplikasi lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA ASTUTI, M. 1981. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian II. Bagian Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. DAVIES, H.L. 1982. A course manual in nutrition an growth. Australian Vice-Chancellors Committee. UUIDP Hedges and Beef Pty. Ltd., Melbourne. DIWYANTO, K. 2008. Pemanfaatan sumberdaya lokal dan inovasi teknologi dalam mendukung pengembangan sapi potong di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian, 1(3): 173 – 188.
107
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
DIWYANTO, K. 2010. Increasing the production of beef cattle through an integrated crop livestock system in Indonesia. AustraliaIndonesia Agriculture and Food Security Workshop. Shine Dome, Canberra, Australia, 8 – 9 June 2010. DIWYANTO, K. dan I. INOUNU. 2009. Dampak crossbreeding dalam program inseminasi buatan terhadap kinerja reproduksi dan budidaya sapi potong. Wartazoa 19(2): 93 – 102. DIWYANTO, K. dan A. PRIYANTI, 2008. Keberhasilan pemanfaatan sapi Bali berbasis pakan lokal dalam pengembangan usaha sapi potong di Indonesia. Wartazoa. Vol. 18(1): 34 – 45. DITJENNAK, 2010. Peta Wilayah Sumber Bibit Sapi Potong Lokal di Indonesia. Ditjen Peternakan, Kementerian Pertanian. DJAJANEGARA, A. and K. DIWYANTO. 2001. Development strategies for genetic evaluation of beef production in Indonesia. Proc. of an Int’l Workshop Held in Khon Kaen Province, Thailand, July 23 – 28, 2001. ACIAR. No. 108. HADI, P.U. dan N. ILHAM. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4): 148 – 157. HAFID, H.H., R.E. GURNADI, R. PRIYANTO dan A. SAEFUDDIN. 2001. Komposisi potongan komersial karkas sapi Australian Commercial Cross kebiri yang digemukkan secara feedlot pada lama penggemukan yang berbeda. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu. 8(1): 90 – 96. HARYANTO, B. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak dalam Sistem Integrasi TanamanTernak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Orasi Pengukuhan Prof. Riset Bidang Pakan Ternak Ruminansia. Bogor, Maret 2009, Badan Litbang Pertanian, Deptan. KEMTAN. 2010. Blue Print: Program Swasembada Daging Sapi 2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.
108
NGADIONO, N. 2000. Penampilan produksi sapi Brahman Cross jantan kastrasi pada berbagai lama waktu penggemukan yang berbeda. Buletin Peternakan 24(2): 68 – 75. NGADIYONO, N.G. MURDJITO, A. AGUS, dan U. SUPRIYANA. 2008. Kinerja produksi sapi Peranakan Ongole jantan dengan pemberian dua jenis konsentrat yang berbeda. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 33(4) Desember 2008. PUSPETASARI, K.J.U.B. 2010. Evaluasi Penggemukan Sapi Potong Periode 2006 – 2009. Diskusi Terbatas, Klaten, Jawa Tengah, 12 Januari 2010. SOEHARSONO, R.A. SAPTATI dan K. DIWYANTO. 2010. Penggemukan Sapi Lokal Hasil Inseminasi Buatan Dan Sapi Bakalan Impor Dengan Menggunakan Bahan Pakan Lokal. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 3 – 4 Agustus 2010. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 116 – 122. SUBIHARTO, U. NUSCHATI, B. UTOMO, D. PRAMONO, S. PRAWIRODIGDO, T. PRASETYO, A. MUSOFIE, ERNAWATI, J. PURMIYANTO dan SUHARNO. 2000. Laporan Hasil Kegiatan Sistem Usahatani Pertanian Sapi Potong di Daerah Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. SUGENG, Y.B. 1998. Sapi Potong : Pemeliharraan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis, Analisis Penggemukan. Penebar Swadaya, Jakarta. SUMADI. 2009. Sebaran Populasi, Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Sapi Potong di Pulau Jawa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Produksi Ternak pada Fakultas Peternakan UGM, 30 Juni 2009. SUMADI, T. HARTATIK, N. NGADIYONO, I.G.S.B. SATRIA, H. MULYADI dan B. ARYADI. 2008. Sebaran Populasi Sapi Potong di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Laporan Kerjasama APFINDO dengan Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSUKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
DISKUSI Pertanyaan: 1. Bagaimana cara mengacak materi (dengan rancangan acak lengkap) karena perlakuan sudah sangat jelas? 2. Perlakuan pada kondisi awal tidak tepat karena perlakuan disamakan terhadap sapi gemuk dan sapi kurus, Mengapa? 3. Apakah mekanisme (pola) penggemukan sudah diaplikasikan kepada peternak secara luas? Dimana? Berapa ribu ekor? 4. Dari paparan saudara, tampaknya perlakuan I yang paling memberikan respons positif dan tampaknya fakta di lapang lebih rendah mendapatkan sapi dengan bobot seperti itu dari aplikasi di lapang apakah peternak menyukai? Jawaban: 1. Faktor yang diamati hanya BB, maksud mengacak adalah cara yang dipakai secara teknis yang dilakukan dilapang. 2. Faktor atau aspek yang diamati bukan hasil BB akhir setelah perlakuan tetapi jumlah kenaikan BB setelah perlakuan (terhadap nilai pakan). Faktor keturunan BB hanya terjadi pada saat adaptasi sebelum perlawanan. 3. Pola penggemukan tersebut sudah diaplikasikan oleh KJOB Puspetasari Klaten dengan pemeliharaan mencapai 100 ekor (6 lokasi kandang)dengan kapasitas 50 – 100 ekor. 4. Dari fenomena tersebut bahwa perlakuan tunda potong jangan penggemukan dengan bobot badan dibawah 400 kg yang terbaik. Untuk aplikasi di lapangan sangat memudahkan mengingat saat ini ketersediaan bakalan di lapang mudah diproleh dari pada untuk mendapatkan sapi-sapi yang lebih besar ( > 500 kg ).
109