Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000
KHARAKTERISTIK TINGKAH LAKU MENYUSU ANAK DOMBA GARUT B. TtEsNAmuRn ' , IKE BANGuN HERWIDt 2 , dan IsmEni INouNu l Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002 2 Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Penelitian ini dilakukan guna mendapatkan informasi mendasar tentang tingkah laku menyusu anak domba Garut pada masa pmsapih. Seperti diketahui, tingkah laku menyusu merupakan suatu pola hubungan antara anak dan induk yang terjadi sejak anak dilahirkan dan sangat berkaitan erat dengan kemampuan anak untuk bertahan hidup. Penelitian ini secara spesifik bermaksud untuk mengetahui gambaran tingkah laku umum anak domba (tingkah laku makro) dan tahapan tingkah laku menyusu pada masa prasapih (tingkah laku mikro) . Pengamatan dilakukan didalam kandang kelompok, terhadap dua kamar yang terdiri dari 23 ekor anak dan 16 induk Garut berumur sekitar 2 minggu sampai anak disapih. Pengamatan terdiri dari dus bagian yaitu secara makro yang melihat tingkah laku harian anak dan sxara mikro untuk mengetahui tahapan tingkah laku menyusu . Data untuk tingkah laku makro dideskripsikan, sedangkan untuk tingkah laku mikro dilakukan dengan analisis kinier model umum dari SAs (1987) dengan memasukkan tahapan dari tingkah laku mikro sebagai peubah dependen dan tipe kelahiran, jenis kelamin serta umur temak sebagai peubah independen. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tahapan tingkah laku menyusu anak domba Garut meliputi tahapan mengembik, mencari induk, mencari, mendorong, berebut,menjilat dan menghisap puting dfkuti dengan berlutut, menggemkkan ekor dan melepaskan puting. Dari berbagai tahapan tingkah Iaku menyusu yang diamati, maka tingkah laku mencari, mendorong puting dan berlutut dipengaruhi secara sangat nyata (P<0,01) oleh tipe kelahian dan tingkatan umur,sedangkan mencari dan menjilati puting dipengaruhi secara nyata (P<0,05) oleh tingkatan umur anak domba, demikian pula berebut dan menghisap puting dipengaruhi secara nyata (P<0,01) oleh tipe lahir anak, tingkatan umur danjenis kelamin. Kats kunci: Domba Garut, tingkah laku, menyusu
PENDAHULUAN Domba Garut merupakan domba lokal yang sudah temdaptasi dengan baik pada kondisi setempat . Menurut asal muasalnya, domba ini merupakan persilangan antara domba lokal, domba Merino dan domba Kaapstadt sejak tahun 1775 (MERKENs dan SOEMIRAT, 1926). Domba Ganit mempunyai tampilan biologis dan morfologis yang lebih baik dibandingkan dengan domba ekor tipis lainnya, seperti terlihat dari besarnya ukuran tubuh clan bobot badan (TIEsNAmuRTI et al., 1998). Sejauh ini domba Garut dipelihara terutama untuk ternak aduan, sumber bibit maupun penghasil daging . Keunggulan domba Garut adalah ticlak mengenal musim beranak, mempunyai kemampuan beranak banyak karena adanya segregmi gen Fec jF yang bertanggung jawab terhadap jumlah sel telur yang diovulasikan (BRADFoRD et al., 1991). Tingkah laku anak penting untuk diperhatikan karena menyangkut aspek keberhasilan dalam menentukan kemampuan hidup anak dan keberhmilan jumlah anak disapih (HAFEZ, 1987). Berbagai faktor turut menentukan tingkah laku menyusu, yaitu sifat keindukan yang juga diperkuat dengan suhu lingkungan, kelembaban, pergerakan udwa, cahaya serta kondisi dimana ternak ditempatkan (CRAIG, 1981).Dalam manajemen pemeliharaan ternak, masa prasapih merupakan periode sangat menentukan . Hal ini disebabkan jumlah anak bertahan hidup sampai saat sapih merupakan penentu tingkat produktivitas induk. Berbagai kriteria yang Had menentukan bobot sapih adalah bangsa ternak, jumlah anak lahir, jenis kelamin, umur induk, agresivitas anak menyusu clan ketersediaan susu induk. Tingkah laku menyusu merupakan ekspresi utama dari anak 149
Seminar Nasiona! Peternakan dan veteriner 2000
setelah dilahirkan. Sesudah beranak, frekuensi induk untuk menerima anak menyusu sedemikian tingginya, yang dinyatakan oleh HAFEZ (1969) sebagai frekuensi menyusu sebanyak 33 dsn 45 kali untuk siang dan malam hari pada minggu pertama dari masa hidupnya. Dengan bertambahnya umur anak, ketergantungan menyusu akan semakin berkurang, karena anak sudah mulai mengenal hijauan . Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui kharakteristik tingkah laku harian anak domba Garut pada masa menyusu dan tahapan yang dilalui dalam suatu proses menyusu. MATERI DAN METODE Materi Penelitian dilakukan di kandang Pemuliaan Domba, Balai Penelitian Ternak pada bulan OktoberDesember 1998 . Sebagai materi penelitian adalah 16 ekor induk dan 23 ekor anak yang terdapat di 2 pen, dimana masing-masing pen berisi 8 induk dengan 10 dsn 13 ekor anak. Metode Penelitian dilakukan dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama merupakan pengamatan makro, untuk melihat pola tingkah laku anak domba secara keseluruhan sedangkan pengamatan mikro dilakukan untuk mengetahui tahapan yang dikerjakan anak dalam proses menyusu induk . Pengamatan tingkah laku makro dilakukan selama 24 jam pada minggu pertama untuk menentukan tingkah laku harian yang dilakukan oleh anak. Pendataan tahapan tingkah laku menyusu dilakukan selama satu hari dalam setiap minggu selama delapan minggu . Untuk kedua pengamatan tersebut dilakukan dengan interval waktu mengamati 15 menit dan istirahat 15 menit, sehingga dalam satu jam pengamatan terdapat 30 menit waktu yang dipergunakan untuk mengamati. Pengamatan terhadap tingkah laku makro dilakukan dengan menghitung . frekuensi tingkah laku umum yang meliputi tingkah laku nuninasi, berlindung, tidur, menyelidiki, berkelompok, agresif, buang kotoran, memelihara diri, mencari induk, birahi, bermain, dan menyusu. Analisis data Untuk pengamatan secara makro, data dianalisis secara deskriptif sedangkan untuk pengamatan mikro, data dianalisis dengan metode linear model umum menurut prosedur SAS (1987) dengan memasukkan peubah dependen terdiri dari tahapan tngkah laku menyusu seperti mengembik, men= induk, mencari puting, mendorong, berebut, menjilati dan menghisap puting, dilanjutkan dengan berlutut, menggerakkan dan melepaskan ekor, sedangkan sebagai peubah dependen adalah tipe kelahiran, jenis kelamin dan tahapan umur anak. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkah laku makro Dalam minggu pertama pengamatan, terlihat bahwa tingkah laku umum yang ditunjukkan oleh anak domba meliputi kegiatan berupa nuninasi, berlindung, tidur, menyelidiki, berkelompok, agresif, buang kotoran, memelihara diri, mencari induk, birahi, bermain, dan menyusu. Walaupun temak dikandangkan umum tersebut tidak berbeda jauh (ENSMIIdGER dan PARKER, 1986; HAFEZ, 1969), kecuali untuk tingkah laku berlindung, dimana dalam pengamatan di lapangan, tentunya mempunyai 150
Seminar Nasional Peternakan dan Veferiner 2000 aplikasi berbeda dengan pengamatan dikandangkan. Untuk penganuitan di padang penggembalaan, maka tingkah laku tersebut akan diperlihatkan dalam bentuk berjalan menuju kandang pelinduog atau berkumpul bersama. Dari keseluruhan tingkah laku tersebut, maka aktivitas tertinggi terjadi pada rentang waktu antara 17 :00-18 :00 dimana anak melakukan 6,09 kali tingkah laku atau 5,37% dari keseluruhan tingkah laku harian, sedangkan aktivitas terendah terjadi pada rentang waktu antam pukul 03 :00-04 :00 dimana anak hanya melakukan kegiatan sebanyak 3,3 kali atau 2,91% dari keseluniltan tingkah laku harian. Tingkah laku ruminasi pada anak ditandai apabila anak menggerak-gerkkan mulutnya, dimana mengunyah atau menggeakkan mulut merupakan suatu bentuk tingkah laku ingestive . Dari 24 jam pengamatan pola tingkah laku makro, maka terlihat bahwa tingkah laku rwninasi tertinggi terjadi pada pukul 07 .00-08 .00 dengan rataan frekuensi mengunyah adalah 14,25 kali/ekor/hari. Hasil ini sesuai dengan pendapat FRASER (1974), bahwa tingkah laku ingestive (yang dideskripsikan sebagai nuninasi) terjadi sepanjang hari dengan frekuensi tertinggi pada pagi hari . Tingkah laku ini, walaupun belum dimulai dengan memakan nimput, akan tetapi tampak karena adanya produksi enzim pencemaan, dimana nunen anak domba mulai berfungsi aktif, menyebabkan anak terlihat menggerakkan mulut, dimana gerakan ini dapat dilakukan sambil berdiri atau berbaring. Sedangkan tingkah laku ingestive yang sebenannya baru tampak terlihat pada saat anak domba benimur enam minggu. Tingkah laku berlindung didefinisikan sebagai respons atas perubahan lingkungan yang ekstrim. Dalam pengamatan ini, walaupun ternak selalu dikandangkan, masih ada tempias air hujan karena dindmg terbuat dari kawat, sehingga anak domba selalu berlindung pada saat hujan tumn . Pada saat pengamatan makro, hujan gerimis menyebabkan anak bemsaha mencari tempat perlindungan, fiihat dari frekuensi berlindung yang terjadi pada kisaran pukul 16 .00-17.00 dengan mtaan W tx n i 2,04 kali/ekor/hari . Tampaknya hasil pengamatan ini subyektifdan bertepatan ketika hujan turun pada waktu tersebut.Hasil penelitian ini tentunya akan berbeda apabila dibandingkan dengan pengamatan yang dilakukan di lapangan terbuka, dimana anak akan lebih responsifterhadap segala bentuk gangguan dan berusaha untuk berlindung .
Gambar 1. Frekuensi tingkah laku umum anak domba Garut selama 24 jam Tingkah laku menyelidiki merupakan respon dari anak domba terhadap sesuatu yang taampak ganjil, sebagai misal kalau pengamat mendekati, maka akan terlihat sebagai gemkan anak domba untuk melihat-lihat dengan frekuensi tertinggi terjadi pada pukul 06 .00-07 .00 dengan pengamatan sebesar
Seminar Nastonal Peternakan dan Veteriner 1000
1,58 kali/ekor/hari . Tingkah laku ini tampak dengan anak yang memandang tajam dan seolah menggeleng . Tingkah laku berkelompok didefinisikan sebagai tindakan berlari, berjalan ataupun tidur yang dilakukan oleh anak domba secara bersamaan. Tingkah laku ini sangat terlihat tenitama karena jumlah anak yang terdapat didalam pen ini cukup jumlahnya, berbeda apabila anak tunggai dan dipelihara solitair. Frekuensi tertinggi terjadi pada pukul 12.00-13.00 dengan rataan harian sebanyak 10,75 kali/ekor. Tmgkah laku membuang kotoran terkait erat dengan usaha untuk mengeluarkan kotoran dan urine yang terdeteksi adalah tingkA laku membuang urine dengan rataan frekuensi sebanyak 2,38 kali/ekor/hari dengan frekuensi tertinggi terjadi pada pukul 14.00-15.00. Aktivitas ini terjadi hampir disepanjang hari, terutama dilihat pada waktu dimana anak selesai menyusu induk. Posisi melakukan urinasi dapat mengidentifikasikan jenis kelamin, dimana untuk anak betina terlihat dengan rnenununkan bagian belakang tubuhnya sedangkan anakjantan tetap berdiri tegak. Tingkah laku memelihara diri, didefinisikan sebagai tindakan memelihara diri sendiri dengan gerakan mengganik badan, dimana gerakan ini terjadi hampir setiap jam dengan frekuensi tertinggi terjadi pada pukul 23 .00-24 .00 dengan rataan harian sebanyak 10,79 kali/ekor. Tingkah laku birahi, tingkah laku agresif dan tingkah laku bermain merupakan kegiatan yang saling terkait karena biasanya timbul secara beriringan. KILGOUR dan DALTON (1982) menyatakan bahwa tingkah laku agresif dan birahi pada anak prasapih dikelompokkan sebagai tingkah laku bermain . Dimana untuk tingkah laku birahi terlihat dengan anak domba menaiki anak lain (temannya), sedangkan tingkah laku agresif merupakan gerakan anak yang saling mengadu sedangkan tingkah laku bermain terlihat dari anak yang saling berlari dan berlompatan . Untuk ketiga tingkah laku tersebut, maka frekuensi tertinggi terlihat pada pukul 17.00-18 .00 dengan rataan harian sebanyak 2,63 ; 1,25 dan 6,21 kali/ekor berturut-turut untuk ketiga tingkah laku tersebut. Tingkah laku istirahat sebagai salah satu bentuk tingkah laku yang ditunjukkan oleh anak domba terjadi dengan frekuensi tertinggi pada pukul 02.00-03 .00 dengan rataan harian adalah 22,67 kali/ekor. Kegiatan ini merupakan ritme kehidupan dimana tampakany istirahat (tidur) terjadi pada malam hari. Salah satu tingkah laku yang terkait erat dengan kemampuan daya hidup anak domba adalah tingkah laku menyusu. Diartikan bahwa tingkah laku ini merupakan bagian utama dari tingkah laku makan, akan tetapi dalam beberapa segi dipisahkan menjadi kegiatan tersendiri, karena menyangkut beberapa tingkah laku minor yang menyangkut tahapan dalam menyusu. Tingkah laku tertinggi terjadi pada kisaran waktu 14.00-15.00 dengan rataan frekuensi adalah 20,38 kali/ekor/hari dimana tingkah laku ini terjadi setiap jam dalam waktu pengamatan 24 jam, dengan grafik frekuensi terdapat pada Gambar 1. Tingkah laku mikro Dari pengamatan yang dilakukan, diketahui tahapan tingkah laku mikro menyusu, yang terdiri dari mengembik, mencari induk, mencari puting, mendorong, berebut, menjilati dan menghisap puting, dilanjutkan dengan berlutut, menggerakkan dan melepaskan ekor, dimana persentase dari masing-masing tahapan terdapat dalam Gambar 2. Tahapan menyusu ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh FRASER (1974), yang melakukan pengamatan pada kelompok induk dan anak domba prasapih. Tingkah laku mengembik menandai bagian awal dari tahapan tingkah laku menyusu ternyata hanya sampai pada minggu ke III dimana umur anak domba sekitar 4 minggu . Hal tersebut sesuai dengan laporan STAPELTON et al. (1980) maupun HAFEZ (1969), bahwa dengan tanpa memperhatikan umur dan tipe kelahiran, maka 90% inisiatif menyusu dimulai dari anak. Berkurangnya tingkah laku ini seiring 152
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
dengan menurunnya aktivitas menyusu . Untuk tipe kelahiran tunggal jantan dan betina, kisaran mengembik berturut-turut adalah 0-0,78 (0,04) dan 0-0,44 (0,05) kali/jam, sedangkan kisaran untuk anak kembar jantan dan betina betturut-turut adalah 0-2,76 (0,13) dan 0-2,78 (0,10) kali/jam . Terlihat bahwa anak jantan lebih sering mengembik dibandingkan dengan anak tunggal, baik jantan dan betina. Demikian pula terdapat kecenderungan bahwa anak jantan (baik tunggal maupun kembar dua) lebih sering mengembik dibandingkan dengan anak betina (HAFEZ, 1969a). Temyata tipe kelahiran dan tahapan umur anak domba berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tingkah laku mengembik, tetapi tidak untuk jenis kelamin . Dengan bertambahnya umur anak domba, maka tingkah laku mengembik tidak lagi terlihat, hal tersebut sebagai isyarat bahwa anak sudah mengenali induknya. 30 25 20
a 15 5
Keterangan :
mengembik, B: mencari induk, C: mencari puting, D: mendorong puting, E: berebut pudng, F: menjilat puting, Gmenghisap puting, H:berlutut, I : menggerakkan ekor, J:melepas puting
A:
Gambar 2. Frekuensi tahapan tingkah laku menyusu pada anak domba Garut selama waktu penelitian Tahapan kedua dari tingkah laku menyusu adalah mencari induk, walaupun tingkah laku ini tidak selalu diakhiri dengan menyusu pada induk, tetapi merupakan tahapan anak dan induk untuk saling mengenali . Tingkah laku ini menurun drastis seiring dengan saling mengenalnya induk dan anak, (HAFEZ, 1969a) yang terlihat pada saat memasuki pengamatan pada minggu kelima yaitu saat anak berumur sekitar 6 minggu, setelah itu tampaknya anak domba sudah semakin mengenal induknva . Kisaran frekuensi mencari induk untuk anak domba tipe tunggal jantan dan betina berturut-turut adalah 0-0,44 (0,04) dan (0-0,33 (0,005) kali/jam, sedangkan frekuensi untuk anak kembar jantan dan betina adalah 0-0,89 (0,08) dan 0-0,56 (0,10) kali/jam . Terlihat bahwa frekuensi anak kembar mencari induk lebih sering dibandingkan dengan anak tungga, dimana tipe kelahiran dan tingkat umur anak domba secara nyata (P<0,05) berpengaruh terhadap tingkah laku mencari induk Dalam usahanya untuk menyusu pada induk, maka anak domba akan melalui tahapan mencari puting yang temyata dijumpai sampai pada saat anak domba berumur sekitar 7 minggu, dan tidak lagi terlihat pada minggu sesudahnya, yang merupakan isyarat bahwa anak sudah semakin besar dan dapat mencari puting induk dengan lebih mudah . Frekuensi ini secara nyata (P<0,05) dipengaruhi hanya oleh tahapan umur anak domba . Sedangkan tingkah laku mendorong puting sebagai proses awal sebelum menyusu tetjadi bersamaan dengan proses menghisap susu induk, jadi tingkah laku ini bisa sama atau bahkan lebih besar ari tingkah laku menghisap puting . Seperti diketahui, bahwa mendorong puting 153
Seminar Nasionat Peternakan dan Veteriner 2000
merupakan bagian awal dari proses let down susu (HAFEz, 1969 a), dan tercatat didalam seluruh minggu pengamatan, walaupun dengan frekuensi yang semakin menurun, sesuai dengan semakin berkurangnya produksi susu induk. Dalam pengamatan ini didapatkan bahwa tipe kelahiran dan umur anak domba berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tingkah laku mendorong puting. Sesudah mendorong maka tingkah laku selanjutnya adalah berebut puting, yang terjadi hanya untuk anak dengan tipe~ir kembar. Perebutan puting ini terutama untuk anak kembar dengan jenis kelamin berbeda , dimana anak jantan lebih sering berebut dibandingkan dengan anak bpakan wujud dari kegagalan dalam usaha menyusu. Tingkah laku ini nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh tingkatan umur anak domba, dimana terlihat kecenderungan bahwa anak kembar akan lebih sering menjilati puting dibandingkan dengan anak tunggal . Aktivitas ini terlihat berhenti setelah memasuki umur 6 minggu untuk anak tunggal, tetapi abru terlihat terhenti setelah umur 8 minggu pada anak kembar. Disini terlihat bahwa aktivitas anak akan makanan padat (hijauan nunput dan konsentrat) sudah meningkat sehingga kegiatan menyusu menjadi semakin berkurang, akibatnya kegiatan menjilati putingpun akan berkurang pula. Tingkah laku yang sangat penting dan erat kaitannya dengan proses menyusu adalah tingkah laku menghisap puting, yang merupakan tahapan puncak dari keseluruhan proses menyusu. Dari seluruh keberhasilan tingkah laku menyusu adalah apabila anak domba dapat berhasil dalam menghisap puting selama minimal tiga detik. Posisi menyusu anak domba berlawanan dengan posisi berdiri induk, dan anak bisa dalam posisi duduk maupun berdiri . Terdapat kecenderungan bahwa anak tunggal akan menghisap kedua puting bergantian karena tidak adanya persaingan, sedangkan anak kembar cenderung akan menandai puting yang disukainya. Kegiatan menghisap puting ini akan terhenti apabila terdapat gerakan dari induk, dimana dari keseluruhan tingkah laku harian, maka tingkah laku menyusu mengambil 18,76% dari keseluruhan tingkah laku harian . Kisaran tingkah laku menyusu untuk anak tunggal jantan dan betina benurut-turut berkisar antara 0,11-3,89 dan 0,11-2,89 kali/jam, sedangkan ternak kembarjantan dan betina berturut-turut mempunyai kisaran 0,11-2,56 dan 0-2,33 kali/jam .Tingkah laku ini secara nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh tipe kelahiran, jenis kelamin dan tingkatan umur anak domba. Didalam proses menyusu terlihat tingkah laku berlutut yang merupakan posisi anak domba, dan sejalan dengan bertambahnya umur, karena dengan bertambahnya panjang kaki maka menyebabkan anak memposisikan diri dengan berlutut dalam upaya dapat menyusu. Sesuai dengan tampilan pertumbuhan ternak, maka anak tunggal (P<0,05) akan lebih dini dijumpai dalam posisi ini dibandingkan dengan anak kembar. Untuk anak tunggal, posisi ini mulai terlihat saat anak berumur 4 minggu. Hal ini disebabkan pula oleh posisi puting induk yang relatif rendah dibandingkan dengan besar bagan anak. Sejalan dengan proses menyusu, maka tingkah laku menggerakkan ekor dan melepaskan puting terjadi pada saat yang relatif bersamaan, hal tersebut dinyatakan pula oleh HAFEZ (1969) dan FRASER (1974) dimana kedua gerakan tersebut merupakan bagian proses menyusu dimana gerakan ekor akan menarik induk untuk mengenali anaknya dengan menciumi bagian anus. Melepaskan puting merupakan akhir dari proses menyusu, dimana kegiatan ini bisa dilakukan oleh anak, dengan jalan menarik diri atau oleh induk yang dilakukan dengan melangkah pergi. STAPLETON et al. (1980) menyatakan bahwa mengakhiri proses menyusu pada minggu awal (36%) kehidupan diakhiri oleh anak, seiring dengan bertambahnya umur, maka proses ini akan diakhiri oleh induk clan sangat kecil persentasenya yang diakhiri oleh anak (2,5%) .
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000 KESIMPULAN Pengamatan terhadap kharakteristik tingkah laku menyusu anak domba Gatut masa prasapih menyimpulkan bahwa dari tingkah laku makro yang diamati. maka frekuensi tertinggi adalah pada kegiatan tidur (20,83%), menyusu (18,76%), ruminasi (13,12%), memelihara diri (12,74%) dan lain lain (72,14%) terdiri dari bermain, agresif, birahi, buang kotoran, berlindung dan menyendiri . Sedangkan dari tahapan tingkah laku mikro memperlihatkan bahwa frekuensi menyusu tetjadi sepanjang waktu dalam 24 jam dan terbanyak dilakukan pada siang-sore hari . DAFTAR PUSTAKA BRADFORD, G.E., ISMETH INOUNU, L.Q . INIGUEz, BEss TIESNAMURTI, and D.L. THOMAS . 1991 . The prolificacy gene of Javanese sheep. !n: J.M . Elsen (Ed), Proc . of a Workshop on Major Genes for reproduction in sheep, July 16-18, Toulouse, France.pp: 67-74 . CRAIG, J.V. 1981 . Domestic Animal Behaviour. Prince-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey . ENSMn.GER, M.E . and R.O. PARKER . 1986. Sheep and GoatScience. 5th Ed . FRAsER, A.F . 1974 . Farm Animal Behaviour. The Mac Millan Publishing Co. Inc. New York . HAFEZ, E.S .E . 1969. The behaviour ofDomestic Animals . 3rd Ed. Lea and Febiger, Philadelphia MERKENs, J. dan R. SoEMIRAT. 1926 . Sumbangan Pengetahuan tentang Petemakan Domba di Indonesia (Bijdrage tot de kennis van de Schapenfokkerij in Negerlensch-indie) . Dalam: Adisumarto, S. 1979. Domba dan Kambing. Proyek Sumber Daya Ekonom, LIPL, Jakarta. SAs. 1987 . Statistical Analysis System. North Caroline University, Raleigh, USA . STAPELTON, D.L., G.N . HINcH, C.J . THwAms, and T.N. EDEY . 1980 . Effect of sex and litter siz on the suckling behaviour of the lamb . J. Anim .Sci. 13 :333-335 . TiEsNAMuRTI, B., SUBANDRIYO, B.SUDARYANTo, A.SUPARYANTo, dan S.W . HANDAYAm . 1998. Keragaan biologi domba ekor tipis lokal. Bull. Plasma Nutfah 111(1):46-54 .