SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998
PERSEPSI INSEMINATOR TERHADAP PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI POTONG DAN ANALISIS USAHATERNAK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) DwI PRIYANTo
dan B.
SETIADI
Balai Penelitian Ternak, P.O . Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK Teknologi Inseminasi Buatan (IB) adalah merupakan salah satu program dalam upaya meningkatkan mutu genetik ternak sapi potong dan telah diintroduksikan di Indonesia sejak tahun 1952 yang sampai saat ini telah menjadi program Nasional . Proses keberhasilan IB dapat dihitung melalui pengamatan tiga indikator utama yakni : Service per Conception (S/C) yakni jumlall pelayanan inseminasi yang diperlukan untuk mendapatkan kebuntingan; Non Return Rate (NR) yakni persentase seluruh sapi betina yang diinseminasi dan berhasil bunting (tidak minta kawin lagi) dan Conception Rate (CR) yakni persentase jumlah sapi yang bunting hasil IB pertama . Beberapa faktor penting yang berpengaruh langsung terhadap keberhasilan IB di antaranya pemilihan sapi akseptor, pengujian kualitas mani, akurasi deteksi berahi oleh peternak dan keterampilan inseminator . Suatu penelitian implementasi program IB dilakukan di Propinsi DIY yang salah satu kegiatannya adalah menginventarisir potensi dan kendala program IB serta -exante" analisis usahaternak yang dilakukan di dua wilayah kabupaten (Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul) . Surva berstruktur dilakukan terhadap 39 inseminator untuk menginventarisir kendala program IB (identifikasi potensi dan kendala) dan 30 peternak sapi potong untuk menganalisis kelayakan usaha yang diperhitungkan melalui analisis margin kotor dengan memasukkan selunh variabel input output usaha pada tingkat peternak yang terlibat dalam program IB. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di Propinsi DIY, pelaksanaan program IB cukup berhasil. Hal tersebut ditunjang oleh tenaga inseminator yang cukup berpengalaman yakni 33,36% (di atas 10 tahun) ; 30,76% (antara 5-10 tahun) dan slsanya 35,88% (kurang dari 5 tahun) dan diperliliatkan adanya cara Thawing yang relatif sempurna (71,79%) . Sebagian besar peternak telah pallam deteksi berahi (72,16%) dan cukup paham (26,28%) . Kendala yang dihadapi inseminator dalam pelaksanaan IB di DIY adalah medan yang cukup sulit di lapangan di samping pelaporan deteksi berahi yang kurang tepat waktu, sedangkan pendistribusian semen beku dan NZ Cair tidak menjadikan masalah . Analisis ekonomi di tingkat peternak menunjukkan bahwa proporsi sumbangan usahaternak sapi potong dari total pengamatan di Kabupaten Bantul relatif lebih tinggi dibanding di Kabupaten Gunung Kidul yakni mencapai Rp 1 .003 .571,401 (18,1%) dan Rp 980 .875, -/th (15,6%) dengan rataan skala pemilikan ternak sebesar 2,14 dan 2,06 ekor/peternak . Tingkat keberhasilan program IB di DIY tersebut tidak terlepas adanya kelembagaan yang cukup menunjang disamping keterampilan inseminator dan peternak sebagai ujung tombak keberhasilan program IB di lapangan . Kata knci : Inseminasi buatan, usahaternak, sapi potong PENDAHULUAN Peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia akan mendorong peningkatan permintaar daging. Dengan peningkatan tersebut dan keterbatasan ternak yang dapat dipotong, maka akar membuka peluang impor ternak cendenmg mengalami peningkatan (OGTORO, 1997) . Dalalr 618
SeminarNasionat Peternakan don ifeteriner 1998
rangka peningkatan produktivitas sapi potong rnasional _ -dalam upaya pemecahan masalah kekurangan pasokan daging ternak ; -dilakukan beberapa alternatif di antaranya 'meningkatkan produksi , melalui pendekatan kuantitatif yakni meningkatkant populasi- dan secara ;kualitatif dilaksanakan dengan meningkatkan - produktivitas °~ ternak . Dilaiw ~ pihak perlw dilakukan peningkatan populasi induk untuk memproduksi sapi bakalan sehingga-iuampu nehsubsidi sapi bakalan impor yang meningkat setiap tahun (PuTu et al., 1997) . Salah satu teknologi yang merupakan program dalam peningkatan mutu genetik - teniak sapi potong adalah Inseminasi Buatan (IB) yang telah diintroduksikan sejak tahun 1952. Pada awalnya ; teknologi tersebut dilakukan oleh Lembaga Penelitian Peternakan dengan menggunakan semen beku sapi perah impor dari Inggris dan tahun 1973 yang dikembangkan olelt Dirjen Peternakan dengan mendapat bantuan semen beku dari Selandia Baru (PARTODIHARDJO, 1975), yang saat ini' adalah merupakan program Nasional . Pada tahun 1975, IB sapi potong telah diperkenalkaP tneluas di, 13, propinsi di,Indonesia dengan memanfaatkan frozen semen dari Ingris dan New Zealand (TOELIHERE, 1977) . Dilihat dari tingkat keberhasilan program IB tampak bervariasi, akan tetapi di wilayah-wilayah ;yang potensial sebagai basis pengembangan peternakan cukup ,berhasil, yang dihitung berdasarkan . beberapa indikator utama yakni .Service per Conception, (SIC) yakni junilah pelayanan uiseminasi yang diperlukan untuk mendapatkan kebuntingan, Non Return Rate (NR) yakni persentase selurph sapi betina yang diinseminasi dan berhasil "bunting" (tidak kawin lagi) dan Conception Rate (CR) yakni persentase jumlah sapi yang bunting hasil 113 pertama. Meuurut PAYNE (1970) . bahwa program IB dikatakan cukup berhasil apabila NR mencapai 65-70%. WATTiAUX (1995) menyatakan bahwa tingkat keberhasilan IB sangat dipenganihi oleh 4 faktor yang saling berhubungan dan tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya yakni pemilihan sapi akseptor, pengujian kualitas mani, akurasi deteksi berahi oleh peternak dan keterampilan inseminator. Dari permasalahan di atas terlihat bahwa inseminator dan peternak adalah merupakan ujung tombak pelaksanaan IB sekaligus penentu berhasil dan tidaknya program IB di lapangan. Damp,* tingkat keberhasilan program IB di tingkat peternak dapat,dilihat dari sejauh mana program tersebut meningkatkan pendapatan usahaternak ditinjau dari dampak penjualan anak sapi hasil IB yang dapat dijual pada periode tertentu dan merupakan peningkatan pendapatan petani di pedesaan. MATERI DAN METODE Penelitian pemanfaatan teknologi IB dalam rangka peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong nasional dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang meliputi dua wilayah Kabupaten yakni Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul. Kriteria pemilihan lokasi tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan di antaranya adalah kepadatan teknis dan ekonomis sapi potong, realisasi pelaksanaan IB dan kondisi agro-ekosistem wilayah yang mewakili dataran tinggi dan rendah . Analisis di tingkat peternak dilakukan di dua wilayah Kecamatan di masing-masing Kabupaten yakni Kecamatan Playen dan Ponjong mewakili wilayah Kabupaten Gunung Kidul dan Kecamatan Bambang Lipuro dan Pundong di Kabupaten Bantul yang keernpat wilayah tersebut adalah menipakan sentra pengembangan IB. Untuk mengetahui potensi dan kendala dalam pelaksanaan program IB di Propinsi DIY dilakuka survai dengan kuesioner berstruktur terhadap 39 inseminator yang terlibat langsung dalam pelaksanaan IB di lapangan . Hasil tersebut dianalisis secara diskriptif untuk mengidentifikasi masing-masing indikator yang dianggap berkeitan langsung dengan pelaksanaan
619
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
Untuk mengetahui seberapa jauh peranan usahaternak sapi potong program IB di tingkat peternak dilakukan survai (ex-ante analisis) terhadap 30 poternak yang tersebar dan mewakili di masing-masing wilayah pengamatan . Hasil analisis margin kotor dilakukan untuk mengetallui sejauh mana tingkat usahaternak hasil IB menyumbangkan pendapatan dibanding sub soktor lainnya di tingkat peternak . HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja inseminator Inseminator sangat berperan dalam menunjang keberhasilan program IB di lapangan. Untuk wilayah DIY status inseminator terdiri atas inseminator PNS dan inseminator swadaya . Inseminator swadaya adalah inseminator yang sumber penggajiannya berasal dari imbalan melaksanakan IB dari peternak akseptor . Dilihat dari banyaknya inseminator, sebagian besar inseminator di wilayah DIY adalah inseminator swadaya . Semua fasilitas inseminator disediakan oleh pemerintah sebagai langkah subsidi . Dari informasi yang didapatkan menyatakan bahwa terdapat inseminator yang karena tingkat kepercayaan peternak cukup tinggi, maka inseminator tersebut mampu melak anakan target IB sampai 300 dosis per bulan. Di wilayah propinsi DIY total inseminator swadaya sebanyak 55 orang (75%) dibanding 18 orang (25%) adalah inseminator yang statusnya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil) . Di lokasi pengamatan Kabupaten Gunung Kidul bahwa seluruh inseminator berstatus swadaya, sedangkan di Kabupaten Bantul 61,2% inseminator swadaya. Hal ini menunjukkan bahwa minat seseorang untuk menjadi inseminator cukup tinggi karena dibandang memberikan prospek yang cukup cerah . Tabel 1.
Distribusi inseminator di DIY dibedakan atas inseminator PNS dan Swadaya
Kabupaten/Kodya
Orang 2
PNS
Swasta
Total Orang 2
person Orang Persen Kodya DIY 100,0 Bantul 7 38,8 11 61,2 18 Kulon Progo 6 37,5 10 62,5 16 Guntmg Kidul 23 100,0 23 Slema_n...............................................1 .g..........................~5 3 23,1 10 76,9 13 .0...........................54 ............................75;~....................... .72 . Total
Sumber :
BuKu STATISTIK PETERNAKAN, 1996
Dari basil pengamatan di dua lokasi, terlihat bahwa distribusi inseminator dalani melaksanakan program IB (kuantitas bulanan) bervariasi tergantung dari populasi ternak akseptor, tingkat kepercayaan peternak untuk meng-113 ternaknya, luas wilayah kecamatan serta kejadian sapi berahi (Tabel 2). "Penswastaan" inseminator memberikan dampak positif terhadap pemenuhan targel inseminasi. Namun ada beberapa kelemahan yang perlu petnbenahan antara lain : (1) karena setia l: inseminasi merupakan sumber pendapatan inseminator, kadang-kadang menekan bagaimana mengefisiensikan IB. Setiap permintaan peternak selalu dipenuhi dan kadang kurang memperhatikan segi-segi penyuluhan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi, (2) Domikian pula karena identifikasi keberhasilan IB tergantung pula pada pelaporan hasil IB, banyak inseminatoi kurang memperhatikan aspek pendataan dan rekording, yang hanya berfokus pada proses IB di 620
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
lapangan . Pelaporan data perlu mendapatkan perhatian khusus karena rekapitulasi keberhasilan IB ditunjukkan pula dari adanya pelaporan yang tepat. Tabel 2.
Kinerja inseminator dalam melaksanakan kegiatan IB di lokasi pengamatan
Bulan Oktober 1996 November 1996 Desember 1996 Januari1997 Februari 1997 Jumlah (aks)
Sumber :
Akseptor/inseminator Kab. Gwiung I II III 87 61 144 60 59 82 107 68 28 68 42 107 78 65 31 518 348 221
Kidul IV 99 96 84 76 '~ 355
Akseptor/inseminator Ktib. Bantul I II III 60 48 223 65 42 133 100 35 33 40 30 172 47 28 108 736 247 181
BUKU STATIST K PETERNAKAN DAERAH ISTMIEWA YOGYAKARTA (1995)
Persepsi inseminator terhadap permasalahan program IB di lapangan Tingkat keberhasilan IB sangat dipengarulti oleh beberapa faktor yang salah satu di antaranya merupakan ujung tombak pelaksanaan IB di lapangan adalah inseminator . Untuk mengetalnu kendala-kendala yang dianggap dapat menghambat program/pelaksanaan IB, telah dilakukan survai terhadap inseminator secara terbuka dengan menggunakan kuesioner berstruktur seperti terlihat pada Tabel 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa inseminator di wilayah Propinsi DIY mayoritas berpengalaman dan profesional . Hal ini ditunjukkan dengan hanya 35% inseminator yang mempunyai pengalaman antara 1-5 tahun sedangkan sisanya berpengalaman lebih dari 5 tahun, sebanyak 30,76% dan bahkan 33,36% inseminator adalah inseminator yang telah melaksanakan IB lebih dari 10 ttihun . Hal tersebut merupakan potensi sumberdaya inseminator yang positif dan handal dalam melaksanakan IB di lapangan . Program pembinaan IB di DIY cukup baik, hal ini terlihat dari jumlah inseminator swadaya ("semi swasta") berjumlah lebilt banyak dibanding inseminator PNS . Inseminator swadaya tersebut berani mengeluarkan dana yang cukup bestir (sekitar Rp 600.000,-) untuk biaya kursus untuk mendapatkan SIMI (Surat Ijin Melakukan Inseminasi) baik dilakukan di Ungaran maupun di Singosari . Dilaporkan oleh inseminator tentang pengetalman peternak dalam pelaporan deteksi berahi terhadap ternaknya yang siap dilakukan IB, menunjukkan bahwa sekitar 72,16% peternak telah banyak melaporkan dengan benar, 26,28% cukup benar dalam melaporkan deteksi berahi sedangkan hanya sebagian kecil peternak (1,56%) yang belum mengetahui deteksi berahi terhadap sapi yang akan dilakukan IB. Dilihat dari spesifikasi wilayah tampak balnva di lokasi DIY, Gunung Kidul dtin Kulon Progo kondisi peternaak telah mayoritas mengetahui deteksi berahi yang ditunjukkan proporsi nilai yang cukup tinggi. Ketepatan dalam melaporkan ternaknya berahi sangat diperlukan kaitannya dengan ketepatan inseminator dalam melakukan inseminasi serta tingkat keberhasilan IB yang dilakukannya. Berdasarkan kendala umum yang dihadapi inseminator terlihat bahwa faktor medan yang relatif sulit dijangkau dilaporkan oleh 33,44% (khustisnya Kabupaten Kulon Progo, Bantul dan Gunung Kidul) disamping pelaporan peternak yang sering terlambat (setelah akhir berahi) 27,97%, sarana/alat (transportasi dan kontainer) dilaporkan sekitar 33,64%, serta adanya kendala 621
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998 pejantan alami dilaporkan sekitar 15,37% inseminator . Adanya pejantan alami akan mengganggu realisasi IB karena peternak akan mengawinkan ternaknya dengan pejantan yang ada sehingga kualitas pedet yang dilahirkan relatif kurang bagus . Berdasarkan distribusi pengambilan semen beku oleh inseminator relatif cukup pendek yakni sekitar 10 hari, hal tersebut akan berakibat kualitas semen beku akan lebih terjamin . Adapun dilihat dari permasalahan distribusi semen beku sebagian besar inseminator (56,40 persen) menyatakan tidak ada masalah dan cukup lancar pendistribusiannya, 20,5% melaporkan kadang terjadi kelambatan khususnya di Kabupaten Kulon Progo, Gunung Kidul dan Bantul, sedangkan 23,06% menyatakan bahwa kendala bangsa semen beku yang ada di Pos Pelayanan IB tidak sesuai dengan yang dikehendaki peternak (mayoritas "Simmental "), sehingga sedikit menimbulkan permasalahan di lapangan, khususnya di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo karena peternak telah fanatik terhadap pejantan tertentu .
Tabel 3.
Persepsi inseminator terhadap realisasi pelaksanaan program IB di DIY Lokasi Kabupaten
Peubah
Kab . Kl . Progo (u=9)
DIY (n=2) Pengalaman inseminator 1- 5th 5-10th > 10 th Deteksi berahi oleh Peternak Tahu Kurang tahu Tidak tahu Kendala yang dihadapi inseminator Lapor tak tepat Sarana/alat Medan sulit Adanya pejantan alami Pengambilan semen beku (hr) Masalah Tidak ada \Kadang terlambat Terbatas Tak sesuai Pennintaan Pengambilan NZ Cair (hr) Masalah Tidak ada Kadang terlambat Terbatas Cara thawing Benar Salah
62 2
Kab . Bantul (n= 13)
Kab . G. Kidul (n=10)
Kab . Sicman (n=5)
Rataan (n=39)
55,50 33,30 11,20
46,15 38,46 15,38
20,00 30,00 50,00
20,00 40,00 40,00
35,88 30,76 33,36
_
77,00 33,00 _
53,80 38,40 7,80
90,00 10,00 _
40,00 60,00 -
72,16 26,28 1,56
50,00 50,00 7,00
34,00 35,00 11,00 7,50
30,07 23,07 31,48 15,38 13,40
40,00 10,00 30,00 20,00 10,20
40,00 20,00 20,00 20,00 9,60
27,97 23,22 33,44 15 .37 10,40
50,00 50,00 10,00
11,10 44,40 44,40 5,80
46,15 7,60 7,60 30,76 6,80
90,00 10,00 4,80
100
100
-
44,40 44,40 11,20
46,15 46,15 7,70
80,00 20,00 -
100
50,00 50,00
66,60 33,40
61,53 38,47
80,00 20,00
100 100
-
5,80
56,40 20,50 5,50 23,06 6,09
-
64,09 30,75 5,16
80,00 20,00
71,79 28,21
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998
Suplai NZ cair dinyatakan oleh 64,09% inseminator tidak ada, masalah yang cukup senus, akan- tetapi 30;75% inseminator menyatakan bahwa ketersediaannya kadang-kadang .terlambaf, bahkan -dikatakan terbatas khususnya di Kabupaten I Kulon- Progo dan Bantul -tetapi pada kondisi waktu tertentu saja. Berdasarkan pelaksanaan thawing yang dilakukan oleh inseminator terlihat bahwa 71,79% inseminator telah melakukan thawing secara sempurna dan sebagiao kecil (28,21%) melakukan thawing kurang sempurna sehingga akan mempengaruhi kualitas semen yang akan diinseminasikan pada sapi berahi . Apabila segala permasalahan yang dilaporkap dapat d atasi dengan berbagai pemecahannya diharapkan .keberhasilan program IB dapat ditingkatkan. Hal tersebut perlu penanganan secara terpadu dan berkelanjutan dari berbagai pihak sehingga permasalahanpokok tersebut dapat diatasi tanpa melihat "siapa yang salah" akan tetapi berfokus pada "apa permasalahan" yang perlu diperbaiki . Analisis usahaternak sapi potong program IB Untuk mengetahui gambaran umum usahaternak sapi' potong kaitannya dengan"pelaksanaan telah dilakukan survai terhadap responden yang di kelompokkan dalam dua wilayah kabupaten 113, yakni Kabupaten Gungung Kidul dan Bantul yang dianggap mewakili dan memberikan kambaran tentang usahaternak yang diamati . Dua lokasi pengamatan tersebut memiliki kondisi agroekosistem yang berbeda di mana Kabupaten Gunung Kidul meniplkan wilayali lahan kering yang memiliki lahan sawah hanya 16,19% dari total wilayah sedangkan Kabupaten Bantul : adalah merupakan areal lahan persawahan (49,26%), dengan kondisi sawah- irigasi setenglh teknis, yang umumnya ditanami padi tiga kali atau dua kali setahun . Dari hasil- pengamat-an -penenmaan usaha di tingkat peternak tertera pada Tabel 4. Proporsi sumbangan pendapatan peternak dibedakan dalarn tiga subsektor usaha - yakni subsektor usaha pertanian, usahaternak :sapi potong dan-subsektot< luar: usahatani . ~(off farm, income). Analisis margin kotor, digunakan-menganalisis betbagai xtsaha -di! tingkat petani, -Hasil yang diperoleh menunjukkan.bahwa di lokasi Kabupaten Gunung Kidui rataan tingkat penerimaan peternak tampak lebih tinggi dibaadingkan di ; 'Kabupaten , ,Bantul . : Penerimaan . yang; menyumbangkan sumber penghasilan terbesar di kedua lokasi adalah justru usaha di luar usahatani (pertanian dan peternakan) yang masing-masing sebesar 64,2% dan 49,4% yang bersumber dari usaha buruh jasa masing-masing di Kabupaten Gunung Kidul, clan Bantul. Proporsi kedua adalah usaha pertanian , yang lebih menonjol adalah peternA di lokasi Kabupaten Bantul yakni mencapai Rp 1 .798.293,- (32,5%) dan, peternak di Kabupaten" Gunung Kidul sebesar Rp 1 .263 .410,- (20,1%), adapun komoditas utama yang menyumbangkan pendapatan tertinggi adalah tanaman padi sawah di Kabupaten Bantul dan padi sawah/padi gogo di Kabupaten Gunung Kidul . Tanaman yang cukup menonjol menyumbangkan pendapatan di tingkat peternak setelah tanarnan padi adalah komoditas kedele yang mencapai Rp 302 .459 ' dan Rp 200 .000,- masing-masing di Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul. Tanaman kedeleiters ¬but merupakan tanaman penghasil uang tunal petani sebagai penunjang kebutuhan rumah tangga. Khususnya penerimaan pada subsektor usahaternak sapi potong tampak penerimaan peternak, di Kabupaten Bantul lebih tinggi dibanding di Kabupaten Gunung Kidul yakni masm$-masing mencapai Rp 1.003 .571,-/tahun (18,81% dari total pendapatan) dan Rp 980.875,-/tahuii (B,6% total pendapatan petani . Hal tersebut setara dengan pengamatan sebelumnya WAHYONO (1991) terhadap usahaternak sapi Madura yang memberikan kontribusi sebesar 15% dari total pendapatan petani .
623
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
Tabel 4.
Rataan penerimaan peternak sapi potong di lokasi pengamatan (tahun terakhir) Kab. Gtutung Kidul
Cabang usaha Pertanian - Padi - Jagung - Ketela pohon - Kedele - K. Tanah - Pisang * Kelapa Sapi Potong Luar Usahatani - Kerajinan - Dagang - Bunth/jasa - Pegawai * Pensiunan Total pendapatan
1 .263.410 (20,1) 590 .000 (22,5) 104.285 (22,5) 190.000 (22,5) 200 .000 (19,3) 140.625 (12,9) 18.500 ( 6,5) 20.000 ( 3,2) 980 .875 (15,6) 4.032.309 (64,2) 1 .360 .000 ( 9,6) 920 .000 ( 9,6) 1 .125.600 (32,2) 377.419 (12,9) 249 .290 ( 9,6) 6.276.594
Kab. Bantul 1 .798 .293 (32,5) 480 .000 (73,3) 36.660 (20,0) 36.250 (13,3) 302 .458 (40,0) 134 .125 (53,3) 40.000 (20,0) 647 .500 (13,3) 1 .003 .571 (18,1) 2.734.285 ( 6,6) 1 .008.000 ( 6,6) 960 .000 ( 6,6) 766 .285 (46,6)
5.536.149
Keterangan : ( ) : menunjukkan persen peternak
Dari data penjualan sapi selama dua tahun terakhir dengan pertimbangan bahwa pada usahaternak sapi potong tingkat sirkulasi produksi relatif panjang (masa bunting, lahir sampai dengan jual), terlihat bahwa dari total peternak responden hanya 51,6% dan 46,6% peternak yang telah menjual ternaknya masing-masing di Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul dengan rataan penjualan berturut-turut 2,6 dan 2,14 ekor/peternak (Tabel 5). Tabel 5.
Rataan penjualan sapi selama dua tahun terakhir
Status fisiologis Dewasa jantan Dewasa betina Muda jantan Mudabetina Anak jantatt Anak betina Jumlah
Gttnting Kidul Ekor 0,5 (37,5) 0,44 (43,7) 0,31 (25,0) 0,31(31,2) 0,31 (25,0) 0,12 (12,5) 2,06 (51,6)
Rp/ekor 1 .172.000 1 .200.000 1 .000 .000 790 .000 510 .000 470 .000
Bantul Ekor 1,00 (85,7) 0,28 (14,3) 0,43 (14,3) 0,28(28,5) 0,14 (14,3) 2,14 (46,6)
Rp/ekor 1.064.000 900 .000 800 .000 950 .000 500 .000
Keterangan : ( ) : menunjukkan persen peternak yang menjual sapi
Berdasarkan distribusi umur sapi (status fisiologis) yang dijual peternak, menunjukkan bahwa di Kabupaten Gunung Kidul 43,7% sapi yang terjual adalah sapi dewasa betina dengan rataan 0,44 ekor/peternak dan dewasa jantan dijual oleh 37,5% peternak dengan rataan 0,5 ekor/peternak . Tampak sedikit berbeda pada peternalc di Kabupaten Bantul, sebagian besar sapi yang dijual 624
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998
peternak adalah sapi dewasa jantan (85,7%) dengan rataan 1,0 ekor/peternak yang kemudian disusul ternak muda betina (28,5%) dengan rataan penjualan 0,28 ekor/peternak . Penjualan ternak muda cukup menonjol di Kabupaten Gunung Kidul yang hal tersebut dikarenakan peternak cenderung menjual pedet untuk tambahan pembelian pakan sapi yang dipelihara. Ada pepatah "Sapi makan Sapi" yakni sebagian sapi yang dipelihara peternak dijual untuk membeli pakan karena kecintaan peternak terhadap ternak yang dipertahankan . Di sisi lain secara komersial ternak muda kualitas bagus dijual clan dibelikan calon induk yang siap di-IB dan peternak masih dapat keuntungan uang tunai. Secara umum terdapat kecenderungan rataan harga per ekor ternak jauh lebih tinggi di lokasi pengamatan Kabupaten Gunung Kidul dibanding Bantul yang hal tersebut tidak terlepas dari kualitas sapi sendiri. Nilai jual sapi di lokasi Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul berturut-turut sebesar Rp 1 .172.000,- dan Rp 1.064 .000,- pada sapi dewasa jantan, Rp 1.200.000,- dan Rp 900 .000,- pada sapi dewasa muda, serta Rp 1 .000.000,- dan Rp 800.000,- pada Sapi mudajantan . Jumlah peternak dapat melakukan transaksi terhadap ternaknya pada periode tertentu sangat dipengaruhi pula adanya tingkat skala pemeliharaan (struktur populasi) yang dikelola peternak . Semakin besar skala usaha akan semakin besar pula peternak berpeluang menjual ternaknya karena kinerja produksi anak akan meningkat pula (khususnya ternak induk) . BROWN (1979) menyatakan bahwa dalam rangka proses produksi usahaternak lebih banyak ditentukan oleh jumlah pemilikan ternak, disamping faktor-faktor produksi lainnya seperti pakan clan tenaga kerja. Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan adanya dtta status pemilikan ternak yakni ternak milik sendiri clan ternak gaduhan seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6.
Rataan pemilikan sapi potong berdasarkan status pemilikan dan status fsiologis
Bantul Gunung Kidul Gaduh Total (ekor) MS (ekor) Gaduh Total (ekor) MS (ekor) (ekor) (ekor) 0,12(12,5) 0,03(3,2) ---Dewasa jantan -1,50(50,0) 1 .06(80,0) 0,75(75,0) 1,16(100) 1,00(71,4) Dewasabetina 1,25(100) 0,25(25,0) 1,00(80,0) 0,22(22,6) 0,42(35,7) Muda jantan 0,27 (26,9) 0,07(7,0) 0,75(50,0) 0,26(20,0) 0,08 (7,7) 0,37(37,5) 0,16(16,1) Muda betina 0,20(13,3) 0,21(14,3) 0,19(19,3) 0,19 (19,2) Anakjantan ..Anak.betina.__ .......... 0,.1.5.(15,4) .......0,25(25,0) ....... .0,19(19,3) ....... .0,28(28,0) ....... ...0,25(25,0)_ ......0,33(26,6) 1,98(58,7) 1,75(41,3) 2,85 1,49(44,7) 1,84(55,3) . 1,95 . . Jumlah (ekor) Keterangan: ( ) : menunjukkan persen peternak yang memiliki MS : Milik sendiri Status fisiologis
Tingkat penguasaan sapi potong di kedua lokasi pengamatan menunjukkan bahwa peternak di Kabupaten Bantul tampak lebih tinggi dibanding peternak di Kabupaten Gunung Kidul yakni masing-masing sebesar 2,85 vs 1,95 ekor/peternak . Terlihat pula bahwa status pemilikan sapi "milik sendiri" sedikit lebih tinggi dibanding sapi "gaduhan" di kedua lokasi pengamatan yakni mencapai 55,3 vs 44,7% di Kabupaten Gunung Kidul clan 58,7 vs 41,3% di Kabupaten Bantul . Berdasarkan status fisiologis yang dipelihara peternak terlihat bahwa proporsi peternak yang memiliki sapi betina dewasa menduduki paling tinggi yakni dikuasai oleli 96,8% peternak di Kabupaten Gunung Kidul dan 80,0% di lokasi Kabupaten Bantul dengan rataan pemilikan berturut-turut sebesar 1,16 dan 1,06 ekor/peternak . Proporsi kedua didominasi oleh sapi jantan 625
Seminar NasionalPeternakan don Veteriner 1998 muda yakni dikuasai oleh 26,6% peternak di Kabupaten Gunung Kidul dan 80,0%o peternak di Kabupaten Bantul, dengan rataan pemilikan berturut-turut_sebesar 0,22 dan 1,0 ekor/peternak. KESIMPULAN Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan 1.
Sumberdaya inseminator di DIY cukup potensial dalam menunjang pelaksanaan, IB d lapangan yang ditunjukkan dari pengalaman dan kinerja yang cukup bagus, peternak ' sudal banyak mendukung tingkat keberhasilan program IB yang ditunjukkan oleh adanya tingka pengetahuan tentang- deteksi berahi terhadap Trnak yang akan dilakukan IB walauput pelaporannya kadang-kadang masih terlambat.
2.
Kendala utama di lapangan yang dirasakan oleh inseminator adalah medan yang sulit d tempuh, disamping sarana transportasi dan peralatan kontainer yang dipandang kuranl mendukung.
3.
Tingkat distribusi semen beku dan Nz cair relatif frekuensinya cepat sehingga kualitas, 5emel beku akan lebih dapat terjamin. Hanya di beberapa lokasi sering terjadi keterlaml atai tersediannya semen beku dan ka,rena fanatisme peternak terhadap semen beku yanj diharapkan oleh peternak (pejantan Simmental) tidak terpenuhi.
4.
Sumbangan pendapatan usahaternak sapi potong cukup menunjang total pendapatan petall yakni antara 15-18% yang hal tersebut sangat tergantung dari tingkat skala usalta yan; dipelihara/peternak, disamping harga jual yang relatif cukup tinggi, kllususnya di lokas pengamatan Kabupaten Gunung Kidul . DAFTAR PUSTAKA
BROWN,
M.I. 1979 . Farm Budget front Farm Income Aanalysis to Agricultural Projects Analysis . Publishe for work bank . The Jalm Hopkins Univ Press, Baltimore and London . 1997 . Peluang dan tantangan pengembangan sapi potong . Prosiding Seminar Nasional Peternaka dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan, Bogor : 87-95 .
OETORO .
1995 . Buku Statistik Petemakan Propinsi Daera Istimewa Yogyakarta . Dinas Petemakan TI . I Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .
DINAS PETERNAKAN TK . I DAERAH ISTII,,MWA YOGYAKARTA . PARTODIHARDJO, S. PAYNE,
1975 . Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara. Jakarta .
W.J .A . 1970 . Cattle Production in the Tropic . Longman. K. DIWYANTO, P. SiTEPU, dan T.D . SOEDJANA . 1997 . Ketersediaan dan kebutuhan teknblol produksi sapi potong . Prosiding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Pusat Penelitian da Pengembangan Petemakan. Bogor : 50-63 .
PUTU, I.G .,
TOELIHERE,
M. 1977 . Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
D.E . 1991 . Kontribusi usaha sapi Madura terhadap pendapatan petani ternak di Pulau Madur Prosiding Seminar Nasional Usaha Peningkatan Produktivitas Petemakan dan Petikanan. Universiti Diponegoro . Semarang.
WAHYONO,
M.A . 1995 . Reproduction and Genetic Selection, Technical Dairy Guide. University i Wisconsin. Madison.
WATTIAUX,
62 6