Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
TINGKAH LAKU MENYUSU ANAK DOMBA GARUT DAN PERSILANGAN DENGAN ST. CROIX DAN MOULTON CHAROLLAIS (Suckling Behaviour of Garut Lambs and Its Crosses with St. Croix and Moulton Charollais) BESS TIESNAMURTI, EKO HANDIWIRAWAN dan ISMETH INOUNU Balai Peneltian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT A study had been conducted for lambs suckling behaviour of Garut, MGHG (crossbred between MG rams and HG dams) and HGMG crossing (crossbred between HG rams and MG dams). The result of the study was expected to provide valuable information for rearing lambs during lactation periods. The study was conducted for two weeks periods to 29 lambs of 19 dams, at Sheep Breeeding Station of the Indonesian Research Institute for Animal Production, Bogor. The observation was conducted for 15 minutes, every 15 minutes during 24 hours periods. The parameters observed during the study were frequency of lambs suckling and the duration of suckling. Data were analysed using general linear models with the dependent variables were of the frequency of suckling attempt, and the length of suckling period at each suckling attempt, whereas the independent variables were breeds of sheep, time of suckling and type of birth and rear of the lambs. The results showed that breeds of sheep, time of suckling and type of birth and rear of lambs had significant affect (P<0.05) to the frequency and duration of suckling attempt, with the average of 36.96 bouts/24 hours and 655.97 seconds/24 hours. The average suckling frequency for Garut, HGMG and MGHG lambs were 39.6 ± 7.9; 27.7 ± 7.7 and 40.6 ± 6.1 bouts/24 hours, respectively. The average duration of suckling was 486.1 ± 135.4; 476.2 ± 131.4 and 911.3 ± 103.9 seconds/24 hours for Garut, HGMG and MGHG, lambs, respectively. Simple correlation between type of birth and rear and the suckling frequency and suckling duration showed very strong relationship, R2 = 99,3% and R2 = 87,9%, respectively. Similar relationship was also investigated for the correlation between birth weight (kg) of lambs with frequency and duration of suckling, R2 = 99.2% and R2 = 87.5%, respectively. However, weaning weight did not have any correlation with the frequency and length of suckling, R2 = 24.93% and R2 = 21.11%, respectively. Key Words: Suckling Behaviour, Garut Sheep, Crossing ABSTRAK Suatu pengamatan dilakukan pada kelompok anak domba Garut, HGMG (persilangan antara pejantan St. Croix X Garut dengan induk Moulton Charollais X Garut) dan MGHG (persilangan antara pejantan Moulton Charollais X Garut dengan induk St. Croix X Garut) yang ditujukan untuk mengetahui pola tingkah laku menyusu. Hasil pengamatan ini diharapkan dapat memberikan informasi berharga dalam pemeliharaan dan pembesaran domba lokal dan persilangan. Pengamatan dilakukan selama dua minggu terhadap 29 ekor anak dari 19 ekor induk domba yang diamati di kandang Pemuliaan Domba, Balai Penelitian Ternak, Bogor. Pengamatan dilakukan secara berselang, setiap 15 menit selama 15 menit dalam kurun waktu 24 jam. Peubah yang diamati adalah waktu anak mulai menyusu dan durasi anak menyusu. Data dianalisis dengan metode linear model umum, dimana sebagai peubah dependen adalah frekuensi dan lama menyusu, sementara peubah independen adalah bangsa anak domba digunakan, waktu (jam) anak menyusu dan tipe lahir – sapih anak domba. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa frekuensi dan lama menyusu dipengaruhi secara nyata (P < 0,05) oleh bangsa domba,waktu menyusu dan tipe lahir-sapih anak domba, dengan rataan 36,96 kali/24 jam dan 655,97 detik/24 jam. Rataan frekuensi menyusu untuk anak domba Garut, HGMG dan MGHG berturutturut adalah 39,6 ± 7,9; 27,7 ± 7,7 dan 40,6 ± 6,1 kali/24 jam. Rataan lama menyusu anak domba adalah 486,1 ± 135,4; 476,2 ± 131,4 dan 911,3 ± 103,9 detik/24 jam berturut-turut untuk domba Garut, HGMG dan MGHG. Korelasi antara tipe lahir-sapih anak domba erat terkait dengan frekuensi dan lama menyusu (R2 = 99,3% dan R2 = 87,9%). Demikian pula korelasi antara bobot lahir (kg) anak erat terkait dengan frekuensi
392
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dan lama menyusu (R2 = 99,2% dan R2 = 87,5%). Akan tetapi bobot sapih anak tidak mempunyai keeratan hubungan dengan frekuensi dan lama menyusu anak domba (R2 = 24,93% dan (R2 = 21,11%). Kata Kunci: Tingkah Laku Menyusu, Domba Garut, Persilangan
PENDAHULUAN Dalam siklus produksi, kelahiran anak merupakan saat yang sangat menentukan sebagai proses perbanyakan ternak. Banyaknya anak yang dihasilkan sangat tergantung pada kondisi induk pada masa prasapih. Pada domba lokal Garut yang diamati di stasiun percobaan, kematian anak prasapih terbesar terutama terjadi pada bulan pertama kelahiran ternak (25,6; 32; 45,2 dan 53,4%) untuk anak dengan kelahiran tunggal, kembar dua, tiga dan lebih dari empat (SUBANDRIYO, 1986). Sedangkan untuk domba persilangan St. Croix dengan domba lokal Sumatera mempunyai tingkat kematian periode prasapih sebesar 15,25% dengan kisaran 11,67 – 34,62% (SUBANDRIYO et al., 1996). Tingginya tingkat kematian anak pada minggu pertama kelahiran dibandingkan dengan kematian pada masa 3 bulan menyusui memberikan indikasi bahwa perhatian terhadap anak domba harus diberikan lebih baik pada awal kelahiran guna mendapatkan anak hidup yang lebih banyak. Jumlah anak dilahirkan per induk, berat lahir, agresifitas anak untuk menyusu pada induk dan produksi susu induk selama laktasi sangat menentukan jumlah dan berat anak domba yang disapih pada umur tiga bulan. Lebih lanjut NOWAK et al. (2000) melaporkan bahwa kejadian distokia pada kelahiran tunggal (33%) dapat juga memicu kematian anak pada saat kelahiran dan tiga hari setelahnya. Sebagian besar anak domba mulai menyusu tanpa bantuan dari induk (HAFEZ et al., 1969) sehingga keberhasilan proses menyusu anak terhadap induk sangat ditentukan oleh agresivitas anak, kesediaan induk untuk membiarkan anak menyusu dan adanya air susu. Proses menyusu merupakan salah satu tahapan penting dalam awal kehidupan anak yang baru dilahirkan. Anak domba belajar untuk menyusu induk setengah sampai satu jam sejak kelahirannya. Terutama pada minggu pertama setelah kelahiran, anak domba akan menyusu sangat sering dibandingkan dengan minggu-minggu sesudahnya. Untuk dombadomba di daerah bermusim empat, FRASER
(1980) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 24 jam anak dapat menyusu sebanyak 60 – 70 kali dengan lama menyusu berkisar antara 1 – 3 menit. Pada minggu pertama kelahiran, keinginan untuk menyusu pada induk diawali dan diakhiri oleh anak domba (HAFEZ, 1975). Aktivitas menyusu erat kaitannya dengan tampilan produksi ternak untuk masa selanjutnya. Ternak yang sudah teradaptasi dengan baik pada lingkungannya, maka bagian kegiatan menyusu tidak akan terganggu. Persilangan antara domba Garut dengan Moulton Charollais dan St. Croix ditujukan untuk membentuk bangsa baru, sebagai domba yang dapat berprestasi dengan baik pada pemeliharaan intensif. Potensi genetis domba Moulton Charollais sebagai domba dengan pertumbuhan cepat diharapkan akan membantu mengurangi masalah kekurangan air susu yang didapatkan pada domba lokal Garut karena adanya segregasi gen prolifik pada kelompok tersebut. Tampilan pertumbuhan domba persilangan ini menunjukkan bahwa rataan bobot lahir dan bobot sapih domba persilangan Garut X St. Croix X Moulton Charollais jauh lebih tinggi dibandingkan dengan domba lokal Garut (INOUNU et al., 2004). Laporan TIESNAMURTI et al. (2000) terhadap tingkah laku menyusu anak domba Garut menunjukkan bahwa frekuensi dan lama menyusu dipengaruhi secara nyata (P < 0,05) oleh tipe lahir, jenis kelamin dan tahapan umur. Rataan umum frekuensi menyusu dan lama menyusu berturut-turut adalah 1,13 kali/jam dan 9,06 ± 2,28 detik/jam menyusu. Pengamatan ini ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkah laku menyusui anak domba lokal (GG), anak domba MGHG yaitu persilangan antara pejantan Moulton Charollais X Garut dengan induk domba persilangan St. Croix X Garut, anak domba HGMG, yaitu persilangan antara pejantan St. Croix X Garut dengan induk domba persilangan Moulton Charollais X Garut. Sasaran dari informasi yang diperoleh ini diharapkan akan merupakan informasi berharga dalam pemeliharaan dan pembesaran domba lokal dan persilangan.
393
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
αi
=
Materi pengamatan
βj
=
Sebagai materi pengamatan dipergunakan adalah 8 ekor anak domba lokal dari bangsa Garut (GG), 8 ekor anak domba hasil persilangan antara pejantan Moulton Charollais X Garut dengan induk domba persilangan St Croix X Garut (MGHG) serta 13 ekor anak hasil persilangan antara pejantan HG dengan betina MG (HGMG). Umur anak domba yang dipergunakan sekitar 7 hari.
γk
=
εijkl
=
MATERI DAN METODE
Metode pengamatan Metode pengamatan yang dilakukan adalah mencatat tingkah laku menyusu anak domba dalam pengamatan berselang selama 15 menit, setiap 15 menit selama 24 jam. Pencatatan yang dilakukan adalah waktu anak menyusu (jam) pada induk dan lama anak menyusu induk (detik). Skor berhasil menyusu dihitung apabila anak dapat mengambil puting induk dan menyedot air susu. Frekuensi menyusu dinyatakan sebagai banyaknya aktifitas anak menyusu pada induk (kali 24 jam). Lama menyusu (detik) didefinisikan sebagai lamanya seekor anak dapat mengambil puting induk dan berhasil menyedot air susu dan menghentikannya setelah selesai. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan mempergunakan metode linear model (SAS, 1987), dimana sebagai peubah dependen adalah frekuensi dan lama menyusu dengan peubah independen adalah bangsa ternak, tipe kelahiran – sapih anak dan waktu anak menyusu. Adapun model matematis yang digunakan adalah: Y ijkl = µ + α i + βj + γ
k
+ ε ijkl
Dimana: Yijkl = Peubah yang diamati (frekuensi menyusu dan lama menyusu) µ = Rataan umum peubah diamati (frekuensi dan lama menyusu)
394
Pengaruh tetap bangsa anak domba diamati (i=1,2,3) Pengaruh tetap tipe lahir dan sapih anak (j=1,2,3,4) Pengaruh tetap waktu (jam) pengamatan (k=1....24) Galat pengamatan
Apabila terdapat perbedaan yang nyata disebabkan oleh peubah independen, maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Korelasi sederhana dilakukan untuk beberapa peubah, antara lain yaitu antara tipe kelahiran – sapih dengan frekuensi dan lama menyusu, korelasi sederhana antara total bobot lahir dengan frekuensi dan lama menyusu serta korelasi sederhana antara tipe kelahiran – sapih dengan total bobot sapih dilakukan untuk menduga sejauh mana frekuensi menyusu pada umur dini dapat menduga bobot sapih anak domba. HASIL DAN PEMBAHASAN Frekuensi Menyusu. Bangsa domba yang digunakan, waktu menyusu dan tipe lahir-sapih anak domba secara nyata (P < 0,05) memberikan pengaruh terhadap frekuensi menyusu, dengan rataan umum adalah 36,96 ± 15,0 kali/ 24 jam. Rataan frekuensi menyusu ádalah 42,3 ± 7,9; 26,0 ± 7,7 dan 40,6 ± 6,1 kali/24 jam, berturut-turut untuk anak domba Garut, persilangan HGMG dan persilangan MGHG. Kegiatan tersebut jauh lebih sedikit dari yang dilaporkan oleh FRASER (1980) pada domba di daerah bermusim empat, dimana anak domba berumur seminggu menyusu sebanyak 60 – 70 kali dalam 24 jam. Perbedaan ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan bangsa ternak yang dipergunakan maupun lokasi pengamatan (daerah tropis vs daerah dengan empat musim). Perbedaan bangsa domba memberi konsekuensi terhadap bobot lahir anak domba. Lebih seringnya anak domba MGHG menyusu dibanding dengan domba persilangan HGMG dan Garut disebabkan karena bobot badan dan ukuran tubuh yang lebih besar, sebagai kompensasi dilakukan dengan menyusu lebih sering guna memenuhi kebutuhan hidup pokok.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 1. Analisis ragam dan ratan frekuensi dan alam menyusu anak domba Garut dan persilangan Peubah Bangsa ternak GG HGMG MGHG Tipe lahir – sapih
Frekuensi menyusu (kali/24 jam)
Lama menyusu (detik/24 jam)
P < 0,05
P < 0,05 a
507,3 ± 135,4a
b
448,3 ± 131,4a
a
882,5 ± 103,9b
42,3 ± 7,9 26,0 ± 7,7
40,6 ± 6,1 P < 0,05
P < 0,05
1–1
32,4 ± 5,1a
592,9 ± 87,6a
2–2
56,8 ± 6,8a
891,9 ± 116,5 a
2–1
b
291,0 ± 148,6 b
3–3 Waktu menyusu
17,7 ± 8,7
43,3 ± 15,8
a
1025,0 ± 271,8 a
P < 0,05
P < 0,05
Huruf berbeda dalam satu kategori kolom menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
Rataan frekuensi menyusu pada anak domba dengan tipe lahir-sapih berbeda menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi terjadi pada anak lahir dan sapih sebagai kembar dua (56,8 ± 6,8 kali/24 jam) diikuti oleh anak lahir dan sapih sebagai kembar tiga (43,3 ± 15,8 kali/24jam), anak yang lahir dan sapih sebagai tunggal (32,4 ± 5,1 kali/24 jam) maupun anak kembar dan sapih sebagai tunggal (17,7 ± 8,7 kali/24 jam). Rataan frekuensi menyusu anak domba Garut tunggal dan kembar dua sebanyak 39,0 dan 35,9 kali/24 jam. Domba HGMG tunggal dan kembar dua mempunyai frekuensi menyusu 29,5 dan 19,0 kali/24 jam. Sedangkan domba MGHG dari tipe lahir tunggal, kembar dua dan kembar tiga mempunyai frekuensi menyusu sebanyak 32; 47,3 dan 43 kali/24 jam. Dilihat dari waktu menyusu selama 24 jam, frekuensi menyusu anak domba lokal dan persilangan memperlihatkan pola yang lebih sering pada siang dibandingkan dengan malam hari. Rataan frekuensi menyusu adalah 65,8; 54,18 dan 55,48% pada siang hari dan 34,20; 45,82 dan 44,53% pada malam hari berturut turut untuk bangsa domba Garut, HGMG dan MGHG. Secara umum, hal ini dapat dipahami bahwa secara fisiologis ternak akan membutuhkan cairan yang lebih banyak untuk mempertahankan panas tubuh yang dihasilkannya dengan cara lebih sering menyusu pada induk. Anak domba dengan kelahiran tunggal dan kembar dua mempunyai pola serupa. Domba Garut dengan anak
tunggal mempunyai aktivitas menyusu lebih sering pada siang dibandingkan dengan malam hari (19,3 vs 8,3 kali) demikian pula untuk anak kembar (20,75 vs 13,25 kali). Akan tetapi kegiatan menyusu anak domba HGMG sedikit berbeda. Didapatkan bahwa anak tunggal menyusu sedikit lebih sering pada siang dibandingkan dengan malam hari, yaitu 18,0 vs 13,2 kali. Akan tetapi anak kembar dua mempunyai aktivitas relatif seimbang antara siang dan malam hari, yaitu 11,57 vs 13,86 kali. Aktivitas anak domba pada masa-masa ini biasanya terdiri dari menyusu pada induk, tidur, berjalan-jalan dan bermain-main. Rendahnya kegiatan menyusu pada malam hari terutama antara jam 01.00 sampai 04.00 disebabkan karena anak pada umumnya tidur. Anak domba dengan kelahiran tunggal dan kembar dua mempunyai pola serupa yaitu domba Garut dengan anak tunggal mempunyai aktivitas menyusu lebih sering pada siang dibanding malam hari (19,3 vs 8,3 kali) demikian pula untuk anak kembar (20,75 vs 13,25 kali). Akan tetapi kegiatan menyusu anak domba HGMG sedikit berbeda. Didapatkan bahwa anak tunggal menyusu lebih sering pada siang dibandingkan dengan malam hari, yaitu 18,0 vs 13,2 kali. Akan tetapi anak kembar dua mempunyai aktivitas relatif seimbang antara siang dan malam hari, yaitu 11,57 vs 13,86 kali. Aktivitas anak domba pada masa-masa ini biasanya terdiri dari menyusu pada induk, tidur, berjalan-jalan dan bermainmain. Rendahnya kegiatan menyusu pada
395
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
malam hari terutama antara jam 01.00 sampai 04.00 disebabkan karena anak pada umumnya tidur. Peningkatan frekuensi menyusu sangat diharapkan, karena pertumbuhan anak prasapih menjadi sasaran akhir, bahkan suatu peneliitan yang dilakukan terhadap babi (KASANEN dan ALGERS, 2002) dilakukan dengan memutar kembali suara induk melalui tape recorder yang nyata meningkatkan frekuensi menyusu anak Menarik untuk disimak, pengamatan NAPOLITANO et al. (2002) yang menyatakan bahwa frekuensi menyusu anak domba Sarda yang dibesarkan secara natural (menyusu dengan induk) ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan anak domba yang dibesarkan secara buatan (dengan botol susu) pada masa laktasi. Walau demikian, pada akhirnya terlihat pertumbuhan anak yang lebih baik dibesarkan secara natural dibandingkan dengan cara buatan (190 vs 129 g ekor-1 hari-1), walaupun tidak terlihat perbedaan pada persentase karkas. Suatu penelitian jangka panjang dilakukan untuk seleksi domba dengan persentase daging lebih tinggi dibandingkan dengan domba dengan persentase lemak lebih tinggi (DWYER et al, 2001). Respons seleksi terhadap anak domba akan mempunyai frekuensi menyusu lebih sering untuk domba terseleksi dengan persentase daging lebih tinggi (7,8 kali) dibandingkan dengan domba terseleksi untuk lemak lebih tinggi. Lama menyusu Lama menyusu anak domba selama 24 jam dipengaruhi secara nyata (P < 0,05) oleh bangsa domba, waktu menyusu dan tipe lahirsapih, dengan rataan umum adalah 655,97 detik/24 jam. Rataan lama menyusu anak domba Garut, HGMG dan MGHG berturutturut adalah 486,1 ± 135,4; 476,2 ± 131,4 dan 911,3 ± 103,9 detik/24 jam setara dengan 8,1; 7,9 dan 15,2 menit. Dalam pengamatan ini, maka rataan waktu yang dihabiskan untuk menyusu dalam setiap kali kesempatan adalah 20,8 ± 3,7; 20,9 ± 3,5 dan 36,4 ± 2,7 detik berturut-turut untuk anak domba Garut, HGMG dan MGHG. Ternyata domba persilangan mempunyai waktu menyusu relatif lebih panjang dibandingkan dengan domba Garut. REALE et al. (1999) melaporkan bahwa anak domba lokal yang digembalakan di Ile
396
Haute, Kepulauan Kerguelen mempunyai rataan lama menyusu sekitar 15 detik dengan persentase anak yang berhasil menyusu pada induk sekitar 79%. Hal ini kiranya dapat menjawab bahwa domba yang mempunyai tingkah laku menyusu lebih panjang dalam setiap kali kesempatan akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Dilihat dari distribusi lama menyusu dalam 24 jam, terlihat bahwa rataan lama menyusu anak domba lebih panjang pada siang dibanding malam hari, yang dijumpai pada domba Garut tunggal dan kembar, domba MGHG dan domba HGMG tunggal. Pada domba HGMG kembar lama menyusu siang dan malam hari relatif sama. Tipe lahir-sapih anak domba yang nyata mempengaruhi lama menyusu menunjukkan bahwa waktu terpanjang ditemui pada anak domba dengan tipe lahir kembar tiga dan sapih sebagai kembar tiga pula (1025,0 ± 271,8 detik). Sementara terendah didapatkan pada anak dengan tipe lahir kembar dua dan sapih sebagai tunggal (291,0 ± 148,6 detik). Grafik 1 memperlihatkan rataan intensitas menyusu (frekuensi x lama menyusu) anak domba selama 24 jam pengamatan untuk masing-masing bangsa. Distribusi intensitas menyusu dari ketiga bangsa diamati memperlihatkan bahwa anak domba MGHG jauh melebihi tampilan kedua bangsa domba lainnya. Terlihat bahwa aktivitas menyusu pada anak domba MGHG mempunyai angka tertinggi (430,3 detik) dibandingkan dengan domba HGMG (97,9 detik) dan GG (1264,6 detik). Dari grafik tersebut dapat terlihat bahwa sumbangan induk persilangan MG memberikan andil yang positif dalam tingkah laku menyusu anak. Komponen ini, sangat erat kaitannya dengan sifat genetis yang secara tidak langsung berhubungan dengan produktivitas ternak secara keseluruhan. Korelasi antar peubah diamati Korelasi sederhana yang dilakukan antara tipe kelahiran – sapih dengan frekuensi menyusu menunjukkan keeratan hubungan sangat kuat (97,86%) dengan trend negatif, artinya frekuensi menyusu berbanding terbalik dengan tipe kelahiran – sapih anak domba.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
500.0
Intensitas Menyusu (detik)
450.0 400.0 350.0 300.0
GG
250.0
H GM G
200.0
M GH G
150.0 100.0 50.0 0.0 5
9
13
17
21
1
W a ktu
Grafik 1. Intensitas (frekuensi x lama) menyusu pada domba Garut dan persilangan .
Anak domba yang berasal dari tipe kelahiran – sapih rendah (lahir sebabagai anak tunggal dan sapih sebagai anak tunggal) akan mempunyai frekuensi menyusu yang kuat, sebaliknya dengan anak domba dengan tipe lahir – sapih tinggi (lahir sebagai anak kembar 3 dan sapih sebagai kembar tiga) akan mempunyai frekuensi menyusu yang rendah. Korelasi antara tipe kelahiran – sapih dengan lama menyusu mempunyai keeratan hubungan sangat kuat (94,89%) dengan trend yang positif, artinya anak domba dengan tipe lahir – sapih lebih tinggi (lahir kembar dua dan sapih sebagai kembar dua) akan menyusu lebih lama dibanding dengan anak domba dengan tipe lahir – sapih sebagai tunggal-tunggal. Korelasi antara bobot lahir dengan frekuensi menyusu dan lama menyusu juga menunjukkan keeratan hubungan yang sangat kuat, berturut-turut 98,38 dan 98,57%. Akan tetapi sifat hubungan tersebut positif untuk lama menyusu, artinya anak domba dengan bobot lahir tinggi akan menyusu lebih sering
dibandingkan dengan anak domba dengan bobot lahir rendah. Sebaliknya, hubungan tersebut bersifat negatif antara bobot lahir dan lama menyusu, artinya anak domba dengan bobot lahir tinggi hanya sebentar menyusu dibandingkan dengan anak domba berbobot lahir rendah. Tidak demikian halnya dengan korelasi antara bobot sapih dengan frekuensi dan lama menyusu (24,93 dan 21,11%) yang ternyata tidak menunjukkan keeratan hubungan cukup berarti. Sehingga frekuensi dan lama menyusu anak domba diumur awal tidak dapat untuk menduga bobot sapih. Tampaknya hal ini disebabkan bahwa fungsi frekuensi dan lama menyusu hanya tampak menonjol diumur awal anak domba, sementara menjelang penyapihan anak sudah tidak bergantung lagi pada induk. Akan tetapi VALROS et al. (2000) melaporkan bahwa pertumbuhan anak babi nyata dipengaruhi oleh frekeunsi keberhasilan anak menyusu pada induk. Bahkan dapat diperkirakan kenaikan bobot badan sebesar 5,12 g dalam sekali waktu menyusu.
Tabel 2. Korelasi sederhana peubah diamati pada domba Garut dan persilangan Komponen
Frekuensi menyusu
Lama menyusu
Tipe kelahiran – sapih
-0,0068 (97,86%)
0,01627 (94,89%)
Bobot lahir
0,00516 (98,38%)
-0,00457 (98,57%)
Bobot sapih
-0,28636 (24,93%)
0,30923 (21,11%)
397
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KESIMPULAN 1. Frekuensi dan lama menyusu anak domba nyata (P < 0,05) dipengaruhi oleh bangsa domba, tipe lahir – sapih dan waktu menyusu, dimana anak domba MGHG mempunyai frekuensi menyusu tertinggi diikuti oleh Garut, dan HGMG. 2. Korelasi sederhana antara tipe lahir-sapih dengan bobot lahir dan antara bobot lahir dengan frekeunsi lama menyusu menunjukkan hubungan yang sangat kuat. Akan tetapi hubungan tersebut tidak ditunjukkan pada korelasi antara bobot sapih dengan frekeunsi dan lama menyusu. DAFTAR PUSTAKA DWYER, C.W., A.B.LAWRENCE and S.C. BISHOP. 2001. The effects of selection for lean tissue content on maternal and neonatal lamb behaviours in Scottish Blackface sheep. Anim. Sci. 72: 555 – 571. FRASER. A.F. 1980. Farm Animal Behaviour. 2nd Ed. Bailliere Tindall, London. HAFEZ, B. and E.S.E. HAFEZ. 2000. Behaviour of Domestic Animals. Balliere Tindall, London. KASANEN, SARI and BO ALGERS. 2002. A note on the effects of additional sow gruntings on suckling behaviour of the piglets. Behaviour Sci. 73 93 – 101. NAPOLITANO, F., A. BRAGHIERI, G.F. CIFUNI, C. PACELTI and A. GIROLAMI. 2002. Behaviour and meat production of organically farmed unweaned lambs. Small Rum. Res. 43: 179 – 184.
NOWAK, R., R.H. PORTE, F. LEVY, P. ORGEUR and B. SCHAAL. 2000. Role of mother-young interactions in the survival of offspring in domestic animals. Rev. Reprod. 5: 153 – 163. PRICE, E.O. and A.W. STOKES. 1975. Animal Behavior in Laboratory and Field. W.H. Freeman and Company, San Fransisco. REALE, D., P. BOUSSES and J.L. CHAPUIS. 1999. Nursing behaviour and mother-lamb relationships in mouflon under fluctuating population densities. Behav. Process. 47: 81 – 94. SAS. 1987. Statistical Package for PC. University of North Caroline, Raleigh, USA. SUBANDRIYO. 1986. Survival rates of Indonesian sheep under experiment station conditions. SR-CRSP /Research Institute for Animal Production. Working Paper No.74. SUBANDRIYO, B. SETIADI, M. RANGKUTI, K. DIWYANTO, E. HANDIWIRAWAN, E. ROMJALI, M. DOLOKSARIBU, S.ELIESER dan L. BATUBARA. 1996. Pemuliaan bangsa domba sintetis hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba bulu. Puslitbang Peternakan, Bogor. TIESNAMURTI, B., IKE BANGUN HERWIDI dan ISMETH INOUNU. 2000. Karakteristik tingkah laku menyusu anak domba. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua – Bogor, 18 – 19 September 2000. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 149 – 155. VALROS A.E., M. RUNDGREN, M. SPINKS, H. SALONIEMI, L. RYDHMER and R. ALGERS, 2002. Nursing behaviour of sows during 5 weeks lactation and effects on pidlets growth. Behaviour Sci. 73: 104 – 110.
DISKUSI Pertanyaan: Apakah sudah diteliti berapa konsumsi susunya? Karena tingkah laku menyusu pada babi dipengaruhi oleh bau adanya susu pada ambing. Jawaban: Dalam penelitian ini tidak diukur susu yang dikonsumsi.
398