Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PEMETAAN DISTRIBUSI TERNAK DOMBA BERDASARKAN RUMPUN DAN AGROEKOSISTEM DI KABUPATEN CIANJUR (Sheep Distribution Based on Breed and Agroecosystem in Cianjur Regency) E. JUARINI1, SUMANTO1, B.WIBOWO1 dan SURATMAN2 2
1 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor
ABSTRACT Research on sheep distribution was conducted in Cianjur Regency of West Java Province. Mapping of sheep breeds were done on village bases. Grouping of commodities of animal were madem corresponding to the agroecosystems condition for continous development. Result showed that there are 3 breeds of Sheep in Cianjur district : Garut (4%), local (83%) and Garut cross bred (13%). Among 30 subdistrict, 10 Subdistricts have a criteria of “high density of Sheep” (Cugenang, Sukanagara, Takokak, Sindangbarang, Agrabinta, Naringgul, Campaka mulya, Gekbrong, Leles and Kadupandak). Generally, sheep management is still under traditional condition, only Garut Sheep farmers have a good management. The average of body weight of Garut breed was higher than crossbred or local breed (45 vs 35 vs 20 kg). It was concluded that the mapping of sheep distribution and economic index showed that sheep husbandry can be improved under local resources although the productivity of sheep under villages condition was generally still inferior Key Words: Sheep, Mapping, Distribution ABSTRAK Dalam upaya untuk membantu pemerintah menyusun program pembangunan peternakan yang berkelanjutan, Balai Penelitian Ternak melaksanakan penyusunan peta distribusi menurut spesies ternak. Pengamatan pola penyebaran domba dilakukan di wilayah kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pengamatan dilakukan dengan membuat peta potensi dan distribusi domba di seluruh kabupaten Cianjur dengan basis desa, serta melaksanakan observasi lapang untuk mengetahui rataan sifat biologik domba menurut jenis/rumpun domba. Pewilayahan komoditas dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi agroekosistem untuk pengelolaan plasma nutfah domba yang berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada 3 rumpun domba di Kabupaten : Cianjur : Garut 4%, lokal 83% dan persilangan lokal 13% dari 30 kecamatan di kabupaten Cianjur; wilayah dengan kriteria “padat domba” terdapat di 10 kecamatan berturut-turut di kecamatan Cugenang, Sukanagara, Takokak, Sindangbarang, Agrabinta, Naringgul, Campaka mulya, Gekbrong, Leles dan Kadupandak. Pola pemeliharaan masih bersifat tradisional, hanya pada peternak domba Garut pola pemeliharaan sudah memperhatikan manajemen pemeliharaan yang lebih baik. Rataan bobot badan dewasa domba Garut lebih tinggi dibanding domba persilangannya maupun domba lokal (45 vs 35 vs 20 kg). Warna dominan domba Garut yang dipelihara peternak adalah tersebar antara putih dan hitam (45 vs 50 %), domba persilangan dan domba lokal lebih banyak putih (57 dan 82%). Kata Kunci: Distribusi, Domba, Pemetaan
PENDAHULUAN Meningkatnya komersialisasi usahatani dan program pemuliaan serta komunikasi global akan mendorong dominansi populasi spesies/ rumpun/galur ternak unggul/impor yang lambat laun dapat menekan populasi bangsa ternak
546
lokal yang dianggap kurang mempunyai nilai ekonomis tinggi saat ini. Pengurasan sumberdaya ternak lokal perlu diwaspadai karena bibit (unggul) ternak masa kini yang dibentuk melalui program pemuliaan dan atau bioteknologi merupakan “rakitan” plasma nutfah yang merupakan bibit unggul masa lalu.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Bahwa bibit unggul ternak yang ada sekarang pada dasarnya dibentuk melalui “perakitan” dari bahan baku (plasma nutfah) yang merupakan bibit unggul masa lalu. Apabila suatu plasma nutfah punah, kita tidak dapat membentuknya kembali, padahal, kita belum menguasai sepenuhnya potensi genetik yang dikandungnya. Oleh karena itu pemahaman pelestarian sumberdaya ternak harus dihubungkan dengan pemahaman alam dan kemungkinan perubahan di masa mendatang yang diyakini bahwa sumberdaya tersebut akan mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Pelestarian keanekaragaman sumberdaya ternak akan selalu diperlukan dalam pelestarian sumberdaya ternak dimasa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun peta penyebaran sumberdaya genetik domba menurut agroekosistem dan wilayah administrasi sebagai salah satu masukan untuk mengelola sumberdaya ternak secara berkelanjutan. Pada umumnya reproduktivitas domba Indonesia tidak dipengaruhi oleh musim, sebab perbedaan siang dan malam hari sangat kecil sekali. Dengan demikian maka peternak mempunyai kesempatan untuk mengawinkan ternaknya sepanjang tahun dan selang beranak yang pendek. Hasil penelitian INIGUEZ et al. (1991c) menunjukkan bahwa kisaran selang beranak domba ekor tipis Sumatera adalah 160 – 260 hari, dengan rataan 201 ± 30 hari atau beranak 1,82 kali per tahun. MATERI DAN METODE Penyusunan peta distribusi sumber daya genetik domba dilaksanakan di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kegiatan dilaksanakan dengan melakukan desk study dan pengamatan lapang dengan melalui penelusuran kinerja plasma nutfah domba di kabupaten Cianjur. Identifikasi dan karakterisasi biologik dilakukan melalui penelusuran informasi pustaka maupun lapangan melalui kerjasama dengan dinas peternakan setempat. Informasi yang dikumpulkan meliputi populasi, tatalaksana pemeliharaan, kondisi agroekosistem, dan
penyebaran di daerah yang digambarkan dalam peta wilayah setempat. Kegiatan penelitian diawali dengan persiapan yang meliputi pembuatan daftar pertanyaan dan daftar isian terkait dengan ukuran morphologik dan distribusi domba menurut wilayah (kecamatan). Kumpulan informasi sumberdaya ternak-ternak yang diperoleh dirangkum dalam suatu “peta” menurut wilayah administrasi yang terbuka untuk updating sesuai perubahan populasi, distribusi dan sifat-sifat unik (ASHARI et al., 1996). Sedang kondisi agroekosistem menggambarkan potensi sumberdaya. Oleh karena keberadaan ternak domba di suatu wilayah tidak terlepas dengan subsektor lainnya dalam suatu ekosistem, maka pendekatan analisis agroekosistem akan berguna untuk membantu kelestarian populasi ternak di wilayah yang bersangkutan. Agroekosistem didefnisikan sebagai ekosistem yang terbentuk oleh adanya kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan akan pangan dan serat-seratan melalui kegiatan pertanian. HASIL DAN PEMBAHASAN Wilayah administrasi, sebaran domba dan agroekosistem Kabupaten Cianjur.—Kabupaten Cianjur terdiri dari 30 kecamatan dan sebagian besar wilayahnya merupakan lahan kering dengan peruntukan tegalan, perkebunan dan kehutanan. Kabupaten Cianjur dibatasi oleh Kabupaten Bogor dan Purwakarta disebelah Utara; Kabupaten Bandung dan Garut di sebelah Timur; Kabupaten Sukabumi di sebelah Barat. Hasil pemetaan (Gambar 1) menunjukkan bahwa wilayah persawahan terletak Cianjur bagian utara, wilayah kehutanan terletak di bagian Timur Selatan, wilayah kebun dan tegalan menyebar secara spot-spot di seluruh kecamatan (KAB. CIANJUR DALAM ANGKA, 2006). Tabel 1 menyajikan presentase bangsa-bangsa domba di masingmasing kecamatan di Kabupaten Cianjur.
547
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Gambar 1. Peta sebaran rumpun domba di Kabupaten Cianjur
548
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 1. Persentase populasi bangsa domba per Kecamatan di Kabupaten Cianjur Kecamatan
Garut
Silangan
Lokal
Cianjur Warungkondang
13,8
-
56,1
13,1
17,9
69,0
Cibeber
0,6
20,9
78,5
Mande
-
1,1
98,9
Pacet
20,7
46,5
32,8
Cugenang
13,9
26,3
59,8
Sukaresmi
9,1
10,5
80,4
Gekbrong
26,6
38,8
34,6
Cipanas
17,0
43,3
39,7
-
17,2
82,8
Cijati Kecamatan lain
100
Daerah persawahan di dominasi oleh tanaman padi dan palawija, daerah tegalan dan kebun di dominasi tanaman palawija, sayuran, dan hortikultura. Sedang daerah kehutanan, merupakan tanaman campuran. Tataguna lahan tersebut juga menggambarkan ketersediaan pakan utama untuk usaha ternak domba. Daerah persawahan yang utamanya menghasilkan jerami padi dapat pula dijadikan sebagai sumber pakan asal sudah melalui teknologi pengkayaan nilai nutrisinya. Sedang daerah tegalan merupakan daerah sumber pakan domba. Dari populasi domba sekitar 220. 649 ekor (DINAS PETERNAKAN KAB. CIANJUR, 2007, STATISTIK PETERNAKAN KABUPATEN CIANJUR, 2007). Di Kabupaten Cianjur, 83,49% merupakan rumpun domba lokal. 3,9% domba Garut dan 12,6% domba persilangan. Pada umumnya domba ini dibudidayakan peternak dengan skala usaha 4 – 8 ekor per rumah tangga. Berdasarkan kepadatan (indek) ekonomi (jumlah domba per 1000 orang), hasil perhitungan menunjukkan bahwa di daerah Selatan, indek ekonomi sebesar >5 ekor domba per 1000 penduduk dan makin ke Utara makin rendah indeknya (<3 ekor domba per 1000 penduduk). Apabila dihubungkan dengan tataguna lahan, menunjukkan daerah persawahan indek ekonominya makin rendah. Hal ini juga terkait dengan ketersediaan pakan dan ketersediaan tenaga kerja. Alokasi tenaga kerja penduduk di daerah persawahan untuk usahaternak domba relatif kecil karena sudah termanfaatkan untuk usahatani sawah.
Terkait dengan ketersediaan tenaga kerja dan pakan alami, program pengembangan domba memang sebaiknya diarahkan untuk wilayah Cianjur Selatan. Makin tinggi indek ekonomi (kepadatan ekonomi) relatif juga menunjukkan makin tinggi pula kepadatan ternak per satuan wilayah.. Tetapi yang jelas bahwa populasi terkait dengan jumlah penduduk, atau skala usaha tetap kecil. Secara rinci sebaran populasi domba menurut indek ekonomi tertera dalam (Tabel 2). Sistem pemeliharaan pada umumnya dikandangkan dengan sistem pemberian pakan secara potong angkut (cut and carry) dan sebagian lagi di lepas pada siang hari. Kandang domba pada umumnya kandang panggung. Jenis pakan hijauan yang umum diberikan adalah rerumputan dan sebagian kecil berupa dedaunan. Kadang-kadang diberi pakan konsentrat yang berupa dedak padi. Beberapa program pemerintah yang terkait dengan pengembangan domba di Kabupaten Cianjur diantaranya program perbibitan melalui teknologi inseminasi buatan, introduksi domba Garut melalui program bagi hasil dan persilangan dengan domba lokal (antara domba Garut dengan domba lokal serta antara domba Komposit dengan domba lokal). Program ini dikaitkan dengan pemberdayaan kelompok peternak. Berdasarkan kepadatan ternak, daerah padat domba terdistribusi di 10 kecamatan, berturut turut di kecamatan Ciranjang, Cugenang, Sukanegara, Takokak, Sindangbarang, Agrabinta, Naringgul, Campakamulya, Gekbrong, dan kecamatan Leles.Tabel 3 menyajikan rentang jumlah populasi dan kepadatan ekonomi masingmasing jenis domba per desa di Kabupaten Cianjur. Rumpun domba di Kabupaten Cianjur Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa domba-domba yang terdapat di kabupaten Cianjur dapat dikelompokkan menjadi tiga “rumpun” yakni domba Garut, domba persilangan, dan domba lokal ekor tipis. Domba Garut dicirikan dengan bentuk tubuh, tanduk, muka, telinga, dan ekor. Domba Garut biasanya mempunyai bentuk tubuh yang “gagah” (bagian depan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian belakang), tanduk
549
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 2. Sebaran populasi domba pada setiap Kecamatan di Kabupaten Cianjur Kecamatan Cianjur Warungkondang Cibeber Cilaku Ciranjang Bojong Picung Karang Tengah Mande Sukaluyu Pacet Cugenang Cikalong Kulon Sukaresmi Sukanagara Campaka Takokak Kadupandak Pagelaran Tanggeung Cibinong Sindang barang Agrabinta Cidaun Naringgul Campaka mulya Cikadu Gekbrong Cipanas Cijati Leles Total
Luas wilayah (ha)
Jumlah penduduk (jiwa)
Populasi domba (ekor)
2.377.451,00 4.893.946,00 4.262.613,31 2.737,01 1.777.801,84 12.531,00 6.190.222,00 3.332.468,00 1.023.594,04 4.604,00 6.696,00 8.182.163,11 9.339,86 16.567,00 14.406,00 1.690,00 9.661,00 12.821,00 12.064,00 24.716,00 154.040,00 18.552,00 19.625,00 22.890,00 5.611,00 22.469,00 6.903,00 4.826,60 4.042,00 9.585,30 324.222,07
143.504 58.936 116.619 87.868 84.581 106.085 131.704 63.271 65.841 86.751 89.708 86.418 73.437 45.562 46.842 24.366 48.953 25.478 62.896 60.435 48.905 39.468 62.618 40.286 25.336 35.284 48.054 97.987 31.020 34.809 1.973.022
860 2.750 6.319 2.096 3.666 4.730 4.333 4.719 2.975 1.248 9.692 2.036 3.013 17.862 12.869 13.100 7.723 2.912 4.932 5.681 11.781 19.069 3.245 35.450 6.800 6.717 9.504 1.086 333 15.221 220.649
(pada yang jantan) melingkar dan relatif besar, muka agak cembung, telinga kecil, dan pangkal ekor lebih lebar (INIQUEZ et al.., 1991; DEVENDRA dan MCLEROY, 1992). Sedang domba lokal ditandai dengan tipe telinga sedang sampai panjang, tubuh relatif kecil, punggung rata, muka rata, dan bulu penutup tubuh campuran antara rambut dan wool kasar. Salah satu ciri yang membedakan dengan domba Garut adalah bentuk ekornya. Pada umumnya domba lokal berekor pipih sedang domba Garut mempunyai pangkal ekor yang
550
agak tebal dengan ujung runcing. Bentuk ekor ini terkait dengan sejarah bahwa domba Garut merupakan persilangan antara domba lokal dengan domba ekor gemuk dan domba Merino yang terjadi pada jaman pendudukan Belanda. Sedang yang dimaksud dengan persilangan adalah persilangan antara domba lokal dengan domba Garut atau domba lainnya yang diintroduksikan di lokasi pengamatan. Balai Penelitian Ternak telah melaksanakan introduksi domba Komposit di Kabupaten Cianjur melalui teknologi inseminasi buatan.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 3. Populasi dan Jenis bangsa domba per Kecamatan di Kabupaten Cianjur Kecamatan Cianjur
Selang populasi per desa (ekor)
Bangsa domba
Rataan skala usaha (ekor)
Jumlah desa
Rataan kepadatan ekonomi
28 - 212
3
3
11
5,9
Warungkondang
97 - 328
3
3–5
11
46,6
Cibeber
121 - 742
3
3–5
11
54,2
Local
3–5
9
23,8
Cilaku Ciranjang Bojong Picung
> 500
lokal
tad
>5
11
43,3
3–5
16
44,5
Karang Tengah
tad
lokal
3–5
16
32,9
Mande
tad
2
3–5
11
74,5
Sukaluyu
tad
lokal
>3
10
45,2
Pacet
tad
3
> 33
7
14,4
Cugenang
tad
3
3–5
16
108,0
Cikalong Kulon
tad
lokal
tad
15
23,5
Sukaresmi
tad
3
3–5
11
41,0
Lokal
>5
10
391,7
Sukanagara
844 – 2369
Campaka
844 – 1682
lokal
3–5
11
274,7
Takokak
844 – 2247
lokal
3–>5
9
537,7
Kadupandak
251 – 840
lokal
3–>5
11
157,8
Pagelaran
75 – 186
Lokal
>3
13
114,3
Tanggeung
251 – 353
Local
3–5
16
78,4
Cibinong
341 – 641
lokal
3–5
11
94,0
Sindangbarang
615 – 2108
lokal
<3
9
240,9
Agrabinta
1143 – 1934
Lokal
>3
8
483,1
Cidaun
115 – 478
Lokal
>3
13
51,8
Naringgul
1480 – 3950
Lokal
>5
10
879,9
Campaka Mulya
967 – 1784
Lokal
>5
5
268,4
Cikadu
569 – 067
lokal
3–5
9
190,4
4578 – 6512
3
>5
8
197,6
Gekbrong Cipanas
84 – 239
3
>3
7
11,1
Cijati
352 – 1025
2
3–5
9
10,7
Leles
701 – 1975
lokal
3–5
10
437,4
Alternatif pengembangan domba di Kabupaten Cianjur Skala Usaha.—Didalam mencapai tujuan produksi yang jelas, maka skala usaha menjadi masalah yang perlu dipertimbangkan berdasarkan sumber daya petani. Skala usaha peternakan domba hanya mencapai rataan 3 – 4 ekor dalam suatu keluarga usahatani dan sering
dianggap bahwa skala usaha ini sulit diubah untuk mencapai tingkat produksi yang optimum (DJAJANEGARA, 1991; LEVINE et al., 1988; SETIADI et al., 1995). Pada skala usaha ini sebetulnya para petani belum mengoptimalkan alokasi waktu dari tenaga kerja keluarga yang terlibat, sehingga penerimaan yang diperoleh relatif sedikit dan hanya merupakan usaha dengan tujuan untuk tabungan.
551
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Didalam menghadapi sistem pendekatan usahatani yang berorientasi agribisnis, skala usaha tersebut perlu diubah karena hal ini tidak dapat menjamin kontinuitas penawaran dalam memenuhi permintaan, disamping tuntutan kualitas yang baik. Strategi pengembangan usaha yang diperlukan bagi para petani untuk menghasilkan produk yang optimal adalah melalui penerapan teknologi seperti mengeksploatasi kemampuan reproduksi ternak domba yang tidak ditentukan oleh musim (non seasonal breeder), sehingga dapat menjamin selang beranak ternak hanya sebesar 7 – 8 bulan (SETIADI, 2000). Skala usaha minimal yang diusulkan terdiri dari 8 ekor induk dengan satu ekor pejantan, dimana induk harus dapat segera dikawinkan kembali setelah melahirkan. Target utama yang ingin dicapai pada skala usaha ini adalah efisiensi usaha peternakan domba dimana kelompok petani harus dapat memasarkan ternak dombanya secara teratur dalam selang waktu tertentu, sehingga dapat menjamin keteraturan pendapatan yang layak dan dapat diterima secara rutin. Sudah jelas bahwa hal ini memerlukan perbaikan teknologi seperti tatalaksana pemberian pakan, pencegahan penyakit, tatalaksana perkandangan dan penggunaan bibit domba yang unggul. Alternatif skala usaha lainnya yang diusulkan pada model pengembangan usaha peternakan domba ini adalah pemeliharaan dengan 12 ekor induk dengan satu ekor pejantan (DJAJANEGARA, 1992). Peningkatan jumlah ternak yang dipelihara diharapkan secara nyata akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Disamping itu, dengan skala usaha yang optimum sesuai dengan daya dukung alam dan kemampuan petani diharapkan dapat merubah sikap petani terhadap tipologi usahatani dari yang hanya usaha sambilan menjadi suatu cabang usaha maupun usaha pokok. Pada skala usaha seperti tersebut diatas diperlukan sejumlah petani seperti di bawah ini: a. skala usaha 8 ekor induk (+1 ekor pejantan) melibatkan 56 orang petani, atau b. skala usaha 12 ekor induk (+1 ekor pejantan) melibatkan 37 orang petani. Petani-petani yang terlibat di dalam pengembangan usaha peternakan domba ini sebaiknya bergabung dalam kelompok petani.
552
Kelompok peternak mutlak diperlukan untuk mengatasi kesulitan dalam pengelolaan ternak. Sebagai contoh misalnya satu kelompok peternak yang terdiri dari 8 orang dan memiliki 30 – 40 ekor ternak betina diberikan 2 ekor pejantan unggul, dengan sistem rotasi yang teratur setiap peternak mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan pejantan tersebut selama 3 bulan. Sarana kelompok petani senantiasa dapat dipergunakan sebagai suatu wadah organisasi kelembagaan yang dapat memacu kerjasama efektif baik secara hubungan horizontal maupun vertikal. Berdasarkan standar pasokan dua ekor ternak siap jual (umur 8 bulan), efisiensi reproduksi dan ternak pengganti (replacement) maka induk yang dibutuhkan per paket adalah sebanyak 444 ekor. 444 domba induk dan 30 pejantan per paket pola pengembangan, kemudian didistribusikan ke peternak kooperator dengan skala usaha (jumlah induk) masing-masing 8 dan 12 induk. Pengelompokan jumlah induk didasarkan pada ketersediaan sumberdaya yang dimiliki peternak. Ketersediaan sumberdaya (lahan) sebagai basis penyediaan pakan berhubungan dengan kondisi agroekositem wilayah. Di Kabupaten Cianjur pengelompokan kondisi agroekosistem menurut hierarki-nya diantaranya terdiri lahan tegalan, lahan sawah, perkebunan maupun berdasarkan ketinggian tempat. Pada lahan sawah dengan pola tanam intensif, skala usaha 8 ekor induk/peternak cukup memadai, meningkatnya skala usaha akan menyebabkan rendahnya produktivitas ternak. Hal ini disebabkan kemampuan peternak menyediakan hijauan akan sangat terbatas. Pada wilayah dengan basis agroekosistem lahan tegalan dataran sedang/tinggi skala usaha yang diintroduksikan dapat berkisar 12 ekor/ peternak. Pertimbangan ini didasarkan pada "peluang" pemanfaatan lahan untuk budidaya hijauan pakan ternak. Bahkan dengan pemanfataan lahan untuk tanaman pakan ternak mempunyai nilai tambah terhadap konservasi lahan. Skala usaha sekitar 12 ekor induk/peternak dapat pula diintroduksikan pada wilayah perkebunan (karet, kelapa) Didasarkan pada rataan selang beranak delapan bulan maka penerimaan peternak per bulan yang memelihara 8 ekor induk berkisar 1 – 1,5 ekor per bulan. Berdasarkan perhitungan 2,0 ekor anak sapih/induk/tahun maka selama
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
satu tahun dihasilkan 16 ekor anak sapih. Kemudian diasumsikan laju mortalitas pasca sapih sebesar 5% maka dalam waktu satu tahun dapat dipasarkan sebanyak 15 ekor. Peternak yang memelihara 12 ekor induk dapat memasarkan sebanyak 22 – 23 ekor/tahun. Pakan ternak. —Penyediaan pakan yang memenuhi standar produksi merupakan faktor pembatas yang cukup penting bagi kelangsungan usaha peternakan domba. Oleh karena itu disyaratkan bagi peternak penerima "bantuan" ternak domba untuk membudidayakan tanaman pakan ternak introduksi yang terdiri dari jenis rerumputan dan leguminosa (pohon). Pada wilayah dengan dominansi lahan tegalan/perkebunan/kehutanan, anjuran penanaman hijauan pakan ternak berpeluang besar dapat dilaksanakan. Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa ternak domba dapat berproduksi pada keterbatasan sumberdaya, namun untuk tujuan usaha (manfaat ekonomik), perlu diupayakan suatu input teknologi yang dapat meningkatkan keuntungan. Dari beberapa zat makanan yang
terkandung dalam bahan pakan, energi dan protein merupakan unsur penting untuk diperhatikan dalam ransum yang akan diberikan pada ternak domba dan cara pemberiannya untuk ternak domba, perlu mendapat tekanan pada energi dan protein ransum. Telah banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan berenergi rendah dapat menimbulkan akibat yang merugikan ternak seperti kemunduran pertumbuhan dan penurunan produksi. Dari gambaran tatalaksana pemberian pakan, efisiensi produksi sebagian besar tergantung pada cara pemberian pakan, tingkat tatalaksana pemberian pakan dan ketersediaan gizi untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan efisiensi tatalaksana pemberian pakan adalah dengan mempelajari tabiat makan, fungsi saluran pencernaan dan pemanfaatan zat-zat makanan. Tabel 4 menyajikan perbandingan tingkah laku makan dan fisiologi saluran pencernaan ternak kambing dan domba.
Tabel 4. Perbandingan tingkah laku makan domba dan kambing Karakter Aktivitas Cara makan Daun semak dan pohon Pakan yg terdiri dari berbagai jenis Kemampuan merasa Tingkat sekresi ludah Konsumsi bahan kering Untuk pedaging Untuk menyusui Efisiensi pencernaan hijauan kasar Waktu penyimpanan pakan dalam pencernaan Konsumsi air/satuan konsumsi pakan (bahan kering) Efisiensi pemakaian air Kecepatan penggunaan lemak selama waktu kekuranganpakan Dehidrasi Kotoran Air kencing Tanin
Kambing
Domba
Berdiri dengan dua kaki dan berjalan Berjalan dengan jarak lebih dengan jarak lebih jauh dekat Pemakan semak dan lebih memilih Pemakan rumput dan kurang memilih Sangat suka Kurang suka Suka memilih Kurang memilih Lebih tajam Kurang tajam Lebih besar Sedang 3% dari bobot badan 4 – 6% dari bobot badan Lebih efisien Lebih lama
3% dari bobot badan 3% dari bobot badan Kurang efisien Lebih pendek
Lebih rendah
Lebih tinggi
lebih efisien Lebih nyata
Kurang efisien Kurang nyata
Sedikit air yang hilang Lebih pekat Lebih tahan
Relatif banyak air yang hilang Kurang pekat Kurang tahan
553
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tatalaksana pemeliharaan.—Sistem perkawinan memperhatikan faktor efisiensi usaha adalah dengan sistem all-in all-out. Pada sistem ini induk-induk (untuk 8 induk per peternak) dicampur dengan pejantan selama 2 3 periode berahi (1 – 2 bulan). Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi disarankan apabila selama 2 - 3 periode berahi, induk yang tidak menunjukkan tanda-tanda bunting agar segera diganti. Dianjurkan pola perkawinan serentak untuk mengatur pola kelahiran dan memudahkan tatalaksana pemeliharaan. Sistim pemeliharaan (dikandangkan/dilepas) sebaiknya disesuaikan dengan kondisi wilayah (agroekosistem). Pada wilayah yang didominansi areal perkebunan (karet/kelapa), sistim pemeliharaan dengan cara melepas dan diaritkan adalah cukup efisien. Program pengendalian penyakit perlu dilaksanakan secara teratur. Kenyataan menunjukkan bahwa pemberian obat cacing secara teratur setiap tiga bulan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. KESIMPULAN Hasil pengamatan lapang yang dilaksanakan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dapat disimpulkan sebagai berikut: Di Kabupaten Cianjur trerdapat 3 bangsa domba: yaitu Garut (4%), persilangan (13%) dan lokal (83%). Peta sebaran populasi dan kepadatan (indek) ekonomik ternak domba menunjukkan bahwa usahaternak domba masih dapat dikembangkan sesuai ketersediaan sumberdaya yang ada dengan memperhatikan keberlanjutannya. DAFTAR PUSTAKA ASHARI, E. JUARINI, SUMANTO, B. WIBOWO, SURATMAN dan K. DIWYANTO. 1996. Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. 5. Karakteristik Kriteria Nilai Potensi dan Penyusunan Peta Potensi Pengembangan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
554
BADAN PUSAT STATISTIK. 2007. Kabupaten Cianjur Dalam Angka Tahun 2006. BADAN PUSAT STATISTIK. 2007. Statistik Peternakan Kabupaten Cianjur Tahun 2006. DINAS PETERNAKAN KABUPATEN CIANJUR. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Cianjur 2007. DJAYANEGARA, A. 1991. Produktivitas ternak kambing skala ekonomi. Pros. Seminar Pengembangan Peternakan dalam menunjang ekonomi Nasional. Fak, Peternakan UNSUD. Purwokerto. DJAYANEGARA, A. 1992. Industrialisasi Usaha Ternak Domba dan Kambing dalam “Domba dan kambing untuk kesejahteraan masyarakat” ISPI, HPDKI, Bogor HEYWOOD, V.H. dan R.T. WATSON. 1995. dalam Untung, K. 1998. Perkembangan implementasi CBD di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Sarasehan dan Studium Generale di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Komisi Nasional Plasma Nutfah, 2 – 3 September 1998. INIGUEZ, L.C., M. SANCHEZ and S. GINTING. 1991. Productivity of Sumatran sheep in a System Integrated with Rubber Plantation. Small Ruminant Research 5: 303 – 317. LEVINE, J., U. KUSNADI, SUBIHART, WILUTO dan dan D. PRAMONO. 1988. Sistem Produksi Ruminansia di daerah hulu Das, Jratun Seluna jawa Tengah. Proc. Workshop Pengembangan Peternakan di Jawa Tengah. Balai Informasi Pertanian, Ungaran. SETIADI, B., SUBANDRIYO and I.C. INIQUEZ. 1995. Productive Preformance of Small Ruminant. In an Outreach Pilot Project in West Java. JITV. SETIADI, B., SUBANDRIYO, I. INOUNU, I K. SUTAMA, M. MARTAWIDJAYA, D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, L. PRAHARANI dan B. TIESNAMURTI. 2000. Evaluasi Peningkatan Produktivitas Kambing Persilangan. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2000. Balai Penelitian Ternak, Bogor.