FENOMENA ALKALINURIA DAN HIPOSTENURIA PADA KELOMPOK TERNAK DOMBA GARUT DI BALAI PENGEMBANGAN PERBIBITAN TERNAK DOMBA MARGAWATI GARUT
LUTHZIA FAUZAN ASWINDRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Fenomena Alkalinuria dan Hipostenuria pada Kelompok Ternak Domba Garut di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Agustus 2015 Luthzia Fauzan Aswindra NIM B04110076
ABSTRAK LUTHZIA FAUZAN ASWINDRA. Fenomena Alkalinuria dan Hipostenuria pada Kelompok Ternak Domba Garut di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati Garut. Dibimbing oleh RP. AGUS LELANA Domba Garut adalah jenis ternak yang populer di kalangan peternak dan pembudidaya di Jawa Barat. Walaupun demikian masih sedikit informasi mengenai status kesehatan domba Garut terutama data mengenai profil urinalisis. Untuk mendapatkan informasi tersebut maka dilakukan kajian lapang menggunakan uji strip urin yang bersifat semi-kuantitatif dan ditunjang oleh pemeriksaan membran mukosa mulut, capillary refill time (CRT), dan pemeriksaan suhu rektal yang menggambarkan kondisi fisiologis dari 80 ekor domba. Kasus alkalinuria telah ditemukan sebanyak 96% dari total 80 sampel urin yang ada. Hanya terjadi 2 kasus negatif alkalinuria pada domba anakan jantan dan domba betina flushing. Hasil pemeriksaan menunjukkan 34 (42.5%) kasus hipostenuria menyebar di setiap rentang pada suhu normal. Meski demikian terdapat 12.5% kasus hipostenuria ditemukan pada domba dengan suhu di bawah normal, yaitu 4 (5%) kasus pada domba pejantan dan 6 (7,5%) kasus pada domba betina laktasi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kejadian alkalinuria terjadi pada setiap fase reproduksi dan umur serta tidak terdapat korelasi antara suhu tubuh dan fenomena hipostenuria pada domba Garut. Kata kunci: domba Garut, urinalisis, alkalinuria, hipostenuria
ABSTRACT LUTHZIA FAUZAN ASWINDRA. Phenomenon of Alkalinuria and Hyposthenuria on Garut Sheep at Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati Garut. Supervised by RP. AGUS LELANA Garut sheep is famous among farmers and breeders in West Java. However there is not enough information concerning their health status especially their urinalysis profile. To fulfill this information, we did explorative study using semiquantitative urine strips test and enriched by physical examination on oral mucose, oral capillary refill time (CRT), and rectal temperature on representative physiological state of 80 sheeps. Alkalinuria case was found in 96% of total 80 samples. Only 2 negative cases of alkalinuria was found in lamb and flushing grup. The result shows that 34 ( 42.5%) cases of hyposthenuria is distributed in every range of normal temperature. Although it is distributed, 12.5% of hyposthenuria cases also found in lower normal temperature, 4 (5%) cases in ram and 6 (7.5%) cases in lactating sheep. In conclusion alkalinuria was occur in every reproduction phase and age also there is no correlation about body temperature and phenomenon of hyposthenuria in Garut sheep. Keywords: garut sheep, urinalysis, alkalinuria, hyposthenuria
FENOMENA ALKALINURIA DAN HIPOSTENURIA PADA KELOMPOK TERNAK DOMBA GARUT DI BALAI PENGEMBANGAN PERBIBITAN TERNAK DOMBA MARGAWATI GARUT
LUTHZIA FAUZAN ASWINDRA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Fenomena Alkalinuria dan Hipostenuria pada Kelompok Ternak Domba Garut di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati Garut dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh RP. Agus Lelana, SpMP MSi selaku pembimbing skripsi dan Ibu Dr Ir Etih Sudarnika, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbinganya selama menempuh studi di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak dari UPTD BPPTD Margawati Garut telah membantu selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kapada kedua orang tua penulis, kakak, adik, dan keluarga besar atas doa dan kasih sayangnya. Serta tidak lupa terima kasih untuk teman, sahabat, dan “Ganglion 48” untuk dukungannya selama penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Luthzia Fauzan Aswindra
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Domba Garut
2
Indeks Kesehatan
2
METODE
4
Alat dan Bahan
4
Prosedur
4
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Suhu Rektal
5
Membran Mukosa
6
Alkalinuria
7
Hipostenuria
7
Hubungan Hipostenuria dan Suhu Tubuh
9
SIMPULAN DAN SARAN
10
Simpulan
10
Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYA T HIDUP
12
DAFTAR TABEL 1. Nilai BJ urin pada masing-masing kelompok ternak di BPPTD Margawati Kabupaten Garut
8
DAFTAR GAMBAR 1. Grafik sebaran nilai suhu rektal domba pada masing-masing kelompok ternak di BPPTD Margawati Kabupaten Garut 2. Grafik rasio warna mukosa mulut pada setiap kelompok ternak di BPPTD Margawati Kabupaten Garut 3. Grafik sebaran nilai pH urin pada setiap kelompok ternak di BPPTD Margawati, Kabupaten Garut 4. Grafik hubungan suhu rektal dengan kondisi hipostenuria pada kelompok ternak di BPPTD Margawati Kabupaten Garut
5 6 7 9
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba Garut merupakan jenis ternak yang populer di kalangan peternak dan pembudidaya di daerah Jawa Barat. Ternak ini memiliki keunggulan diantaranya mudah dipelihara, menghasilkan daging yang tinggi dengan bobot 40 80 kg pada domba jantan, dan sebagian dijadikan domba ketangkasan. Pertumbuhan bobot badan tersebut dapat dicapai melalui pemeliharaan yang intensif dan penerapan menejemen kesehatan yang baik. Manajemen kesehatan peternakan dapat diwujudkan dengan good farming practices melalui peningkatan sumber daya manusia dan teknologi kesehatan hewan, termasuk dalam pengukuran status kesehatan dan pendiagnosaan penyakit. Salah satu teknologi kesehatan hewan yang sifatnya praktis adalah penggunaan urine strips test. Melalui teknologi ini dapat diketahui proses-proses fisiologi hewan yang terekspresi dalam urin. Proses fisiologi tersebut dapat diketahui dari munculnya indikator warna pada strips test yang menunjukkan nilai specific gravity atau berat jenis (BJ), leukosit, nitrogen, urobilinogen, protein, pH, kadar darah, keton, bilirubin, dan glukosa. Melalui indikator ini juga dapat dilakukan pendiagnosaan adanya perubahan proses fisiologis ke arah patologis ataupun adanya penyakit. Untuk memperkuat pendiagnosaan tersebut, hasil urine strips test perlu disertai dengan hasil pemeriksaan klinis yang mencerminkan indeks kesehatan, seperti pemeriksaan mukosa mulut, capillary refill time (CRT), dan suhu rektal hewan. Penggunaan metode ini belum banyak dilakukan di kalangan peternak domba di Indonesia, termasuk di dalamnya untuk mengungkap fenomena alkalinuria (pH urin >8,5) dan hipostenuria (BJ urin <1,005) pada domba Garut. Studi kasus ini diharapkan memberi informasi bagi peternak domba maupun praktisi kesehatan domba dalam mengembangkan metode pendiagnosaan yang praktis. Tujuan Penelitian Studi kasus ini bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian alkalinuria dan hipostenuria melalui uji urinalisis menggunakan urine strips test sebagai uji praktis. Studi ini mengorelasikan pula dengan pemeriksaan indeks kesehatan yaitu suhu tubuh pada ternak domba Garut di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati, Kabupaten Garut. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai kondisi kesehatan hewan serta saran mengenai permasalahan kesehatan hewan di UPTD Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati, Kabupaten Garut. 2. Mengembangkan uji urinalisis menggunakan urine strips test sebagai metode praktis pendiagnosaan kesehatan hewan.
2
TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Domba Garut adalah domba hasil persilangan segi tiga antara domba kampung, domba Merino, dan domba ekor gemuk di Afrika Selatan. Domba Garut termasuk salah satu plasma nutfah Indonesia yang memiliki peluang untuk dikembangkan. Lebih dari 50% atau 4,6 juta ekor populasi domba ini ada di Jawa Barat. Domba Garut, baik jantan maupun betina merupakan domba tipe penghasil daging. Domba Garut jantan sering digunakan sebagai domba ketangkasan (Fighting Bart), karena mempunyai leher yang kuat dan kokoh, juga tampilan tanduknya yang besar dan melingkar seperti pada domba Merino jantan. Bobot badan domba Garut jantan dapat mencapai lebih dari 60 kg, sedangkan domba betina tanpa tanduk dengan bobot badan mencapai 30 kg. Warna bulu putih, cokelat, hitam ataupun campuran ketiga warna tersebut. Domba Garut mempunyai telinga sangat kecil baik betina maupun jantan. Domba Garut sering disebut juga Domba Priangan. Domba Garut memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dibandingkan domba lokal lainnya (Toelihere 1993). Indeks Kesehatan Urinalisis Urinalasis dalam praktik kedokteran hewan masih jarang digunakan, walaupun diketahui dapat digunakan untuk mendiagnosa beberapa jenis penyakit. Keuntungan lain metode ini adalah dapat dilakukan secara mudah dan praktis dengan hasil yang baik. Urinalisis dapat membantu untuk menentukan nilai BJ. Telah diketahui bahwa nilai BJ dapat menggambarkan fungsi tubulus ginjal. Selain itu melalui urinalisis dapat ditentukan benda-benda terlarut dalam urin, seperti kandungan glukosa dan keton yang menjadi indikasi penyakit diabetes melitus atau bilirubin sabagai indikasi gangguan pada hati. Peningkatan konsentrasi hemoglobin dalam urin berhubungan dengan kondisi hemolisis intravaskular (Parrah et al. 2013). Hipostenuria Sebagai organ ekskresi ginjal memiliki dua kemampuan yaitu kemampuan mengonsentrasikan (concentrating ability) atau memekatkan dan kemampuan mengencerkan (diluting ability). Concentrating ability adalah kemampuan ginjal untuk mereabsorbsi H2O pada filtrat sehinngga urin menjadi lebih pekat. Diluting ability adalah kemampuan ginjal untuk mereabsorbsi benda terlarut dalam filtrat sehingga urin menjadi lebih encer. Konsentrasi benda terlarut dalam urin dinyatakan dengan istilah hyposthenuria, isosthenuria, dan hypersthenuria. Isosthenuria memiliki arti sama (iso-) kekuatan (-sthen) urin (-uria). Pada kondisi hyposthenuria nilai osmolaritas urin (Ou) lebih rendah dari osmolaritas plasma (Op). Untuk hewan ruminansia umumnya akan menunjukkan nilai BJ < 1,007 (Stockham 2002).
3 Alkalinuria Kemampuan ginjal dalam melakukan konservasi ion hidrogen menentukan kadar keasaman (pH) urin. Kemampuan ini penting karena dapat menentukan status asam-basa tubuh hewan. Walaupun demikian pH urin tidak menggambarkan pH tubuh, melainkan banyak dipengaruhi oleh diet, pakan sebelumnya, infeksi bakteri, waktu penyimpanan urin, dan retensi pada saluran urinari. Diet pada hewan dapat mempengaruhi pH urin dalam jangka pendek dan menengah. Hewan dengan diet protein tinggi seperti karnivora memproduksi urin yang netral sampai dengan asam. Sedangkan pada herbivora cenderung memproduksi urin yang basa. Alkalinuria adalah kondisi pH urin hewan lebih tinggi dari batas normal. Pada domba pH urin normal sekitar 7,5 8,5. Alkalinuria bisa berhubungan dengan kondisi infeksi pada saluran urinari. Bakteri yang memiliki kemampuan memecah urea akan membentuk amonia dan menyebabkan urin bersifat alkalis. Untuk domba kondisi ini menjadi faktor predisposisi penyakit obstructive ulirithiasis dengan bentukan kristal struvite dan apatit (Parrah et al. 2013). Suhu rektal Pada manusia pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan menempatkan termometer ke dalam bibir samping (panas buccal) atau ketiak. Pengukuran yang demikian tidak dapat dilakukan terhadap hewan karena dapat membahayakan baik hewan (karena tidak sengaja mengunyah) maupun alatnya (rusak karena liur hewan). Oleh karena itu pengukuran suhu tubuh hewan dilakukan melalui anus dan disebut suhu rektal. Meskipun suhu rektal berlaku lokal namun telah disepakati bahwa suhu rektal dapat mewakili suhu tubuh hewan (Widodo 2011). Suhu rektal normal domba pada kondisi fisiologis normal adalah 38,3 39,9°C. Beberapa faktor yang mempengaruhi suhu tubuh adalah umur, jenis kelamin, musim, panjang siang hari, dan konsumsi air. Pada hewan betina dan bunting cenderung memiliki suhu yang lebih tinggi. Hewan dengan umur muda memiliki suhu yang lebih tinggi dari hewan berumur tua. Selain itu faktor lingkungan dan fisiologis hewan sangat berpengaruh terhadap thermoregulator tubuh (Dukes 2004). Membran Mukosa Pengamatan membran mukosa atau selaput lendir adalah bagian dari pemeriksaan fisik hewan. Pengamatan dilkakukan pada membran mukosa bagian luar, seperti pada konjunctiva, hidung, mulut, vulva-vagina, penis, preputium dan, rektum. Kondisi cahaya saat mengamati membran mukosa harus dalam kondisi baik atau dapat menggunakan alat penerang tambahan, seperti senter atau lampu mata (lampu opthalmoskop). Pada membran mukosa yang letaknya lebih dalam seperti rektum digunakan alat bantu protoskop, vagina digunakan spekulum atau vaginoskop (Widodo 2011). Membran mukosa mulut dapat diamati untuk menentukan kondisi cairan tubuh. Kehilangan cairan tubuh atau penurunan asupan cairan disebut juga dehidrasi.Untuk menjaga kondisi tubuh dari dehidrasi diperlukan asupan dan
4 luaran cairan yang seimbang (Whyte 2014). Pada kondisi kehilangan cairan tubuh yang besar (hipovolemic shock), seperti pendarahan hebat, diare, atau muntah, akan terjadi vasokonstriksi pada pembuluh darah sebagai makanisme kompensasi. Tujuannya adalah untuk mencegah kehilangan cairan melalui perfusi darah. Kondisi tersebut mengakibatkan vasokonstriksi pada arteriol dan penurunan jumlah darah di sekitar membran mukosa mulut. Hal ini dapat diketahui dengan mengamati kondisi CRT membran mukosa mulut. Pengertian dari CRT adalah perkiraan waktu untuk pembuluh darah mengisi kembali aliran darah setelah terjadi penekanan pada membran murosa hingga warna mukosa kembali ke warna semula. Semakin parah kehilangan cairan maka waktu CRT akan semakin lama (Shamsudin 2012).
METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel urin domba. Jumlah sampel yang digunakan adalah masing-masing 10 ekor dari setiap kelompok ternak yang diklasifikasikan berdasarkan status fisiologis. Rincian sampel adalah 30 ekor domba jantan yang terdiri dari 10 ekor domba anakan (umur 4 bulan), 10 ekor domba remaja (umur 4 6 bulan), dan 10 ekor pejantan (umur 12 bulan). Kemudian 50 ekor domba betina yang terdiri dari 10 ekor domba anakan (umur 4 bulan), 10 ekor domba dara (umur 4 12 bulan), 10 ekor domba bunting (bunting akhir), 10 ekor domba laktasi, dan 10 ekor domba flushing di UPTD Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: gelas piala, pita ukur, termometer, urine strips test (Verify Urinalisys Reagen Strips®), dan kamera. Prosedur Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi pengukuran suhu rektal yang dapat mewakili suhu tubuh domba menggunakan termometer digital. Termometer diletakkan melalui rektum domba dan ditunggu hingga terdengar indikator bunyi. Indeks kesehatan diperiksa melalui pengecekan warna mukosa mulut dan kondisi CRT. Pemeriksaan Urin Sampel urin yang digunakan adalah urin segar yang diperoleh dengan cara pemberian perlakuan asfiksia yaitu menutup mulut dan lubang hidung domba beberapa saat hingga domba urinasi (Benech et al. 2015). Urin yang dikoleksi adalah urin pada bagian tengah ketika domba urinasi. Waktu pengoleksian urin dilakukan 2 kali pada pagi dan siang hari. Urin yang diperoleh kemudian dipindahkan ke dalam gelas piala dan diperiksa menggunakan urine strips test
5 dengan cara mencelupkan selama 60 detik bagian strip yang memiliki indikator warna dan segera diamati perubahan warnanya pada standar parameter yang ada. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan berdasarkan status reproduksi domba, yaitu jantan anakan, jantan remaja, pejantan, betina anakan, betina dara, betina bunting, betina laktasi, dan betina flushing yang dianalisis secara deskriptif menggunakan program komputer Microsoft Excel. Selanjutnya data positif alkalinuria dan atau hipostenuria dihubungkan dengan kondisi suhu dan CRT hewan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu Rektal Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 80 ekor domba Garut jantan dan betina di UPTD Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati, Kabupaten Garut, menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian diawali dengan melakukan pemeriksaan fisik berupa pengukuran suhu rektal pada domba. Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1
Grafik sebaran nilai suhu rektal domba pada masing-masing kelompok ternak di BPPTD Margawati Kabupaten Garut
Melalui hasil pemeriksaan suhu rektal domba diperoleh hasil yang beragam pada setiap kelompok ternak. Kelompok ternak jantan anakan, remaja, dan pejantan secara berurutan menunjukkan rataan suhu 39,63±0,49˚C; 38,79±0,56˚C; dan 38,17±0,44˚C. Kelompok ternak betina anakan, dara, bunting, laktasi dan flushing secara berurutan memiliki rataan 39,07±0,34˚C; 39,23±0,39˚C; 38,8±0,34˚C; 37,92±0,61˚C; dan 38,31±0,97˚C.
6 Menurut Dukes (2004), faktor yang mempengaruhi suhu tubuh hewan secara internal adalah umur, jenis kelamin, dan aktivitas. Sedangkan faktor eksternal adalah musim, panjang siang hari, dan konsumsi air. Kelompok ternak muda yaitu anakan dan remaja memiliki suhu tubuh yang rata-rata lebih tinggi dari kelompok ternak dewasa. Hal ini dikarenakan kebutuhan energi pada hewan muda lebih besar dari hewan dewasa yang digunakan untuk pertumbuhan. Kelompok domba dewasa memiliki kecenderungan suhu tubuh yang lebih rendah, hal ini dipengaruhi kondisi fisiologis ataupun fase reproduksi yang sedang berlangsung. Kemampuan homeostasis suhu tubuh pada domba dalam fase reproduksi aktif (bunting, laktasi, dan flushing) cenderung menurun. Faktor eksternal lain seperti suhu lingkungan serta aktivitas hewan ikut mempengaruhi suhu tubuh hewan. Selain proses fisiologis, peningkatan suhu tubuh bisa diakibatkan oleh proses peradangan. Peradangan merupakan kejadian patologis yang biasanya disebabkan oleh infeksi mikroorganisme yang diwujudkan dengan munculnya kebengkakan, kemerahan, nyeri, panas, dan gangguan fungsional tubuh. Membran Mukosa Hasil pemeriksaan mukosa mulut dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan pemeriksaan kondisi mukosa, domba jantan dominan berwarna lebih pucat dari domba betina dengan rasio presentase total 46,67% berbanding 30%. Pada kelompok domba jantan anakan terjadi pada 4 ekor (40%), domba jantan remaja 5 ekor (50%), dan domba pejantan 5 ekor (50%). Kelompok ternak betina cenderung memiliki kondisi membran mukosa yang lebih baik atau lebih berwarna ros, dari kelompok domba anakan 4 ekor (40%), domba dara 3 ekor (30%), domba bunting 2 ekor (20%), domba laktasi 4 ekor (40%), dan domba flushing 2 ekor (20%).
Gambar 2 Grafik rasio warna mukosa mulut pada setiap kelompok ternak di BPPTD Margawati Kabupaten Garut
7 Menurut Whyte (2014), kepucatan pada mukosa mulut disebabkan oleh kehilangan aliran darah menuju jaringan di bawah membran mukosa yang diamati, dalam hal ini adalah membran mukosa mulut. Hilangnya aliran darah tersebut dapat disebabkan oleh kondisi hipovolemic shock yang hebat atau akibat munculnya faktor-faktor pemicu anemia yaitu, menurunnya jumlah sel darah, hemoglobin atau keduanya. Alkalinuria Alkalinuria adalah kondisi saat pH urin hewan berada di atas nilai normalnya. Nilai pH normal untuk domba adalah 7,5 8,5 (Parrah et al. 2013). Hasil pengamatan pH urin domba dapat diamati pada Gambar 3. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 76 ekor atau 95% dari total sampel menunjukkan hasil pH urin diatas normal (pH >8,5). Hanya 2 ekor (2,5%) yang menunjukkan hasil normal dan sisanya sebanyak 2 ekor (2,5%) positif asiduria. Menurut Parrah et al. (2013), alkalinuria pada domba seringkali disebabkan oleh infeksi saluran urinari. Bakteri pada infeksi membentuk amonia hasil dari pemecahan urea dalam urin, hal ini menyebabkan peningkatan pH pada urin. Efek samping dari alkalinuria adalah pembentukan batu urin atau urolithiasis. Urolithiasis adalah bentukan batu urin atau konsentrasi tinggi protein, mineral dan mukus di saluran urinari. Faktor predisposisi urolithiasis adalah pakan yang tinggi kadar biji-bijian (bungkil padi, bungkil kedelai, dan lain-lain) dan rendah serat. Ekskresi fosfor pada hewan ruminansia terjadi melalui saliva dan feses, namun ketika kadar biji-bijian tinggi dan serat rendah pada pakan maka produksi saliva akan menurun. Konsentrasi fosfor yang tinggi dalam darah akan diekskresikan melalui ginjal dan beresiko membentuk batu seperti pelet yang akan berakibat pada blokade saluran urinari (ACVS 2015).
Gambar 3 Grafik sebaran nilai pH urin pada setiap kelompok ternak di BPPTD Margawati, Kabupaten Garut
8 Hipostenuria Hipostenuria berhubungan dengan kemampuan ginjal dalam mengonsentrasikan dan mengencerkan urin. Kemampuan tersebut dapat diukur melalui nilai BJ pada urin yang dapat dilihat pada Tabel 1. Pada hewan dengan umur muda kemampuan ginjal masih dalam kondisi baik, dibuktikan dengan 90% (9 ekor) sampel pada anakan jantan dan 70% (7 ekor) sampel betina dara menunjukkan nilai BJ yang normal. Untuk jantan remaja dan betina anakan terdapat kemungkinan terjadi gangguan karena sebanyak 100% (10 ekor) sampel jantan remaja dan 70% (7 ekor) sampel betina anakan menunjukkan nilai BJ di bawah normal. Kemudian pada domba dengan umur relatif lebih tua, kemampuan ginjal akan menurun sehingga hasil dengan nilai BJ di bawah normal akan lebih banyak ditemukan. Domba pejantan yang diperiksa telah berumur lebih dari 3 tahun dan ada yang telah mencapai 6 tahun, 80% (8 ekor) dari sampel menunjukkan nilai BJ yang rendah. Kelompok domba betina lainnya, yaitu kelompok bunting 100% (10 ekor), laktasi 70% (7 ekor) dan flushing 70% (7 ekor) nilai BJ di bawah normal. Adapun nilai normal hanya dibatas nilai normal rendah. Nilai BJ yang rendah bisa disebabkan oleh osmotic diuresis, kehilangan tonisitas medulla (medullary washout), resistensi dan defisiensi hormon antidiuretik. Osmotik diuresis terjadi pada penyakit diabetes mellitus, sindrom Fanconi, renal glucosuria primer, yang mana kandungan glukosa masih tinggi setelah melewati glomerulus dan mencegah reabsorbsi air di tubulus distal ginjal. Hilangnya tonisitas medulla kemungkinan diakibatkan oleh kondisi hypoadenocorticism, gangguan hati, terapi cairan dalam jangka waktu lama. Resistensi atau defisiensi anti diuretic hormone (ADH) merupakan efek sekunder dari hiperkalsemia, gangguan hati kronis, dan pyometra (Parrah et al. 2013). Tabel 1 Nilai BJ urin setiap kelompok ternak di BPPTD Margawati Kabupaten Garut Jumlah ternak (ekor) Nilai Jantan Jantan Betina Betina Betina Betina Betina BJ Pejantan anakan remaja anakan dara bunting laktasi flushing 1.015 1 1.010 8 2 3 7 3 3 1.005 1* 8* 7* 5* 3* 5* 6* 1.000 2* 1* 2* 10* 2* 1* Keterangan: *Jumlah kejadian positif hipostenuria pada setiap keompok ternak BJ normal domba 1,010-1,040 (Parrah et al. 2013 dan Stockham 2002).
9
Keterangan:
Positif
Negatif
1. Jantan anakan 2. Jantan remaja 3. Pejantan 4. Betina anakan
5. Betina dara 6. Betina bunting 7. Betina Laktasi 8. Betina flushing
Gambar 4 Grafik hubungan suhu rektal dengan kondisi hipostenuria pada kelompok ternak di BPPTD Margawati Kabupaten Garut Hubungan Hipostenuria dan Suhu Rektal Domba Jumlah domba yang positif mengalami hipostenuria menyebar di setiap rentang suhu. Kejadian hipostenuria tidak banyak dipengaruhi oleh suhu. Prevalensi hipostenuria dihubungkan dengan suhu tubuh yang berada di bawah normal (38,3°C) adalah 10 (12,5%) kasus, menyebar di rentang suhu normal (38,3 39,9°C) sebanyak 34 (42,5%) kasus, dan yang berada di atas suhu normal (39,9°C) tidak ditemukan
10
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Fenomena alkalinuria (pH urin >8,5) ditemukan 76 kasus (96%) dari total 80 ekor domba. Hal ini diduga akibat pengaruh infeksi bakteri dalam saluran urinari yang berlangsung secara subklinis. Suhu tubuh tidak mempengaruhi prevalensi kejadian alkalinuria. Hipostenuria (BJ urin <1,005) ditemukan hampir pada seluruh kelompok ternak. Prevalensi total kejadian hipostenuria pada domba Garut yang menyebar dengan kondisi suhu normal (3,83-39,9°C) adalah 42,5% atau 34 kasus dari total 80 sampel. Selain itu terdapat 4 (5%) kasus domba jantan dan 6 (7,5%) kasus domba betina laktasi yang positif hipostenuria dengan kondisi suhu dibawah normal (<3,83°C). Kejadian hipostenuria tidak dipengaruhi oleh suhu. Saran Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut berupa pemeriksaan laboratorium yang bersifat konfirmatif yaitu pemeriksaan mikrobiologi untuk infeksi saluran urinari dan pemeriksaan mikroskopis untuk mengamati kandungan urolith. Selain itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui nilai indeks kesehatan normal domba Garut.
11
DAFTAR PUSTAKA [ACVS] American College of Veterinary Surgeons. (USA) Benech A, Cal-Pereyra L, Da Silva S, Acosta-Dibarrat J, Gonzales-Montana J. Transient Apnoea in sheep: an alternative method for serial urine sample collection. VETERINARSKI ARHIV 85 (3), 293-307, 2015. Dukes H. 2004. Dukes Physiology of Domestic Animals. Reece O, editor. Iowa (USA): Cornell University Press. Parrah J, Moulvi B, Gazi M, Makhdomi D, Athar H. Importance of urinalysis in veterinary practice. Vet World. 6(9):640646.doi:10.14202/vetworld.2013.640-646. Shamsudin N. 2012. A Device for Measurement of Capillary Refilling Time. Department of Biomedical Engineering, Linköping University, siap terbit. Stockham S, Mchaela S. 2002. Fundamentals of Clinical Pathology. Iowa (USA): Iowa State Press Blackwell Publishing Company. Toelihere, M. R. 1993. Fisiologi Reproduksi pada Temak. Penerbit Angkasa, Bandung Whyte D. 2014. Using oral mucosa to assess for dehydration [internet]. [diunduh 2015 Juni 25]. Volume 110 Online issue. Tersedia pada: http//nursingtimes.net/nursing-practice/specialisms/assessment-skills/usingoral-mucosa-to-assess-for-dehydration/5066770.article. Widodo S, Dondin S, Chusnu C, Agus W, Retno W. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Widodo S, editor. Bogor (ID): IPB Press.
12
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tangga 13 Juli 1993 dari ayah Wawan dan ibu Dharmiatie Mansyurdin. Penulis adalah putra kedua dari empat bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Garut dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Saringan Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SMPTN) Undangan dan diterima di Fakultas Kedokterah Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Teknologi Reproduksi pada tahun ajaran 2013-2014. Penulis juga pernah aktif sebagai Ketua Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia selama periode 2013-2014.