Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA GARUT DI DUA AGROEKOSISTEM YANG BERBEDA (The Productivity of Garut Lambs in Two Different Agroecosystem) EKO HANDIWIRAWAN1, HASANATUN HASINAH1, I-G.A.P. MAHENDRI1, ATIEN PRIYANTI1 dan ISMETH INOUNU2 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E.59, Bogor 16151 2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The observation was carried out to know productivity of young Garut sheep (pre and post weaning) in two-difference agroecosystem. The observation was conducted in Tenjonagara Village, Wanaraja Subdistrict, Garut District, with rice and horticulture agroecosystem (location I) and Padasuka Village, Ciomas Sub-district, Bogor District, with a few rice agro ecosystem and as hinter land area (location II). Twenty-six pre weaning sheep and twenty-four post weaning sheep were observed. Observation variables were number of farmer’s livestock, pre weaning and post weaning average daily gain, litter size, and pre weaning mortality. The observations resulted that number of sheep in various age location I were more than location II (7,4 vs 4,4 head). Productivity of young sheep in location I was better than location II as pre weaning average daily gain (114,3 ± 8,9 vs 50,3 ± 17,9 gram/head/day), post-weaning average daily gain (111,7 ± 9,5 vs 51,4 ± 21,6 gram/head/day), and litter size (2,3 ± 0,5 vs 1,5 ± 0,5 head). Although pre weaning mortality at location I slightly was higher than location II (13,6 vs 6,3%). Pre and post weaning average daily gain based on sex was not significant. Pre weaning average daily gain based on litter size showed that single was the same as twin but differed from triplet/quadruplet. Post weaning average daily gain showed that single was differ from triplet/quadruplet. Farmers in location I were easier than location II to find high quality forage to rise their productive sheep. Tree legume in location II could help to raise quality forage in feeding sheep. Key words: Productivity, pre and postweaning, agroecosystem ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui produktivitas domba muda Garut (prasapih dan pascasapih) di dua agroekosistem yang berbeda telah dilakukan. Kedua lokasi pengamatan adalah Desa Tenjonagara Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut, yang beragroekosistem pertanian tanaman pangan (padi, palawija), hortikultura (sayur-sayuran) (lokasi I), dan Desa Padasuka Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor, yang beragroekosistem sedikit tanaman pangan (padi) dan merupakan daerah pinggir perkotaan (lokasi II). Sebanyak 26 ekor domba prasapih dan 24 ekor domba pascasapih diamati, milik 18 peternak di lokasi I dan 5 peternak di lokasi II. Variabel yang diamati mencakup jumlah penguasaan ternak, laju pertambahan bobot badan (PBB) pra sapih dan pascasapih, jumlah anak sekelahiran dan mortalitas pada periode prasapih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penguasaan ternak dalam berbagai umur di lokasi I lebih banyak dibandingkan lokasi II (7,4 vs 4,4 ekor). Diperoleh hasil juga bahwa produktivitas domba muda di lokasi I lebih baik dibandingkan lokasi II yang diperlihatkan pada laju PBB pra sapih (114,3 ± 8,9 vs 50,3 ± 17,9 gram/ekor/hari), laju PBB pascasapih (111,7 ± 9,5 vs 51,4 ± 21,6 gram/ekor/hari), dan jumlah anak sekelahiran (2,3 ± 0,5 vs 1,5 ± 0,5 ekor). Meskipun demikian mortalitas prasapih domba di lokasi I sedikit lebih tinggi dibandingkan di lokasi II (13,6 vs 6,3%). Laju PBB prasapih dan pascasapih berdasarkan jenis kelamin tidak berbeda. Sementara itu, laju PBB prasapih berdasarkan tipe kelahiran menunjukkan bahwa anak tunggal sama dengan kembar 2 namun berbeda dengan kembar 3, sedangkan laju PBB pascasapih menunjukkan bahwa anak tunggal berbeda dengan anak kembar (dua dan tiga). Lingkungan agroekosistem pertanian tanaman pangan (padi, palawija) dan hortikultura (sayur-sayuran) memberikan kemudahan bagi peternak rakyat untuk memperoleh hijauan pakan ternak berkualitas lebih baik untuk domba yang dipeliharanya, sehingga produktivitas domba yang dipelihara peternak juga menjadi lebih baik. Jika memungkinkan, untuk daerah dengan agroekosistem seperti pada lokasi II penanaman leguminosa pohon sebagai sumber hijauan pakan akan membantu meningkatkan kualitas hijauan pakan yang dapat diberikan pada domba. Kata kunci: Produktivitas, pra dan pascasapih, agroekosistem
335
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENDAHULUAN
MATERI DAN METODE
Populasi domba di Indonesia saat ini mencapai 7,6 juta ekor, yang sebagian besar dari poulasi tersebut (sekitar 86%) berada di Pulau Jawa (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2002). Sebagian besar domba lokal di Indonesia (>90%) dipelihara oleh peternak secara tradisional, sementara itu industri pemeliharaan domba sebagai penyedia bakalan, bibit maupun ternak siap potong bisa dikatakan hampir tidak ada. Umumnya domba dipelihara oleh keluarga petani dengan skala pemilikan kecil (BRADFORD dan INOUNU, 1996) yakni sekitar tiga ekor induk dan umumnya perkawinan ternak hanya mengharapkan pejantan yang dimiliki oleh tetangganya (ROBERT, 2000). Perbaikan dalam pemberian pakan merupakan salah satu faktor penting yang dapat dilaksanakan peternak untuk meningkatkan kemampuan produksi domba yang dipeliharanya. Namun demikian jarang sekali peternak tradisional memberikan pakan berkualitas yang diperolehnya dengan cara membeli; misalnya konsentrat pabrik, ampas tahu (jika dekat dengan industri tahu), bekatul (jika dekat dengan penggilingan padi), dan sebagainya; yang disebabkan oleh keterbatasan finansial yang dialami peternak atau karena ketidaktahuannya. Umumnya peternak sangat mengandalkan pakan yang diperoleh dari lingkungan, seperti rumput lapang, leguminosa, atau limbah pertanian yang terdapat di sekitar daerahnya. Beberapa jenis limbah pertanian tersebut mempunyai kualitas gizi yang cukup baik untuk dipergunakan sebagai hijauan pakan ternak seperti daun kacang tanah, daun kacang panjang, daun ketela pohon, dan sebagainya. Dengan demikian keadaan lingkungan agroekosistem dimana peternak tinggal diduga sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hijauan pakan ternak yang diberikan kepada domba yang dipelihara. Hal tersebut akan berdampak kepada perbaikan penampilan produksi domba yang dipelihara peternak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penampilan produksi domba lokal pada periode prasapih dan pascasapih yang dipelihara dalam lingkungan agroekosistem yang berbeda.
Pengamatan dilakukan di dua lokasi yang mempunyai agroekosistem yang berbeda di Jawa Barat. Kedua lokasi tersebut adalah Desa Tenjonagara Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut, yang beragroekosistem pertanian tanaman pangan (padi, palawija), hortikultura (sayur-sayuran) (lokasi I) dan Desa Padasuka Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor, yang beragroekosistem sedikit tanaman pangan (padi) dan merupakan daerah pinggir perkotaan (lokasi II). Domba dipelihara peternak di dalam kandang bersekat yang dipisahkan antara jantan dewasa, betina dan anak, domba muda jantan dan betina muda. Pemberian pakan dilakukan dengan cara cut and carry yang diletakkan di tempat pakan di kandang domba. Jumlah pakan hijauan yang diberikan per ekor relatif sama di setiap lokasi, yaitu sekitar 4−5 kg/ekor/hari, namun komposisi hijauan pakan yang diberikan berbeda di antara dua lokasi. Di lokasi I, pakan yang diberikan terdiri dari campuran antara rumput lapang dan daundaunan limbah pertanian/legume dengan perbandingan sekitar 40 : 60%. Limbah pertanian yang diberikan umumnya merupakan campuran dari limbah tanaman berupa daun kacang tanah, daun kacang panjang, daun ketela rambat, daun ketela pohon, daun pisang, daun nangka, daun sawi, dan beberapa jenis legume pohon (gliricidia dan lamtoro) dan lainlain hasil dari sawah/kebun. Sementara itu, hijauan pakan yang diberikan di lokasi II hanya terdiri dari rumput lapang. Sebanyak 26 ekor domba prasapih dan 24 ekor domba pascasapih diamati, milik 18 peternak di lokasi I dan 5 peternak di lokasi II. Penimbangan bobot badan dilakukan dalam selang waktu 1 bulan selama 4 bulan pengamatan. Variabel yang diamati mencakup jumlah penguasaan ternak, laju pertambahan bobot badan pra sapih dan pascasapih, jumlah anak sekelahiran dan mortalitas pada periode prasapih. Data dianalisis dengan Prosedur Model Linier Umum (General Liniar Model) (SAS, 1987).
336
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
HASIL DAN PEMBAHASAN Penguasaan ternak Lokasi pengamatan adalah di Desa Tenjonagara Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut, yang beragroekosistem pertanian tanaman pangan (padi, palawija), hortikultura (sayur-sayuran) (lokasi I) dan Desa Padasuka Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor, yang beragroekosistem sedikit tanaman pangan (padi) dan merupakan daerah pinggir perkotaan (lokasi II). Peternak di lokasi I memelihara domba dalam berbagai umur dengan rataan jumlah 7,4 ekor, lebih banyak dibandingkan peternak di lokasi II yang memelihara sekitar 4,4 ekor (Tabel 1). Kemungkinan hal ini disebabkan keadaan lingkungan di lokasi I yang mempunyai ruang lebih luas sehingga memungkinkan peternak untuk memelihara ternak lebih banyak, dibandingkan di lokasi II yang mempunyai daerah lebih padat dengan pemukiman. Pemukiman yang padat di lokasi II juga menyebabkan peternak menjadi terbatas untuk memperoleh hijauan pakan untuk domba yang dipelihara sehingga kemungkinan menjadi faktor pembatas jumlah domba yang dipelihara. Tabel 1. Rataan jumlah penguasaan ternak domba yang dipelihara peternak di dua lokasi Umur
Lokasi I
Jantan dewasa (ekor)
1,4 ± 1,0 0,4 ± 0,6
Lokasi II
Betina dewasa (ekor)
3,0 ± 1,7 2,0 ± 0,7
Domba muda (3 bulan–1 tahun) (ekor)
1,2 ± 1,2 0,8 ± 0,8
Domba anak (< 3 bln) (ekor) 1,7 ± 1,4 1,2 ± 0,8 Jumlah dalam berbagai umur 7,4 ± 2,7 4,4 ± 2,3
Dilihat dari komposisi umur domba yang dipelihara peternak, domba betina dewasa merupakan domba yang terbanyak dipelihara dengan rataan 3 ekor (lokasi I) dan 2 ekor (lokasi II). Sementara itu, domba muda dan jantan dewasa adalah kelompok umur domba yang paling sedikit dipelihara peternak. Jumlah jantan dewasa yang hanya sedikit dipelihara diduga berkaitan dengan fungsi jantan dewasa sebagai pemacek yang hanya diperlukan dalam jumlah kecil sehingga tidak semua peternak memeliharanya karena dapat meminjam
kepada pejantan milik peternak lain. Sementara itu, domba muda yang dipelihara peternak umumnya digunakan sebagai ternak pengganti untuk menjadi betina dewasa/induk (replacement) atau dijual jika diperlukan. Pertambahan bobot badan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa laju PBB domba prasapih dan pascasapih di lokasi I nyata lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi II (Tabel 2). Rataan laju Pertambahan Bobot Badan (PBB) domba prasapih di lokasi I dan II berturut-turut adalah 114,3 ± 8,9 dan 50,3 ± 17,9 gram/ekor/hari, sedangkan laju PBB pascasapih adalah 111,7 ± 9,5 dan 51,4 ± 21,6 gram/ekor/hari. NAFIU (2003) melaporkan rataan laju PBB prasapih domba Priangan sebesar 98,6 gram/ekor/hari, lebih rendah dibandingkan hasil penelitian ini di lokasi I namun lebih tinggi dibandingkan di lokasi II. Pada periode pasca sapih, NAFIU (2003) melaporkan bahwa laju PBB untuk periode 3−6, 6−9 dan 9−12 bulan adalah 74, 85 dan 60 gram/ekor/hari, lebih rendah dibandingkan di lokasi I dan lebih tinggi dibandingkan di lokasi II. Laju PBB di lokasi I yang lebih baik dibandingkan lokasi II ini disebabkan jenis pakan yang diberikan untuk domba memiliki kualitas lebih baik. Di lokasi I, karena daerah ini merupakan daerah pertanian tanaman pangan dan hortikultura (sayur-sayuran) maka domba disamping diberi pakan rumput juga diberikan daun-daun hasil dari sawah/kebun/ pekarangan. Komposisi hijauan yang diberikan pada umumnya memiliki perbandingan 40 : 60% antara rumput lapang dan daun-daunan. Seringkali daun-daun tersebut memiliki kualitas gizi lebih baik dibandingkan rumput lapang, seperti daun kacang kedelai, daun kacang panjang, daun ketela rambat dan daun ketela pohon atau beberapa jenis legume pohon (gliricidia dan lamtoro) yang memang mudah didapatkan di daerah ini. Berbeda dengan lokasi I, di lokasi II karena domba dipelihara di daerah pinggir perkotaan maka luasan sawah/ kebun yang ada relatif kecil sehingga peternak di lokasi II ini sangat bergantung kepada rumput lapang. Alternatif lain untuk memperbaiki kualitas pakan dengan menambahkan ampas tahu atau bekatul/dedak
337
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
merupakan pilihan sulit karena peternak tentu harus mengalokasikan biaya tambahan untuk pakan tambahan tersebut. Kondisi lingkungan dan kebiasaan pemberian pakan yang demikian (lokasi I) memberikan pengaruh lebih baik pada produktivitas (laju PBB) domba yang dipelihara. Rataan jumlah anak sekelahiran yang dihasilkan induk domba di lokasi I adalah 2,3 ± 0,5 ekor dan di lokasi II sebanyak 1,5 ± 0,5 ekor. Uji statistik jumlah anak sekelahiran di dua lokasi ini tidak berbeda, namun demikian perbedaan angka 0,8 ekor untuk jumlah anak sekelahiran dapat berpengaruh cukup besar secara ekonomi bagi usahaternak domba. BINDON et al. (1984) melaporkan bahwa kenaikan jumlah anak saat lahir 0,77 ekor per induk beranak akan menghasilkan kelebihan keuntungan sebesar 24%. Jumlah anak sekelahiran yang diperoleh di dua lokasi pada pengamatan ini tidak jauh berbeda dengan jumlah anak sekelahiran domba Priangan yang dilaporkan oleh BRADFORD dan INOUNU (1996) dengan kisaran antara 1,54–2,47 ekor dan NAFIU (2003) sebesar 1,91 ekor. Tabel 2. Rataan laju pertambahan bobot badan pra dan pascasapih dan jumlah anak sekelahiran domba lokal di dua lokasi yang berbeda Variabel pengamatan
Lokasi I
Lokasi II
PBB prasapih (gram/ekor/hari)
114,3 ± 8,9a
50,3 ± 17,9b
PBB pascasapih (gram/ekor/hari)
111,7 ± 9,5a
51,4 ± 21,6b
2,3 ± 0,5a
1,5 ± 0,5a
Jumlah anak sekelahiran (ekor/induk)
Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Domba Priangan diketahui tergolong domba yang mempunyai jumlah anak sekelahiran yang tinggi (BRADFORD et al., 1984). Jumlah anak sekelahiran ini dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan serta interaksi keduanya (BRADFORD dan INOUNU, 1996) seperti yang dimiliki induk domba di lokasi I, pengaruh genotipe, pakan dan interaksi keduanya nampak berperan untuk hal itu. Pola segregasi pewarisan sifat fekunditas ini dikendalikan oleh gen
338
tunggal yang dinotasikan dengan gen FecJ (ELSEN et al., 1991). Tabel 3. Rataan laju pertambahan bobot badan domba prasapih dan pascasapih menurut jenis kelamin dan tipe kelahiran Variabel pengamatan
PBB prasapih PBB Pascasapih (gram/ekor/hari) (gram/ekor/hari)
Jenis kelamin Jantan
92,2±12,5 a
95,3 ± 14,8a
Betina
72,4±11,0 a
67,8 ± 15,0a
129,7±17,3 a
115,4 ± 15,6a
Tipe kelahiran Tunggal Kembar 2
94,2±12,6 a
63,8 ± 15,0b
Kembar 3
22,9±14,5 b
65,5 ± 20,7b
Huruf berbeda pada kolom yang sama untuk variabel yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa laju PBB prasapih dan pascasapih domba jantan sedikit lebih tinggi dibandingkan domba betina, namun tidak berbeda nyata (Tabel 3). Hasil tersebut berbeda dengan yang dilaporkan NAFIU (2003) yang mendapatkan laju pertambahan bobot badan anak prasapih jantan dan betina berbeda nyata. Rataan laju PBB prasapih domba jantan dan betina berturutturut adalah 92,2 ± 12,5 dan 72,4 ± 11,0 gram/ekor/hari, sedangkan laju PBB pascasapih 95,3 ± 14,8 dan 67,8 ± 15,0 gram/ekor/hari. Laju PBB prasapih yang diperoleh untuk tipe kelahiran tunggal, kembar 2 dan kembar 3 berturut-turut 129,7 ± 17,3, 94,2 ± 12,6 dan 22,9 ± 14,5 gram/ekor/hari (Tabel 3). Laju PBB prasapih berdasarkan tipe kelahiran ini berbeda untuk tipe kelahiran tunggal/ kembar 2 terhadap kembar 3 sedangkan anak tunggal tidak berbeda dibandingkan dengan kembar 2. Pada Tabel 3 terlihat bahwa laju PBB pasca sapih yang diperoleh untuk tipe kelahiran tunggal, kembar 2 dan kembar 3 berturut-turut 115,4 ± 15,6, 63,8 ± 15,0 dan 65,5 ± 20,7 gram/ekor/hari. Berbeda dengan periode pra sapih, pada periode pascasapih ini anak domba dengan kelahiran tunggal memiliki laju PBB nyata lebih tinggi dibandingkan dengan anak domba yang terlahir kembar (kembar 2 maupun 3). Sementara itu, domba yang terlahir
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
kembar 2 mempunyai laju PBB yang tidak berbeda dengan domba kembar 3. Tabel 4. Mortalitas domba pra sapih menurut tipe kelahiran di dua lokasi Tipe kelahiran
Lokasi I (%)
Lokasi II (%)
Tunggal
0
4,0
Kembar 2
0
0
Kembar 3
25,0
33,3
Total
13,6
6,3
Mortalitas anak domba prasapih pada lokasi I sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi II (13,6 vs 6,3 %). Pada Tabel 4 juga terlihat bahwa mortalitas anak prasapih paling tinggi terjadi pada anak yang terlahir kembar 3 baik di lokasi I dan II. INOUNU et al. (1986) melaporkan hasil penelitiannya pada domba ekor tipis, dimana meningkatnya jumlah anak sekelahiran menyebabkan meningkatnya jumlah kematian prasapih. Mortalitas prasapih yang diperoleh adalah 16,7, 18,4, 35,5, 42,9 dan 60% berturut-turut untuk jumlah anak sekelahiran 1, 2, 3, 4 dan 5. INOUNU (1996) melaporkan bahwa daya hidup anak prasapih dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan manajemen, paritas induk dan pertambahan bobot badan induk. Untuk mengurangi mortalitas anak dan meningkatkan produktivitas induk maka manajemen pemeliharaan induk dengan prolifikasi sedang dan tinggi harus lebih baik/intensif namun jika manajemen yang diterapkan rendah/kurang baik maka tidak akan tampak keunggulannya karena marjin kotor akan lebih rendah dibandingkan induk dengan prolifikasi rendah. KESIMPULAN DAN SARAN Lingkungan agroekosistem pertanian tanaman pangan (padi, palawija) dan hortikultura (sayur-sayuran) memberikan kemudahan bagi peternak rakyat untuk memperoleh hijauan pakan ternak berkualitas lebih baik untuk domba yang dipeliharanya. Kebiasaan pemberian pakan karena agroekosistem yang menguntungkan ini berdampak positif yang ditunjukkan dengan cukup baiknya produktivitas domba yang dipelihara peternak. Jika memungkinkan, untuk
daerah dengan agroekosistem seperti pada lokasi II penanaman leguminosa pohon sebagai sumber hijauan pakan akan membantu meningkatkan kualitas hijauan pakan yang dapat diberikan pada domba. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Kusma, Junaedi, Pepen, Mahmud dan Dudu, para teknisi yang banyak membantu pelaksanaan dan pengumpulan data penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA BINDON, B. M., L. R. PIPER and T.S. CH’ANG. 1984. Reproductive performance of crossbred ewes derived from Booroola and Control Merinos and Joined to rams of two terminal sire breeds. In: Reproduction in Sheep. Australian Academy of science, Canberra. pp. 243-246. BRADFORD, G.E. and I. INOUNU. 1996. Prolific sheep of Indonesia. In: Prolific Sheep. FAHMY, M.H. (Ed.). CAB International. pp. 109−120. BRADFORD, G. E., J. F. QUIRKE, P. SITORUS, I. INOUNU, B. TIESNAMURTI, F. L. BELL AND D. T. TORELL. 1984. Genetic basic of prolificacy in three Javanese sheep: A progress report. In: Sheep and Goat in Indonesia. RANGKUTI, M., T. D. SOEDJANA, H. C. KNIPSHEER, P. SITORUS and A. SETIADI (Ed.). Puslitbang Peternakan. pp.: 131−135. DEPARTEMEN PERTANIAN. 2002. Statistik Pertanian 2002. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. ELSEN, J. M., L. BODIN and J. THIMONIER. 1991. Major Gene for Reproduction in Sheep. INRA, Paris. INOUNU, I. 1996. Keragaan produksi ternak domba prolifik. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. INOUNU, I., SUBANDRIYO, N. THOMAS, P. SITORUS and M. BELL. 1986. Lambing characteristics of Javanese thin-tail ewes at Cicadas experiment station and under village conditions. Ilmu dan Peternakan. II (2): 79– 82. NAFIU, L.O. 2003. Evaluasi genetik domba Priangan dan persilangannya dengan St. Croix dan Moulton Charollais. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
339
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
ROBERT, J.A. 2000. Frequency of the prolificacy gene in flocks of Indonesian thin tail sheep: a review. Small Ruminant Research 36: 215−226.
340
SAS. 1987. SAS Users Guide for Personal Computers. SAS Institute Inc., Cary, North Carolina, USA.