Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
IDENTIFIKASI KELAYAKAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) TERNAK DOMBA DI DAERAH KANTONG PRODUKSI DI KABUPATEN CIANJUR (Assesment of Artificial Insemination (AI) Program of Sheep at Potential Production Area in Cianjur Regency) DWI PRIYANTO dan UMI ADIATI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Assessment of implementation of artificial insemination (AI) technology were conducted at potential production area in Gekbrong Village, Gekbrong Sub-District, Cianjur Regency. Survey method was used to identify 20 farmers rearing sheep on sheep productivity, farmer transaction of sheep, and farmer perception about rearing male sheep, including transaction close to Lebaran Haji. The results show that the percentage of male lamb born is higher than that of female lamb (52.9 vs 46.1) until weaning. The higher the parity the higher the male lamb produced. It is identified that the frequency of selling male sheep is higher than that of female sheep (80.30 vs 19.68 percent) due to the higher price of male sheep especially ground Lebaran Haji. This condition resulted in shortage of ram for mating (stated by 78% of the respondent) to improve sheep production in the villages. Key Words: AI Assesment, Lack of Ram ABSTRAK Program inseminasi buatan (IB) pada ternak domba masih dalam tahap penelitian, khususnya tentang kelayakan di lapangan. Pengamatan tentang kelayakan program IB dilakukan di daerah kantong sumber ternak potong yakni di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur yang merupakan daerah terpadat populasi. Metode survei terstruktur (20 peternak) dilakukan dalam rangka inventarisasi produksi, penjualan dan persespsi peternak terhadap pengelolaan pejantan, serta potensi pasar hewan menjelang Lebaran Haji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kelahiran ternak jantan lebih tinggi dibanding betina (53,9 vs 46,1%). Semakin meningkat paritas induk ada kecenderungan proporsi anak jantan semakin meningkat. Sebaliknya penjualan ternak cenderung lebih banyak ternak jantan yakni mencapai 80,32% dibanding betina yang hanya 19,68%, yang hal demikian karena 73,69% peternak menyatakan bahwa harga jual domba jantan lebih mahal, khususnya pada saat bulan haji. Ditinjau dari distribusi penjualan di pasar hewan Cianjur cenderung didominasi oleh domba jantan, khususnya 10 hari sebelum lebaran haji mencapai 90%. Kondisi demikian ada kecenderungan terjadi pengurasan ternak jantan, dan dinyatakan 78% responden berakibat terdapat kesulitan perkawinan di pedesaan. Program IB cukup layak dilakukan pada kondisi wilayah kantong ternak domba dan 52,63% peternak setuju dalam upaya memperbaiki kualitas domba sesuai yang dikehendaki petani yakni memiliki tanduk besar (dinyatakan 52,63% peternak). Kata Kunci: Kelayakan Program IB, Pengurasan Pejantan
PENDAHULUAN Teknologi inseminasi buatan (IB) pada ternak domba telah diuji cobakan di laboratorium di Balai Penelitian Ternak, menunjukkan bahwa teknologi dengan penggnaan spon buatan menyebabkan semua betina berahi (100%) (ADIATI, et al., 2005).
Penggunaan spon untuk penyerentakan birahi dengan modifikasi mampu menekan biaya pembelian asal impor yang cukup mahal disamping pengadaan yang relatif sulit dan lama. Kondisi demikian memberikan peluang bahwa secara ekonomis penggunaan spon lokal mampu menekan biaya, disamping dapat dicapai keberhasilan program IB secara
405
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
terkontrol (efisiensi teknis dan ekonomi). Pada usahaternak sapi potong, program IB telah mampu diadopsi oleh pihak pengguna teknologi (khususnya peternak) dan dianggap mampu memperbaiki keturunan (anak) yang dilahirkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (SETIADI, et al., 1998). Keberhasilan program tersebut ditunjukkan adanya laju kebuntingan (pregnacy rate) yang ditentukan oleh 4 faktor penting yakni ferlilitas sapi betina (cow fertility), fertilitas jantan/semen (bull semen fertility), efisiensi deteksi estrus betina (head detection eficiency), dan efisiensi inseminasi (insemination eficiency) (WATTIAUX, 1995). Dalam kasus usaha peternakan sapi rakyat skala pemilikan induk relatif kecil sehingga lebih mudah pelaporan deteksi berahi oleh pemilik. Kondisi demikian tidak terjadi pada sistem usaha ternak domba dimana peternak umumnya memiliki jumlah induk yang relatif lebih banyak, sehingga deteksi berahi yang cenderung lebih sulit dibanding ternak sapi. Kasus lain yang sering dijumpai adalah kurangya tersedia pejantan sebagai pemacek yang dimiliki peternak karena dianggap tidak menguntungkan (tidak ekonomis), yang berdampak sulitnya program perkawinan di lapangan. Dalam rangka antisipasi hal tersebut pelaksanaan IB pada ternak domba agar efektif, perlu dilakukan sosialisasi terhadap dan program IB pada ternak domba. Untuk implementasi kegiatan IB tersebut perlu dilakukan kajian tentang kelayakan program tersebut diaplikasikan pada kondisi lapang. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur (pada kondisi peternak), dan di pasar hewan Cianjur yang merupakan wilayah sumber ternak domba di Jawa Barat. Pada pengamatan tersebut digunakan metode survei berstruktur (kuesioner telah dipersiapkan) terhadap 20 peternak pemelihara ternak domba. Pengamatan yang dilakukan meliputi karakteristik usaha ternak domba (skala pemeliharaan), penampilan reproduksi induk berdasarkan paritas, rekapitulasi penjualan domba selama setahun terakhir berdasarkan status fisiologis dan jenis kelamin, serta
406
persepsi peternak terhadap kesulitan dalam perkawinan dan antusias terhadap program IB di lapangan. Data tersebut dilakukan analisis diskriptif untuk menggambarkan kondisi usaha ternak domba di masyarakat. Untuk mengetahui proses keluar masuknya ternak domba di lokasi sumber bibit, juga dilakukan survei terhadap pasar hewan melalui wawancara dengan pihak penguasa pasar, tengkulak, serta data keluarnya ternak melalui pasar hewan terpadat. Data yang dikumpulkan meliputi kapasitas penjualan, distribusi ternak jantan yang keluar daerah dari kota Cianjur yang merupakan sumber ternak domba sebagai pensuplai ke daerah lain. Kondisi demikian diharapkan diperoleh gambaran tentang kasus pengurasan ternak domba khususnya ternak jantan, sehingga mampu sebagai langkah rekomendasi kelayakan implementasi program IB pada kondisi peternakan rakyat. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum lokasi pengamatan Desa Gekbrong, Kecamatan Gekbrong adalah desa terpadat ternak dombanya di Kabupaten Cianjur yang merupakan kantong ternak domba yang terbanyak mensuplai pasar Cianjur. Desa tersebut adalah merupakan agroekosistem lahan kering dengan proporsi pemanfaatan lahan berupa lahan tegalan yang sangat mendukung usaha tani sayuran (cabai, tomat, sawi) dan tanaman hortikultura lainnya, yang merupakan komoditas memiliki nilai ekonomis tinggi. Usaha ternak domba dilokasi cukup dominan sebagai usaha yang memberikan kontribusi pendapatan petani. Mata pencaharian sebagaian besar adalah sebagai buruh tani, dan sebagian kecil sebagai petani dengan keterbatasan pemilikan lahan (lahan sempit), karena umumnya lahan di lokasi sudah dikuasai oleh pengusaha dari luar kota, dan penduduk banyak memiliki status sebagai penggarap. Maka dari itu usaha ternak domba dipandang sebagai usaha dalam pemanfaatan tenaga kerja keluarga yang tersisa setelah petani bekerja sebagai buruh tani atau penggarap lahan pertanian. Dari hasil laporan Dinas Perikanan dan Peternakan Cianjur bahwa program IB sudah dilakukan dan merupakan program daerah yang dilakukan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
yang dipelihara menunjukkan bahwa proporsi tertinggi adalah pemilikan domba status induk yakni mencapai 22,6% (rataan 1,30 ekor/peternak). Hal tersebut menggambarkan bahwa sistem usahaternak adalah usaha pembibitan yang faktor penentu dalam memproduksi anak adalah faktor pemilikan induk. Semakin banyak pemilikan induk, maka akan semakin banyak pula anak yang dihasilkan (keturunan). Sementara itu, pemilikan ternak jantan sebagai pemacek tidak semua peternak memiliki. Kondisi demikian menggambarkan situasi skala pemilikan di pedesaan secara intensif pada ruminansia kecil (PRIYANTO et al., 2004)
pada ternak sapi potong, sapi perah, dan domba (Tabel 1) dengan proporsi keberhasilan yang cukup bervariasi. Terlihat bahwa tingkat keberhasilan pada ternak domba adalah cukup rendah dibandingkan dengan sapi perah tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan sapi potong, yang hal tersebut kedepan perlu langkah perbaikan. Karakteristik sistem usahaternak di lokasi Komposisi pemilikan ternak domba yang masih relatif kecil yakni mencapai rataan 5,75 ekor/peternak (Tabel 2). Hal tersebut karena sistem manajemen intensif sehingga cenderung peternak membatasi jumlah ternak akibat keterbatasan tenaga kerja mengambil rumput. Dalam sistem pemeliharaan digembalakan (ekstensif) skala pemliharaan jauh lebih besar (10 ekor/peternak) karena tenaga kerja lebih efisien (PRIYANTO dan YULISTIANI, 2005). Pada sistem pemeliharaan ekstensif cenderung tidak memerlukan banyak tenaga kerja (alokasi tenaga kerja) untuk mengambil rumput, karena yang sering terjadi dilapangan adalah pada kondisi 2 – 4 kandang peternak dapat digembalakan oleh satu orang penggembala. Berdasarkan status fisiologis ternak domba
Penampilan reproduksi domba pada kondisi peternakan rakyat Berdasarkan penampilan reproduksi hasil inventarisasi beberapa induk, menunjukkan bahwa secara umum kelahiran anak jantan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan anak betina (53,9 vs 46,1%) (Tabel 3). Terlihat berbeda dengan pengamatan sebelumnya (PUSLITBANGNAK, 1993) di pedesaan yang menyatakan bahwa nisbah kelamin jantan: betina sebesar 49 : 51 ; 47 : 53 ; dan 46 : 54,
Tabel 1. Program IB yang telah dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Cianjur Jenis ternak
Realisasi (ekor)
Jumlah ternak bunting (ekor)
S/C (kali)
Kelahiran (ekor)
Sapi potong
2.126
708
2,7
532
Sapi perah
287
287
2,1
216
Domba
518
207
2,3
138
Sumber: Dinas Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Cianjur (2004)
Tabel 2. Tingkat pemilikan ternak domba oleh peternak di Desa Gekbrong Status fisiologis
Total
Rataan/peternak
Persentase
Jantan Dewasa
15
0,75
13,04
Betina Dewasa
26
1,30
22,6
Jantan Muda
25
1,25
21,73
Betina muda
25
1,25
21,73
Jantan anak
14
0,70
12,17
Betina anak
10
0,50
8,92
Total
115
5,75
100
407
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 3. Penampilan reproduksi domba (jumlah anak lahir, sapih, mortalitas) dibedakan berdasarkan paritas induk di Desa Gekbrong Peubah
Paritas I (n = 26) Jtn Btn
Lahir
28
Persentase
51,9
Sapih
27
Persentase Mortalitas Rataan mortalitas
Paritas II (n = 19) Jtn Btn
Paritas III (n = 9) Jtn Btn
Paritas IV (n = 1) Jtn Btn
Paritas V (n = 1) Jtn Btn
Total (n = 56) Jtn Btn
26
18
18
12
7
3
1
1
1
62
52
48,1
50,0
50,0
63,5
46,9
75,0
25,0
50,0
50,0
53,9
46,1
22
17
15
9
5
3
1
1
1
57
44
55,1
44,9
53,1
46,9
64,3
35,7
75,0
25,0
50,0
50,0
56,4
43,6
3,57
15,38
5,55
16,66
25,00
28,57
0
0
0
0
8,06
16,48
9,26
15,78
26,34
0
0
8,87
n = Menyatakan jumlah induk yang diamati. Komposisi Penjualan Ternak domba di Pedesaan Jtn = Jantan Btn = Betina
masing-masing di Desa Kalaparea, Citamiang (Kabupaten Sukabumi), dan Desa Kelurahan (Kabupaten Semarang). Kondisi tersebut mengalami perbedaan secara spesifik lokasi. Pada kondisi sapih bahkan persentase anak jantan lepas sapih meningkat proporsinya (56,4 vs 43,6%). Hal demikian menunjukkan bahwa anak jantan lebih memiliki daya tahan hidup sampai dengan sapih dibandingkan dengan anak betina. Mortalitas yang terjadi menunjukkan bahwa kematian anak mencapai rataan 8,87%, dimana kematian anak betina terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan anak jantan (16,48 vs 8,06%). Berdasarkan paritas induk menunjukkan bahwa ada kecenderungan semakin meningkat paritas induk, maka akan semakin meningkat kelahiran anak jantan. Penampilan induk paritas ke-IV dan ke-V sudah sulit ditemukan di lapangan sehingga sample kurang mewakili (n = 1). Kondisi demikian menggambarkan bahwa secara reproduksi kehadiran anak jantan cenderung lebih banyak dan diharapkan akan mendukung populasi domba jantan di pedesaan. Model pemeliharan yang dilakukan penduduk dalam usahaternak domba adalah model pembibitan (dipersiapkan untuk produksi anak). Hasil rekording penjualan ternak domba menunjukkan rataan penjualan mencapai 3,05 ekor/peternak/tahun (Tabel 4). Masih kecilnya jumlah penjualan tidak terlepas dari skala pemilikan induk yang selatif sedikit. Penjualan ternak dibedakan status fisiologis,
408
proporsi tertinggi terjadi pada ternak muda yang mencapai total 39 ekor (63%), yang disusul 14 ekor dewasa (22,95%) dan anak 8 ekor (13,11%) dari total penjualan. Hal tersebut karena ternak muda jantan umumnya dipersiapkan untuk lebaran haji, yang dijual ke pasar dan dibeli oleh peternak/pengusaha untuk dilakukan pembesaran sebagai persiapan ternak kurban. Sementara itu, penjualan betina muda umumnya dibeli dipersiapkan sebagai ternak bibit (persiapan replacement induk). Penjualan domba yang dilakukan mayoritas peternak adalah ternak jantan yang mencapai proporsi 80,32% dibandingkan dengan ternak betina yang hanya mencapai 19,69%. Penjulan ternak jantan terjadi pada ternak jantan dewasa dan anak yang masing-masing mencapai 100%, sedang ternak muda jantan mencapai 69,23% dan sisanya 30,77% penjualan ternak betina muda. Dari penjualan ternak di lokasi tersebut cenderung proporsi tertinggi adalah domba jantan (dewasa). Kondisi demikian dikhawatirkan akan terjadi proses pengurasan ternak jantan yang ada dalam suatu populasi tetentu. Terdapat kecenderungan ternak jantan yang bagus ikut terjual karena peternak mengejar perolehan harga yang tinggi sebagai pendapatan usaha. Apabila kondisi demikian tidak di kendalikan maka yang tinggal dalam populasi adalah domba jantan dengan kualitas rendah, dan kedepan akan menurunkan kualitas domba yang ada dalam kawasan populasi tertentu. Dalam mengatasi hal tersebut maka
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 4. Identifikasi penjualan ternak dibedakan berdasarkan status fisiologis, dan jenis kelamin pada kondisi peternakan rakyat Status fisiologis
Jenis kelamin (ekor)
Persentase
Total
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jumlah
Persen
Dewasa
14
-
100,00
-
14
22,95
Muda
27
12
69,23
30,77
39
63,93
Anak
8
-
100,00
-
8
13,11
Total
49
12
80,32
19,68
61
100
3,45
0,60
-
-
3,05
-
Rataan
strategi yang ditempuh adalah pengendalian penjualan domba jantan kualitas bagus, atau merombak sistem perkawinan dengan program IB dalam mendukung kualitas domba dalam kawasan. Semakin langkanya populasi domba jantan dalam suatu kawasan tertentu memberikan peluang program IB untuk dilakukan dalam mempertahankan kualitas ternak yang ada. Dengan IB semen cair populasi domba jantan unggul tidak banyak diperlukan dibandingkan dengan pada sistem perkawinan alami. Persepsi peternak tentang pejantan dan kelayakan IB
pentingnya
Hasil penelusuran persepsi yang dinyatakan peternak menunjukan bahwa alasan sebagian besar peternak melakukan penjualan domba jantan adalah karena domba jantan memiliki harga jual yang tinggi dibandingkan dengan domba betina (73,69%), disamping lebih mudah dalam melakukan penjualan karena banyak peminat (21,06%), dan karena sangat cocok sebagai persiapan korban (15,79%). Berdasarkan informasi, wilayah Kabupaten Cianjur adalah merupakan wilayah strategis dalam penyediaan hewan korban, disamping pejantan dipersiapan sebagai ternak bakalan untuk digemukkan. Wilayah tersebut sebagai pensuplai daerah Bogor dan Jakarta. Penjualan tertinggi terjadi pada saat bulan haji yang dinyatakan 100% peternak. Ada kecenderungan penjualan ternak jantan tersebut ditahan oleh peternak dan dilepas pada saat menjelang bulan haji, yang umumnya dilakukan pada peternak yang tidak terlalu terjepit kebutuhan, dengan pertimbangan harga jual meningkat mencapai 36%. Pada peternak yang relatif terbatas
ekonomi rumah tangganya, penjualan domba dilakukan pada saat peternak membutuhkan untuk menutup kebutuhan yang sifatnya mendadak, dan tidak dipengaruhi oleh faktor harga yang tinggi. Persepsi tentang status pemeliharan ternak jantan menunjukkan bahwa pemeliharaan domba jantan cukup menguntungkan dinyatakan 89,47% peternak. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan cepat dalam menjual (47,05%), harga lebih bagus dibandingkan dengan betina (41,17%), dan domba jantan cepat besar (11,76%) (Tabel 5). Sebaliknya sebagian kecil peternak (10,53%) menyatakan bahwa memelihara domba jantan merugikan karena membutuhkan pakan yang lebih banyak dibandingkan dengan domba betina. Faktor manajemen pemeliharaan adalah merupakan kendala dalam memutuskan pemeliharaan domba melalui pilihan domba jantan atau betina. Berdasarkan manajemen perkawinan dinyatakan sebagian besar peternak (78,94%) menyatakan terdapat kesulitan mengawinkan ternaknya karena tidak memiliki pejantan, disamping letak kandang jauh dengan tetangga. Sistem perkawinan yang dilakukan umumnya menggunakan pejantan dari tetangga, disamping pejantan sendiri bagi yang memiliki, dan sebagian kecil memilih mengawinkan dengan pajantan unggul yang di lokasi telah tersedia di kandang ketua kelompok. Persepsi peternak dalam memilih pejantan untuk perkawinan, cenderung memilih pajantan yang memiliki tanduk besar dibandingkan dengan postur tubuh yang bagus (52,63 vs 47,37%). Berdasarkan pertimbangan karena penjualan pajantan di lokasi cenderung dipersiapkan sebagai hewan korban, tidak untuk hewan potong (pedaging). Peternak cukup tertarik dengan progran IB (52,63%)
409
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel. 5. Persepsi peternak terhadap kelayakan program Inseminasi Buatan (n = 19 peternak) Peubah
n (persentase)
Keterangan
Harga lebih mahal
14 (73,69)
-
Kebutuhan korban
3 (15,79)
-
Lebih mudah transaksi
4 (21,06)
-
Kelebihan panjualan domba jantan
Penjualan tertinggi bulan haji Perbedaan harga
19 (100,0)
-
36% dibandingkan dengan hari biasa
(Rp. 400.000 – 625.000,0)
Persepsi pemeliharaan pejantan Menguntungkan
17 (89,47)
Harga bagus (41,17) Cepat terjual (47,05) Cepat besar (11,76)
2 (10,53)
Pakan banyak (100,0)
Ya
15 (78,94)
Tidak punya pejantan (39,47)
Tidak
4 (21,06)
Jauh tetangga (39,47)
Pejantan sendiri
5 (26,32)
-
Pejantan tetangga
10 (52,63)
-
Pajantan unggul
4 (21,05)
-
Postur tubuh bagus
9 (47,37)
-
Memiliki tanduk
10 (52,63)
-
Tidak tertarik
5 (26,32)
-
Belum tahu
4 (21,05)
-
Tertarik perbaikan genetik
10 (52,63)
-
Merugikan Kesulitan perkawinan
Sistem perkawinan
Pejantan yang dikehendaki
Tertarik dengan IB
dalam rangka memperbaiki genetik domba, dan sebagian kecil lainnya belum tidak tahu tentang program IB (21,05%), dan (26,32%) bahkan tidak memerlukan program tersebut karena dirasakan perkawinan tidak menjadikan kendala. Dari kajian reproduksi dan kasus penjualan penjantan yang sangat tinggi ada indikasi keberadaan domba jantan yang terkuras, disamping keluhan perkawinan, maka program IB memiliki peluang untuk dilakukan pada kondisi spesifik wilayah Pengamatan terhadap pasar hewan Cianjur Pasar hewan Cikaret adalah merupakan pasar hewan terbesar di Kabupaten Cianjur,
410
dan merupakan satu-satunya pasar hewan yang mampu mendukung penyediaan hewan keluar kota (khususnya domba). Pasar hewan tersebut bertransaksi 2 hari dalam satu minggu yakni pada hari Senin dan Kamis (jam 05.00 – 13.00), tetapi pada 10 hari menjelang raya korban dilakukan transaksi setiap hari bahkan sampai dengan malam hari. Kondisi pasar hewan tersebut kurang memenuhi persyaratan pasar hewan karena memiliki atap, tetapi hanya dikelilingi pagar pelingkar saja (pembatas) walaupun kapasitas tampung cukup besar dan ramai. Ternak yang dipasarkan di pasar hewan tersebut umumnya 70% domba, 20% kambing, dan 10% ternak kerbau dan sapi Transaksi ternak domba cukup tinggi karena Kabupaten Cianjur sendiri adalah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
sebagai julukan kantong wilayah ternak domba. Transaksi keluar wilayah meliputi kota Jakarta (Pulo Gadung dan Tanah Abang), Serang, Bekasi, Rangkas Bitung, Tanggerang, Bogor (Cicurug, Cisarua dan Cileungsi), dan sampai ke lokasi Pandeglang pada saat lebaran Haji. Jalur pemasaran ternak domba yang ada dapat digambarkan sebagai berikut: (30 kecamatan) Peternak Tengkulak Bandar Cianjur Pasar Bandar luar kota (dikirim keluar kota) Berdasarkan hasil pengamatan transaksi domba pada hari-hari biasa mencapai 400 ekor/hari, sedangkan pada hari raya korban mencapai 750 – 1000 ekor, akibat permintaan yang meningkat tajam. Terdapat pedagang yang mengambil ternak domba untuk di gemukkan (jantan bakalan) di Cicurug yang melakukan pembelian rutin tiap pasaran 100 – 200 ekor (Senin - Kamis) yang digemukkan dan dipasarkan untuk kebutuhan super market. Komposisi ternak berdasarkan jenis kelamin adalah 90% domba jantan dan hanya 10% betina (1 bulan menjelang lebaran haji), sedangkan 10 hari menjelang lebaran mencapai 700 – 1000 ekor transaksi dan 100% domba jantan. Ditinjau dari tingkat harga yang berlaku di pasar menunjukkan bahwa peningkatan harga mencapai 50 – 75% dibandingkan dengan harga pada saat hari-hari biasa. Pedagang dari luar kota cenderung mengeruk keuntungan yang sangat tinggi, dimana pada saat musim lebaran haji pedagang membeli domba jantan sebesar Rp. 1.250.000/ekor, dapat dijual sekitar Rp. 2.000.000. Dengan melihat transaksi yang terjadi di pasar hewan, menggambarkan bahwa transaksi sangat tinggi terjadi pada domba jantan. Hal demikian dalam jangka panjang akan terjadi pengurasan pejantan. Antisipasi kondisi tersebut perlu dilakukan dalam menjaga kualitas domba di lokasi.
pada pola usaha pembibitan, tetapi skala pemilikan induk relatif kecil dan belum memenuhi skala ekonomi. Penampilan reproduksi menunjukkan proporsi kelahiran yang terjadi cenderung kelahiran anak jantan dibandingkan dengan anak betina, dan sampai kondisi sapih. Dilihat dari mortalitas yang terjadi banyak terjadi pada anak betina, sehingga proporsi anak jantan lepas sapih cenderung meningkat. Kondisi demikian menggambarkan bahwa peluang keberadaan ternak jantan lebih tinggi dalam populasi. 2. Sebaliknya dilihat dari kasus penjualan domba yang dilakukan peternak bahwa penjualan domba jantan adalah paling tinggi dibandingkan dengan domba betina (80,32 vs 19,68%). Hal tersebut terjadi karena beberapa pertimbangan yakni harga jual yang lebih tinggi, cepat dalam proses pemasaran, dan sebagai persiapan domba korban maupun penggemukan (bakalan). Hal tersebut dikhawatirkan terjadi pengurasan domba jantan, dan kenyataan yang masih tertinggal hanya pejantan kualitas rendah, yang berdampak terhadap kesulitan dalam sistem perkawinan sehingga kualitas di pedesaan semakin menurun. Hal yang sama dari pengamatan transaksi di Pasar Hewan yang juga dominan ternak jantan yang banyak ditransaksikan, khususnya pada saat lebaran Haji, karena lokasi wilayah cukup strategis dalam mendukung kebutuhan konsumen (Jabotabek). 3. Dengan pertimbangan diatas maka kelayakan program IB domba di pedesaan, khususnya diwilayah kantong ternak bibit cukup memiliki prospek, tertapi perlu dikaji tentang strategi operasional dilapangan, agar program tersebut dapat dicapai baik efiensi teknis maupun ekonomis.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dari hasil pengamatan tentang studi kelayakan program IB ternak domba dengan mempelajari sistem usaha ternak pada kondisi pedesaan dan pasar hewan dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada kondisi pedesaan terlihat bahwa usaha ternak yang dilakukan adalah mengarah
ADIATI, U., SUBANDRIYO, B. TIESNAMURTI, B. SETIADI, D. PRIYANTO, P. SITUMORANG, E. TRIWULANINGSIH, D.S. KUSUMANINGSIH dan R.S.G. SIANTURI. 2005. Pengaruh Konsentrasi Progesteron yang Diberikan dalam Spon Terhadap Persentase Berahi Ternak Ruminansia Kecil. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2005. Balai Penelitian Ternak.
411
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
DINAS PERIKANAN DAN PETERNAKAN. 2004. Laporan Tahunan, Dinas Perikanan dan Peternakan. Pemerintah Kabupaten Cianjur. PRIYANTO, D. dan D. YULISTIANI. 2005. Estimasi dampak ekonomi penelitian partisipatif penggunaan obat cacing dalam peningkatan pendapatan peternak domba di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku I. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 512 – 520. PRIYANTO, D., M. MARTAWIDJAJA dan B. SETIADI. 2004. Analisis kelayakan usahaternak kambing lokal pada berbagai skala pemilikan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 433 – 442.
412
PUSLITBANG PETERNAKAN. 1993. Penelitian pengembangan pemuliaan domba prolifik di pedesaan. Laporan hasil penelitian. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian (P4N), bekerjasama dengan Puslitbang Peternakan. Bogor SETIADI, B. D. PRIYANTO, SUBANDRIYO, dan N.K. WARDHANI. 1998. Pengkajian pemanfaatn teknologi Inseminasi Buatan terhadap kinerja reproduksi sapi Peranakan Ongole di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid II. Puslitbang Peternakan, Bogor. WATTIAUX, M.A. 1995. ”Reproduction and Genetic Selection” Technical Dairy Guide, Univercity of Wisconsin.